Efek radioprotektif ekstrak tanaman rosela

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Radiasi Ionisasi
Radiologi merupakan ilmu diagnostik dalam dunia kedokteran. Radiologi
memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai
kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall
2002;
McCurnin
dan
Bassert
2006).
Sinar-X
merupakan
gelombang
elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik
sekaligus gelombang magnet. Energi sinar-X relatif besar sehingga memiliki daya
tembus yang tinggi. Sinar-X tebagi atas dua bentuk yaitu sinar-X karakteristik dan
sinar-X Brehmsstrahlung (Ulum & Noviana 2008). Panjang sinar-X 10-0.01 nm,
frekuensi 30 petahertz – 30 exahertz (30 x 1015 Hz _ 30 x 1018 Hz) dan memiliki
energi 120 eV – 120 KeV. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang
sinar ultraviolet (Thrall 2002).
Proses terbentuknya sinar-X diawali dengan adanya pemberian arus pada
kumparan filamen pada tabung sinar-X sehingga akan terbentuk awan elektron.
Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari
katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-X karakteristik dan
sinar-X Brehmsstrahlung. Sinar-X yang dihasilkan akan keluar dan jika
berinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah
efek foto listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron
berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi
dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Radiasi
ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara
langsung ataupun secara tidak langsung (Swamardika 2009).
Sinar-X dapat menembus bahan dengan daya tembus sangat besar dan
digunakan dalam radiografi. Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau
sumber zat, maka berkas tersebut akan bertebaran kesegala jurusan, menimbulkan
radiasi sekunder pada zat yang dilaluinya. Sinar-X dalam radiografi diserap oleh
bahan atau zat sesuai dengan berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut. SinarX apabila mengenai bahan/zat akan menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan
atau zat tersebut. Sinar-X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologik pada
4
jaringan. Perubahan tersebut dapat berupa aksi langsung yang akan menimbulkan
kerusakan pada makromolekul biologik (DNA, RNA, protein dan enzim) dan aksi
tidak langsung (melalui DNA) yang berakibat pada keturunan (Sulaeman 2003).
Efek Radiasi Ionisasi
Penggunaan radiasi sinar-X diatur dan diawasi sama halnya seperti
penggunaan radiasi pengion di bidang lain seperti industri atau penelitian.
Peraturan pengawasan hanya difokuskan pada keselamatan dosis pada pasien.
Rekomendasi untuk dosis pasien diatur melalui International Atomic Energy
Agency (IAIE) Basic Safety Standart 115 tahun 1996 (Sinaga 2006).
Penggunaan sinar-X juga memiliki nilai negatif secara biologis. Efek
biologis berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik
terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang
terpapar, sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar
radiasi. Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan
berupa efek stokastik dan deterministik. Efek stokastik adalah peluang efek akibat
paparan sinar-X yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas
ambang dosis sedangkan efek deterministik merupakan efek yang langsung terjadi
apabila paparan sinar-X melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan
bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Ulum dan Noviana 2008).
Ionisasi sinar-X membuat sinar-X berbahaya. Ionisasi terjadi ketika sebuah
poton mengeluarkan suatu elektron dari atom, dengan demikian menimbulkan
pasangan ion yang teridiri dari beban negatif elektron dan beban positif atom.
Setelah ionisasi terjadi sifat fisik dan fungsi dari molekul berisi ionisasi atom yang
berubah. Karena DNA melibatkan semua proses sel metabolik dan kologenik,
sebuah ionisasi bisa terjadi pada DNA dan menghasilkan perubahan biologi.
Dengan kata lain, sebuah luka dinduksi pada satu sel DNA dapat mempengaruhi
banyak sel bagi generasi berikutnya. Ionisasi pada DNA dapat meningkatkan (1)
kecepatan mutasi, (2) kecepatan dari aborsi atau kelainan fetus, (3) kerentanan
suatu penyakit dan memperpendek masa hidup, (4) resiko kanker, dan (5) resiko
katarak (Thrall 2002).
