View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya
manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu
pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode
yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan
730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan periode
sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat
permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada
pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya,
dan pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas
kerja yang tidak kompetitif berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi
(Indonesia, 2012).
Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan
menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian
tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan
pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil
reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam
bentuk tubuh yang pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau kecerdasan
sebagai akibat tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Reaksi
penyesuaian akibat kekurangan gizi juga meningkatkan risiko terjadinya berbagai
2
penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan
diabetes dengan berbagai risiko lainnya pada usia dewasa (Indonesia, 2012).
Masalah kekurangan gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) diawali
dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR
(Intra Uterine Growth Retardation). Di negara berkembang kurang gizi pada prahamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR
Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan
(BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh
pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari
seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada
saat meninjak dewasa. Apabila ibu hamil pendek akan cenderung melahirkan bayi
yang BBLR (Victora et al., 2008). Dan apabila tidak ada perbaikan terjadinya
IUGR dan BBLR akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi
masalah anak pendek intergenerasi (Indonesia, 2012).
Siklus gangguan pertumbuhan pada bayi yang BBLR akan menyebabkan
remaja kurang berat akan mempengaruhi wanita dewasa yang beresiko
mengalami kurang berat dan apabila wanita dewasa kurang berat atau remaja
kurang mengalami kehamilan maka akan menyebabkan berat bayi lahir rendah
dan siklus ini akan terus terjadi apabila tidak ada perbaikan gizi dan pelayanan
kesehatan yang memadai pada masa-masa tersebut. Kelompok ini tidak lain
adalah kelompok 1000 HPK yang menjadi fokus perhatian. Kelompok 1000 HPK
penting diperhatikan karena akan mengurangi jumlah anak pendek di generasi
yang akan datang. Peningkatan kualitas manusia dari aspek kesehatan, pendidikan
3
dan produktivitasnya yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. ((Barker, 2007b; Victora CG, 2008), (IFPRI, 2000, The Life Cycle of
Malnutrition
:
Eradicating
Malnutrition
and
Income
Growth,
IFPRI,
Washington)) (Indonesia, 2012).
Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu
(AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritroporosis, karena cadangan
besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang (Sihotang and Febriany, 2012).
Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia
dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Perkiraan prevalensi anemia secara
global adalah sekitar 51%. Angka tersebut terus membengkak di tahun 1997 yang
bergerak dari 13,4% di Thailand ke 85,5% di India (Arisman, 2010). Tiga puluh
enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta
orang di negara sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan
prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari
perkiraan populasi 1200 juta orang
(Arisman, 2010). Di Indonesia sendiri
menurut data Depkes RI (2006), prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja
putri yaitu 28% (Hayati, 2010), dan dari Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004, menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada
balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri 10-18 tahun 57,1%,
dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur tersebut, wanita
4
memiliki resiko paling tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri
(Sihotang and Febriany, 2012).
Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada pada masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi.
Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab
remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama, 2006). Akibat
jangka panjang anemia defisiensi besi ini pada remaja putri adalah apabila remaja
putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi
dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya
anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal,
angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian perinatal (Sihotang and Febriany,
2012).
Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan
masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) maupun penurunan kesegaran jasmani.
Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar 24,9%
pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya
proporsi wanita usia subur (WUS) dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia
muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini
memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi
BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada usia balita. WUS
KEK akan berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani, 2007).
5
Setiap tahun diperkirakan ada 350.000 bayi dengan berat lahir rendah di
bawah 2.500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi dan
kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%,
kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%
(Wuryani, 2007).
Saat ini, BBLR masih tetap menjadi masalah dunia khususnya di negaranegara berkembang. Lebih dari 20 juta bayi di dunia (15,5% dari seluruh
kelahiran) mengalami BBLR dan 95 persen diantaranya terjadi di negara-negara
berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2010, prevalensi BBLR sebesar 8,8
persen. Besar kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang hamil
dengan kondisi kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih tinggi pada ibu
hamil usia 15-19 tahun. Dimana proporsi ibu hamil KEK usia 15-19 tahun masih
sebesar 31 persen. Dipahami pula bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di
usia remaja 15-19 tahun cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding
ibu yang menikah pada usia 20 tahun keatas. Dari 556 juta balita di negara
berkembang 178 juta anak (32%) bertubuh pendek dan 19 juta anak sangat kurus
(<-3SD) dan 3.5 juta anak meninggal setiap tahun (Black RE, 2008). IUGR, anak
pendek dan anak sangat kurus akan mengakibatkan 2,2 juta kematian dan 91 juta
DALYS, atau 21 persen dari total balita (Black RE, 2008). DALYS atau
Disability-Adjusted Life Year, adalah ukuran beban penyakit yang dihitung dari
banyaknya tahun yang hilang karena sakit, tidak produktif (disable) atau kematian
dini (Indonesia, 2012).
6
Dari 23 juta balita di Indonesia, 7,6 juta (35,6 %) tergolong pendek
(Riskesdas, 2010). Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah
berat badan pada saat lahir <2500 gram (BBLR). Berdasarkan analisis Riskesdas
2010, diketahui prevalensi anak pendek pada balita adalah sebesar 42,8 persen
dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19 tahun dan 34,5 persen dari ibu
berusia menikah pertama usia 24-29 tahun. Prevalensi anak pendek lebih besar
dari perempuan yang menikah lebih muda (Indonesia, 2012).
Kesiapan pengetahuan terhadap tumbuh kembang balita sangat diperlukan
bagi seorang ibu, karena seorang ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang
baik akan menghasilkan tumbuh-kembang balita yang baik pula, khususnya pada
periode usia tiga tahun pertama, karena kurun usia tersebut merupakan periode
pertumbuhan otak yang cepat. Mempersiapkan remaja sebagai calon ibu yang
terdidik pada saatnya menjadi seorang ibu, dapat memberikan dampak baik pada
perkembangan emosi, intelektual,dan kognitif anaknya (Nedra et al., 2006).
Menurut Notoatmodjo (2002) dalam Nursari (2010), pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior), salah satu tindakan yang terbentuk adalah tindakan
dalam hal pemilihan makanan sehari-hari. Hal ini sesuai Nursari (2010) yang
mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh pada
keadaan gizi invidu yang bersangkutan.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka perlu dilakukan penelitian
untuk melihat tingkat pengetahuan mengenai masalah gizi pada remaja putri
sebagai calon ibu.
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana Tingkat Pengetahuan Tentang Masalah Gizi Dan Status Gizi Pada
Remaja Putri di FKM UNHAS tahun 2013.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang
masalah gizi dan status gizi pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang anemia pada remaja putri di
FKM UNHAS tahun 2013.
b. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang kekurangan energi kronis (KEK)
pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013.
c. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang berat badan lahir rendah (BBLR)
pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013.
d. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif pada remaja putri
di FKM UNHAS tahun 2013.
e. Mengetahui tingkat status gizi IMT dan LLA pada remaja putri di FKM
UNHAS tahun 2013.
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis
Memberikan masukan atau gambaran untuk SUN Movement mengenai
tingkat pengetahuan tentang masalah gizi pada remaja putri.
2. Manfaat ilmiah
Menambah data pada SUN Movement mengenai gambaran pengetahuan
pada remaja putri.
3. Manfaat peneliti
Merupakan pengalaman yang berharga dalam menambah wawasan SUN
Movement dan pencegahannya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan berperan
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmojo, 2010).
Pengetahun atau kognisi yang ada pada seseorang diterima melalui indera.
Indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah
mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata (Notoatmojo, 2010).
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif ada 6 tingkatan
(Notoatmojo, 2010):
1. Tahu (know) artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu”
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami
(comprehension)
disini
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application) maksudnya sebagai penggunaan hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam situasi yang lain. Misalnya
10
dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah
kesehatan yang diberikan.
4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek kedalam komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisa dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti
dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
5. Sintesis (syinthesis) yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru atau formulasi baru.
6. Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan penilaian terhadap suatu materi. Penilaian itu berdasarkan
kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan
dengan tingkatan tersebut diatas (Sumaryati, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Nursari (2010) , pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior), salah satu tindakan yang terbentuk adalah
tindakan dalam hal pemilihan makanan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan
Nursari (2010) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang
akan berpengaruh pada keadaan gizi invidu yang bersangkutan.
11
B. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia.
Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya produktifitas kerja dan
daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya angka kesakitan dan
kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak janin
masih di dalam kandungan, bayi, anak–anak, masa remaja, dewasa sampai
usia lanjut (Depkes_RI, 2001).
Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi. Status
gizi secara parsial dapat diukur dengan antropometri (pengukuran bagian
tertentu dari tubuh) atau biokimia atau secara klinis (Persagi, 2009).
Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang
yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi
makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka
dapat diketahui bahwa apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut
status gizinya baik atau tidak baik (Gibson, 2005).
Berdasarkan pola konsumsi makan yang tidak sama dan dipengaruhi oleh
banyak hal akan menimbulkan perbedaan asupan energi dan protein yang
diterima (Gibson, 2005). Kebutuhan gizi setiap orang berbeda tergantung
jenis kelamin, usia, dan kondisi tubuh. Agar tubuh dapat melakukan segala
proses fisiologis untuk menjamin kelangsungan hidup, maka seseorang harus
menjaga keseimbangan kebutuhan energi. Kesalahan dalam asupan energi dan
12
protein, dapat menimbulkan dampak yang tidak baik pada status gizi (Irianto
and Waluyo, 2004).
Status gizi menurut Soekirman (2000) pada umumnya dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Penyebab langsung, yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita oleh seseorang. Seseorang yang mendapat makanan cukup baik
tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status
gizinya. Begitu juga sebaliknya sisiwa yang makan tidak cukup baik, daya
tahan tubuhnya pasti lemah dan pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizinya.
