BAB II TELAAH PUSTAKA Untuk menjawab rumusan permasalahan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dan menjelaskan serta menggambarkan fenomena konflik ekonomi politik di Zimbabwe, maka penulis menggunakan teori. Teori yaitu pekerjaan yang mendeskriptifkan apa yang terjadi, menjelaskan apa yang terjadi, dan meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu dimasa depan. Adapun teori-teori yang digunakan sebagai berikut : A. Ekonomi Politik Internasional Ekonomi politik merupakan disiplin teoritis, ilmu mengenai dalil-dalil ekonomi dan politik yang berhubungan satu sama lain. Dalil ekonomi berupa: koneksi-koneksi atau hubungan-hubungan yang acap-kali berulang dari tindakantindakan manusia yang kompleks, secara temporer juga terjadi karena perkembangan sejarah sesuatu masyarakat, sehingga kegiatan tersebut berulang-ulang dengan cara yang khas dan memiliki pola ketertibannya sendiri. Ini berkenaan dengan penyelidikan atas hubungan-hubungan yang teratur dan berulang-ulang antara unsurunsur sistemik dalam proses ekonomi dan politik.1 Mohtar Mas’oed menyatakan, bahwa “ekonomi politik internasional sudah memiliki legitimasi intelektual yang meluas namun jangan lupa bahwa paling tidak sejak awal 1920- 1960, ilmu sosial mengenai interaksi antara fenomena politik dan ekonomi sebagai bidang garap. Perhatian mengenai interaksi antara fenomena politik sejak lama mewarnai studi hubungan internasional. Mohtar Mas’oed mendefinisikan 1 Yanuar Ikbar. 2007. Ekonomi Politik Internasional 2, implementasi Konsep dan Teori.. Bandung : PT. Refika Aditama . Hal. 115 ekonomi politik internasional adalah memusatkan perhatian pada persoalan distribusinilai- nilai seperti kekayaan dan kebutuhan materiil, keamanan dan ketertiban serta keadilan dan kebebasan”.2 Balaam dan Veseth menyatakan, bahwa ekonomi politik adalah disiplin intelektual yang menyelidiki hubungan yang tinggi antara ekonomi dan politik. Ekonomi politik internasional adalah kelanjutan dari penyelidikan di tingkat internasional. Ekonomi politik jelas bukan hanya cara mempelajari atau memahami, ekonomi politik juga merupakan studi ketegangan antara market (pasar) dimana individu terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan sendiri dan Negara dimana individu yang sama melakukan tindakan kolektif yang berlaku demi kepentingan nasional atau kepentingan yang lebih luas yang didefinisikan masyarakat. 3 Konsep-konsep dan teori-teori dalam Ekonomi Politik dirumuskan oleh adanya dalil-dalil ekonomi dan politik secara substansial dan kontekstual. Secara substansial menyangkut kontensi atau isi yang terkandung dalam studi ataupun pengetahuan yang berkaitan tentang: apa yang dipelajari, untuk apa manfaatnya, sejauh mana wilayah keilmuannya dan kemudian menyangkut pula metode bekerjanya, sifat-sifat dasar filosofis dari hubungan-hubungannya berupa kausalitas, korelasi dan perkaitan secara timbal balik, sejajar atau saling mencoba mendominasi diantara proses ekonomi dan politik. Secara kontekstual adalah berkaitan dengan ruang dan waktu: kapan dan bilamana ekonomi politik itu berlaku, dimana dan sejauhmana jangka waktu bertahannya dalam sejarah. Dalam penggunaan kedua unsur menyangkut proses keilmuan dan teorisasi ekonomi politik itu akan menimbulkan 2 3 Mohtar Mas’oed. Loc. Cit. David N. Balaam and Michael Veseth. Loc. Cit. implikasi tertentu seperti efek atau pengimbasan, pengaruh dan dampak, peran dan fungsi serta lain-lainnya. Ekonomi politik juga merupakan studi dan penyelidikan atas aspek-aspek proses ekonomi yang terwujud dalam teori-teori ekonomi dan poltik yang teoretis, namun bukan sekadar sejarah ekonomi, ataupun ekonomi deskriptif. Dalam implikasinya, ekonomi politik mempelajari proses-proses ekonomi konkret dan/atau terapan/perpakai yang dapat diimplementasikan pada waktu-waktu tertentu dan situasi maupun kondisi tertentu.Ekonomi politik tidak semata-mata mempelajari perumusan ekonomi deskriptif secara kuantitatif berupa statistik ekonomi ataupun studi tentang