Musik Populer, Bab 3 (bagian 2 dari 3 bagian)

advertisement
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 41
Kue pancong di pinggir kali
Lagu keroncong sedep sekali.
Kuplet kedua bisa juga lepas dari kuplet pertama; atau ke­dua kuplet bisa saja memakai teks yang sama.
Lagu
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada awalnya
jumlah lagu kroncong sangat sedikit. Menurut tulisan ilmiah per­
ta­ma mengenai kroncong,11 waktu itu hanya ada dua lagu: satu
ber­na­ma Morisko (ejaan lama: Moresco) dan yang satu lagi bernama
Prounga. (Beberapa lagu lagi, seperti Nina Bobo dan Kafrinyo, sering
digolongkan sebagai kroncong karena berbau “Portugis”, padahal
secara musikal bukan termasuk kroncong.) Prounga adalah suatu
lagu bertangga nada minor dengan suasana sedih, dikenal juga
dengan judul Kroncong Bandan. Sekarang lagu ini sudah lenyap
dan tidak dinyanyikan lagi. Sebaliknya, Morisko menjadi dasar untuk semua lagu kroncong (kecuali Prounga) yang dikenal sejak era
rekaman piringan hitam (lihat di bawah). Sebenarnya, bukan lagunya yang menjadi dasar melainkan susunan akornya:12
I
V V V V I
I
V V I I I I
I I
V V I I I I
I* I
I
V V II II
IV IV IV IV
* vokal biasanya mulai sesudah akor ini
Sejak sekitar tahun 1930-an struktur ini disebut struktur lagu
“kron­cong asli.”13
11
A. Th. ����������
Manusama, Krontjong als muziekinstrument, als melodie en als gezang (lihat catatan 8).
12
Ini pola yang paling sederhana. Ada juga pola lebih rumit, dengan
penggantian beberapa akor—misalnya I I I I menjadi I IV-V I IV-V—tetapi
dasarnya tetap sebagaimana digambarkan di sini. Catatan: akor II di sini harus
mayor: 2 4# 6. (Lebih jauh, lihat box tentang Akor Dasar pada Bab 2.)
13 Satu lagu kroncong yang masih dikenal sekarang adalah Kroncong
Ke­mayoran. Sebenarnya, struktur akor Kroncong Kemayoran dan Kroncong
Morisko sama, tetapi Kroncong Kemayoran dinyanyikan dengan tempo cepat.
42 | MUSIK POPULER
Kr. Morisko
Ri- bu
A
ai
lah ri-
bu
anak lah man-
ji- wa ma-nis
a- nak
a
B
indung
di- sa-yang
tu-run di sa-
C
wah
Hai
C
VCD 1
lah man
de- ngar
Kr. Morisko
lah sua-
tu- run
hai ma-
burung da-ra
ra
di-ma-
ja- ngan
ja-ngan
i
di sa-
kan lah
pa-di
ma-na
sa-rang-
na o-
rang-nya
wah
nya
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 43
Kr. Kemayoran
Da- ri ma-na da-tangnya lin-tah
Ji -wa
5
Ma-nis in-
dung di- sa-
yang
La
sa-wah tu-
ta
run ke ka-
da- ri- lah ma-
li
La
Da-ri-lah
sa-wah
Da-ri ma-
na
ta turun ke ha-
la la
la
la la la la
Da-
da-
ri- lah
tang- nya cin-
ti
Kr. Kemayoran
Pada awalnya, lagu kroncong dinyanyikan dengan tempo
yang cukup cepat, sehingga semua versinya kedengaran agak
sama, tanpa variasi menonjol. Yang menjadi fokus perhatian dalam
satu pertunjukan kroncong bukan lagunya melainkan liriknya
(syair dan pan­tun). (Di kemudian hari—kira-kira sesudah tahun
1925—variasi lagu mulai muncul, sebagaimana akan diceritakan
kemudian.)
