Volatile sulfur compounds sebagai penyebab halitosis Yanuaris Widagdo, Kristina Suntya Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Halitosis is being a problem either for health aspect as well as for social life aspect. Irrespective of the term is being use, halitosis pointed to the condotion of unrefresh mouth odor. Halitosis in mouth caused by volatile sulfur compounds (VSCs)that produced by bacteria in mouth. Volatile sulfur compounds is an unrefresh odor compound and so that caused unrefresh odor. This sulfur was formed by bacteria especiallt anaerob bacteria that reacted with protein from mouth and then had broken to be amino acids. This amino acids furthermore produced volatile sulfur compounds. Kata kunci: Halitosis, VSCs Korespondensi: Yanuaris Widagdo, Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361)7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278 PENDAHULUAN Sebelumnya diduga bahwa nafas tak sedap (halitosis) berasal dari perut seperti lambung dan saluran percernaan lain, tetapi sebenarnya halitosis hampir tidak pernah berasal dari saluran pencernaan termasuk lambung, hal ini disebabkan karena oesophagus dalam keadaan normal mengalami kolaps sehingga salurannya tertutup. Namun pada keadaan-keadaan tertentu seperti pada waktu muntah atau bersendawa, udara dari lambung dapat keluar melalui mulut. Selain itu infeksi-infeksi pada oesophagus atau infeksiinfeksi pada saluran pencernaan yang lain dapat mengganggu kolapsnya dinding oesophagus atau meningkatkan refleks sendawa, sehingga menyebabkan halitosis.1 Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya bau atau odor yang tidak disukai sewaktu terhembus udara.2 Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, namun diduga disebabkan dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut, yaitu hidrolisis protein oleh bakteri gram negatif.3,4 Kondisi mulut juga dapat memicu terjadinya bau mulut yaitu kurangnya flow saliva, berhentinya aliran saliva, meningkatnya bakteri gram negatif anaerob, meningkatnya jumlah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih bersifat alkali dan meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik di dalam mulut.5 Diketemukannya Volatile Sulfur Compounds (VSCs) yang dianggap merupakan penyebab utama halitosis, telah banyak menarik kalangan peneliti untuk melakukan studi mengenai hal-hal yang terkait dengan hal ini. VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob dan bereaksi dengan protein-protein yang ada di dalam mulut yang diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein, sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut.1 VSCs merupakan senyawa sulfur yang mudah menguap, terbentuk oleh reaksi bakteri (terutama bakteri anaerob) dengan protein yang akan dipecah menjadi asam amino. Terdapat tiga asam amino yang menghasilkan VSCs yaitu Cysteine menghasilkan Hidrogen sulfida (H2S), Methionine menghasilkan Methil mercaptan (CH3SH), dan Cystine menghasilkan Dimetil Sulfida (CH3SCH3).6 HALITOSIS Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya bau atau odor yang tidak disukai sewaktu terhembus udara, tanpa melihat apakah substansi odor berasal dari oral ataupun berasal dari non-oral.2 Rongga mulut mempunyai peranan besar terhadap terjadinya halitosis (85%).7 Dalam rongga mulut seseorang, terdapat substrat-substrat protein eksogen (sisa makanan) dan protein endogen (deskuamasi epitel mulut, protein saliva dan darah) yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur (S). Selain itu juga terdapat mikroorganisme baik gram positif maupun gram negatif, yang banyak terdapat pada sel epitel mulut yang mengalami deskuamasi, pada plak gigi dan pada punggung lidah.8 Mikroorganisme tersebut terutama gram negatif akan memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan menghasilkan asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine dan cistine. Tempat predileksi proses pembusukan dalam mulut adalah punggung lidah bagian posterior, diastema antar gigi belakang, karies besar, plak gigi, poket dan lesi-lesi jaringan lunak.9 Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurangnya flow saliva, berhentinya aliran saliva, meningkatnya bakteri gram negatif anaerob, meningkatnya jumkah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih bersifat alkali dan meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik didalam mulut. 