pembagian ekonomi deskriptif dalam bentuk geografi ekonomi dan konvensional. Namun, masing-masing dari disiplin itu merupakan elemen penunjang dan sekaligus sebagai sumber masukan dari ilmu ekonomi konkret yang diperlukannya karena generalisasi-generalisasi dari ekonomi akan mungkin mencerminkan realitas. Ekonomi politik dalam makna teoritis, juga tidak terpisahkan (berkombinasi) dengan ekonomi terapan (applied economic) karena berkaitan dengan pembahasan/penyelidikan mengenai proses-proses ekonomi secara komprehensif yang bagian-bagiannya dihubungkan satu sama lain dengan hukum-hukum atau teoriteori ekonomi. 4 Baik substansi maupun kontektualitas dari ekonomi politik yang sehari-hari dikenal sebagai ilmu terpakai dari segenap aktivitas faktor ekonomi dan politik yang saling bersentuhan bagai dua sisi dari satu mata uang, antara lain yaitu politik ekonomi. Sebagian orang menulis ekonomi politik dalam istilah yang disamakan dengan sebutan Politik Ekonomi. Sesungguhnya istilah ekonomi politik memiliki perbedaan pemahaman. Politik ekonomi merupakan unsur dari ekonomi politik dalam 4 Yanuar Ikbar. Op. Cit. Hal. 112 makna yang praktis atau terapan (applied economic), biasanya merupakan aplikasi dari sebagian tugas dan fungsi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan ekonomi berbentuk strategi (strategy) dan/atau kebijakan (policy). Politik ekonomi umumnya dirancang melalui lembaga formal kenegaraan untuk kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan temporarisasinya. Dalam hal ini, pemerintah dapat melibatkan diri (intervensi) secara langsung dan tidak langsung untuk “mengatur” sirkulasi maupun gerak perekonomian nasional secara menyeluruh hingga ke mekanisme pasar.5 B. Utang Luar Negeri (ULN) Instrumen imperialisme dalam identifikasi umum mengambil dua wujud, yakni ULN (Utang Luar Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing). Negara-negara maju melalui kerja sama bilateral maupun lembaga multilateral (IMF dan World Bank) mengucurkan dana (utang) dalam jumlah yang cukup besar ke negara berkembang dengan kedok “bantuan”. Negara berkembang sendiri menerima utang tersebut dengan senang hati karena utang itu memang memilki tingkat bunga rendah dan masa pengembalian (gestation period) yang lama. Dibanding dengan mendapatkan dana dari lembaga swasta (perbankan) asing maupun domestik, jelas ULN mempunyai keunggulan dalam aspek itu.Langsung saja ULN menjadi instrumen yang populer dan diterima sebagai jalan alternatif untuk mengatasi persoalan “savinginvestment gap” di negara berkembang.6 Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa, utang luar negeri atau pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, 5 Yanuar Ikbar. Op. Cit Hal. 118 Ahmad Erani Yustika. 2009. Ekonomi Politik : Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 121 6 perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.7 Melalui gagasan dasarnya berupa upaya renegosiasi tersebut, dapat diharapkan masa pembayaran utang akan diperpanjang dan suku bunganya direndahkan. Sebelum bank internasional bersedia mempertimbangkan untuk memberikan keringanan tersebut, IMF menuntut agar negara pengutang secara terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari IMF. Selanjutnya, IMF baru bersedia memberikan rekomendasi dan bantuan berupa bantuan finansialnya (utang luar negeri) apabila negara- negara berkembang tersebut sebelumnya menjalankan ketentuan- ketentuan untuk memperbaiki perekonomian dan kondisi pembayaran mereka, yakni dengan melaksanakan kebijakan- kebijakan stabilisasi. Sobhan menyatakan, bahwa filosofi dari ULN merupakan komitmen dari negara maju untuk mengisi kesenjangan sumber daya (resource graps) dalam ekonomi makro negara berkembang. 