Kroncong dalam teater stambul dan bangsawan
Pada awal tahun 1890-an, di beberapa kota di Nusantara mun­
cul jenis-jenis teater profesional yang dimainkan di atas panggung,
dengan menggunakan lukisan sebagai layar untuk menggambarkan seting adegan. Pada mulanya, ceritanya diambil dari legenda 1001 Malam, dan dari cerita rakyat Melayu dan India. Lamakelamaan, ceritanya juga di­am­bil dari sumber Barat, misalnya
karya Shakespeare (Romeo dan Juliet), opera Italia, legenda atau
cerita lokal, dan lain sebagainya, bahkan (sejak akhir tahun 1920an) diciptakan khusus oleh dramawan Indonesia. Ada beberapa
44 | MUSIK POPULER
versi atau “model” teater ini, yang berbeda satu sama lain dari segi
cerita, gaya pentas, dan gaya musiknya. �����������������������
Model-model teater ini
dikenal dengan beberapa istilah, antara lain Komedi Bangsawan,
Opera Bangsawan, dan Komedi Stambul. ����������������������
Lewat istilah yang dipakai, kita tidak selalu bisa menebak model mana yang disajikan.
Istilah Bangsawan lazim (tetapi tidak selalu) dipakai untuk model
teater yang umum di Semenanjung Malaya, yang membawakan
cerita-cerita Melayu dan India, sedangkan Stambul sering dipakai
untuk model teater di Hindia Belanda, dengan beraneka macam
cerita. Lama-kelamaan istilah Stambul diganti menjadi Tonil atau
Toneel (dari bahasa Belanda), atau dengan istilah Opera.
Gbr 3.2: “Extra turn” atau cabaret, selingan antara adegan Dean’s Opera of Singapore (tahun 1930an). Chap
�������������������������������������
Singa adalah merk piringan hitam
Gbr 3.3
Gbr 3.4
Gbr 3.3 dan 3.4 : Panggung dengan latar belakang lukisan layar yang menggambarkan setting
adegan dalam teater stambul tahun 1906
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 45
Dalam teater ini, semula para pemegang peran seringkali
ha­rus menyanyi. Biasanya satu adegan diawali dengan nyanyian,
yang menerangkan siapa saja tokoh dalam adegan dan apa tuju­
an atau situasinya. Dalam Bangsawan model lama, dialog juga
di­nya­nyi­kan. Musiknya bermacam-macam, tergantung cerita dan
“model”. Untuk cerita Melayu dan India ada musik dengan orkes
har­monium atau ensambel Melayu (biola, gendang, penyanyi).
Untuk teater Stambul, seringkali ada beberapa lagu yang disebut
lagu stambul dan diberi nomor—Stambul I, Stambul II, Stambul
III, sampai Stambul XII. Lagu Barat—mars, wals, nyanyian Belanda—juga bisa masuk. Kroncong juga muncul dalam pertunjukan
Stambul. Iringan untuk lagu stambul, kroncong, dan lagu Barat
adalah alat-alat Barat, terutama biola, suling, dan (kalau teaternya
mampu) piano.
Teater Stambul bersifat profesional: dengan layar dan perkakas, aktor dan musisi tetap, penjualan karcis, dan perbendaharaan cerita yang banyak sehingga setiap malam rombongan mampu
membawa cerita yang berbeda. Dengan demikian, Stambul kita
anggap sebagai suatu teater populer. Sekalipun musik kroncong
pada zaman itu masih tergolong “musik rakyat perkotaan,” namun perjalanannya menjadi musik populer sebenarnya sudah mu­
lai saat diangkat ke panggung teater Stambul.
Industri rekaman masuk Indonesia
Faktor lain lagi yang membantu—atau malah mendorong—
kron­cong berubah dari musik rakyat kota menjadi musik populer,
adalah industri rekaman.
