BAB II PEMBELAJARAN KITABNAṢĀ’IḤUL ҅IBĀD DAN AKHLAK SANTRI A. Pengertian Pembelajaran Kitab Naṣā’iḥul ҅Ibād 1. Pengertian pembelajaran kitab Naṣā’iḥul ҅Ibād Pembelajaran menurut sebagai Kokom Komalasari didefinisikan suatu sistem atau proses membelajarkan subyek didik / pembelajar yang direncakan atau di desain, dilaksanakan, dan di evaluasi secara sistematis agar subyek didik/ pembelajar dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.1 Pandangan yang sudah berlangsung lama yang menempatkan pembelajaran sebagai pusat transfer informasi atau transfer of knowledge dari guru kepada siswa semakin banyak menambah kritikan. Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri atau kepribadian diri merupakan hal yang sangat penting dalam upayaupaya pemberdayaan diri (self empowering). Pengenalan terhadap diri berarti pula kita mengenal kelebihan-kelebihan atau kekuatan yang kita miliki.2Basyiruddin Usman mengemukakan dalam pembelajaran terdapat asas-asas yang penting yaitu: 1 Dr. Kokom Komalasari. M.Pd. Pembelajaran Kontekstual (Konsep dan Aplikasi). PT. Rafika Aditama: Jakarta, 2011. Hlm.3 2 Dr. Aunurrahman, M.Pd, Belajar dan Pembelajaran, Alfabeta : Bandung, 2010, hlm 11 27 28 a. Peragaan Peragaan ialah suatu cara yang diperagakan oleh gurundengan maksud memberikan kejelasan secara realita terhadap pesan yang di sampaikan sehingga dapat dimengerti atau di pahami oleh para sisiwa. b. Minat dan Perhatian Minat dan perhatian merupakan suatu gejala siswa yang saling bertautan. Seorang siswa yang memiliki niat dalam belajarakan timbul perhatianya terhadap pelajaran yang diminati tersebut. c. Motivasi Dorongan yang timbul dari dalam diri seorang disebut motivasi, di mana seorang memperoleh daya jiwa yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang timbul dari dalm dirinya sendir dinamakn motivasi intrinsik. Sedangkan dorongan yang timbul yang disebabkan oleh adanya pengaruh luar disebut motivasi ekstrinsik. d. Apersepsi Ahli psikologi mendefinisikan apersepsi yaitu bersatunya memori yang lama dengan yang baru pada saat tertentu. 29 e. Korelasi dan konsentrasi Hubungan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain yang berfungsi dapat menambah kematangan yang pengetahuan yang dimiliki siswa. f. Kooperasi Yang dimaksud kooperasi yaitu belajar atau bekerja sama (kelompok). g. Individualisasi Azas individualisasi pada hakikatnya bukan lawan dari azas kooperasi. Azas ini dilatar belakangi oleh perbedaan siswa. h. Evaluasi Evaluasi yaitu penilaian seorang guru terhadap proses atau kegiatan belajar-mengajar.3 Selain azas pembelajaran pembelajaran diatas juga ada yang harus diperhatikan (Riyanto, tahapan 2001) membagi tahapat tersebut sebagai berikut : 1. Tahap pemula (Pra-Intruksional) adalah tahapan persiapan guru sebelum kegiatan pembelajaran di mulai. 2. Tahap Pengajaran (intruksional)Yaitu langkah-langkah yang dilakukan saat pembelajaran berlangsung. 3 Drs, M. Basyiruddin Usman, M.Pd, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputa Pres : Jakarta, 2002, hlm 7-16 30 3. Tahap Penilaian dan tindak lanjut ialah penilaian atas hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dan tindak lanjutnya.4 Kitab kitabNaṣā’iḥul ҅Ibād adalah Kitab Hadits yang sangat terkenal di dunia pesantren kitab yang di dalamnya banyak mengulas tentang perilaku-perilaku luhur para hamba yang bersumber pada sunnah, atsar, khabar. yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Buah karya dari syeikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-jawi. Menurut buku yang ditulis oleh Samsul Munir Amin dengan judul Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Jadi pembelajaran kitab Naṣā’iḥul ҅Ibād dapat disimpulkan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subyek didik / pembelajar yang direncakan atau di desain, dilaksanakan, dan di evaluasi secara sistematis agar subyek didik/ pembelajar dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien dengan 4 Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd, Paradigma Baru Pembelajaran, Prenada Media : Jakarta, 2010, Hlm. 132-133 31 menggunakankitab Naṣā’iḥul ҅Ibādsebagai sumber belajarnya 2. Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran adalah kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu. Hal ini seperti dikemukakan oleh Dick dan Carey : The instructional goal is statement that describe what it is that student will be able to do after they have completed. Tujuan pembelajaran itu juga biasa di istilahkan dengan indikator hasil belajar. Artinya, apa hasil yang diperoleh siswa setelah mereka mengikuti proses pembelajaran. Ada empat komponen pokok yang harus tampak dalam rumusan indikator hasil belajar sperti yang digambarkan dalam pertanyaan berikut : a. Siapa yang belajar atau yang diharapkan dapat mencapai tujuan atau mencapai hasil belajar itu? b. Tingkah laku atau hasil belajar yang bagaimana yang diharapkan dapat dicapai itu? c. Dalam kondisi bagaimana hasil belajar itu dapat ditampilkan? d. Seberapa jauh hasil belajar itu bisa diperoleh? Pertanyaaan pertama, berhubungangan dengan subyek belajar. Pertanyaan kedua, berhubungan dengan tingkah laku yang harus muncul sebagai indikator hasil belajar setelah 32 subyek mengikuti atau melaksanakan proses pembelajaran. Pertanyaan ketiga, berhubungan dengan kondisi atau dalam situasi dimana subyek dapat menunjukkan kemampuanya. Pertanyaan keempat, berhubungan dengan standar kualitas dan kuantitas hasil belajar.5 3. Metode pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran di pondok pesantren dilakukan secara bertahap, dari kitab-kitab yang dasar yang merupakan kitabkitab pendek dan sederhana, kemudian ketingkat lanjutan menengah dan baru setelah selesai menginjak kepada kitab-kitab takhasus, dan dalam pengajarannya dipergunakan metode-metode seperti, sorogan, bandongan, hafalan, mudzakaroh dan majlis ta’lim. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan masing-masing metode tersebut sebagaimana berikut : 1. Metode Hafalan Metode hafalan adalah metode pembelajaran dengan mengharuskan santri membaca dan menghafalkan teks-teks kitab yang berbahasa arab secara individual, biasanya digunakan untuk teks kitab nadhom, seperti aqidat al-awam, awamil, imrithi, alfiyah dan lain-lain. 5 Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. Strategi Pembejaran, Kencana : Jakarta, 2007, hlm 86-87 33 Untuk memahami maksud dari kitab itu guru menjelaskan arti kata demi kata dan baru dijelaskan maksud dari bait-bait dalam kitab nadhom. Dan untuk hafalan, biasanya digunakan istilah setor, yang mana ditentukan jumlahnya, bahkan kadang lama waktunya. 2. Metode Weton / Bandongan Metode ini disebut weton, karena pengajiannya atas inisiatif kyai sendiri, baik dalam menentukan kitab, tempat, waktunya, dan disebut bandongan, karena pengajian diberikan secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri.6 Proses metode pengajaran ini adalah santri berbondongbondong datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh kyai, kyai membaca suatu kitab alam waktu tertentu, dan santri membawa kitab yang sama sambil mendengarkan dan menyimak bacaan kyai, mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu yang disebut dengan istilah maknani, ngasahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tidak terikat pada absensi, dan lama belajarnya, hingga tamatnya kitab yang di baca, tidak ada ujian, sehingga tidak bisa diketahui apakah santri sudah memahami atau belum tentang apa yang di baca oleh kyai. 3. Metode Sorogan Metode ini, adalah metode pengajaran dengan sistem 6 Dr.dr. Wahjoetomo, op.cit.,hlm. 83 34 individual, prosesnya adalah santri dan biasanya yang sudah pandai, menyodorkan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di depan kyai, dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kyai.7 Di pondok pesantren, metode ini dilakukan hanya oleh beberapa santri saja, yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri tertentu yang sudah dekat dengan kyai atau yang sudah dianggap pandai oleh kyai dan diharapkan di kemudian hari menjadi orang alim. Dari segi teori pendidikan, metode ini sebenarnya metode modern, karena kalau kita pahami prosesnya, ada beberapa kelebihan di antaranya, antara kyai-santri saling kenal mengenal, kyai memperhatikan perkembangan belajar santri, dan santri juga berusaha untuk belajar aktif dan selalu mempersiapkan diri. Di samping kyai mengetahui materi dan metode yang sesuai untuk santrinya.Dan dalam belajar dengan metode ini tidak ada unsur paksaan, karena timbul dari kebutuhan santri sendiri. 