DESAIN GRAFIS: Suatu Upaya Pemahaman Holistik Penulis : Rene Arthur Staf Pengajar Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain, UK. Maranatha Jl. Prof. Drg. Soeria Sumantri, MPH no. 65, Bandung ABSTRACT Nowadays human live in visual culture which graphic design holds a significant role in sculpting opinion, mind frame, perception and choices. Ironically, people’s understanding for graphic design is not as wide as design’s influence. Most people have narrow and sectoral design knowledge. Graphic design output was only commonly known as logo or poster. Public will need an open minded and wide knowledge to respond graphic design critically and proportionally. This journal entry will discuss graphic design in holistic approach. The relevance between graphic design with time and space will be the main point of view. The second point will be the graphic design relevance with material and media. The last point will discuss personality who made influential design. In holistic approach all aspects of visual communication such as communicator, message, audience, media, momentum, context and communication effect are involved. The influence of graphic design will also be discussed in holistic approach, such as attention, desire, interest, understanding, experience and behavioral change. Keywords : graphic design, holistic approach, design knowledge 143 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Pendahuluan Desain grafis dekat di mata tetapi jauh dari hati masyarakat. Dekat di mata karena orang tidak perlu lagi ke musium, desain grafislah yang mendatangi kita (Landa, 2006:13), desain grafis ada di sekitar kita, di mana pun kita berada (Resnick, 2003:15). Desain grafis disebut sebagai seni rupa yang paling universal dari antara jenis seni lainnya (Newark, 2005:6), merupakan sarana komunikasi potensial dan komponen utama budaya visual (Meggs, 1989:1). Ironisnya, desain grafis jauh dari hati masyarakatnya. Masyarakat masih kurang mengenal, me- nyadari dan mengapresiasinya. Setiap hari orang berjumpa dengan desain grafis-mungkin di setiap menit kehidupannya-namun mereka tidak peduli apakah dampaknya buruk atau baik bagi kehidupan mereka. Padahal apa yang mereka beli, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka pikirkan dipengaruhi oleh desain grafis. Shaughnessy mengatakan bahwa desain grafis sangat berarti bagi mereka yang mencari nafkah darinya, namun tidak demikian bagi mereka yang menjadi sasaran. pesannya (http://www.observatory. designobserver. com/entry. html? Entry =7257,diakses 16 desember 2009) Pemahaman masyarakat terhadap desain grafis hanya sebatas desain logo atau poster indah hasil desain komputer. Pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru, namun terlalu sempit. Rick Poynor, pengarang buku dan kritikus budaya visual mengatakan, “Buku, majalah, sampul rekaman, tanda lalu lintas, poster, logo, titling film, tv graphics, kemasan, perangko, buku manual, situs web, halaman yang anda baca ini- tidak luput dari tangan perancang grafis yang menyentuh dan mengolah setiap area kehidupan kita. Bahkan kitab sucipun tidak lepas dari garapan desain grafis.”(http://www.guardian.co.uk/books/2004/aug/28/art, diakses 16 desember 2009). Dengan demikian dibutuhkan suatu pemahaman perihal desain grafis yang lebih utuh dan menyeluruh. Mengapa demikian? Memahami desain grafis secara holistik antara lain akan memberdayakan masyarakat untuk kritis terhadap pengaruh baik atau buruk desain grafis. Sebagai konsumen, ia dapat menyikapi komunikasi visual yang menerpanya secara lebih arif. Selain itu, memampukannya meman- faatkan sisi positif desain grafis untuk kebaikan umat manusia dan lebih mewaspadai berbagai ekses komunikasi grafis seperti cuci otak, penyesatan, propaganda atau manipulasi visual. Bob Cotton (1990:9) mengingatkan bahwa desain grafis pada hakekatnya adalah suatu profesi yang fungsi utamanya membantu manusia agar mampu berkomunikasi lebih baik dengan sesamanya. Dalam tulisan ini istilah desain grafis tidak dibedakan dengan istilah desain komunikasi visual. Desain grafis digunakan dalam pengertian yang luas (Ambrose & Harris, 2009: 12), (Resnick, 2003:15), (Heller & Fernandes, 144 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 2006), (Newark, 2005:6). Definisi yang dirumuskan Robin Landa mewakili pemahaman luas ini: “Desain grafis