FILSAFAT DALAM KEHIDUPAN

advertisement
FILSAFAT DALAM KEHIDUPAN1
Husain Heriyanto
Sejauh mana relevansi filsafat dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani ? Apakah
filsafat mempunyai manfaat dan implikasi praktis dalam kehidupan konkrit kita ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di muka, perlu kiranya diungkap munculnya
filsafat dalam sejarah peradaban manusia. Secara historis filsafat lahir dari refleksi kritis
terhadap kehidupan konkrit keseharian untuk menangkap makna-makna tersembunyi di balik
berbagai fenomena. Menjalani kehidupan tanpa mengerti apakah kehidupan itu dan mengapa
kita mesti hidup merupakan kehidupan yang tak layak dan tak bernilai. Bertindak menurut
dorongan naluriah semata tanpa kesadaran dan pemahaman merupakan tindakan yang sulit
dipertanggungjawabkan secara rasional dan kaidah kemanusiaan. Menikmati keindahan gegap
gempitanya alam raya yang terbentang luas tanpa mencoba menangkap hikmah dari keteraturan
dan keindahan alam itu bukan merupakan pandangan khas manusia.
Filsafat merenungkan dan mempertanyakan hal itu semua, mulai tentang hakekat hidup,
tujuan hidup, tindakan khas manusiawi (perbuatan akhlaqi), dan fenomena-fenomena alam
semesta. Dari renungan filosofis tersebut, secara berturut-turut lahirlah filsafat manusia
(antropologi), etika, kosmologi, dan berpuncak pada tentang sumber segala fenomena dan
maujud di alam ini, yaitu Tuhan (teologi).
FILSAFAT BERTOLAK DARI KENYATAAN DAN PERTANYAAN
Filsafat tidak datang begitu saja dari langit. Filsafat lahir dari pergumulan hidup manusia
itu sendiri dengan segala problema kehidupan. Filsafat merupakan refleksi atas pengalaman
hidup yang konkrit, mencoba mencari hakekat setiap permasalahan yang dihadapi manusia.
Dalam istilah van Peursen, filsafat mencoba menarik akar pengalaman manusia. Tanpa
pengalaman konkrit, tidak akan ada filsafat. Tanpa problema kehidupan, tidak akan lahir
Socrates dan Plato yang berjuang menentang kaum relativis-skeptis, tidak akan lahir Ibn Sina
dan Mulla Shadra yang menawarkan jalan untuk transformasi jiwa ke arah kesempurnaan, tidak
akan lahir Newton dan Einstein yang merumuskan konsep fisika mereka berdasarkan paradigma
mereka masing-masing terhadap alam.
Dengan demikian, filsafat berpijak pada kenyataan. Namun, filsafat tidak berhenti pada
kenyataan apa adanya begitu saja. Ia mempertanyakan kenyataan. Ia tidak mau terkicoh oleh
fenomena yang hadir begitu saja tanpa dimengerti dan dipahami. Filsafat mencoba memahami
kenyataan dan realitas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, radikal (mendasar,
mengakar), komprehensif (menyeluruh), sistematis, dan integratif (terpadu). Dalam hal ini cara
kerja filsafat sama dengan cara kerja ilmu pengetahuan manusia umumnya, yakni bertolak dari
problema, lalu merumuskan problema itu dengan pertanyaan-pertanyaan dan hipotesis-hipotesis,
dan kemudian menarik kesimpulan. Namun, karena pandangan filosofis bersifat menyeluruh,
mengakar dan terpadu, maka pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban filosofis juga
mendalam dan menyeluruh.
Sebagai contoh, pertanyaan tentang kriteria perbuatan yang akhlaqi (bermoral),
dipandang dari perspektif psikologi mungkin adalah perbuatan yang menyempurnakan jiwa;
1
Sebuah bahan bacaan tambahan mata kuliah Filsafat Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, Salemba, 2009
1
dipandang dari perspektif sosiologi mungkin kriterianya adalah perbuatan yang menciptakan
ketertiban sosial. Masing-masing perspektif mungkin benar, namun parsial, atomistis, dan agak
fenomenal, artinya hanya mengungkap sebagian ciri-ciri dari perbuatan akhlaqi. Sementara
menurut perspektif filsafat, kriteria utama perbuatan akhlaqi ada dua, yaitu : adanya kesadaran
moral dan kebebasan pilihan. Menurut sudut pandang etika, kualitas moral perbuatan menolong
orang lain misalnya, tergantung pada adanya kesadaran tanggung jawab dan tugas kemanusiaan
dan adanya pilihan-pilihan lain. Orang yang sekedar menolong secara alamiah tanpa kesadaran
dan tanpa ada pilihan lain, misalnya karena rasa takut, segan kepada orang lain, menurut etika,
perbuatan orang tersebut belum memenuhi standar perbuatan akhlaqi.
