PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA PERIKLANAN TERHADAP PENYAMPAIAN INFORMASI IKLAN YANG MENYESATKAN Oleh Liya Sukma Muliya ABSTRACT Consumers frequently use advertisement as a medium to dig information looking for goods or services that fit to their needs and purchasing power. Currently consumers shall be careful on information that they gather from advertisement because there still found a lot of dishonest producers and tend to use consumers just as an object. In the absence of advertisement law to regulate advertising activities, so that practical guide for producers still not take place. In this research, the problem that will discuss is how the advertising producers liability upon giving misleading information. The research method use normative juridical approach with analytical descriptive specification. Keywords: Liability, Advertising Producers, Mislead Information Pendahuluan Iklan merupakan salah satu sarana pemasaran yanag sangat banyak dipergunakan oleh pelaku usaha untuk memperkenalkan aneka produk yang dihasilkannya kepada konsumen,1 serta untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap aneka produk yang dihasilkan. Oleh karena itu , tidaklah mengherankan apabila dari tahun ke tahun budget yang dilekuarkan oleh pelaku usaha untuk iklan semakin bertambah besar jumlahnya, misalnya lebih dari US$ 270 miliar dolar Amerika telah dikeluarkan oleh pelaku usaha diseluruh penjuru dunia untuk beriklan seperti di beberapa perusahaan besar di Amerika telah menginvestasikan lebih dari 1 miliar setahun unruk periklanan domestik, diantaranya General Motors menghabiskan US$ 2,4 miliar, Philip Morris menghabiskan US$ 2,3 miliar. Di Indonesia sendiri, peningkatan bisnis periklanan mulai nampak dari jumlah belanja iklan pada 10 tahun terakhir. Kalau pada periode 2002-2003 pendapatan iklan nasional naik 24 persen dari Rp 13,4 triliun menjadi Rp 16,7 triliun,maka pada tahun 2004 melonjak menjadi Rp 20 triliun.2 Peningkatan bisnis periklanan tersebut, tidak terlepas dari masih besarnya potensi pasar di Indonesia yang belum digarap secara serius oleh para pelaku usaha dengan mempertimbangkan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, serta peningkatan pendapatan keluarga sebagai dampak kemajuan dibidang ekonomi. Setiap pelaku usaha pasti mengharapkan agar iklannya menibulkan efek tertentu kepada konsumen yang dituju, tujuan ini menjadikan tujuan komunikasi dari iklan, keinginan pelaku usaha untuk beriklan, 1 Dedi Heryanto, Perlindungan Hukum Bagi konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 1 2 B&B Majalah Periklanan Marketing dan komunikasi, Vol III no 20, Januari 20005.hlm 17 70 didukung juga oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang semakin canggih, terutama dibidang teknologi komunikasi, grafika, dan fotografi, sehingga penayangan iklan melalui media elektronik (misalnya televisi, radio, internet), maupun melalui media nonelektronik (misalnya majalah, surat kabar, billboard) tampilannya akan semakin menarik, serta daya jangkaunya akan semakin luas dan dapat meng-cover setiap tingkatan usia.3 Sebelum melaksanakan transaksi pembelian suatu produk, konsumen kerap kali menjadikan iklan sebagai media unruk menggali informasi guna mencari barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya beli yang dimilikinya. Berbagai informasi yang diperolehnya,melalui iklan tersebut konsumen akan digiring untuk menetapkan pilihan serta melaksanakan transaksi pembelian. Besar pengharapan konsumen agar produk yang telah dibelinya akan memiliki kualitas, kemampuan, dan f asilitas, seperti yang telah diinformasikan pelaku usaha melalui iklan. Pengharapan konsumen tersebut merupakan hal yang sangat wajar, mengingat dalam proses transaksi pembelian tersebut, konsumen telah memberikan konpensasi dana, waktu, tenaga dan pikiran, agar tidak terjebak dalam memberikan keputusan yang salah dan berpotensi menimbulkan kerugian.4 Tetapi kelihatannya, saat ini konsumen semakin harus berhati-hati dalam mencermati informasi yang disampaikan melalui iklan, karena masih saja ditemukan pelaku usaha yang tidak jujur dan cenderung menjadikan konsumen hanya sebagai objek.5 Terdapat beberapa hal yang melatar belakangi perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menyesatkan konsumen, yaitu ketiadaan undang-undang periklanan,budaya hukum konsumen periklanan yang tidak mendukung, persaingan yang tidak sehat dalam beriklan,tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggar,kurangnya kordinasi antar instansi yang terkait serta tidak berjalannya fungsi pengawasan. Masalahnya adalah pertanggung jawaban pelaku usaha periklanan terhadap informasi yang menyesatkan 3 5 Dedi Harianto,Op Cit. Hlm 4 Sidarta, Hukum Perlindungan konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000, hlm 50-51 4 PEMBAHASAN Iklan adalah segala bentuk promosi yang ditujukan untuk memperbesar penjualan barang dan jasa dari pemberi pesan kepada masyarakat dengan mempergunakan media yang dibayar berdasarkan tarif tertentu.6 Tampak dari pengertian ikilan ini, aspek peningkatan penjualan barang dan /jasa menjadi tujuan utama pelaku usaha untuk beriklan, sehingga pelaku usaha berupaya seoptimal mungkin memanfaatkan media iklan untuk menggali sisi konsumsi konsumen dengan berbagai barang atau jasa yang belum tentu jelas manfaatnya bagi konsumen. Iklan bukan hanya sebagai sarana bagi kepentingan pelaku usaha untuk memasarkan produk tetapi didalamnya juga terdapat kepentingan konsumen untuk memperoleh informasi secara jujur, objektif, dan tidak menyesatkan, sehingga konsumen Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm, 143 6 Dedi Herianto, Op.Cit. hlm. 97 71 dapat mempergunakan sumber dananya yang terbatas secara optimal.Oleh karena itu, penyesatan informasi melalui iklan yang dilakukan pelaku usaha periklanan dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen, secara menghilangkan kepercayaan konsumen kepada pelaku usaha dalam jangka panjang. Iklan berpotensi menimbulkan kerugian kepada konsumen, maka harus dipertimbangkan kemungkinan terdapatnya peluang untuk meminta pertanggung jawaban para pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan, terutama pelanggaranpelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat dalan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK), peraturan pemerintah, serta berbagai peraturan yang bersifat administratif, misalnya dalam surat keputusan menteri kesehatan, maupun BPOM. Secara garis besar pertanggung jawaban itu sendiri muncul terkait dengan 2 hal yaitu informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan, menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan/atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Mengenai muatan informasi produk, tentu pihak yang paling bertanggung jawab adalah pengiklan sebagai pihak penghasil barang dan /atau jasa. Sedangkan yang menyangkut daya kreativitas dalam pembuatan iklan, tentu merupakan tanggung jawab perusahaan periklanan dan media iklan, karena berdasarkan daya imajinasi mereka iklan dapat tampil lebih memikat dan mampu mengundang perhatian 7 konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan bahwa Iklan Pangan adalah : “setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan/atau perdagangan pangan”. Dalam pengertian yang diatur dalam Pasal 1 angka (4) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ini menekankan aspek penyebaran/peberian informasi produk kepada konsumen, sehingga iklan bukan hanya semata menjadi sarana promosi untuk meningkatkan penjualan tetapi dapat juga diandalkan oleh konsumen untuk memperoleh informasi suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan dalam menjalankan fungsinya masing-masing antara lain : Pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan membayar biaya pembuatannya untuk promosi/pemasaran produknya dengan menyampaikan pesan-pesan dan berbagai informasi lainnya tentang produk tersebut kepada perusahaan iklan, perusahan iklan yaitu perusahaan atau biro iklan yang merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan kepadanya, media periklanan, yaitu media non elektronik (koran, majalah) atau media elektronik (radio, televisi) yang digunakan untuk Yusuf Shofie, “Sistem Tanggung Jawab Dalam Periklanan”, Hukum dan Pembangunan, no 2 Tahun XXVI, April 1996, hlm. 142. 