adalah suatu bahasa visual yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada target sasaran tertentu dan merupakan representasi visual dari suatu ide yang diciptakan, diseleksi dan ditata dari berbagai elemen visual untuk menghasilkan suatu komunikasi efektif ” (Landa, 2006: 4). Tulisan ini merupakan suatu upaya memahami desain grafis dari pandangan yang lebih luas dari sekadar suatu karya (logo/poster) atau teknologi mutakhir (komputer). Caranya adalah dengan menginvestigasi: Kapan saja desain grafis hadir? Dimana? Apa konten pesan yang di-sampaikan? Siapakah perancang dan sasaran pesan-pesan visual tersebut? Bagaimana cara penyampaiannya? Mengapa demikian dan apakah dampaknya bagi masyarakat? Dari Pagi hingga Malam Hari Desain grafis mendominasi waktu manusia, desain grafis hadir di setiap menit kehidupan manusia. Bangun pagi, saat tubuh belum terjaga betul mata telah melihat angka-angka pada jam dinding. Kemudian, di kamar mandipun dikepung komunikasi grafis mulai dari merek dan warna sikat gigi, pasta gigi, logo sabun, botol shampo, tanda warm atau cold pada keran water heater. (Barnard, 2005:1). Desain grafis menyapa ketika mempersiapkan sarapan pagi mencari kemasan kopi di lemari dapur, mengambil kemasan susu bubuk dan sarapan sambil membaca koran pagi. Dalam perjalanan ke kantor mata tertumbuk pada iklan di jalan, papan toko, logo-logo mobil lalu lalang dan rambu lalu lintas. Di kantor, kembali desain grafis mengepung melalui letterhead, bussiness card, brosur, website, logo perusahaan, powerpoint. Saat istirahat makan siang, pilihan makanan di restoran dipengaruhi oleh branding restoran melalui logo, warna, menu, seragam para pelayannya. Saat berelaksasi sambil bermain game komputer pun tak terlepas dari sentuhan grafis. Warna, karakter, huruf game, semuanya dirancang untuk efek ‘fun’. Pulang ke rumah, saat menonton siaran berita di televisi, layar kaca tersebut tak luput dari olahan tangan desainer grafis berupa iklan, judul berbagai acara, grafik, ilustrasi berita, dan sebagainya. Akhirnya, malam hari saat berangkat tidur, ternyata yang didekap juga desain grafis; piyama merek tertentu, tidur di atas kasur pegas merek tertentu, berselimutkan merek tertentu juga (dengan memimpikan satu produk mobil yang diiklankan). Selanjutnya, setiap karya desain grafis memiliki usia. Ada yang singkat ada pula yang panjang usianya. Iklan suratkabar termasuk karya desain grafis pendek usia. Desainer bersusah payah membuat tampilan desain koran, mulai dari headline, teks dan gambar ditata indah dan menarik perhatian pembaca, 145 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 namun desainnya hanya berusia satu hari. Bahkan koran dapat dibaca beberapa jam dan iklannya hanya beberapa detik disimak pembaca, setelah itu dibuang. Sebaliknya, ada desain grafis yang didesain untuk berusia panjang, jika memungkinkan abadi. Logo IBM karya Paul Rand misalnya, bertahan hingga puluhan tahun. Ada apa dengan rentang umur suatu desain? Ada pesan dibalik usia. Dalam dunia desain, pendek umur belum tentu berarti mati muda. Usia pendek suatu surat kabar dapat berarti aktualitas suatu berita/pesan. Ia ibarat bubur ayam yang harus disantap selagi hangat. Di pihak lain, usia lanjut dalam dunia desain bukan tanda kerentaan dan ketidak berdayaan. Usia lanjut suatu logo dapat menunjukkan kualitas. Mungkin ini sebabnya redesain logo-logo universitas yang kuno hanya memperoleh sedikit sentuhan atau dibiarkan seperti asalnya agar tidak mengubah spirit asali. Bagi desain grafis, usia amat penting. Bila usianya singkat, maka desain akan berkata ‘baru’/’new’. Bila berusia lanjut, maka berarti ‘reputasi’, “telah tahan uji”. Desain dapat menengok ke masa lalu. Inilah desain retro, revival, vintage, heritage; atau desain dapat mendahului jaman dengan menghadirkan desain futuristik dan fantastik. Pertama, benda ter-dekat pada diri manusia adalah pakaian yang menutupi kulit tubuhnya. Selain sebagai pelindung, pakaian juga dapat menjadi sarana pesan grafis (t-shirt, topi, bandana, label). Di tangan desainer yang kreatif, pesan grafis 2 dimensi menjadi 3 dimensi ketika dikenakan pada tubuh pemakai. Kedua, desain grafis juga hadir pada benda pakai sehari-hari yang menjadi perpanjangan tubuh manusia atau penolong beraktivitas. Alat-alat seperti payung, mug, tas, map, asbak, ballpoint misalnya juga