FILSAFAT : EKSPRESI RASA INGIN TAHU
Munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis dan asasi yang dilontarkan para filsuf berasal
dari rasa heran, kagun, dan takjub terhadap berbagai peristiwa alam dan manusiawi. Rasa heran
ini adalah ciri khas manusia. Perbedaan seorang anak manusia dengan anak harimau adalah
bahwa anak manusia sering bertanya dan selalu bertanya terhadap peristiwa-peristiwa yang
dialaminya, sementara anak harimau hanya memandang dingin berbagai fenomena yang
dialaminya tanpa rasa ingin tahu. Dari dari heran dan takjub inilah muncul rasa ingin tahu
(sense of curiosity) pada diri manusia yang pada gilirannya mendorongnya melakukan
penyelidikan-penyelidikan berupa kegiatan-kegiatan penelitian keilmuan dan renunganrenungan filosofis.
Munculnya gagasan Dunia Idea Plato bermula dari renungan dan keprihatinan Plato
terhadap krisis moral dan kebenaran yang dialami masyarakat Yunani 2500 tahun lalu menyusul
dominannya pengaruh kaum sophis yang relativis dan skeptis terhadap nilai-nilai moral
universal. Renungan Ibn Sina tentang identitas dan keunikan kepribadian manusia menelurkan
gagasan dan keyakinan tentang kemandirian dan keabadian jiwa manusia. Fisika klasik Newton
merupakan hasil renungan Newton terhadap jatuhnya apel yang melahirkan gagasan gravitasi
dan karya besarnya Mathematical Principles of Natural Philosophy. Begitu pun renungan
Einstein tentang konsep ruang-waktui dan materi-energi telah melahirkan Teori Relativitas yang
bersama mekanika kuantum mengubah pandangan manusia terhadap alam (fisika modern).
Boleh dikatakan, peradaban manusia bermula dari rasa takjub yang ada pada setiap diri manusia.
Sayangnya, rasa takjub ini secara perlahan-lahan hilang sesuai dengan meningkatnya
usia manusia. Sebetulnya bukan usia yang menyebabkan hilangnya rasa takjub ini, namun lebih
karena manusia telah jatuh dalam belenggu kebiasaan dan rutinitas. Ia telah tenggelam dalam
dunia keseharian dan dunia fenomena, sehingga tidak mampu lagi keluar menerobos kebiasaan.
Terjadilah apa yang disebutkan oleh Bobby de Porter dalam Quantum Learning sebagai
peristiwa learning shutdown (pembuntuan proses belajar). Oleh karena itu, Bobby de Porter
menyarankan orang untuk selalu memperbaharui pandangannya terhadap realitas guna selalu
menghidupkan rasa takjub sebagaimana yang kita alami sewaktu berumur 2 tahun hingga 7
tahun (usia masuk sekolah, dunia rutinitas).
Dalam hal in, filsafat mempertahankan rasa takjub yang ada pada diri kita sehingga
selalu tidak puas dengan ilmu dan pengalaman yang telah kita miliki. Karena filsafat menerobos
belenggu kebiasaan dengan menangkap makna di balik berbagai fenomena kehidupan seharihari, maka filsafat dapat memberi seseorang pandangan dan wawasan yang mengarah kepada
dunia yang penuh kemungkinan baru. Filsafat seakan mengembalikan rasa takjub kita yang
telah dikikishilangkan oleh dunia rutinitas dan belenggu kebiasaan.
Filsafat juga
mempertahankan rasa ingin tahu (sense of curiosity) yang ada pada kita sehingga pada
gilirannya diharapkan dapat mencetuskan gagasan-gagasan segar, orisinal, dan kreatif.