7 72 menyiarkan dan/atau menayangkan iklaniklan terentu. Pada proses pembuatan iklan, sumber informasi utama berasal dari pengiklan sebagai penghasil produk yang akan diiklankan. Dalam upayanya untuk memperkenalkan produk kepada konsumen, pengiklan dapat melakukan beberapa upaya, salah satu diantaranya adalah pengiklan akan menghubungi perusahaan periklanan untuk menungkan berbagai informasi produk tersebut dalam suatu konsep iklan yang dapat menarik perhatian konsumen, sekaligus dapat memenuhi keingintahuan konsumen terhadap informasi produk yang diiklankan. Dalam tarap ini, tarjadi pembauran dua fungsi periklanan, yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. 8 Pengiklan bertanggung jawab terhadap kandungan informasi yang terdapat dalam iklan, sedangkan perusahaan periklanan bertanggung jawan terhadap unsur 9 persuasinya. Pembuatan iklan dibutuhkan suatu proses yang cukup panjang, memperhatikan proses pembuatan sebuah iklan, maka akan terlihat bahwa perusahaan periklanan dalam menjalankan kegiatannya terikat oleh hubungan tertentu dalam sebuah kontrak keagenan. Hubungan ini merupakan salah satu bentuk hubungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata mengenai perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa. K. Bertens, “Etika dan Periklanan, Sebuah Topik Etika Bisnis”, Majalah Ilmiah Atma Jaya Thn VI No 2. (Jakarta Universitas Katolik Indonesia) Agustus 1993, hlm. 67 9 Somartono, Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi, Bandung: Alfabeta, 2002, hlm 64 8 Pada umumnya, dalam kontrak keagenan diantara kedua belah pihak diatur hak dan kewajiban para pihak, serta pertanggungjawaban atas hasil karya yang dihasilkan oleh perusahaan periklanan tersebut dengan pengiklan. Hak dan kewajiban perusahaan periklanan, hak perusahaan periklanan adalah melaksanakan tugas-tugas sesuai petunjuk yang diberikan pengiklan, menerima upah sesuai dengan yang diperjanjikan setelah menyelesaikan tugastugas yang diberikan pengiklan, meminta dan menerima ganti kerugian atas kerugian yang diderita perusahaan periklanan apabila diperjanjikan kedua belah pihak. Kewajiban perusahaan periklanan adalah kepatuhan, perusahaan periklanan harus mematuhi perintah dan petunjuk perusahaan periklanan, Pelaksanaan pribadi, perusahaan periklanan tidak dapat mendelegasikan kewajibannya secara sah kepada pihak lain, kehati-hatian dan keahlian, perusahaan periklanan dalam melaksanakan pekerjaannya harus dilakukan dengan tingkat ketelitian dan keahlian secara profesional, kewajiban dan itikad baik, perusahaan periklanan harus dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan perusahaan dengan kepentingan pengiklan. Hak dan kewajiban pengiklan, hak pengiklan adalah memberikan perintah dan petunjuk dalam melaksanakan pekerjaan, melarang perusahaan periklanan mengalihkan tugas-tugas yang diberikan kepada pihak lain, guna menghindarkan terjadinya ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan petunjuk pengiklan, juga untuk mencegah kemungkinan tuntutan konsumen, meminta laporan dan perhitungan biaya- 73 biaya yang timbul dalam melaksanakan pekerjaan, meminta pertanggungjawaban perusahaan periklanan atas pemberian tugas dan kewenangan tersebut. Kewajiban pengiklan adalah membayar upah, pengiklan harus membayar sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan kesepakatan bersama di antara kedua belah pihak, membayar ganti rugi, pengiklan harus membayar ganti rugi kepada perusahaan periklanan untuk semua biaya yang layak dan timbul secara sah dalam pelaksanaan pekerjaan. Dengan dirumuskannya hak dan kewajiban para pihak dalam suatu kontrak keagenan, maka akan sangat mempermudah masing-masing pihak untuk mengawasi realisasi kesepakatan yang telah dijanjikan, serta untuk kepentingan pembuktian apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap isi kontrak , dari sisi konsumen kesepakatan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak sangat membatu untuk menentukan siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap informasi yang terdapat dalam iklan yaitu dengan melihat siapa pihak-pihak yang bertandatangan dalam kontrak keagenan tersebut. Melahirkan suatu iklan, dibutuhkan peran serta beberapa pihak, mulai dari pengiklan, perusahaan periklanan, dan media massa, dimana masing-masing pihak dapat memberikan kontribusinya dalam proses pembuatan sampai penayangan iklan di media massa.Dalam kegiatan