IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PEREKONOMIAN INDONESIA DAN PROGRAM KUR 4.1. Kondisi Perekonomian Indonesia 4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB per Kapita Kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang membaik setelah krisis ekonomi tahun 1997, terutama sejak tahun 2000. Hal tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator makro ekonomi nasional antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita (Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita), kemiskinan, dan ketenagakerjaan. Sejak tahun 2005, ekonomi nasional selalu tumbuh di atas 5 persen dengan trend yang cenderung meningkat meskipun mengalami penurunan menjadi 4,6 persen pada tahun 2009. Produk Domestik Bruto (PDB, atas dasar harga berlaku) per kapita mengalami peningkatan dari Rp. 6,8 juta/kapita (US$ 807/kapita) pada tahun 2000 menjadi Rp 24,2 juta/kapita (US$ 2819 /kapita) pada tahun 2010 atau meningkat sekitar tiga kali lipatnya dalam sembilan tahun. Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 berikut ini menunjukkan perkembangan indikator pertumbuhan ekonomi nasional dan PDB per kapita tersebut. Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Nasional Tahun 2001-2010 (Persen) Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 71 Gambar 4.2 Produk Domestik Bruto per Kapita Indonesia Tahun 2000-2010 Keterangan: * : Sementara ** : Sangat Sementara *** : Revisi Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009 4.1.2. Pengeluaran per Kapita Bila ditinjau dari pengeluaran per kapita sebulan, selama kurun waktu 15 tahun (ditunjukkan dalam Gambar 4.3), pengeluaran per kapita penduduk Indonesia mengalami kenaikan dari Rp 43.565 per kapita sebulan pada tahun 1993 menjadi Rp 386.370 per kapita sebulan pada tahun 2008. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama periode tersebut, peningkatan pengeluaran per kapita sebulan penduduk Indonesia tercatat hampir sebesar 20 persen per tahun. Walaupun pengeluaran per kapita di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, namun bila dilihat dari rata-rata pertumbuhannya per tahun, pertumbuhan pengeluaran per kapita sebulan di perdesaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkotaan dalam periode tahun 1993 sampai dengan 2008. Bila dirinci menurut golongan pengeluaran per kapita sebulan, persentase penduduk terbesar pada tahun 2008 di Indonesia (perkotaan dan perdesaan) adalah 72 kelompok masyarakat yang pengeluaran per kapita sebulannya antara Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 499.999,- yaitu sebesar 27,71 persen, disusul oleh kelompok pengeluaran per kapita sebulan antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 299.999,- yaitu sebesar 26,68 persen. Dengan kata lain, kelompok masyarakat yang pengeluaran per kapita sebulannya antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 499.999,- cukup dominan, yaitu sekitar 54,39 persen dari masyarakat Indonesia pada tahun 2008. Secara umum juga terjadi, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Gambar 4.4 berikut ini menunjukkan secara rinci mengenai kondisi tersebut, baik secara nasional, perkotaan, maupun perdesaan pada tahun 2008. Gambar 4.3 Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rupiah) Tahun 1993-2008 Sumber: Perkembangan Pengeluaran/Konsumsi Rumah Tangga 1993-2008, Hasil Susenas 1993-2008, BPS, 2008 73 Gambar 4.4 Persentase Penduduk Menurut Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan Tahun 2008 Sumber: Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2008, Hasil Susenas Panel Maret 2008, BPS, 2008 Dengan melihat data tersebut (Gambar 4.3 dan Gambar 4.4), terlihat bahwa peningkatan pengeluaran per kapita sebulan yang cukup tinggi masih disertai dengan adanya kesenjangan dalam pengeluaran per kapita sebulan yang cukup tinggi, baik antara perdesaan dan perkotaan maupun antar golongan pengeluaran per kapita sebulan. Kondisi tersebut membuat target penurunan angka pengangguran semakin tidak mudah karena Pemerintah sekarang ini masih menggunakan asumsi bahwa setiap persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 600.000 tenaga kerja sebagai dasar penetapan target pengurangan tingkat pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Selain itu, upaya Pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan menjadi setengahnya (yaitu menjadi 7,55 persen) pada tahun 2015 dalam rangka pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDG’s)36 di Indonesia juga semakin sulit. 36 Pengurangan tingkat kemiskinan menjadi setengahnya pada 2015 merupakan salah satu tujuan dan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDG’s diantara 7 (tujuh) tujuan yang lain, yaitu 74 Berbagai teori ekonomi terkait dengan pertumbuhan ekonomi umumnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat membawa manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hal tersebut dapat disimpulkan dari teori yang dikembangkan oleh Adam Smith dan David Ricardo dengan teori klasiknya serta Robert M. Solow dan Harrod-Domar dengan teori neo-klasiknya. Simon Kuznets adalah salah satu ekonom yang concern terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Kuznets37, terdapat enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang dapat ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju, antara lain: (i) tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertambahan penduduk yang tinggi; (ii) tingkat kenaikan total produktivitas faktor yang tinggi, khususnya produktivitas tenaga kerja; (iii) tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi; (iv) tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi; (v) adanya kecenderungan negaranegara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku; dan (vi) terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sepertiga penduduk dunia. Bila meninjau tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berbagai indikator lainnya yang terkait dengan karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang disebutkan Kuznets, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih mengandung berbagai permasalahan sehingga tidak berkualitas. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya fenomena pertumbuhan yang tidak berkualitas tersebut menurut Siregar (2007) antara lain: (i) pertumbuhan ekonomi yang ada sebenarnya masih belum cukup tinggi, karena sesuai dengan Hukum Okun (Okun’s Law)38 bahwa laju pengangguran (ut) terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi aktual (gt) terhadap laju pendidikan untuk semua, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan (www.targetmdgs.org) 37 Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara maju. 38 Okun’s Law (Arthur Okun) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan penangguran, dimana semakin tingkat pengangguran maka pertumbuhan ekonomi semakin rendah 75 pertumbuhan ekonomi dalam kondisi normal (gtn)39; (ii) pertumbuhan ekonomi di kawasan pusat-pusat kemiskinan relatif lambat; (iii) masih lemahnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya termasuk pariwisata dan industri pengolahan; dan (iv) relatif terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di Jawa khususnya dan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) umumnya. Pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan/perlu (necessary condition) untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran, namun hal tersebut belum cukup. Syarat cukupnya (sufficient condition) adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut harus efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran (Siregar, 2007). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dirasa dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (yaitu di atas 7 persen per tahun), berkualitas, dan berkesinambungan (Tinambunan, 2007). Selain permasalahan-permasalahan tersebut di atas, permasalahan lain juga muncul akibat memburuknya perekonomian global yang dipicu oleh krisis finansial (sub-prime mortgage) di Amerika Serikat sejak pertengahan 2007 yang berimbas pada perekonomian negara-negara di dunia, terutama negara berkembang termasuk Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 yang sebesar 6,06 persen, dimana pada tahun 2007 pertumbuhannnya adalah sekitar 6,28 persen. Proyeksi resmi Pemerintah terhadap beberapa indikator makroekonomi pada tahun 2009 menunjukkan indikasi terjadinya penurunan kinerja ekonomi nasional40. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan hanya akan berkisar antara 4 sampai dengan 5 persen. Selain itu, apabila tanpa ada kebijakan khusus untuk menghadapi imbasan krisis global tersebut, maka tingkat pengangguran terbuka akan mencapai 8,87 persen dan tingkat kemiskinan masih sekitar sebesar 13 persen. Salah satu kelemahan dalam struktur perekonomian Indonesia adalah bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor konsumsi (sekitar 39 ut = -θ (gt-gtn) + ε . Bila gt lebih kecil dari gtn, maka pengangguran dan juga kemiskinan akan meningkat. 40 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Repubik Indonesia, 2009, Siaran Pers Evaluasi Ekonomi 2008 dan Prospek 2009 oleh Pemerintah RI, Jakarta, 5 Januari 2009 76 lebih dari 60 persennya) dan pertumbuhan ekonominya selama ini sebagian besar masih bertumpu pada kegiatan konsumsi. Hal ini mencirikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum dapat berkelanjutan41. Oleh arena itu, pola pertumbuhan ekonomi yang demikian perlu dikoreksi dengan pola pertumbuhan ekonomi yang secara dominan digerakkan oleh sektor riil dan produktif serta dikerjakan oleh dan untuk kesejahteraan mayoritas masyarakat (Tinambunan, 2007). Gambar 4.5 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2009 Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2009 4.1.3. Sektor UMKM dan Koperasi Sektor UMKM dan koperasi memiliki peranan yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kontribusi sektor UMKM dan koperasi dalam pembentukan PDB nasional, pertumbuhan ekonomi, jumlah unit usaha, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar bila dibandingkan dengan kontribusi sektor usaha besar (UB). Pada tahun 2009, sektor UMKM dan koperasi berkontribusi sekitar 56,53 persen terhadap PDB atas dasar harga berlaku Indonesia. Pertumbuhan PDB (atas dasar harga konstan 2000) untuk sektor UMKM dan koperasi juga selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan UB. Hal 41 Perekonomian dapat dinyatakan berkelanjutan apabila bertumpu pada ekspor dan investasi 77 tersebut menunjukkan bahwa sektor UMKM dan koperasi berkontribusi lebih besar dibandingkan dengan UB dalam menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Gambar 4.6 sampai dengan Gambar 4.8 merinci mengenai hal tersebut: Gambar 4.6 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Indonesia Menurut Skala Usaha Tahun 2003-2009 Keterangan: * : Sementara ** : Sangat Sementara Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011 Gambar 4.7 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Indonesia Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007 