Sinar-X dapat memproduksi ionisasi elektron pada suatu jaringan. Karena
jaringan adalah 70% air, ionisasi pada molekul air menyebabkan pembentukan
5
dari radikal bebas kimia aktif. Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik
berupa atom maupun molekul yang memiliki electron tidak berpasangan pada
lapisan luarnya. Radikal bebas ini dilaporkan paling banyak merusak suatu
jaringan. Persentase kecil dari sinar-X berinteraksi secara langsung dengan DNA,
menghasilkan berbagai potensi perubahan, seperti sebagai dasar kerusakan
nukleutida, kerusakan helai DNA, dan hubungan silang DNA. Efek ini bisa
menjadi minimal apabila diperbaiki oleh enzim dengan cepat atau bisa
menyebabkan kerusakan yang mematikan pada sel (Thrall 2002).
Radiasi juga diketahui menginduksi stress oksidasi melalui pembentukan
radikal bebas, menyebabkan ketidakseimbangan pro-oksidan dan antioksidan di
dalam sel, dan mencapai puncak pada sel mati (Katz et al. 1996 & Kaur et al.
2000). Sejumlah sel memberikan respon terhadap radiasi dosis rendah dengan
perubahan pada ekspresi gen, meskipun jika radiasi tidak terdeposit pada sel
tersebut (Alatas 2006). Gelombang elektromagnetik memiliki energi yang sangat
tinggi, seperti sinar gamma atau sinar-X, disebut juga radiasi ionisasi karena
mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui.
Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam
jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada
manusia (Swamardika 2009). Efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada
usus (Grudzinski 2000), leukemia (Alatas dan Lusiyanti 2003), mengakibatkan
kanker (Cohen 2002), kerusakan pada sel darah putih perifer (Price dan Wilson
2005), menyebabkan leukemia (Yoshinaga et al. 2005) dan menyebabkan mutasi,
aberasi kromosom, inaktivasi sel dan efek seluler lainnya (Lusiyanti dan Syaifudin
2007).
Proteksi Radiasi
Keselamatan radiasi (Radioprotektif) adalah tindakan yang dilakukan
untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, dan
paramedis), anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Syarat
proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-X sebagai sarana penunjang diagnosa
radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1)
justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi
dan keselamatan radiasi. Keselamatan pasien dilakukan dengan meminimalisasi
6
dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan
paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan
teknik radiografi dengan memanfaatkan kVp tinggi (Ulum dan Noviana 2008).
Keselamatan operator, dokter hewan terhadap paparan radiasi dilakukan
dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-X,
menggunakan sarana proteksi radiasi seperti, apron Pb, sarung tangan Pb, kaca
mata Pb, pelindung tiroid Pb, alat ukur radiasi dan mempersingkat waktu radiasi.
Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan
desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan.
Ruangan dilapisi dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap
sinar-X yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum dan
Noviana 2008).
Rosela (Hibiscus sabdariffa L)
Genus Hibiscus (Malvaceae) terdiri dari 275 spesies pada daerah tropis
dan subtropis. Di daerah malaysia ditemukan 43 spesies (Dasuki 2001). Rosela
(Hibiscus sabdariffa L) Merupakan tanaman tropis, banyak dibudidayakan di
Thailand dan dikenal sebagai Krachiap Daeng. Rosela menghasilkan calyxes
berwarna merah yang dapat digunakan untuk membuat selai warna merah yang
cemerlang, jeli, dan jus (Hirunpanish et al. 2006). Sejak awal 1970an, rosela telah
menerima banyak perhatian besar sebagai potensi sumber pewarna makanan
alami, obat-obatan, dan kosmetik (Mazza dan Miniati 1993).
Gambar 1 bunga rosela (Anonim 2009)
Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya
populer sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin dalam bunga rosela
7
cukup lengkap, yaitu vitamin A, C, D, B1, dan B2. Bahkan kandungan vitamin Cnya/asam askorbat diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari
jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2,5 kali dari jambu biji. Vitamin C
merupakan salah satu antioksidan penting. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah
tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada kumis kucing (Widyanto dan Nelistya
2009).