Alat perekam suara diciptakan di Amerika dan Eropa pada
tahun 1870-an, tetapi selama dua puluh tahun pertama masih sa­
ngat primitif. ����������������������������������������������
Baru pada akhir 1890-an ada kemajuan sehingga
rekam­an musik mulai dijual, bersama dengan mesin playback yang
di­sebut gramofon (gramophone). Sebenarnya di Barat ada dua jenis
re­kam­an dan mesin playback waktu itu: yang satu (phonograph) me­
ma­kai rekaman dalam bentuk silinder, dan yang satu lagi (gramophone) memakai rekaman dalam bentuk “keping” atau piringan
hitam. Namun, hanya gramofon dan piringan hitam yang menjadi
populer di Nusantara. �(Phonograph bertahan di Barat sampai seki-
46 | MUSIK POPULER
tar tahun 1920-an, kemudian hilang di sana juga, dikalahkan oleh
gramofon. Anehnya, istilah phonograph-lah yang lebih sering dipakai, terutama di Amerika, untuk menyebut alat yang sebelumnya
dikenal sebagai gramophone.)
Gbr 3.5: Phonograph, mesin playback, pemutar
rekaman dalam bentuk silinder, sekitar tahun
1905.
Gbr 3.6: Rekaman dalam bentuk silinder:
kotaknya (kiri), rekaman (kanan), dengan
sebuah kaset audio sebagai pembanding
ukurannya.
Gbr 3.7: Gramofon (gramophone), mesin playback yang Gbr 3.8: Rekaman dalam bentuk “keping”
memutar rekaman piringan hitam, sekitar tahun 1901.
atau piringan hitam
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 47
Piringan hitam memiliki keterbatasan dalam hal durasi, satu
sisi hanya muat sekitar tiga menit. Pada awalnya, lagu direkam
pada satu sisi piringan saja, dan sisi baliknya kosong. Kira-kira
sejak tahun 1908 piringan mulai diproduksi dengan lagu di kedua
sisi, masih tiga menit per sisi, total enam menit. (Berbeda sekali de­
ngan media yang muncul belakangan! Piringan “long-play” atau
“pickup” yang umum dari 1950-an sampai 1980-an muat kira-kira
25 menit kali dua sisi; kaset yang biasa di Indonesia muat 30 menit
kali dua sisi; CD muat kira-kira 70-75 menit.)
Bayangkan situasi sekitar tahun 1898, gramofon sudah diciptakan dan sudah diproduksi di pabrik di Eropa dan Amerika. Lalu
harus dijual kepada orang banyak. Jelas, selain mesinnya, harus
ada pula rekaman yang bisa diputarkannya—kalau tidak, siapa
yang mau beli? Semula, yang direkam dan dijual adalah musik
Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman, karena di negara-negara
itulah pasaran pertama untuk gramofon dan piringannya. �������
Tetapi
industri selalu ingin melebarkan sayap, sehingga mulai mengincar
pasar-pasar lainnya: bagaimana dengan Itali, Spanyol, atau Rusia?
Industri cepat menangkap peluang bahwa orang di Itali atau di
Rusia akan lebih senang rekaman musik lokal mereka—terutama
musik yang dinyanyikan dalam bahasa mereka—daripada musik
dari Amerika atau Perancis. Jadi
�����������������������������������
untuk membuka pasar untuk gramofon di sana, maka harus disediakan rekaman musik setempat.
Berdasarkan logika itu, kira-kira tahun 1898 para produser
gramofon mulai mengirim tim perekam ke beberapa tempat jauh—
ke Rusia, Persia, Turki, dan kemudian ke Asia—untuk merekam
musik lokal di sana. Tim
���������������������������������������
yang pertama kali merekam musik Indonesia, diutus oleh perusahaan Inggris bernama The Gramophone
Company. Sebenarnya mereka sama sekali tidak masuk Indonesia
(Hindia Belanda waktu itu), melainkan melakukan rekaman di
Singapura dengan mendatangkan beberapa penyanyi dari Batavia dan Semarang. Ini terjadi pada bulan Mei 1903. Tim perekam
yang pertama menginjak Indonesia adalah tim dari suatu perusahaan Jerman, yang merekam di Batavia selama satu minggu pada
bulan Januari 1906. ��������������������������������������������
Selanjutnya pada akhir tahun 1906 atau awal
1907 datang tim dari perusahaan lain dari Jerman. Selanjutnya
pada tahun 1909 The Gramophone Company kembali mampir (kali
ini sampai ke Batavia). Selanjutnya, demi bersaing di pasar, setiap
48 | MUSIK POPULER
perusahaan selalu mengirim timnya setiap dua atau tiga tahun sekali untuk mengambil rekaman baru.
