BAB III DAUR ULANG PLUTONIUM DAN AKTINIDA MINOR PADA BWR BERBAHAN BAKAR THORIUM 3.1. Siklus Bahan Bakar Nuklir Siklus bahan bakar nuklir (nuclear fuel cycle) adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pemanfaatan bahan bakar dalam reaktor nuklir dari penambangan hingga dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Uranium merupakan bahan bakar yang paling umum digunakan, namun jumlahnya yang sedikit membuat kita perlu mencari alternatif lain. Sebagai alternatifnya adalah unsur thorium, seperti uranium, dapat dipergunakan sebagai bahan bakar nuklir. Thorium dapat menangkap partikel netron kemudian menghasilkan uranium U-233 yang lebih baik dibanding U-235 dan Pu-239, karena U-233 dapat menghasilkan rendemen netron lebih banyak. Th-232 akan menyerap sebuah netron dan berubah menjadi Th-233 dan biasanya berubah lagi menjadi protactinium-233 lalu U-233. Dalam reaktor, U-233 akan terpisah dari thorium yang kembali untuk diproses ulang. 3.2. Limbah Radioaktif Pembangkit listrik tenaga nuklir adalah satu-satunya pembangkit yang melakukan pertanggungjawaban penuh terhadap masalah penanganan limbah, meskipun limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir cukup kecil. Limbah radioaktif terbentuk melalui setiap langkah dalam siklus bahan bakar, mulai dari penambangan sampai pengolahan kembali bahan bakar. Tingkat toksisitas yang 26 tinggi membuat limbah yang dihasilkan memerlukan penanganan khusus, tergantung jenis limbahnya. Limbah dari proses reaksi nuklir sendiri tergolong atas tiga jenis limbah, yaitu: 1. Limbah tingkat rendah, Low-Level Waste (LLW). Limbah jenis ini dihasilkan pada setiap tingkatan proses. Limbah ini mayoritas terdiri dari unsur berumur pendek, dan tidak mengandung atau hanya mengandung sedikit aktinida yang tidak memberikan dampak radiologis. Untuk mengurangi jumlahnya, limbah ini biasanya dipadatkan dan untuk mengamankannya limbah ini cukup ditimbun dalam penguburan dangkal (sampai 10 meter di bawah permukaan tanah). 2. Limbah tingkat menengah, Medium-Level Waste (MLW). Limbah ini akan dihasilkan selama operasi reaktor dan dalam proses pengolahan kembali bahan bakar. Umur paruh limbah tingkat menengah adalah sekitar 30 tahun atau kurang. Limbah tingkat ini cukup membahayakan, maka memerlukan penyimpanan khusus dan penguburan pada kedalaman tertentu (antara 500-1000 meter dibawah permukaan tanah). 3. Limbah tingkat tinggi, High-Level Waste (HLW). Limbah ini mengandung produk fisi hasil proses pengolahan kembali uranium dan hasil pengolahan bahan bakar dalam reaktor. Limbah ini merupakan jenis limbah yang paling membahayakan. Oleh karena itu, 27 limbah tingkat ini memerlukan penyimpanan khusus dan pendinginan karena memiliki banyak isotop pemberi alfa berumur panjang ( waktu paruhnya di atas 30 tahun), puluhan ribu tahun. Selain penyimpanan khusus, perlu dilakukan juga pengolahan kembali untuk mengurangi tingkat bahaya HLW. Limbah yang menjadi fokus penelitian saat ini adalah HLW karena menyangkut bahan radioaktif yang berumur paruh panjang, yaitu Long Live Fission Product (LLFP) dan bahan Transuranium (TRU). Limbah ini sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga setiap pembangkit nuklir terus berusaha mencari solusi untuk penanganannya. 3.3. Pengolahan Limbah Radioaktif Ketika proses pengolahan nuklir dijalankan, limbah radioaktif merupakan hasil yang tidak dapat dihindari. Persoalan utama masalah limbah ini adalah limbah tingkat tinggi (HLW) yang menyangkut limbah dengan waktu paruh sangat panjang. Manajemen HLW mencakup beberapa tahapan, yaitu reprocessing (ekstraksi bahan radioaktif hasil olahan bahan bakar), partitioning (partisi bahan radioaktif sesuai tingkat bahayanya), selanjutnya baru dilakukan langkah-langkah untuk mengatasinya. Untuk hasil fisi berumur panjang (LLFP) dan bahan transuranium (TRU) seperti plutonium (Pu) dan Aktinida Minor (MA), pengolahan limbah yang biasa dilakukan adalah transmutasi dan daur ulang. 