2. Penyebab tidak langsung, yaitu ketahanan pangan di keluarga, terkait
dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari
pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta
pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran
antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung
pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan
serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi, 2001).
Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan melalui pengukuran
antropometri. Antropometri gizi adalah hal-hal yang berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi dengan
13
antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan
energi dan protein. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan
dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal
tubuh manusia, berupa: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit
(Supariasa et al., 2001).
Berdasarkan
keputusan
Mentri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:1995/Menkes/SK/2010 tentang menilai status gizi diperlukan standar
antropometri yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO)
2005.
Keunggulan
standar
antropometri
terbaru
WHO
lebih
baik
dibandingkan standar NCHS/WHO, karena dibuat berdasarkan data dari
berbagai Negara dan etnis, sehingga sesuai untuk Negara-negara yang sedang
berkembang (Keputusan Menkes RI, 2011). Selain itu keunggulan dari
antropometri adalah prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam
jumlah sempel cukup besar, kemudian relatif tidak menggunakan tenaga ahli,
alat murah dan mudah dibawa. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat
dibakukan. Selain itu dapat mengidentifikasi status gizi buruk, status gizi
kurang, dan status gizi baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas
(Supariasa et al., 2001).
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling
sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan
untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat
bayi lahir dibawah 2500 gram atau dbawah 2,5 kg. Berat badan
14
menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral pada tulang.
Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun
(Supariasa et al., 2001).
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran
massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap
perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi
makanan yang menurun (Supariasa et al., 2001).
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah
lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping
itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan
menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (quac stick), faktor umur
dapat dikesampingkan (Supariasa et al., 2001).
Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat
badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index
(BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks
Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang
(Supariasa et al., 2001).
Penggunaan IMT berlaku untuk orang yang berumur diatas 18 tahun.
Adapun rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut (Supariasa et al.,
2001):
15
IMT =
Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia menurut Depkes RI 2003
adalah sebagai berikut (Masyarakat, 2003):
Tabel 2.1
Kategori IMT
Keadaan Gizi
Kurus Sekali
IMT
< 17,0
Kurus
17,0 – 18,4
Normal
18,5 – 25,0
Gemuk
25,1 – 27,0
Gemuk Sekali
> 27,0
Lingkar lengan atas (LILA) dewasa ini merupakan salah satu pilihan
untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan
alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi ada
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama jika digunakan sebagai
pilihan tunggal untuk indeks status gizi (Supariasa et al., 2001).
Pengukuran LILA pada wanita usia subur (WUS) adalah salah satu cara
deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam,
untuk mengetahui kelompok berisiko kekurangan energi kronis (KEK).
Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun. Pengukuran LILA tidak
dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek
(Supariasa et al., 2001).
16
Beberapa tujuan pengukuran LILA adalah mencakup masalah WUS baik
ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum, dan peran petugas lintas
sektoral. Adapun tujuan tersebut adalah (Supariasa et al., 2001):
1. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu,
untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR)
2. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan
dalam pencegahan dan penanggulangan KEK
3. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak
4. Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi
WUS yang menderita KEK
5. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang
menderita KEK
Pengukuran LILA dilakukan melalui urut-urutan yang telah ditetapkan.
Ada 7 urutan pengukurran LILA, yaitu (Supariasa et al., 2001).
1. Tetapkan posisi bahu dan siku
2. Letakkan pita antara bahu dan siku
3. Tentukan titik tengah lengan
4. Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan
5. Pita jangan terlalu ketat
6. Pita jangan terlalu longgar
7. Cara pembacaan skala yang benar
17
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah
pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri
(kecuali orang kidal, maka yang diukur adalah lengan kanan). Lengan harus
dalam posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang
ataau kencang. Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau
sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya sudah tidak rata (Supariasa et al.,
2001)
Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5
cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau berada di bagian merah
pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan
akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR
mempunyai risiko kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan, dan
gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada WUS
sebelum kehamilan, mereka sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya
dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm (Supariasa et al., 2001).
Kecukupan zat gizi merupakan nilai yang menggambarkan asupan zat gizi
terhadap pemenuhan kebutuhan zat gizi. Asupan zat gizi yang tidak sesuai
kebutuhan dapat menyebabkan malgizi, yang berujung pada kondisi kesehatan
yang buruk dan penyakit terkait gizi. Gizi kurang dapat memberikan dampak
fisiologis dan fungsional, seperti gangguan pertumbuhan, fungsi imun
menurun dan risiko infeksi meningkat, perkembangan kognitif terganggu,
kemampuan kerja menjadi terbatas, risiko penyakit kronik meningkat, cedera
dan trauma sulit sembuh, serta pada kehamilan berdampak buruk bagi ibu dan
18
bayi. Sebaliknya, kelebihan gizi juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan.
Gizi lebih dan tidak seimbang dapat menimbulkan penyakit tidak menularterkait gizi, misalnya diabetes mellitus tipe II, penyakit kardiovaskuler, dan
sindrom metabolik, yang dapat berujung pada peningkatan morbiditas dan
mortalitas (Amelia, 2008).
C. Tinjauan Umum Tentang Anemia
1. Pengertian Anemia
Anemia didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana rendahnya
konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang
batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah
merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis),
atau kehilangan darah yang berlebihan (Citrakesumasari, 2012).
Anemia gizi besi adalah adalah anemia yang timbul karena
kekurangan zat besi sehingga pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi
lain dalam tubuh terganggu (Andriani, 2012).
Kekurangan pasokan zat gizi besi (Fe) yang merupakan inti molekul
hemoglobin sebagai unsur utama sel darah merah. Akibat anemia gizi besi
terjadi pengecilan ukuran hemoglobin, kandungan hemoglobin rendah,
serta pengurangan jumlah sel darah merah. Anemia zat besi biasanya
ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal
menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal (hipokromia) dan
ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis). Tanda-
19
tanda ini biasanya akan menganggu metabolisme energi yang dapat
menurunkan produktivitas (Citrakesumasari, 2012).
2. Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan zat warna yang terdapat dalam darah merah
yang berguna untuk mengangkut oksigen dan CO2 dalam tubuh.
Hemoglobin adalah ikatan antara protein, garam, besi, dan zat warna
(Andriani, 2012).
Tabel 2.2 Batas Normal Kadar Hemoglobin
Kelompok Umur /
Konsentrasi
Hematokrit (<%)
Jenis Kelamin
Hemoglobin (<gr/dl)
6 bulan- 5 tahun
11,0
33
5 – 11 tahun
11,5
34
12 – 13 tahun
12,0
36
Wanita
12,0
36
Ibu hamil
11,0
33
Laki-laki
13,0
39
Sumber: WHO/ UNICEF/ UNU, 1997 dalam (Citrakesumasari, 2012)
3. Penyebab Anemia
Ada tiga faktor terpenting yang menyebabkan seseorang menjadi
anemia,
yaitu
kehilangan
darah
karena
perdarahan
akut/kronis,
pengrusakan sel darah merah, dan produksi sel darah merah yang tidak
cukup banyak (Citrakesumasari, 2012).
20
Menurut etiologinya anemia defesiensi zat besi dibagi atas (Andriani,
2012):
a. Masukan/intake zat gizi kurang seperti pada kekurangan energi protein
(KEP), defesiensi diet relatif yang disertai dengan pertumbuhan yang
cepat.
b. Absorpsi zat besi kurang seperti KEP, enteritis yang berulang,
sindroma malabsorbsi.
c. Kebutuhan zat gizi yang bertambah seperti pada infeksi, pertumbuhan
yang cepat.
d. Pengeluaran zat besi yang bertambah yang disebabkan karena
ankilostomiasis,
amoebiasis
yang
menahun,
polip,
hemolisis
intravaskuler kronis yang menyebabkan hemosideremia.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya anemia gizi pada usia
remaja (health media nutrition series) adalah (Andriani, 2012):
a. Adanya penyakit infeksi yang kronis.
b. Menstruasi yang berlebihan pada remaja putri.
c. Perdarahan yang mendadak seperti kecelakaan.
d. Jumlah makanan atau penyerapan diet yang buruk dari zat besi,
vitamin B12, Vitamin B6, Vitamin C, dan tembaga.
4. Implikasi dan Faktor Risiko Anemia
Di Negara berkembang, anemia karena defisiensi zat besi berkaitan
dengan fungsi reproduktif yang buruk, proporsi kematian maternal yang
tinggi (10-20% dari total kematian), insidens berat badan lahir rendah
21
(berat bayi <2,5 kg pada saat lahir) yang tinggi, dan malnutrisi intrauteri.
Anemia karena defisiensi zat besi pada anak-anak menganggu
kemampuan belajar mereka disekolah. Bukti yang tersedia menunjukkan
gangguan pada perkembangan psikomotorik dan kemampuan intelektual,
serta perubahan perilaku setelah terjadi anemia defisiensi zat besi.
Terdapat pula bukti yang menunjukkan penurunan resistensi terhadap
infeksi ketika terjadi defisiensi zat besi. Anemia karena defisiensi zat besi
sangat menurunkan kapasitas kerja individual, bahkan anemia karena
defisiensi zat besi dalam derajat yang ringan sekalipun dapat menurunkan
kemampuan latihan fisik yang singkat tetapi intensif (Gibney et al., 2009).
Adapun faktor risiko untuk anemia (Gibney et al., 2009):
a. Simpanan zat besi yang buruk
Simpanan zat besi dalam tubuh orang-orang Asia memiliki jumlah
yang tidak besar, terbukti dari rendahnya kadar hemosiderin dalam
sumsum tulang dan rendahnya simpanan zat besi di dalam hati. Jika
bayi dilahirkan dengan simpanan zat besi yang buruk, maka defisiensi
ini akan semakin parah pada bayi yang hanya mendapat ASI saja
dalam periode waktu yang lama.
b. Ketidakcukupan gizi
Penyebab utama anemia karena defisiensi zat besi, khususnya di
Negara berkembang adalah konsumsi gizi yang tidak memadai.
