MODUL PERKULIAHAN ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI Manusia sebagai Pelaku Komunikasi Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Public Relations Tatap Muka 04 Kode MK Disusun Oleh MK10230 E.M.Chamdan Abstract Kompetensi Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan terdorong naluri ingin tahu nya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? Manusia yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian mencari tahu, hingga keingintahuannya terpenuhi. Agar mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan tentang manusia sebagai pelaku dalam kegiatan komunikasi. Manusia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia manusia berarti makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain) Paham-paham Mengenai Manusia Menurut Drijarkara dalam filsafat ada beberapa aliran atau paham mengenai manusia, antara lain paham materialisme (paham kebendaan atau materi), paham idealisme (paham yang berpusat pada pola pikir manusia), dan paham eksistensialisme (cara manusia berada di dunia). Pendekatan Konsepsi Manusia • Homo Volens : Manusia berkeinginan • Homo Sapiens : Manusia berpikir • Homo Mechanicus : Manusia Mesin • Homo Mechanicus : Manusia bermain Ethos Komunikator Sejak zaman Yunani Purba tatkala komunikasi masih berkisar pada komunikasi lisan yang waktu itu dinamakan retorika ditekankan kepada para komunikator yang dalam retorika disebut orator atau rhetor agar mereka melengkapi diri dengan ethos (sumber kepercayaan), pathos (imbauan emosional), dan logos (imbauan logis).Komponen-kompanen ethos adalah competence (kemampuan), integrity (kejujuran), dan good will (tenggang rasa). Sedangkan faktor-faktor pendukung ethos adalah persiapan, kesungguhan, ketulusan, kepercayaan, ketenangan, keramahan, dan kesederhanaan. Komunikator Humanistik Komunikator Humanistik adalah diri seseorang yang unik dan otonom, dengan proses mental mencari informasi secara aktif, yang sadar akan dirinya dan keterlibatannya dengan masyarakat, memiliki kebebasan memilih, dan bertanggung jawab. Sedangkan ciri-ciri komunikator humanistik adalah berpribadi, unik, aktif, sadar diri, dan keterlibatan sosial. ‘13 2 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan terdorong naluri ingin tahu nya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? Manusia yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian mencari tahu, hingga keingintahu nya terpenuhi. Jika keingintahuannya terpenuhi, sementara waktu ia akan merasa puas. Namun, masih banyak hal yang mengelilingi manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, ada atau yang mungkin ada, yang berarti masih harus diuji kebenarannya. Hal ini kembali mendorong naluri ingin tahu, membuat pertanyaan lain yang yang terus bermunculan. Terdapat dua cara manusia untuk tahu, yaitu bertanya kepada manusia lain atau bertanya pada diri sendiri dengan melakukan penyelidikan sendiri. Makin lanjut usia seseorang, kemampuan menyelidiki sendiri akan semakin besar, dan akan membuat hasil tahunya menjadi lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam. Semakin banyak dan dalam yang diketahui, ia akan semakin ingin tahu. Sepanjang hidup, naluri ingin tahu akan mendorong manusia untuk terus mencari tahu. Dengan demikian, naluri ingin tahu dapat diartikan sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal diri sendiri, dan baru akan berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika manusia mencari tahu, bahwa yang didapat adalah tahu yang benar atau tahu yang keliru. Manusia tidak suka dengan kekeliruan, dimana semata-mata mereka ingin mencari tahu yang benar, membuat kebenaran sangat berarti bagi setiap manusia. Sebelum mengetahui, manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Segala yang dilihat, didengar, dan dirasa itulah yang merangsang naluri ingin tahu seseorang. Sepanjang hidupnya, manusia akan dirangsang alam sekitarnya untuk tahu. Hal utama yang terkena rangsang adalah panca indera, yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-ALAM-an (pengalaman). Ketika tersentuh rangsang, ‘13 3 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id manusia akan bereaksi. Namun, pengalaman semata-mata tidak membuat seseorang menjadi tahu. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-TAHU-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika demi pengalamannya, manusia mampu mencetuskan pernyataan atau putusan atas objeknya. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat memberi pernyataan atau putusan demi pengalamannya dikatakan tidak berpengetahuan. Manusia yang tahu dikatakan berpengetahuan. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, pengetahuan adalah hasil dari tahu. Contoh, jika seseorang tahu bahwa rambut Heryanto beruban, artinya ia mengakui hal ”uban” terhadap ”rambut Heryanto”. Ia mengakui sesuatu terhadpa sesuatu. Ia membuat sesuatu, atau dalam filsafat disebut putusan. Jadi, pernyataan atau putusan adalah pengakuan sesuatu terhadap sesuatu. Orang yang tidak tahu tidak dapat membuat putusan, tidak dapat mengakui apapun, tidak dapat memberi pernyataan, mengetahui sesuatu atas sesuatu. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat membuat putusan dikatakan tidak tahu. Oleh karena itu, untuk dikatakan tahu orang harus sadar bahwa ia tahu, dibuktikan dengan kemampuannya membuat keputusan. Namun, keputusan tidak selamanya harus dicetuskan secara verbal, mungkin hanya tersimpan di hati manusianya saja. Telah dikemukakan, tahu hendak mencakup objeknya. Apabila pengetahuan tidak sesuai dengan objeknya, maka disebut keliru. Sebaliknya, jika sesuai dengan objek, pengetahuannya dikatakan benar. Persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya dinamakan kebenaran. Ketika kita memberi putusan tentang Intan, ”Oh, saya tahu, Intan itu yang berambut pendek, gemuk, kulitnya hitam kan?” Nyatanya, Intan tidak berambut pendek, gemuk, dan berkulit hitam. Artinya, terdapat ketidak sesuaian antara tahu dan objeknya. Maka, dikatakan bahwa kita keliru. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek, yaitu pengetahuan objektif: adanya persesuaian antara tahu dengan objeknya. ‘13 4 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Karena suatu objek memiliki banyak aspek, sulit untuk mencakup keseluruhannya. Artinya, akan sulit untuk mencapai seluruh kebenaran. Minimal pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan aspek yang diketahuinya. Jika seseorang tidak tahu tentang salah satu aspek dari suatu objek, ia bukan keliru melainkan dikatakan bahwa pengetahuannya tidak lengkap. Kekeliruan baru terjadi jika manusia mengira tahu tentang satu aspek, tetapi aspek itu tidak pada objeknya. Contohnya, dinyatakan bahwa Intan gemuk nyatanya tidak gemuk. Sebagaimana diutarakan, terdapat dua cara manusia mendapat pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman orang lain yang diberitahukan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui medium, misalnya sebuah buku. Contoh pengetahuan yang diperoleh dari orang lain adalah kita bisa berkata bahwa kutub utara dingin, padahal kita belum pernah ke sana. Kita mengetahui hal itu dari orang lain yang sudah pernah pergi ke sana, ataupun kita mengetahuinya melalui membaca buku yang menceritakan bahwa kutub utara dingin. Berikut ini terdapat beberapa sikap mental di dalam menyikapi pengetahuan yang baru didapat, baik berdasarkan pengalaman sendiri maupun berdasarkan pengalaman orang lain. Sikap mental tersebut di antaranya: 1. Ke-YAKIN-an (Keyakinan) Dalam mencari pengetahuan yang benar, manusia harus bersifat kritis, tidak cepat menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Jika suatu ketika seseorang merasa cukup alasan pengetahuannya benar, berarti ia telah memiliki keyakinan. Tapi, keyakinan tidak selalu benar. Keyakinan hanya menunjukkan sikap manusia yang tahu, ia yakin karena telah cukup alasan bahwa pengetahuannya benar. 2. Ke-PASTI-an (Kepastian) ‘13 5 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Bila manusia berdasarkan pengalamannya sendiri telah membuktikan bahwa keyakinannya benar, dapat dikatakan ia telah memiliki kepastian. Jadi, kepastian adalah keyakinan yang telah mendapat pembuktian kebenaran berdasarkan pengalaman. Dalam kepastian, manusia tidaka akan bersikap sangsi lagi. 3. Ke-PERCAYA-an (Kepercayaan) Beda halnya dengan kepastian. Bila kepastian adalah sikap mental sebagai hasil dari mencari kebenaran berdasarkan pengalaman sendiri, dimana karena telah mengalami sendiri, seseorang meyakini kebenaran sebagai suatu kepastian. Sedangkan apabila kebenaran pengetahuan didapat dari pengalaman orang lain yang dipercaya, maka disebut kepercayaan. Contohnya, ketika seorang astronomi menyatakan bahwa akan ada gerhana, Anda akan mempercayai kebenaran pengetahuan itu karena percaya pada kredibilitas atau otoritas orang yang menyatakan hal tersebut. Jadi, percaya