1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, dan pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Indonesia, 2012). Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh yang pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau kecerdasan sebagai akibat tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi juga meningkatkan risiko terjadinya berbagai 2 penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes dengan berbagai risiko lainnya pada usia dewasa (Indonesia, 2012). Masalah kekurangan gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Di negara berkembang kurang gizi pada prahamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila ibu hamil pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR (Victora et al., 2008). Dan apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan BBLR akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek intergenerasi (Indonesia, 2012). Siklus gangguan pertumbuhan pada bayi yang BBLR akan menyebabkan remaja kurang berat akan mempengaruhi wanita dewasa yang beresiko mengalami kurang berat dan apabila wanita dewasa kurang berat atau remaja kurang mengalami kehamilan maka akan menyebabkan berat bayi lahir rendah dan siklus ini akan terus terjadi apabila tidak ada perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan yang memadai pada masa-masa tersebut. Kelompok ini tidak lain adalah kelompok 1000 HPK yang menjadi fokus perhatian. Kelompok 1000 HPK penting diperhatikan karena akan mengurangi jumlah anak pendek di generasi yang akan datang. Peningkatan kualitas manusia dari aspek kesehatan, pendidikan 3 dan produktivitasnya yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. ((Barker, 2007b; Victora CG, 2008), (IFPRI, 2000, The Life Cycle of Malnutrition : Eradicating Malnutrition and Income Growth, IFPRI, Washington)) (Indonesia, 2012). Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritroporosis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Sihotang and Febriany, 2012). Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Perkiraan prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%. Angka tersebut terus membengkak di tahun 1997 yang bergerak dari 13,4% di Thailand ke 85,5% di India (Arisman, 2010). Tiga puluh enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang (Arisman, 2010). Di Indonesia sendiri menurut data Depkes RI (2006), prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri yaitu 28% (Hayati, 2010), dan dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri 10-18 tahun 57,1%, dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur tersebut, wanita 4 memiliki resiko paling tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri (Sihotang and Febriany, 2012). Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi. Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama, 2006). Akibat jangka panjang anemia defisiensi besi ini pada remaja putri adalah apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian perinatal (Sihotang and Febriany, 2012). Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) maupun penurunan kesegaran jasmani. Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi wanita usia subur (WUS) dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada usia balita. WUS KEK akan berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani, 2007). 5 Setiap tahun diperkirakan ada 350.000 bayi dengan berat lahir rendah di bawah 2.500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi dan kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5% (Wuryani, 2007). Saat ini, BBLR masih tetap menjadi masalah dunia khususnya di negaranegara berkembang. Lebih dari 20 juta bayi di dunia (15,5% dari seluruh kelahiran) mengalami BBLR dan 95 persen diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2010, prevalensi BBLR sebesar 8,8 persen. Besar kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang hamil dengan kondisi kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih tinggi pada ibu hamil usia 15-19 tahun. Dimana proporsi ibu hamil KEK usia 15-19 tahun masih sebesar 31 persen. Dipahami pula bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di usia remaja 15-19 tahun cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding ibu yang menikah pada usia 20 tahun keatas. Dari 556 juta balita di negara berkembang 178 juta anak (32%) bertubuh pendek dan 19 juta anak sangat kurus (<-3SD) dan 3.5 juta anak meninggal setiap tahun (Black RE, 2008). IUGR, anak pendek dan anak sangat kurus akan mengakibatkan 2,2 juta kematian dan 91 juta DALYS, atau 21 persen dari total balita (Black RE, 2008). DALYS atau Disability-Adjusted Life Year, adalah ukuran beban penyakit yang dihitung dari banyaknya tahun yang hilang karena sakit, tidak produktif (disable) atau kematian dini (Indonesia, 2012). 6 Dari 23 juta balita di Indonesia, 7,6 juta (35,6 %) tergolong pendek (Riskesdas, 2010). Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah berat badan pada saat lahir <2500 gram (BBLR). Berdasarkan analisis Riskesdas 2010, diketahui prevalensi anak pendek pada balita adalah sebesar 42,8 persen dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19 tahun dan 34,5 persen dari ibu berusia menikah pertama usia 24-29 tahun. Prevalensi anak pendek lebih besar dari perempuan yang menikah lebih muda (Indonesia, 2012). Kesiapan pengetahuan terhadap tumbuh kembang balita sangat diperlukan bagi seorang ibu, karena seorang ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik akan menghasilkan tumbuh-kembang balita yang baik pula, khususnya pada periode usia tiga tahun pertama, karena kurun usia tersebut merupakan periode pertumbuhan otak yang cepat. Mempersiapkan remaja sebagai calon ibu yang terdidik pada saatnya menjadi seorang ibu, dapat memberikan dampak baik pada perkembangan emosi, intelektual,dan kognitif anaknya (Nedra et al., 2006). Menurut Notoatmodjo (2002) dalam Nursari (2010), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), salah satu tindakan yang terbentuk adalah tindakan dalam hal pemilihan makanan sehari-hari. Hal ini sesuai Nursari (2010) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh pada keadaan gizi invidu yang bersangkutan. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat tingkat pengetahuan mengenai masalah gizi pada remaja putri sebagai calon ibu. 7 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan adalah bagaimana Tingkat Pengetahuan Tentang Masalah Gizi Dan Status Gizi Pada Remaja Putri di FKM UNHAS tahun 2013. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang masalah gizi dan status gizi pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang anemia pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. b. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang kekurangan energi kronis (KEK) pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. c. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang berat badan lahir rendah (BBLR) pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. d. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. e. Mengetahui tingkat status gizi IMT dan LLA pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013. 8 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Memberikan masukan atau gambaran untuk SUN Movement mengenai tingkat pengetahuan tentang masalah gizi pada remaja putri. 2. Manfaat ilmiah Menambah data pada SUN Movement mengenai gambaran pengetahuan pada remaja putri. 3. Manfaat peneliti Merupakan pengalaman yang berharga dalam menambah wawasan SUN Movement dan pencegahannya. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan berperan untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmojo, 2010). Pengetahun atau kognisi yang ada pada seseorang diterima melalui indera. Indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (Notoatmojo, 2010). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif ada 6 tingkatan (Notoatmojo, 2010): 1. Tahu (know) artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (comprehension) disini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application) maksudnya sebagai penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam situasi yang lain. Misalnya 10 dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan yang diberikan. 4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan. 5. Sintesis (syinthesis) yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau formulasi baru. 6. Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi. Penilaian itu berdasarkan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan tersebut diatas (Sumaryati, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Nursari (2010) , pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), salah satu tindakan yang terbentuk adalah tindakan dalam hal pemilihan makanan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan Nursari (2010) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh pada keadaan gizi invidu yang bersangkutan. 11 B. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya produktifitas kerja dan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak janin masih di dalam kandungan, bayi, anak–anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut (Depkes_RI, 2001). Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi. Status gizi secara parsial dapat diukur dengan antropometri (pengukuran bagian tertentu dari tubuh) atau biokimia atau secara klinis (Persagi, 2009). Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui bahwa apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Gibson, 2005). Berdasarkan pola konsumsi makan yang tidak sama dan dipengaruhi oleh banyak hal akan menimbulkan perbedaan asupan energi dan protein yang diterima (Gibson, 2005). Kebutuhan gizi setiap orang berbeda tergantung jenis kelamin, usia, dan kondisi tubuh. Agar tubuh dapat melakukan segala proses fisiologis untuk menjamin kelangsungan hidup, maka seseorang harus menjaga keseimbangan kebutuhan energi. Kesalahan dalam asupan energi dan 12 protein, dapat menimbulkan dampak yang tidak baik pada status gizi (Irianto and Waluyo, 2004). Status gizi menurut Soekirman (2000) pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Penyebab langsung, yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh seseorang. Seseorang yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya sisiwa yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizinya. 2. Penyebab tidak langsung, yaitu ketahanan pangan di keluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi, 2001). Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan melalui pengukuran antropometri. Antropometri gizi adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi dengan 13 antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal tubuh manusia, berupa: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al., 2001). Berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1995/Menkes/SK/2010 tentang menilai status gizi diperlukan standar antropometri yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO) 2005. Keunggulan standar antropometri terbaru WHO lebih baik dibandingkan standar NCHS/WHO, karena dibuat berdasarkan data dari berbagai Negara dan etnis, sehingga sesuai untuk Negara-negara yang sedang berkembang (Keputusan Menkes RI, 2011). Selain itu keunggulan dari antropometri adalah prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sempel cukup besar, kemudian relatif tidak menggunakan tenaga ahli, alat murah dan mudah dibawa. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. Selain itu dapat mengidentifikasi status gizi buruk, status gizi kurang, dan status gizi baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas (Supariasa et al., 2001). Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir dibawah 2500 gram atau dbawah 2,5 kg. Berat badan 14 menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun (Supariasa et al., 2001). Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun (Supariasa et al., 2001). Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa et al., 2001). Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa et al., 2001). Penggunaan IMT berlaku untuk orang yang berumur diatas 18 tahun. Adapun rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut (Supariasa et al., 2001): 15 IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m) Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia menurut Depkes RI 2003 adalah sebagai berikut (Masyarakat, 2003): Tabel 2.1 Kategori IMT Keadaan Gizi Kurus Sekali IMT < 17,0 Kurus 17,0 – 18,4 Normal 18,5 – 25,0 Gemuk 25,1 – 27,0 Gemuk Sekali > 27,0 Lingkar lengan atas (LILA) dewasa ini merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama jika digunakan sebagai pilihan tunggal untuk indeks status gizi (Supariasa et al., 2001). Pengukuran LILA pada wanita usia subur (WUS) adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko kekurangan energi kronis (KEK). Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun. Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek (Supariasa et al., 2001). 16 Beberapa tujuan pengukuran LILA adalah mencakup masalah WUS baik ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum, dan peran petugas lintas sektoral. Adapun tujuan tersebut adalah (Supariasa et al., 2001): 1. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) 2. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK 3. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak 4. Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK 5. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK Pengukuran LILA dilakukan melalui urut-urutan yang telah ditetapkan. Ada 7 urutan pengukurran LILA, yaitu (Supariasa et al., 2001). 1. Tetapkan posisi bahu dan siku 2. Letakkan pita antara bahu dan siku 3. Tentukan titik tengah lengan 4. Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan 5. Pita jangan terlalu ketat 6. Pita jangan terlalu longgar 7. Cara pembacaan skala yang benar 17 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri (kecuali orang kidal, maka yang diukur adalah lengan kanan). Lengan harus dalam posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang ataau kencang. Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya sudah tidak rata (Supariasa et al., 2001) Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau berada di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada WUS sebelum kehamilan, mereka sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm (Supariasa et al., 2001). Kecukupan zat gizi merupakan nilai yang menggambarkan asupan zat gizi terhadap pemenuhan kebutuhan zat gizi. Asupan zat gizi yang tidak sesuai kebutuhan dapat menyebabkan malgizi, yang berujung pada kondisi kesehatan yang buruk dan penyakit terkait gizi. Gizi kurang dapat memberikan dampak fisiologis dan fungsional, seperti gangguan pertumbuhan, fungsi imun menurun dan risiko infeksi meningkat, perkembangan kognitif terganggu, kemampuan kerja menjadi terbatas, risiko penyakit kronik meningkat, cedera dan trauma sulit sembuh, serta pada kehamilan berdampak buruk bagi ibu dan 18 bayi. Sebaliknya, kelebihan gizi juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Gizi lebih dan tidak seimbang dapat menimbulkan penyakit tidak menularterkait gizi, misalnya diabetes mellitus tipe II, penyakit kardiovaskuler, dan sindrom metabolik, yang dapat berujung pada peningkatan morbiditas dan mortalitas (Amelia, 2008). C. Tinjauan Umum Tentang Anemia 1. Pengertian Anemia Anemia didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang berlebihan (Citrakesumasari, 2012). Anemia gizi besi adalah adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat besi sehingga pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu (Andriani, 2012). Kekurangan pasokan zat gizi besi (Fe) yang merupakan inti molekul hemoglobin sebagai unsur utama sel darah merah. Akibat anemia gizi besi terjadi pengecilan ukuran hemoglobin, kandungan hemoglobin rendah, serta pengurangan jumlah sel darah merah. Anemia zat besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis). Tanda- 19 tanda ini biasanya akan menganggu metabolisme energi yang dapat menurunkan produktivitas (Citrakesumasari, 2012). 2. Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb) Hemoglobin merupakan zat warna yang terdapat dalam darah merah yang berguna untuk mengangkut oksigen dan CO2 dalam tubuh. Hemoglobin adalah ikatan antara protein, garam, besi, dan zat warna (Andriani, 2012). Tabel 2.2 Batas Normal Kadar Hemoglobin Kelompok Umur / Konsentrasi Hematokrit (<%) Jenis Kelamin Hemoglobin (<gr/dl) 6 bulan- 5 tahun 11,0 33 5 – 11 tahun 11,5 34 12 – 13 tahun 12,0 36 Wanita 12,0 36 Ibu hamil 11,0 33 Laki-laki 13,0 39 Sumber: WHO/ UNICEF/ UNU, 1997 dalam (Citrakesumasari, 2012) 3. Penyebab Anemia Ada tiga faktor terpenting yang menyebabkan seseorang menjadi anemia, yaitu kehilangan darah karena perdarahan akut/kronis, pengrusakan sel darah merah, dan produksi sel darah merah yang tidak cukup banyak (Citrakesumasari, 2012). 20 Menurut etiologinya anemia defesiensi zat besi dibagi atas (Andriani, 2012): a. Masukan/intake zat gizi kurang seperti pada kekurangan energi protein (KEP), defesiensi diet relatif yang disertai dengan pertumbuhan yang cepat. b. Absorpsi zat besi kurang seperti KEP, enteritis yang berulang, sindroma malabsorbsi. c. Kebutuhan zat gizi yang bertambah seperti pada infeksi, pertumbuhan yang cepat. d. Pengeluaran zat besi yang bertambah yang disebabkan karena ankilostomiasis, amoebiasis yang menahun, polip, hemolisis intravaskuler kronis yang menyebabkan hemosideremia. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya anemia gizi pada usia remaja (health media nutrition series) adalah (Andriani, 2012): a. Adanya penyakit infeksi yang kronis. b. Menstruasi yang berlebihan pada remaja putri. c. Perdarahan yang mendadak seperti kecelakaan. d. Jumlah makanan atau penyerapan diet yang buruk dari zat besi, vitamin B12, Vitamin B6, Vitamin C, dan tembaga. 