Banyak orang bergantung hanya pada makanan nabati yang memiliki
22
absorpsi zat besi yang buruk dan terdapat beberapa zat dalam makanan
tersebut yang memengaruhi absorpsi besi.
c. Peningkatan kebutuhan
Terdapat peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan.
Pertumbuhan yang cepat selama masa bayi dan kanak-kanak
meningkatkan pula kebutuhan zat besi.Kebutuhan zat besi, juga
mengalami peningkatan kebutuhan yang cukup besar selama pubertas,
pada remaja putri, awal menstruasi memberikan beban ganda.
d. Malabsorpsi dan peningkatan kehilangan
Episode diare yang berulang akibat kebiasaan yang tidak higienis
dapat mengakibatkan malabsorpsi. Insiden diare yang cukup tinggi,
terjadi terutama pada kebanyakan negara berkembang. Infestasi
cacing, khususnya cacing tambang dan askaris, menyebabkan
kehilangan zat besi dan malabsorpsi zat besi. Di daerah endemik
malaria, serangan malaria yang berulang dapat menimbulkan anemia
karena defisiensi zat besi. Pada wanita, perdarahan pascapartum akibat
perawatan obstetrik yang buruk, kehamilan yang berkali-kali dengan
jarak antar kehamilan yang pendek, periode laktasi yang panjang, dan
penggunaan IUD untuk keluarga berencana merupakan faktor
kontributor yang penting.
e. Hemoglobinopati
Pembentukan hemoglobin yang abnormal, seperti pada thalasemia
dan anemia sel sabit merupakan faktor nongizi yang penting.
23
f. Obat dan faktor lainnya
Idiosinkrasi obat (respon yang tidak biasa terhadap obat),
leukemia,
terapi
radiasi,
obat
antikanker,
dan
antikonvulsan
merupakan beberapa faktor risiko. Di antara orang-orang dewasa,
anemia karena defisiensi zat besi berkaitan dengan keadaan inflamasi
yang kronis seperti arthritis, kehilangan darah melalui saluran
pencernaan akibat pemakaian obat, seperti aspirin dalam jangka waktu
lama dan tumor.
5. Pencegahan dan Pengendalian Anemia Karena Defisiensi Zat Besi
Prinsip dasar dalam pencegahan anemia karena defisiensi zat besi
adalah memastikan konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi
kebutuhan
tubuh
dan
untuk
meningkatkan
kandungan
serta
bioavailabilitas (ketersediaan hayati) zat besi dalam makanan. Ada empat
pendekatan utama (Gibney et al., 2009):
a. Penyediaan suplemen zat besi
Prinsip esensial dalam manajemen anemia karena defisiensi zat
besi adalah terapi sulih zat besi dan penanganan penyebab yang
mendasar seperti infeksi parasit atau perdarahan gastrointestinal.
Terapi zat besi per oral merupakan bentuk penanganan yang disukai.
Ferro sulfat merupakan preparat zat besi oral yang paling murah dan
banyak digunakan. Preparat lainnya seperti ferro glukonat atau ferro
fumarat juga dapat diberikan. Dosis total ekuivalen dengan 60 mg zat
besi elemental (300 mg ferro sulfat) per hari sudah cukup bagi orang
24
dewasa dan harus diberikan di antara saat-saat makan pada pagi hari
atau pada waktu akan tidur. Pada bayi dan anak kecil, pemberian 30
mg besi elemental per hari sudah memadai. Umumnya, setelah waktu
lebih dari 4 minggu akan terjadi kenaikan kadar hemoglobin sekitar
2g/dl.
b. Fortifikasi bahan pangan yang biasa dikonsumsi dengan zat besi
Fortifikasi zat besi pada beberapa bahan pangan yang lazim
dikonsumsi
merupakan
pilihan
menarik
untuk
mengatasi
permasalahan asupan zat besi yang tidak memadai dalam masyarakat.
Bahan pangan yang dijadikan fortifikan dan pembawa harus aman dan
efektif. Jenis-jenis bahan pangan yang berhasil dijadikan pembawa
bagi fortifikasi pangan adalah gandum, roti, tepung susu, garam, susu
formula, bayi, dan gula. Negara swedia memiliki sejarah panjang
fortifikasi zat besi pada tepung gandum dengan takaran 65 mg zat
besi/kg tepung. Di AS, tepung gandum juga difortifikasi dengan zat
besi (44 mg/kg). Di India, hasil uji coba di lapangan yang melibatkan
banyak pihak menunjukkan bahwa garam biasa yang difortifikasi
dengan zat besi ternyata efektif untuk menurunkan prevalensi anemia
karena defisiensi zat besi pada masyarakat pedesaan.
c. Edukasi gizi
Upaya
yang
ekstensif
dan
persuasif
diperlukan
untuk
menimbulkan perubahan perilaku dalam masyarakat tersebut mau
mengadopsi diversifikasi pangan. Pada akhirnya, satu-satunya solusi
25
yang bertahan lama dalam pemecahan persoalan anemia karena
defisiensi zat besi adalah dengan membantu masyarakat mengonsumsi
makanan yang kaya dengan zat besi secara teratur, mendororng asupan
promotor absorpsi besi seperti vitamin C, dan mencegah konsumsi
faktor-faktor penghambat yang berlebihan.
d. Pendekatan berbasis hortikultur untuk memperbaiki ketersediaan
hayati zat besi pada bahan pangan yang umum. Strategi hortikultural
untuk mendorong produksi buah dan sayuran yang kaya akan zat besi
merupakan komponen penting dalam pendekatan jangka panjang
untuk mengendalikan dan mencegah anemia karena defisiensi zat besi
di negara berkembang. Ironisnya, pada negara yang sudah tersedia
berbagai ragam bahan pangan yang kaya akan zat besi dan promoter
absorpsi besi, tetapi anemia karena defisiensi zat besi tetap menjadi
persoalan yang prevalen. Di tingkat pemerintahan, terdapat tuntutan
untuk menambahakan komponen gizi ke dalam semua program
hortikultural dan sosial kehutanan, sementara di tingkat rumah tangga
harus dilakukan berbagai upaya untuk mendorong produksi sayuran.
Kebun rumah merupakan salah satu pendekatan yang dapat berlanjut
untuk mengendalikan anemia karena defisiensi zat besi pada
masyarakat pedesaan yang miskin.
26
D. Tinjauan Umum Tentang Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan makanan
dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan ukuran Indeks Massa
Tubuhnya (IMT) di bawah normal (kurang 18,5 untuk orang dewasa)
(Persagi, 2009).
Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar
24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada
umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda
(15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini
memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan
bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada usia balita.
WUS KEK akan berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani,
2007).
Enam penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah
perdarahan, eklampsia, aborsi tidak aman (unsafe abortion), partus lama, dan
infeksi. Faktor lain yang meningkatkan AKI adalah buruknya gizi perempuan,
yang dikenal dengan kekurangan energi kronis (KEK), dan anemia.
Perempuan yang menderita KEK pada usia 15-49 tahun mencapai 15%,
sedangkan pada remaja putri mencapai 37%. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, sebanyak 57% remaja putri atau perempuan calon ibu
menderita anemia (Sadli, 2010).
27
E. Tinjauan Umum Tentang Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Definisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bila berat
badannya kurang dari 2.500 gr. Sebelum tahun 1961, berdasarkan berat badan
saja , dianggap bayi prematur atau berdasarkan umur kehamilan, yaitu kurang
dari 37 minggu. Ternyata tidak semua bayi dengan berat badan lahir rendah,
bermasalah sebagai prematur, tetapi terdapat beberapa kriteria sebagai berikut
(Manuaba et al., 2007):
1. Berat badan lahir rendah, sesuai dengan umur kehamilannya, menurut
perhitungan hari pertama haid terakhir.
2. Bayi dengan ukuran kecil masa kehamilan (KMK), artinya bayi yang
berat badannya kurang dari persentil ke-10 dari berat sesungguhnya
yang harus dicapai, menurut umur kehamilannya.
3. Atau berat badan lahir rendah ini disebabkan oleh kombinasi keduanya
artinya:
a. Umur hamilnya belum waktunya untuk lahir.
b. Tumbuh-kembang intrauteri, mengalami gangguan sehingga
terjadi kecil untuk masa kehamilannya.
Bayi dengan berat badan lahir merupakan masalah yang perlu mendapat
perhatian karena (Manuaba et al., 2007):
1. Mungkin terdapat penyakit maternal dan fetal sebagai faktor yang
diduga sehingga masih dapat mengurangi kejadian BBLR.
2. Bahwa bayi dengan BBLR, mempunyai risiko mortalitas dan
morbiditas yang tinggi.
28
3. Dampak psikologis dan neurologis setelah hidup dan akan menjadi
masalah baru dalam lingkungan keluarganya.
4. Masih ada peluan untuk memberikan terapi sehingga upaya untuk
memberikan terapi sehingga upaya menurunkannya dapat dilakukan.
5. Bahwa diagnosis dugaan akan terjadi kelahiran dengan BBLR, cukup
sulit bahkan perlu menggunakan alat canggih.
World Health Organization (WHO) 1979, telah membagi umur kehamilan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut (Manuaba et al., 2007):
1. Preterm, yaitu kurang dari 37 minggu (259 hari).
2. Term, yaitu mulai 37 minggu sampai 42 minggu atau umur antara 259293 hari.
3. Potterm, yaitu lebih dari 42 minggu (294 hari).
Ternyata bahwa cirri bentuk bayi dengan berat badan lahir rendah dapat
dibagi menjadi dua, yaitu (Manuaba et al., 2007):
1. Small for gestation age (SGA) atau kecil untuk masa kehamilan
(KMK).