tidak terlepas dari sentuhan grafis ketika dimanfaatkan sebagai alat promosi misalnya. Ketiga, lingkup penerapan desain grafis pada benda pakai dapat diperluas ke alat transportasi (car graphics), gedung (architectural graphics), taman (signage) bahkan sampai seluruh kota yang dihuni manusia tidak terlepas dari sentuhan grafis lengkap dengan aneka fungsi seperti identitas, propaganda, informasi atau sekadar penyemarak lingkungan. Suatu karya atau benda grafis terdiri atas berbagai dimensi. Secara tradisi desain grafis didefinisikan sebagai pemecahan masalah pada bidang datar 2 dimensional. Bidang baru seperti web design dan multimedia memperluas ruang lingkupnya kepada bentuk 3 dimensi dan aplikasi 4 dimensi (Arntson, 2007:4). Dari Real hingga Virtual Dimanakah desain grafis hadir? Biasanya iklan dapat dijumpai ditepi jalan atau poster di badan pohon. Namun tidak berhenti di sana. Berbagai media grafis juga hadir di rak toko, di tembok gedung, di pos polisi, di bandara, di stadion bola, di handphone bahkan pada tubuh manusia. Singkatnya, di segala tempat yang dapat dan mungkin di jangkau mata manusia. Di situlah desain grafis hadir. Bahkan bukan hanya di ruang real saja, desain grafis juga merambah ruang maya (virtual reality) dan perpaduannya (augmented reality) seiring dengan perkembangan teknologi digital komputer. Desain grafis ada dimana-mana, sejauh mata memandang (Resnick,2000:15). Fiell (2003:15) mengatakan bahwa desain grafis mahahadir dalam kehidupan manusia. Untuk menggambarkan betapa kuatnya dominasi desain dalam kehidupan manusia, Rick Poynor, kritikus budaya visual/desain grafis bahkan menyimpulkan bahwa manusia hidup bernafas dalam desain (Resnick,2000:15). Gambar 1. Pemanfaatan Ukuran. People Pixel di RRC. Dibutuhkan 100.000 orang yang masing-masing memegang poster membentuk konfigurasi poster propaganda raksasa bergambar Mao di era kekuasaan Komunis Cina (kanan). Sumber gambar: The Language of Graphics (Clibborn, 1980). Cara lain untuk melihat kehadiran desain grafis adalah dengan memulainya dari yang terdekat, yaitu diri/tubuh kita, kemudian meluas ke lingkungan sekitar kita. 146 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 147 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 .H.K Henrion menyebut keserbahadiran artefak grafis dalam kehidupan umat manusia ini sebagai visual ecology. Jika lingkungan organik rusak karena destruksi spesies flora faunanya dan rusak oleh polusi air, udara dan lingkungan, maka kita juga dirusak oleh polusi visual akibat produksi berlebihan visual noise (Jennings,1987:66). Bahkan bagi Kalle Lasn, manusia memiliki ecology of mind yang harus dijaga dari ancaman polusi grafis (http://www.adbusters.org/ magazine/ 90/ecology-mind.html diakses 12 desember 2012). Dibutuhkan kesadaran dipihak perancang grafis bahwa komunikasi visual itu untuk meningkatkan martabat manusia bukan ­s ebaliknya. Dari Tradisional hingga Eksperimental Gambar 2. Efektivitas lokasi penempatan media Gambar kanan: Poster kampanye bahaya tenggelam dipasang di dasar kolam (sumber gambar: http://www.toxel.com/inspiration/2008/05/27/14-creative-advertisements/ diakses 10 maret 2010) Repertoar media yang digunakan dalam desain grafis amat luas, meliputi media berteknologi tinggi atau rendah, manual atau digital, kuno atau modern. Dewasa ini komputer merupakan alat yang berperan penting dalam suatu proses perancangan grafis. Komputer memudahkan desainer mengolah, mengambil, menyeleksi, menata gambar dan teks, serta mempersingkat waktu kerja desainer. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ada yang menyamakan profesi desain grafis dengan kehebatan efek komputer. Gambar kiri: Poster kampanye jangan mengemudi sambil mabuk. Iklan komersil yang memanfaatkan dinding dan trotoar dipasang di lokasi pejalan kaki . Sumber gambar: Guerilla Advertising (Lucas&Dorian, 2006). Desain grafis 2D biasanya dihubungkan dengan benda cetakan misalnya poster, brosur, atau stiker. Lalu ada karya desain grafis berujud 3 dimensi seperti dalam exhibition graphics, retail graphics, display graphics dan environmental graphics. Terdapat juga desain grafis yang mengolah 4 dimensi, misalnya website, animasi, titling film dan game design. Desain grafis 2D, 3D dan 4D dapat hadir dari mulai dari benda remeh hingga yang serius, dari label stiker buah yang ’tidak berharga’ hingga desain desain uang kertas. Dengan berbagai ukuran, mulai dari yang berukuran kecil seperti perangko hingga billboard raksasa di gedung pencakar langit. Dimensi tidak berhenti hanya pada ilmu ukur. Dimensi dapat ’berbicara’ dalam desain. Ukuran kecil dapat berarti ’imut’, intim atau unik; ukuran sedang dapat berarti biasa, netral atau standar, sebaliknya ukuran raksasa dapat berarti berkuasa, mendominasi atau abnormalitas. Padahal membuat desain tidak selalu harus mengandalkan komputer. Desain grafis juga dapat dilakukan secara manual. Bahkan di dunia barat, karena masyarakat mulai jenuh dengan tampilan’sempurna’teknologi komputer, mulai ada kecenderungan untuk kembali kepada karya desain grafis buatan tangan (Fiell, 2003). Buku seperti Handmade Graphics: Beyond Digital Design (Smee, 2002) merupakan salah satu contohnya. Melalui pemahaman teknik manual, diha- rapkan masyarakat dapat memiliki apresiasi terhadap karya grafis non komputer. Di tanah air ter-dapat begitu banyak karya desain grafis buatan tangan, baik pada komunikasi visual yang di lakukan oleh rakyat jelata maupun komunikasi visual tradisional. Alat yang dipakai desainer juga dapat menjadi bagian dari strategi komunikasi visual desainer. Apakah pesan lebih cocok disampaikan secara manual atau dengan teknologi komputer. Dari teknologi sederhana dan murah (ranting di atas pasir, pensil di kertas dan grafiti di tembok) hingga teknologi canggih dan mahal (komputer) dapat digunakan untuk mewujudkan serta menyampaikan suatu pesan grafis. Selama ini poster, web, brosur, katalog dan iklan dikenal sebagai media desain grafis. Namun itu hanyalah beberapa contoh dari media desain grafis yang ada. Masih banyak media lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk 148 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 149 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 menjangkau masyarakat. Ada beragam cara mengelompokkan media, namun pada dasarnya ada 2 kelompok besar media: konvensional dan inkonvensional. kita juga menjumpai pesan-pesan grafis yang untuk jasa perbankan, penerbangan, asuransi dan lain sebagainya. Kemudian ada pula pesan grafis untuk antara lain event olimpiade, laga sepak bola, air show. Media desain grafis yang dikenal selama ini termasuk dalam kelompok media konvensional. Artinya media tersebut disepakati dan dikenal masyarakat sebagai medianya desain grafis. Media konvensional dapat bersifat modern seperti poster, stiker, shopping bag, t-shirt, stationary, signage, book cover, cd cover, iklan majalah, billboard, spanduk atau bersifat tradisional seperti umbul-umbul, lelontek, ider-ider (Bali), rajah/tato (Mentawai, Dayak) yang digunakan untuk menyampaikan pesan status spritual, sosial dan identitas. Di samping media konvensional, desainer grafis juga sering bekerja dengan media inkonvensional. Media inkonvensional ini terbagi atas media baru/ new media dan media eksperimental. Media baru adalah media yang muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi mutakhir (misalnya face book, handphone, augmented reality). Media eksperimental adalah upaya para desainer grafis mengeksplorasi berbagai kemungkinan media untuk menjawab tantangan jaman atau menembus kejenuhan komunikasi media konvensional. Contohnya eksperimen typografis Nevile Brody dalam proyek Fuse sebagai reaksi atas formalisme dan streilisasi tipografi di akhir 80-an (Brody & Wozencroft, 2012) atau John Maeda dari MIT yang disebut sebagai eksperimentator desain grafis terkemuka dunia yang bereksperimen dengan bidang interaktif, digital dan programming, karya-karyanya antara lain iklan untuk Sony, Shiseido, and Absolut Vodka. Karya Maeda merupakan interseksi dari teknologi, seni dan desain (http://blog. ted.com/2012/10/09/4works-from-john-maeda-that-explore-the-intersection-of-tech nology-artand-design/diakses, 20 februari 2012). Gambar 3. Kampanye gagasan. Gambar kiri: Kampanye mindfulness di Inggris; Gambar kanan atas: Subvertising lewat logo-logo terkemuka; Gambar Kanan bawah: rambu larangan bagi anjing. Sumber gambar: http:// hotshoe blog. wordpress.com/2010/09/17/kk-outlet-creative-teamand-photographer-rob-murray-create-winning-uk-poster-campaign-for-mental-healthfoundation/diakses 25 maret 2010. http://4.bp.blogspot.com/_c8BLgIFPhn8/SwLmPs_J4rI/AAAAAAAAADE/xewZRVRyw8w/ s1600/four+in+one.jpg-diakses 20 