4. Implikasi dan Faktor Risiko Anemia Di Negara berkembang, anemia karena defisiensi zat besi berkaitan dengan fungsi reproduktif yang buruk, proporsi kematian maternal yang tinggi (10-20% dari total kematian), insidens berat badan lahir rendah 21 (berat bayi <2,5 kg pada saat lahir) yang tinggi, dan malnutrisi intrauteri. Anemia karena defisiensi zat besi pada anak-anak menganggu kemampuan belajar mereka disekolah. Bukti yang tersedia menunjukkan gangguan pada perkembangan psikomotorik dan kemampuan intelektual, serta perubahan perilaku setelah terjadi anemia defisiensi zat besi. Terdapat pula bukti yang menunjukkan penurunan resistensi terhadap infeksi ketika terjadi defisiensi zat besi. Anemia karena defisiensi zat besi sangat menurunkan kapasitas kerja individual, bahkan anemia karena defisiensi zat besi dalam derajat yang ringan sekalipun dapat menurunkan kemampuan latihan fisik yang singkat tetapi intensif (Gibney et al., 2009). Adapun faktor risiko untuk anemia (Gibney et al., 2009): a. Simpanan zat besi yang buruk Simpanan zat besi dalam tubuh orang-orang Asia memiliki jumlah yang tidak besar, terbukti dari rendahnya kadar hemosiderin dalam sumsum tulang dan rendahnya simpanan zat besi di dalam hati. Jika bayi dilahirkan dengan simpanan zat besi yang buruk, maka defisiensi ini akan semakin parah pada bayi yang hanya mendapat ASI saja dalam periode waktu yang lama. b. Ketidakcukupan gizi Penyebab utama anemia karena defisiensi zat besi, khususnya di Negara berkembang adalah konsumsi gizi yang tidak memadai. Banyak orang bergantung hanya pada makanan nabati yang memiliki 22 absorpsi zat besi yang buruk dan terdapat beberapa zat dalam makanan tersebut yang memengaruhi absorpsi besi. c. Peningkatan kebutuhan Terdapat peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan. Pertumbuhan yang cepat selama masa bayi dan kanak-kanak meningkatkan pula kebutuhan zat besi.Kebutuhan zat besi, juga mengalami peningkatan kebutuhan yang cukup besar selama pubertas, pada remaja putri, awal menstruasi memberikan beban ganda. d. Malabsorpsi dan peningkatan kehilangan Episode diare yang berulang akibat kebiasaan yang tidak higienis dapat mengakibatkan malabsorpsi. Insiden diare yang cukup tinggi, terjadi terutama pada kebanyakan negara berkembang. Infestasi cacing, khususnya cacing tambang dan askaris, menyebabkan kehilangan zat besi dan malabsorpsi zat besi. Di daerah endemik malaria, serangan malaria yang berulang dapat menimbulkan anemia karena defisiensi zat besi. Pada wanita, perdarahan pascapartum akibat perawatan obstetrik yang buruk, kehamilan yang berkali-kali dengan jarak antar kehamilan yang pendek, periode laktasi yang panjang, dan penggunaan IUD untuk keluarga berencana merupakan faktor kontributor yang penting. e. Hemoglobinopati Pembentukan hemoglobin yang abnormal, seperti pada thalasemia dan anemia sel sabit merupakan faktor nongizi yang penting. 23 f. Obat dan faktor lainnya Idiosinkrasi obat (respon yang tidak biasa terhadap obat), leukemia, terapi radiasi, obat antikanker, dan antikonvulsan merupakan beberapa faktor risiko. Di antara orang-orang dewasa, anemia karena defisiensi zat besi berkaitan dengan keadaan inflamasi yang kronis seperti arthritis, kehilangan darah melalui saluran pencernaan akibat pemakaian obat, seperti aspirin dalam jangka waktu lama dan tumor. 5. Pencegahan dan Pengendalian Anemia Karena Defisiensi Zat Besi Prinsip dasar dalam pencegahan anemia karena defisiensi zat besi adalah memastikan konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan untuk meningkatkan kandungan serta bioavailabilitas (ketersediaan hayati) zat besi dalam makanan. Ada empat pendekatan utama (Gibney et al., 2009): a. Penyediaan suplemen zat besi Prinsip esensial dalam manajemen anemia karena defisiensi zat besi adalah terapi sulih zat besi dan penanganan penyebab yang mendasar seperti infeksi parasit atau perdarahan gastrointestinal. Terapi zat besi per oral merupakan bentuk penanganan yang disukai. Ferro sulfat merupakan preparat zat besi oral yang paling murah dan banyak digunakan. Preparat lainnya seperti ferro glukonat atau ferro fumarat juga dapat diberikan. Dosis total ekuivalen dengan 60 mg zat besi elemental (300 mg ferro sulfat) per hari sudah cukup bagi orang 24 dewasa dan harus diberikan di antara saat-saat makan pada pagi hari atau pada waktu akan tidur. Pada bayi dan anak kecil, pemberian 30 mg besi elemental per hari sudah memadai. Umumnya, setelah waktu lebih dari 4 minggu akan terjadi kenaikan kadar hemoglobin sekitar 2g/dl. b. Fortifikasi bahan pangan yang biasa dikonsumsi dengan zat besi Fortifikasi zat besi pada beberapa bahan pangan yang lazim dikonsumsi merupakan pilihan menarik untuk mengatasi permasalahan asupan zat besi yang tidak memadai dalam masyarakat. Bahan pangan yang dijadikan fortifikan dan pembawa harus aman dan efektif. Jenis-jenis bahan pangan yang berhasil dijadikan pembawa bagi fortifikasi pangan adalah gandum, roti, tepung susu, garam, susu formula, bayi, dan gula. Negara swedia memiliki sejarah panjang fortifikasi zat besi pada tepung gandum dengan takaran 65 mg zat besi/kg tepung. Di AS, tepung gandum juga difortifikasi dengan zat besi (44 mg/kg). Di India, hasil uji coba di lapangan yang melibatkan banyak pihak menunjukkan bahwa garam biasa yang difortifikasi dengan zat besi ternyata efektif untuk menurunkan prevalensi anemia karena defisiensi zat besi pada masyarakat pedesaan. c. Edukasi gizi Upaya yang ekstensif dan persuasif diperlukan untuk menimbulkan perubahan perilaku dalam masyarakat tersebut mau mengadopsi diversifikasi pangan. Pada akhirnya, satu-satunya solusi 25 yang bertahan lama dalam pemecahan persoalan anemia karena defisiensi zat besi adalah dengan membantu masyarakat mengonsumsi makanan yang kaya dengan zat besi secara teratur, mendororng asupan promotor absorpsi besi seperti vitamin C, dan mencegah konsumsi faktor-faktor penghambat yang berlebihan. d. Pendekatan berbasis hortikultur untuk memperbaiki ketersediaan hayati zat besi pada bahan pangan yang umum. Strategi hortikultural untuk mendorong produksi buah dan sayuran yang kaya akan zat besi merupakan komponen penting dalam pendekatan jangka panjang untuk mengendalikan dan mencegah anemia karena defisiensi zat besi di negara berkembang. Ironisnya, pada negara yang sudah tersedia berbagai ragam bahan pangan yang kaya akan zat besi dan promoter absorpsi besi, tetapi anemia karena defisiensi zat besi tetap menjadi persoalan yang prevalen. Di tingkat pemerintahan, terdapat tuntutan untuk menambahakan komponen gizi ke dalam semua program hortikultural dan sosial kehutanan, sementara di tingkat rumah tangga harus dilakukan berbagai upaya untuk mendorong produksi sayuran. Kebun rumah merupakan salah satu pendekatan yang dapat berlanjut untuk mengendalikan anemia karena defisiensi zat besi pada masyarakat pedesaan yang miskin. 26 D. Tinjauan Umum Tentang Kekurangan Energi Kronis (KEK) Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan makanan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan ukuran Indeks Massa Tubuhnya (IMT) di bawah normal (kurang 18,5 untuk orang dewasa) (Persagi, 2009). Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada usia balita. WUS KEK akan berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani, 2007). Enam penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, eklampsia, aborsi tidak aman (unsafe abortion), partus lama, dan infeksi. Faktor lain yang meningkatkan AKI adalah buruknya gizi perempuan, yang dikenal dengan kekurangan energi kronis (KEK), dan anemia. Perempuan yang menderita KEK pada usia 15-49 tahun mencapai 15%, sedangkan pada remaja putri mencapai 37%. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sebanyak 57% remaja putri atau perempuan calon ibu menderita anemia (Sadli, 2010). 27 E. Tinjauan Umum Tentang Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Definisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bila berat badannya kurang dari 2.500 gr. Sebelum tahun 1961, berdasarkan berat badan saja , dianggap bayi prematur atau berdasarkan umur kehamilan, yaitu kurang dari 37 minggu. Ternyata tidak semua bayi dengan berat badan lahir rendah, bermasalah sebagai prematur, tetapi terdapat beberapa kriteria sebagai berikut (Manuaba et al., 2007): 1. Berat badan lahir rendah, sesuai dengan umur kehamilannya, menurut perhitungan hari pertama haid terakhir. 2. Bayi dengan ukuran kecil masa kehamilan (KMK), artinya bayi yang berat badannya kurang dari persentil ke-10 dari berat sesungguhnya yang harus dicapai, menurut umur kehamilannya. 3. Atau berat badan lahir rendah ini disebabkan oleh kombinasi keduanya artinya: a. Umur hamilnya belum waktunya untuk lahir. b. Tumbuh-kembang intrauteri, mengalami gangguan sehingga terjadi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi dengan berat badan lahir merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena (Manuaba et al., 2007): 1. Mungkin terdapat penyakit maternal dan fetal sebagai faktor yang diduga sehingga masih dapat mengurangi kejadian BBLR. 2. Bahwa bayi dengan BBLR, mempunyai risiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 28 3. Dampak psikologis dan neurologis setelah hidup dan akan menjadi masalah baru dalam lingkungan keluarganya. 4. Masih ada peluan untuk memberikan terapi sehingga upaya untuk memberikan terapi sehingga upaya menurunkannya dapat dilakukan. 5. Bahwa diagnosis dugaan akan terjadi kelahiran dengan BBLR, cukup sulit bahkan perlu menggunakan alat canggih. World Health Organization (WHO) 1979, telah membagi umur kehamilan menjadi tiga kelompok sebagai berikut (Manuaba et al., 2007): 1. Preterm, yaitu kurang dari 37 minggu (259 hari). 2. Term, yaitu mulai 37 minggu sampai 42 minggu atau umur antara 259293 hari. 3. Potterm, yaitu lebih dari 42 minggu (294 hari). Ternyata bahwa cirri bentuk bayi dengan berat badan lahir rendah dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Manuaba et al., 2007): 1. Small for gestation age (SGA) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK). 