adalah menerima kebenaran karena kredibilitas atau otoritas orang yang menyampaikan. Agama dikatakan suatu jenis kepercayaan karena kebenarannya diterima berdasarkan kredibilitas dan otoritas orang yang menyampaikan, yaitu para nabi dan rasul. Syarat dari objek agama adalah tidak harus diverifikasi atau diuji. Pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dipergunakan dalam rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Pengetahuan yang digunakan seseorang terutama untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk beluknya disebut pengetahuan biasa atau pengetahuan saja. Contohnya, seorang petani tahu benar berapa jumlah pupuk yang harus disiram pada tanamannya, tapi ia tidak benar-benar tahu mengapa jika terlalu banyak atau kekurangan pupuk maka kualitas tanamannya menurun. Dan juga, petani itu tahu benar kapan harus mulai menanam satu jenis tanaman dan kapan memanennya. Akan tetapi, ia tidak benar-benar tahu mengapa tanaman itu harus ditanam pada saat itu dan dipanen pada saat berikutnya. Ia hanya tahu bahwa demikianlah apa yang diberitahukan kepadanya secara turun temurun, juga berdasarkan apa yang ia dapat dari pengalamannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan yang digunakan ‘13 6 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id seseorang dengan harus tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Jenis pengetahuan ini disebut ilmu. Contohnya, seorang mahasiswa pertanian yang bahkan belum pernah bercocok tanam sendiri tahu benar berapa banyak pupuk yang harus diberikan pada jenis tanaman tertentu. Ia tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Karena tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, maka terdapat sejumlah persyaratan agar pengetahuan (knowledge) layak disebut ilmu (science). Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Ada 4 syarat agar pengetahuan dapat disebut ilmu, yaitu: 1. Sistematis, yaitu tersusun dalam sebuah rangkaian sebab akibat. Untuk mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem, yang artinya utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaiansebab akibat menyangkut objeknya. 2. Metodis, yaitu cara. Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan. Oleh karena itu, harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. 3. Objektif, yaitu sesuai dengan objeknya. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yaitu persesuaian tahu dengan objek, dan karena itu disebut kebenaran objektif, bukan berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian. 4. Universal, yaitu secara keseluruhan (umum). Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu saja, melainkan yang bersifat umum. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja tidak diinginkan. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir induktif, yaitu cara berpikir dari hal-hal khusus sampai pada kesimpulan umum. Contohnya, Segitiga lancip, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga siku-siku, jumlah ‘13 7 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sudutnya 180 derajat. Segitiga tumpul, jumlah sudutnya 180 derajat. Maka, ditarik kesimpulan secara umum bahwa semua segitiga bersudut 180 derajat, apapun bentuk segitiga itu. dengan demikian, jika pengetahuan hendak disebut ilmu, ia harus memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu Sistematis, Metodis, Objektif, Universal. Syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi atau diuji. Dalam kehidupannya, manusia memiliki pengetahuan yang beraneka ragam. Terdapat 4 jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yaitu: 1. Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang kita tahu begitu saja. 2. Pengetahuan ilmu / Ilmu Pengetahuan / Ilmu 3. Pengetahuan agama / teologi, yaitu pengetahuan Ketuhanan 4. Pengetahuan filsafat Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar. Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan ‘13 8 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya. Terdapat tiga karakteristik dalam berpikir filsafat, yaitu mendasar, spekulatif, dan menyeluruh. Berdasarkan tiga karakteristik tersebut, maka pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga wilayah utama, yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Dan juga, ketiga wilayah tersebut akan digunakan ketika membahas filsafat ilmu. ‘13 9 Etika dan Filsafat Komunikasi E. Muhamad Camdan, Drs. M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id