5 Walaupun penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab yang diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut.3 Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar terhadap timbulnya halitosis pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental dan gigi geligi. Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal ini terjadi karena adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan VSCs yang mudah menguap dan bertanggung jawab atas terjadinya halitosis.1 Pembentukan VSCs dimungkinkan oleh suasana saliva yang alkali (pH basa), sebaliknya pada suasana asam (pH rendah) pembentukan VSCs terhambat.10 Permukaan lidah terutama bagian posterior yang sukar dijangkau dengan sikat (lapisan keputihan lidah) merupakan tempat yang ideal bagi pengumpulan sel epitel mulut yang mengalami deskuamasi, sisa-sisa makanan, bakteri dan deposit dari poket periodontal sehingga merupakan tempat utama aktivitas dan perkembangbiakan bakteri.9,11 Daerah-daerah di antara papila-papila serta dasar lidah tersebut merupakan tempat yang paling disukai bakteri khususnya bakteri anaerob.9,11 Ruang interdental merupakan tempat yang kondusif untuk aktifitas bakteri anaerob, karena ruang tersebut merupakan tempat akumulasi plak dan kalkulus, serta terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan terjadinya poket serta penyakit-penyakit gusi dan periodontal.1 Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri gram negatif seperti veillonella, fusobacterium nucleatum dan porphyromonas gingivalis tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang bau.5 Tindakan penting untuk mengurangi halitosis adalah menghilangkan penyakit periodontal serta mempertahankan kesehatan jaringan periodontal.4 Pada kasus gigi berlubang, sisa makanan akan terkumpul di antara gigi dan menyebabkan timbulnya nanah sehingga timbul bau busuk. Gigi yang jarang disikat dapat menyebabkan sisa makanan tertinggal di celah gigi dan akan meningkatkan perkembangbiakan bakteri anaerob sebagai penyebab halitosis.12 Debris merupakan substansi yang ideal bagi bakteri anaerob untuk menghasilkan gas yang bau.5 VOLATILE SULFUR COMPOUNDS ( VSCs ) Volatile sulfur compounds (VSCs) merupakan suatu senyawa sulfur yang mudah menguap, yang merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang di sekitarnya.1,13 Volatile berarti vaporous (uap) dan effervescent (berbuih) yaitu dua kata yang secara mendetail menjelaskan kemampuan VSCs dalam mengganggu aktifitas seseorang melalui bau yang dihasilkannya.14 Suatu penelitian menunjukkan bahwa bakteri dan asam amino mempunyai peranan penting pada proses pembentukan Volatile sulfur compounds (VSCs).10 Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan VSCs, yaitu: cysteine menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), methionine menghasilkan methil mercaptan (CH3SH) dan cystine menghasilkan dimethil sulfida (CH3SCH3).6 Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan lidah dan dalam kerongkongan. Bakteri tersebut secara normal ada disana karena bakteri tersebut membantu proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein.1 Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya. 15 Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik.1 Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya. Porphyromonas gingivalis dan provotella intermedia (bentuk Bacteroides intermedius) secara normal terdapat dalam plak supragingival dan sangat efektif dalam pembentukan halitosis. Demikian juga dengan bakteri anaerob pigmen hitam dan fusobacterium.10 Tongue coating juga dipercaya sebagai salah satu daerah pembentuk VSCs pada manusia sehat. Tongue coating terbentuk dari deskuamasi sel-sel epitel, sel darah dan bakteri. Lebih dari 100 bakteri terdapat dalam sel epitel pada dorsum lidah, dimana hanya 25 bakteri yang melekat pada setiap sel pada rongga mulut. Karena itu, tongue coating juga berperan dalam proses pembusukan sehingga dihasilkan VSCs.16 Protein merupakan sumber energi bagi bakteri yang bersifat asakarolitik.15 Protein dapat diperoleh pada makanan tertentu seperti telur ayam, kubis, ikan, daging, susu dan lain-lain. Protein juga dapat diperoleh pada sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut dan pada penyakit tertentu.14 Kemampuan memecah molekul protein dalam bahan pangan terbatas hanya pada beberapa spesies mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik.17 2 Mikroorganisme terutama bakteri gram negatif akan memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine dan cystine.9 Bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada dan akan dipecah menjadi asam-asam amino. Asam-asam amino tersebut akan mengalami proses kimiawi (reduksi) yang selanjutnya akan menghasilkan volatile sulfur compounds, yaitu: methil mercaptan (CH3SH), hidrogen sulfida (H2S) dan dimethil sulfida (CH3SCH3).1 Pemeriksaan tentang peranan berbagai asam amino dalam pembentukan bau mulut menunjukkan bahwa sulfur yang terkandung dalam kelompok asam amino (cystine, cystein dan methionin) merupakan penyebeb utama halitosis.10 Cystein dan methionin merupakan asam amino dengan rantai samping yang mengandung unsur sulfur. Produk utama yang dihasilkan dari substrat tersebut adalah hidrogen sulfida dan methil mercaptan (gambar 1).10 Cystine (-S-S) Reduksi Cysteine (-SH SH-) Desulphydration Deamination Decarboxylation H2S dan Serini CH3SH (Methyl-mercaptan) Gambar 1. Reduksi Cystine menghasilkan VSCs (sumber: Waler, SM., 1992 cit Djaya 2000) Cystine (-S-S) mengalami proses reduksi yaitu penambahan unsur hidrogen menjadi cysteine (-SH SH), dimana cysteine (-SH SH-) mengalami 2 proses pemecahan yaitu: 1) deamination dan decarboxylation dan 2) desulphydration. Deamination adalah proses pemecahan asam amino sedangkan decarboxylation adalah proses pemecahan asam karboksilat sehingga menghasilkan Methyl-mercaptan (CH3SH). Cysteine (-SH SH-) juga mengalami desulphydration yaitu proses pemecahan sulfat dan air sehingga menghasilkan Hidrogen sulfida (H2S) dan Serini. Methionine (CH-S-) mengalami proses reduksi yaitu proses penambahan unsur hidrogen sehingga menghasilkan CH3SH, dimana CH3SH mengalami proses reduksi kembali sehingga menghasilkan H2S dan CH4 (gambar 2). Methionine (CH-S-) Reduksi CH3 SH Reduksi H2S dan CH4 Gambar 2. Reduksi Methionine menghasilkan VSCs (sumber: Waler, SM., 1992 cit Djaya 2000) Methil mercaptan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa dan menstimulasi cytokinin yang berhubungan dengan terjadinya penyakit periodontal. Hidrogen sulfida merupakan zat yang toksik yang berhubungan dengan terjadinya po yang dalam, inflamasi gingiva, kerusakan ligamen periodontal, kerusakan perlekatan gingiva dan penyakitpenyakit gingiva.18 3 PEMBAHASAN Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, namun demikian sebagian besar penyebab yang diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut yaitu melalui proses hidrolisis protein oleh bakteri gram negatif. 3,4 Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya Halitosis, karena adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh mikroorganisme.1 Nilai pH saliva (umumnya 6,5) juga menentukan pembentukan VSCs dan akan bertambah banyak bila mengandung materi atau unsur lain. Kondisi ini menciptakan suasana dalam rongga mulut berubah menjadi alkali dan menimbulkan bau busuk. Pertumbuhan bakteri gram negatif akan semakin meningkat bila nilai pH > 7,2, sehingga memungkinkan terjadinya penguraian protein.19 Permukaan dorsum lidah yang kasar merupakan tempat yang ideal bagi bakteri anaerob, dimana pada daerah tersebut banyak terdapat sisa-sisa makanan dan sisa-sisa sel yang mati.3 Tongue Coating termasuk poket periodontal merupakan sumber utama pembentukan VSCs pada pasien penyakit periodontal dan berperan penting dalam mempercepat pembentukan VSCs. Pembuangan tongue coating dapat mengurangi VSCs.16 Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya.15 Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik.1 Porphyromonas gingivalis sangat efektif dalam pembentukan halitosis begitu juga dengan Provotella intermedia (bentuk Bacteroides intermedius) secara normal terdapat dalam plak supragingival. Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya Bakteri anaerob pigmen hitam dan Fusobacterium juga aktif dalam menyebabkan halitosis.10 Bau mulut merupakan akibat dari proses pembusukan oleh bakteri, dimana bakteri oral bekerja pada protein saliva untuk menghasilkan produk-produk compound. Proses pembusukan oleh bakteri dinyatakan sebagai penyebab utama pembentukan halitosis.10 Perkembangbiakan bakteri anaerob yang hidup normal di dalam rongga mulut secara berlebihan dan partikel makanan yang tersisa didalam rongga mulut menghasikan sulfur yang berbau seperti telur busuk.20 Mikroorganisme terutama bakteri gram negatif akan memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine dan cystine. Cystein dan methionin merupakan asam amino dengan rantai samping yang mengandung unsur sulfur.9 Asam-asam amino tersebut akan mengalami proses kimiawi (reduksi) yang selanjutnya akan menghasilkan Volatile sulfur compounds, yaitu: Methil mercaptan (CH3SH), Hidrogen sulfida (H2S) dan Dimethil sulfida (CH3SCH3).1 Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan VSCs, yaitu: cysteine menghasilkan Hidrogen sulfida (H2S), methionine menghasilkan Methil mercaptan (CH3SH) dan Cystine menghasilkan Dimethil sulfida (CH3SCH3).6 Halitosis adalah bau mulut yang tidak sedap yang dapat disebabkan karena adanya volatile sulfur compounds (VSCs). Volatile sulfur compounds adalah hasil produksi dari aktifitas bakteri anaerob di dalam mulut yang menghasilkan senyawa berupa sulfur yang mudah menguap dan berbau tidak enak. Proses terjadinya VSCs adalah diawali dengan pemecahan substrat protein dari sisa makanan oleh bakteri gram negatif yang bersifat proteolitik menjadi rantai peptida dan asam amino seperti methionin, cysteine dan cystine. Kemudian asam amino tersebut akan direduksi menjadi methil mercaptan, hidrogen sulfida dan dimethil sulfida. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh masing-masing individu untuk mengurangi atau mencegah halitosis adalah senantiasa menjaga kebersihan mulut. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Djaya. A Halitosis: Nafas Tak Sedap, 1ed. Jakarta: Dental Lintas Mediatama. 2000. 2-35. Herawati D. Mengenali Halitosis Patologis Berdasarkan Lokasi Asal untuk Keberhasilan Perawatan Mal-odor Oral. Majalah Ceramah Ilmiah FKG UGM Yogyakarta 2003; (3):118-21. Wikipedia, from the Free Encyclopedia, 2006, Juli 24-last update, Halitosis [Homepage of Google.com], [Online] Available from: http://en.wikipedia.org/ wiki/Halitosis Accesed November 17, 2006. Mcdowell K, Denise K. Halitosis holistik. Majalah Kedokteran Gigi Dental Horison 2002; 3(7): 30-7. Ravel, Daniel, 1-last update, Pediatric Dental Health [Homepage of dentalresource.com], [Online]. Available from: http://dentalresource. org/topic48halitosis.htm Accesed Desember 28, 2006. Preti G, Lawley HJ, Hormann CA, Cowart BJ, Feldman RS, Lowry LD and Young IM. Non-Oral and Oral Aspect of Oral Malodor, In: Rosenberg M, Bad Braeth Research Perspectives, 2ed. Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997: 149-50. Darwis EW. Jangan Biarkan Nafas Bau Menghambat Pergaulan. Jurnal PDGI 1997; 25(2): 12-4. 2 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Soeprapto H. Mencegah Bau Mulut Pemakai Gigi Tiruan dengan Mengkonsumsi Makanan Berserat. Majalah Kedokteran Gigi 2003; 36(3): 95-7. Ruslijanto H. Penelusuran Penyebab Halitosis, Diagnosis, dan Upaya Penanggulangannya. Majalah Indonesia Kedokteran Gigi 2003; 85(52):81-7. Kleinberg I dan Codipilly M. The Biological Basis of Oral Malodor Formation, In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives. 2ed. Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997:13-24. Khosla R. September 22 2006-last update, Bad Breath (Halitosis) [Homepage of Dental Pages_Dr.Rajiv], [Online] Available from: http://members.rediff.com/drkhosla/badbreath.html Accessed Januari 2, 2007. Jamaluddin NH. September 5, 2004-last update, Bau Mulut Bawa Masalah [Homepage of hmetro. Current_news], [Online]. Available from: http://www.google.com.mycurrent_news/HM?Sunday /kesehatan/indexs/htm. Accessed Februari 16, 2006. Rosenberg M. Introduction. In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives, 2ed , Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997: 8-9. Katz H. Januari 5, 2007-last update, The Truth About Bad Breath & What the Symptoms Mean [Homepage of TheraBreath.com], [Online]. Available from: http://www.therabreath.com/art _badbreath.asp Accessed Januari 5, 2007. Loesche WJ dan De Boeve EH. Strategies to Identify the Main Microbial Contributors to Oral Malodor., In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives, 2ed Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997: 41-8. Yaegaki K. Oral Malodor and Periodontal Disease. In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives. 2ed. Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997: 102-3. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH dan Wootton M. Ilmu Pangan, Hari Purnamo (penterjemah) 2ed , Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1987: 25, 62, 70. Denteme, from Alcorp of Kentucky, 2006, Desember-last update, Halitosis [Homepage of BadBreath.com], [Online]. Available from: http://www.badbreath.htm. Accessed Desember 17, 2006. CRI Online, from China Radio International, 2006, September 22-last update, Patologi dan Pencegahan Halitosis [Homepage of CRI], [Online], [Online]. Available from: http;//www.Google.com. Accessed Maret 21, 2007. Rozanah. November 18, 2004-last update, Menghilangkan Bau Mulut [Homepage of Google.com], [Online]. Available from: http://www.google.com. Accessed November 15, 2006. 3 Pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak IGN Putra Dermawan, Yanuaris Widagdo, Indra Prihanjana Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Metode umum untuk mengontrol plak di dalam mulut adalah dengan cara mekanis yaitu menyikat gigi. Karena hasil yang diperoleh tidak optimal, maka dikembangkan metode kimiawi berupa obat kumur yang digunakan setelah penyikatan, salah satunya adalah Hexetidine 0,1%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak. Jumlah sampel adalah 30 orang, yang digunakan sebagai kelompok perlakuan dan sekaligus sebagai kelompok kontrol. Seluruh sampel dilakukan pengukuran awal indeks plak dengan menggunakan Indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glick Modification of the Quigley-Hein (1962), kemudian dilakukan penyikatan gigi dan kumur-kumur larutan saline steril, 4 jam kemudian dilakukan pengukuran akhir indeks plak. Tahap berikutnya + 8 jam kemudian, sampel yang sama dilakukan pengukuran awal Indeks plak, penyikatan gigi serta kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% dan 4 jam kemudian dilakukan pengukuran akhir indeks plak. Terdapat penurunan rerata akumulasi plak pada kedua kelompok, yaitu pada kelompok perlakuan rerata penurunan sebesar 1,7357 atau lebih besar dari kelompok kontrol dengan rerata 0,6080. Berdasarkan uji statistik independent t-test, didapatkan nilai p<0,05, maka antara kelompok perlakuan yang berkumur larutan hexetidine 0,1% dengan kelompok kontrol yang berkumur larutan saline steril setelah 4 jam, terdapat perbedaan yang bermakna dalam penurunan indeks plak. Dapat dikatakan bahwa kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% memiliki pengaruh yang baik terhadap penurunan akumulasi plak. Kata kunci: Obat Kumur Hexetidine 0,1%, Akumulasi Plak Korespondensi: IGN Putra Dermawan, Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11A Denpasar 80233, Bali, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278. PENDAHULUAN Penyakit gigi dan mulut adalah suatu penyakit yang tidak kalah pentingnya dengan penyakit lain yang dapat mengganggu aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Karies dan penyakit periodontal merupakan beberapa contoh dari kelainan rongga mulut yang disebabkan karena terdapatnya akumulasi plak pada rongga mulut. Akhir-akhir ini mulai banyak penelitian yang mengaitkan antara karies dengan aksi mikroorganisme pada plak erat dengan gigi. Organisme ini bekerja melalui produk sukrosa yang masuk ke dalam plak setelah konsumsi karbohidrat dan membentuk asam pada pH tertentu, sehingga enamel mudah larut.1 Pendapat tersebut di atas diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Gigi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada penelitiannya didapatkan hasil bahwa prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal masih tinggi yaitu berkisar 70-80%, dan penyebab utama kedua penyakit tersebut adalah plak.2 Secara klinis, plak sering melekat dan menumpuk pada permukaan gigi dan benda lain yang terdapat dalam rongga mulut seperti tumpatan, geligi tiruan maupun kalkulus. Dalam bentuk lapisan tipis, plak pada umumnya tidak terlihat dan dapat dilihat dengan bantuan disclosing agent. Bila plak sudah menumpuk berupa lapisan yang tebal, plak terlihat sebagai deposit