iv. gambaran umum kondisi perekonomian

advertisement
IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PEREKONOMIAN
INDONESIA DAN PROGRAM KUR
4.1. Kondisi Perekonomian Indonesia
4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB per Kapita
Kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang
membaik setelah krisis ekonomi tahun 1997, terutama sejak tahun 2000. Hal
tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator makro ekonomi nasional antara
tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan
per kapita (Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita), kemiskinan, dan
ketenagakerjaan. Sejak tahun 2005, ekonomi nasional selalu tumbuh di atas 5
persen dengan trend yang cenderung meningkat meskipun mengalami penurunan
menjadi 4,6 persen pada tahun 2009. Produk Domestik Bruto (PDB, atas dasar
harga berlaku) per kapita mengalami peningkatan dari Rp. 6,8 juta/kapita (US$
807/kapita) pada tahun 2000 menjadi Rp 24,2 juta/kapita (US$ 2819 /kapita)
pada tahun 2010 atau meningkat sekitar tiga kali lipatnya dalam sembilan tahun.
Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 berikut ini menunjukkan perkembangan indikator
pertumbuhan ekonomi nasional dan PDB per kapita tersebut.
Gambar 4.1
Pertumbuhan Ekonomi Nasional Tahun 2001-2010 (Persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
71
Gambar 4.2
Produk Domestik Bruto per Kapita Indonesia Tahun 2000-2010
Keterangan:
* : Sementara
** : Sangat Sementara
*** : Revisi
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009
4.1.2. Pengeluaran per Kapita
Bila ditinjau dari pengeluaran per kapita sebulan, selama kurun waktu 15
tahun (ditunjukkan dalam Gambar 4.3), pengeluaran per kapita penduduk
Indonesia mengalami kenaikan dari Rp 43.565 per kapita sebulan pada tahun 1993
menjadi Rp 386.370 per kapita sebulan pada tahun 2008. Hal tersebut
menunjukkan bahwa selama periode tersebut, peningkatan pengeluaran per kapita
sebulan penduduk Indonesia tercatat hampir sebesar 20 persen per tahun.
Walaupun pengeluaran per kapita di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan, namun bila dilihat dari rata-rata pertumbuhannya per tahun,
pertumbuhan pengeluaran per kapita sebulan di perdesaan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perkotaan dalam periode tahun 1993 sampai dengan 2008.
Bila dirinci menurut golongan pengeluaran per kapita sebulan, persentase
penduduk terbesar pada tahun 2008 di Indonesia (perkotaan dan perdesaan) adalah
72
kelompok masyarakat yang pengeluaran per kapita sebulannya antara Rp.
300.000,- sampai dengan Rp. 499.999,- yaitu sebesar 27,71 persen, disusul oleh
kelompok pengeluaran per kapita sebulan antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp.
299.999,- yaitu sebesar 26,68 persen. Dengan kata lain, kelompok masyarakat
yang pengeluaran per kapita sebulannya antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp.
499.999,- cukup dominan, yaitu sekitar 54,39 persen dari masyarakat Indonesia
pada tahun 2008. Secara umum juga terjadi, baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Gambar 4.4 berikut ini menunjukkan secara rinci mengenai kondisi
tersebut, baik secara nasional, perkotaan, maupun perdesaan pada tahun 2008.
Gambar 4.3
Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rupiah) Tahun 1993-2008
Sumber: Perkembangan Pengeluaran/Konsumsi Rumah Tangga 1993-2008,
Hasil Susenas 1993-2008, BPS, 2008
73
Gambar 4.4
Persentase Penduduk Menurut Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
Tahun 2008
Sumber: Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2008,
Hasil Susenas Panel Maret 2008, BPS, 2008
Dengan melihat data tersebut (Gambar 4.3 dan Gambar 4.4), terlihat
bahwa peningkatan pengeluaran per kapita sebulan yang cukup tinggi masih
disertai dengan adanya kesenjangan dalam pengeluaran per kapita sebulan yang
cukup tinggi, baik antara perdesaan dan perkotaan maupun antar golongan
pengeluaran per kapita sebulan.
Kondisi tersebut membuat target penurunan angka pengangguran semakin
tidak mudah karena Pemerintah sekarang ini masih menggunakan asumsi bahwa
setiap persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 600.000 tenaga kerja
sebagai dasar penetapan target pengurangan tingkat pengangguran terbuka dari
9,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Selain itu, upaya
Pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan menjadi setengahnya (yaitu
menjadi 7,55 persen) pada tahun 2015 dalam rangka pencapaian Tujuan
Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDG’s)36 di Indonesia
juga semakin sulit.
36
Pengurangan tingkat kemiskinan menjadi setengahnya pada 2015 merupakan salah satu tujuan
dan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDG’s diantara 7 (tujuh) tujuan yang lain, yaitu
74
Berbagai teori ekonomi terkait dengan pertumbuhan ekonomi umumnya
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat membawa manfaat baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan tingkat pengangguran dan
kemiskinan. Hal tersebut dapat disimpulkan dari teori yang dikembangkan oleh
Adam Smith dan David Ricardo dengan teori klasiknya serta Robert M. Solow
dan Harrod-Domar dengan teori neo-klasiknya. Simon Kuznets adalah salah satu
ekonom yang concern terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Kuznets37,
terdapat enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang dapat
ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju, antara lain: (i) tingkat
pertumbuhan output per kapita dan pertambahan penduduk yang tinggi; (ii)
tingkat kenaikan total produktivitas faktor yang tinggi, khususnya produktivitas
tenaga kerja; (iii) tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi; (iv) tingkat
transformasi sosial dan ideologi yang tinggi; (v) adanya kecenderungan negaranegara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha
merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber
bahan baku; dan (vi) terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya
mencapai sepertiga penduduk dunia. Bila meninjau tingkat pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan berbagai indikator lainnya yang terkait dengan karakteristik atau
ciri proses pertumbuhan ekonomi yang disebutkan Kuznets, maka dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih mengandung
berbagai permasalahan sehingga tidak berkualitas.
Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya fenomena pertumbuhan
yang tidak berkualitas tersebut menurut Siregar (2007) antara lain: (i)
pertumbuhan ekonomi yang ada sebenarnya masih belum cukup tinggi, karena
sesuai dengan Hukum Okun (Okun’s Law)38 bahwa laju pengangguran (ut)
terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi aktual (gt) terhadap laju
pendidikan untuk semua, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka
kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
menular lainnya, menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan, dan membangun kemitraan
global untuk pembangunan (www.targetmdgs.org)
37
Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap
distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan
ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara
maju.
38
Okun’s Law (Arthur Okun) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara
pertumbuhan ekonomi dan penangguran, dimana semakin tingkat pengangguran maka
pertumbuhan ekonomi semakin rendah
75
pertumbuhan ekonomi dalam kondisi normal (gtn)39; (ii) pertumbuhan ekonomi di
kawasan pusat-pusat kemiskinan relatif lambat; (iii) masih lemahnya keterkaitan
sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya termasuk pariwisata dan industri
pengolahan; dan (iv) relatif terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di Jawa
khususnya dan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) umumnya.
Pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan/perlu
(necessary condition) untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran,
namun hal tersebut belum cukup. Syarat cukupnya (sufficient condition) adalah
bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut harus efektif dalam mengurangi tingkat
kemiskinan dan pengangguran (Siregar, 2007). Tingkat pertumbuhan ekonomi
yang dirasa dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (yaitu di atas 7 persen per tahun),
berkualitas, dan berkesinambungan (Tinambunan, 2007).
Selain permasalahan-permasalahan tersebut di atas, permasalahan lain juga
muncul akibat memburuknya perekonomian global yang dipicu oleh krisis
finansial (sub-prime mortgage) di Amerika Serikat sejak pertengahan 2007 yang
berimbas pada perekonomian negara-negara di dunia, terutama negara
berkembang termasuk Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 yang sebesar 6,06 persen,
dimana pada tahun 2007 pertumbuhannnya adalah sekitar 6,28 persen. Proyeksi
resmi Pemerintah terhadap beberapa indikator makroekonomi pada tahun 2009
menunjukkan indikasi terjadinya penurunan kinerja ekonomi nasional40.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan hanya akan
berkisar antara 4 sampai dengan 5 persen. Selain itu, apabila tanpa ada kebijakan
khusus untuk menghadapi imbasan krisis global tersebut, maka tingkat
pengangguran terbuka akan mencapai 8,87 persen dan tingkat kemiskinan masih
sekitar sebesar 13 persen.
Salah satu kelemahan dalam struktur perekonomian Indonesia adalah
bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor konsumsi (sekitar
39
ut = -θ (gt-gtn) + ε . Bila gt lebih kecil dari gtn, maka pengangguran dan juga kemiskinan akan
meningkat.
40
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Repubik Indonesia, 2009, Siaran Pers Evaluasi
Ekonomi 2008 dan Prospek 2009 oleh Pemerintah RI, Jakarta, 5 Januari 2009
76
lebih dari 60 persennya) dan pertumbuhan ekonominya selama ini sebagian besar
masih bertumpu pada kegiatan konsumsi. Hal ini mencirikan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia belum dapat berkelanjutan41. Oleh arena itu, pola
pertumbuhan ekonomi yang demikian perlu dikoreksi dengan pola pertumbuhan
ekonomi yang secara dominan digerakkan oleh sektor riil dan produktif serta
dikerjakan oleh dan untuk kesejahteraan mayoritas masyarakat (Tinambunan,
2007).
Gambar 4.5
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2009
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2009
4.1.3. Sektor UMKM dan Koperasi
Sektor UMKM dan koperasi memiliki peranan yang cukup dominan dalam
perekonomian Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kontribusi sektor UMKM dan
koperasi dalam pembentukan PDB nasional, pertumbuhan ekonomi, jumlah unit
usaha, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar bila dibandingkan dengan
kontribusi sektor usaha besar (UB).
Pada tahun 2009, sektor UMKM dan
koperasi berkontribusi sekitar 56,53 persen terhadap PDB atas dasar harga berlaku
Indonesia. Pertumbuhan PDB (atas dasar harga konstan 2000) untuk sektor
UMKM dan koperasi juga selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan UB. Hal
41
Perekonomian dapat dinyatakan berkelanjutan apabila bertumpu pada ekspor dan investasi
77
tersebut menunjukkan bahwa sektor UMKM dan koperasi berkontribusi lebih
besar dibandingkan dengan UB dalam menyokong pertumbuhan ekonomi
nasional. Gambar 4.6 sampai dengan Gambar 4.8 merinci mengenai hal
tersebut:
Gambar 4.6
Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Indonesia
Menurut Skala Usaha Tahun 2003-2009
Keterangan:
* : Sementara
** : Sangat Sementara
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011
Gambar 4.7
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000
Indonesia Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007
78
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
Gambar 4.8
Kontribusi UMKM dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Tahun 2005-2007
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
Besarnya peranan sektor UMKM dan koperasi juga dapat ditunjukkan
dengan melihat jumlah unit usahanya, dimana sekitar 99,99 persen dari unit usaha
yang ada di Indonesia pada tahun 2009 adalah berupa UMKM dan koperasi,
sedangkan sisanya yang hanya sekitar 0,01 persen berupa UB. Jumlah unit usaha
dan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM dan koperasi dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4.9 dan
Gambar 4.10. Pada tahun 2009, UMKM berjumlah 52.764.603 unit (sekitar
99,99 persen dari jumlah unit usaha total) dengan penyerapan tenaga kerja sebesar
96.211.332 orang (sekitar 97,30 persen dari penyerapan tenaga kerja nasional).
