Jakarta, 21 September 2015 Tetap Lirik SUN Fed fund rate tetap 0,25%, Indikasi Quantitative Tightening Walau dimungkinkan oleh acuan normatif teoretis Taylor’s rule, the Fed pada pertemuan pekan lalu memutuskan tidak menaikkan suku bunga. Dengan membandingkan pernyataan resmi the Fed paska pertemuan bulan Juli, saat ini nampak jelas bank sentral AS mempertimbangkan perlambatan ekonomi dan gejolak pasar keuangan global. The Fed nampaknya menyadari bahwa penguatan dollar sejauh ini telah memperlemahkan net export yang berisiko menekan kegiatan ekonomi AS. Selain itu, keputusan mempertahankan suku bunga juga dilandasi oleh trend inflasi yang rendah. Dugaan normalisasi suku bunga kini bergeser bisa terjadi pada dua pertemuan Fed terakhir tahun ini. Survei pelaku pasar Bloomberg, seperti terlihat pada peraga, mengindikasikan Fed fund rate menjadi 0,25% pada pertemuan the Fed 29 Oktober 2015 nanti. Kita lihat saja. Pada tabel juga terlihat suku bunga di negara maju utama G10 umumnya sangat rendah, bahkan ada yang negatif (Switzerland dan Swedia). Lebih lanjut, suku bunga pasar cenderung lebih rendah ketimbang bunga acuan bank sentral. Lalu mengapa indeks dollar terus menguat? Sesungguhnya dunia ini mengalami kelebihan likuiditas yang dipicu oleh aksi quantitative easing bank (QE) sentral negara maju sejak meletusnya krisis keuangan global 2008. Aksi QE itu ditandai oleh peningkatan total asset bank sentral. Yang menarik adalah dampak QE kali ini diwujudkan melalui penguatan dollar. Mengapa demikian? Dapat dicermati pada peraga, the Fed secara relatif melakukan quantitative tightening seperti terlihat pada posisi total asset yang relatif mendatar. Sementara bank sentral dua negara lain, ECB dan Boj, terlihat sangat agresif melakukan QE. Ini berarti likuiditas euro dan yen bertambah ditengah risiko likuiditas dollar berkurang. Disamping perbedaan suku bunga dan prospek pertumbuhan ekonomi, faktor kelebihan likuiditas non-dollar ini yang memicu penguatan dollar. 1 Stabilization over Growth Menyusul keputusan the Fed mempertahankan bunga, fokus kebijakan makroekonomi tetap pada stabilisasi. Media melansir pertanyataan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang menyatakan penundaan normalisasi bunga itu memicu ketidakpastian di negara berkembang. Peluang BI rate diturunkan hanya terbuka menjelang akhir tahun ketika dampak kenaikan inflasi BBM November 2014 menghilang. Ketika itu kita melihat angka tahunan inflasi yang jauh lebih rendah ketimbang BI rate. Untuk memacu pertumbuhan, pemerintah mengandalkan pada percepatan pengeluaran pemerintah dan reformasi birokrasi memacu supply side. Menteri Bambang -- yang akhir pekan lalu saya temui dalam acara Reuni 30 Tahun FEUI Angkatan 1985 – mengindikasikan pengeluaran pemerintah selama September berlangsung cepat dengan penyerapan belanja sudah mencapai 60% target. Selama pekan lalu, tekanan terhadap pasar modal dan nilai tukar relatif mereda. Lihat peraga. IHSG menguat 0,46% yang ditopang oleh sektor domestik terutama perbankan dan konsumen. Sementara indeks SUN ABF melesat 1,13% dengan yield SUN bertenor 10 tahun kembali sekitar 9%. Saya secara konsisten menyarankan strategi “Ente Jual, Ane Beli” sekira investor asing melepas SUN. Yield SUN diatas 9% sebagai “screaming buy” bagi investor domestik sebab jauh lebih tinggi dari proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Update Yield Spread Analysis Paska keputusan the Fed mempertahankan bunga, yield T-bond bertenor 10 tahun pekan lalu berada pada angka 2,13%. Angka ini terbilang rendah. Ada dugaan yield rendah ini akiabt aksi the Fed melakukan semacam twisting dengan menjual obligasi bertenor pendek dan membeli obligasi bertenor panjang. Update spread analysis antara T-bond dan SUN mengindikasikan deviasi tetap sangat lebar walau selama pekan lalu yield SUN 10 tahun telah menurun menjadi 9%. Seperti terlihat pada peraga diatas, spread saat ini berkisar 687bps. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata lima tahun terakhir yang mencapai 488bps. Z score untuk deviasi terhadap rata-rata kini mencapai 2,28 yang secara statistik terbilang lebar. SUN Mendahului Saham Saya menilai penurunan yield SUN mengawali pemulihan bursa saham terutama bila investor menjadi yakin bahwa pemerintah berhasil mempercepat pengeluarannya. Selain informasi dari Menteri Keuangan diatas, indikasi pemulihan ekonomi Indonesia sebetulnya sudah juga ditunjukkan melalui pertumbuhan uang M1 (uang kartal dan giral) yang mencerminkan daya beli masyarakat. Pekan lalu, BPS melaporkan peningkatan 2 impor non-migas untuk bulan Agustus yang lebih pesat. Hal ini selaras dengan dugaan percepatan pengeluaran pemerintah. Terlihat pada peraga, surplus perdagangan Agustus 2015 mencapai $434 juta. Surplus ini berkurang dibandingkan bulan lalu akibat lonjakan impor non migas yang lebih pesat ketimbang ekspor. Perbaikan profil makroekonomi terlihat dari posisi kumulatif tahun berjalan yang surplus dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu. Walaupun memang, perbaikan itu belum optimal sebab lebih ditopang oleh penurunan impor yang lebih tajam. Hal yang menggembirakan lainnya adalah penurunan defisit neraca minyak yang bulan Agustus 2015 lalu mencapai $1.16 milyar. Secara kumulatif angka defisit neraca minyak tahun ini mencapai $10.3 milyar atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai $18,6 milyar. Seperti yang kami ulas pekan lalu, pengendalian neraca minyak dengan mempercepat reformasi sistem transportasi dan memacu energi alternatif menjadi penting dalam penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Akhirnya kami sajikan update real effective exchange rate (REER) yang diterbitkan Bank for International Settlement per Agustus 2015. Seperti terlihat pada peraga, REER rupiah relatif kompetitif sebab berada dibawah angka 100. Terlihat Indonesia secara nominal lebih kompetitif dibanding negara jiran Thailand dan Filipina. Angka REER Indonesia ini akan lebih baik lagi pada akhir tahun dengan penurunan angka inflasi tahunan. Mari manfaatkan pelemahan rupiah untuk memacu ekspor dan pariwisata. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 3