BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prokrastinasi Steel (2007) mengemukakan prokrastinasi sebagai suatu perilaku menunda dengan sengaja melakukan kegiatan yang diinginkan walaupun individu mengetahui bahwa perilaku penundaanyang mereka lakukan memiliki dampak buruk. Prokrastinasi diartikan sebagai penundaan atau penghindaran terhadap tugas, memiliki kecenderungan mengulur waktu dalam memulai menyelesaikan tugas dengan melakukan aktivitas lain yang tidak berguna sehingga pekerjaan menjadi terhambat, tidak terselesaikan dengan tepat waktu (Solomon & Rothblum, 1984). Eerde (2003) mengusulkan prokrastinasi disimbolkan sebagai perilaku menghindar dan dapat dilihat sebagai penghindaran pada tuntutan, melakukan tindakan yang diinginkan. Para ahli membuktikan bahwa prokrastinasi pada dasarnya banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari, berhubungan dengan faktor motivasi yang rendah, pusat self-control, perfeksionisme, disorganisasi dan manajemen waktu yang lemah (Ackerman & Gross, 2005; Philips, 2007; Jory & Mongford, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Janssen dan Carton (1999) menyatakan bahwa ada hubungan antara tugas yang sulit dengan perilaku prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa (p < 0,1). Tugas yang dirasa sulit oleh mahasiswa cenderung akan makin ditunda, sedangkan tugas yang dianggap mudah cenderung akan dikerjakan terlebih dahulu. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Ferrari, Mason dan Hammer (2006), procrastinator atau orang yang melakukan prokrastinasi lebih cenderung melihat tugas sebagai pekerjaan yang sulit, tidak melihat sebagai pekerjaan yang menyenangkan sehingga pekerjaan itu memang membutuhkan usaha yang maksimal untuk menghasilkan hasil yang berkualitas. Procrastinator juga lebih cenderung tidak memiliki suatu konsep jelas dan kejernihan dalam menyelesaikan tugas. Namun, jika individu dapat menyelesaikan tugas dengan baik, procrastinator percaya hal itu akan memiliki 5 6 dampak positif bagi individu. Selain itu, Steel (2007) mengungkapkan prokrastinasi sebagai penundaan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai kegagalan dalam pengaturan diri individu. Survey yang dilakukan oleh Pham dan Taylor (1999) mengemukakan bahwa prokrastinasi dapat diatasi. Pertama, peningkatan pada perilaku kesadaran yang merupakan titik awal, sebagai halnya dalam perubahan perilaku. Kedua, mengatasi perilaku menghindar, melakukan apapun yang akan membantu individu untuk tidak memandang tugas sebagai hal yang mengancam namun sebagai suatu hal yang menyenangkan. Perencanaan dapat membantu untuk membuat hasil yang jauh lebih konkrit dari proses yang mengarah pada hasil yang baik. Sehingga ketika prokrastinasi tidak dapat diatasi oleh di individu memunculkan tekanan yang akan berdampak buruk dan terancam. Penelitian yang dilakukan oleh Perlow (1999) yang mengungkapkan tekanan disaat kerja telah menyebabkan time famine, dimana time famine adalah suatu indikasi pada perasaan yang memiliki terlalu banyak yang harus dilakukan ataupun tidak memiliki cukup waktu melakukan banyak hal. Ia mengatakan time famine tidak hanya muncul dari hasil yang ingin dicapai, tetapi dari bagaimana individu secara efektif menggunakan waktu yang tersedia. 2.1.1 Faktor-faktor Prokrastinasi Dalam penelitian Rumiani (2006) mengemukakan perilaku prokrastinasi disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu yang ikut membentuk perilaku prokrastinasi yang meliputi faktor psikologis dan fisik. Faktor eksterna yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu seperti tugas yang menumpuk (overloaded tasks) yang menuntut penyelesaian yang deadline bersamaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi khususnya akademik dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Ghufron, 2003): 1. Faktor internal, yaitu merupakan faktor yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi terjadinya prokrastinasi. Meliputi kondisi fisik dan kondisi psikologis pada individu. Kondisi fisik berupa kondisi kesehatan 7 pada individu misalnya muncul adanya fatigue atau kelelahan dalam mengerjakan tugas akan cendrung melakukan prokrastinasi (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Kondisi psikologis berupa trait kepribadian pada individu misalnya kemampuan sosial yang tercermin dalam self regulation atau pengaturan diri dan tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial (Janssen & Carton, 1999). 