periklanan, ketiadaan undang-undang khusus periklanan yang seharusnya dapat dijadikan pedoman tidak kunjung terwujud, sehingga persoalan penentuan tanggung jawab ini harus dilakukan kasus-perkasus, tergantung kepada peran masing-masing pihak dalam proses pembuatan dan pemasangan iklan tersebut. Pertanggung jawaban pelaku usaha periklanan dapat dilihat pada produsen, apabila sebuah iklan yang ditayangkan atas permintaan produsen baik itu bentuknya maupun yang menyangkut tentang isinya, sehingga biro iklan dan media yang mengiklankannya hanya bersifat pasif dalam arti bahwa mereka hanya membuat secara utuh sesuai dengan permintaan produsen, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab secara penuh adalah produsen yang bersangkutan.Pada biro Iklan, dalam hal ini produsen media iklan bersifat pasif, sedang biro iklan yang mendesain bentuk termasuk isinya, maka yang bertanggung jawab adalah biro Iklan yang bersangkutan.Pada media iklan, apabila dalam mengiklankan suatu produk produsen dan biro iklan telah menetapkan bentuk dan isi iklan, akan tetapi dalam penayangannya terjadi perubahan, dimana setelah ditayangkan berbeda dengan yang sebenarnya, maka yang bertanggung jawab adalah media iklan yang bersangkutan. Pertanggung jawaban para pihak ditentukan berdasarkan peran aktif para pihak sebagai sumber informasi dalam proses pembuatan iklan tersebut. Apabila sumber informasi berasal dari pengiklan sebagai penghasil produk, maka tanggung jawab akan dibebankan kepada pengiklan atas pernyesatan informasi tersebut. Pertanggung jawaban para pihak ditentukan berdasarkan peran aktif sebagai sumber informasi dalam proses pembuatan iklan tersebut. Apabila sumber informasi berasal dari pengiklan sebagai penghasil produk,maka tanggung jawab akan dibebankan kepada pengiklan atas 74 penyesatan informasi iklan tersebut. Sedangkan apabila sumber informasi berasal dari perusahaan periklanan dan dibuat tanpa sepengetahuan atau persetujuan pengiklan, maka tanggung jawab terhadap informasi iklan yang menyesatkan tersebut dibebankan kepada perusahaan periklanan. Selain itu, apabila sumber informasi yang dimuat dalam iklan berbeda dengan informasi aslinya akibat kesalahan media iklan, maka tanggung jawab terhadap informasi menyesatkan tersebut berada di pihak media iklan. Melihat keberagaman pengaturan kegiatan periklanan tersebut, maka pertanggung jawaban pelaku usaha periklanan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk pertanggung jawaban, yaitu pertanggungan jawaban secara perdata, pidana, dan administrasi negara, sesuai dengan jenis pelanggaran dan pasal-pasal yang dituduhkan kepada pelaku usaha periklanan. Pertanggung jawaban secara perdata dapat muncul didasarkan pertanggung jawaban kontraktual, pertanggung jawaban produk, serta pertanggung jawaban profesional. Pemanfaatan ketiga bentuk pertanggung jawaban tersebut disesuaikan dengan pihak yang akan dimintakan pertanggung jawabannya serta melihat ketersedian kontrak sebagai dasar pengajuan tuntutan. Pertanggung jawaban kontraktual merupakan pertanggung jawaban perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usahan (baik barang maupun jasa) atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.10 Dengan demikian, ciri khas dari pertanggung jawaban kontraktual ini adalah terdapat hubungan kontraktual dalam bentuk perjanjian/kontrak sebagai landasan hukum yang mengatur hubungan pelaku usaha dengan konsumen. Sebagaimana dikemukakan oleh AZ Nasution, yang menilai bahwa iklan atau periklanan sangat erat kaitannya dengan kegiatan penawaran barang dan/atau jasa untuk dijual atau digunakan oleh konsumen. Dalam pesan iklan barang dan/atau jasa, tidak jarang secara tegas dinyatakan janji akan memberikan suatu hadiah beruapa barang atau jasa lain. Pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam bentuk iklan ini tentu saja dibuat dengan sengaja dan mempunyai tujuan tertentu. Perbuatan-perbuatan penawaran untuk menjual barang dan/atau jasa yang merupakan pernyataan kehendak, dan syarat yang dikaitkan pada penawaran tersebut, termasuk kegiatan perdata yang merupakan objek pengaturan tentang perikatan khususnya perikatan yang timbul dari perjanjian.Perbuatan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang tidak