2
KITA SEMUA ADALAH FILSUF
Setiap diri kita memiliki pra-pemahaman – pra-pemahaman tertentu terhadap realitas.
Kita dilahirkan ke dunia tidak dengan pikiran atau asumsi kosong seperti kertas kosong,
melainkan hidup dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan prapemahaman-prapemahaman,
asumsi-asumsi, dan persangkaan-persangkaan tertentu terhadap diri kita sendiri, orang lain
sesama manusia, terhadap alam, dan terhadap Tuhan. Dengan demikian, jika pada uraian
minggu lalu disebutkan bahwa filsafat bertolak dari kenyataan dan pengalaman hidup, maka
pada uraian ini disebutkan bahwa pengalaman hidup kita sehari-hari tidak steril dari pandanganpandangan filsafat tertentu.
Semua manusia yang berakal telah menganut pandangan-pandangan filosofis tertentu,
disadari atau pun tidak. Sebagian besar manusia memang tidak menyadarinya, kecuali setelah
mempelajari filsafat. Dapat dikatakan, secara praktis, kita semua adalah filsuf atau setidaknya
penganut pandangan filsafat tertentu. Mengapa demikian ?
BERAKAR PADA EKSISTENSI MANUSIA
Ketika Nabi Adam diangkat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, para malaikat
mempertanyakan, mengapa seorang manusia yang tercipta dari tanah memperoleh Amanat Ilahi
yang begitu mulia. Tuhan menjawabnya dengan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui” (Surat Al Baqarah ayat 30). Lalu, Tuhan pun mengajarkan
kepada Adam nama-nama (asma) seluruhnya dan menanyakan kepada para malaikat tentang
nama-nama yang diketahui oleh Adam. Karena para malaikat tidak mengetahuinya, maka
Tuhan pun memerintahkan mereka untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai simbol pemuliaan
kepada manusia, makhluk yang mengemban Amanat Tuhan sebagai khalifahNya. (baca Surat Al
Baqarah ayat 31 – 33).
Dari kisah tersebut tersimpulkan bahwa pengangkatan manusia sebagai khalifah Tuhan
disertai dengan pengajaran Tuhan tentang nama-nama; keduanya tidak dapat dipisahkan.
Apakah yang dimaksudkan dengan ‘nama-nama’ itu ? Apakah maksudnya sekedar nama-nama
benda di seluruh alam raya ini sebagaimana umumnya dipahami kebanyakan orang ? Ataukah
lebih dalam daripada itu yang memang sesuai dan relevan dengan pengangkatan manusia
sebagai khalifah Tuhan ?
Pengertian ‘nama-nama’ (asma) yang dimaksud adalah konsep-konsep, makna-makna.
Nama sebuah benda atau peristiwa hanyalah lambang dan simbol dari suatu makna. Kata ‘AIR’
hanyalah simbol dari makna suatu zat cair yang memiliki sifat-sifat tertentu. Pengertian ‘namanama’ sebagai konsep-konsep atau makna-makna akan lebih jelas bila dikenakan kepada katakata yang manusia ciptakan tanpa ada acuannya di dunia fisik. Seperti kata-kata : kebebasan,
keadilan, demokrasi, reformasi, cinta, kesadaran, aku, persahabatan, jiwa, malaikat, Tuhan, dan
sebagainya. Kata-kata abstrak seperti ini banyak sekali digunakan dalam bahasa ilmiah dan
dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, manusia pada dasarnya adalah makhluk konseptual, makhluk maknawi. Konsepkonsep dan makna-makna memang telah melekat inheren dalam jati diri kiat sebagai manusia.
Berpikir, mencipta konsep, menemukan makna, dan merenungkan hikmak berbagai peristiwa
kehidupan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari modus eksistensi manusia.
Nah, oleh karena perenungan makna, refleksi dan pemikiran konseptual adalah kegiatan
khas filsafat, maka hal itu menunjukkan bahwa filsafat telah hidup sejak Nabi Adam. Sejarah
pun memperkuat pernyataan tersebut. Menurut Suhrawardi, dirintis oleh Nabi Idris as yang
dalam bahasa Yunani dikenal dengan Hermes, dan dalam bahasa Yahudi dikenal sebagai Enoch.