2. Umur hamil kurang 37 minggu, sesuai masa kehamilan (SMK).
Kriteria keduanya tidak sama sehingga setelah persalinan perlu dilakukan
penetapan umur kehamilan (Manuaba et al., 2007).
F. Tinjauan Umum Tentang Manajemen Laktasi
Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia
berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan
29
ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun
demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang
alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli, 2000).
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama
yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan (Roesli, 2000).
Padahal kehilangan pengetahuan tentang menyusui berarti kehilangan
besar, karena menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta
tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan
manusia. Bagi ibu hal ini berarti kehilangan kepercayaan diri untuk dapat
memberikan perawatan terbaik pada bayinya dan bagi bayi berarti bukan saja
kehilangan sumber makanan yang vital, tetapi juga kehilangan cara perawatan
yang optimal (Roesli, 2000).
Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia
berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan
ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun
demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang
alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli, 2000).
G. Tinjauan Umum Tentang Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja (adolescent) adalah individu yang berkembang dari masa kanakkanak menuju kedewasaan. Masa remaja (adolescence) berasal dari bahasa
30
latin adolescere yang berarti berkembang menuju kedewasaan. Masa remaja
berarti tahap kehidupan yang berlangsung antara masa kanak-kanak
(childhood) dan masa dewasa (adulthood) (Valentini and Nisfiannoor, 2006).
Remaja merupakan tahapan seseorang di mana ia berada di antara fase
anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif,
biologis, dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke waktu
memang berubah sesuai perkembangan zaman. Ditinjau dari segi pubertas,
100 tahun terakhir usia remaja putri mendapatkan haid pertama semakin
berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun dan beberapa literatur yang
menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang terpenting adalah seseorang mengalami
perubahan pesat dalam hidupnya di berbagai aspek (Efendi and Makhfudli,
2009).
2. Fase – Fase Masa Remaja
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah dua
belas tahun hingga dua puluh satu tahun. Menurut Monks (1999) fase-fase
masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut:
a. Remaja Awal (Early Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja awal yaitu 12-14 tahun. Pada masa
ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan
perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak pada
dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap
kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-
31
kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, raguragu, tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa.
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang
kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narastic”,
yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang
mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada
dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang
mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus
membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri
pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawankawan dari lawan jenis.
b. Remaja Pertengahan (Middle Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja pertengahan yaitu 15-17 tahun.
Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada
masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan
kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu
dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis.
Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal
maka pada rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa
percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk
melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu
pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.
32
c. Remaja Akhir (Late Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja akhir yaitu 18-21 tahun. Pada masa
ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan
ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian.
Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya.
Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang
jelas yang baru ditemukannya.
Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan
pencapaian (Monks, 1999):
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru
3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang
lain
5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self)
dan masyarakat umum (the public)
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa
remaja adalah bahwa masa remaja adalah merupakan periode yang penting,
periode peralihan, periode perubahan, usia yang bermasalah, mencari identitas,
usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa
kedewasaan (Monks, 1999).
33
Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan
psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati beberapa tahapan.
Adapun batasan remaja menurut WHO adalah sebagai berikut (Soetjiningsih,
2004):
1. Masa remaja awal/ dini (Early Adolescence) umur 11 – 13 tahun.
2. Masa remaja pertengahan (Middle Adolescence) umur 14 – 16 tahun.
3. Masa remaja lanjut (Late Adolescence) umur 17 – 20 tahun.
34
H. Kerangka Teori
SUN
Kesiapan
Remaja
Putri
Asupan Zat Gizi
Status Gizi
IMT & LLA
Kadar Hb
Movement
(1000 HPK)
Penyakit
Infeksi
Jumlah Porsi
Sanitasi Lingkungan
Frekuensi Makan
Pola Asuh
Sosial Ekonomi
Penyakit Menular
Pengetahuan tentang Gizi
Kualitas Lingkungan Hidup
Aksebilitas pangan
Prilaku Hidup Sehat
Pola asuh
Gambar 2.1. World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008
dalam (Indonesia, 2012) dengan modifikasi
35
I. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Status Gizi
IMT
LLA
Kesiapan
Remaja Putri
Asupan Zat Gizi
Pengetahuan tentang
Gizi
Ket :
: variabel Independen
: variabel Dependen
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
SUN
Movement
(1000 HPK)
36
J. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Remaja Putri
Remaja putri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah semua
mahasiswi angkatan 2012 yang berusia 17 - 20 tahun yang tercatat sebagai
mahasiswi aktif di FKM UNHAS.
2. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud pengetahuan dalam penelitian ini adalah
kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
pengertian, gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat anemia gizi besi,
KEK, BBLR dan ASI ekslusif. Dengan bantuan pedoman wawancara
responden diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan
berkaitan dengan pengetahuan tentang anemia, KEK, BBLR, dan ASI
eksklusif.
Setiap pertanyaan bernilai 1-3 untuk setiap pertanyaan
Berdasarkan total skor yang diperoleh dari masing-masing jumlah soal
setiap kriteria soal, maka total skor tinggi adalah 21 pada kriteria anemia,
21 pada kriteria KEK, 12 pada kriteria BBLR, dan 18 pada kriteria ASI
ekslusif. Menurut Khomsan (2000), pengambilan dapat dikategorikan
menjadi:
Cukup : apabila responden mendapat skor ≥ 60%
Kurang : apabila responden mendapat skor < 60 %
37
3. Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok
orang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat
gizi. Penilaian status gizi dapat diukur dengan menggunakan IMT dan
LILA.
Kriteria objektif untuk IMT menurut Depkes RI 2003 yaitu
(Masyarakat, 2003):
1. Kurus sekali : < 17,0
2. Kurus : 17,0 – 18,4
3. Normal : 18,5 – 25,0
4. Gemuk : 25,1 – 27,0
5. Gemuk sekali : > 27,0
Kriteria objektif untuk LILA yaitu (Supariasa et al., 2001):
1. Resiko KEK : < 23,5 cm
2. Normal : ≥ 23,5 cm
38
BAB III
METODE PENELITITAN
A. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
metode penelitian survei yang bersifat deskriptif dimana dalam hal ini
dimaksudkan untuk menggambarkan pengetahuan tentang masalah gizi dan
status gizi pada remaja putri angkatan 2012 di FKM UNHAS Makassar.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di FKM UNHAS Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua mahasiswa perempuan
angkatan 2012 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Makassar yang berusia 17 - 20 tahun yang berjumlah 189 orang.
2. Sampel
Besar sampel minimum ditentukan dengan menggunakan rumus
(Notoatmodjo, 2005):
n=
N
1+ N (d2 )
39
Keterangan:
n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan dengan ketepatan
0,05
Perhitungan:
=
=
=
=
189
1 + 189 (0,052 )
189
1 + 189 (0,0025)
189
1 + 0,4725
189
1,4725
= 128,35 orang
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel minimum
yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 129 orang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Jadi
jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 160
responden.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Kuesioner berupa data karakteristik mahasiswi dan kuesioner yang
berisikan mengenai pertanyaan kepadaa responden
40
2. Timbangan untuk menimbang berat badan
3. Microtoice untuk mengukur tinggi badan
4. Pita LLA untuk mengukur lingkar lengan atas
5. Alat tulis menulis
D. Pengumpulan Data
1. Jenis data
a. Data Primer
Dikumpulkan
data
tentang
karakteristik
mahasiswi.
Data
karakteristik meliputi nama, umur, berat badan, tinggi badan, LLA,
dan wawancara mengenai pengertian, gejala/tanda, penyebab, serta
bahaya/akibat anemia gizi besi, KEK, BBLR, dan ASI eksklusif. Data
primer dalam proses penelitian diperoleh melalui wawancara dengan
para responden yang menjadi objek penelitian dengan menggunakan
kuesioner dan wawancara langsung.
b. Data Sekunder
Data sekunder meliputi jumlah mahasiswi dan jadwal kuliah
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar
yang diperoleh dari bagian akademik FKM UNHAS.
2. Cara pengumpulan data
a. Persiapan
Mengurus surat ijin penelitian di FKM UNHAS Makassar.
b. Pelaksanaan Pengumpulan Data
41
1) Identifikasi subyek penelitian. Untuk memperoleh data tersebut,
peneliti bekerja sama dengan pihak fakultas untuk memperoleh
data yang akurat.
2) Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan responden untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
3) Data sekunder yaitu data mengenai mahasiswi angkatan 2012 dan
jadwal perkuliahan semester akhir 2012/2013 Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang diperoleh dari
bagian akademik FKM UNHAS.
E. Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS kemudian data tersebut
disajikan dalam bentuk tabel dan disertai dengan penjelasan.
Setelah kuesioner/ wawancara diisi oleh responden, maka data diolah
melalui tahapan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data (Editing)
Mengecek kembali apakah isian dalam lembar kuesioner/
wawancara sudah lengkap dan diisi, editing dilakukan ditempat
pengumpulan data.
2. Pemberian Kode (Coding)
Apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit, selanjutnya
dilakukan pengkodean variabel sebelum dipindahkan ke format aplikasi
SPSS 16.
42
3. Mengentri Data (Entry)
Peneliti memasukkan data yang diperoleh kedalam kategori
tertentu untuk dilakukan analisis data.
4. Membersihkan Data (Cleaning)
Peneliti mengecek kembali data yang sudah di entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk
tabel, grafik, dan narasi untuk membahas hasil penelitian.
F. Analisis Data
Analisis univariat ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik
responden yang berupa nama, umur, berat badan, tinggi badan, LILA, dan
pengetahuan mengenai masalah gizi. Analisis ini berupa distribusi frekuensi
dan persentase pada setiap variabel dan disajikan dalam bentuk tabel atau
grafik untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel.