2. Umur hamil kurang 37 minggu, sesuai masa kehamilan (SMK). Kriteria keduanya tidak sama sehingga setelah persalinan perlu dilakukan penetapan umur kehamilan (Manuaba et al., 2007). F. Tinjauan Umum Tentang Manajemen Laktasi Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan 29 ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli, 2000). Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan (Roesli, 2000). Padahal kehilangan pengetahuan tentang menyusui berarti kehilangan besar, karena menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Bagi ibu hal ini berarti kehilangan kepercayaan diri untuk dapat memberikan perawatan terbaik pada bayinya dan bagi bayi berarti bukan saja kehilangan sumber makanan yang vital, tetapi juga kehilangan cara perawatan yang optimal (Roesli, 2000). Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli, 2000). G. Tinjauan Umum Tentang Remaja 1. Pengertian Remaja Remaja (adolescent) adalah individu yang berkembang dari masa kanakkanak menuju kedewasaan. Masa remaja (adolescence) berasal dari bahasa 30 latin adolescere yang berarti berkembang menuju kedewasaan. Masa remaja berarti tahap kehidupan yang berlangsung antara masa kanak-kanak (childhood) dan masa dewasa (adulthood) (Valentini and Nisfiannoor, 2006). Remaja merupakan tahapan seseorang di mana ia berada di antara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke waktu memang berubah sesuai perkembangan zaman. Ditinjau dari segi pubertas, 100 tahun terakhir usia remaja putri mendapatkan haid pertama semakin berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun dan beberapa literatur yang menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang terpenting adalah seseorang mengalami perubahan pesat dalam hidupnya di berbagai aspek (Efendi and Makhfudli, 2009). 2. Fase – Fase Masa Remaja Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah dua belas tahun hingga dua puluh satu tahun. Menurut Monks (1999) fase-fase masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut: a. Remaja Awal (Early Adolescence) Rentang usia pada masa remaja awal yaitu 12-14 tahun. Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak- 31 kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, raguragu, tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa. Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narastic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawankawan dari lawan jenis. b. Remaja Pertengahan (Middle Adolescence) Rentang usia pada masa remaja pertengahan yaitu 15-17 tahun. Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka pada rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya. 32 c. Remaja Akhir (Late Adolescence) Rentang usia pada masa remaja akhir yaitu 18-21 tahun. Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya. Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian (Monks, 1999): 1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain 5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public) Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah bahwa masa remaja adalah merupakan periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, usia yang bermasalah, mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan (Monks, 1999). 33 Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati beberapa tahapan. Adapun batasan remaja menurut WHO adalah sebagai berikut (Soetjiningsih, 2004): 1. Masa remaja awal/ dini (Early Adolescence) umur 11 – 13 tahun. 2. Masa remaja pertengahan (Middle Adolescence) umur 14 – 16 tahun. 3. Masa remaja lanjut (Late Adolescence) umur 17 – 20 tahun. 34 H. Kerangka Teori SUN Kesiapan Remaja Putri Asupan Zat Gizi Status Gizi IMT & LLA Kadar Hb Movement (1000 HPK) Penyakit Infeksi Jumlah Porsi Sanitasi Lingkungan Frekuensi Makan Pola Asuh Sosial Ekonomi Penyakit Menular Pengetahuan tentang Gizi Kualitas Lingkungan Hidup Aksebilitas pangan Prilaku Hidup Sehat Pola asuh Gambar 2.1. World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008 dalam (Indonesia, 2012) dengan modifikasi 35 I. Kerangka Konsep Gambar 2.2 Kerangka Konsep Status Gizi IMT LLA Kesiapan Remaja Putri Asupan Zat Gizi Pengetahuan tentang Gizi Ket : : variabel Independen : variabel Dependen : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti SUN Movement (1000 HPK) 36 J. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Remaja Putri Remaja putri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah semua mahasiswi angkatan 2012 yang berusia 17 - 20 tahun yang tercatat sebagai mahasiswi aktif di FKM UNHAS. 2. Pengetahuan Pengetahuan yang dimaksud pengetahuan dalam penelitian ini adalah kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pengertian, gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat anemia gizi besi, KEK, BBLR dan ASI ekslusif. Dengan bantuan pedoman wawancara responden diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan pengetahuan tentang anemia, KEK, BBLR, dan ASI eksklusif. Setiap pertanyaan bernilai 1-3 untuk setiap pertanyaan Berdasarkan total skor yang diperoleh dari masing-masing jumlah soal setiap kriteria soal, maka total skor tinggi adalah 21 pada kriteria anemia, 21 pada kriteria KEK, 12 pada kriteria BBLR, dan 18 pada kriteria ASI ekslusif. Menurut Khomsan (2000), pengambilan dapat dikategorikan menjadi: Cukup : apabila responden mendapat skor ≥ 60% Kurang : apabila responden mendapat skor < 60 % 37 3. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penilaian status gizi dapat diukur dengan menggunakan IMT dan LILA. Kriteria objektif untuk IMT menurut Depkes RI 2003 yaitu (Masyarakat, 2003): 1. Kurus sekali : < 17,0 2. Kurus : 17,0 – 18,4 3. Normal : 18,5 – 25,0 4. Gemuk : 25,1 – 27,0 5. Gemuk sekali : > 27,0 Kriteria objektif untuk LILA yaitu (Supariasa et al., 2001): 1. Resiko KEK : < 23,5 cm 2. Normal : ≥ 23,5 cm 38 BAB III METODE PENELITITAN A. Jenis Penelitian Jenis metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian survei yang bersifat deskriptif dimana dalam hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan pengetahuan tentang masalah gizi dan status gizi pada remaja putri angkatan 2012 di FKM UNHAS Makassar. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di FKM UNHAS Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah semua mahasiswa perempuan angkatan 2012 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang berusia 17 - 20 tahun yang berjumlah 189 orang. 2. Sampel Besar sampel minimum ditentukan dengan menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2005): n= N 1+ N (d2 ) 39 Keterangan: n = besar sampel N = besar populasi d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan dengan ketepatan 0,05 Perhitungan: = = = = 189 1 + 189 (0,052 ) 189 1 + 189 (0,0025) 189 1 + 0,4725 189 1,4725 = 128,35 orang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel minimum yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 129 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Jadi jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 160 responden. 3. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Kuesioner berupa data karakteristik mahasiswi dan kuesioner yang berisikan mengenai pertanyaan kepadaa responden 40 2. Timbangan untuk menimbang berat badan 3. Microtoice untuk mengukur tinggi badan 4. Pita LLA untuk mengukur lingkar lengan atas 5. Alat tulis menulis D. Pengumpulan Data 1. Jenis data a. Data Primer Dikumpulkan data tentang karakteristik mahasiswi. Data karakteristik meliputi nama, umur, berat badan, tinggi badan, LLA, dan wawancara mengenai pengertian, gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat anemia gizi besi, KEK, BBLR, dan ASI eksklusif. Data primer dalam proses penelitian diperoleh melalui wawancara dengan para responden yang menjadi objek penelitian dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung. b. Data Sekunder Data sekunder meliputi jumlah mahasiswi dan jadwal kuliah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang diperoleh dari bagian akademik FKM UNHAS. 2. Cara pengumpulan data a. Persiapan Mengurus surat ijin penelitian di FKM UNHAS Makassar. b. Pelaksanaan Pengumpulan Data 41 1) Identifikasi subyek penelitian. Untuk memperoleh data tersebut, peneliti bekerja sama dengan pihak fakultas untuk memperoleh data yang akurat. 2) Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. 3) Data sekunder yaitu data mengenai mahasiswi angkatan 2012 dan jadwal perkuliahan semester akhir 2012/2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang diperoleh dari bagian akademik FKM UNHAS. E. Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan disertai dengan penjelasan. Setelah kuesioner/ wawancara diisi oleh responden, maka data diolah melalui tahapan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Data (Editing) Mengecek kembali apakah isian dalam lembar kuesioner/ wawancara sudah lengkap dan diisi, editing dilakukan ditempat pengumpulan data. 2. Pemberian Kode (Coding) Apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit, selanjutnya dilakukan pengkodean variabel sebelum dipindahkan ke format aplikasi SPSS 16. 