4. Metode Mudzakaroh / Musyawarah. Metode mudzakaroh atau musyawarah adalah sistem pengajaran dengan bentuk seminar untuk membahas setiap 7 Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta : Rajawali, 1981, hlm. 19 35 masalah keagamaan atau berhubungan dengan pelajaran santri, biasanya hanya untuk santri tingkat tinggi.8 Metode ini menuntut keaktifan santri, prosesnya santri di sodori masalah keagamaan tertentu atau kitab tertentu, kemudian santri diperintahkan untuk mengkajinya sendiri secara berkelompok, peran kyai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan sepenuhnya. 5. Metode Majlis ta’lim Metode ini biasanya bersifat umum, sebagai suatu media untuk menyampaikan ajaran Islam secara terbuka, diikuti oleh jamaah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, juga berlatar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian ini dilakukan secara rutin atau waktu-waktu tertentu. 4. Manfaat pembelajaran kitab Naṣā’iḥul ҅Ibād Materi pembelajaran kitab Naṣā’iḥul ҅Ibādyang banyak mengulas tentang nasehat-nasehat kebaikan para hamba yang bersumber pada sunnah, atsar, dan khabar sangat efektif untuk menyadarkan para santri akan pentingnya Akhlak dan membentuk suatu pribadi yang berakhlaqul karimah. Sehubungan dengan hal itu kitab Naṣā’iḥul ҅Ibādmerupakan kitab karangan ulama asli indonesia yaitu syeikh 8 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, op.cit.,hlm. 104 36 Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-jawi dengan begitu berarti kita melestarikan dan menghargai jerih payah ulama kita dalam hal dakwah dan ilmu pengetahuan terutama dalam hal berbudi pekerti luhur/ akhlaqul karimah yang berjiwa iman , islam, dan ihsan untuk mencapai kemaslahatan umat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dunia dan akhirat. B. Akhlak Santri 1. Pengertian Akhlak santri Secara etimologi Akhlak berasal dari bahasa arab (Khuluqun) jamak dari kata (Akhlaqu) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.9Kata akhlak di sini juga mengandung persesuaian dengan kata artinya kejadian yang juga erat hubungannya dengan yang berarti pencipta, demikian juga dengan kata yang berarti yang diciptakan.Perumusan ini dapat diambil pengertian bahwa akhlak sebagai media yangmemungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.10 Secara terminologi, akhlak didefinisikan oleh Ahmad Amin sebagai kebiasaan kehendak, yang berarti bila kehendak itu dibiasakan, maka kebiasaan itu akan disebut sebagai akhlak.11Pengertian di atas, perlu 9 Drs. H. Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Bandung : Diponegoro, 1983, hlm.11 10 Drs. Djasuri ”Pengajaran Akhlak” dalam Drs. Chabib Thoha, dkk., ( Tiem Perumus ), Metodologi Pengajaran Agama, Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan pustaka Pelajar, 1999, hlm. 109-110. 11 Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang, 1991, hlm. 63. 37 dijelaskan yang dimaksud kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedang untuk mengerjakannya mempunyai dua syarat : Pertama ; ada kecenderungan hati kepadanya ; Kedua, ada pengulangan yang cukup banyak ; sehingga mudah mengerjakannya tanpa memerlukan fikiran lagi. Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak adalah menangnya keinginan manusia setelah di bimbing. Proses terjadinya melalui ; Pertama, timbul keinginan setelah adanya stimulanstimulan melalui indra-indranya, Kedua ; timbul kebimbangan mana yang harus dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak itu ; Ketiga; mengambil keputusan, menentukan keinginan yang dipilih di atara keinginan-keinginan tersebut.12 Imam al-Ghazali mengemukakan dalam kitabnya Ihya’ Ulum alDin bahwa :13 َ ِ ِع َب َار ٌة َع ْن َه ْيثَ ٍة ِِف النَّ ْف ِس َر ُْس ٍ ْ اِس ٌة َع ْْنَا ت َْصدُ ُر ا َالفْ َع ُل ب ُِسه ُْو َ ٍَل َوي .ِ ْن َ ْ ِ َ اا ٍة ِا َ ِف ْ ٍ َو ُر ْ َ ٍة 12 Prof. Dr. H. Rachmat Djatmiko, Sistem Etika Islam, Jakarta : Pustaka Paji Mas, 1992, hlm.27-28. 13 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, Beirut : Darul Fikr, 1979, hlm. 58. 