43
G. Diagram Alur Penelitian
Mahasiswi di FKM UNHAS angkatan 2010,2011, dan 2012.
(Terlebih dahulu mengambil jadwal mata kuliah dan nama
mahasiswi di bagian akademik FKM UNHAS kemudian
menyesuaikan dengan waktu luang dari setiap kelas dan
mendatanginya perkelas)
Pengambilan sampel yang
digunakan dengan purposive
sampling
Wawancara pengetahuan
mengenai masalah gizi dan
pengukuran status gizi
Lembar Scoring Kuesioner/
Hasil Wawancara
Pengolahan Data
Pelaporan
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2013 terhadap
mahasiswi di FKM Universitas Hasanuddin Makassar. Dari Penelitian ini
diperoleh data sebagai berikut:
1. Gambaran Tempat Penelitian
a. Profil Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Makassar
Kronologi Sejarah Fakultas Kesehatan Masyarakat:
1) Pada tahun 1973, beberapa praktisi kesehatan mulai merasakan
adanya kebutuhan yang mendesak terhadap tenaga-tenaga
kesehatan masyarakat, yang kemudian direspon oleh pimpinan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan jalan
menjajaki kemungkinan pengembangan Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan (IKM-IKP
Fakultas Kedokteran Unhas) untuk dapat mengelola dan
mendidik tenaga-tenaga dibidang kesehatan masyarakat.
2) Delapan tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Januari 1981, terbit
SK Rektor Universitas Hasanuddin No.19/D.09.01/81 tentang
pembentukan Panitia Persiapan Pendirian FKM Unhas (P3FKM).
Anggota panitia ini terdiri atas unsur-unsur Fakultas Kedokteran
45
Unhas dan Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Sulawesi
Selatan. Tugas panitia ini adalah mempersiapkan berdirinya FKM
Unhas untuk Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat yang
diprioritaskan pada Sarjana Muda Kesehatan di wilayah
Indonesia Timur. FKM yang akan dibentuk diusulkan terdiridari
3jurusan, yaitu jurusan Administrasi Kesehatan
Masyarakat/
Kependudukan, Statistik/ Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/
Pendidikan Kesehatan. Namun, usulan ini kemudian berubah
dengan usulan pembentukan 5 (lima) jurusan yang sama dengan
FKM yang telah berdiri terlebih dahulu pada beberapa perguruan
tinggi negeri.
3) Pada tanggal 8 Maret 1982, diadakan pertemuan antara P3FKM
dengan tim dari Universitas Indonesia, CMS, dan FKM
Universitas Airlangga. Hasil pertemuan tersebut adalah bahwa
FKM Unhas akan dibuka pada tahun ajaran 1982/1983, dengan
program studi kesehatan masyarakat.
4) Pada tanggal 18 Agustus 1982, kuliah perdana mahasiswa FKM
Unhas kelas kerjasama angkatan I sebanyak 21 orang. Kelas ini
adalah realisasi kelas kerjasama dengan Departemen Kesehatan
untuk memenuhi persyaratan pendirian Fakultas Kesehatan
Masyarakat Unhas, dengan program studi tunggal yaitu program
studi kesehatan masyarakat.
46
5) Pada tanggal 5 November 1982 dengan Nomor SK pendirian
0154/O/1982, FKM Unhas diresmikan berdirinya oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaja), dan
juga dihadiri oleh menteri Kesehatan Republik Indonesia.
6) Satu tahun kemudian (1983) keluar SK Menteri P dan K No.
0568/1983 tentang izin pendirian program studi kesehatan
masyarakat dengan dengan 5 jurusan; yaitu jurusan Administrasi
Kebijakan
Kesehatan/Gizi
Biostatistik/Kependudukan
Kesehatan
&
Keluarga
Masyarakat,
Berencana,
Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/Kesehatan Kerja dan
Pendidikan Kesehatan & Ilmu Perilaku.
7) Pada tahun 1996, atas desakan kebutuhan dan permintaan
masyarakat, maka FKM selain melaksanakan pendidikan untuk
kelas kerja sama dan kelas regular, juga membuka kelas ekstensi
dan menerima mahasiswa baru untuk jenis kelas kerja sama
maupun kelas regular. Pada tahun 2005, atas keputusan Senat
Universitas Hasanuddin, kelas nomenklatur kelas Ekstensi diubah
menjadi Kelas regular Sore .
8) Pada tahun 1999, dari 5 jurusan dikembangkan menjadi 7 bagian,
yaitu
Bagian
Administrasi
Biostatistik/Kependudukan
Kebijakan
Keluarga
Kesehatan,
Berencana,
Bagian
Bagian
Epidemiologi, Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Bagian
47
Kesehatan & Keselamatan Kerja, Bagian Kesehatan Lingkungan,
dan Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Bersamaan
dengan hal itu, terbit SK No. 115/DIKTI/Kep/1999 tentang
pendirian Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
tertanggal 5 Maret 1999 yang ditandatangani oleh Bambang
Suhendro selaku Dirjen Pendidikan Tinggi.
9) Pada tahun 2005, atas desakan kebutuhan permintaan tenaga gizi
dengan kompetensi gizi klinik, maka diresmikan berdirinya
Program Studi Ilmu Gizi berdasarkan SK Dikti Nomor
3127/D/T/2005.
10) Pada tahun 2006, atas usulan Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat tentang pembukaan peminatan Administrasi Rumah
Sakit, maka Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat
Keputusan
No.
1595/J.04/O/2007
mengesahkan
pendirian
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit Universitas Hasanuddin,
yang dalam pelaksanaan kegiatan akademik dan proses belajar
mengajar di bawah koordinasi Bagian AKK. Kebijakan ini
diambil berdasarkan keputusan Senat Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
11) Pada tahun 2009, atas usulan Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat, maka Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat
Keputusan No. 1880/H4/O/2009 mengesahkan Administrasi
Rumah
Sakit
Universitas
Hasanuddin
menjadi
bagian.
48
Selanjutnya, Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat
Keputusan
No.
610/H4/P/2009
mengesahkan
pendirian
Peminatan Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Universitas
Hasanuddin, yang dalam pelaksanaan kegiatan akademik dan
proses belajar mengajar di bawah koordinasi Bagian Biostatistik
dan KKB. Kebijakan ini diambil berdasarkan keputusan Senat
Fakultas Kesehatan Masyarakat.
12) Kepemimpinan (Dekanate) di FKM telah berganti sebanyak 8
kali, dengan periode pimpinan dekan sebagai berikut;
a) Prof. Dr. H. Siradjuddin BM, SKM
(1982 – 1987)
b) Prof. Dr. H. Nur Nasry Noor, MPH
(1988 – 1993)
c) Prof. Dr. dr. H. M. Rusli Ngatimin, MPH
(1994 – 1996)
d) Dr. dr. H. M. Tahir Abdullah, M.Sc., MSPH (1997 – 2000)
e) Prof. Dr. dr. H. Nadjib Bustan, MPH
(2001 – 2003)
f)
(2004 – 2006)
Prof. Dr. dr. H. A. Razak Thaha, M.Sc
g) Prof. dr. H. Veni Hadju, M.Sc. Ph.D.
(2006 – 2010)
h) Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH
(2010 – Skrg)
Mata Kuliah Angkatan 2012
Pada program studi kesehatan masyarakat terdapat 12 mata kuliah
pada semester akhir 2012/2013 yaitu: wawasan iptek, bahasa
Indonesia, matematika, kimia dasar, biomedik I, hukum dan UU
kesehatan, kependudukan, agen penyakit, komunikasi, biomedik II,
49
pengantar manajemen SDM, dan antropologi sosial. Sedangkan untuk
profram studi ilmu gizi terdapat 9 mata kuliah pada semester akhir
2012/2013 yaitu: wawasan iptek, bahasa Indonesia, kimia organic,
bahasa inggris II, antropologi sosial, psikologi, anatomi, fisiologi, dan
biokimia.
b. Visi dan Misi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar
Visi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas
”Menjadi Terbaik di Indonesia dalam Pengembangan Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Gizi 2015 dan Mampu Bersaing
secara Global”
Penekanan sebagai “terbaik di Indonesia”, adalah tafsir
terhadap terminologi “berkualitas” bagi luaran pendidikan, dengan
mengembangkan tema-tema penelitian yang relevan dengan satu isu
utama kesehatan saat ini yakni pencegahan dan penanggulangan
kesehatan berbasis masyarakat. Secara khusus, penekanan visi untuk
“terbaik di Indonesia” berkenaan dengan tiga kata kunci yaitu
sebagai terbaik dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat,
terbaik sebagai pusat pengkajian pengembangan ilmu kesehatan
masyarakat, dan profesional dalam mengembangkan ilmu kesehatan
dalam berbagai usaha yang sistematis untuk pencegahan dan
penanggulangan berbagai macam masalah kesehatan masyarakat,
50
serta
”terbaik
di
Indonesia”
karena
memiliki
kemampuan
bekerjasama dengan institusi pendidikan baik nasional maupun
internasional, masyarakat dan stakeholder lainnya. Visi FKM Unhas
juga memiliki relevansi yang kuat dengan paradigma baru pendidikan
tinggi yang menekankan pada aspek kualitas, otonomi, evaluasi,
akreditasi dan akuntabilitas (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi,
Diknas, 2003).
“Mampu Bersaing secara Global” berarti Fakultas Kesehatan
Masyarakat mengembangkan jejaring kerjasama nasional, regional,
dan
internasional
dalam
bidang
pendidikan,
penelitian,
dan
pengabdian masyarakat, dan bidang kemahasiswaan. Pada bidang
pendidikan berarti metode pendidikan relevan dengan kondisi global;
pada
bidang
penelitian
dan
pengabdian
berarti
hasil
penelitian/pengabdian terpublikasi pada jurnal internasional; dan pada
bidang kemahasiswaan berarti Fakultas Kesehatan Masyarakat
melakukan kegiatan pertukaran mahasiswa dengan universitas di
tingkat regional dan internasional.