78 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008 Gambar 4.8 Kontribusi UMKM dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional Tahun 2005-2007 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008 Besarnya peranan sektor UMKM dan koperasi juga dapat ditunjukkan dengan melihat jumlah unit usahanya, dimana sekitar 99,99 persen dari unit usaha yang ada di Indonesia pada tahun 2009 adalah berupa UMKM dan koperasi, sedangkan sisanya yang hanya sekitar 0,01 persen berupa UB. Jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM dan koperasi dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4.9 dan Gambar 4.10. Pada tahun 2009, UMKM berjumlah 52.764.603 unit (sekitar 99,99 persen dari jumlah unit usaha total) dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 96.211.332 orang (sekitar 97,30 persen dari penyerapan tenaga kerja nasional). Sedangkan koperasi pada tahun 2009 berjumlah 170.441 unit yang terdiri dari 120.473 unit koperasi yang aktif (sekitar 70,7 persen dari jumlah total koperasi) dan 49.938 unit koperasi yang tidak aktif (sekitar 29,3 persen dari jumlah total koperasi) dengan anggota sebanyak 29.240.271 orang dan 79 penyerapan tenaga kerja di koperasi yang aktif sebanyak 357.330 orang (yang terdiri dari 325.161 orang karyawan dan 32.169 orang manajer) (Departemen Koperasi dan UKM, 2011). Gambar 4.9 Jumlah Unit Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja UMKM Nasional Tahun 2001-2009 Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011 Gambar 4.10 Jumlah Unit Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Koperasi Nasional Tahun 2001-2009 80 Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011 Peranan sektor UMKM dan koperasi yang cukup besar tersebut tentunya tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-200942 merinci permasalahan yang dihadapi oleh sektor UMKM dan koperasi, yaitu: (i) rendahnya produktivitas; (ii) terbatasnya akses UMKM kepada sumberdaya produktif; (iii) masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi; (iv) tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi; dan (v) kurang kondusifnya iklim usaha. Bila dirinci lebih lanjut mengenai peranan sektor UMKM dan koperasi, maka peranan terbesar adalah berasal dari usaha mikro dan kecil (UMK). Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006 yang dilakukan oleh BPS, dari sekitar 22,5 juta unit UMK ternyata 48,5 persen UMK mengalami kesulitaan dalam menggerakkan perusahaan/ usahanya43. Beberapa kendala yang dihadapi oleh UMK dalam menggerakkan perusahaan/usahanya adalah: (a) kesulitan modal (35,7 persen); (b) pemasaran (34,8 persen); (c) bahan baku (10,8 persen); (d) bahan bakar minyak (BBM)/energi (4,1 persen); (e) transportasi (2,8 persen); (f) keterampilan (1,2 persen); (g) upah buruh (0.8 persen); dan (h) lainnya (9,8 persen). Terkait dengan permodalan, ternyata, sebagian UMK menggerakkan usahanya dengan modal milik sendiri. Hanya 15,6 persen UMK yang melakukan pinjaman dari pihak lain. Adapun UMK yang meminjam modal dari pihak lain, kebanyakan UMK tersebut meminjam pada teman, rentenir, pemberi modal di luar kerabat, dan lainnya yang sifatnya perorangan. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006 juga, ternyata 47,7 persen UMK di Indonesia belum memiliki rencana pengembangkan atau memperluas usahanya44 untuk setahun yang akan datang. Usaha mikro dan kecil (UMK) yang tidak memiliki rencana tersebut dikarenakan bukan hanya dikarenakan 42 Tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, yaitu Bab 20 tentang Pemberdayaan Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 43 Badan Pusat Statistik, 2007, Uraian Ringkas Perusahaan/Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia 2006, Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, BPS, Jakarta 44 Yang dimaksud dengan “mengembangkan atau memperluas usaha” yaitu rencana memperluas tempat usaha, membuka cabang, meningkatkan keahlian, atau lainnya. 81 permasalahan modal, namun juga dikarenakan permasalahan-permasalahan yang lainnya. Bila melihat Gambar 4.11, terlihat bahwa UMK tidak memiliki rencana untuk mengembangkan atau memperluas usahanya didominasi oleh alasan kendala permodalan, yaitu mencapai 50,2 persen. Permasalahan lainnya adalah karena kesulitan pemasaran (24,2 persen), kurangnya keahlian (6,8 persen), dan masalah lainnya (18,8 persen). Gambar 4.11 Alasan Utama Usaha Mikro dan Kecil Tidak Ada Rencana Mengembangkan/Memperluas Usaha Sumber: Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, Badan Pusat Statistik, 2007 4.1.4. Kredit Perbankan dan UMKM Permasalahan kekurangan modal baik untuk menggerakkan maupun untuk mengembangkan/memperluas usaha UMKM dan koperasi salah satunya diatasi dengan cara pemberian kredit untuk UMKM45. Dari segi nilai kreditnya, kredit untuk sektor UMKM selalu mengalami peningkatan dalam periode tahun 20012010 seiring dengan meningkatnya kredit perbankan (ditunjukkan dalam Gambar 4.12). Bahkan sejak tahun 2005, pangsa kredit sektor UMKM46 sudah mencapai di atas 50 persen dari total kredit perbankan. Namun, pangsa kredit sektor UMKM tersebut mengalami penurunan khususnya pada tahun 2008 menjadi 48,5 persen meskipun di tahun berikutnya kembali di atas 50 persen (lihat Gambar 4.13). 45 Menurut definisinya, kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kredit yang diberikan dengan batasan plafond sebesar Rp5 miliar kecuali kartu kredit. 