38 Artinya: ”Akhlak adalah suatu keterangan kesediaan jiwa yang (relatif) tetapi yang dari padanya muncul perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang tanpa disertai pikir dan pertumbuhan”. Dari pengertian yang diberikan oleh al-Ghazali dapat diketahui bahwa hakekat akhlak itu harus memenuhi dua syarat : a. Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulangkali, kontinu, dalam bentuk sama sehingga dapat menjadi kebiasaan (habit forming). b. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan dari orang lain atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya.14Sedangkan Elizabeth B. Hurlock memberikan batasan tentang akhlak dalam bukunya Child Development sebagai berikut : Behaviour which may be called “Have Morality” not only conforms to social standards but also Is carried out varuntarily, Is comes whith the transition from external to internal outority and consists of conduct regulated from writhin.15 Artinya: ”Tingkah laku yang boleh dikatakan sebagai moral yang sebenarnya itu buka hanya sesuai dengan standar masyarakat tetapi juga harus dilaksanakan dengan sukarela. Tingkah laku itu terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) ke dalam (diri) dan ada ketetapan hal dalam bertindak yang diatur dari dalam (diri)”. Jadi, pengertian akhlak dapat disimpulkan sebagai kehendak 14 Drs. Zainuddin, dkk.,Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, hlm.102. 15 386. Elisabeth B. Hurlock, Child Development, Edisi VI, Tokyo: MC. GrowHill , 1978, hlm. 39 jiwa manusia, (tanpa adanya paksaan dan tekanan maupun bujukan) yang dapat menimbulkan perbuatan dengan mudah dan gampang karena sudah dibiasakan dan dilakukan berulang-ulang, sehingga sewaktu-waktu perbuatan itu akan muncul tanpa memerlukan pertumbuhan dan pemikiran terlebih dahulu. Dalam pembahasan akhlak, juga ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai persamaan dengan istilah akhlak, istilahistilah itu adalah : a. Etika Etika atau akhlak adalah berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu dari kata ”Ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan adat, akhlak, wata’, perasaan, sikap, cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ”ta etha” mempunyai arti adat kebiasaan.16Dalam Ensiklopedia Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.17Menurut Frans Magnis Suseno, etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan mengetahui 98. oleh masyarakat bagaimana manusia yang bersangkutan seharusnya untuk menjalankan 16 K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 4. 17 Soeganda poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976, hlm. 40 kehidupannya.18Sedangkan Hamzah Ya’kub mendefinisikan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran.19 Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan menyelidiki tingkah laku manusia untuk menentukan nilai dari perbuatan tersebut, baik atau buruk menurut ukuran akal, atau dengan kata lain akal manusia yang dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan, baik karena akal menganggap dan menentukannya baik dan jelek karena akal menilainya jelek. b. Moral Kata moral berasal dari bahasa latin ”Mores” kata jamak dari kata mos yang berarti adat istiadat.20Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan atau kelakuan.21Salah satu pengertian moral sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Pendidikan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai 18 Drs. Frans Mognis Suseno, Etika Jawa, Jakarta : Gramedia, 1985, hlm. 6. 19 A.M. H. Hamzah Ya’kub, Op.Cit.,hlm. 13. 20 Ibid, hlm . 14. 21 592. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1993, hlm. 41 hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik atau buruk.22 Pengertian yang hampir sama, juga diberikan oleh K. Bertens, bahwa etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.23Lebih jelas lagi definisi yang diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno bahwa norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap atau tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.24Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan moral adalah dasar, nilai yang dapat dijadikan pedoman, tolak ukur untuk menentukan baik buruknya, betul salahnya suatu perbuatan manusia dalam satu lingkup masyarakat, sehingga persesuaiannya adalah dengan adat istiadat yang diterima oleh masyarakat yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. c. Kesusilaan Untuk membicarakan mengenai tingkah laku manusia, juga bisa digunakan istilah kesusilaan, kata kesusilaan berasal dari kata “susila” yang termasuk dalam kosa kata Bahasa Sansekerta, kata 22 Soeganda poerbakawatja, Op.Cit.,hlm. 186. 