Sedangkan koperasi pada tahun 2009 berjumlah 170.441 unit yang terdiri
dari 120.473 unit koperasi yang aktif (sekitar 70,7 persen dari jumlah total
koperasi) dan 49.938 unit koperasi yang tidak aktif (sekitar 29,3 persen dari
jumlah total koperasi) dengan anggota sebanyak 29.240.271 orang dan
79
penyerapan tenaga kerja di koperasi yang aktif sebanyak 357.330 orang (yang
terdiri dari 325.161 orang karyawan dan 32.169 orang manajer) (Departemen
Koperasi dan UKM, 2011).
Gambar 4.9
Jumlah Unit Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja UMKM Nasional
Tahun 2001-2009
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011
Gambar 4.10
Jumlah Unit Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Koperasi Nasional
Tahun 2001-2009
80
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2011
Peranan sektor UMKM dan koperasi yang cukup besar tersebut tentunya
tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-200942 merinci permasalahan
yang dihadapi oleh sektor UMKM dan koperasi, yaitu: (i) rendahnya
produktivitas; (ii) terbatasnya akses UMKM kepada sumberdaya produktif; (iii)
masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi; (iv) tertinggalnya
kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi; dan (v) kurang kondusifnya
iklim usaha.
Bila dirinci lebih lanjut mengenai peranan sektor UMKM dan koperasi,
maka peranan terbesar adalah berasal dari usaha mikro dan kecil (UMK).
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006 yang dilakukan oleh BPS, dari
sekitar 22,5 juta unit UMK ternyata 48,5 persen UMK mengalami kesulitaan
dalam menggerakkan perusahaan/ usahanya43. Beberapa kendala yang dihadapi
oleh UMK dalam menggerakkan perusahaan/usahanya adalah: (a) kesulitan modal
(35,7 persen); (b) pemasaran (34,8 persen); (c) bahan baku (10,8 persen); (d)
bahan bakar minyak (BBM)/energi (4,1 persen); (e) transportasi (2,8 persen); (f)
keterampilan (1,2 persen); (g) upah buruh (0.8 persen); dan (h) lainnya (9,8
persen). Terkait dengan permodalan, ternyata, sebagian UMK menggerakkan
usahanya dengan modal milik sendiri. Hanya 15,6 persen UMK yang melakukan
pinjaman dari pihak lain. Adapun UMK yang meminjam modal dari pihak lain,
kebanyakan UMK tersebut meminjam pada teman, rentenir, pemberi modal di
luar kerabat, dan lainnya yang sifatnya perorangan.
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006 juga, ternyata 47,7 persen
UMK di Indonesia belum memiliki rencana pengembangkan atau memperluas
usahanya44 untuk setahun yang akan datang. Usaha mikro dan kecil (UMK) yang
tidak memiliki rencana tersebut dikarenakan bukan hanya dikarenakan
42
Tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2004-2009, yaitu Bab 20 tentang Pemberdayaan Koperasi, dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah
43
Badan Pusat Statistik, 2007, Uraian Ringkas Perusahaan/Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia
2006, Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, BPS, Jakarta
44
Yang dimaksud dengan “mengembangkan atau memperluas usaha” yaitu rencana memperluas
tempat usaha, membuka cabang, meningkatkan keahlian, atau lainnya.
81
permasalahan modal, namun juga dikarenakan permasalahan-permasalahan yang
lainnya. Bila melihat Gambar 4.11, terlihat bahwa UMK tidak memiliki rencana
untuk mengembangkan atau memperluas usahanya didominasi oleh alasan
kendala permodalan, yaitu mencapai 50,2 persen. Permasalahan lainnya adalah
karena kesulitan pemasaran (24,2 persen), kurangnya keahlian (6,8 persen), dan
masalah lainnya (18,8 persen).
Gambar 4.11
Alasan Utama Usaha Mikro dan Kecil Tidak Ada Rencana
Mengembangkan/Memperluas Usaha
Sumber: Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, Badan Pusat Statistik, 2007
4.1.4. Kredit Perbankan dan UMKM
Permasalahan kekurangan modal baik untuk menggerakkan maupun untuk
mengembangkan/memperluas usaha UMKM dan koperasi salah satunya diatasi
dengan cara pemberian kredit untuk UMKM45. Dari segi nilai kreditnya, kredit
untuk sektor UMKM selalu mengalami peningkatan dalam periode tahun 20012010 seiring dengan meningkatnya kredit perbankan (ditunjukkan dalam Gambar
4.12). Bahkan sejak tahun 2005, pangsa kredit sektor UMKM46 sudah mencapai di
atas 50 persen dari total kredit perbankan. Namun, pangsa kredit sektor UMKM
tersebut mengalami penurunan khususnya pada tahun 2008 menjadi 48,5 persen
meskipun di tahun berikutnya kembali di atas 50 persen (lihat Gambar 4.13).
45
Menurut definisinya, kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kredit yang
diberikan dengan batasan plafond sebesar Rp5 miliar kecuali kartu kredit.
46
Pangsa kredit sektor UMKM adalah persentase nilai kredit sektor UMKM terhadap nilai total
kredit perbankan
82
Gambar 4.12
Perkembangan Kredit Perbankan dan UMKM Tahun 2001-2010
Keterangan:
* : Sementara
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 20011
Gambar 4.13
Perkembangan Pangsa Kredit UMKM Tahun 2001-2010 (Persen)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2011
83
Bila ditinjau dari segi penggunaannya, maka sebagian besar kredit untuk
sektor UMKM pada periode tahun 2001-2004 digunakan untuk kegiatan
produktif, yaitu untuk modal kerja dan investasi. Namun sejak tahun 2005, kredit
untuk sektor UMKM cenderung digunakan untuk kegiatan konsumtif. Bahkan,
pada tahun 2009, kredit di sektor UMKM sebagian besar (sekitar 53,5 persen)
digunakan untuk kegiatan konsumtif (dirinci dalam Gambar 4.14).
Hal
tersebutlah yang diduga menyebabkan sektor UMKM (dan koperasi) masih belum
dapat secara optimal mendukung upaya peningkatan kinerja perekonomian,
pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.