8 Dalam konteks ini, efektivitas pemanfaatan ULN didesain untuk menjembatani kesenjangan tabungan/investasi dan ketimpangan neraca pembayaran (balance of payments) di negara berkembang dan meletakkannya sebagai jalur untuk membantu negara berkembang mengerjakan pembangunan yang mandiri (self-sustaining development). Dengan begitu, untuk menutupi kekurangan modal tersebut negara maju memberikan bantuan pembangunan (Official Development Assistance/ODA) dalam wujud proyek ULN yang didesain untuk mengembangkan infrastruktur negara berkembang. Melalui langkah seperti itu, secara 7 Pratama Rus Ramadhani. Loc.it 8 Rehman Sobhan dalam Ahmad Erani Yustika. Op. Cit. Hal. 122 akademik agenda kebijakan ULN mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari komunitas bisnis dari negara-negara donor yang memiliki pretense untuk menanamkan modalnya dalam jumlah yang besar bagi proyek-proyek pembangunan di negara berkembang.9 Dalam proses implementasinya, kasus ULN juga menjadi menarik untuk ditelaah secara lebih jernih. Setidaknya terdapat dua kerangka teoretis yang bisa diajukan untuk menunjukkan bahwa skema ULN dapat berpotensi besar untuk menenggelamkan negara-negara berkembang. Pertama, secara implisit bisa dikatakan bahwa ketika ULN sudah diberikan berarti antara negara donor dan negara penerima (recipient) telah sepakat terhadap segala hal menyangkut tujuan dan proses untuk mencapai tujuan dari ULN tersebut. Persoalannya, tujuan dari negara donor dan negara penerima tidak selalu sama, bahkan mungkin bertentangan karena masing-masing memiliki agenda (baik yang diungkapkan maupun yang disembunyikan). Bahkan bila tujuannya sama sekalipun, misalnya mengurangi kemiskinan, belum tentu cara yang dipakai sama. Negara donor mungkin ingin upaya pengurangan kemiskinan dilakukan dengan mengonsentrasikan pada kaum miskin di perkotaan, sebaliknya negara penerima ingin cara itu ditempuh dengan memfokuskan kepada para petani wilayah pedesaan. 10 Kedua, sangat mungkin terjadi kelompok-kelompok kepentingan di negara penerima utang memiliki preferensi yang berbeda dengan negara donor.Singkatnya, hampir bisa dipastikan ada kelompok kepentingan yang setuju dengan agenda negara donor, tetapi pasti juga ada kelompok kepentingan yang menolak agenda negara donor.Pada titik inilah konflik (politik, sosial) bisa muncul. Pertanyaannya, apakah 9 Ibid. Hal. 123 Ibid. Hal. 124 10 negara donor akan bertanggung jawab bila terjadi persoalan konflik tersebut?. Jawabannya tentu tidak sederhana, karena pada arah ini ULN tidak saja memiliki aspek objektif, tetapi juga justifikasi etis/moral.11 Secara operasional, utang haram (illegitimate debt) tersebut bisa dipecah dalam empat kategori berikut, yang kemudian dapat menjadi dasar penolakan negara penerima pinjaman untuk membayar utang. Pertama, pinjaman yang tidak bisa diterima (unacceptable loans), misalnya utang najis (odious debt) yang diberikan kepada pemimpin-pemimpin diktator dan pemerintah Apartheid di Afrika Selatan. Kedua, persyaratan-persyaratan yang tidak dapat diterima (unacceptable conditions), yakni riba (usury) dan persyaratan-persyaratan lain yang melanggar hukum nasional. Ketiga, utang yang tidak pantas/tepat (inappropriate loans), yakni utang ke negara miskin yang digunakan untuk kegiatan konsumsi. Pada dasarnya, utang ini diberikan secara tidak hati-hati (inprudent) sehingga membuat negara penerima utang tidak memiliki kesempatan/kemampuan untuk membayar utang tersebut. Keempat, persyaratan- persyaratan utang yang tidak pantas/tepat (inappropriate conditions), yakni persyaratan-persyaratan dari lembaga donor (khususnya IMF) yang menciptakan kondisi bgi negara penerima tidak mungkin bisa mengembalikan utang. Melalui empat kategori inilah setiap negara penerima utang bisa melakukan kalkulasi proporsi ‘utang haram’yang diterimanya, sehingga jumlah tersebut tidak perlu dibayar.12 11 Ibid. Hal. 125 Ibid. Hal. 128 12 Mengapa negara donor mau meminjamkan utang pada negara-negara berkembang?. Ada dua hal yang memotivasi mengalirnya bantuan luar negeri ke Negara-negara berkembang, yaitu motivasi politik dan motivasi ekonomi.13 Motivasi Politik. Motivasi politik dan ekonomi sesungguhnya sukar untuk dipisahkan, karena saling berkaitan satu sama lain. Namun apabila pemilahan itu terjadi, pada dasarnya karena ada latar belakang tertentu negara/lembaga pemberi bantuan terhadap negara-negara yang diberi bantuan baik atas dasar kesejarahan maupun pertimbangan-pertimbangan lainnya. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Uni Soviet memberikan bantuan kepada negara-negara yang sepaham dengan ideologinya, atau karena aliansi atau pertimbangan politik dan strategi lain yang dianggap menguntungkan peranan internasional mereka untuk memperoleh keuntungan politik domestiknya. Bantuan Marhall Plan Amerika Serikat, menjelang akhir tahun 1940-an selain membantu pemulihan ekonomi dan pembangunan Eropa Barat. Sedangkan Uni Soviet banyak membantu negara satelitnya, baik di Eropa Timur, Asia maupun Amerika Latin dengan imbal-balik pendirian pangkalan-pangkalan militer seperti terjadi di Vietnam, dan beberapa negara Afrika. Dengan demikian, bantuan luar negeri dapat saja dipandang sebagai perpanjangan tangan kepentingan negara-negara donor (meskipun kadar atau ukurannya tidak menentu).14 Motivasi Ekonomi. Motif ekonomi merupakan pembenaran yang paling rasional untuk pemberian bantuan, baik bagi negara donor maupun negara penerima 13 Basri dan Subri dalam Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta : Erlangga. Hal. 183 14 Yanuar Ikbar. Op. Cit. Hal. 190 bantuan. Namun demikian, argumentasi yang esensial dari bantuan luar negeri yang secara mendasar dapat dipahami dari beberapa konsep, sebagai berikut.15 Pertama, sumber daya dan kapabilitas keuangan dari luar (untuk pinjaman dan hibah) sebenarnya dapat memainkan peran yang rasional dalam rangka kepentingan timbal-balik ekonomi seperti harapan untuk mendapatkan berbagai sumber daya dan energi dari negara yang dibantu. Oleh karena itu, kebanyakan pinjaman luar negeri dikaitkan dengan konsepsi lainnya seperti kerjasama perdagangan yang lebih besar antara debitor dan kreditor. Kedua, bantuan luar negeri kebanyakan diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dan pemerataan di negara-negara yang diberi bantuan, dengan harapan bahwa tingkat daya beli masyarakatnya kian tinggi sehingga mampu membeli produkproduk industri negara donor. Kalau negara atau rakyat negara yang diberi bantuan tidak sanggup melakukan (mengefektifkan) daya beli, itu berarti pemasaran produk industri mereka menghadapi hambatan besar. Ketiga, bantuan luar negeri atau hibah pada umumnya tidak hanya berbentuk modal, tetapi juga tenaga ahli dan menejemen serta ahli teknologi. Secara ekonomis, bantuan luar negeri memberikan imbal-balik yang lebih besar bagi para tenaga asing (dari negara donor) yang bekerja/menjadi teknisi ahli di negara kreditor. Mereka ini disamping telah menjadi bagian dari capital flight dari devisa negara, juga memberikan masukan atas sebagian dari sumber pendapatan devisa melalui pajak pendapatan. Dengan demikian terjadi arus balik pendapatan (imbal-balik modal). Keempat, pengalihan investasi untuk tujuan mendekati pasar, perluasan industrialisasi internasional di luar negara pemberi bantuan dan pengalihan industri 15 Ibid. Hal. 191 senja dimana negara-negara donor sudah tidak melakukan produksi dengan penggunaan teknologi karena kemajuan yang mereka capai dalam teknologi baru. Teknologi senja ini dapat menjadi hambatan nasional karena tidak mampu lagi bangkit dan mengembangkan produktivitas (kalah bersaing). Untuk itu, dilakukan pengalihan kapital dan transfer teknologi ke negara-negara lain baik sebagai rekanan maupun sebagai pemasok/alih teknologi dengan imbalan kemudahan-kemudahan impor dan kerjasama substitusi industri. Berbagai alasan ekonomi atas nama bantuan luar negeri sebagai suatu alat pemecahan kendala-kendala dalam pembangunan negara-negara Dunia Ketiga, dalam realitasnya lebih banyak menguntungkan negara-negara pemberi dana. Bahkan dalam sejumlah kasus, bantuan luar negeri menjadi sumber penting bagi negara-negara donor untuk menghidupkan sumber perbankan dan moneter mereka. Bantuan berupa pinjaman luar negeri yang dipergunakan