Sistem Taksonomi Rosela (Hibiscus sabdariffa L) (Widyanto dan Nelista
2009):
Divisi
:
Spermatophyta
Subdivisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Dicotiledoniae
Ordo
:
Malvales
Family
:
Malvaceae
Genus
:
Hibiscus
Spesies
:
Hibiscus sabdariffa L
Berikut kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela segar dapat
dilihat di dalam tabel berikut:
Tabel 1 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela
Nama Senyawa
Campuran asam sitrat dan asam malat
Antosianin yaitu gossipetin (hydroxyflavone) dan hibiscin
Vitamin C
Protein; -Berat segar
-Berat kering
(Sumber : Maryani & Kristiana 2005)
Jumlah
13%
2%
0,004-0,005%
6,7%
7,9%
Hasil uji phytokimia tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak
mengandung antosianin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak akar
mengandung flavonoid seperti gossypetin, hibiscetine, dan sabdaretine (Chau et
al. 2000 & Pau et al. 2002). Flavanoid diakui secara luas sebagai antioksidan yang
memiliki beberapa khasiat kesehatan pada diet manusia (Koes et al. 1994 &
Pourcel et al. 2007). Akan tetapi fungsi antioksidan flavanoid dalam tanaman
belum jelas dan menjadi perdebatan (Hernandes et al. 2009).
8
Berikut kandungan gizi dalam 100 g kelopak rosela segar dapat dilihat
dalam tabel berikut :
Tabel 2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram
Nama Senyawa
Jumlah
Kalori
44 kal
Air
86,2 %
Protein
1,6 g
Lemak
0,1 g
Karbohidrat
11,1 g
Serat
2,5 g
Abu
1,0 g
Kalsium
160 mg
Fosfor
60 mg
Besi
3,8 mg
Betakarotein
285 mg
Vitamin C
14 mg
Tiamin
0,04 mg
Riboflavin
0,6 mg
Niasin
0,5 mg
Sulfida
Nitrogen
(Sumber : Maryani dan Kristiana 2005)
Rosela mengandung pigmen yang telah diidentifikasi sebagai antosianin,
yaitu cyanidine-3-glukosida dan delphidine-3-glukosida yang penting dalam
pembuatan makanan (Fakaye et al. 2009, Chau et al 2000, & Pau et al. 2002).
Penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak kasar, dan beberapa dari konstituen,
khususnya antosianin dan asam protocathechuic memiliki aktivitas antioksidan
yang kuat secara in vitro dan in vivo (Tanaka et al. 1994, Tanaka et al. 1995,
Tsuda et al. 1996, Tseng et al. 1997, & Wang et al. 2000). Aktivitas antihipertensi
minuman yang dibuat dari kelopak kering tanaman rosela telah ditetapkan pada
hewan model dan manusia (Fakaye et al. 2009).
Antosianin rosela dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi kesehatan
sebagai sumber antioksidan yang baik. Sianin adalah turunan dari struktur kation
flavium dasar yang memiliki kekurangan elektron inti, mereka umumnya sangat
reaktif. Laju kerusakan antosianin tergantung pada banyak faktor seperti suhu pH,
asam askorbat, dan oksigen. Teknik ekstraksi untuk antosianin rosela juga
memainkan peran utama dalam aktivitas antioksidan ekstrak (Fakaye et al. 2009).
Bunga rosela berkhasiat sebagai penurun kadar gula darah, anti bakteri,
anti virus, menghambat pertumbuhan kanker, asam urat, kolesterol, hipertensi,
9
dan mampu menurunkan berat badan (Mardiah dan Rahayu 2009). Kelopak rosela
mengandung antioksidan yang dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas
penyebab penyakit kronis, seperti kerusakan ginjal, diabetes, jantung koroner, dan
kanker darah. Antioksidan juga dapat mencegah terjadinya penuaan dini. Rosela
memiliki kandungan antioksidan lebih tinggi pada daun dari bunga (wong et al.
2009). Salah satu zat aktif yang berperan sebagai fungsi di atas adalah antosianin.
Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang memberikan warna merah pada
bunga rosela dan berperan mencegah kerusakan sel akibat paparan sinar ultra
violet berlebih. Salah satu khasiatnya adalah dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker, bahkan mematikan sel kanker tersebut (Widyanto dan Nelistya 2009).