”Mampu Bersaing secara Global” berarti Fakultas Kesehatan
Masyarakat adaptif terhadap perkembangan global, menguasai pasar
tenaga kesehatan masyarakat dan gizi di kawasan timur Indonesia,
dan luaran Fakultas Kesehatan Masyarakat mampu menempatkan diri
serta bersaing di kancah internasional. Seluruh proses pencapaian Visi
Fakultas Kesehatan Masyarakat senantiasa dilandasi oleh nilai dan
51
semangat kebaharian yang menjadi ciri Visi Universitas Hasanuddin
yang berbasis pada Benua Maritim Indonesia.
Misi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas
1) Menyelenggarakan
pendidikan
sarjana/magister
dalam
pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu gizi yang
handal dan kompetitif dalam memahami masalah kesehatan
masyarakat.
2) Menyelenggarakan pengkajian melalui penelitian dosen dan
mahasiswa dalam isu-isu terbaru masalah kesehatan masyarakat,
yang dapat membantu memahami dan memecahkan masalah
kesehatan berbasis masyarakat.
3) Menyelenggarakan
pengabdian
kepada
masyarakat
dengan
menggunakan ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu gizi secara
profesional untuk melaksanakan program promotif dan preventif
dalam peningkatan status kesehatanmasyarakat.
4) Mengembangkan jejaring di tingkat nasional, regional, dan
internasional dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian
pada masyarakat.
52
2. Analisis Karakteristik Responden
a. Umur
Tabel 4.1
Distribusi Responden Menurut Umur di FKM UNHAS Tahun 2013
Jumlah
(n)
18
48
19
109
20
3
Total
160
Sumber : Data Primer, 2013
Umur
Persentase
(%)
30
68.1
1.9
100
Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa responden
terbanyak terdapat pada umur 19 tahun yaitu sebesar 109 orang
(68.1%) dan responden yang terendah pada umur 20 tahun yaitu
sebesar 3 orang (1.9%) responden.
b. Program Studi
Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Program Studi di FKM UNHAS
Tahun 2013
Jumlah
(n)
Kesmas
130
Ilmu Gizi
30
Total
160
Sumber : Data Primer, 2013
Prodi
Persentase
(%)
81.2
18.8
100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa responden
terbanyak terdapat pada prodi kesmas
yaitu sebesar 130 orang
(81.2%) responden dan responden yang terendah prodi ilmu gizi yaitu
sebesar 30 orang (18.8%) responden.
53
3. Analisis Variabel Penelitian
a. Pengetahuan mengenai Anemia, KEK, BBLR, dan ASI eksklusif
Tabel 4.3
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR,
dan ASI Eksklusif di FKM UNHAS Tahun 2013
Pengetahuan
Anemia
Kurang
Cukup
KEK
Kurang
Cukup
BBLR
Kurang
Cukup
ASI Eksklusif
Kurang
Cukup
Total
Sumber : Data Primer, 2013
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
158
2
98.8
1.2
159
1
99.4
0.6
132
28
82.5
17.5
97
63
160
60.6
39.4
100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa pengetahuan
yang cukup tertinggi terdapat pada pengetahuan mengenai ASI
Eksklusif yaitu sebesar 63 orang (39.4%) responden dan pengetahuan
yang cukup terendah terdapat pada pengetahuan mengenai KEK yaitu
sebesar 1 orang (0.6%) responden. Sedangkan untuk pengetahuan
yang kurang tertinggi terdapat pada pengetahuan mengenai KEK yaitu
sebesar 159 orang (99.4%) responden dan pengetahuan yang kurang
terendah terdapat pada pengetahuan mengenai ASI Eksklusif yaitu
sebesar 97 orang (60.6%) responden.
54
Tabel 4.4
Distribusi Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR, dan ASI Eksklusif
Menurut Program Studi Responden di FKM UNHAS Tahun 2013
Pengetahuan
Prodi Kesmas
Jumlah Persentase
(n)
(%)
Anemia
Kurang
130
Cukup
0
KEK
Kurang
129
Cukup
1
BBLR
Kurang
106
Cukup
24
ASI Eksklusif
Kurang
79
Cukup
51
Total
130
Sumber : Data Primer, 2013
Prodi Ilmu Gizi
Jumlah
Persentase
(n)
(%)
100
0
28
2
93.3
6.7
99.2
0.8
30
0
100
0
81.5
18.5
26
4
86.7
13.3
60.8
39.2
100
18
12
30
60
40
100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa pada
pengetahuan anemia terdapat 130 orang (100%) responden prodi
kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi
terdapat 28 orang (93.3%) responden yang memiliki pengetahuan
anemia kurang, pada pengetahuan KEK terdapat 129 orang (99.2%)
responden prodi kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan
pada prodi ilmu gizi terdapat 30 orang (100%) responden yang
memiliki pengetahuan KEK kurang, pada pengetahuan BBLR terdapat
106 orang (81.5%) responden prodi kesmas memiliki pengetahuan
kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi terdapat 26 orang (86.7%)
responden yang memiliki pengetahuan BBLR kurang, dan pada
pengetahuan ASI eksklusif terdapat 79 orang (60.8%) responden prodi
55
kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi
terdapat 18 orang (60%) responden yang memiliki pengetahuan ASI
eksklusif kurang.
Tabel 4.5
Distribusi Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR, dan ASI Eksklusif
Menurut Jumlah Soal di FKM UNHAS Tahun 2013
Pengetahuan
Anemia
Soal 1
Soal 2
Soal 3
Soal 4
Soal 5
Soal 6
Soal 7
KEK
Soal 1
Soal 2
Soal 3
Soal 4
Soal 5
Soal 6
Soal 7
BBLR
Soal 1
Soal 2
Soal 3
Soal 4
ASI Eksklusif
Soal 1
Soal 2
Soal 3
Soal 4
Soal 5
Soal 6
Prodi Kesmas
Kurang
Cukup
n
%
n
%
Prodi Ilmu Gizi
Kurang
Cukup
n
%
n
%
97
7
68
57
123
103
130
74.6
5.4
52.3
43.8
94.6
79.2
100
33
123
62
73
7
27
0
25.4
94.6
47.7
56.2
5.4
20.8
0
23
0
18
13
29
22
30
76.7
0
60
43.3
96.7
73.3
100
7
30
12
17
1
8
0
23.3
100
40
56.7
3.3
26.7
0
124
130
62
14
129
93
128
95.4
100
47.7
10.8
99.2
71.5
98.5
6
0
68
116
1
37
2
4.6
0
52.3
89.2
0.8
28.5
1.5
30
30
19
4
30
23
30
100
100
63.3
13.3
100
76.7
100
0
0
11
26
0
7
0
0
0
36.7
86.7
0
23.3
0
66
40
58
65
50.8
30.8
44.6
50
64
90
72
65
49.2
69.2
55.4
50
12
5
23
12
40
16.7
76.7
40
18
25
7
18
60
83.3
23.3
60
54
46
23
105
63
84
41.5
35.4
17.7
80.8
48.5
64.6
76
84
107
25
67
46
68.5
64.6
82.3
19.2
51.5
35.4
17
13
6
17
18
25
56.7
43.3
20
56.7
60
83.3
13
17
24
13
12
5
43.3
56.7
80
43.3
40
16.7
56
Berdasarkan tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa pada
pengetahuan anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6,
dan 7 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan
anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6, dan 7. Pada
pengetahuan KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 5, 6,
dan 7 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan
KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, dan 7. Pada
pengetahuan mengenai BBLR yang kurang terdapat pada soal nomor 1
dan 4 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan
mengenai BBLR yang kurang terdapat pada soal nomor 3. Pada
pengetahuan mengenai ASI eksklusif yang kurang terdapat pada soal
nomor 4 dan 6 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi
pengetahuan mengenai ASI eksklusif yang kurang terdapat pada soal
nomor 1, 4, 5, dan 6.
57
b. Status Gizi (IMT dan LLA)
Tabel 4.6
Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi (IMT dan LLA)
Tahun 2013
Status Gizi
IMT
Kurus sekali
Kurus
Normal
Gemuk
Gemuk sekali
Total
LLA
KEK
Normal
Total
Sumber : Data Primer, 2013
Jumlah
(n)
17
36
98
3
6
160
Persentase
(%)
10.6
22.5
61.2
1.9
3.8
100
56
104
160
35
65
100
Berdasarkan tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa status gizi IMT
responden terbanyak terdapat pada status gizi normal yaitu sebesar 98
orang (61.2%) responden dan status gizi responden yang terendah
pada status gizi gemuk yaitu sebesar 3 orang (1.9%) responden. Pada
status gizi LLA terdapat 104 orang (65%) responden yang memiliki
LLA normal.
58
Tabel 4.7
Distribusi Status Gizi (IMT dan LLA) Berdasarkan Program Studi
Responden Tahun 2013
Status Gizi
IMT
Prodi Kesmas
Prodi Ilmu Gizi
Jumlah
Persentase Jumlah Persentase
(n)
(%)
(n)
(%)
14
10.8
3
10
29
22.3
7
23.3
79
60.8
19
63.3
3
2.3
0
0
5
5
1
3.3
130
100
30
100
Kurus sekali
Kurus
Normal
Gemuk
Gemuk sekali
Total
LLA
KEK
45
Normal
85
Total
130
Sumber : Data Primer, 2013
34.6
65.4
100
11
19
30
36.7
63.3
100
Berdasarkan tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa status gizi IMT
responden terbanyak terdapat pada status gizi normal yaitu 60.8%
responden pada prodi kesmas dan 63.3% pada prodi ilmu gizi
sedangkan responden yang mengalam malnutrisi sebesar 40.4%
responden pada prodi kesmas dan 36.6% pada prodi ilmu gizi. Pada
status gizi LLA responden terbanyak terdapat pada status gizi LLA
normal yaitu sebesar 65.4% responden pada prodi kesmas dan 63.3%
responden pada prodi ilmu gizi.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Pada penelitian ini responden terdiri dari 160 responden yang terbagi
atas 3 kategori umur mulai dari 18 tahun – 20 tahun. Responden terbanyak
terdapat pada umur 19 tahun yaitu sebesar 109 responden (68.1%) dan
59
responden yang terendah pada umur 20 tahun yaitu sebesar 3 responden
(1.9%). Responden merupakan mahasiswi FKM UNHAS dimana
responden terbanyak terdapat pada program studi kesehatan masyarakat
yaitu sebesar 130 responden (81.2%) dan responden pada program studi
ilmu gizi yaitu sebesar 30 responden (18.8%).