46 Pangsa kredit sektor UMKM adalah persentase nilai kredit sektor UMKM terhadap nilai total kredit perbankan 82 Gambar 4.12 Perkembangan Kredit Perbankan dan UMKM Tahun 2001-2010 Keterangan: * : Sementara Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 20011 Gambar 4.13 Perkembangan Pangsa Kredit UMKM Tahun 2001-2010 (Persen) Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2011 83 Bila ditinjau dari segi penggunaannya, maka sebagian besar kredit untuk sektor UMKM pada periode tahun 2001-2004 digunakan untuk kegiatan produktif, yaitu untuk modal kerja dan investasi. Namun sejak tahun 2005, kredit untuk sektor UMKM cenderung digunakan untuk kegiatan konsumtif. Bahkan, pada tahun 2009, kredit di sektor UMKM sebagian besar (sekitar 53,5 persen) digunakan untuk kegiatan konsumtif (dirinci dalam Gambar 4.14). Hal tersebutlah yang diduga menyebabkan sektor UMKM (dan koperasi) masih belum dapat secara optimal mendukung upaya peningkatan kinerja perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Gambar 4.14 Persentase Kredit UMKM Menurut Penggunaannya Tahun 2001-2010 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2011 4.2. Program Penanggulangan Kemiskinan 4.2.1. Kemiskinan dan Pengangguran Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat 84 digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka. Pengukuran kemiskinan yang terpercaya (reliable) dapat menjadi instrumen yang baik bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada perbaikan kondisi hidup orang miskin. Berdasarkan kondisi kemiskinan, baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2010, meskipun penurunan tersebut relatif lambat. Pada tahun 2000, presentase penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 19,14 persen (sekitar 38,4 juta orang) dan kemudian mengalami penurunan menjadi 12,49 persen (sekitar 30,02 juta orang) pada tahun 2011. Tabel 4.1 menunjukkan perkembangan jumlah dan presentase penduduk miskin di Indonesia pada periode tahun 1996-2011, yang juga dirinci menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penurunan jumlah dan presentase penduduk miskin dari tahun 2002 terbesar terjadi di wilayah pedesaan. Pengangguran di Indonesia sejak tahun 2005 juga mengalami penurunan walaupun relatif lambat. Pada tahun 2005, tingkat pengangguran yang terjadi adalah sebesar 11,24 persen (sekitar 11,9 juta orang) dan menurun menjadi 7,1 persen (sekitar 8,3 juta orang) pada tahun 2010. Perkembangan kondisi ketenaga kerjaan Indonesia secara rinci dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat dalam Tabel 4.2. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB (atas dasar harga berlaku) per kapita yang cukup tinggi di Indonesia ternyata masih belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran secara signifikan pada periode setelah krisis ekonomi tahun 1997. Fenomena tersebut seringkali disebut dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas47 atau paradoks antara pertumbuhan dengan kemiskinan dan pengangguran48. Hal tersebut berbeda dengan kondisi sebelum krisis ekonomi tahun 1997, dimana pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi 47 Suara Karya, 2007, Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas, Jum’at 13 Juli 2007. Dalam artikel tersebut, disebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ditandai dengan pendapatan pajak yang cukup rendah oleh Departemen Keuangan RI 48 Siregar, Hermanto, 2007, Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, bahan presentasi, IPB dan Brighten Institute, Bogor 85 Indonesia tinggi, tingkat kesempatan kerja tinggi, dan tingkat kemiskinan juga menurun dengan relatif cepat (Khan, 2007)49. Tabel 4.1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah Tahun 1996-2011 Tahun (1) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Kota Desa Kota+Desa (2) (3) (4) Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa (5) (6) (7) 17,60 15,64 12,30 8,60 13,30 12,20 11,40 12,40 14,49 13,56 12,77 11,91 11,10 11,05 21,92 19,41 14,60 9,76 14,46 13,57 12,13 11,68 13,47 12,52 11,65 10,72 9,87 9,23 31,90 32,23 26,40 29,30 25,10 24,80 24,80 22,70 24,81 23,61 22,19 20,62 19,93 18,97 49,50 47,97 38,70 37,90 38,40 37,30 36,10 35,10 39,30 37,17 34,96 32,53 31,02 30,02 25,72 26,03 22,38 24,84 21,10 20,23 20,11 19,98 21,81 20,37 18,93 17,35 16,56 15,72 24,23 23,43 19,14 18,41 18,20 17,42 16,66 15,97 17,75 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 Tabel 4.2 Profil Ketenagakerjaan Indonesia Tahun 2004-2010 Jenis Kegiatan 2004 2005 (Nov) Penduduk Usia Kerja 153.92 158.49 (Juta Orang) Angkatan Kerja 103.97 105.86 (Juta Orang) Penduduk yang Bekerja 93.72 93.96 (Juta Orang) Pengangguran (Terbuka) 10.25 11.9 (Juta Orang) Tingkat Kesempatan Kerja 90.14 88.76 (Persen) Tingat Pengangguran 9.86 11.24 (Persen) Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 2006 (Agust) 2007 (Agust) 2008 (Agust) 2009 (Agust) 2010 (Agust) 160.81 164.12 166.64 169.32 172.07 106.39 109.94 111.95 113.83 116.53 95.46 99.93 102.55 104.87 108.21 10.93 10.01 9.39 8.96 8.31 89.72 90.89 91.61 92.13 92.86 10.28 9.11 8.39 7.87 7.14 49 Khan, Azizur Rahman, 2005, Growth, Employment, and Poverty: An Analysis of the Vital Nexus Based on Some Recent UNDP and ILO/SIDA Studies, Issues in Employment and Poverty Discussion Paper, UNDP, New York, October 2005 86 Pada tahun 1994, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu menyerap sekitar 375.000 tenaga kerja (sebelumnya bahkan sampai 400.000 tenaga kerja). Dalam periode tahun 2000-2004, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan 215.000 lapangan kerja. Setelah itu, angkanya bahkan menurun lagi menjadi 