Mencit
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini yaitu mencit. Mencit (Mus
musculus) telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke-19. Alasan
penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu memiliki potensial reproduksi yang
tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran
kecil, harga relatif murah, dan mudah dipelihara (Sirois dan Margi 2005).
Gambar 2 mencit penelitian (Isroi 2009)
Berat badan mencit berbeda-beda tiap individu. Umumnya berat badan
umur mencit 4 minggu berkisar antara 18-20 gram. Mencit liar dewasa bisa
mencapai 30-40 gram pada umur 6 bulan atau lebih (Smith dan Mangkoewidjojo
1987). Mencit laboratorium biasanya
mengkonsumsi pakan yang disediakan
dalam bentuk pelet dan merupakan hewan yang banyak beraktivitas pada malam
hari. Hal yang paling penting adalah mencit laboratorium tidak pernah tanpa air
minum, harus konstan disuplai minuman terus-menerus. Mencit merupakan
hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya, dan aktif pada malam
10
hari. Mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobot lebih
ringan dibanding mencit yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang,
kadang-kadang mempunyai sifat kanibal. Temperatur ruangan untuk pemeliharaan
mencit berkisar antara 20-25° C.
Sistem Taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Anonim 2011):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Rodensia
Subordo
: Sciurognathi
Family
: Muridae
Subfamily
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Darah
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antara sel
yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat protektif
terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri (Price dan Wilson
2005). Darah adalah jaringan pengikat dengan sel-selnya terendam dalam cairan
matriks yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Darah mempunyai
fungsi yang sangat penting di dalam sirkulasi (Frandson 1992). Darah merupakan
media transport O2, CO2 dan bahan metabolisme sel, mengatur keseimbangan
asam basa, pengontrol suhu, dan pengatur hormon serta sel imunitas (Ontoseno
2006).
Unsur darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel
darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi
sebagai transpor atau pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit
berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan trombosit untuk hemostasis. Sel-sel ini
11
mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan pembentukan optimal yang
konsisten untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan jaringan. Pembentukan ini disebut hematopoeisis (pembentukan dan
pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebre, pelvis,
sternum, iga-iga, dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan
meningkat, misalnya pada pendarahan atau penghancuran sel darah, maka dapat
terjadi pembentukan sel darah di sepanjang tulang panjang (Price dan Wilson
2005).
Gambar 3 skema hematopoiesis (Themi et al. 2004)
Proses hematopoiesis terbagi menjadi dua stem sel, yaitu stem sel limfoid
dan mieloid. Stem sel limfoid awalnya terkait dengan timus, dimana dua jenis
limfosit, limfosit-B, dan limfosit-T dapat berkembang. Masing-masing dari sel
limfosit memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam sistem kekebalan. Limfosit B dan
T tidak diciptakan bersamaan dari sel prekursor induk limfoid. Sel limfosit yang
terbentuk akan berada di dalam darah perifer untuk menjalankan fungsinya
sebagai penghasil antibodi dan memakan sel yang terinfeksi virus serta mengatur
sel leukosit lainnya (Wellman 2010).
Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel
mieloid sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda, yaitu garis
12
keturunan (sel darah merah) eritrosit, trombosit, monosit, eosinofil, basofil, dan
netrofil/makrofag. Proses terbentuknya eritrosit, trombosit, monosit, netrofil,
eosinofil, dan basofil sebelum menjadi matur (dewasa) terjadi di dalam sumsum
tulang seperti pada gambar 3. Tahap akhir dari garis keturunan mieloid ini
terdapat dalam sel darah perifer normal. Sumsum tulang dan timus merupakan
tempat pembentukan sel-sel darah. Apabila kebutuhan sel darah dalam tubuh
berkurang, timus dan sumsum tulang akan memproduksi sel-sel darah tersebut
(Wellman 2010). Pada umumnya, volume darah adalah 6-8% dari berat badan (Meyer dan
Harvey 2004). Volume darah tubuh hewan bervariasi jumlahnya tergantung pada
umur, keadaan kesehatan dan makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui, faktor
lingkungan, dan derajat aktivitas. Secara umum, jumlah maksimum darah yang
diambil adalah 1% dari berat tubuh hewan (Thrall & Campbell 2004).