23 K. Bertens, Op.Cit.,hlm. 7. 24 Dr. Frans Magnis Suseno, Etika Dasar,Jakarta., Kanisius,1989,hlm.19. 42 susila ini berasal dari penggabungan kata ”su” yang berarti baik, bagus dan kata ”sila” yang berarti dasar, prinsip, peraturan hidup, norma.25Jadi, yang dimaksud dengan kesusilaan adalah dasar atau prinsip tentang baik dan bagusnya tingkah laku manusia. Di sisi lain, pengertian ini dapat memberikan bimbingan agar manusia dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam tata kehidupan manusia. d. Budi Pekerti Budi pekerti dalam Bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata ”budi” dan ”pekerti”. Budi berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti sadar, menyadarkan atau alat kesadaran.Sedangkan pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan.Secara istilah, budi dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio yang disebut dengan karakter. Dan pekerti diartikan sebagai apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi yang dimaksud dengan budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanivestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.26 Istilah ”santri” mempunyai dua konotasi atau pengertian, yang pertama; di konotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan 25 Drs. M. Said, Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta : Pradya Paramita, 1976, hlm. 74. 26 Prof. Dr. Rahmat Djatnika, Op.Cit.,hlm. 26. 43 dan melaksanakan perintah agama Islam, atau dalam terminologi lain sering disebut sebagai ”muslim ortodoks”. Yang dibedakan secara kontras dengan kelompok abangan, yakni orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilainilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha.27Yang kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren.Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas pula kesamaannya, yakni sama-sama taat dalam menjalankan syariat Islam.28 Dalam dunia pesantren santri dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu : 1. Santri mukim Adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok yang disediakan pesantren, biasanya mereka tinggal dalam satu kompleks yang berwujud kamar-kamar.Satu kamar biasanya di isi lebih dari tiga orang, bahkan terkadang sampai 10 orang lebih. 2. Santri kalong Adalah santri yang tinggal di luar komplek pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk di sekitar 27 Bakhtiar Efendy, ”Nilai-nilai Kaum Santri” dalam Dawan Raharjo (ed), Pergulatan Dunia pesantren Membangun dari Bawah, Jakarata : LP3M, 1986. hlm. 37 28 Drs. Imama Bawani, M.A., op.cit.,hlm. 93 44 lokasi pesantren, biasanya mereka datang ke pesantren pada waktu ada pengajian atau kegiatan-kegiatan pesantren yang lain.29 Para santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang kuat baik antara santri dengan santri maupun antara santri dengan kyai. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri, di dalam pesantren mereka belajar untuk hidup bermasyarakat, berorganisasi, memimpin dan dipimpin, dan juga dituntut untuk dapat mentaati dan meneladani kehidupan kyai, di samping bersedia menjalankan tugas apapun yang diberikan oleh kyai, hal ini sangat dimungkinkan karena mereka hidup dan tinggal di dalam satu komplek.Dalam kehidupan kesehariannya mereka hidup dalam nuansa religius, karena penuh dengan amaliah keagamaan, seperti puasa, sholat malam dan sejenisnya, nuansa kemandirian karena harus mencuci, memasak makanan sendiri, nuansa kesederhanaan karena harus berpakaian dan tidur dengan apa adanya. Serta nuansa kedisiplinan yang tinggi, karena adanya peraturan-peraturan yang harus dipegang teguh setiap saat, bila ada yang melannggarnya akan dikenai hukuman, atau lebih dikenal dengan istilah ta’zirat seperti di gundul, membersihkan kamar mandi dan lain sebagainya. 