178.000 tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak awal tahun 2005 hingga pertengahan 2006 dapat dinyatakan semakin tidak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja baru. Dalam periode tersebut, setap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap tenaga kerja sebaganyak 40.000-50.000 tenaga kerja. Merujuk pada hasil Survei Ankatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2005, Juli 2005, dan Februari 2006 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sebelumnya penyerapan tenaga kerja 240.000-250.000 orang pada tahun 2003 dan sekitar 200.000 orang pada tahun 2004 untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006, selain dapat terbilang cukup rendah karena menurun dari tahun 2005, juga semakin tidak berkualitas dengan ditandai oleh melebarnya kesenjangan ekonomi antara daerah kaya dan daerah miskin, antara wilayah perdesaan dan perkotaan, serta tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi (Tinambunan, 2007)50. 4.2.2. Instrumen Penanggulangan Kemiskinan Pentingnya masalah kemiskinan membuat Pemerintah senantiasa menargetkan penurunan tingkat kemiskinan setiap tahunnya. Dalam RPMN 20102014, angka kemiskinan ditargetkan hingga 8-10 persen, dan angka pengangguran ditargetkan turun menjadi 5-6 persen pada tahun 2014. Pencapaian target tersebut dilakukan melalui upaya-upaya perlindungan dan keberpihakan terhadap rakyat miskin, peningkatkan akses dan mutu pelayanan dan infrastruktur dasar, serta peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat, yang secara operasional dilakukan dalam tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. 50 Tinambunan, Aryanto, 2007, Analisis Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas, Jakarta 87 Langkah-langkah khusus kebijakan penanggulangan kemiskinan merupakan amanat Perpres Nomor 54 tahun 2005 yang diperbaharui dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang koordinasi Penanggulangan kemiskinan. Perpres ini menegaskan mengenai upaya penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok (klaster) program penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2010, Perpres Nomor 13 Tahun 2009 diperbaharui lagi dengan Perpres Nomor 15 tahun 2010 tentang Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang Perpres terbaru ini mengamanatkan bahwa koordinasi penanggulangan kemiskinan langsung diketuai oleh Wakil Presiden, karena sebelumnya hanya diketuai oleh Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat. Program penanggulangan kemiskinan yang diilustrasikan pada Gambar 4.15 berikut ini: Gambar 4.15 Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan Kluster Pertama Klaster pertama merupakan kelompok program penanggulangan kemiskinan bantuan sosial terpadu berbasis keluarga yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Fokus pemenuhan hak dasar ditujukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin guna mencapai kehidupan 88 yang lebih baik, seperti pemenuhan hak atas pangan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Karakteristik program pada program ini bersifat pemenuhan hak dasar utama individu dan rumah tangga miskin yang meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, pangan, sanitasi, dan air bersih. Ciri lain dari kelompok program ini adalah mekanisme pelaksanaan kegiatan yang bersifat langsung dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat miskin. Cakupannya dititikberatkan pada pemenuhan hak dasar utama terutama pada pemenuhan hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, serta sanitasi dan air bersih. Penerima manfaat pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial ditujukan pada kelompok masyarakat sangat miskin, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal ini disebabkan bukan hanya karena kondisi masyarakat sangat miskin yang bersifat rentan, akan tetapi juga karena mereka belum mampu mengupayakan dan memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Kluster Kedua Kluster kedua merupakan kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah tahap lanjut dalam proses penanggulangan kemiskinan. Pada tahap ini, masyarakat miskin mulai menyadari kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan pemberdayaan sebagai instrumen dari program ini dimaksudkan tidak hanya melakukan penyadaran terhadap masyarakat miskin tentang potensi dan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi juga mendorong masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam skala yang lebih luas terutama dalam proses pembangunan di daerah. Karakteristik program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: a. Menggunakan pendekatan partisipatif Pendekatan partisipatif tidak hanya tentang keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program, tetapi juga keterlibatan masyarakat dalam setiap 89 tahapan pelaksanaan program, meliputi proses identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan pelaksanaan program, bahkan sampai tahapan proses pelestarian dari program tersebut. b. Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat menitikberatkan pada penguatan aspek kelembagaan masyarakat guna meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, sehingga masyarakat mampu secara mandiri untuk pengembangan pembangunan yang diinginkannya. Penguatan kapasitas kelembagaan tidak hanya pada tahap pengorganisasian masyarakat untuk mendapatkan hak dasarnya, akan tetapi juga memperkuat fungsi kelembagaan sosial masyarakat yang digunakan dalam penanggulangan kemiskinan. c. Pelaksanaan berkelompok kegiatan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat harus menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat miskin untuk selalu membuka kesempatan masyarakat dalam berswakelola dan berkelompok, dengan mengembangkan potensi yang ada pada mereka sendiri guna mendorong potensi mereka untuk berkembang secara mandiri. d. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan Perencanaan program dilakukan secara terbuka dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat dan hasilnya menjadi bagian dari perencanaan pembangunan di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Proses ini membutuhkan koordinasi dalam melakukan kebijakan dan pengendalian pelaksanaan program yang jelas antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan tersebut. Cakupan program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan: a. Wilayah Kelompok berbasis dilakukan pada wilayah perdesaan, wilayah perkotaan, serta wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah tertinggal. 90 b. Sektor Kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat menitikberatkan pada penguatan kapasitas masyarakat miskin dengan mengembangkan berbagai skema program berdasarkan sektor tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat di suatu wilayah. Penerima Kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat adalah kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin. Kelompok masyarakat miskin tersebut adalah yang masih mempunyai kemampuan untuk menggunakan potensi yang dimilikinya walaupun terdapat keterbatasan. Kluster Ketiga Kluster ketiga merupakan Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Aspek penting dalam penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya. Karakteristik program pada kelompok program ini adalah sebagai berikut: a. Memberikan bantuan modal atau pembiayaan dalam skala mikro Kelompok program ini merupakan pengembangan dari kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat yang lebih mandiri, dalam pengertian bahwa pemerintah memberikan kemudahan kepada pengusaha mikro dan kecil untuk mendapatkan kemudahan tambahan modal melalui lembaga keuangan/ perbankan yang dijamin oleh Pemerintah. b. Memperkuat kemandirian berusaha dan akses pada pasar Memberikan akses yang luas dalam berusaha serta melakukan penetrasi dan perluasan pasar, baik untuk tingkat domestik maupun internasional, terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Akses yang dimaksud dalam ciri ini tidak hanya ketersediaan dukungan dan saluran untuk berusaha, akan tetapi juga kemudahan dalam berusaha. c. Meningkatkan keterampilan dan manajemen usaha 91 Memberikan pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan keterampilan dan manajemen berusaha kepada pelaku-pelaku usaha kecil dan mikro. Cakupan program kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil dapat dibagi atas 3 (tiga), yaitu: (1) pembiayaan atau bantuan permodalan; (2) pembukaan akses pada permodalan maupun pemasaran produk; dan (3) pendampingan dan peningkatan keterampilan dan manajemen usaha. Penerima manfaat dari kelompok ini adalah kelompok masyarakat hampir miskin yang kegiatan usahanya pada skala mikro dan kecil dan juga dapat ditujukan pada masyarakat miskin yang belum mempunyai usaha atau terlibat dalam kegiatan ekonomi. 4.2.3. Teori Legal Access Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang masih menjadi isu sentral. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan juga dialami negara maju sepeti inggris dan Amerika Serikat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam sedangkan kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan. Menyimak problematika kemiskinan di Indonesia, paradigma kemiskinan hanya dilihat sebagai ranah ekonomi dan sosial semata. Banyaknya jumlah orang miskin selalu diyakini sebagai dampak dari melemahnya kinerja perekonomian. Padahal jauh dibalik itu ada permasalahan serius karena seharusnya Pemerintah mampu bertanggung jawab secara moral dan nyata dalam melindungi kaum miskin dari tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi mereka yang merupakan tanggung jawab fundamental dari eksistensi suatu negara. Tanggung jawab negara tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah memberikan jaminan hukum atas hak-hak kepemilikan 92 (property rights) bagi kaum miskin yang termarjinalkan. Dalam buku Mistery of Capital, Hernando De Soto (2000) mengungkapkan bahwa selama ini kaum miskin tergeser dari percaturan kegiatan ekonomi bukan karena mereka tidak mampu atau tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Hal ini dibuktikan dimana ketika krisis ekonomi 1997 yang lalu, justru sektor-sektor informal yang dilakoni oleh pegiat ekonomi lemah ternyata dapat bertahan dari hantaman krisis. Salah satu prasyarat mendasar yang tidak dimiliki kaum miskin adalah jaminan akan kepastian property rights dan akses terhadap akses formal dalam artian pasar yang memerlukan collateral (agunan) untuk memasukinya. Alhasil, kaum miskin ini bergerak di luar pasar yang formal dengan segala keterbatasannya (De Soto, 2000). Singkatnya, kata kunci untuk beraktivitas di ranah apa pun perlu adanya kepastian secara hukum. Tentunya hukum yang objektif dan impartial serta jauh dari berbagai kepentingan subyektif. Di sisi lain, peraih nobel perdamaian 2006 Muhammad Yunus yang notabene merupakan ekonom dari Bangladesh telah melakukan suatu perubahan yang fundamental tanpa teori-teori rumit yang kerap kali hanya berakhir di mimbar akademis. Bermodalkan