Leukosit
Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam sistem imun di
dalam tubuh (Cunningham 2002). Leukosit dalam sirkulasi darah dan yang
bermigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, tempat
eritrosit dan trombosit juga dihasilkan secara terus-menerus. Dalam keadaan
normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan berbagai jenis leukosit imatur
dan kumpulan leukosit dewasa disimpan di dalam sumsum tulang sebagai
cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit
dalam darah perifer sangat terbatas tetapi berubah “sesuai kebutuhan” jika timbul
proses peradangan. Artinya, dengan dimulainya respon peradangan, sinyal umpan
balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pelepasan satu jenis
leukosit atau lebih ke dalam aliran darah (Price dan Wilson 2005).
Menurut Colville dan Bassert (2002), leukosit berfungsi untuk
mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing. Selain fungsi di atas,
leukosit juga mempunyai fungsi lain dalam proses fagositosis yaitu memakan
benda-benda asing yang masuk ke dalam aliran darah dengan gerakan amoeboid
dan dapat berenang diantara sel-sel jaringan (Tizard 1987).
Dalam keadaan normal, daraf perifer mencit mengandung leukosit dengan
jumlah berkisar 2.61-10.05 x 103cell/µL (Thrall 2004). Apabila jumlah leukosit
13
dalam darah meningkat melebihi kisaran normal, dikatakan hewan mengalami
leukositosis, sedangkan apabila terjadi penurunan jumlah leukosit dalam darah di
bawah kisaran normal, hewan dikatakan mengalami leukopenia (Vansteenhouse
2006).
Menurut Gunanti (2001), peningkatan jumlah leukosit dari kisaran normal
(Leukositosis) terjadi baik secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologi terjadi
akibat adanya peningkatan jumlah sel netrofil dan atau sel limfosit di dalam
sirkulasi dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Peningkatan sekresi
epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik
maupun emosional dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan
secara patologis, peningkatan jumlah leuksoit total di dalam sirkulasi dapat
disebabkan karena limfosit aktif melawan mikroorganisme.
Leukopenia dapat disebabkan oleh penyakit tifoid dan malaria, bahan
kimia dan fisika, hipersplenisme, dan anemia hipoplastik dan anaplastik
(Sulaeman 2003). Penurunan jumlah leukosit dari kisaran normal (leukopenia)
menyebabkan pertahanan tubuh menjadi turun sehingga menjadi faktor
predisposisi terhadap infeksi yang dapat mengancam kehidupan. Gejala yang
biasa dijumpai antara lain demam, kelemahan, sepsis, dan bahkan kematian
(Lukmasari 2006). Masa hidup sel darah putih pada hewan domestik sangat
bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan untuk monosit,
bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson 1992).
Menurut Thrall (2004) leukosit terdiri dari dua kelompok, yaitu: (1)
leukosit granulosit yang terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil, dan (2) leukosit
yang agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit. Jumlah dan ditribusi
masing-masing jenis sel darah putih atau differensial sel darah putih menjadi
faktor pendukung yang penting dalam mendiagnosa suatu penyakit (Cunningham
2002). Fungsi pertama sel leukosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem
imun (Saputri et al. 2010).
Radiasi sinar-X yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan
sel/penyakit yang diikuti dengan abnormalitas pada morfologi darah. Radiasi
dapat menyebabkan produksi sel darah yang tidak terkontrol dengan termutasinya
sel darah putih (Guyton dan Hall 1997). Contoh kerusakan atau penyakit dengan
14
abnormalitas morfologi darah yang ditimbulkan akibat radiasi adalah leukemia
(Salomon et al. 2009).
Limfoblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel limfosit.
Mieloblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel granulosit.
Mieloblas dan limfoblas disimpan di dalam pool mitosis sumsum tulang belakang.
Mieloblas merupakan cikal bakal terbentuknya sel leukosit granulosit (Raskin et
al. 2004). Limfoblas dan mieloblas tidak ditemukan dalam sirkulasi darah normal.
Limfoblas dan mieloblas ditemukan di sumsum tulang belakang. Secara
mikroskopis, limfoblas dapat dibedakan dari mieloblas dengan memiliki
nukleolus sedikit dibandingkan mieloblas dan inti kromatin lebih kental, dan tidak
memiliki butiran sitoplasma. Menurut Vansteenhouse (2006), adanya sel
limfoblas dan mieloblas di dalam sel darah perifer normal menandakan terjadinya
leukimia.