Pada masa remaja akhir, remaja sudah mantap dan stabil. Remaja
sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang
digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah
hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai
pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru
ditemukannya (Monks, 1999).
2. Pengetahuan mengenai Masalah Gizi
a. Pengetahuan Mengenai Anemia
Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada
pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi
termasuk zat besi. Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan
salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia
defisiensi besi (Sediaoetama, 2006). Akibat jangka panjang anemia
defisiensi besi ini pada remaja putri adalah apabila remaja putri
nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi
dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa
kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi,
60
resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka
kematian perinatal (Sihotang and Febriany, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Nursari (2010) , pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), salah satu tindakan
yang terbentuk adalah tindakan dalam hal pemilihan makanan seharihari. Hal ini sesuai dengan Nursari (2010) yang mengatakan bahwa
tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh pada keadaan
gizi invidu yang bersangkutan.
Pengetahuan yang dilihat oleh peneliti pada penelitian ini adalah
pengetahuan
responden
(comprehension)
menjelaskan
dimana
secara
sampai
responden
benar
mengenai
pada
dapat
tahap
memahami
mengartikan
pengertian,
atau
gejala/tanda,
penyebab, serta bahaya/akibat dari anemia yang diketahui oleh
responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar.
Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai masalah
anemia, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 2 orang
(1.2%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden
yang pengetahuannya kurang sebesar 158 orang (98.8%) responden.
Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai
masalah anemia masih kurang.
Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program
studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program
61
studi kesmas terdapat 130 orang (100%) responden yang memiliki
pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi
terdapat 28 (93.3%) responden yang memiliki pengetahuan anemia
kurang sedangan responden yang pengetahuannya cukup sebesar 2
orang (6.7%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan
pada program studi kesmas lebih kurang dibandingkan dengan
program studi ilmu gizi. Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh
bahwa pengetahuan anemia yang paling yang kurang pada
pengetahuan anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6,
dan 7 baik untuk prodi kesmas maupun untuk prodi ilmu gizi dimana
soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi, penyebab, akibat,
dan cara mengetahui indikator anemia.
Pengetahuan seseorang dapat bertambah dengan adanya pemberian
informasi baik lisan maupun tulisan. Dalam proses, pendidikan
kesehatan, agar diperoleh hasil yang efektif diperlukan alat bantu atau
media pendidikan. Fungsi media ini adalah sebagai alat peraga untuk
menyampaikan informasi atau pesan tentang kesehatan (Notoatmojo,
2010).
b. Pengetahuan Mengenai Kekurangan Energi Kronik (KEK)
Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan
makanan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan ukuran
Indeks Massa Tubuhnya (IMT) di bawah normal (kurang 18,5 untuk
orang dewasa) (Persagi, 2009).
62
Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi
pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur
lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko
KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan
menghambat pertumbuhan pada usia balita. WUS KEK akan
berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani, 2007).
Pengetahuan yang peneliti lihat pada penelitian ini adalah
pengetahuan
responden
(comprehension)
menjelaskan
dimana
secara
benar
sampai
responden
mengenai
pada
dapat
tahap
memahami
mengartikan
pengertian,
atau
gejala/tanda,
penyebab, serta bahaya/akibat dari KEK yang diketahui oleh
responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar.
Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai KEK,
diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 1 orang (0.6%)
responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang
pengetahuannya kurang sebesar 159 orang (99.4%) responden. Hal ini
membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah KEK
masih sangat kurang, pengetahuan responden yang paling rendah
terdapat pada pertanyaan mengenai pengertian, gejala/tanda, akibat,
dan cara mengetahui KEK. Pengetahuan responden yang kurang bisa
diakibatkan dari kurangnya pendidikan kesehatan mengenai masalah
kekurangan energi kronik.
63
Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program
studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 30 responden program
studi ilmu gizi terdapat 30 (100%) responden yang memiliki
pengetahuan kurang dan dari 130 responden program studi kesmas
terdapat 129 orang (99.2%) responden yang memiliki pengetahuan
KEK kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup
sebesar 1 orang (0.6%) responden. Hal ini membuktikan bahwa
pengetahuan pada program studi ilmu gizi lebih kurang dibandingkan
dengan program studi ilmu gizi dalam pengetahuan mengenai KEK.
Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa pengetahuan
KEK yang paling yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 5, 6,
dan 7 untuk prodi kesmas dimana soal-soal tersebut menanyakan
mengenai definisi, gejala/tanda, akibat, dan cara mengetahui indikator
KEK sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan KEK yang kurang
terdapat pada soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, dan 7 dimana soal-soal tersebut
menanyakan mengenai definisi, gejala/tanda, penyebab, akibat, dan
cara mengetahui indikator KEK.
c. Pengetahuan Mengenai Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Besar kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang
hamil dengan kondisi kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih
tinggi pada ibu hamil usia 15-19 tahun. Dimana proporsi ibu hamil
KEK usia 15-19 tahun masih sebesar 31 persen. Dipahami pula
bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di usia remaja 15-19 tahun
64
cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding ibu yang
menikah pada usia 20 tahun keatas (Indonesia, 2012).
Pengetahuan yang dilihat oleh peneliti pada penelitian ini adalah
pengetahuan
responden
(comprehension)
menjelaskan
dimana
secara
benar
sampai
responden
mengenai
pada
dapat
tahap
memahami
mengartikan
pengertian,
atau
gejala/tanda,
penyebab, serta bahaya/akibat dari BBLR yang diketahui oleh
responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar.
Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai BBLR,
diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 28 orang (17.5%)
responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang
pengetahuannya kurang sebesar 132 orang (82.5%) responden. Hal ini
membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah
BBLR masih kurang.
Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program
studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program
studi kesmas terdapat 106 orang (81.5%) responden yang memiliki
pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi
terdapat 26 orang (86.7%) responden yang memiliki pengetahuan
BBLR kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup
sebesar 24 orang (18.5) responden pada program studi kesmas dan 4
orang (13.3%) responden pada program studi ilmu gizi. Hal ini
membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi ilmu gizi lebih
65
kurang
dibandingkan
dengan
program
studi
kesmas
dalam
pengetahuan mengenai BBLR. Dan berdasarkan hasil analisis yang
diperoleh bahwa pengetahuan mengenai BBLR
yang paling yang
kurang terdapat pada soal nomor 1 dan 4 untuk prodi kesmas dimana
soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi dan akibat BBLR
sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan mengenai BBLR yang
kurang terdapat pada soal nomor 3 dimana soal tersebut menanyakan
mengenai akibat dari BBLR pada bayi.
d. Pengetahuan Mengenai ASI Eksklusif
Remaja yang memasuki jenjang perkawinan, dari segi fisik dan
pengetahuan belum memadai. Data menunjukkan bahwa 21.5%
perempuan Indonesia memasuki perkawinan di bawah 20 tahun.
Perkawinan berusia muda mengundang risiko khususnya pada bayi,
berupa bayi berat lahir rendah (BBLR), prematuritas, dengan jangka
panjang berupa keterlambatan perkembangan motorik dan kognitif.
Oleh sebab itu, remaja perempuan sudah harus dipersiapkan, baik
secara fisik (gizi baik, tidak anemia), maupun pengetahuan mengenai
tumbuh-kembang balita (Nedra et al., 2006).
Pengetahuan yang ingin peneliti lihat pada penelitian ini adalah
pengetahuan
responden
(comprehension)
menjelaskan
dimana
secara
benar
sampai
responden
mengenai
pada
dapat
tahap
memahami
mengartikan
pengertian,
atau
gejala/tanda,
66
penyebab, serta bahaya/akibat dari ASI eksklusif yang diketahui oleh
responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar.
Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai ASI
Eksklusif, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 63 orang
(39.4%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden
yang pengetahuannya kurang sebesar 97 orang (60.6%) responden.
Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai
masalah ASI eksklusif masih kurang.
Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program
studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program
studi kesmas terdapat 79 orang (60.8%) responden yang memiliki
pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi
terdapat 18 orang (60%) responden yang memiliki pengetahuan ASI
eksklusif kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup
sebesar 51 orang (39.2) responden pada program studi kesmas dan 12
orang (40%) responden pada program studi ilmu gizi. Hal ini
membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi kesmas lebih
kurang dibandingkan dengan program studi ilmu gizi dalam
pengetahuan mengenai ASI eksklusif. Dan berdasarkan hasil analisis
yang diperoleh bahwa pengetahuan mengenai ASI esklusif
yang
paling yang kurang terdapat pada soal nomor 4 dan 6 untuk prodi
kesmas dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai sumber
makanan yang membuat ASI lancar dan akibat dari tidak diberikannya
67
ASI Eksklusif pada bayi sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan
KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 4, 5 dan 6 dimana soalsoal tersebut menanyakan mengenai definisi, sumber makanan yang
membuat ASI lancar, dan akibat dari tidak diberikannya ASI Eksklusif
pada bayi.