Gambar 4.14
Persentase Kredit UMKM Menurut Penggunaannya Tahun 2001-2010
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2011
4.2. Program Penanggulangan Kemiskinan
4.2.1. Kemiskinan dan Pengangguran
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang
menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting
untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data
kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat
84
digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan,
membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target
penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka. Pengukuran
kemiskinan yang terpercaya (reliable) dapat menjadi instrumen yang baik bagi
pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada perbaikan kondisi hidup
orang miskin.
Berdasarkan kondisi kemiskinan, baik jumlah maupun persentase
penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2010, meskipun
penurunan tersebut relatif lambat. Pada tahun 2000, presentase penduduk miskin
di Indonesia adalah sebesar 19,14 persen (sekitar 38,4 juta orang) dan kemudian
mengalami penurunan menjadi 12,49 persen (sekitar 30,02 juta orang) pada tahun
2011. Tabel 4.1 menunjukkan perkembangan jumlah dan presentase penduduk
miskin di Indonesia pada periode tahun 1996-2011, yang juga dirinci menurut
daerah perkotaan dan pedesaan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penurunan
jumlah dan presentase penduduk miskin dari tahun 2002 terbesar terjadi di
wilayah pedesaan.
Pengangguran di Indonesia sejak tahun 2005 juga mengalami penurunan
walaupun relatif lambat. Pada tahun 2005, tingkat pengangguran yang terjadi
adalah sebesar 11,24 persen (sekitar 11,9 juta orang) dan menurun menjadi 7,1
persen (sekitar 8,3 juta orang) pada tahun 2010. Perkembangan kondisi ketenaga
kerjaan Indonesia secara rinci dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dapat
dilihat dalam Tabel 4.2.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB (atas dasar harga berlaku)
per kapita yang cukup tinggi di Indonesia ternyata masih belum dapat mengurangi
tingkat kemiskinan dan pengangguran secara signifikan pada periode setelah
krisis ekonomi tahun 1997. Fenomena tersebut seringkali disebut dengan
pertumbuhan yang tidak berkualitas47 atau paradoks antara pertumbuhan dengan
kemiskinan dan pengangguran48. Hal tersebut berbeda dengan kondisi sebelum
krisis ekonomi tahun 1997, dimana pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi
47
Suara Karya, 2007, Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas, Jum’at 13 Juli 2007. Dalam
artikel tersebut, disebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ditandai
dengan pendapatan pajak yang cukup rendah oleh Departemen Keuangan RI
48
Siregar, Hermanto, 2007, Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah
Penduduk Miskin, bahan presentasi, IPB dan Brighten Institute, Bogor
85
Indonesia tinggi, tingkat kesempatan kerja tinggi, dan tingkat kemiskinan juga
menurun dengan relatif cepat (Khan, 2007)49.
Tabel 4.1
Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah
Tahun 1996-2011
Tahun
(1)
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Kota
Desa
Kota+Desa
(2)
(3)
(4)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Kota
Desa
Kota+Desa
(5)
(6)
(7)
17,60
15,64
12,30
8,60
13,30
12,20
11,40
12,40
14,49
13,56
12,77
11,91
11,10
11,05
21,92
19,41
14,60
9,76
14,46
13,57
12,13
11,68
13,47
12,52
11,65
10,72
9,87
9,23
31,90
32,23
26,40
29,30
25,10
24,80
24,80
22,70
24,81
23,61
22,19
20,62
19,93
18,97
49,50
47,97
38,70
37,90
38,40
37,30
36,10
35,10
39,30
37,17
34,96
32,53
31,02
30,02
25,72
26,03
22,38
24,84
21,10
20,23
20,11
19,98
21,81
20,37
18,93
17,35
16,56
15,72
24,23
23,43
19,14
18,41
18,20
17,42
16,66
15,97
17,75
16,58
15,42
14,15
13,33
12,49
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Tabel 4.2
Profil Ketenagakerjaan Indonesia Tahun 2004-2010
Jenis Kegiatan
2004
2005
(Nov)
Penduduk Usia Kerja
153.92
158.49
(Juta Orang)
Angkatan Kerja
103.97
105.86
(Juta Orang)
Penduduk yang
Bekerja
93.72
93.96
(Juta Orang)
Pengangguran
(Terbuka)
10.25
11.9
(Juta Orang)
Tingkat Kesempatan
Kerja
90.14
88.76
(Persen)
Tingat Pengangguran
9.86
11.24
(Persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
2006
(Agust)
2007
(Agust)
2008
(Agust)
2009
(Agust)
2010
(Agust)
160.81
164.12
166.64
169.32
172.07
106.39
109.94
111.95
113.83
116.53
95.46
99.93
102.55
104.87
108.21
10.93
10.01
9.39
8.96
8.31
89.72
90.89
91.61
92.13
92.86
10.28
9.11
8.39
7.87
7.14
49
Khan, Azizur Rahman, 2005, Growth, Employment, and Poverty: An Analysis of the Vital Nexus
Based on Some Recent UNDP and ILO/SIDA Studies, Issues in Employment and Poverty
Discussion Paper, UNDP, New York, October 2005
86
Pada tahun 1994, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia
masih mampu menyerap sekitar 375.000 tenaga kerja (sebelumnya bahkan sampai
400.000 tenaga kerja). Dalam periode tahun 2000-2004, setiap satu persen
pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan 215.000 lapangan kerja.
Setelah itu, angkanya bahkan menurun lagi menjadi 178.000 tenaga kerja.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak awal tahun 2005 hingga pertengahan
2006 dapat dinyatakan semakin tidak bisa diandalkan untuk membuka lapangan
kerja baru. Dalam periode tersebut, setap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya
dapat menyerap tenaga kerja sebaganyak 40.000-50.000 tenaga kerja. Merujuk
pada hasil Survei Ankatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2005, Juli
2005, dan Februari 2006 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa
sebelumnya penyerapan tenaga kerja 240.000-250.000 orang pada tahun 2003 dan
sekitar 200.000 orang pada tahun 2004 untuk setiap satu persen pertumbuhan
ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006, selain dapat terbilang
cukup rendah karena menurun dari tahun 2005, juga semakin tidak berkualitas
dengan ditandai oleh melebarnya kesenjangan ekonomi antara daerah kaya dan
daerah miskin, antara wilayah perdesaan dan perkotaan, serta tingkat kemiskinan
yang masih cukup tinggi (Tinambunan, 2007)50.