42 3. Mengentri Data (Entry) Peneliti memasukkan data yang diperoleh kedalam kategori tertentu untuk dilakukan analisis data. 4. Membersihkan Data (Cleaning) Peneliti mengecek kembali data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi untuk membahas hasil penelitian. F. Analisis Data Analisis univariat ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik responden yang berupa nama, umur, berat badan, tinggi badan, LILA, dan pengetahuan mengenai masalah gizi. Analisis ini berupa distribusi frekuensi dan persentase pada setiap variabel dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel. 43 G. Diagram Alur Penelitian Mahasiswi di FKM UNHAS angkatan 2010,2011, dan 2012. (Terlebih dahulu mengambil jadwal mata kuliah dan nama mahasiswi di bagian akademik FKM UNHAS kemudian menyesuaikan dengan waktu luang dari setiap kelas dan mendatanginya perkelas) Pengambilan sampel yang digunakan dengan purposive sampling Wawancara pengetahuan mengenai masalah gizi dan pengukuran status gizi Lembar Scoring Kuesioner/ Hasil Wawancara Pengolahan Data Pelaporan 44 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2013 terhadap mahasiswi di FKM Universitas Hasanuddin Makassar. Dari Penelitian ini diperoleh data sebagai berikut: 1. Gambaran Tempat Penelitian a. Profil Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar Kronologi Sejarah Fakultas Kesehatan Masyarakat: 1) Pada tahun 1973, beberapa praktisi kesehatan mulai merasakan adanya kebutuhan yang mendesak terhadap tenaga-tenaga kesehatan masyarakat, yang kemudian direspon oleh pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan jalan menjajaki kemungkinan pengembangan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan (IKM-IKP Fakultas Kedokteran Unhas) untuk dapat mengelola dan mendidik tenaga-tenaga dibidang kesehatan masyarakat. 2) Delapan tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Januari 1981, terbit SK Rektor Universitas Hasanuddin No.19/D.09.01/81 tentang pembentukan Panitia Persiapan Pendirian FKM Unhas (P3FKM). Anggota panitia ini terdiri atas unsur-unsur Fakultas Kedokteran 45 Unhas dan Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan. Tugas panitia ini adalah mempersiapkan berdirinya FKM Unhas untuk Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat yang diprioritaskan pada Sarjana Muda Kesehatan di wilayah Indonesia Timur. FKM yang akan dibentuk diusulkan terdiridari 3jurusan, yaitu jurusan Administrasi Kesehatan Masyarakat/ Kependudukan, Statistik/ Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/ Pendidikan Kesehatan. Namun, usulan ini kemudian berubah dengan usulan pembentukan 5 (lima) jurusan yang sama dengan FKM yang telah berdiri terlebih dahulu pada beberapa perguruan tinggi negeri. 3) Pada tanggal 8 Maret 1982, diadakan pertemuan antara P3FKM dengan tim dari Universitas Indonesia, CMS, dan FKM Universitas Airlangga. Hasil pertemuan tersebut adalah bahwa FKM Unhas akan dibuka pada tahun ajaran 1982/1983, dengan program studi kesehatan masyarakat. 4) Pada tanggal 18 Agustus 1982, kuliah perdana mahasiswa FKM Unhas kelas kerjasama angkatan I sebanyak 21 orang. Kelas ini adalah realisasi kelas kerjasama dengan Departemen Kesehatan untuk memenuhi persyaratan pendirian Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, dengan program studi tunggal yaitu program studi kesehatan masyarakat. 46 5) Pada tanggal 5 November 1982 dengan Nomor SK pendirian 0154/O/1982, FKM Unhas diresmikan berdirinya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaja), dan juga dihadiri oleh menteri Kesehatan Republik Indonesia. 6) Satu tahun kemudian (1983) keluar SK Menteri P dan K No. 0568/1983 tentang izin pendirian program studi kesehatan masyarakat dengan dengan 5 jurusan; yaitu jurusan Administrasi Kebijakan Kesehatan/Gizi Biostatistik/Kependudukan Kesehatan & Keluarga Masyarakat, Berencana, Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/Kesehatan Kerja dan Pendidikan Kesehatan & Ilmu Perilaku. 7) Pada tahun 1996, atas desakan kebutuhan dan permintaan masyarakat, maka FKM selain melaksanakan pendidikan untuk kelas kerja sama dan kelas regular, juga membuka kelas ekstensi dan menerima mahasiswa baru untuk jenis kelas kerja sama maupun kelas regular. Pada tahun 2005, atas keputusan Senat Universitas Hasanuddin, kelas nomenklatur kelas Ekstensi diubah menjadi Kelas regular Sore . 8) Pada tahun 1999, dari 5 jurusan dikembangkan menjadi 7 bagian, yaitu Bagian Administrasi Biostatistik/Kependudukan Kebijakan Keluarga Kesehatan, Berencana, Bagian Bagian Epidemiologi, Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Bagian 47 Kesehatan & Keselamatan Kerja, Bagian Kesehatan Lingkungan, dan Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Bersamaan dengan hal itu, terbit SK No. 115/DIKTI/Kep/1999 tentang pendirian Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat tertanggal 5 Maret 1999 yang ditandatangani oleh Bambang Suhendro selaku Dirjen Pendidikan Tinggi. 9) Pada tahun 2005, atas desakan kebutuhan permintaan tenaga gizi dengan kompetensi gizi klinik, maka diresmikan berdirinya Program Studi Ilmu Gizi berdasarkan SK Dikti Nomor 3127/D/T/2005. 10) Pada tahun 2006, atas usulan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat tentang pembukaan peminatan Administrasi Rumah Sakit, maka Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat Keputusan No. 1595/J.04/O/2007 mengesahkan pendirian Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, yang dalam pelaksanaan kegiatan akademik dan proses belajar mengajar di bawah koordinasi Bagian AKK. Kebijakan ini diambil berdasarkan keputusan Senat Fakultas Kesehatan Masyarakat. 11) Pada tahun 2009, atas usulan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, maka Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat Keputusan No. 1880/H4/O/2009 mengesahkan Administrasi Rumah Sakit Universitas Hasanuddin menjadi bagian. 48 Selanjutnya, Rektor Universitas Hasanuddin melalui Surat Keputusan No. 610/H4/P/2009 mengesahkan pendirian Peminatan Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Universitas Hasanuddin, yang dalam pelaksanaan kegiatan akademik dan proses belajar mengajar di bawah koordinasi Bagian Biostatistik dan KKB. Kebijakan ini diambil berdasarkan keputusan Senat Fakultas Kesehatan Masyarakat. 12) Kepemimpinan (Dekanate) di FKM telah berganti sebanyak 8 kali, dengan periode pimpinan dekan sebagai berikut; a) Prof. Dr. H. Siradjuddin BM, SKM (1982 – 1987) b) Prof. Dr. H. Nur Nasry Noor, MPH (1988 – 1993) c) Prof. Dr. dr. H. M. Rusli Ngatimin, MPH (1994 – 1996) d) Dr. dr. H. M. Tahir Abdullah, M.Sc., MSPH (1997 – 2000) e) Prof. Dr. dr. H. Nadjib Bustan, MPH (2001 – 2003) f) (2004 – 2006) Prof. Dr. dr. H. A. Razak Thaha, M.Sc g) Prof. dr. H. Veni Hadju, M.Sc. Ph.D. (2006 – 2010) h) Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH (2010 – Skrg) Mata Kuliah Angkatan 2012 Pada program studi kesehatan masyarakat terdapat 12 mata kuliah pada semester akhir 2012/2013 yaitu: wawasan iptek, bahasa Indonesia, matematika, kimia dasar, biomedik I, hukum dan UU kesehatan, kependudukan, agen penyakit, komunikasi, biomedik II, 49 pengantar manajemen SDM, dan antropologi sosial. Sedangkan untuk profram studi ilmu gizi terdapat 9 mata kuliah pada semester akhir 2012/2013 yaitu: wawasan iptek, bahasa Indonesia, kimia organic, bahasa inggris II, antropologi sosial, psikologi, anatomi, fisiologi, dan biokimia. b. Visi dan Misi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar Visi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas ”Menjadi Terbaik di Indonesia dalam Pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Gizi 2015 dan Mampu Bersaing secara Global” Penekanan sebagai “terbaik di Indonesia”, adalah tafsir terhadap terminologi “berkualitas” bagi luaran pendidikan, dengan mengembangkan tema-tema penelitian yang relevan dengan satu isu utama kesehatan saat ini yakni pencegahan dan penanggulangan kesehatan berbasis masyarakat. Secara khusus, penekanan visi untuk “terbaik di Indonesia” berkenaan dengan tiga kata kunci yaitu sebagai terbaik dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat, terbaik sebagai pusat pengkajian pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, dan profesional dalam mengembangkan ilmu kesehatan dalam berbagai usaha yang sistematis untuk pencegahan dan penanggulangan berbagai macam masalah kesehatan masyarakat, 50 serta ”terbaik di Indonesia” karena memiliki kemampuan bekerjasama dengan institusi pendidikan baik nasional maupun internasional, masyarakat dan stakeholder lainnya. Visi FKM Unhas juga memiliki relevansi yang kuat dengan paradigma baru pendidikan tinggi yang menekankan pada aspek kualitas, otonomi, evaluasi, akreditasi dan akuntabilitas (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi, Diknas, 2003). “Mampu Bersaing secara Global” berarti Fakultas Kesehatan Masyarakat mengembangkan jejaring kerjasama nasional, regional, dan internasional dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, dan bidang kemahasiswaan. Pada bidang pendidikan berarti metode pendidikan relevan dengan kondisi global; pada bidang penelitian dan pengabdian berarti hasil penelitian/pengabdian terpublikasi pada jurnal internasional; dan pada bidang kemahasiswaan berarti Fakultas Kesehatan Masyarakat melakukan kegiatan pertukaran mahasiswa dengan universitas di tingkat regional dan internasional. ”Mampu Bersaing secara Global” berarti Fakultas Kesehatan Masyarakat adaptif terhadap perkembangan global, menguasai pasar tenaga kesehatan masyarakat dan gizi di kawasan timur Indonesia, dan luaran Fakultas Kesehatan Masyarakat mampu menempatkan diri serta bersaing di kancah internasional. Seluruh proses pencapaian Visi Fakultas Kesehatan Masyarakat senantiasa dilandasi oleh nilai dan 51 semangat kebaharian yang menjadi ciri Visi Universitas Hasanuddin yang berbasis pada Benua Maritim Indonesia. Misi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas 1) Menyelenggarakan pendidikan sarjana/magister dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu gizi yang handal dan kompetitif dalam memahami masalah kesehatan masyarakat. 