ISLAM MAJU DI NEGERI TIRAI BAMBU Menjelang akhir 1980-an, jumlah Muslim di Cina berjumlah 20 juta. Sensus pada 1982 menyebut angka sekitar 15 juta. Warga Muslim itu berasal dari 10 etnis yang berbeda. Yang terbesar Hui, yang merupakan separuh dari populasi Muslim di Cina. Mereka tersebar di seluruh daratan Cina dengan konsentrasi terbesar di bagian utara Propinsi Ningsha. Setelah Hui, populasi Muslim yang berpengaruh adalah mereka yang berbahasa Turki dan ras Turki (kecuali ras Mongol Salars dan Aryan Tajiks). Kelompok Turki terbagi dalam Uygurs, Uzbeks, Kazakhs, Kirgiz, Tatars dan Dongshiang. Hampir semua Muslim Turki ditemukan di Propinsi (Barat) Kansu dan Xinjiang. Kelompok terbesar kedau adalah Uygurs. Mereka umumnya tinggal di Propinsi Xinjiang. Muslim di wilayah ini mencapai porsi 60% dari total populasi. Presentasi ini relatif besar, namun masih kurang dibanding proporsi sebelum arus masuk Cina non Muslim yang menjamur saat revolusi Kebudayaan. Deislamisasi juga telah berlangsung di beberapa wilayah lainnya. Mereka mulai aktif dalam kancah politik internal negara. Mereka sudah berani menggelar demo besar meminta kebebasan beragama yang lebih luas. Dua tahun yang lalu, ribuan warga Muslim berdemo dengan konvoi keliling Beijing. Mereka menuntut penghapusan literatur antiislam yang masih banyak beredar di toko-toko buku. Begitulah, ekspresi Islam di Cina berkembang bersama tumbuhnya asosiasi dan perkumpulan aktivis Muslim antar-etnis. Literatur Islam kini dengan mudah dapat ditemukan. Ada sedikitnya delapan versi terjemahan Al-Qur’an beredar di Cina, dalam bahasa Cina, Uygur dan Turki. Para Muslim Cina juga bisa bebas pergi naik haji ke Mekkah. Kini jumlah muslim di Cina konon mencapai lebih dari 35 juta. Jumlah yang lemayan besar. Tetapi, pengamat Yusuf Abdul Rahman berpendapat jumlah yang sebenarnya bisa lebih besar lagi. Pasalnya, pada tahun 1936 saja Muslim Cina sudah berjumlah 48 juta orang. Dengan asumsi pertumbuhan islam sama dengan pertumbuhan penduduk yang berlipat 3-4 kali, maka dia memperkirakan ada sekitar 150 juta Muslim di Cina. Kapan peertama kali Islam masuk Cina? Belum ada informasi resmi yang disepakati. Tetapi, menurut catatan kuno dari Dinasti Tang, Saad bin Abi Waqqas RA, sahabat Rasulullah SAW, telah menjejakkan kakinya di Cina pada tahun 650. Ekspedisi Saad itulah yang dipercaya sebagai lahirnya Islam di ‘jazirah’ Mongolia. Meski Kaisar Yung-Wei, yang berkuasa waktu itu, melihat Islam terlalu membatasi seleranya, dia tetap menghargai Islam sebagai agama yang dekat dengan semangat Konfusius. Untuk alasan ini, dia memberi kebebasan penuh kepada Saad untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. Kaisar malah memerintahkan pembangunan Masjid Memorial di Canton. Masjid pertama di Cina itu kini berumur hampir 11 abad. Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Cina dan pusat jantung Islam berlanjut. Banyak saudagar, turis dan usahawan muslim datang ke Cina untuk tujuan bisnis dan penyebaran agama. Sebelum masa kerasulan Muhammad SAW, Arab sudah menjalin hubungan dagang tak langsung dengan Cina. Pada kekhalifahan Bani Umayyah dan Abbasiyah hubungan dagang itu meningkat pesat. Setidaknya ada enam gelombang saudagar Aran ke Cina. Semuanya diterima dengan hangat oleh masyarakat Cina. Kaum Muslim yang bermigrasi ke Cina bahklan pelan-pelan membawa berkah ekonomi dan pengaruh ke negara itu. Mereka secara virtual mendominasi bisnis ekspor/impor pada masa Dinasti Sung (960-1279). Bahkan, Lembaga Pelayaran sudah dibangun kalangan Muslim dalam periode itu. Meski banyak saudagar Muslim sukses, mereka dikenal sebagai orang-orang yang berlaku adil, displin dan taat aturan. Di luar bangsa han dan Hui (mayoritas penganut Islam), banyak etnis lain di Cina tertarik amsuk Islam. Pada era Dinasti Ming (1368-1644 CE), Islam tumbuh subur dan mencapai puncak kejayaannya. Warga Muslim yang awalnya berstatus asing, dalam tradisi, bahasa dan keimigrasian, di bawah Dinasti Ming mendapat apresiasi tinggi. Secara bertahap mereka mendapat perlakuan yang sama dengan warga lainnya, dan secara penuh kemudian bisa berintegrasi