3. Status Gizi (IMT dan LLA)
Status gizi dinilai berdasarkan Imdeks Massa Tubuh (IMT).
Klasifikasi status gizi tersebut dikategorikan normal jika memiliki nilai
IMT berkisar 18.5 hingga 25.0 (Masyarakat, 2003). Status gizi menurut
IMT responden yang kurus sekali sebesar 17 responden (10.6%), kurus
sebesar 36 responden (22.5%), normal sebesar 98 responden (61.2%),
gemuk sebesar 3 responden (1.9%), dan gemuk sekali sebesar 6 responden
(3.6%).
Lingkar lengan atas (LILA) dewasa ini merupakan salah satu pilihan
untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak
memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah.
Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama
jika digunakan sebagai pilihan tunggal untuk indeks status gizi (Supariasa,
dkk., 2001). Responden yang memiliki LLA <23.5 cm (KEK) sebesar 56
responden (35%) dan yang normal sebesar 104 responden (65%).
Dan berdasarkan hasil analisis status gizi berdasarkan program studi
responden, diperoleh hasil bahwa terdapat responden yang status gizi
kurus sekali sebesar 14 responden (10.8%) pada program studi kesmas
68
sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 3 responden (10%),
untuk status gizi kurus sebesar 29 responden (22.3%) pada program studi
kesmas sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 7 responden
(23.3%), untuk status gizi normal sebesar 79 responden (60.8%) pada
program studi kesmas sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 19
responden (63.3), untuk status gizi gemuk sebesar 3 responden (2.3%)
sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 0%, dan untuk status gizi
gemuk sekali sebesar 5 responden (5%) sedangkan pada program studi
ilmu gizi terdapat 1 responden (3.3%). Dan untuk status gizi LLA normal
terdapat 85 responden (65.4%) pada program studi kesmas dan pada
program studi ilmu gizi terdapat 19 responden (63.3%). Hal ini
membuktikan bahwa baik pada program studi kesmas maupun program
studi ilmu gizi memiliki lebih banyak status gizi IMT maupun status gizi
LLA yang normal
Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa remaja putri di FKM
UNHAS Makassar lebih banyak yang memiliki status gizi normal baik
berdasarkan IMT maupun berdasarkan LILA. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Fanny, dkk (2010) di SMU PGRI Maros
yang menunjukkan bahwa dari 113 sampel, terdapat 64,6% yang status
gizinya tergolong normal.
Pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi
gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut.
Status gizi normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan
69
yang telah memenuhi kebutuhan tubuh. Seseorang yang berada dia bawak
ukuran berat badan normal memiliki risiko terhadap penyakit infeksi,
sedangkan seseorang yang berada di atas ukuran normal memiliki risiko
tinggi
penyakit
degeneratif.
Oleh
karena
itu,
diharapkan
lebih
memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi. Sebaiknya memilih
jenis makanan yang sehat dan bergizi sehingga dapat memenuhi
kebutuhan gizi seseorang.
Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat
kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko
melahirkan bayi dengan BBLR, penurunan kesegaran jasmani. Status gizi
baik di usia remaja sangat diperlukan terutama remaja putri agar di masa
kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya adekuat.
Pertumbuhan
normal
tubuh
memerlukan
nutrisi
yang memadai,
kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrien esensial yang
menjadi basis pertumbuhan (Soekirman, 2006).
C. Keterbatasan Penelitian
Jadwal perkuliahan responden yang sangat beragam sehingga sulit
mencari waktu tepat agar kegiatan penelitian tidak mengganggu proses
perkuliahan responden.
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang anemia masih kurang di
FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 98.8%
responden yang memiliki pengetahuan anemia yang kurang.
2. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang KEK masih kurang di
FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 99.4%
responden yang memiliki pengetahuan KEK yang kurang.
3. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang BBLR masih kurang di
FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 82.5%
responden yang memiliki pengetahuan BBLR yang kurang.
4. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang ASI eksklusif masih
kurang di FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat
60.6% responden yang memiliki pengetahuan ASI eksklusif yang kurang.
5. Tingkat status gizi IMT dan LLA pada remaja putri di FKM UNHAS
tahun 2013 masih menjadi masalah hal ini dibuktikan dengan terdapat
38.8% mahasiswi yang mengalami malnutrisi dan status gizi LLA yang
KEK sebesar 35%.
71
B. Saran
1. Untuk program studi kesmas diperlukannya penambahan kompetensi
tambahan untuk mata kuliah yang berhubungan mengenai masalah gizi,
dan untuk program studi ilmu gizi diperlukannya penambahan kompetensi
pada mata kuliah gizi kesehatan masyarakat untuk memperbaiki
pengetahuan responden yang kurang. Dimana untuk pengetahuan anemia
diperlukan pengetahuan mengenai definisi, penyebab, akibat, dan cara
mengetahui indikator anemia. Untuk pengetahuan mengenai KEK
diperlukan pengetahuan mengenai definisi, gejala/tanda, penyebab, akibat,
dan cara mengetahui indikator KEK. Untuk pengetahuan mengenai BBLR
diperlukan pengetahuan mengenai definisi dan akibat dari BBLR. Dan
untuk pengetahuan mengenai ASI eksklusif diperlukan pengetahuan
mengenai definisi, sumber makanan yang membuat ASI lancar, dan akibat
dari tidak diberikannya ASI Eksklusif pada bayi.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi
penyebab rendahnya pengetahuan responden.
72
DAFTAR PUSTAKA
AMELIA, F. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktifitas Fisik, dan
Status Gizi pada Remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi. undergraduation, Institut Pertanian Bogor.
ANDRIANI, M. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat, Jakarta, Penerbit Kencana
Prenada Media Group.
ARISMAN 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
CITRAKESUMASARI 2012. Anemia Gizi, Masalah dan Pencegahannya,
Yogyakarta, Penerbit Kalika.
DEPKES_RI 2001. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia
Subur (WUS). In: INDONESIA, D. K. R. (ed.). Jakarta: Direktorat Gizi
Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
EFENDI, F. & MAKHFUDLI 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori
dan Praktik dalam Keperawatan Salemba, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika.
FANNY, L., SALMIAH & PAKHRI, A. 2010. Tingkat Asupan Zat Gizi dan
Status Gizi Siswa SMU PGRI Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan Media Gizi Pangan, IX Edisi 1, 15-19.
GIBNEY, M. J., MARGETTS, B. M., KEARNEY, J. M. & ARAB, L. 2009. Gizi
Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
GIBSON, R. 2005. Principles of Nutritional Assesment, New York, Oxford
University Press.
HAYATI, R. M. 2010. Pengetahuan dan Sikap Anemia Defisiensi Besi dan
Dampaknya terhadap Kesehatan Reproduksi di MAL IAIN Medan Tahun
2009/2010. Universitas Sumatera Utara.
INDONESIA, R. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta.
IRIANTO, K. & WALUYO, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat, Jakarta, Yrama
Widya.
73
KHOMSAN, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi, Bogor, Jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
MANUABA, I. B. G., MANUABA, I. A. C. & MANUABA, I. B. G. F. 2007.
Pengantar Kuliah Obstetri, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
MASYARAKAT, D. G. 2003. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang
Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). In: BINKESMAS, D. (ed.).
Jakarta: Depkes RI.
MONKS, F. J. 1999. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
NEDRA, W., SOEDJATMIKO & FIRMANSYAH, A. 2006. Kesiapan Fisik dan
Pengetahuan Remaja Perempuan Sebagai Calon Ibu dalam Membina
Tumbuh Kembang Balita dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Sari
Pediatri, Vol.8, 209-217.
NOTOATMODJO, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka
Cipta.
NOTOATMODJO, S. 2010. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka
Cipta.
NURSARI, D. 2010. Gambaran Kejadian Anemia Pada Remaja Putri SMP
Negeri 18 Kota Bogor Tahun 2009. Undergraduate, UIN Syarif
Hidayatullah.
PERSAGI 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga, Jakarta, Penerbit
Buku Kompas.
RIYADI, H. 2001. Diktat Metode Penelitian dan Pengukuran Status Gizi, Bogor,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
ROESLI, U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta, Penerbit Taurus Agriwidya.
SADLI, S. 2010. Berbeda tetapi Setara Pemikiran tentang Kajian Perempuan,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
SEDIAOETAMA, A. D. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II,
Jakarta, Dian Rakyat.
SIHOTANG, S. D. & FEBRIANY, N. 2012. Pengetahuan dan Sikap Remaja
Putri Tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan.
74
SOEKIRMAN 2000. Masalah Gizi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua:
Agenda Repelita VI. In: GIZI, W. N. P. D. (ed.). Jakarta: LIPI.
SOEKIRMAN 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan
Manusia, Jakarta, PT. Primamedia Pustaka.
SOETJININGSIH 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya,
Jakarta, CV. Sagung Seto.
SUMARYATI, N. 2003. Pengaruh Intervensi Buklet Info Anemia Gizi dalam
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi terhadap Pengetahuan
dan Sikap Siswi Sekolah Menengah Umum di Kabupaten Demak.
Postgraduate, Universitas Dipenogoro.
SUPARIASA, I. D. N., BAKRI, B. & FAJAR, I. 2001. Penilaian Status Gizi,
Jakarta, Penerbit Buku EGC.
VALENTINI, V. & NISFIANNOOR, M. 2006. Identity Achievement dengan
Intimacy pada Remaja SMA. Provitae, 2.
VICTORA, C. G., ADAIR, L., FALL, C., HALLAL, P. C., MARTORELL, R.,
RICHTER, L. & SACHDEV, H. S. 2008. Maternal and Child
Undernutrition : consequences for adult health and human capital.
WURYANI, W. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Remaja Putri SMAN Di Kota Bengkulu Tahun 2007. Postgraduate,
Universitas Gadjah Mada.
Download