Nah, musik apa saja yang direkam oleh tim perekam itu di
Indonesia? Ada lagu-lagu Belanda, gendhing-gendhing gamelan
Jawa, dan lagu-lagu gambang kromong dari masyarakat Tiong­
hoa-Indonesia di Betawi, dan tentu saja ada lagu-lagu dari tea­ter
stambul, termasuk lagu kroncong. Pada awalnya (tahun 1903 dan
1906/07) lagu kroncong tidak banyak, namun dari tahun 1909 ke
atas, proporsi lagu kroncong mulai naik dengan cepat.
3.1.1.3 Kroncong pada tahun 1920-an
Pada tahap awal, kira-kira sebelum perang dunia pertama
(1914-1918), pembeli piringan kroncong tidak mengetahui siapa
penyanyinya. Selain judul lagu, yang tertulis pada label piring­an
(kertas berwarna di bagian tengah piringannya) biasanya hanya
ada istilah seperti “Prempoean” atau “Lelaki” (atau “Lelaki 2”,
“Le­laki dan Prempoean,” dan lain sebagainya) untuk sekedar
mem­beritahu jenis penyanyinya. Judul lagunya pun hanya berbeda sedikit dari piringan satu ke piringan lain: “Lagoe Krontjong”,
“Krontjong Bandan”, dan “Krontjong Moritsko” adalah judul untuk kebanyakan piringan
kroncong zaman itu.
Pada pertengahan tahun 1920-an, ada beberapa perubahan
cukup penting dalam musik kroncong.14 Struktur akor dasar untuk lagu kroncong masih tetap struktur “kroncong asli”, namun
tempo (atau cepat-lambatnya) semakin lambat. Sesudah tempo diperlambat, ada sela yang bisa diisi dengan permainan dan liak-liuk
vokal, sehingga �����������������������������������������������
variasi dan ornamen dalam iringan dan nyanyian
menjadi lebih banyak. Dalam periode itulah cak-cuk (teknik kaitmengait atau sahut-menyahut antara dua macam alat petik seperti
ukulele dan mandolin) mulai hadir, disertai pula “selo kendang”
(barangkali menjelang tahun 1930).
Pada tahun-tahun 1920-an juga, label pada piringan hitam mulai mencantumkan nama penyanyi dan judul lagu—bu14
Sumber utama untuk informasi mengenai perubahan tersebut adalah
piringan hitam yang masih ada. Selain
���������������������������������������������
itu tidak diperoleh sumber yang kuat,
karena studi teknis mengenai musik populer jarang ditulis pada zaman itu.
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 49
kan sekedar “Lagoe Krontjong” dinyanyikan oleh “Prempoean”
melain­kan, misalnya, “Krontjong Slamet Tinggal” dinyanyikan
oleh Miss Riboet. Dalam perkembangan ini, kita melihat “sistem
bintang” sudah mulai diterapkan pada musik kroncong. Sistem
bintang ini makin lama makin kuat. Terbukti, ada artikel di surat kabar dan majalah yang lebih memberi perhatian pada pribadi
penyanyi daripada kese­ni­an­nya. Ada pula nama penyanyi yang
menjadi judul lagu (Kroncong Miss Riboet, Kroncong Miss Lee, dan
banyak lagi), sampai foto penyanyi yang muncul di label piringannya. Satu kegiatan yang ikut menguatkan sistem bintang dalam
musik kroncong adalah lomba yang disebut concours (konkurs)
kroncong. Concours kroncong sering sekali diadakan sebagai
pun­cak pasar malam. Lama-kelamaan (paling tidak pada paruh
kedua tahun 1930-an) sistem perlombaan berkembang menjadi
sistem kampioenschap (kejuaraan), dengan
peng­umuman juara se-Jawa Barat, se-Jawa
Timur, se-Jawa, dan sebagainya.