september 2011; http://www.123rf.com/stock-photo/ Kedua kelompok besar media inilah yang berada di sekitar kita dan mengepung kita dari segala penjuru sepanjang waktu. Terkadang kehadiran media begitu menginterupsi perhatian, misalnya peran kekuatan imaji poster kampanye pemilu Obama (http://observatory. designobserver.com /entry. html?entry=7257, diakses 12 desember jam 22.15). Kadangkala keha dirannya begitu wajar sehingga sudah tidak disadari lagi karena begitu menyatu dan akrab dengan kehidupan masyarakat. Desain grafis sewajar cuaca yang melingkupi manusia, kata Shaugnessy (http:// observatory. designobserver. com /entry.html?entry=7257, diakses 12 desember jam 22.15). Pertanyaan berikutnya adalah apakah isi pesan yang hendak disampaikan? Dari Benda hingga Gagasan Pandangan umum menganggap bahwa profesi desain grafis berhubungan erat dengan dunia perniagaan seputar barang dagangan seperti untuk produk kosmetika, soft drink, rokok, snack, roti, sepatu, obat, gagdet, kulkas dan mobil. Tetapi tidak semua pesan grafis menawarkan ba- rang konsumsi, 150 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 dog_poop.html diakses 2 maret 2013. Selain barang, jasa dan event, pesan grafis juga menyampaikan atau mensosialisaikan suatu gagasan misalnya kampanye gerakan bersekolah, anti rokok, mencuci tangan. Seakan tidak ada batasan tegas perihal barang, jasa atau gagasan apa yang boleh atau tidak untuk diiklankan, dipublikasikan, dikampanyekan, dibuat logonya atau kemasannya. Apa yang dianggap ganjil di suatu negara dapat saja merupakan kebutuhan di negara lain. Lebih jauh lagi, desain grafis dimanfaatkan tidak hanya untuk menjual gagasan pro konsumsi tetapi juga digunakan untuk gagasan anti konsumsi. Promosi, advertising atau branding yang dilakukan 24 jam melalui berbagai media untuk menjangkau manusia membuat manusia terjangkit virus konsumtif. Barangkali ada baiknya konsumen melakukan introspeksi diri berkala untuk melihat seberapa sejauh merek tertentu membelenggu dirinya. Sudah tidak sehat apabila orang merasa rendah diri bila baju, 151 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 kaus kaki, ponsel, kacamatanya tidak ‘branded’. Diperlukan ‘detoks’ racun gengsi merek secara berkala dari mentalitas manusia modern. Inilah yang mendorong kemunculan pesan-pesan grafis anti iklan, anti branding seperti yang dicanangkan gerakan unbranding (Quart, 2008:193), cultural jamming antara lain dengan program buy nothing day dan subvertising (men-subversi iklan resmi dengan merancang iklan tandingan)(https://www.adbusters. org/blogs/adbusters_blog/kalle_lasn_clearing_mindscape.html,diakses20 november 2010). Semakin jelaslah ada berbagai sumber dan maksud dalam mengolah pesan grafis, desain grafis bukan monopoli desainer ‘gedongan’ saja, tetapi juga desainer ‘jalanan’. Pokok inilah yang akan diulas pada segmen berikutnya. Seperti yang dikatakan Poynor bahwa tugas rutin anak SD kini melibatkan pemilihan typeface, type size dan layout yang sebelumnya merupakan monopoli para desainer profesional. (http://www.guardian. co.uk/ books/ 2004/aug/28/art, diakses 16 de- sember 2009). Tampaknya kecenderungan demokratisasi teknologi komputer inilah yang mendorong Ellen Lupton (2005) desainer grafis, kurator grafis, pendidik untuk menerbitkan buku DIY atau Design It Yourself yang ditujukan sebagai panduan desain grafis bagi kelompok amatiran ini. Dari Amatir hingga Profesional Komunikasi grafis dibuat dan dinikmati oleh berbagai kalangan, termasuk golongan masyarakat menengah ke bawah. Bila kita mengamati pemandangan di jalan-jalan kota, di samping papan nama cafe , billboard, megatron, terdapat logo warung tegal, “terima permak jeans”dan gerobak mie bakso. Sekalipun bersahaja, kalangan bawah juga mempromosikan dirinya melalui papan nama, logo dan huruf. Masih banyak contoh lainnya dimana suara rakyat tampil dalam gambar dan huruf di badan angkot, truk, gerobak, warung tenda dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat dilihat sebagai karya ‘desain grafis’ juga kreasi para ‘desainer’ jalanan, ditujukan kepada kalangan rakyat jelata. Para ‘desainer’ jalanan belajar secara otodikdak dan memakai peralatan murah untuk mendesain. Prinsip-prinsip desain mereka umumnya intuitif, imitatif, terkadang naif dan unik. Di sisi lain terdapat para desainer terpelajar yang dibekali pengetahuan