4.2.2. Instrumen Penanggulangan Kemiskinan
Pentingnya
masalah
kemiskinan
membuat
Pemerintah
senantiasa
menargetkan penurunan tingkat kemiskinan setiap tahunnya. Dalam RPMN 20102014, angka kemiskinan ditargetkan hingga 8-10 persen, dan angka pengangguran
ditargetkan turun menjadi 5-6 persen pada tahun 2014. Pencapaian target tersebut
dilakukan melalui upaya-upaya perlindungan dan keberpihakan terhadap rakyat
miskin, peningkatkan akses dan mutu pelayanan dan infrastruktur dasar, serta
peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat,
yang secara operasional dilakukan dalam tiga klaster program penanggulangan
kemiskinan.
50
Tinambunan, Aryanto, 2007, Analisis Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan Ekonomi
Berkualitas, Jakarta
87
Langkah-langkah
khusus
kebijakan
penanggulangan
kemiskinan
merupakan amanat Perpres Nomor 54 tahun 2005 yang diperbaharui dengan
Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang koordinasi Penanggulangan kemiskinan.
Perpres ini menegaskan mengenai upaya penanggulangan kemiskinan yang
dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok (klaster) program penanggulangan
kemiskinan. Pada tahun 2010, Perpres Nomor 13 Tahun 2009 diperbaharui lagi
dengan Perpres Nomor 15 tahun 2010 tentang Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan yang Perpres terbaru ini mengamanatkan bahwa
koordinasi penanggulangan kemiskinan langsung diketuai oleh Wakil Presiden,
karena
sebelumnya
hanya
diketuai
oleh
Menteri
Koordinator
bidang
Kesejahteraan Rakyat. Program penanggulangan kemiskinan yang diilustrasikan
pada Gambar 4.15 berikut ini:
Gambar 4.15
Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan
Kluster Pertama
Klaster
pertama
merupakan
kelompok
program
penanggulangan
kemiskinan bantuan sosial terpadu berbasis keluarga yang bertujuan untuk
melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan
kualitas hidup masyarakat miskin. Fokus pemenuhan hak dasar ditujukan untuk
memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin guna mencapai kehidupan
88
yang lebih baik, seperti pemenuhan hak atas pangan, pelayanan kesehatan, dan
pendidikan. Karakteristik program pada program ini bersifat pemenuhan hak dasar
utama individu dan rumah tangga miskin yang meliputi pendidikan, pelayanan
kesehatan, pangan, sanitasi, dan air bersih. Ciri lain dari kelompok program ini
adalah mekanisme pelaksanaan kegiatan yang bersifat langsung dan manfaatnya
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat miskin. Cakupannya dititikberatkan
pada pemenuhan hak dasar utama terutama pada pemenuhan hak atas pangan,
pendidikan, pelayanan kesehatan, serta sanitasi dan air bersih.
Penerima manfaat pada kelompok program penanggulangan kemiskinan
berbasis bantuan dan perlindungan sosial ditujukan pada kelompok masyarakat
sangat miskin, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal ini disebabkan bukan hanya karena
kondisi masyarakat sangat miskin yang bersifat rentan, akan tetapi juga karena
mereka belum mampu mengupayakan dan memenuhi hak dasar secara layak dan
mandiri.
Kluster Kedua
Kluster
kedua
merupakan
kelompok
program
penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah tahap lanjut dalam
proses penanggulangan kemiskinan. Pada tahap ini, masyarakat miskin mulai
menyadari kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk keluar dari
kemiskinan. Pendekatan pemberdayaan sebagai instrumen dari program ini
dimaksudkan tidak hanya melakukan penyadaran terhadap masyarakat miskin
tentang potensi dan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi juga mendorong
masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam skala yang lebih luas terutama
dalam proses pembangunan di daerah.
Karakteristik
program
pada
kelompok
program
penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan pendekatan partisipatif
Pendekatan partisipatif tidak hanya tentang keikutsertaan masyarakat dalam
pelaksanaan program, tetapi juga keterlibatan masyarakat dalam setiap
89
tahapan pelaksanaan program, meliputi proses identifikasi kebutuhan,
perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan pelaksanaan program, bahkan
sampai tahapan proses pelestarian dari program tersebut.
b. Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat
Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat menitikberatkan pada penguatan aspek kelembagaan masyarakat
guna meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, sehingga
masyarakat mampu secara mandiri untuk pengembangan pembangunan
yang diinginkannya. Penguatan kapasitas kelembagaan tidak hanya pada
tahap pengorganisasian masyarakat untuk mendapatkan hak dasarnya, akan
tetapi juga memperkuat fungsi kelembagaan sosial masyarakat yang
digunakan dalam penanggulangan kemiskinan.
c. Pelaksanaan berkelompok kegiatan oleh masyarakat secara swakelola dan
berkelompok
Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat harus menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat miskin
untuk selalu membuka kesempatan masyarakat dalam berswakelola dan
berkelompok, dengan mengembangkan potensi yang ada pada mereka
sendiri guna mendorong potensi mereka untuk berkembang secara mandiri.
d. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan
Perencanaan program dilakukan secara terbuka dengan prinsip dari
masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat dan hasilnya menjadi
bagian
dari
perencanaan
pembangunan
di
tingkat
desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Proses ini membutuhkan
koordinasi dalam melakukan kebijakan dan pengendalian pelaksanaan
program yang jelas antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan
program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Cakupan program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan
berbasis pemberdayaan masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Wilayah
Kelompok berbasis dilakukan pada wilayah perdesaan, wilayah perkotaan,
serta wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah tertinggal.