yang berwarna kekuningan atau keabu-abuan. Plak jarang terbentuk pada permukaan oklusal gigi kecuali jika gigi tersebut tidak berfungsi sehingga dapat terbentuk deposit yang luas sampai ke oklusal.3 Upaya untuk mengotrol keberadaan plak di dalam mulut pada umumnya dilakukan dengan metode mekanis yaitu dengan menyikat gigi, meskipun pada kenyataanya prevalensi kelainan pada rongga mulut masih tinggi. Hal ini terjadi karena aplikasi teknik dan alat bantu mekanis belum sempurna terutama disebabkan karena penderita kurangnya edukasi dan motivasi. Akhir-akhir ini dikembangkan tindakan pencegahan kelainan gigi dan mulut secara kimiawi berupa obat kumur yang dipergunakan bersama-sama dengan metode mekanis.4 Berkumur merupakan salah satu cara untuk membersihkan mulut. Pada saat berkumur sebaiknya dipilih suatu larutan atau obat kumur yang memiliki spektrum luas dan cukup efektif dalam konsentrasi rendah dalam waktu yang singkat. Salah satu larutan yang dapat dipilih sebagai mediator dalam berkumur adalah larutan hexetidine 0,1% yang merupakan suatu antiseptik yang sering dipergunakan sebagai obat kumur di dalam mulut.4 Larutan tersebut memiliki kemampuan untuk 1 membunuh bakteri dan jamur, sehingga sering dipergunakan untuk mengatasi infeksi-infeksi yang sering terjadi pada rongga mulut termasuk sariawan. Larutan hexetidine 0,1% dapat juga dipergunakan untuk mengatasi berbagai kelainan-kelainan di dalam mulut yang dapat timbul akibat adanya peranserta bakteri dalam plak, seperti kelainan yang mengenai gingiva (gingivitis), sakit pada kerongkongan, ulcer rekuren di dalam mulut dan pada individu dengan keluhan bau nafas yang tidak sedap. Selain itu, penggunaan larutan tersebut juga diinstruksikan pada pasien pre dan paskaoperasi di bidang kedokteran gigi.5 Hexetidine 0,1% merupakan salah satu larutan kimia yang efektif untuk mengatasi kelainan-kelainan pada rongga mulut.6 Penelitian oleh Raymond (1958) yaitu pada 145 pasien dengan berbagai kelainan seperti infeksi rongga mulut yang akut maupun kronis, radang gusi serta peradangan yang timbul setelah operasi, menunjukkan adanya penyembuhan dari kelainan-kelainan tersebut.6 Berdasarkan uraian dari beberapa paragraf di atas, maka dianggap perlu untuk meneliti pengaruh kumurkumur hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak, sebagai penunjang dari metode mekanis penyikatan gigi. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis (clinical trial) dengan rancangan eksperimental terhadap manusia untuk mengamati pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian dilakukan di ruang preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar pada tanggal 5-8 Januari 2005. Populasi penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar angkatan 2001. Jumlah sampel 30 orang, dimana 30 orang tersebut digunakan sebagai kelompok perlakuan dan sekaligus sebagai kelompok kontrol. Sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Kriteria inklusi yaitu mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar angkatan 2001 baik pria maupun wanita yang berumur 20-22 tahun; tidak merokok; tidak memiliki penyakit sistemik; tidak sedang menjalani pengobatan atau menggunakan obatobatan; memiliki oral higiene (OH) baik; tidak terdapat penyakit mulut seperti periodontitis, gingivitis, stomatitis; serta tidak terdapat karies yang parah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat diagnostik (sonde, excavator, pinset, nerbeken, kaca mulut), sikat dan pasta gigi, gelas kumur, cotton pellet. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: disclosing agent, larutan hexetidine 0,1%, dan larutan saline steril. Sebelum pencatatan indeks plak, seluruh permukaan fasial gigi diulasi dengan disclosing agent. Akumulasi plak dinilai dengan menggunakan indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glickman Modification of the Quigley-Hein (1962), yaitu sebagai berikut: 0= tidak ada plak; 1= bercak-bercak plak, pada servical margin gigi; 2= selapis tipis plak, pada servical margin gigi (+ 1mm); 3= lapisan plak lebih dari 1mm, tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi; 4= lapisan plak lebih dari 1/3 permukaan gigi, namun tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi; 5= lapisan plak pada 2/3 atau lebih permukaan gigi.8 Gambar 1. Indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glickman Modification of the Quigley-Hein (1962) Indeks plak diperoleh dengan menjumlahkan indeks plak pada tiap permukaan gigi bagian fasial yang dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa. Setiap sampel pada kelompok kontrol dicatat indeks plak awal kemudian dilakukan pembersihan gigi dengan cara menyikat gigi dan dilanjutkan dengan kumur-kumur menggunakan larutan saline steril. Sampel diinstruksikan untuk tidak menyikat gigi selama 4 jam. Setelah 4 jam, dilakukan pemeriksaan dan pencatatan indeks plak akhir. Setelah selang waktu + 8 jam dari pengamatan pertama, kelompok kontrol tersebut diberi perlakuan (dijadikan kelompok perlakuan) sebagai berikut : memeriksa dan mencatat indeks plak awal kemudian dilakukan penyikatan gigi dan dilanjutkan dengan kumur-kumur menggunakan larutan hexetidine 0,1%. Setelah 4 jam diperiksa dan dicatat indeks plak akhir. 2 HASIL PENELITIAN Pencatatan indeks plak yang dilakukan pada awal pemeriksaan sebelum dilakukan penyikatan gigi dan 4 jam setelah kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% pada kelompok perlakuan dan larutan saline steril pada kelompok kontrol, menunjukkan penurunan rerata sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Uji t Independen selisih data antara perlakuan dengan kontrol (0-4 jam) Perlakuan Kontrol N 30 30 Rerata 1,7357 0,6080 SD 0,68727 0,30873 F p 10,61 0,000 Dari tabel 1 didapatkan nilai p= 0,000 (p<0,05), maka antara kelompok perlakuan yang berkumur larutan hexetidine 0,1% dengan kelompok kontrol yang berkumur larutan saline steril setelah 4 jam, dalam penurunan indeks plak terdapat perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% mempengaruhi penurunan akumulasi plak. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan kumurkumur larutan hexetidine 0,1% dan kelompok kontrol dengan kumur-kumur larutan saline steril menunjukkan penurunan akumulasi plak dengan perbedaan penurunan yang bermakna. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sharma dkk (2003), yang menyatakan bahwa setelah kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% menunjukkan penghambatan dan penurunan plak supragingiva dengan jumlah pengurangan sebesar 33,5%. Hasil penelitian juga menunjukkan penurunan akumulasi plak baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol, hal tersebut disebabkan karena pada kedua kelompok dilakukan penyikatan gigi dan kumur-kumur. Penyikatan gigi merupakan metode pengontrolan plak secara mekanis. Prosedur menyikat gigi dengan benar dapat mengangkat plak supragingiva dengan sempurna, sedangkan plak subgingiva yang dapat terbuang hanya dari kedalaman beberapa millimeter saja. Efektifitas penyikatan gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu cara menyikat gigi, waktu menyikat gigi, desain dan ukuran sikat gigi.9 Meskipun pembersihan secara mekanis menggunakan sikat dan pasta gigi masih merupakan cara yang efektif dalam menghambat pembentukan plak bakteri, namun cara tersebut sangat memerlukan ketaatan dan ketelatenan. Tidak jarang hasil yang maksimal tidak tercapai apabila pembersihan semata-mata dilakukan dengan cara mekanis. Hal tersebut mendorong penggunaan obat kumur untuk menunjang proses pembersihan secara mekanis tersebut.10 Obat kumur dikatakan efektif untuk menjaga keadaan rongga mulut agar tetap sehat karena obat kumur memiliki kemampuan untuk menyusup ke area subginggiva sampai beberapa millimeter dan melakukan mekanisme pembersihan yang bertujuan untuk menghambat kolonisasi mikroorganisme patogen pada daerah ini. Karena alasan inilah obat kumur hingga saat ini masih dianggap sebagai salah satu metode yang efektif dan efesien untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut.10 Pada kelompok perlakuan yang berkumur larutan hexetidine 0,1%, terdapat penurunan akumulasi plak yang lebih besar daripada kelompok kontrol yang berkumur larutan saline steril, dengan perbedaan penurunan akumulasi plak yang bermakna. Perbedaan penurunan akumulasi plak yang bermakna tersebut disebabkan karena pada kelompok perlakuan dilakukan kumur-kumur dengan bahan kimia yang bersifat anti plak yaitu larutan hexetidine 0,1%. Bahan kimia bersifat anti plak yang terkandung dalam obat kumur berfungsi untuk mencegah perlekatan bakteri, menghambat