memadai soal psikologi, sejarah seni rupa, tipografi dan imaji yang diperoleh di bangku sekolah desain. Desainer jenis ini lazimnya melayani segmen menengah ke atas. Tolok ukur kesuksesan desainer semacam ini biasanya dilihat dari besarnya nilai proyek dan nama besar klien yang ditangani. Semakin besar semakin baik bagi reputasi desainer yang bersangkutan. Di tengah kedua kutub tipe desainer ini, terdapat kelompok desainer yang ketiga, yakni desainer amatiran. Teknologi digital dengan teknologi olah gambar dan produksi gambar semakin portabel dan murah berperan memperkenalkan publik kepada kegiatan rancang meran cang yang sebelumnya hanya dapat diakses oleh para desainer profesional. Sekarang hampir setiap orang mampu melayout dokumen bertampilan profesional dengan menggunakan template software mutakhir (http://www.guardian. co.uk/books/2004/aug/28/art di akses 16 desember 2009). Setelah itu dengan mudahnya mereka mencetak desain kartu nama, logo dan cover buku yang dirancangnya. Kelompok amatir ini tidak berlatar pendidikan grafis akademis, namun memiliki akses kepada berbagai teknologi olah grafis. Kelompok semacam ini suka mendesain dan mau belajar ilmu desain praktis. 152 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar 4. Karya-karya Desainer Jalanan/ grafis vernakular Banyak hal yang dapat dipelajari dan dikaji (tipografi, kemasan, layout,warna, gambar) oleh desainer akademis dari karya para desainer intuitif /otodikdak/tradisional ini Sumber gambar: The Language of Graphics (Clibborn, 1980) Terlepas dari mutu desain yang dihasilkan, hasil karya ketiga kelompok desainer inilah yang mengisi panorama visual desain grafis perkotaan. Desain-desain ini menghasilkan berbagai tingkat pengaruh pada manusia. Pesan grafis mendekati target sasarannya dengan berbagai cara. Dari Informasi hingga Persuasi Ada pandangan yang mereduksi profesi desain grafis sebagai biang keladi budaya hedonis dan konsumtif. Desain grafis dianggap sebagai bujukrayu visual yang membuat orang membeli produk yang tidak dibutuhkannya. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Alice Twemlow dalam bukunya What is Graphic Design For? Menyatakan bahwa desain grafis dapat dipakai untuk menjual benda dan gagasan atau agenda politik. Namun juga untuk mengkritisi perilaku semacam ini. Desain grafis dapat membuat sesuatu lebih jelas-bahkan menyelamatkan nyawa tetapi juga dapat memperkaya kehidupan keseharian manusia, untuk membantu orang menemukan arah jalan atau memahami data, tetapi juga untuk membantu mereka menerima ide-ide baru ( Twemlow, 2006:8). Dengan kata lain, fungsi desain grafis tidak hanya untuk mempromosikan produk saja. Ada- berbagai fungsi desain grafis. Hollis (1994: 9-10) mengusulkan 153 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 3 fungsi, yaitu identifikasi, infor masi/instruksi, presentasi/promosi. Barnard (2005:14-16) menyebut 4 fungsi: informasi, persuasi, dekorasi dan magic. Sedangkan Heller (2012:9) menyebut 8 fungsi, yaitu informasi, advokasi, peringatan, hiburan, ekspresi, edukasi dan transformasi. Dalam tulisan ini, fungsi desain grafis dikelompokkan atas 5 fungsi dasar. Pertama fungsi informatif, misalnya papan petunjuk, peta, angka pada jam, rambu lalu lintas, kamus. Desain dengan fungsi informatif umumnya membuat sesuatu yang kompleks menjadi sederhana tetapi mudah dicerna. Kedua, fungsi identitas, misalnya logo, kartu nama, uniform, bendera. Fungsi identitas menggali keunikan dari sesuatu yang tampak biasa. Ketiga, fungsi edukatif, misalnya buku ajar, poster penyuluhan, alat peraga pendidikan. Fungsi edukatif membuat situasi belajar mengajar menjadi lebih efektif. Keempat, fungsi persuasif, yakni desain grafis yang digunakan untuk membujuk/merayu atau meyakinkan orang. Salah satu tekniknya antara lain adalah mengemas produk/gagasan dengan citra yang menarik minat orang. Iklan produk, poster politik adalah beberapa contohnya. Pada fungsi kelima, yaitu rekreatif/entertainmen, desain grafis lebih berfungsi menyemarakkan lingkungan, memberi sentuhan keindahan dan manusiawi. Antara lain ditunjukkan oleh supergraphics, wallgraphics, merchandise, wrapping paper dan sebagainya. Dari Personal hingga Institusional Mengenal siapa yang menjadi sasaran komunikasi visual merupakan salah satu pertimbangan desain grafis yang penting, tujuannya agar desainer dapat merancang dan menyam paikan pesan yang tepat. Selama ini dalam pendidikan desain grafis, tekanan diberikan pada memahami manusia sebagai konsumen. Namun kenyataannya, manusia lebih dari itu, manusia tidak boleh direduksi menjadi manusia konsumen atau semua problema desain dilihat dari kacamata konsumen semata. Alice Twemlow (2006:8) mengelompokkan sasaran desain grafis sebagai: pemirsa, penonton, pembaca, pengguna, penerima, pengunjung, partisipan, interaktor, pemain, pejalan kaki, experiencers, member dari publik, komunitas, inhabitan, konsumer, customer, subscribers dan klien. Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan believer, follower, crowd dan seterusnya. Jadi selain kajian mengenai consumer behaviour, kini dibutuhkan kajian tentang reader behaviour, gamer behaviour dan sebagainya. Semua kajian ini penting untuk memahami siapa target komunikasi visual yang dituju, karena dengan mengenal target sasaran dapat ditentukan pendekatan yang tepat bagi target dan dimana target harus didekati. Desain grafis itu satu, namun memiliki beragam spesialisasi dengan perbedaan fungsi, tujuan dan penekanan. Steven Heller dalam buku panduan Becoming a 154 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Graphic Designer (2006) membagi desain grafis atas 13 spesialisasi: editorial, corporate design, book design, music/CD, information design, advertising/ branding, environmental, interactivity, motion, type & lettering, crossing diciplines, entrepreneurs, authorship. Daftar masih dapat diperpanjang dengan publication graphics, packaging, wayfinding, signsystem, retail graphics, exhibition graphics, fashion graphics, interior graphics. Istilah-istilah ini belum final, masih terus bertambah. Tujuan penamaan spesialisasi desain grafis ini tidak mutlak, fungsinya hanya untuk memperjelas lingkup kegiatan desain grafis. Karena ketika akan ditarik garis pemisah yang tegas, selalu dijumpai unsur yang tumpang tindih antara satu spesialisasi profesi dengan yang lainnya. Selain ditinjau dari segi spesialisasi, desain grafis juga dapat dilihat dari segi bidang garapannya. Bidang garapan berkaitan dengan siapa klien yang dilayani, berapa banyak, motivasi/tujuan layanan dan dalam bidang apa. Siapa/berapa: desain grafis dapat melayani pribadi/individu (misalnya personal branding bagi seorang artis film) atau untuk suatu lembaga (desain logo untuk universitas). Motivasi: baik desain bagi individu maupun kolektif dapat dilakukan secara probono, yakni pekerjaan disain yang dilakukan sukarela tanpa pungutan biaya desain, biasanya proyek-proyek sosial. Sebaliknya ada proyek desain yang bersifat komersil atau no bono. Bidang: semua kegiatan desain ini berlaku dalam segala bidang kegidupan: ekonomi(iklan produk), politik (kampanye pemilu), sosial (poster penyuluhan DBD), budaya ( TVC Raja Ampat), religi (poster seminar Alkitab), militer (pamflet psy-war). Inilah beraneka alternatif bidang garapan desain grafis. Jadi dari satu proyek desain grafis dapat ditelusuri: apakah proyek tersebut untuk individu atau lembaga? Kemudian dapat pula ditanyakan: komersial atau pro bono? Akhirnya dalam setiap proyek desain dapat dilihat dimana domainnya, apakah dari bidang religi, politik, budaya atau lainnya. Dari Sensasi hingga Perilaku Akhirnya, seluruh proses perancangan yang dilakukan desainer grafis harus dilihat dari dampak komunikasi visual pada diri manusia, mulai dari efek sensoris hingga efek pada perilakunya. Desain grafis merupakan suatu bentuk komunikasi terarah. Artinya pesan visual dirancang oleh desainer untuk mencapai suatu tujuan/akibat tertentu pada diri penerima pesan. Secara sengaja desainer memilih suatu pesan, memakai gaya gambar tertentu, menentukan media tertentu, memilih lokasi penempatan media yang dianggap tepat. Semua ini dilakukan untuk mencapai goal desain. Pesan yang dikirim desainer dapat ‘berhenti’ di mata (sensasi) karena tujuannya agar orang sadar ketika mengemudi (marka jalan); atau dapat 155 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 membidik otak dengan cara meyakinkan sasaran dengan informasi, fakta dan argumen; dapat merebut hati orang dengan membangkitkan ingatan, emosi dan nalurinya; atau dapat mengarahkan tindakan manusia melalui instruksi, sugesti dan pengkondisian visual. Di era budaya visual, masyarakat perlu mewaspadai berbagai bentuk, cara