28 Proses transmutasi adalah proses transformasi dari suatu inti atom tidak stabil yang berumur paruh panjang, menjadi inti yang lebih stabil yang berumur paruh lebih pendek, sehingga tidak lagi berbahaya. Sedangkan daur ulang adalah pemanfaatan kembali bahan bakar bekas menjadi sumber bahan bakar nuklir. Proses transmutasi sangat cocok untuk mengatasi masalah LLFP, sedangkan daur ulang dapat dilakukan untuk pemanfaatan kembali Pu dan MA. Proses transmutasi dan daur ulang ini dapat dilakukan dalam reaktor daya FBR, PWR, BWR, atau reaktor yang khusus dirancang untuk pengolahan limbah yaitu Accelerator Driven System (ADS). 3.4. Daur ulang Plutonium dan Aktinida Minor Studi tentang daur ulang plutonium telah dimulai sejak tahun 1975. Hasil studi ini menunjukkan bahwa daur ulang plutonium dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan uranium. Setelah penilitian yang cukup panjang, akhirnya pada pertengahan 1990-an daur ulang ini mulai digunakan secara komersil. Bahan bakar bekas yang telah digunakan dalam reaktor sangatlah radioaktifdan menghasilkan panas. setelah melalui proses ekstraksi dan partisi, beberapa bahan yang dapat diolah kembali, dipisahkan dari bahan yang murni limbah. Bahan bakar bekas yang dapat diolah lagi ini terdiri dari uranium dan plutonium oxida yang biasa disebut mixed oxide fuel (MOX). MOX terdiri dari 5%-7% plutonium yang karakternya mendekati bahan bakar uranium oksida, dan sisanya terdiri dari 29 isotop uranium. Pada MOX, isotop yang berlaku sebagai penghasil energi fisi adalah isotop U-235 dan Pu-239. Saat ini belum banyak studi yang meneliti kemungkinan menggunakan campuran plutonium (Pu) dan Aktinida Minor (MA) sebagai bahan bakar. Namun limbah transuranium (MA) merupakan salah satu limbah yang berbahaya, sehingga upaya pengolahan limbah ini perlu dikembangkan, salah satunya adalah upaya untuk menggunakannya kembali sebagai bahan bakar. Sebelumnya telah dilakukan penelitian yang menghitung campuran Pu-MA sebagai bahan bakar untuk model equilibrium. Dalam model equilibrium burnup, laju produksi energi dalam reaktor dianggap Konstan. Maka laju produksi dan peluruhan seluruh material nuklir dalam reaktor pun konstan. Oleh karena itu, jumlah setiap nuklida dalam reaktor, kecuali bahan bakar, menjadi konstan. Dari hasil perhitungan itu diketahui bahwa pada daur ulang Pu-MA model equilibrium, kita tidak memerlukan lagi pengayaan uranium. 3.5 Spesifikasi Penelitian dalam Reaktor BWR Studi ini merupakan simulasi perhitungan kerja reaktor dengan bahan bakar campuran uranium, plutonium dan aktinida minor menggunakan Reaktor Air Didih, Boiling Water Reactor (BWR). 30 Gambar 3.1 Skema BWR Pada Boiling Water Reactor (BWR), air ringan (H2O) memainkan peranan yang penting baik sebagai moderator maupun sebagai pendingin. Sebagian dari air ringan tersebut mendidih di dalam bejana tekan, menghasilkan campuran air dan uap yang keluar dari teras reaktor. Uap yang dihasilkan langsung masuk ke dalam turbin, oleh karena itulah air di dalam uap harus dipisahkan (air di dalam uap dapat merusak sudu-sudu turbin). Uap yang keluar dari turbin dikondensasikan di dalam kondenser dan diumpankan kembali ke dalam reaktor setelah dipanaskan. Air yang tidak diuapkan di dalam bejana reaktor terakumulasi di bagian bawah bejana dan bercampur dengan air umpan yang dipompa balik. Untuk mencari komposisi Pu dan MA optimal, yang jumlahnya cukup untuk membuat reaktor berada dalam keadaan Kritis, dimasukkan komposisi bahan bakar bekas hasil operasi reaktor PWR (Pressurized Water Reactor). Pada studi ini, digunakan komposisi yang didapatkan dari hasil penggunaan bahan bakar 31 uranium dalam PWR 3000MW. Persentase isotopik hasil dari bahan bakar reaktor PWR adalah sebagai berikut: uranium (95,6%), plutonium (0,9%), MA (0,1%), long-lived fission products (LLFP) I dan Tc (0,1%), cesium dan strontium (0,3%), LLFP lain (0,1%), dan stable fission products (FP) (2,9%). Tetapi pada studi ini persentase plutonium dan MA yang dimasukkan sebagai campuran bahan bakar sebesar 5,58% dan 0,62%, lebih besar dari hasil bahan bakar reaktor PWR. Sedangkan uranium yang digunakan sebagai campuran adalah variasi U-234, U-235 dan U-238 yang diperkaya. Untuk mendapatkan komposisi terbaik, maka pengayaan uranium akan divariasikan, dari 0,25% sampai 3,0%. Perhitungan akan dilakukan pada kode komputer SRAC, dengan data nuklir dari JENDL-3.2. Reaktor yang digunakan adalah reaktor air didih (BWR), dengan spesifikasi desain sebagai berikut: Table 3.1. Spesifikasi Desain BWR Power output 1000 MWe Average power density 50 Wcm-3 Radius of fuel pellet 0.529 cm Radius of Fuel rod 0.615 cm Pin Pitch 1.444 cm Void coefficient 10-90 % Fuel type Oxide 32 Cladding Zircaloy-2 Coolant H2O Untuk melengkapi perhitungan, akan dilakukan studi komparatif desain reaktor yang optimal untuk daur ulang plutonium dan aktinida minor. Parameter desain yang utama dalam studi ini adalah perbandingan uap air dengan air dalam moderator, atau void coefficient. Pada reaktor standar, void koefisien yang mungkin diaplikasikan saat ini adalah 42%. Namun untuk melengkapi studi, akan dihitung berbagai kemungkinan dengan reaktor yang memiliki void koefisien 10% sampai 90%. Tingkat kekritisan reaktor akan didapatkan dengan nilai faktor multiplikasi efektif dari hasil perhitungan kode Komputer SRAC. Idealnya tingkat kekritisan konstan bernilai 1, namun hal itu tidak mungkin terjadi. Maka untuk menilai tingkat kekritisan, dilakukan pengamatan perubahan nilai faktor multiplikasi efektif. Apabila dalam 2/3 operasi reaktor, faktor multiplikasi efektif bernilai di atas 1, maka tingkat kekritisan mencapai tingkat kritis dan reaktor dianggap bisa berjalan dengan baik. 3.6 Metoda Perhitungan Studi awal penelitian ini menggunakan perhitungan dengan metoda SRAC, kode komputer untuk analisis neutronik yang dikembangkan oleh JAERI. SRAC 33 dirancang untuk beberapa jenis reaktor termal. Neutron data libraries yang dipakai adalah JENDL-3.2, dengan PIJ sebagai kode transport untuk menghitung transport neutron dan difusi yang berdasarkan metode kemungkinan tombukan. Simulasi dilakukan dengan menggunakan kode PijBurn, yaitu perhitungan cell burnup yang terdapat dalam SRAC. Selain untuk perhitungan neutronik PWR, kode ini dapat juga dipergunakan BWR. Terdapat banyak pilihan tipe geometri sel yang digunakan, misalnya sel dengan bentuk bulat, silinder atau heksagonal. Dalam simulasi ini sel bahan bakar MOX diasumsikan homogen dengan bentuk silinder. Struktur grup energi yang digunakan adalah 107 public group, yang terdiri dari 61 grup energi cepat dan 46 grup energi termal. Jumlah ini dibuat menjadi 3 user group masing-masing untuk range energi termal (0.2382E+01 – 0.1E-04 eV), energi epitermal (0.3726E+02 – 0.2382E+01 eV), dan energi cepat (0.1E+08 – 0.3726E+02 eV). Input yang dimasukan dalam kode ini adalah geometri sel. Karena geometri yang dipakai adalah silinder, maka nilai MFR ditentukan dari perbandingan diameter bahan bakar, cladding, dan moderator. Densitas nuklida materi bahan bakar, cladding, dan moderator dirinci. Bagian terakhir kode adalah bagian yang menyimpan informasi input burnup. Besaran bburnup step dapat dipilih, misalnya pertahun atau dengan besaran exposure yang dapat ditentukan. 34 Fitur lain dari SRAC adalah PDSMDL (PDS modular subrutin package), subrutin ini digunakan untuk mengedit isi dari file PDS member. Salah satu utility program yang digunakan adalah FLUXPLOT, yaitu program yang dipakai untuk memplot spektrum neutron. Program ini membaca data struktur anggota grup energi dan flux neutron yang terdapat pada file FLUX. Keluaran dari program ini berisi kedua hal tersebut dan data ini yang dipakai dalam membuat grafik log dari spektrum neutron. 35