Netrofil (heterofil)
Netrofil merupakan sel yang bergerak aktif dan dalam waktu singkat dapat
berkumpul di tempat yang diperlukan. Netrofil merupakan garis pertama dari
pertahanan melawan dan menyerbu mikroorganisme, trauma jaringan, dan banyak
faktor yang menyebabkan peradangan (Teske 2010). Netrofil berpartisipasi pada
respon peradangan dengan cara atraksi kimia ke jaringan tempat terjadinya
peradangan dan fagosit organisme dan material asing yang lain. Setelah
fagositosis, granula lisosomal bergabung dengan fagosom untuk membunuh
organisme dan kemudian mendegradasi material dengan enzim pencernaan (Thrall
2004).
Netrofil merupakan sel darah putih yang memiliki granul-granul pada
sitoplasmanya. Granul-granul netrofil berkontribusi sebagai garis pertama
pertahanan inang dalam melawan bakteri, jamur, protozoa, dan beberapa virus
(Teske 2010). Netrofil memiliki granula yang tidak berwarna, mempunyai inti sel
yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak berbintikbintik halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60 -70 % (Handayani 2008).
Netrofil dewasa memiliki inti berbentuk kacang. Netrofil band memiliki inti
berbentuk tapal kuda, inti halus, sisi sejajar, dan tidak ada penyempitan dalam
15
membran inti. Netrofil band terdapat dalam darah yang normal dalam konsentrasi
kecil. Netrofil segmen memiliki inti berbentuk tapal kuda dan mengalami
penyempitan membran inti yang melipat kedalam berbagai bentuk (Thrall 2004).
Gambar 4 Gambaran normal netrofil (Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010).
Netrofil dalam sirkulasi dibagi antara kelompok sirkulasi dan kelompok
marginal (sel-sel darah putih yang terletak disepanjang dinding kapiler). Dengan
gerakan amuba, netrofil bergerak dengan cara diapedesis dari kelompok marginal
masuk ke dalam jaringan dan membran mukosa. Netrofil merupakan sistem
pertahanan tubuh primer melawan infeksi bakteri, metode pertahananya adalah
fagositosis. Kelompok granulosit konstan dipertahankan, dipengaruhi oleh
interaksi sel-ke-sel, dan hormon pertumbuhan serta sitokin yang dilepaskan dari
sel inflamasi (Price dan Wilson 2005).
Menurut Thrall (2004), jumlah neutrofil band sekitar 0-0.2 % dari total
leukosit darah dan jumlah netrofil dewasa sekitar 15-20 % dari total leukosit
darah. Netrofilia merupakan peningkatan jumlah netrofil dari kisaran normal.
Netrofilia dapat diakibatkan oleh peradangan, stress, respon kortikosteroid, latihan
yang berlebih, dan respon epinefrin (Raskin et al. 2004). Secara umum, kejadian
netropenia didahului dengan terjadinya penurunan jumlah leukosit dari kisaran
normal yang bersirkulasi. Netropenia dapat diakibatkan oleh stress dan
peradangan akut (Meyer et al. 1992 dalam maulida (2008) & Vansteenhouse
2006). Sedangkan menurut Raskin (2000), netropenia dapat terjadi karena faktor
kongenital, penyakit infeksius, keracunan, termediasi oleh imun, dan irradiasi.
Neutrofilia dapat pula terjadi karena proses fisiologis tubuh, induksi
kortikosteroid, peradangan, dan neoplasia.
Netrofil biasanya menghabiskan waktu 10 jam di dalam sistem vaskular
sebelum beremigrasi dari pembuluh darah ke jaringan. Emigrasi adalah peristiwa
16
acak dan searah dimana sel-sel tidak kembali ke sirkulasi lagi. Netrofil bermigrasi
ke jaringan dalam menanggapi bakteri dan rangsangan lainnya (Raskin et al.
2004) dan Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010. Dalam peradangan,
netrofil yang berlebih dalam jaringan mungkin tampak sebagai eksudat atau nanah
(Raskin et al. 2004).
