PANCASILA YANG BERKETUHANAN YME Mochtar Naim 3 Juni 2015 S ILA pertama dari Pancasila adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tapi apakah sama antara Yang Berketuhanan YME dengan yang "Berketuhanan" saja atau yang tidak Berketuhanan sama sekali, seperti yang kita lihat variasinya dari agama-agama yang ada yang diakui di NKRI ini ? Dari susunan kata-kata itu saja tentu sudah kelihatan sekali bahwa yang satu tidak sama dengan yang lainnya. Tapi yang aneh, walau secara harfiah yang dituliskan atau yang tertulis dalam Sila Pertama Pancasila itu adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa," namun tidak setiap agama yang ada dan diakui di NKRI itu Berketuhanan YME. Paling-paling cuma ada satu, yaitu Islam, yang secara jelas menyatakan Berketuhanan YME, yang Tuhan satu-satunya adalah Allah swt. Malah dalam syahadatnya secara jelas dinyatakan: "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang lain melainkan Allah yang Maha Esa." Yang lain-lainnya yang diakui dalam NKRI, ada yang Berketuhanan Yang Tiga dalam Esa (Trinitas), yaitu Keristen – baik Protestan maupun Katolik dan denominasi lain-lainnya. Yang lain lagi ada yang bertuhan banyak (politheisme), seperti agama Hindu. Ada yang tidak bisa menyatakan secara pasti bahwa Tuhan itu ada atau tidak, seperti Budhisme. Dan ada pula yang menekankan kepada kepercayaan nenek-moyang yang percaya pada banyak dewadewa, seperti agama Kong Hu Chu. Agama Cina ini diakui di NKRI sejak masa kepresiden Gus Dur (1999-2001) yang konon ada darah Cina mengalir dalam dirinya – dan dia dihargai tinggi di kalangan WNI non-pri Cina. Malah di zaman Orde Lama Soekarno dulu, komunisme yang jelas-jelas anti-Tuhan, juga diakui. Belum pula yang kepercayaan Kejawen yang punya nuansa kepercayaan animistiksinkretik macam-macam itu, yang kelihatannya ide sinkretisme yang melatar-belakangi sila pertama Pancasila itu berorientasi Kejawen. Orientasi Kejawen menempatkan semua agama sebagai sama, dengan nuansa: "Sadaya Agami Sami Kemawon (Semua agama sama saja)." Ini tentu saja membingungkan. Kalau yang kita tuju adalah "Ketuhanan YME" dalam pengertian yang sesuai dengan arti harfiyahnya, maka konsekuensinya, NKRI ini adalah sebuah Negara Islam – seperti yang kita lihat di Malaysia walau penduduk muslimnya mungkin cuma separohnya, atau kurang dari itu. Di Indonesia penduduk muslimnya sampai dua per tiga, atau mungkin sampai 90%; tapi negaranya bukan Negara Islam. Sejalan dengan prinsip demokrasi ala Barat yang kita anut, jika penduduk muslimnya lebih dari dua per tiga itu, NKRI ini sudah bisa jadi "NKRII" alias Negara Kesatuan Republik Islam Indonesia – atau Negara Persatuan Republik Islam Indonesia, atau apapun namanya, yang dasarnya adalah Islam dan sekaligus federal. 1 Federalisme adalah dengan mengingat luas wilayah dan besar jumlah penduduknya yang nomor empat terbesar di dunia, dan yang secara etnis-etnologis bervariasi. Ada bermacam suku-bangsa yang menempatinya, dari yang proto dan deutero-Malay, ke yang papua-austro-melanesik, yang warna dan kontur fisiknya berbeda. Tapi seperti yang berlaku di Jawa itu, yang dasar dan latarbelakang budayanya adalah animistik-sinkretik, maka semua agama, apapun, diakui dan diperlakukan sama, walau Sila Pertama Pancasila secara implisit hanya mengakui Agama yang Berketuhanan YME saja. Secara spiritual-theologis-kultural-sosietal, Indonesia sejak kemerdekaan ini memang terbelah dua: yang kepercayaan agamanya bersifat sinkretik seperti di Jawa itu, dan yang bersifat sintetik seperti di luar Jawa. Luar Jawa yang didominasi oleh budaya Melayu menempatkan adat dan budaya apapun di bawah naungan agama, yaitu Islam. Adat dan budaya yang sejalan dengan Islam, dipakai, yang tidak sejalan, dibuang – alias tidak dipakai. Adat dan budaya Melayu tunduk kepada syarak, yang sumber rujukan utamanya adalah Kitabullah, Al Qur'anul Karim. Prinsip budaya sintetik ini dituangkan dalam bentuk paradigma ungkapan sintetikal sederhana: ABS-SBK – Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Biasa dilengkapi lagi dengan ucapan: Syarak Mengata, Adat Memakai. Syarak bertelanjang (apa adanya), Adat bersesamping (berhias diri). Dst. Paradigma ABS-SBK ini menonjol diungkapkan dalam budaya demokratis-egaliterian-sentrifugal Melayu-Minangkabau yang saat ini sedang mengupayakan terbentuknya DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) sebagai pengganti Provinsi Sumatera Barat yang sekarang. Dengan DIM itu diharapkan agar paradigma ABS-SBK diformalkan dan diaktualisasikan, setara