90
b. Sektor
Kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat menitikberatkan
pada penguatan kapasitas masyarakat miskin dengan mengembangkan
berbagai skema program berdasarkan sektor tertentu yang dibutuhkan oleh
masyarakat di suatu wilayah.
Penerima Kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat adalah
kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin. Kelompok masyarakat miskin
tersebut adalah yang masih mempunyai kemampuan untuk menggunakan potensi
yang dimilikinya walaupun terdapat keterbatasan.
Kluster Ketiga
Kluster ketiga merupakan Program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan usaha mikro dan kecil yang bertujuan untuk memberikan akses dan
penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Aspek penting
dalam penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat
miskin untuk dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Karakteristik program pada kelompok program ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan bantuan modal atau pembiayaan dalam skala mikro
Kelompok program ini merupakan pengembangan dari kelompok program
berbasis pemberdayaan masyarakat yang lebih mandiri, dalam pengertian
bahwa pemerintah memberikan kemudahan kepada pengusaha mikro dan
kecil untuk mendapatkan kemudahan tambahan modal melalui lembaga
keuangan/ perbankan yang dijamin oleh Pemerintah.
b. Memperkuat kemandirian berusaha dan akses pada pasar
Memberikan akses yang luas dalam berusaha serta melakukan penetrasi dan
perluasan pasar, baik untuk tingkat domestik maupun internasional,
terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Akses
yang dimaksud dalam ciri ini tidak hanya ketersediaan dukungan dan
saluran untuk berusaha, akan tetapi juga kemudahan dalam berusaha.
c. Meningkatkan keterampilan dan manajemen usaha
91
Memberikan
pelatihan
dan
pendampingan
untuk
meningkatkan
keterampilan dan manajemen berusaha kepada pelaku-pelaku usaha kecil
dan mikro.
Cakupan program kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro
dan kecil dapat dibagi atas 3 (tiga), yaitu: (1) pembiayaan atau bantuan
permodalan; (2) pembukaan akses pada permodalan maupun pemasaran produk;
dan (3) pendampingan dan peningkatan keterampilan dan manajemen usaha.
Penerima manfaat dari kelompok ini adalah kelompok masyarakat hampir miskin
yang kegiatan usahanya pada skala mikro dan kecil dan juga dapat ditujukan pada
masyarakat miskin yang belum mempunyai usaha atau terlibat dalam kegiatan
ekonomi.
4.2.3. Teori Legal Access
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang masih menjadi isu
sentral. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang
tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan juga dialami negara maju
sepeti inggris dan Amerika Serikat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa
terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alami terjadi akibat
sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana
alam sedangkan kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang
berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga
mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dampaknya,
para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang mengedepankan
pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.
Menyimak problematika kemiskinan di Indonesia, paradigma kemiskinan
hanya dilihat sebagai ranah ekonomi dan sosial semata. Banyaknya jumlah orang
miskin selalu diyakini sebagai dampak dari melemahnya kinerja perekonomian.
Padahal jauh dibalik itu ada permasalahan serius karena seharusnya Pemerintah
mampu bertanggung jawab secara moral dan nyata dalam melindungi kaum
miskin dari tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi mereka yang merupakan
tanggung jawab fundamental dari eksistensi suatu negara.
Tanggung jawab negara tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai cara.
Salah satunya adalah memberikan jaminan hukum atas hak-hak kepemilikan
92
(property rights) bagi kaum miskin yang termarjinalkan. Dalam buku Mistery of
Capital, Hernando De Soto (2000) mengungkapkan bahwa selama ini kaum
miskin tergeser dari percaturan kegiatan ekonomi bukan karena mereka tidak
mampu atau tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Hal ini dibuktikan dimana ketika
krisis ekonomi 1997 yang lalu, justru sektor-sektor informal yang dilakoni oleh
pegiat ekonomi lemah ternyata dapat bertahan dari hantaman krisis.
Salah satu prasyarat mendasar yang tidak dimiliki kaum miskin adalah
jaminan akan kepastian property rights dan akses terhadap akses formal dalam
artian pasar yang memerlukan collateral (agunan) untuk memasukinya. Alhasil,
kaum miskin ini bergerak di luar pasar yang formal dengan segala
keterbatasannya (De Soto, 2000). Singkatnya, kata kunci untuk beraktivitas di
ranah apa pun perlu adanya kepastian secara hukum. Tentunya hukum yang
objektif dan impartial serta jauh dari berbagai kepentingan subyektif.
Di sisi lain, peraih nobel perdamaian 2006 Muhammad Yunus yang
notabene merupakan ekonom dari Bangladesh telah melakukan suatu perubahan
yang fundamental tanpa teori-teori rumit yang kerap kali hanya berakhir di
mimbar akademis. Bermodalkan US$ 27 ia memulai suatu langkah nyata dengan
meminjamkan kepada para pengemis dan kalangan miskin melalui Grameen
Bank. Ide ini tentunya aneh mengingat para bankir konservatif selalu
mentahbiskan collateral sebagai sesuatu yang mutlak sebagai agunan pinjaman.
Meskipun demikian ide Yunus berjalan dengan baik. Nasabah Grameen
Bank yang didominasi oleh kaum hawa umumnya memiliki tingkat kepatuhan
(compliance) yang tinggi. Terbukti bahwa tingkat pengembalian kredit di
Grameen Bank cukup tinggi mencapai kisaran di atas 90%. Suatu hal yang masih
merupakan 'keajaiban' di bank-bank konservatif kita yang kebanyakan kreditnya
dikemplang oleh para debitur nakal yang notabene bukan orang miskin harta
namun miskin nurani. Yunus juga berhasil menghidupkan modal sosial yakni
terciptanya kohesi diantara sesama kelompok peminjam tersebut yakni dengan
membangun kontrol sosial dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok
peminjam dana tersebut. Jika ada salah satu anggota yang kurang disiplin, anggota
lainnya akan mengalami sanksi moral yakni hilangnya kepercayaan. Kontrol
93
sosial ini ternyata lebih berhasil menjamin aspek kehati-hatian (prudential) dalam
aktivitas perguliran dana kredit Grameen Bank tersebut.