2. Faktor eksternal, yaitu merupakan faktor yang terdapat dari luar diri individu yang mempengaruhi prokrastinasi. Faktor itu meliputi berupa pola asuh orangtua dan lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan yang lenient. Pola asuh orangtua yang otoriter dapat menyebabkan munculnya kecenderungan perilaku prokrastinasi. Kondisi lingkungan yang lenient lebih banyak dilakukan pada lingkungan yang rendah dalam pengawasan. 2.2 Self-Control Self-control adalah tenaga utama dalam diri, menjadi kunci utama dalam kesuksesan. Mengacu kepada kemampuan individu mngontrol diri dalam melakukan sesuatu tanpa memikirkan konsekuensi yang akan dihadapi (Ray, 2011). Dijelaskan kembali bahwa self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika dihadapkan dengan persoalan (Hofmann, Baumeister, Förster, & Vohs, 2012). Self-control memiliki kapastias besar dalam memberikan perubahan positif pada kehidupan bagi siapapun (Tangney, Baumesiter, & Boone, 2004). Dalam suatu penelitian ditunjukan bahwa self-control yang tinggi mempunyai keterikatan dengan penyesuaian diri yang lebih baik (diantara meningkatnya self-esteem dan berkurangnya psikopatologi), berkontribusi terhadap keberhasilan dibidang akademis, mengurangi makan yang berlebihan dan mengurangi penyalahgunaan alkohol, memiliki hubungan yang baik serta memiliki keterampilan interpersonal yang positif (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Selain itu, self-control juga memiliki keterkaitan dengan perilaku agresi dimana self-control dapat menurunkan faktor-faktor perilaku agresi pada individu, faktor-faktor yang dapat menekan self-control akan meningkatkan agresi, sedangkan faktor yang dapat memperkuat self-control akan menurunkan perilaku agresi seperti perilaku frustasi dan provokasi (Baron, Branscombe & Byrne, 2008). 8 Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku yaitu self-control. Survei yang dilakukan oleh penelitian lain menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kontrol diri yang berbeda, ada yang memiliki kontrol diri yang tinggi , namun ada pula yang rendah (Steel, 2007). Self-control merupakan pengendalian diri yang digunakan seseorang ketika individu menahan keinginan dan dorongannya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa self-control berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan dorongan dan keinginan sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif sesuai dengan standar ideal dan nilai-nilai moral. Tangney, mengusulkan Baumeister, terdiri dan atas deliberate/nonimpulsive, healthy Boone (2004) lima dimensi, pada skala self-control yaitu self-discipline, habits, work ethic, dan reliability. Self- discipline mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri, memfokuskan diri pada saat melakukan tugas individu dengan self-discipline mampu menahan dirinya dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasi. Deliberate/nonimpulsive merupakan kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dengan pertimbangan tertentu yang bersifat hati-hati. Healthy habits mampu mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang menyehatkan bagi individu, mengutamakan hal-hal yang memberikan dampak positif. Work ethic berkaitan dengan penilaian individu terhadap regulasi diri. Mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa dipengaruhi oleh hal-hal diluar pekerjaan. Reliability berkaitan dengan penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian tertentu. 2.3 Dewasa awal pada mahasiswa (young adulthood) Masa kuliah adalah masa dimana seorang yang baru beranjak dewasa akan merasa bebas dengan sistem waktu yang digunakan di bangku kuliah yang sangat berbeda dengan sistem waktu yang digunakan seorang murid dari TK sampai dengan SMA. Mahasiswa mengalami perubahan dalam sejumlah aspek perkembangan, baik itu fisik dan fisiologis, emosi, mental, sosial, maupun moral. Perubahan-perubahan tersebut menuntut mereka mengadakan perubahan besar 9 dalam sikap dan perilaku sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adaptif. Ideal seorang mahasiswa yang sudah memasuki tahap perkembangan dewasa awal sudah mempunyai kemampuan berpikir dalam memecahkan suatu masalah dengan usaha menemukan sasaran pemecahan yang ideal, berpikir kritis, dan mampu menganalisa dan mencari solusi yang tepat. Dewasa muda atau young adulthood merupakan masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, namun terkadang menyisakan sedikit waktu luang untuk hal-hal lainnya (Santrock, 