dengan paradigma ketata-negaraan NKRI yang juga berlaku sepenuhnya di DIM. Di sisi lain, dualisme budaya Nusantara yang terbagi ke dalam yang sinkretik dan yang sintetik itu, secara ekonomi juga memiliki dualisme tersendiri. Di masa pra-penjajahan, dualisme itu bercorak ke dalam karena sistem dan struktur sosialnya, terutama di Jawa, bersifat feodalistishirarkis-vertikal, di mana tanah dan kekayaan alam lainnya berada di bawah pemilikan dan kekuasaan lapisan feodal, sementara rakyat berada di bawah naungannya. Dengan masuknya penjajah dari Eropah, yaitu Belanda, yang kendati negerinya kecil dan jumlah penduduknya juga kecil, tapi mereka mampu menjajah dan menguras kekayaan alam Indonesia sampai 350 tahun lamanya, yang terputus hanya karena meletusnya Perang Dunia Kedua. Dan Indonesia sempat pula dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun selama PDII itu. Selama penjajahan itu maka dualisme ekonomi di bawah naungan feodalisme lokal berlanjut dan bertukar corak menjadi dualisme ekonomi penjajahan, yang sistem dan struktur ekonominya adalah kapitalistis-materialistis dengan ekonomi pribumi yang masih bersahaja. Tidak selesai sampai di sana, ternyata sampai sesudah kemerdekaan sekarang inipun, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998) ke mari ini, dualisme ekonomi ternyata berlanjut terus. Yang memegang tali kekuasaan ekonomi, dari percampuran antara kapitalis Barat (Eropah dan Amerika) dan Timur (Cina, Jepang, Korea) sebelumnya, sekarang makin menjurus kepada penguasaan tunggal konglomerat Cina di hampir semua sektor ekonomi, baik di darat, laut dan udara, dari hulu sampai ke muara, di seluruh Indonesia. Indonesia sekarang sudah berada di 2 tingkat ketiga sesudah Singapura dan Filipina di bawah pengaruh dan supremasi kekuasaan ekonomi konglomerat Cina itu. Sebagai konsekuensinya, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi di bidang politik, sosial dan budaya sekalipun kita bergerak sekarang ini tak ada yang terlepas dari genggaman dan penguasaan supremasi konglomerat Cina itu. Tingkat ketergantungan kelompok birokrat penguasa negara pribumi sekarang ini, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yuridis sekalipun, makin dirasakan yang indikatornya bisa dilihat dari tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaan yang makin tinggi dan tak terkendalikan. Lantunannya sendirinya adalah juga bahwa masalah kita secara bernegara sekarang ini tidak hanya terbatas pada masalah filosofisintelektual-akademis yang terkait dengan Sila Pertama Pancasila di atas, tetapi kepada semua sila-sila yang lainnya dari Pancasila itu. Dan tak kurangnya juga kepada isi dan semangat Preambula UUDRI 1945 serta pasal-pasal yang terkait kepada aspirasi ekonomi negara yang mendambakan akan kesejahteraan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia ke depan menghadapi masa galau yang panjang, yang tidak jelas mau dibawa kemana Indonesia ini. Soalnya, pertama, dasar filosofi yang cukup jelas, baik yang dituangkan dalam dasar negara Pancasila, Preambula dan bait-bait dari UUDRI 1945 itu, tapi dalam amal prakteknya banyak yang bertentangan dengan itu. Hanya akan berupa pengulangan jika kita sebutkan kembali penyimpangan-penyimpangan yang kita lakukan dalam praktek, baik di bidang ekonomi, sosial dan budaya, miminal sejak setengah abad setelah Orde Baru ke mari ini. Yang kita praktekkan adalah sisi sebaliknya dari cita bersama kita itu. Di bidang ekonomi kita menginginkan "Perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan," seperti yang kita cantumkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD1945 itu. Tetapi yang kita praktekkan adalah ekonomi liberal-kapitalistik yang bahkan sudah berjalan selama berabad di bawah penjajahan asing itu, dan mendapatkan penekanan baru dengan dikuasainya jalur dan jaringan ekonomi negeri oleh kelompok konglomerat non-pri praktis secara menyeluruh. Di bidang sosial dan budaya, kita mengatakan Ketuhanan YME, Keadilan Sosial, dsb, tapi yang kita praktekkan yang tidak ada nuansa sosial-kultural-spiritual-keagamaannya itu, tapi semata fisikalmaterialistik bagi keuntungan para penguasa ekonomi dan birokrasi negara. Akhirnya, pertanyaan mendasar kita adalah: Akan kita biarkan teruskah situasi yang galau seperti ini, ataukah kita akan mengatakan kepada diri kita sendiri: "Enough is enough!" Mari kita kembali ke pangkal kaji, dengan menerapkan Sila-sila dari Pancasila dan UUD1945 itu dalam arti yang hakikinya. Semoga Allah membukakan jalan dan melapangkannya. Amin. *** 3