29 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,op.cit., hlm.105 45 Maka dari Uraian pengertian Akhlak dan Santri diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak santri ialah perangai atau perilaku yang dimiliki oleh santri dalam proses atau hasil belajarnya di Pondok Pesantren. 2. Ciri – ciri Akhlak Ciri-ciri Akhlakqul Karimahantara lain: 1. Jujur 2. Memelihara amanah 3. Bersifat adil 4. Bersifat kasih sayang 5. Bersifat hemat 6. Bersifat berani 7. Bersifat kuat 8. Bersifat malu 9. Memelihara kesucian diri 10. Menepati janji30 3. Fungsi dan manfaat akhlak a. Fungsi akhlak Saat ini kita berad ditengah-tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengandung serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Urgensi akhlak semaikin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan 30 Drs. M. Yatimin Abdullah, M. A, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur an, jakarta, Amzah,2007, Hlm. 16 46 tersebut dilakukan tindakan represif melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya preventif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang kembali.31 b. Manfaat akhlak Besar harapan sesorang yang mempelajari akhlak akan menjadi orang yang baik budi pekertinya. Ia menjadi anggota masyarakat yang berarti dan berjasa. Ilmu akhlak tidak memberi jaminan sesorang menjadi baik dan berbudi pekerti luhur. Namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk mengetahui yang baik dan buruk. Begitu pula memberi pengertian apa faedahnya jika berbuat baik dan apa bahayanya jika berbuat kejahatan.32 5. Proses terbentuknya Akhlak akhlak santri Pembentukan akhlak yang dimiliki snatri tidak terlepas dari metode pembentukan akhlak yang diterapkan . Metode-metode yang dapat digunakan dalam pembentukan akhlak antara lain, adalah : 1. Metode Keteladanan Akhlak adalah bentuk perilaku yang dapat diperoleh melalui pergaulan, pergaulan merupakan bentuk komunikasi manusia secara langsung, yang menyebabkan terjadinya saling mengambil contoh, meniru dan pengaruh mempengaruhi antara 31 Nur Hidayat, M.Ag, Akhlak Tasawuf, Jakarta, Ombak, 2013, Hlm 27-28 Drs. M. Yatimin Abdullah, M. A, Op.ciy, hlm 16 32 47 satu dengan yang lain. Sebagai guru, yang kapasitasnya sebagai pendidik harus dapat memberikan contoh teladan (uswah hasanah), jika ingin anak didiknya memiliki akhlak yang baik, karena segala perilaku yang ada pada pendidik akan selalu direkam dan diperhatikan oleh anak didik, sehingga metode keteladanan ini merupakan metode yang trebaik dalam pendidikan akhlak, sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur'an : ِ َّ ِلَقَدْ ََك َن لَ ُ ُْك ِِف َر ُسول اَّلل َوالْ َي ْو َم َ َّ اَّلل ُأ ْس َو ٌة َح َس نَ ٌة ِل َم ْن ََك َن يَ ْ ُجو ااآل ِ َ َو َ َ َ َّ َاَّلل َ ِث ًري ا Artinya : ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (alAkhzab : 21)33 Dalam metode keteladanan, juga dituntut untuk bersikap konsisten dan kontinyu dalam memberikan contoh perbuatan dan budi pekerti yang baik. Karena sekali saja, pendidik melakukan hal yang tidak baik, maka akan dapat mencoreng seluruh budi pekerti yang telah diteladankannya.34 33 34 Depag RI, Op.Cit.,hlm. 670. Khatib Ahmad Santhut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual anak dalam Keluarga Muslim, (terj. Ibnu burdas), Jakarta : Mitra Pustaka, 1998, hlm. 85. 48 2. Metode Mujahadah dan Riyadhoh Metode mujahadah dan riyadhoh ini merupakan metode praktek dengan melatih dan membiasakan anak didik untuk berbuat dan bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai dengan yang diharapkan, seperti misal anak didik diarahkan agar memiliki sifat pemurah, maka diusahakan sesering mungkin anak didik diajak untuk seringkali bersedekah, sehingga lambat laun anak didik akan mudah untuk melakukan sedekah dan tidak merasa takut. Anak didik yang dipraktekan dan dilatih untuk berbuat sesuatu, dan dibiasakan, akan terbentuklah sikap dan tabiat yang kuat dengan apa yang dilakukannya akhirnya tidak tergoyahkan lagi dan masuk menjadi bagian dari pribadinya. 