2002). Piaget dan Schaie (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) melihat bahwa perkembangan kognitif dewasa awal dengan memperhatikan perkembangan intelektual dalam konteks sosial. Menurutnya, perkembangan kognitif dewasa awal terjadi peralihan dari pedalaman informasi dan keterampilan, hingga pencarian makna dan tujuan. Permasalahan individu yang sering muncul banyak diakibatkan oleh ketidakmampuan individu dalam mengendalikan diri. Mahasiswa dibebani oleh tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun tak sedikit individu mengeluh dan waktu menjadi persoalannya. Prokrastinasi melibatkan kesenjangan antara keinginan dan niat dengan perilaku realita. Menurut Freud (dalam Ghufron & Risnawita, 2010) berkaitan konsep tentang penghindaran dalam tugas mengatakan bahwa individu yang dihadapkan pada tugas yang mengancam ego pada alam bawah sadar akan memunculkan ketakutan dan kecemasan. Menurut Dossett, dkk, Bijou, dkk, (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), kondisi yang rendah dalam pengawasan akan mendorong seseorang untuk melakukan prokrastinasi, karena tidak adanya pengawasan akan mendorong seseorang untuk berperilaku tidak tepat waktu.Permasalahan individu yang sering muncul banyak diakibatkan oleh ketidakmampuan individu dalam mengendalikan diri. Dewasa awal khususnya mahasiswa tentunya diharapkan oleh seluruh masyarakat mempunyai self-control yang lebih tinggi dibanding usia dibawahnya, yang berperan penting dalam membina hubungan dengan orang lain (interaksi sosial). Hal ini dikarenakan seseorang senantiasa hidup dalam berkelompok dan tidak mampu hidup sendiri. Seluruh kebutuhan fisiologis terpenuhi dari bantuan orang lain. Oleh karena itu, agar individu mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dibutuhkan kerjasama dengan membina hubungan dengan orang lain 10 dan kerjasama tersebut dapat berlangsung dengan baik jika individu mampu mengendalikan diri dari perbuatan yang merugikan baik diri sendiri atau orang lain. 2.4 Kerangka Berpikir Mahasiswa memiliki tuntutan antara lain mengembangkan kompetensi intelektual, fisik dan sosial, mengelola emosi, mengembangkan hubungan interpersonal, membangun identitas diri, mengembangkan tujuan hidup yaitu mencapai ketrampilan dalam suatu bidang pilihan, memilih kegiatan yang sesuai dengan cita-cita, memelihara motivasi untuk mencapai cita-cita, mengembangkan kesadaran akan tujuan hidup dan mengembangkan perencanaan karir, cita-cita dan komitmen keluarga (Supriatna, 2011). Khususnya mahasiswa yang berada di semester 4, 6 dan 8 yang telah melalui berbagai tuntutan. Secara umum dapat dilihat bahwa adanya penentuan tujuan hidup dalam menentukan keputusan dan tindakan efektif yang menjadi titik tolak yang dimilliki mahasiswa. Ketika mahasiswa membuat suatu keputusan serta melakukan tindakan yang sesuai nilai-nilai moral, maka hal tersebut termasuk indikator self-control. Selfcontrol merupakan kemampuan seseorang dalam mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika dihadapkan dengan persoalan (Hofmann, Baumeister, Förster, & Vohs, 2012). Self-control pada skala terdiri dari 5 dimensi, yaitu Self-discipline, Deliberate/non impulsive, Healthy Habits, Work Ethic, dan Reliability. Salah satu faktor yang mempengaruhi self-control adalah Reliability. Individu dengan Reliability, ketika dihadapi pada perencanaan jangka panjang, maka individu akan semaksimal mungkin untuk merencanakan pencapaian pelaksanaan jangka panjang karena faktor ini menggambarkan seseorang yang mampu dalam pencapaian diri (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Seperti merencanakan pada tuntutan tugas sebagai mahasiswa dengan menyusun secara terjadwal sebagai salah satu bentuk pencapaian jangka panjang. Menurut Solomon dan Rothblum (1984) prokrastinasi merupakan penundaan atau penghindaran terhadap tugas, memiliki kecenderungan mengulur waktu dalam memulai menyelesaikan tugas dengan melakukan aktivitas lain yang tidak berguna sehingga pekerjaan menjadi terhambat, tidak terselesaikan dengan 11 tepat waktu. Berdasarkan hal tersebut peneliti menduga adanya hubungan antara self-control dengan kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik pada mahasiswa di Jakarta. Peneliti juga berasumsi bahwa mahasiswa memiliki selfcontrol yang tinggi, akan memunculkan perilaku prokrastinasi yang cenderung rendah. Self-control (Kontrol Diri) Mahasiswa Aktif Tuntutan Akademis Prokrastinasi Gambar 1.1. Kerangka berpikir penelitian 12