2) Menyelenggarakan pengkajian melalui penelitian dosen dan mahasiswa dalam isu-isu terbaru masalah kesehatan masyarakat, yang dapat membantu memahami dan memecahkan masalah kesehatan berbasis masyarakat. 3) Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat dengan menggunakan ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu gizi secara profesional untuk melaksanakan program promotif dan preventif dalam peningkatan status kesehatanmasyarakat. 4) Mengembangkan jejaring di tingkat nasional, regional, dan internasional dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. 52 2. Analisis Karakteristik Responden a. Umur Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Umur di FKM UNHAS Tahun 2013 Jumlah (n) 18 48 19 109 20 3 Total 160 Sumber : Data Primer, 2013 Umur Persentase (%) 30 68.1 1.9 100 Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa responden terbanyak terdapat pada umur 19 tahun yaitu sebesar 109 orang (68.1%) dan responden yang terendah pada umur 20 tahun yaitu sebesar 3 orang (1.9%) responden. b. Program Studi Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Program Studi di FKM UNHAS Tahun 2013 Jumlah (n) Kesmas 130 Ilmu Gizi 30 Total 160 Sumber : Data Primer, 2013 Prodi Persentase (%) 81.2 18.8 100 Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa responden terbanyak terdapat pada prodi kesmas yaitu sebesar 130 orang (81.2%) responden dan responden yang terendah prodi ilmu gizi yaitu sebesar 30 orang (18.8%) responden. 53 3. Analisis Variabel Penelitian a. Pengetahuan mengenai Anemia, KEK, BBLR, dan ASI eksklusif Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR, dan ASI Eksklusif di FKM UNHAS Tahun 2013 Pengetahuan Anemia Kurang Cukup KEK Kurang Cukup BBLR Kurang Cukup ASI Eksklusif Kurang Cukup Total Sumber : Data Primer, 2013 Jumlah (n) Persentase (%) 158 2 98.8 1.2 159 1 99.4 0.6 132 28 82.5 17.5 97 63 160 60.6 39.4 100 Berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa pengetahuan yang cukup tertinggi terdapat pada pengetahuan mengenai ASI Eksklusif yaitu sebesar 63 orang (39.4%) responden dan pengetahuan yang cukup terendah terdapat pada pengetahuan mengenai KEK yaitu sebesar 1 orang (0.6%) responden. Sedangkan untuk pengetahuan yang kurang tertinggi terdapat pada pengetahuan mengenai KEK yaitu sebesar 159 orang (99.4%) responden dan pengetahuan yang kurang terendah terdapat pada pengetahuan mengenai ASI Eksklusif yaitu sebesar 97 orang (60.6%) responden. 54 Tabel 4.4 Distribusi Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR, dan ASI Eksklusif Menurut Program Studi Responden di FKM UNHAS Tahun 2013 Pengetahuan Prodi Kesmas Jumlah Persentase (n) (%) Anemia Kurang 130 Cukup 0 KEK Kurang 129 Cukup 1 BBLR Kurang 106 Cukup 24 ASI Eksklusif Kurang 79 Cukup 51 Total 130 Sumber : Data Primer, 2013 Prodi Ilmu Gizi Jumlah Persentase (n) (%) 100 0 28 2 93.3 6.7 99.2 0.8 30 0 100 0 81.5 18.5 26 4 86.7 13.3 60.8 39.2 100 18 12 30 60 40 100 Berdasarkan tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa pada pengetahuan anemia terdapat 130 orang (100%) responden prodi kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi terdapat 28 orang (93.3%) responden yang memiliki pengetahuan anemia kurang, pada pengetahuan KEK terdapat 129 orang (99.2%) responden prodi kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi terdapat 30 orang (100%) responden yang memiliki pengetahuan KEK kurang, pada pengetahuan BBLR terdapat 106 orang (81.5%) responden prodi kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi terdapat 26 orang (86.7%) responden yang memiliki pengetahuan BBLR kurang, dan pada pengetahuan ASI eksklusif terdapat 79 orang (60.8%) responden prodi 55 kesmas memiliki pengetahuan kurang sedangkan pada prodi ilmu gizi terdapat 18 orang (60%) responden yang memiliki pengetahuan ASI eksklusif kurang. Tabel 4.5 Distribusi Pengetahuan Anemia, KEK, BBLR, dan ASI Eksklusif Menurut Jumlah Soal di FKM UNHAS Tahun 2013 Pengetahuan Anemia Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6 Soal 7 KEK Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6 Soal 7 BBLR Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 ASI Eksklusif Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6 Prodi Kesmas Kurang Cukup n % n % Prodi Ilmu Gizi Kurang Cukup n % n % 97 7 68 57 123 103 130 74.6 5.4 52.3 43.8 94.6 79.2 100 33 123 62 73 7 27 0 25.4 94.6 47.7 56.2 5.4 20.8 0 23 0 18 13 29 22 30 76.7 0 60 43.3 96.7 73.3 100 7 30 12 17 1 8 0 23.3 100 40 56.7 3.3 26.7 0 124 130 62 14 129 93 128 95.4 100 47.7 10.8 99.2 71.5 98.5 6 0 68 116 1 37 2 4.6 0 52.3 89.2 0.8 28.5 1.5 30 30 19 4 30 23 30 100 100 63.3 13.3 100 76.7 100 0 0 11 26 0 7 0 0 0 36.7 86.7 0 23.3 0 66 40 58 65 50.8 30.8 44.6 50 64 90 72 65 49.2 69.2 55.4 50 12 5 23 12 40 16.7 76.7 40 18 25 7 18 60 83.3 23.3 60 54 46 23 105 63 84 41.5 35.4 17.7 80.8 48.5 64.6 76 84 107 25 67 46 68.5 64.6 82.3 19.2 51.5 35.4 17 13 6 17 18 25 56.7 43.3 20 56.7 60 83.3 13 17 24 13 12 5 43.3 56.7 80 43.3 40 16.7 56 Berdasarkan tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa pada pengetahuan anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6, dan 7 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6, dan 7. Pada pengetahuan KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 5, 6, dan 7 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, dan 7. Pada pengetahuan mengenai BBLR yang kurang terdapat pada soal nomor 1 dan 4 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan mengenai BBLR yang kurang terdapat pada soal nomor 3. Pada pengetahuan mengenai ASI eksklusif yang kurang terdapat pada soal nomor 4 dan 6 untuk prodi kesmas sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan mengenai ASI eksklusif yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 4, 5, dan 6. 57 b. Status Gizi (IMT dan LLA) Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi (IMT dan LLA) Tahun 2013 Status Gizi IMT Kurus sekali Kurus Normal Gemuk Gemuk sekali Total LLA KEK Normal Total Sumber : Data Primer, 2013 Jumlah (n) 17 36 98 3 6 160 Persentase (%) 10.6 22.5 61.2 1.9 3.8 100 56 104 160 35 65 100 Berdasarkan tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa status gizi IMT responden terbanyak terdapat pada status gizi normal yaitu sebesar 98 orang (61.2%) responden dan status gizi responden yang terendah pada status gizi gemuk yaitu sebesar 3 orang (1.9%) responden. Pada status gizi LLA terdapat 104 orang (65%) responden yang memiliki LLA normal. 58 Tabel 4.7 Distribusi Status Gizi (IMT dan LLA) Berdasarkan Program Studi Responden Tahun 2013 Status Gizi IMT Prodi Kesmas Prodi Ilmu Gizi Jumlah Persentase Jumlah Persentase (n) (%) (n) (%) 14 10.8 3 10 29 22.3 7 23.3 79 60.8 19 63.3 3 2.3 0 0 5 5 1 3.3 130 100 30 100 Kurus sekali Kurus Normal Gemuk Gemuk sekali Total LLA KEK 45 Normal 85 Total 130 Sumber : Data Primer, 2013 34.6 65.4 100 11 19 30 36.7 63.3 100 Berdasarkan tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa status gizi IMT responden terbanyak terdapat pada status gizi normal yaitu 60.8% responden pada prodi kesmas dan 63.3% pada prodi ilmu gizi sedangkan responden yang mengalam malnutrisi sebesar 40.4% responden pada prodi kesmas dan 36.6% pada prodi ilmu gizi. Pada status gizi LLA responden terbanyak terdapat pada status gizi LLA normal yaitu sebesar 65.4% responden pada prodi kesmas dan 63.3% responden pada prodi ilmu gizi. B. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Pada penelitian ini responden terdiri dari 160 responden yang terbagi atas 3 kategori umur mulai dari 18 tahun – 20 tahun. Responden terbanyak terdapat pada umur 19 tahun yaitu sebesar 109 responden (68.1%) dan 59 responden yang terendah pada umur 20 tahun yaitu sebesar 3 responden (1.9%). Responden merupakan mahasiswi FKM UNHAS dimana responden terbanyak terdapat pada program studi kesehatan masyarakat yaitu sebesar 130 responden (81.2%) dan responden pada program studi ilmu gizi yaitu sebesar 30 responden (18.8%). Pada masa remaja akhir, remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya (Monks, 1999). 2. Pengetahuan mengenai Masalah Gizi a. Pengetahuan Mengenai Anemia Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi. Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama, 2006). Akibat jangka panjang anemia defisiensi besi ini pada remaja putri adalah apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi, 60 resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian perinatal (Sihotang and Febriany, 2012). Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Nursari (2010) , pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), salah satu tindakan yang terbentuk adalah tindakan dalam hal pemilihan makanan seharihari. Hal ini sesuai dengan Nursari (2010) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh pada keadaan gizi invidu yang bersangkutan. Pengetahuan yang dilihat oleh peneliti pada penelitian ini adalah pengetahuan responden (comprehension) menjelaskan dimana secara sampai responden benar mengenai pada dapat tahap memahami mengartikan pengertian, atau gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat dari anemia yang diketahui oleh responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar. Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai masalah anemia, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 2 orang (1.2%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang pengetahuannya kurang sebesar 158 orang (98.8%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah anemia masih kurang. Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program 61 studi kesmas terdapat 130 orang (100%) responden yang memiliki pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi terdapat 28 (93.3%) responden yang memiliki pengetahuan anemia kurang sedangan responden yang pengetahuannya cukup sebesar 2 orang (6.7%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi kesmas lebih kurang dibandingkan dengan program studi ilmu gizi. Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa pengetahuan anemia yang paling yang kurang pada pengetahuan anemia yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 3, 5, 6, dan 7 baik untuk prodi kesmas maupun untuk prodi ilmu gizi dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi, penyebab, akibat, dan cara mengetahui indikator anemia. Pengetahuan seseorang dapat bertambah dengan adanya pemberian informasi baik lisan maupun tulisan. Dalam proses, pendidikan kesehatan, agar diperoleh hasil yang efektif diperlukan alat bantu atau media pendidikan. Fungsi media ini adalah sebagai alat peraga untuk menyampaikan informasi atau pesan tentang kesehatan (Notoatmojo, 2010). b. Pengetahuan Mengenai Kekurangan Energi Kronik (KEK) Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan makanan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan ukuran Indeks Massa Tubuhnya (IMT) di bawah normal (kurang 18,5 untuk orang dewasa) (Persagi, 2009). 62 Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada usia balita. WUS KEK akan berdampak pada Ibu Hamil KEK (Bumil KEK) (Wuryani, 2007). Pengetahuan yang peneliti lihat pada penelitian ini adalah pengetahuan responden (comprehension) menjelaskan dimana secara benar sampai responden mengenai pada dapat tahap memahami mengartikan pengertian, atau gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat dari KEK yang diketahui oleh responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar. Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai KEK, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 1 orang (0.6%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang pengetahuannya kurang sebesar 159 orang (99.4%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah KEK masih sangat kurang, pengetahuan responden yang paling rendah terdapat pada pertanyaan mengenai pengertian, gejala/tanda, akibat, dan cara mengetahui KEK. Pengetahuan responden yang kurang bisa diakibatkan dari kurangnya pendidikan kesehatan mengenai masalah kekurangan energi kronik. 63 Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 30 responden program studi ilmu gizi terdapat 30 (100%) responden yang memiliki pengetahuan kurang dan dari 130 responden program studi kesmas terdapat 129 orang (99.2%) responden yang memiliki pengetahuan KEK kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup sebesar 1 orang (0.6%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi ilmu gizi lebih kurang dibandingkan dengan program studi ilmu gizi dalam pengetahuan mengenai KEK. Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa pengetahuan KEK yang paling yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 5, 6, dan 7 untuk prodi kesmas dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi, gejala/tanda, akibat, dan cara mengetahui indikator KEK sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, dan 7 dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi, gejala/tanda, penyebab, akibat, dan cara mengetahui indikator KEK. c. Pengetahuan Mengenai Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Besar kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang hamil dengan kondisi kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih tinggi pada ibu hamil usia 15-19 tahun. Dimana proporsi ibu hamil KEK usia 15-19 tahun masih sebesar 31 persen. Dipahami pula bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di usia remaja 15-19 tahun 64 cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding ibu yang menikah pada usia 20 tahun keatas (Indonesia, 2012). Pengetahuan yang dilihat oleh peneliti pada penelitian ini adalah pengetahuan responden (comprehension) menjelaskan dimana secara benar sampai responden mengenai pada dapat tahap memahami mengartikan pengertian, atau gejala/tanda, penyebab, serta bahaya/akibat dari BBLR yang diketahui oleh responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar. Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai BBLR, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 28 orang (17.5%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang pengetahuannya kurang sebesar 132 orang (82.5%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah BBLR masih kurang. Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program studi kesmas terdapat 106 orang (81.5%) responden yang memiliki pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi terdapat 26 orang (86.7%) responden yang memiliki pengetahuan BBLR kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup sebesar 24 orang (18.5) responden pada program studi kesmas dan 4 orang (13.3%) responden pada program studi ilmu gizi. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi ilmu gizi lebih 65 kurang dibandingkan dengan program studi kesmas dalam pengetahuan mengenai BBLR. Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa pengetahuan mengenai BBLR yang paling yang kurang terdapat pada soal nomor 1 dan 4 untuk prodi kesmas dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai definisi dan akibat BBLR sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan mengenai BBLR yang kurang terdapat pada soal nomor 3 dimana soal tersebut menanyakan mengenai akibat dari BBLR pada bayi. d. Pengetahuan Mengenai ASI Eksklusif Remaja yang memasuki jenjang perkawinan, dari segi fisik dan pengetahuan belum memadai. Data menunjukkan bahwa 21.5% perempuan Indonesia memasuki perkawinan di bawah 20 tahun. Perkawinan berusia muda mengundang risiko khususnya pada bayi, berupa bayi berat lahir rendah (BBLR), prematuritas, dengan jangka panjang berupa keterlambatan perkembangan motorik dan kognitif. Oleh sebab itu, remaja perempuan sudah harus dipersiapkan, baik secara fisik (gizi baik, tidak anemia), maupun pengetahuan mengenai tumbuh-kembang balita (Nedra et al., 2006). Pengetahuan yang ingin peneliti lihat pada penelitian ini adalah pengetahuan responden (comprehension) menjelaskan dimana secara benar sampai responden mengenai pada dapat tahap memahami mengartikan pengertian, atau gejala/tanda, 66 penyebab, serta bahaya/akibat dari ASI eksklusif yang diketahui oleh responden dan dapat menginterpretasikannya secara benar. Berdasarkan hasil analisis total pengetahuan mengenai ASI Eksklusif, diperoleh hasil bahwa dari 160 responden terdapat 63 orang (39.4%) responden yang pengetahuannya cukup sedangkan responden yang pengetahuannya kurang sebesar 97 orang (60.6%) responden. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan responden mengenai masalah ASI eksklusif masih kurang. Dan berdasarkan hasil analisis pengetahuan berdasarkan program studi responden, diperoleh hasil bahwa dari 130 responden program studi kesmas terdapat 79 orang (60.8%) responden yang memiliki pengetahuan kurang dan dari 30 responden program studi ilmu gizi terdapat 18 orang (60%) responden yang memiliki pengetahuan ASI eksklusif kurang sedangkan responden yang pengetahuannya cukup sebesar 51 orang (39.2) responden pada program studi kesmas dan 12 orang (40%) responden pada program studi ilmu gizi. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan pada program studi kesmas lebih kurang dibandingkan dengan program studi ilmu gizi dalam pengetahuan mengenai ASI eksklusif. Dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa pengetahuan mengenai ASI esklusif yang paling yang kurang terdapat pada soal nomor 4 dan 6 untuk prodi kesmas dimana soal-soal tersebut menanyakan mengenai sumber makanan yang membuat ASI lancar dan akibat dari tidak diberikannya 67 ASI Eksklusif pada bayi sedangkan pada prodi ilmu gizi pengetahuan KEK yang kurang terdapat pada soal nomor 1, 4, 5 dan 6 dimana soalsoal tersebut menanyakan mengenai definisi, sumber makanan yang membuat ASI lancar, dan akibat dari tidak diberikannya ASI Eksklusif pada bayi. 3. Status Gizi (IMT dan LLA) Status gizi dinilai berdasarkan Imdeks Massa Tubuh (IMT). Klasifikasi status gizi tersebut dikategorikan normal jika memiliki nilai IMT berkisar 18.5 hingga 25.0 (Masyarakat, 2003). Status gizi menurut IMT responden yang kurus sekali sebesar 17 responden (10.6%), kurus sebesar 36 responden (22.5%), normal sebesar 98 responden (61.2%), gemuk sebesar 3 responden (1.9%), dan gemuk sekali sebesar 6 responden (3.6%). Lingkar lengan atas (LILA) dewasa ini merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama jika digunakan sebagai pilihan tunggal untuk indeks status gizi (Supariasa, dkk., 2001). Responden yang memiliki LLA <23.5 cm (KEK) sebesar 56 responden (35%) dan yang normal sebesar 104 responden (65%). Dan berdasarkan hasil analisis status gizi berdasarkan program studi responden, diperoleh hasil bahwa terdapat responden yang status gizi kurus sekali sebesar 14 responden (10.8%) pada program studi kesmas 68 sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 3 responden (10%), untuk status gizi kurus sebesar 29 responden (22.3%) pada program studi kesmas sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 7 responden (23.3%), untuk status gizi normal sebesar 79 responden (60.8%) pada program studi kesmas sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 19 responden (63.3), untuk status gizi gemuk sebesar 3 responden (2.3%) sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 0%, dan untuk status gizi gemuk sekali sebesar 5 responden (5%) sedangkan pada program studi ilmu gizi terdapat 1 responden (3.3%). Dan untuk status gizi LLA normal terdapat 85 responden (65.4%) pada program studi kesmas dan pada program studi ilmu gizi terdapat 19 responden (63.3%). Hal ini membuktikan bahwa baik pada program studi kesmas maupun program studi ilmu gizi memiliki lebih banyak status gizi IMT maupun status gizi LLA yang normal Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa remaja putri di FKM UNHAS Makassar lebih banyak yang memiliki status gizi normal baik berdasarkan IMT maupun berdasarkan LILA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fanny, dkk (2010) di SMU PGRI Maros yang menunjukkan bahwa dari 113 sampel, terdapat 64,6% yang status gizinya tergolong normal. Pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan 69 yang telah memenuhi kebutuhan tubuh. Seseorang yang berada dia bawak ukuran berat badan normal memiliki risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan seseorang yang berada di atas ukuran normal memiliki risiko tinggi penyakit degeneratif. Oleh karena itu, diharapkan lebih memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi. Sebaiknya memilih jenis makanan yang sehat dan bergizi sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan BBLR, penurunan kesegaran jasmani. Status gizi baik di usia remaja sangat diperlukan terutama remaja putri agar di masa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya adekuat. Pertumbuhan normal tubuh memerlukan nutrisi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrien esensial yang menjadi basis pertumbuhan (Soekirman, 2006). C. Keterbatasan Penelitian Jadwal perkuliahan responden yang sangat beragam sehingga sulit mencari waktu tepat agar kegiatan penelitian tidak mengganggu proses perkuliahan responden. 70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang anemia masih kurang di FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 98.8% responden yang memiliki pengetahuan anemia yang kurang. 2. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang KEK masih kurang di FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 99.4% responden yang memiliki pengetahuan KEK yang kurang. 3. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang BBLR masih kurang di FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 82.5% responden yang memiliki pengetahuan BBLR yang kurang. 4. Tingkat pengetahuan pada remaja putri tentang ASI eksklusif masih kurang di FKM UNHAS tahun 2013 hal ini dibuktikan dengan terdapat 60.6% responden yang memiliki pengetahuan ASI eksklusif yang kurang. 5. Tingkat status gizi IMT dan LLA pada remaja putri di FKM UNHAS tahun 2013 masih menjadi masalah hal ini dibuktikan dengan terdapat 38.8% mahasiswi yang mengalami malnutrisi dan status gizi LLA yang KEK sebesar 35%. 71 B. Saran 1. Untuk program studi kesmas diperlukannya penambahan kompetensi tambahan untuk mata kuliah yang berhubungan mengenai masalah gizi, dan untuk program studi ilmu gizi diperlukannya penambahan kompetensi pada mata kuliah gizi kesehatan masyarakat untuk memperbaiki pengetahuan responden yang kurang. Dimana untuk pengetahuan anemia diperlukan pengetahuan mengenai definisi, penyebab, akibat, dan cara mengetahui indikator anemia. Untuk pengetahuan mengenai KEK diperlukan pengetahuan mengenai definisi, gejala/tanda, penyebab, akibat, dan cara mengetahui indikator KEK. Untuk pengetahuan mengenai BBLR diperlukan pengetahuan mengenai definisi dan akibat dari BBLR. Dan untuk pengetahuan mengenai ASI eksklusif diperlukan pengetahuan mengenai definisi, sumber makanan yang membuat ASI lancar, dan akibat dari tidak diberikannya ASI Eksklusif pada bayi. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi penyebab rendahnya pengetahuan responden. 72 DAFTAR PUSTAKA AMELIA, F. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktifitas Fisik, dan Status Gizi pada Remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. undergraduation, Institut Pertanian Bogor. ANDRIANI, M. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat, Jakarta, Penerbit Kencana Prenada Media Group. ARISMAN 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. CITRAKESUMASARI 2012. Anemia Gizi, Masalah dan Pencegahannya, Yogyakarta, Penerbit Kalika. DEPKES_RI 2001. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). In: INDONESIA, D. K. R. (ed.). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. EFENDI, F. & MAKHFUDLI 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan Salemba, Jakarta, Penerbit Salemba Medika. FANNY, L., SALMIAH & PAKHRI, A. 2010. Tingkat Asupan Zat Gizi dan Status Gizi Siswa SMU PGRI Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan Media Gizi Pangan, IX Edisi 1, 15-19. GIBNEY, M. J., MARGETTS, B. M., KEARNEY, J. M. & ARAB, L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. GIBSON, R. 2005. Principles of Nutritional Assesment, New York, Oxford University Press. HAYATI, R. M. 2010. Pengetahuan dan Sikap Anemia Defisiensi Besi dan Dampaknya terhadap Kesehatan Reproduksi di MAL IAIN Medan Tahun 2009/2010. Universitas Sumatera Utara. INDONESIA, R. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta. IRIANTO, K. & WALUYO, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat, Jakarta, Yrama Widya. 73 KHOMSAN, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi, Bogor, Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. MANUABA, I. B. G., MANUABA, I. A. C. & MANUABA, I. B. G. F. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. MASYARAKAT, D. G. 2003. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). In: BINKESMAS, D. (ed.). Jakarta: Depkes RI. MONKS, F. J. 1999. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. NEDRA, W., SOEDJATMIKO & FIRMANSYAH, A. 2006. Kesiapan Fisik dan Pengetahuan Remaja Perempuan Sebagai Calon Ibu dalam Membina Tumbuh Kembang Balita dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Sari Pediatri, Vol.8, 209-217. NOTOATMODJO, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta. NOTOATMODJO, S. 2010. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta. NURSARI, D. 2010. Gambaran Kejadian Anemia Pada Remaja Putri SMP Negeri 18 Kota Bogor Tahun 2009. Undergraduate, UIN Syarif Hidayatullah. PERSAGI 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga, Jakarta, Penerbit Buku Kompas. RIYADI, H. 2001. Diktat Metode Penelitian dan Pengukuran Status Gizi, Bogor, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ROESLI, U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta, Penerbit Taurus Agriwidya. SADLI, S. 2010. Berbeda tetapi Setara Pemikiran tentang Kajian Perempuan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas. SEDIAOETAMA, A. D. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, Jakarta, Dian Rakyat. SIHOTANG, S. D. & FEBRIANY, N. 2012. Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan. 74 SOEKIRMAN 2000. Masalah Gizi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua: Agenda Repelita VI. In: GIZI, W. N. P. D. (ed.). Jakarta: LIPI. SOEKIRMAN 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia, Jakarta, PT. Primamedia Pustaka. SOETJININGSIH 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya, Jakarta, CV. Sagung Seto. SUMARYATI, N. 2003. Pengaruh Intervensi Buklet Info Anemia Gizi dalam Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswi Sekolah Menengah Umum di Kabupaten Demak. Postgraduate, Universitas Dipenogoro. SUPARIASA, I. D. N., BAKRI, B. & FAJAR, I. 2001. Penilaian Status Gizi, Jakarta, Penerbit Buku EGC. VALENTINI, V. & NISFIANNOOR, M. 2006. Identity Achievement dengan Intimacy pada Remaja SMA. Provitae, 2. VICTORA, C. G., ADAIR, L., FALL, C., HALLAL, P. C., MARTORELL, R., RICHTER, L. & SACHDEV, H. S. 2008. Maternal and Child Undernutrition : consequences for adult health and human capital. WURYANI, W. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Remaja Putri SMAN Di Kota Bengkulu Tahun 2007. Postgraduate, Universitas Gadjah Mada.