benar,menyesatkan, dan menipu konsumen melalui media iklan telah menimbulkan kecacatan terhadap unsur kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320, Pasal 1321, Pasal 1328, dan Pasal 1338 KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal-Pasal KUHPerdata tersebut, kiranya dapat 10 Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas. Kumpulan tulisan dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung: Universitas Parahyangan dan Citra Aditya Bakti 2003, hlm. 116 75 dijadikan sebagai dasar hukum dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen periklanan, yaitu dengan menjadikan perbuatan penyesatan informasi iklan sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kecacatan terhadap unsur kesepakatan terkait sahnya suatu perjanjian. Peluang yang diberikan KUHPerdata untuk meminta pembatalan perjanjian yang mengandung cacat kehendak tentu dirasakan belum cukup mengingat konsumen tentu sedikit banyaknya telah mengalami kerugian akibat penyesatan yang dilakukan pelaku usaha. Oleh karena itu, tindakan penyesatan informasi iklan dapat dijadikan sebagai dasar untuk menuntut pertanggung jawaban pengiklan, perusahaan periklanan, maupun media iklan, berdasarkan adanya wanprestasi (ingkar Janji) atau perbuatan melawan hukum, berkaitan dengan suatu gugatan ganti-rugi dalam periklanan. Mengenai kemungkinan bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi berkaitan dengan penyesatan informasi iklan, bahwa informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur dapat jadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan konsumen terhadap produsen. Bahkan, tindakan produsen berupa penyampaian informasi melalui brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen, dapat dikatagorikan sebagai wanprestasi karena brosur dianggap sebagai penawaran dan janji-janji yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur dianggap perjanjian dalam ikatan jual beli, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.11 Tindakan pelaku usaha yang menyimpang dari janji-janji dalam brosur dapat dianggap sebagai perbuatan cidera janji (wanfrestasi) pelaku usaha. Sehingga konsumen dapat mengajukan gugatan terhadap para pihak dalam kegiatan periklanan dengan mempergunakan mekanisme gugatan wanprestasi. Agnes M. Toar mengertikan tanggung jawab produk sebagi tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.12 Johanes Gunawan, mendifinisikan tanggung jawab produk sebagai pertanggung jawaban perdata dari produsen barang (dapat pihak lain dalam mata rantai distribusi) untuk mengganti kerugian kepada pihak tertentu (dapat pembeli,pemakai, atau bahkan pihak ketiga) atas kerusakan benda, cedera dan/atau kematian sebagai akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh produsen.13 Tanggung jawab produk ini timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat karena kekurangcermatan, dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan /jaminan, atau kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Tanggung jawab produk pada awalnya diterapkan bagi cacat produk yang disebabkan karena adnya kesalahan dalam proses produksi. Konsumen dalam hal ini, cukup hanya membuktikan bahwa pruk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian baginya. Sedangkan ada tidaknya kelalaian atau kesalahn dalam proses produksi barang dan/atau jasa menjadi tanggung jawab 11 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta,2004, hlm 56 12 13 Sidarta, Op.Cit, hlm. 65 Johanes Gunawan, Op.Cit, hlm. 122 76 pelaku usaha untuk membuktikan. (membuktian terbalik). Pembuktian dari hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK yang telah menetapkan kegiatan produksi bersambungan dengan kegiatan perdagangan sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”. Terdapatnya lembaga pertanggung jawaban produk, maka kesulitan konsumen ketiadaan kontrak dapat teratasi. Kesepakatan atas kondisi produk,harga,kualitas dan sebagainya, terbentuk berdasarkan informasi produk yang diterima oleh konsumrn melalui media televisi,redio,tanpa terdapat bukti-bukti tertulis.Pemberian informasi iklan yang menyesatkan maka pelaku usaha periklanan adalah pihak yang paling tahu keakuratan informasi yang disampaikannya dalam iklan, khususnya pihak pengiklan sebagai produsen penghasil produk. Oleh karena itu dalam UUPK dianut asas pebuktian terbalik dengan menempatkan pelaku usaha (khususnya pelaku periklanan) sebagai pihak yang harus membuktikan kebenaran informasi iklan. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 UUPK, yaitu: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Penerapan asas pebuktian terbalik, tentu akan sangat membantu konsumen periklanan dalam meminta pertanggung jawaban pelaku usaha. Pertanggung jawaban produk lebih ditujukan kepada produk pelaku usaha berupa barang, maka pertanggung jawaban profesional ditujukan kepada produk pelaku usaha berupa jasa. Pertanggung jawaban profesional merupakan tanggung jawab hukum dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.Ciri khas lembaga pertanggung jawaban profesional ditujukan bagi upaya meminta pertanggung jawaban pelaku usaha penyedia jasa, sehingga aplikasi lembaga pertanggung jawaban ini dalam meminta pertanggung jawaban pelaku usaha periklanan lebih ditujukan kepada perusahaan periklanan dan media iklan, yang menjalankan aktivitas bisnisnya memerlukan keahlian khusus. Dalam kegiatan periklanan, tanggung jawab profesional perusahaan periklanan dan media iklan tidak hanya sebatas tanggung jawab kepada klien (pengiklan) tetapi meliputi pula pertanggung jawaban pengemban profesi terhadap pihak ke tiga atas jasa yang diberikannya (konsumen Iklan). Berdasarkan Pasal 19 UUPK, bahwa pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Peluang untuk pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan periklanan, dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) uupk BAHWA, Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan 77 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- Lima ratus jita rupiah). Keseluruhan bentuk pelanggaran iklan sebagaimana diatur dalam UUP dapat dikenakan sanksi pidana, berupa hukuman penjara atau pidana denda.Bagi pelanggaran kegiatan periklanan dalam kelompok pertama akan dikenakan sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) sedangkan pelanggaran kegiatan periklanan dalam kelompok kedua akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Untuk lebih memperberat ancaman sanksi pidana dalam Pasal 62 UUPK, dalam Pasal 63 UUPK dimungkinkan pengenaan sanksi pidana tambahan, berupa perampa san barang-barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha. Dalam rangka pertanggung jawaban secara administarsi negara, pemahaman masyarakat pada umumnya tertuju berupa penghentian kepada sanksi-sansi PENUTUP Dalam kegiatan periklanan ketiadaan undang-undang khusus periklanan yang seharusnya dapat dijadikan pedoman belum terwujud, sehingga persoalan penentuan tanggung jawab ini harus dilakukan kasusperkasus bergantung kepada peranan masing-masing pihak dalam proses pembuatan dan pemasangan iklan tersebut, serta bagaimana hakim di pengadilan meletakan beban tanggung jawab atas pelaku usaha yang kasusnya dihadapkan kepada mereka. Melihat keberagaman pengaturan kegiatan periklanan tersebut maka pertanggung jawaban pelaku usaha periklanan dapat pula menjadi beberapa bentuk pertanggu jawaban yaitu pertanggung jawaban perdata, pertanggung jawaban pidana, pertanggung jawaban secara administrasi negara. Diharapkan terwujudnya perundang-undangan periklanan. DAFTAR PUSTAKA BUKU Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Dedi Heryanto, Perlindungan Hukum Bagi konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Somartono, Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi, Bandung: Alfabeta, 2002 Sidarta, Hukum Perlindungan konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000. 78 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata SUMBER HUKUM LAIN B&B Majalah Periklanan Marketing dan komunikasi, Vol III no 20, Januari 20005. Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas. Kumpulan tulisan dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas. (Bandung Universitas Parahyangan kerjasama dengan PT. Citra Aditya Bakti 2003) K. Bertens, Etika dan Periklanan, Sebuah Topik Etika Bisnis, Majalah Ilmiah Atma Jaya Thn VI No 2. (Jakarta Universitas Katolik Indonesia) Agustus 1993. Yusuf Shofie, Sistem Tanggung Jawab Dalam Periklanan, Hukum dan Pembangunan, no 2 Tahun XXVI, April 1996. 79