3
Dari Nabi Idris as, filsafat berkembang ke dua belahan dunia, yaitu Yunani (Barat) dan PersiaIndia-Cina (Timur).
Dengan demikian, filsafat sebenarnya berawal dari tradisi kenabian, baik yang lalu
dikembangkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles di Yunani maupun yang dikembangkan
Zoroaster, Lao Tze, Konfusius, Brahmana, Sidarta Gautama di Timur (Persia-India-Cina).
Jadi, mengapa kita semua telah menganut suatu pandangan-hidup dan aliran filsafat
tertentu terjawab sudah, yaitu karena hal itu berakar pada eksistensi kemanusiaan kita sendiri.
“Dunia manusia,” kata Ernst Cassirer, “bukanlah dunia fakta, melainkan dunia makna.”
Keberadaan manusia di dunia ini sangat terkait dengan sistem makna yang ia anut atau hayati
tentang kehidupan, disadari atau tidak, dipelajari (secara formal) atau tidak.
FILSAFAT : KUADRAT PENGALAMAN
Jika pada kolom minggu lalu disebutkan bahwa filsafat menarik akar pengalaman, maka
filsafat juga dapat meng-kuadrat-kan pengalaman. Fenomena yang pertama menunjukkan akar
filsafat adalah pengalaman; bahwa filsafat berasal dari kehidupan nyata manusia. Sedangkan
fenomena kedua mengindikasikan bahwa filsafat pun mempengaruhi kehidupan manusia; bahwa
filsafat telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia.
Pengalaman sehari-hari tidak terlepas dari filsafat. Tidak ada pengalaman hidup yang
murni, karena manusia tidak lahir dari kevakuman sistem budaya dan nilai. Pandanganpandangan filosofis ini telah bersemayam di dalam buku-buku berbagai ilmu pengetahuan,
novel, film, dunia hiburan, dunia iklan, televisi, radio, media massa, ceramah-ceramah, atau
peraturan-peraturan.
Kehidupan manusia selalu sudah dipengaruhi salah satu pandangan tertentu. Manusia
yang lahir di suatu tempat dan kurun waktu tertentu dalam kesadaran hidupnya ditentukan atau
dibentuk atau setidaknya dipengaruhi oleh pandangan filsafat, kosmologi, etika dan teologi yang
berlaku dewasa itu. Begitu pula manusia yang lahir di Moskow pada era komunisme tentu
berbeda dengan manusia yang lahir di New York, pusat kapitalisme; juga berbeda dengan
manusia yang lahir di Teheran pada masa Revolusi Islam.
Secara jitu, Van Peursen mengutip pernyataan E. Fink : “ Batu di ladang dan awan di
udara mebawa endapan gagasan-gagasan Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Descartes, Kant, Adam
Smith, Karl Marx, dan lain-lainnya “. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangan filsafat
itu telah masuk, mengendap dan bersemayam dalam berbagai sistem kehidupan seperti sistem
budaya, sistem politik, sistem pendidikan, sistim ekonomi, sistem komunikasi, sistem sains dan
teknologi, bahkan, dalam sistem manajemen dan bisnis.
Bagaimana dengan manusia yang lahir pada era global seperti sekarang ini ? Tentu
mereka juga telah dibentuk, disadari atau tidak, oleh pandangan-pandangan dunia yang
menghegemoni cara-pandang dunia manusia modern; katakanlah kapitalisme, ateisme,
sekulerisme, sosialisme,atau Marxisme. Banyak orang yang secara lahiriah dan verbal
beragama Islam, namun dalam pandangan-dunia mereka amat dipengaruhi sistem kapitalisme
atau sosialisme atau Marxisme. Anak-anak muda bangsa yang muak dengan status-quo Orde
Baru yang dianggap kapitalistik banyak yang akhirnya tertarik dengan gagasan-gagasan
sosialisme atau Marxisme. Sebaliknya, banyak pula orang tua yang kaget bahwa ternyata anak
mereka pengikut Marxisme atau sebaliknya pendukung kapitalisme-liberal padahal secara
lahiriah mereka tetap mengaku sebagai Muslim.
4
Download