Eosinofil
Eosinofil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus
sitoplasma bergranula kasar, refraktil, dan berwarna merah bila diwarnai dengan
zat warna asam, seperti eosin (Campbell 2004). Menurut Thrall (2004) eosinofil
jarang terlihat pada darah normal. Eosinofil memiliki granula bewarna merah
dengan pewarnaan asam, ukuran, dan bentuknya hamper sama dengan netrofil,
tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 24%
(Handayani 2008). Eosinofil terdiri dari protein yang menyelimuti dan merusak
membran parasit serta memiliki respon untuk membantu sebuah mekanisme
pertahanan menyerang infestasi larva parasit. Eosinofil memiliki inti bergelambir
dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar (Thrall 2004).
Gambar 5 Gambaran normal eosinofil (Hoffbrand 2006).
Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan mengalami kemotaksis.
Eosinofil sering kali diproduksi dalam jumlah yang besar pada penderita infeksi
parasit, dan eosinofil ini bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit.
Eosinofil memfagosit parasit dengan cara: (1) melepaskan enzim hidrolitik dari
granulanya, yang dimodifikasi lisosom; (2) dengan melepaskan bentuk oksigen
yang sangat reaktif yang khususnya bersifat mematikan; dan (3) dengan
melepaskan suatu polipeptida yang sangat larvasidal, yaitu yang disebut protein
dasar utama dari granulanya (Guyton dan Hall 1997).
17
Jumlah eosinofil pada mencit sekitar 0-3% dari total jumlah leukosit
(Thrall 2004). Eosinofilia pada hewan domestik merupakan peningkatan jumlah
eosinofil dalam darah dari kisaran normal. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi
parasit, reaksi alergi, dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun
(Frandson 1992). Penurunan jumlah eosinofil dari kisaran normal atau
eosinopenia dapat disebabkan oleh stress dan respon dari kortikosteroid (Raskin et
al. 2004)
Basofil
Basofil merupakan granulosit yang sangat jarang, jumlahnya sangat rendah
dalam aliran darah yaitu 0.5% (Teske 2010). Basofil memiliki granula bewarna
biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi
mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam protoplasmanya terdapat
granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5% di sumsum merah
(Handayani 2008).
Gambar 6 gambaran darah basofil (Themi et al. 2004)
Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Basofil membawa heparin,
faktor-faktor pengaktifan histamine, dan trombosit dalam granula-granulanya
untuk menimbulkan peradangan pada jaringan, fungsi sebenarnya tidak diketahui
dengan pasti (Price dan Wilson 2005). Membran sitoplasma basofil dikelilingi
immunoglobulin E seperti sel mast. Basofil dan sel mast sangat berperan dalam
berbagai macam reaksi alergi. Konsentrasi basofil pada sirkulasi sangat rendah.
Jumlah basofil mencit sekitar 0-0.2% dari total leukosit darah (Thrall 2004).
Basofilia merupakan peningkatan jumlah basofil dari kisaran normal dalam
sirkulasi. Basofilia pada hewan domestik dapat terjadi karena hipotirodismus
18
a
ataupun
sunntikan estroggen. Penuruunan jumlah
h sel basofiil dari kisarran normal
d
dalam
sirkullasi darah attau basopeniia dapat terjadi karena ssuntikan korrtikosteroid
p
pada
stadium
m kebuntingaan (Frandsonn 1992).
L
Limfosit
Limffosit merupaakan merupaakan sel daraah putih yanng memiliki presentase
p
paling
tinggi dalam mennyusun sel darah
d
putih atau
a leukosit (O’Malley 2005). Sel
l
limfosit
berrkembang dalam
d
jaringgan limfe. Ukuran
U
bervvariasi dari 7 sampai
d
dengan
15 mikron (Haandayani 20008). Jumlahh limfosit m
mencit dalam
m sirkulasi
a
adalah
48.5--83.9% dari total
t
leukosiit dalam leuk
kosit darah ((Thrall 2004)).
Limffosit ada 2 macam,
m
yaituu limfosit T dan limfosiit B (Handayyani 2008).