dengan masyarakat Han. Ada contoh menarik dalam proses sintesa MuslimCina. Mereka yang menikahi wanita Han kemudian mendapatkan nama keluarga Han. Mereka yang menjadi muslim kemudian mendapatkan nama panggilan Mo, Mi, dan Mu yang diadopsi dai nama-nama seperti Muhammad, Mustafa, dan Masoud. Contoh lain adalah Ha (Hasan), Hu (Husein), dan Sai (Said). Selain nama, mode pakaian Muslim dan pola makan menjadi bagian dari sintesa budaya CinaMuslim. Pada saat yang sama kaum Muslim mulai belajar dialek Han dan membaca huruf Cina. Pendek kata, pada Era Ming, kaum Muslim tak lagi diperlakukan berbeda dengan orang Cina lainnya. Pada periode itu hanya ada sedikit gesekan budaya antara kelompok Muslim dan non Muslim.Naiknya Dinasti Qing (1644-1911), kemudian mengubah segalanya. Qing adalah orang Manchu (bukan Han), dan mereka awalnya warga minoritas di Cina. Dengan taktik ‘pecah belah dan menguasai’, orang-orang Manchu berhasil membuat konflik antaretnis Muslim, Han, Tibet dan Mongolian. Mereka menebar sentimen antiislam kemana-mana. Orang Han yang bekerja sebagai tentara diperintah untuk menekan wilayah-wilayah Muslim di kawasan itu. Keadaan realtif membaik tatkala Dinasti Manchu jatauh pada 1911. Melalui pendirian Republik Rakyat Cina (RRC), Dr. Sun Yat Sen segera membuat proklamasi bahwa orang-orang Han, Hui (Muslim), Man (Manchu), Meng (Mongolia), dan Tsang (Tibet) punya hak dan kedudukan yang sama. Untuk sesaat, Sun Yat Sen berhasil mempersatukan faksi-faksi di Cina. Sun Yat Sen turun, kebijakan pemerintah RRC kembali represi terhadap Muslim. Terlebih setelah Mao Zedong melakukan revolusi tahun 1948 dan memerintah Cina dengan ideologi komunis. Sejak itu Muslim dianggap minoritas dan harus diperangi. Tahun 1953, kelompok muslim di cap sebagai kelompok separatis yang berusaha mendirikan negara sendiri. Dengan dalih menumpas gerombolan separatis, angkatan bersenjata Cina kala itu secara brutal menyerang wilayah-wilayah Muslim. Pada saat bersamaan, propaganda antiislam terus dilakukan, bahkan dengan cara-cara lebih liar dan penuh kekerasan. Warga Muslim, etnis Uygur khususnya, mendapat penderitaan dan tekanan luar biasa dari rezim Mao Zedong dan revolusi kebudayaannya. Atas nama komunisme, mereka meneror dengan kampanye untuk menghabisi semua akar Islam dan identitas etnis non-Cina. Uygur, yang selama berabad-abad menggunakan huruf Arab, dipaksa untuk mengadopsi huruf Latin. Uygur yang umumnya beragama Islam dipaksa menjalani kerja paksa pada sekitar 30.000 kawasan komunis yang sebelumnya didominasi muslim. Para imam dan ustad disiksa, ditangkapi dan dijebloskan masuk penjara tanpa sebab. Mereka juga dipaksa beternak babi, bahkan di lokasi dekat masjid yang pro-pemerintah. Dengandalih penyatuan sistem pendidikan nasional madrasah (sekolah) Islam ditutup. Muridmuridnya dipaksa masuk di sekolah-sekolah yang hanya mengajarkan Marxisme dan Maosime. Akibat kebijakan represif ini ada 29.000 masjid ditutup, para imamnya dihabisi. Sekitar 360.000 aktivis Muslim dieksekusi tanpa alasan yang jelas. Setelah Mao tewas bersama pandangan Marxist garis kerasnya, pemerintahan komunis di Cina memberi kebebasan yang lebih besar bagi Islam dan kaum Muslim. Tetapi, diskriminasi masih berlanjut dan dilakukan oleh para imigran Cina (dukungan pemerintah). Mereka tinggal di Propinsi Xinjiang, yang sebenarnya wilayah Muslim. Suku Han yang Muslim bermigrasi keluar. Jumlahnya sekitar 200.000 per tahun. Banyak wilayah yang dahulunya dihuni mayoritas Muslim, kini menjadi wilayah minoritas. Untunglah, deklarasi kebebasan beragama pada 1978 telah membuka kehidupan Islam di Cina. Kampanye asimilasi kembalu berkumandang. Para Muslim Turki diperbolehkan mengekspresikan identitas budayanya. Pemerintah membolehkan kembali penggunaan huruf Arab dan bahasa Uygur. Warga Muslim tak menyia-nyiakan peluang. Di berbagai wilayah Cina kini kembali tumbuh sekitar 28.000 masjid, 12.000 di antaranya ada di wilayah Propinsi Xinjiang. Jumlah imam juga terus bertambah. Di Propinsi Xinjiang sendiri telah bertambah lebih dari 2.800 masjid.(im) Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 07-2002