negara-negara berkembang tidak jarang akhirnya menjadi bantu sandungan karena ketatnya bunga pinjaman yang barus dibayar oleh negara debitor. Bantuan luar negeri bagi negara yang sedang berkembang dalam banyak hal malahan menjadi beban nasional atau bahkan berimplikasi menjadi krisis terhadap pembangunan. Brasil, Argentina, dan bahkan negara Amerika Latin lainnya yang terjerat utang luar negeri, mengalami situasi yang amat kritis. Bisa jadi benar, apa yang dikatakan bahwa pinjaman pokok mereka yang besar sudah sukar untuk dilunasi, namun bunga dan cicilan yang sudah dibayarkan sesungguhnya telah melampaui jumlah pinjaman sebenarnya. Tetapi, negara-negara kreditor tetap saja tidak memberikan prospek baik bagi keringanan, terlebih lagi untuk pemutihan pinjaman pokoknya.16 C. Teori Inflasi Inflasi merupakan masalah ekonomi yang dominan disamping masalah pengangguran yang sudah sejak lama dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan) ke Mesir dan juga negara Jerman mengalami “hyper-inflation”, pada awal tahun 1990-an dimana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunnya.17 Ackley mendefinisikan bahwa inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terusmenerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Hal ini berakibat pada menurunnya nilai mata uang. Pengalaman di berbagai negara yang mengalami inflasi menunjukkan bahwa beberapa penyebab inflasi adalah upah, krisis energi, , kekeringan, dan defisit anggaran.Akan tetapi, tidak satupun dari faktor tersebut mampu menjelaskan inflasi secara konsisten sepanjang waktu.18 “Price Theoritical Explanation” merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis inflasi. Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada peranan yang menyangkut anggaran dan paket kebijaksanaan yang bekait dengan sebab akibat inflasi dalam perekonomian. Proses perubahan harga relatif dipandang sebagai faktor utama penyebab inflasi. Pendekatan ini didukung oleh tiga kelompok 16 Ibid. Hal. 192 Iswardono. 1997. Uang dan Bank . : Yogyakarta : BPFE. Hal.213 18 Ibid. Hal. 214 17 yang menamakan dirinya sebagai kelompok Fiscal, kelompok Wicksell, dan kelompok Moneter. Dimana ketiganya memiliki perbedaan lokasi dan latar belakang. Kelompok Fiscal dan Wicksell memusatkan perhatiannya pada hal yang bersifat “non-objects”. Sementara itu, kelompok Moneter menempatkan perilaku uang sebagai penyebabnya. Kelompok Fiskal mengatakan bahwa pada umumnya inflasi merupakan hasil dari pengeluaran pemerintah, struktur pajak, dan si wajib pajaknya serta model anggaran belanja devisit dan juga beberapa kebijakan fiscal lainnya. Kelompk Wicksell memusatkan penjelasannya pada antisipasi produsen atas keuntungan riilnya, dimana antisipasi yang konstan akan menggeser kurva permintaan ke kanan sebagai akibatnya terjadi perubahan juga pada keuntungan riilnya yang mengakibatkan adanya kecenderungan kenaikan harga. Sedangkan kelompok Moneter menempatkan segala moneter yang diukur dengan perubahan relatif JUB sebagai penyebab utama inflasi beserta akseleratornya. Ada pula teori inflasi yang bersifat elektrik yang dikemukakan oleh Keynes yang mengatakan bahwa kenaikan pengeluaran di atas nilai output pada harga tertentu akan menyebabkan inflasi. Begitu inflasi muncul, aparat kelembagaan akan menentukan perilaku serta daya tahan inflasi. Pendekatan ini pada dasarnya menganggap bahwa inflasi merupakan masalah ekoonomi dan gejala ekonomi yang disebabkan karena berbagai isu yang berinteraksi secara luas. Menurut teori ini, tingkat harga dipengaruhi oleh beberapa perubahan luar (exogenous variables), dimana hubungan antara perubahan harga dengan perubahan luar ini tidak stabil, variasi perubahan luar berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.19 19 Ibid. Hal. 215 Inflasi dapat menyebabkan gangguan pada stabilitas ekonomi di mana para pelaku ekonomi enggan untuk melakukan spekulasi dalam perekonomian. Di samping itu inflasi juga bisa memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum akibat harga-harga yang naik. Selain itu distribusi pendapatan pun semakin buruk akibat tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan inflasi yang terjadi. Dijelaskan banyak pengertian inflasi yang disampaikan para ahli. Inflasi menurut A.P. Lehner adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Sedangkan menurut Boediono, inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilaimata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggirendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan salingpengaruh-mempengaruhi. Berdasarkan pada tingkat kelajuan kenaikan harga-harga yang berlaku, inflasi dapat dibedakan menjadi tiga golongan :20 20 Samuel Son dalam F. Aprilta. 2011. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53529/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf. Diakses pada 17 Februari 2013, pukul 22:01. 1. Inflasi merayap 2. Inflasi sederhana 3. Hiperinflasi Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lambat jalannya. Yang di golongkan ke dalam inflasi ini adalah kenaikan harga-harga yang tingkatnya dibawah 10% pertahun. Segolongan ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi merayap diperlukan untuk menggalakkan perkembangan ekonomi. Sedangkan inflasi sederhana, yakni apabila kenaikan harga-harga antara 10% - 30% pertahun. Harga barang pada umumnya naik dengan tingkat yang lebih tinggi dari kenaikan upah. Maka dalam inflasi merayap upah tidak berubah atau naik dengan tingkat yang lebih rendah dari inflasi. Sebagai akibatnya kenaikan harga-harga yang berlaku terutama mengakibatkan pertumbuhan dalam keuntungan perusahaan-perusahaan. Untung yang sangat besar akan menggalakkan pertambahan investasi.21 Hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat cepat , yang menyebabkan tingkat harga menjadi dua atau beberapa kali lipat dalam masa yang singkat. Di Indonesia sebagi contoh, pada tahun 1965 tingkat inflasi adalah 500 persen dan pada tahun 1966 ia telah mencapai 650 persen. inflasi seperti ini di golongkan sebagai hiperinflasi, yakni apabila tingkat inflasi mencapai 100% keatas tiap tahunnya.22 Hiperinflasi seringkali berlaku dalam perekonomian yang sedang mengalami perang atau kekacauan politik dalam negaranya. Dalam masa-masa seperti ini 21 22 Ibid Ibid pemerintah terpaksa menambah pengeluaran yang jauh melebihi pajak yang di pungutnya. Salah satu caranya adalah meminjam dari bank sentral atau mewajibkan bank sentral mencetak lebih banyak uang pembelanjaan pemerintah yang berlebihan tersebut mempercepat pertambahan pengeluaran agregat. Pada umumnya sektor perusahaan tidak akan mapu menghadapi kenaikan pengeluaran yang sangat berlebihan , dan sebagai akibatnya harga-harga akan naik dengan cepat. Apabila inflasi yang tinggi tingkatnya ini berjalan terus menerus, tingkat kegiatan ekonomi akan semakin menurun dan ini menyebabkan pendapatan nasional mengalami kemunduran dan pengangugran semakin meningkat . Ini berarti hiperinflasi cenderung mewujudkan stagfasi. Adapun efek buruk inflasi, yakni kenaikan harga-harga yang tinggi dan terus menerus bukan saja menimbulkan bebrapa efek buruk ke atas kegiatan ekonomi , tetapi juga kepada kemakmuran individu dan masyarakat. D. Konsep Kepentingan Nasional Kepentingan Nasional (National Interests) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini, yaitu keamanan (security) dari kesejahteraan (prosperity), merupakan dasar dalam merumuskan atau menetapkan kepentingan nasional bagi setiap negara. Hubungan bilateral yang dijalin antar dua Negara tidak terlepas dari kepentingan nasional masing- masing negara yang mendasarinya untuk melakukan kerjasama. Setiap negara mengandalkan dirinya pada kekuatan nasional untuk menyelenggarakan politik luar negeri yang mengabdi pada kepentingan nasional. Kepentingan nasional adalah sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.Politik luar negeri tersebut menjadi manifestasi utama suatu negara dari perilaku suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain. Jika