US$ 27 ia memulai suatu langkah nyata dengan meminjamkan kepada para pengemis dan kalangan miskin melalui Grameen Bank. Ide ini tentunya aneh mengingat para bankir konservatif selalu mentahbiskan collateral sebagai sesuatu yang mutlak sebagai agunan pinjaman. Meskipun demikian ide Yunus berjalan dengan baik. Nasabah Grameen Bank yang didominasi oleh kaum hawa umumnya memiliki tingkat kepatuhan (compliance) yang tinggi. Terbukti bahwa tingkat pengembalian kredit di Grameen Bank cukup tinggi mencapai kisaran di atas 90%. Suatu hal yang masih merupakan 'keajaiban' di bank-bank konservatif kita yang kebanyakan kreditnya dikemplang oleh para debitur nakal yang notabene bukan orang miskin harta namun miskin nurani. Yunus juga berhasil menghidupkan modal sosial yakni terciptanya kohesi diantara sesama kelompok peminjam tersebut yakni dengan membangun kontrol sosial dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok peminjam dana tersebut. Jika ada salah satu anggota yang kurang disiplin, anggota lainnya akan mengalami sanksi moral yakni hilangnya kepercayaan. Kontrol 93 sosial ini ternyata lebih berhasil menjamin aspek kehati-hatian (prudential) dalam aktivitas perguliran dana kredit Grameen Bank tersebut. Berdasarkan terminologi yang dibangun oleh Hernando De Soto dan upaya nyata yang dilakukan oleh Muhammad Yunus, kaum miskin memiliki antusiasme mentrasformasikan kapital ke dalam bentuk-bentuk usaha produktif. Negara wajib memberikan kemudahan dan akses formal kepada mereka untuk berusaha. 4.3. Program Kredit Usaha Rakyat Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diluncurkan pada tanggal 5 November 200751, merupakan tindaklanjut dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 9 Oktober 2007 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah52 dan Perbankan53. KUR adalah skema kredit/pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan Perbankan. Melalui Program KUR, Pemerintah berupaya mendorong peningkatan akses UMKM dan koperasi kepada kredit/pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas Perusahaan Penjamin. Dengan demikian UMKM dan koperasi yang selama ini mengalami kendala dalam mengakses kredit/pembiayaan dari perbankan karena kekurangan agunan dapat diatasi. Tujuan akhir diluncurkan Program KUR tentunya adalah untuk meningkatkan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja (Departemen Koperasi dan UKM, 2008). Penyaluran KUR menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan kualitas sangat baik. Sejak diluncurkan pada bulan November 2007 hingga Maret 2010, realisasi penyaluran KUR mencapai Rp18,63 triliun dengan total penerima 51 Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM dipimpin oleh Presiden RI 52 Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan Penjamin (Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT. Asuransi Kredit Indonesia). KUR ini juga didukung oleh Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia. 53 Perbankan dalam hal ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. 94 sebanyak 2,57 juta debitur sehingga rata-rata kredit per debitur adalah sebesar Rp7,23 juta sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Realisasi, Debitur, dan NPL Penyaluran KUR (Maret 2010) REALISASI PENYALURAN KUR BANK BNI Plafon (Rp juta) 1,578,786 Outstanding (Rp juta) 811,517 Debitur Rata-rata Kredit (Rp juta/debitur) 11,835 133.40 NPL (%) 5.35 BRI KUR Ritel 3,487,430 2,458,309 28,826 120.98 6.62 BRI KUR Mikro 10,247,007 2,766,650 2,489,446 4.12 5.76 1,553,375 815,805 37,023 41.96 1.87 Mandiri BTN 650,883 253,726 2,897 224.67 12.30 Bukopin 696,368 375,584 3,35 207.87 9.84 BSM 417,194 325,692 4,35 95.91 4.38 1,948 1,948 24 81.17 0.00 18,632,992 7,809,233 2,577,751 7.23 5.93 Bank Jabar Banten TOTAL Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011 Sektor Usaha yang paling banyak menerima KUR adalah sektor perdagangan, restoran, dan hotel yang mencapai Rp12,8 triliun (68 persen) dan sektor pertanian sebanyak Rp2,9 triliun (15,5 persen). Adapun sektor usaha yang paling sedikit menerima KUR adalah sektor listrik, gas dan air yang hanya sebesar Rp3,0 miliar (0,02 persen) kemudian sektor pertambangan Rp6,8 miliar (0,04 persen). Realisasi penyaluran KUR dapat dilihat pada Tabel 4.4 95 Tabel 4.4 Realisasi Penyaluran KUR Menurut Sektor Ekonomi (Maret 2010) No Sektor Ekonomi 1 Pertanian 2 Pertambangan 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas & Air 5 Konstruksi 6 Perdagangan, Restoran & Hotel 7 Pengangkutan, Pergudangan & Komunikasi 8 Jasa-jasa Dunia Usaha 9 Jasa-jasa Sosial/ Masyarakat 10 Lain-lain Total Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011 Plafon (Rp Juta) Outstanding (Rp Juta) Total Debitur 2,905,737 1,531,453 256,925 6,81 4,108 194 400,265 206,19 36,649 3,038 2,406 52 460,837 186,413 2,523 12,825,168 4,900,776 2,107,747 96,348 51,642 3,8 562,536 264,243 41,587 271,11 105,79 42,971 1,101,143 556,212 85,304 18,632,992 7,809,233 2,577,751 Jika penyaluran KUR ditinjau dari sebaran wilayah, Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan DKI Jakarta merupakan provinsi urutan teratas daerah penerima KUR dengan porsi masing-masing sebesar 14,14 persen, 11,52 persen, dan 10,95 persen. Konsentrasi penyaluran KUR di Pulau Jawa lebih disebabkan jaringan bank pelaksana lebih banyak dan merata. Akan tetapi kualitas penyaluran KUR hingga Maret 2010 tidaklah begitu baik, mengingat rasio Non Performing Loan (NPL) gross hanya mencapai 5,93 persen. 