Barangkali bintang kroncong yang pertama adalah Miss
Riboet (1900-1965). Lahir di Aceh, dia adalah seorang Sri Panggung—yaitu artis muda dan cantik yang menjadi bintang utama
dalam suatu rombongan teater. Setiap rombongan, waktu itu, harus mempunyai Sri Panggung, dan Sri Panggung harus mampu
menjadi pemegang peran, penyanyi, dan sekaligus penari. ������
Mulai
sekitar tahun 1925, Miss Riboet adalah Sri Panggung dalam rombongan Maleische Operette Gezelschap Orion. Gaya teaternya berdasarkan model Stambul tetapi lebih modern, dengan cerita-cerita yang diciptakan oleh pengarang Orion sendiri (bukan sekedar
diangkat dari 1001 Malam atau legenda). Dialognya diucapkan
(daripada dinyanyikan), dengan teknik pentas spektakuler. Dari
segi musik, instrumentasinya lebih lengkap dan modern, lagulagunya di­ambil dari mana-mana (bukan lagi lagu-lagu Stambul
Nomor Se­kian15). Dan
���������������������������������������������������
juga ditambahkan “extra turn” atau “caba­ret,”
yaitu tari­an dan nyanyian lepas sebagai selingan di antara adegan
15
Lagu stambul bernomor nyaris hilang total sesudah kira-kira 1925—
hilang dari panggung dan juga dari piringan hitam. Hanya satu yang bisa bertahan, yaitu lagu Stambul II, tetapi bukan lagi sebagai lagu teater. Stambul II
menjadi satu lagu dalam repertoar orkes kroncong. Bentuk lagunya khas, bukan bentuk kroncong asli atau langgam kroncong.
50 | MUSIK POPULER
cerita­nya.
Bintang-bintang kroncong
pada tahun-tahun 1920-an, selain
Miss Riboet, antara lain, Miss
Toe­­mina dari Surabaya, Miss
Herlaut (atau Aer Laoet) dari
Solo, Wim Waha, John Iseger,
Paulus Item dari Malang, Amat
dari Sura­baya, dan banyak lagi.
Ada juga orkes kroncong yang
terkenal te­ta­pi tidak terikat pada
rom­bong­an teater,antara lain:
Muziekvereeniging Lief Java, Or­
kes Noya, Orkes Lief Indië, Orkest Krontjong Nacht Sirenen,
Orkest Krontjong De Nachtegaal,
Orkest Krontjong De Leeuw.
Di box sebelah kiri terdaf­tar
beberapa judul lagu kroncong,
semuanya dire­kam pada piring­
an hitam sekitar tahun 1926 dan
1927. Di anta­ra­nya ada lagu kroncong yang judulnya berkaitan
dengan na­ma penyanyi (Miss
Riboet, Aer Laoet), nama tempat (Aceh, Bogor, Jawa Timur,
Brastagi), nama orkes kroncong
(De Leeuw, De Nach­tegaal),
dan nama toko (Hoo Soen Hoo).
Judulnya menggu­na­kan kata-ka­
ta dalam bahasa Melayu/In­do­­ne­
sia, bahasa Belanda, dan bahasa
Inggris. Rupanya repertoar kroncong pada pertengah­an tahun
1920-an sudah jauh lebih kompleks dibanding dengan zaman sebelum Perang Dunia Pertama, di mana sebuah lagu kron­cong cukup dinamakan “Lagoe Krontjong” saja!
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Kr. Brastagi
Kr. Banjoe Biroe
Kr. Tasikmalaya
Kr. Batak
Kr. Oost Java
Kr. Bandoeng Soerabaja
Kr. Krokodillen
Kr. Hoo Soen Hoo
Kr. Rindoe Hati
Kr. Nacht Sirenen
Kr. Siliwangi
Kr. De Leeuw
Kr. Seneng Hati
Kr. Slamet Tinggal
Kr. Slamet Berpisah
Kr. Tjahaja Remboelan
Kr. Bogor
Kr. Lief Java
Kr. Bandan
Kr. Atjeh
Kr. Solo
Kr. Samarang
Kr. Indo-Batavi
Kr. Melajang Boengoer
Kr. Miss Riboet
Kr. Aer Laoet
Kr. Mawar
Kr. Smiles
Kr. Indian Moonlight
Kr. Sedap Malam
Kr. Sangkoeriang
Kr. Macan
Download