beberapa negara memiliki keselarasan dalam kepentingan nasional yang diperjuangkan masing- masing baik itu alasan ideologis maupun pragmastis maka negara- negara tersebut dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dan sangat kooperatif satu sama lain.23 Miroslav Nincic menyatakan tiga asumsi dasar dalam mendefinisikan kepentingan nasional, yaitu :Pertama, kepentingan itu harus bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional. Artinya, pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkungan internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan.24 Definisi tersebut mengemukakan bahwa kepentingan nasional yang bersifat vital bagi suatu negara, yakni mengenai eksistensi kedaulatan dan yurisdiksi suatu wilayah.Upaya dalam mencapai kepentingan yang bersifat vital ini menggunakan instrument kekuatan militer (hard power) sedangkan kepentingan yang bersifat 23 Anak Agung Banyu Perwita danYanyan M. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : Rosdakarya. Hal. 35 24 Aleksius Jermadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 67 sekunder diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri melalui pertukaran kebudayaan, kerjasama dan instrument soft power lainnya. Sehingga dalam upaya pencapaian tujuan nasional tidak hanya melibatkan aktor negara melainkan para aktor non-negara lainnya yang telah didelegasikan guna mensinergikan segenap potensi kekuatan yang ada pada dataran domestic agar tujuan nasional dapat dicapai. Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri khas suatu negara.Adapun pengaplikasian kepentingan nasional tentunya tidak hanya berkaitan mengenai aspek perpolitikan, militer pertahanan keamanan wilayah tetapi juga mencakup beragam aspek kehidupan masyarakat lebih dekat, yakni kehidupan ekonomi untuk kesejahteraan hidup masyarakat juga aspek sosial budaya melalui diplomasi.Kepentingan nasional kini juga bersifat dimensional dan masing- masing dimensi berkaitan secara sistematik dan aplikasinya.Aspek kebudayaan yang dilmiliki masing-masing negara tentunya mempunyai karakteristik tersendiri. James N Rossenau mengatakan bahwa kepentingan nasional memiliki dua kegunaan, yakni :Pertama, sebagai analitis untuk menggambarkan, menjelaskan atau mengevaluasi politik luar negeri. Kedua, sebagai alat tindakan politik dan sarana untuk membenarkan, mengecam atau mengusulkan kebijaksanaan.25 Kepentingan nasional perlu mencerminkan kepentingan negara secara keseluruhan.Karena sebagai dasar politik luar negeri suatu negara, kepentingan nasional menjadi central point dalam upaya menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku suatu negara dalam perpolitikan internasional. Dalam kegiatan diplomatik pun sebagai bentuk kebijakan luar negeri didukung oleh kepentingan Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi. Jakarta : LP3ES. Hal. 140 25 nasional. Pengaplikasian untuk mencapai kepentingan nasional juga dipengaruhi oleh besar kecilnya kekuatan nasional yang mana salah satu unsure kekuatan nasional adalah kualitas diplomasi. Hal ini menjadi jelas bahwa kepentingan nasional selalu menjadi landasan sekaligus tujuan bagi suatu bangsa dan negara dalam menyusun kebijaksanaan serta strategi yang digunakan dalam pergaulannya di fora internasional. Sebagaimana dikatakan oleh Morgenthau, bahwa “kepentingan nasional suatu bangsa bukan hanya menyadari kepentingannya sendiri tetapi juga menyadari kepentingan negara lain”. Dengan demikian, kepentingan nasional merupakan prinsip fundamental dalam kerangka politik luar negeri. Kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum, tetapi juga merupakan unsur yang menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi negara. Unsur tersebut meliputi kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan, militer, kesejahteraan ekonomi serta peningkatan dan pertumbuhan demokrasi pada negara tersebut.26 26 Sumpema Prawira Saputera. 2006. Politik Luar Negeri RI : Kerangka Studi Analisis. Jakarta : Bina cipta. Hal. 33