Berdasarkan terminologi yang dibangun oleh Hernando De Soto dan
upaya nyata yang dilakukan oleh Muhammad Yunus, kaum miskin memiliki
antusiasme mentrasformasikan kapital ke dalam bentuk-bentuk usaha produktif.
Negara wajib memberikan kemudahan dan akses formal kepada mereka untuk
berusaha.
4.3. Program Kredit Usaha Rakyat
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diluncurkan pada tanggal 5
November 200751, merupakan tindaklanjut dari ditandatanganinya Nota
Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 9 Oktober 2007 tentang Penjaminan
Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah52 dan
Perbankan53. KUR adalah skema kredit/pembiayaan yang khusus diperuntukkan
bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan
yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan Perbankan. Melalui Program
KUR, Pemerintah berupaya mendorong peningkatan akses UMKM dan koperasi
kepada kredit/pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas
Perusahaan Penjamin. Dengan demikian UMKM dan koperasi yang selama ini
mengalami kendala dalam mengakses kredit/pembiayaan dari perbankan karena
kekurangan agunan dapat diatasi. Tujuan akhir diluncurkan Program KUR
tentunya adalah untuk meningkatkan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan
penyerapan tenaga kerja (Departemen Koperasi dan UKM, 2008).
Penyaluran KUR menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan
kualitas sangat baik. Sejak diluncurkan pada bulan November 2007 hingga Maret
2010, realisasi penyaluran KUR mencapai Rp18,63 triliun dengan total penerima
51
Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang
diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi
dan UKM dipimpin oleh Presiden RI
52
Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan,
Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian,
Perusahaan Penjamin (Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT. Asuransi Kredit Indonesia).
KUR ini juga didukung oleh Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian serta Bank Indonesia.
53
Perbankan dalam hal ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank
Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri.
94
sebanyak 2,57 juta debitur sehingga rata-rata kredit per debitur adalah sebesar
Rp7,23 juta sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Realisasi, Debitur, dan NPL Penyaluran KUR (Maret 2010)
REALISASI PENYALURAN KUR
BANK
BNI
Plafon
(Rp juta)
1,578,786
Outstanding
(Rp juta)
811,517
Debitur
Rata-rata Kredit
(Rp juta/debitur)
11,835
133.40
NPL (%)
5.35
BRI KUR Ritel
3,487,430
2,458,309
28,826
120.98
6.62
BRI KUR Mikro
10,247,007
2,766,650
2,489,446
4.12
5.76
1,553,375
815,805
37,023
41.96
1.87
Mandiri
BTN
650,883
253,726
2,897
224.67
12.30
Bukopin
696,368
375,584
3,35
207.87
9.84
BSM
417,194
325,692
4,35
95.91
4.38
1,948
1,948
24
81.17
0.00
18,632,992
7,809,233
2,577,751
7.23
5.93
Bank Jabar Banten
TOTAL
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011
Sektor Usaha yang paling banyak menerima KUR adalah sektor
perdagangan, restoran, dan hotel yang mencapai Rp12,8 triliun (68 persen) dan
sektor pertanian sebanyak Rp2,9 triliun (15,5 persen). Adapun sektor usaha yang
paling sedikit menerima KUR adalah sektor listrik, gas dan air yang hanya sebesar
Rp3,0 miliar (0,02 persen) kemudian sektor pertambangan Rp6,8 miliar (0,04
persen). Realisasi penyaluran KUR dapat dilihat pada Tabel 4.4
95
Tabel 4.4
Realisasi Penyaluran KUR Menurut Sektor Ekonomi (Maret 2010)
No
Sektor Ekonomi
1
Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas & Air
5
Konstruksi
6
Perdagangan, Restoran & Hotel
7
Pengangkutan, Pergudangan & Komunikasi
8
Jasa-jasa Dunia Usaha
9
Jasa-jasa Sosial/ Masyarakat
10
Lain-lain
Total
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011
Plafon
(Rp Juta)
Outstanding
(Rp Juta)
Total
Debitur
2,905,737
1,531,453
256,925
6,81
4,108
194
400,265
206,19
36,649
3,038
2,406
52
460,837
186,413
2,523
12,825,168
4,900,776
2,107,747
96,348
51,642
3,8
562,536
264,243
41,587
271,11
105,79
42,971
1,101,143
556,212
85,304
18,632,992 7,809,233
2,577,751
Jika penyaluran KUR ditinjau dari sebaran wilayah, Provinsi Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan DKI Jakarta merupakan provinsi urutan teratas daerah penerima
KUR dengan porsi masing-masing sebesar 14,14 persen, 11,52 persen, dan 10,95
persen. Konsentrasi penyaluran KUR di Pulau Jawa lebih disebabkan jaringan
bank pelaksana lebih banyak dan merata. Akan tetapi kualitas penyaluran KUR
hingga Maret 2010 tidaklah begitu baik, mengingat rasio Non Performing Loan
(NPL) gross hanya mencapai 5,93 persen.
4.4. Perbandingan Program KUR dan Program Kredit Sebelumnya
Indonesia telah sejak lama memberikan kredit yang diperuntukkan khusus
bagi pengusaha UMKM. Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat berkembang
mengingat pada umumnya sebagian besar kelompok masyarakat tergolong pada
kelompok UMKM. Program pemerintah dalam dalam rangka memudahkan akses
UMKM bermula tahun 1950 yang dikenal dengan program Benteng. Pemerintah
mengeluarkan kebijkan untuk importir nasional berupa kemudahan kredit, izin
dan fasilitas tertentu. Akan tetapi program ini tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan, kondisi perekonomian nasional justru menjadi tidak kondusif karena
cenderung rasis. cara untuk mendapatkan kredit bagi kelompok ’pribumi’relatif
96
lebih mudah, sedangkan bagi kelompok ’pedagang WMA keturunan tionghoa’
kredit ini sangat sulit di akses.