S
Sistem
imun
n tubuh terdiiri atas dua komponen
k
u
utama,
yaitu limfosit B dan
d limfosit
T Sel B berrtanggung jaawab atas sinntesis antiboodi humoral yang bersirkkulasi yang
T.
d
dikenal
den
ngan nama imunoglobuulin. Sel T terlibat daalam berbagai proses
yang diperaantarai oleh IImunoglobuulin plasma. Imunoglobuulin plasma
i
imunologik
m
merupakan
imunoglonu
ulin yang ddisintesis dii dalam sell plasma. Sel
S plasma
m
merupakan
sel khusus turunan sel B yang mensintesiis dan mennsekresikan
iimunoglobulin ke dalam
m plasma sebbagai respon terhadap paajanan berbaagai macam
a
antigen
(Tesske 2010).
Gaambar 7 Gambaaran normal Liimfosit (Hoffbrrand (2006) daalam Saputri ett al. 2010).
Limffosit terutam
ma diprodukksi dalam berbagai
b
orggan limfoid,, termasuk
k
kelenjar
lim
mfe, limpa, timus,
t
tonsiil, dan berbbagai kantonng jaringan limfoid di
m
mana
saja dalam
d
tubuh, terutama daalam sumsum
m tulang daan plak peyeer di bawah
e
epitel
dindiing usus. Limfosit
L
sebbagian besarr disimpan dalam berbbagai area
j
jaringan
lim
mfoid, kecuaali pada seddikit limfosiit yang secaara temporeer diangkut
d
dalam
darah
h (Guyton dan Hall 1997). Lim
mfosit memaasuki sistem
m sirkulasi
19
bersama dengan aliran limfe dan masuk ke jaringan dengan cara diapedesis (Teske
2010). sel limfosit merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi, dosis
tunggal 0,2 Gy sudah dapat menimbulkan aberasi kromosom yang dapat dideteksi
(Lusiyanti dan Syaifudin 2007).
Peningkatan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfositosis) dapat
terjadi karena induksi epinefrin, penyakit infeksius, dan neoplasia, sedangkan
penurunan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfopenia) dapat terjadi karena
induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik,
congenital, dan mastositosis (mastositemia) (Raskin 2000).
Monosit
Monosit
memiliki
ukuran
yang
lebih
besar
daripada
limfosit,
protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik
sedikit kemerahan. Inti selnya berbentuk bulat atau panjang. Monosit adalah
leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 μm dan berjumlah 3-9% dari seluruh sel
darah putih. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi
dalam bentuk imatur dan mengalami proses pematangan menjadi makrofag
setelah masuk ke jaringan. Fungsinya sebagai fagosit (Handayani 2008). Jumlah
monosit pada mencit adalah sekitar 0-3% dari total leukosit darah (Thrall 2004).
Gambar 8 Gambaran normal monosit (Handayani 2008).
Monosit berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan
glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin 1 dan zat
farmakologi aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Monosit juga merupakan
makrofag muda yang beredar dalam darah dan berperan dalam mempertahankan
tubuh terhadap infeksi organisme, sel yang nekrotik dan reruntuhan sel. Monosit
20
normal berada di dalam darah sekitar 40 jam dan dapat hidup di jaringan dalam
beberapa bulan. Monosit normal ditemukan di bagian yang spesifik di beberapa
organ (Tizard 1987).
Sebelum menjadi monosit, sel ini terlebih dahulu menjadi monoblas.
Monoblas biasanya ditemukan di sumsum tulang dan tidak muncul dalam darah
perifer yang normal. Mereka tumbuh menjadi monosit yang pada gilirannya
berkembang menjadi makrofag (Thrall 2004). Monosit juga memiliki kemampuan
untuk menelan dan mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal, dan
sel-sel debris (Campbell 2004).
Monositosis adalah jumlah monosit melebihi kisaran normal monosit
dalam leukosit. Monositosis dapat terjadi karena infeksi bakteri kronis, penyakit
protozoa, netropenia kronis, penyakit Hodgkin, serta leukemia miemonositik dan
monositik (Sulaeman 2003). Monositopenia atau penurunan jumlah monosit dari
kisaran normal dapat terjadi akibat induksi virus dan netropenia (Price dan Wilson
2005).
Download