3. Metode Kisah dan Cerita Dalam pendidikan Islam, kisah dan cerita mempunyai fungsi edukatif yang memiliki dampak psikologis yang cukup kuat terhadap anak didik. Kisah dan cerita akan dapat membekas pada diri seseorang apabila benar-benar dapat menyentuh hati nurani anak didik yang peka. Karena cerita atau kisah yang baik dapat merangsang, menggugah dan mendorong anak didik untuk bertindak sesuai dengan apa yang terkandung dalam isi cerita, sehingga anak didik akan melakukan apa yang sesuai dengan hatinya dan menyingkirkan apa 49 yang tidak sesuai dengan dikehendaki, metode ini juga dikenal dengan metode historis.35 Metode ini juga digunakan al-Qur'an dalam mengarahkan manusia ke arah mengemukakan yang kisah-kisah, dikehendaki-Nya, seringkali al-Qur'an dengan dalam menonjolkan kelemahan dan kelebihan dari orang masa lalu, namun kisah tersebut juga disertai dengan digaris bawahi akibat dari kelemahan dan kelebihan tersebut.36Agar orang yang mendengarkan tahu akan cerita itu dan dapat mengambil pelajaran dari isi kandungan cerita tersebut.Sebagaimana firman Allah : ِ اِ َ اَْي َ ْيَنَ اِاَْي َ ا َ َ ااااْي ُ ْي َآا َا َ َ ُّص ا ََْي َ اَ ْي َ َ اااْي ِِا ِ ا ََن ِ ِااَ ِ اااْي َ ا َ َ ْي ْي ُ َْي ُ ا ََن ا َ ِ ْيآا ُ ْي Artinya : ”Kami menceritakan kepadamu kisah kasih yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur'an ini kepadamu”.dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan-Nya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”. (QS.Yusuf:3 )37Dan juga : ِ اََ ْيدا َ َآ ِاِفا َ ِ ِهما ِْيَن ةٌاأل ِِلااألاْي با َ ا َ َآا َ ِديثً ا َ َ َ ْي ِ يَن ْيفتَن ىا اَ ِك اتَ ِد اش ْيي ٍءا َ ُ ًدىا َ يقاااَّ يابََن ْي َ ايَ َديْيِا َ تََن ْيف ِ َلا ُ ِّل َ ُ َ َ َ ْي ْي َ َر ْيْحَةًااَِ ْيوٍمايَنُ ْيؤِ ُوآ 35 Dr. Muhammad Fadhil al-Jamaly, Konsep Pendidikan Qur’ani, diterj Oleh Drs. Judi alFalasani, M.A., Solo : Ramadhani, 1993, hlm. 132. 36 Dr.M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung : Mizan, 1994, hlm .175. 37 Depag RI, Ibid.,hlm. 348. 50 Artinya : ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Yusuf : 111 )38 Ayat tersebut di atas, menjelaskan kepada kita bahwa dalam alQur'an banyak sekali kisah dan cerita yang dapat digunakan untuk mendidik anak dalam menanamkan akhlak yang baik, di samping cerita-cerita simbolik dan fiktif yang mengandung materi pendidikan yang baik. 4. Metode Targhib dan Tahdzib Metode targhib dan tahdzib adalah metode pendidikan akhlak dengan membuat anak senang dan takut.Untuk membuat senang ini adalah dengan memberikan penghargaan hadiah dan serupanya bagi anak didik yang melaksanakan perilaku baik, dan juga mengancam dan menghukum terhadap anak melakukan kesalahan atau berperilaku yang tidak baik.Metode ini dapat dipraktekkan dengan membuat peraturan-peraturan dan tata tertib, yang berisi kewajiban dan larangan disertai aturan hukuman bagi yang melanggar.Peraturan dan tata tertib ini harus diterapkan kepada semua anak didik, atau kalau dalam keluarga, tentunya kepada seluruh anggota keluarga agar tidak ada diskriminasi antara satu dengan yang lainnya. Selain keempat metode tersebut di atas, juga masih ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan secara berkesinambungan dan terkait dengan metode-metode tersebut, di 38 Depag RI, ibid ,hlm. 366. 51 antaranya adalah metode pemberian nasehat dan dorongan, metode penilaian rasional, pengawasan dan lain sebagainya, kesemua metode tersebut adalah digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan pembentukan watak, pribadi yang karimah, sesuai dengan tatanan nilai-nilai agama Islam. Dari penjelasan mengenai istilah-istilah di atas, maka bila dikaitkan dengan akhlak, perbedaan.Persamaannya ada adalah beberapa kesemua perasamaan istilah dan sama-sama membahas perilaku manusia dan menilai dan menentukan tentang baik buruknya perbuatan tersebut.Perbedaannya adalah terletak pada sumber titik pangkal tata aturannya.Akhlak dalam menilai perilaku manusia didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits sehingga memiliki manivestasi yang lebih mendalam, yaitu untuk mencapai kedamaian dunia akherat. Sedangkan etika, moral kesusilaan, budi pekerti memandang tingkah laku manusia memakai tolak ukur dan pertimbangan akal fikiran, adat istiadat atau segala apa yang menjadi tatanan nilai yang dihasilkan di suatu masyarakat.39 39 hlm. 9. Drs. Asmaran AS., M.A., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994,