Program lanjutan dari usaha Pemerintah untuk menghidupkan UMKM
kembali bergulir dengan disusunya kebijakan pemberian kredit program di tahun
1974. Tujuannya adalah membantu pengusaha golongan ekonomi lemah yang
mempunyai kesulitan permodalan. Kredit program ini dikenal sebagai Kredit
Investasi Kecil dan Kredit Modal Kerja Pemanen (KIK/KMKP) yaitu kredit lunak
dengan jumlah maksimal Rp 5 juta per nasabah dengan tingkat bunga yang telah
di subsidi masing-masing 12% dan 15% per tahun. Jangka waktu kredit
maksimum 5 tahun untuk KMKP dan 10 tahun untuk KIK, khusus KMKP
diberikan masa tenggang hingga 3 tahun.
Pada masa itu Pemerintah juga mengusahakan kredit yang lebih kecil
dengan persyaratan yang lebih ringan bagi para pengusaha kecil yang dikenal
dengan sebutan kredit mini. Kredit yang mulai dikembangkan pada 1074/1975 ini
besarannya hanya sekitar Rp100.000 per nasabah dengan bunga 12% setahun.
Pada 1980, besaran kreditnya dinaikkan menjadi Rp200.000 dengan tingkat bunga
12% per tahun, sedangkan kredit dengan nilai Rp200.000 s/d Rp500.000
diberikan tingkat bunga 10,5% per tahun.
Khusus para pedagang kecil di wilayah pedesaan, pemerintah juga
memberikan dukungan kredit melalui Kredit Candak Kulak (KCK). Kredit ini
dipercayakan pengelolaannya kepada Koperasi Unit Desa (KUD). Selain
memberikan kemudahan prosedur, kredit ini diberikan tanpa jaminan dengan
bunga 12% per tahun. Besarnya kredit yang berikan maksimal Rp15.000
sedangkan bagi peminjam baru berkisar antara Rp2.000 – Rp3.000 Program ini
dilakukan Pemerintah dalam rangka membantu para pengusaha kecil sekaligus
menciptakan kesempatan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Alasan penyaluran kredit program tersebut adalah untuk menunjang
pengembangan perusahaan-perusahaan kecil milik pribadi. Skema kredit
bersubsidi ditempuh pemerintah mengingat pada saat itu kondisi perbankan masih
lemah untuk memobilisasi dana dari masyarakat. Di sisi lain, Pemerintah masih
memiliki sumber dana pembiayaan yang berasal dari minyak bumi dalam jumlah
yang cukup besar. Metode subsidi yang diterapkan adalah dengan cara
97
memberikan pembiayaan untuk kegiatan yang diprioritaskan dengan dukungan
dana KLBI yang cukup besar dengan bunga rendah. Dampak dari kebujakan ini
telah mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut masih mengandung beberapa kelemahan,
yaitu KLBI pada dasarnya bersifat inflatoir, suku bunga bersubsidi ini mendistorsi
alokasi sumberdaya ekonomi, serta kurang mendorong perbankan untuk
memobilisasi dana masyarakat. Di samping itu, masyarakat cenderung
beranggapan bahwa kredit program tersebt lebih bersifat sosial, sehingga
berdampak menimbulkan moral hazard yang menyebabkan pada tingginya
tunggakan/ kredit macet. Berbagai program kredit bagi UMKM dapat dilhat pada
Tabel 4.5 berikut ini.
Tabel 4.5
Berbagai Program Kredit UMKM
Nama Program
Plafon Kredit
1
Kredit Investasi Kecil
(KIK)
Maksimal Rp5.000.000
12 persen/tahun
Fiskal (APBN)
2
Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP)
Maksimal Rp5.000.000
15 persen/tahun
Fiskal (APBN)
3
Kredit Mini
Rp100.000
12 persen/tahun
Fiskal (APBN)
4
Kredit Candak Kulak
(KCK)
Maksimal Rp15.000
12 persen/tahun
Fiskal (APBN)
Kredit Usaha Rakyat
Rp5.000.000 sd.
Rp500.000.000
14 – 22
persen/tahun
(Non-APBN)
5
Bunga Kredit
Sumber
Kredit
No
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, 2011
Dalam rangka meningkatkan akses UMKM pada sumber pembiayaan
maka pada akhir tahun 2007 Pemerintah menerbitkan kebijakan baru yaitu
Instuksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Pengembangan Sektor Riil
dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). KUR
ditunjukkan untuk memberdayakan UMKM dengan pembelian kredit modal kerja
98
dan investasi bagi usaha produktif, dengan plafond minimum antara Rp 5 juta
sampai dengan maksimum sampai dengan maksimum Rp.500 juta per debitur.
Hal mendasar yang menjadi perbedaan antara KUR dengan berbagai
program kredit UMKM yang pernah diberikan terletak pada sumber asal dana
kredit. Dana program kredit UMKM terdahulu sepenuhnya berasal dari APBN
sehingga konsep yang dibangun adalah G to B (government to business),
sedangkan KUR berupa kerjasama bisnis (business to business) antara peminjam
dan pihak perbankan selaku pemberi kredit. Pemerintah hanya memberikan
penjamin kredit melalui Badan Usaha Milik Negara lembaga penjamin kredit
yakni PT Askrindo dan PT Jamkrindo.
Permasalahan terkait kegagalan pengembalian kredit dalam program KUR
mampu diatasi mengingat perbankan melakukan verifikasi dan studi kelayakan
usaha. Peminjam yang memiliki kelayakan (feasible) usaha namun tidak
mempunyai jaminan (tidak bankable) dapat diberikan akses formal memperoleh
kredit. Kekhawatiran terhadap moral hazard pemberian kredit pun dapat
dihindari. 99
Download