4.4. Perbandingan Program KUR dan Program Kredit Sebelumnya Indonesia telah sejak lama memberikan kredit yang diperuntukkan khusus bagi pengusaha UMKM. Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat berkembang mengingat pada umumnya sebagian besar kelompok masyarakat tergolong pada kelompok UMKM. Program pemerintah dalam dalam rangka memudahkan akses UMKM bermula tahun 1950 yang dikenal dengan program Benteng. Pemerintah mengeluarkan kebijkan untuk importir nasional berupa kemudahan kredit, izin dan fasilitas tertentu. Akan tetapi program ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, kondisi perekonomian nasional justru menjadi tidak kondusif karena cenderung rasis. cara untuk mendapatkan kredit bagi kelompok ’pribumi’relatif 96 lebih mudah, sedangkan bagi kelompok ’pedagang WMA keturunan tionghoa’ kredit ini sangat sulit di akses. Program lanjutan dari usaha Pemerintah untuk menghidupkan UMKM kembali bergulir dengan disusunya kebijakan pemberian kredit program di tahun 1974. Tujuannya adalah membantu pengusaha golongan ekonomi lemah yang mempunyai kesulitan permodalan. Kredit program ini dikenal sebagai Kredit Investasi Kecil dan Kredit Modal Kerja Pemanen (KIK/KMKP) yaitu kredit lunak dengan jumlah maksimal Rp 5 juta per nasabah dengan tingkat bunga yang telah di subsidi masing-masing 12% dan 15% per tahun. Jangka waktu kredit maksimum 5 tahun untuk KMKP dan 10 tahun untuk KIK, khusus KMKP diberikan masa tenggang hingga 3 tahun. Pada masa itu Pemerintah juga mengusahakan kredit yang lebih kecil dengan persyaratan yang lebih ringan bagi para pengusaha kecil yang dikenal dengan sebutan kredit mini. Kredit yang mulai dikembangkan pada 1074/1975 ini besarannya hanya sekitar Rp100.000 per nasabah dengan bunga 12% setahun. Pada 1980, besaran kreditnya dinaikkan menjadi Rp200.000 dengan tingkat bunga 12% per tahun, sedangkan kredit dengan nilai Rp200.000 s/d Rp500.000 diberikan tingkat bunga 10,5% per tahun. Khusus para pedagang kecil di wilayah pedesaan, pemerintah juga memberikan dukungan kredit melalui Kredit Candak Kulak (KCK). Kredit ini dipercayakan pengelolaannya kepada Koperasi Unit Desa (KUD). Selain memberikan kemudahan prosedur, kredit ini diberikan tanpa jaminan dengan bunga 12% per tahun. Besarnya kredit yang berikan maksimal Rp15.000 sedangkan bagi peminjam baru berkisar antara Rp2.000 – Rp3.000 Program ini dilakukan Pemerintah dalam rangka membantu para pengusaha kecil sekaligus menciptakan kesempatan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Alasan penyaluran kredit program tersebut adalah untuk menunjang pengembangan perusahaan-perusahaan kecil milik pribadi. Skema kredit bersubsidi ditempuh pemerintah mengingat pada saat itu kondisi perbankan masih lemah untuk memobilisasi dana dari masyarakat. Di sisi lain, Pemerintah masih memiliki sumber dana pembiayaan yang berasal dari minyak bumi dalam jumlah yang cukup besar. Metode subsidi yang diterapkan adalah dengan cara 97 memberikan pembiayaan untuk kegiatan yang diprioritaskan dengan dukungan dana KLBI yang cukup besar dengan bunga rendah. Dampak dari kebujakan ini telah mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan masyarakat. Berbagai kebijakan tersebut masih mengandung beberapa kelemahan, yaitu KLBI pada dasarnya bersifat inflatoir, suku bunga bersubsidi ini mendistorsi alokasi sumberdaya ekonomi, serta kurang mendorong perbankan untuk memobilisasi dana masyarakat. Di samping itu, masyarakat cenderung beranggapan bahwa kredit program tersebt lebih bersifat sosial, sehingga berdampak menimbulkan moral hazard yang menyebabkan pada tingginya tunggakan/ kredit macet. Berbagai program kredit bagi UMKM dapat dilhat pada Tabel 4.5 berikut ini. Tabel 4.5 Berbagai Program Kredit UMKM Nama Program Plafon Kredit 1 Kredit Investasi Kecil (KIK) Maksimal Rp5.000.000 12 persen/tahun Fiskal (APBN) 2 Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) Maksimal Rp5.000.000 15 persen/tahun Fiskal (APBN) 3 Kredit Mini Rp100.000 12 persen/tahun Fiskal (APBN) 4 Kredit Candak Kulak (KCK) Maksimal Rp15.000 12 persen/tahun Fiskal (APBN) Kredit Usaha Rakyat Rp5.000.000 sd. Rp500.000.000 14 – 22 persen/tahun (Non-APBN) 5 Bunga Kredit Sumber Kredit No Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011 Dalam rangka meningkatkan akses UMKM pada sumber pembiayaan maka pada akhir tahun 2007 Pemerintah menerbitkan kebijakan baru yaitu Instuksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). KUR ditunjukkan untuk memberdayakan UMKM dengan pembelian kredit modal kerja 98 dan investasi bagi usaha produktif, dengan plafond minimum antara Rp 5 juta sampai dengan maksimum sampai dengan maksimum Rp.500 juta per debitur. Hal mendasar yang menjadi perbedaan antara KUR dengan berbagai program kredit UMKM yang pernah diberikan terletak pada sumber asal dana kredit. Dana program kredit UMKM terdahulu sepenuhnya berasal dari APBN sehingga konsep yang dibangun adalah G to B (government to business), sedangkan KUR berupa kerjasama bisnis (business to business) antara peminjam dan pihak perbankan selaku pemberi kredit. Pemerintah hanya memberikan penjamin kredit melalui Badan Usaha Milik Negara lembaga penjamin kredit yakni PT Askrindo dan PT Jamkrindo. Permasalahan terkait kegagalan pengembalian kredit dalam program KUR mampu diatasi mengingat perbankan melakukan verifikasi dan studi kelayakan usaha. Peminjam yang memiliki kelayakan (feasible) usaha namun tidak mempunyai jaminan (tidak bankable) dapat diberikan akses formal memperoleh kredit. Kekhawatiran terhadap moral hazard pemberian kredit pun dapat dihindari. 99