dan sasaran komunikasi visual, karena publik cenderung lebih sadar terhadap pesan verbal daripada pesan visual. Oleh karenanya publik kurang kritis dan mudah terhanyut dan terjerat berbagai siasat komunikasi visual. tradisional atau prosedural? Setiap material dapat menghasilkan dampak psikologis tertentu pada sasaran pesannya. Relasi dengan persona adalah mengetahui siapakah perancang yang berada dibalik desain? professional, amatir atau akademiskah?; kemudian kepada siapa pesan ditujukan dan dimana lingkupnya? Komersil, nonkomersil, pribadi atau institusionalkah? Akhirnya perlu diperhatikan bagaimana relasi dengan dampak komunikasi visual pada target sasarannya? Apakah menimbulkan perhatian, minat, hasrat, pemahaman, pengalaman atau tindakan? Dengan kata lain seluruh komponen komunikasi terlibat disini: komunikator, pesan, komunikan, media, momen, konteks dan efek komunikasi. Hanya dengan mempertimbangkan hal-hal inilah masyarakat akan memperoleh wawasan yang lebih utuh mengenai desain grafis; menjadi apresiatif terhadap desain grafis serta mampu merespon berbagai ‘hantaman’ gelombang visual secara lebih arif, kritis dan proporsional. Gambar 5. Olah kesadaran melalui visual shock therapy Poster-poster sosial untuk menggugah masyarakat akan isu-isu sosial politik. Sumber: Graphic Design Now (Fiel, 2003). Kesimpulan Saat ini masyarakat hidup didalam budaya visual dimana desain grafis berperan besar di dalamnya membentuk opini, kerangka berpikir, selera, persepsi dan pilihan manusia. Ironisnya pemahaman masyarakat tentang desain grafis tidak seluas pengaruhnya dalam kehidupan, bah- kan terlampau sempit dan sektoral. Desain grafis hanya diartikan sebatas logo, poster atau kecanggihan komputer. Padahal desain grafis jauh lebih luas dari karya komputer canggih yang tercetak indah. Selain berelasi dengan karya, desain grafis juga memiliki relasi dengan waktu, ruang, material, persona dan dampak komunikasi visual. Relasi dengan waktu/ruang adalah mengamati bagaimana desain grafis mempergunakan waktu dan ruang dalam kehidupan kita: apakah menghegemoni, memonopoli atau mendominasi? Relasi material adalah menyadari bagaimana desain grafis memanfaatkan berbagai media, bahan, teknik, ukuran dan benda untuk menyampaikan pesan visualnya baik secara inovatif, 156 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 157 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Daftar Pustaka Reznick, Elisabeth.2000.Graphic Design For Communication. Ambrose, Gavin & Harris. 2009. The Fundamentals of Advertising. Switzerland: Ava Academia. Quart, Alissa. 2004.Branded:The Buying And Selling Of Teenagers. New York: Basic Book. Arnston, Amy. 2007. Graphic Design Basics. USA: Thompson Wadsworth. Ainsley, Jeremy. 2001. A Century of Graphic Design. London: Mitchell Beazley. Barnard, Malcolm. 2005. Graphic Design as Communication. London: Routledge. Brody, Neville & Wozencroft. 2012. Fuse 1-20. Koln: Taschen. Clibborn, Edward Booth& Baroni.1980. The Language of Graphics. NewYork: Harry N. Abrams Cotton, Bob.ed.1990. The New Guide to Graphic Design. London: Quarto Publishing. Daley, Terence.ed.1980. Illustration and Design. USA: Chartwell. Fiell, Peter & Fiell. 2003. Graphic Design Now. Koln: Taschen. Heller, Steven & Hudson. Chwast. 1988. Graphic Style. London:Thames and Heller, Steven & Fernandes.2006. Becoming a Graphic Designer: a guide to careers in design. 3rd edition. Canada: John Wiley & Sons. Heller, Steven & Ilic.2012. Stop, Think, Go ,Do: How Typograhy & Graphic Design Influence Behaviour. USA: Rockport Publishers. Hollis, Richard.2001. Graphic Design: A Concice History. New York: Thames and Hudson. Lucas, Gavin & Dorian.2006.Guerilla Advertising. London: Lawrence King. Landa, Robin.2006. Graphic Design Solutions. New York: Thompson Delmar Learning. Meggs, Philip B. 1989. Type & Image:The Language of Graphic Design. New York: Van Nostrand Reinhold. Newark, Quentin. 2002.What is Graphic Design?. Switzerland: Rotovision. Twemlow, Alice.2006. What Is Graphic Design For? Switzerland: Rotovision. Heller, Steven & Fernandes.2006. Becoming A Graphic Designer. New York: John Wiley & Sons. Olong, Hatib Abdul Kadir.2006.Tato.Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. 158 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 159 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013