pertumbuhan bakteri, atau bahkan menyingkirkan plak bakteri.11 Larutan hexetidine 0,1% merupakan suatu antiseptik yang dapat membunuh bakteri dalam plak dan mencegah pembentukannya dan dapat membunuh jamur yang terdapat dalam rongga mulut yang efektif dalam pengurangan peradangan dan infeksi serta bau mulut tak sedap pada rongga mulut.5 Larutan hexetidine 0,1% berkhasiat antibakteri dan antiprotozoa serta bermanfaat untuk bakteri gram positif dan negatif. Hexetidine 0,1% dapat mengikat protein dari mukosa mulut sehingga memperpanjang efek antibakterinya. Ikatan protein ini akan menghambat metabolisme bakteri yang ada di permukaan mukosa.12 Kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% memiliki pengaruh yang baik terhadap penurunan akumulasi plak DAFTAR PUSTAKA 1. Forest JO. Pencegahan Penyakit Mulut (Preventive Dentistry); Lilian Yuwono (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1998. 3 2. Natamiharja L dan Dewi O. Efektifitas penyingkiran plak antara sikat gigi berserabut posisi lurus dan silang (exeed) pada murid kelas V sekolah dasar. Dentika Dental Jurnal 2002; 7 (1): 6-10. 3. Sharma NC, Galustians J, Aqish J, Charles CH, Vincent JW, McGuire JA Antiplaque and antigingivitis effectivenes of Hexetidine. Journal of Periodontology 2003; 30 (7):590. 4. Wirayuni KA Plak Kontrol, J. Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2003; 1(1): 17-22. 5. Netdoctor 2004, Agustus 7-last update, Oraldine, [online]. Available from: http://www.netdoctor.co.uk/medicines/100001942.html Acessed November 11, 2004. 6. Johan EMC. Efek berkumur larutan Heksetidin 0,1% sebelum pencabutan gigi terhadap terjadinya bakterimia setelah pencabutan gigi. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti; 15(42): 125-30. 7. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2002. 8. Carranza FA. Classification of Periodontal Diseases. In: Carranza. Glickman’s Clinical Periodontology, 7ed. Philadelphia: W.B Saunders Co, 1990. 9. Pasaribu A. Pengantar Statistik. Medan: Penerbit Ghali Indinesia. 1981. 10. Daliemunthe SH. Obat kumur dan kesehatan periodonsium, Majalah Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara 1998; Jan (4): 17-23. 11. Mustaqimah, D.N. 2003, Gingiva yang mudah berdarah dan pengelolaannya, J Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, vol.10, no.1, hlm. 50-56. 12. Zulkarnaen. Obat kumur sebelum penyikatan: suatu cara pemeliharaan kebersihan mulut. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara 1997; Juli (3): 32-5. 4 Bakteri penyebab penyakit periodontal Haris Nasutianto Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstrak Penyakit periodontal merupakan perlanjutan dari gingivitis. Perubahan gingivitis menjadi periodontitis dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu: respon imun host dan mikroflora spesifik dalam biofilm plak gigi. Mikroflora spesifik yang diduga menjadi penyebab utama adalah Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans dan Bacteroides forsythus. Liposakarida (LPS) bakteri tersebut akan mengaktivasi terbentuknya IL-1, TNF-, PGE-2, MMP dan OPG-L yang akan menyebabkan resorpsi tulang dan degradasi jaringan ikat kolagen. Pengobatan yang paling penting adalah dengan pembersihan biofilm dengan disertai pemberian antibiotika. Antibiotika yang direkomendasikan saat ini adalah Klindamisin Kata kunci: Periodontitis, Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Bacteroides forsythus Korespondensi: Haris Nasutianto, Bagian Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278 Pendahuluan Penyakit periodontal adalah penyakit yang paling umum di dunia dan penyebab utama kehilangan gigi pada orang dewasa. Periodontitis adalah suatu infeksi kronis yang secara perlahan menyerang dan merusak gingiva dan tulang penyangga gigi.Diperkirakan paling sedikit 75 % dari populasi orang dewasa Amerika menderita penyakit ini. Selain itu penyakit ini juga menyerang 1/3 anak-anak umur 6-11 tahun dan 2/3 remaja. Penyakit periodontal ditandai dengan adanya poket gingiva yang lebih dari 3 mm.1 Periodontitis disebabkan lebih dari 200 spesies bakteri. Faktor penyebab yang bertanggungjawab pada penyakit periodontal tidak diketahui dengan pasti. Bakteri-bakteri tersebut membentuk plak, yang melekat pada permukaan gigi dan gusi. Bakteri–bakteri tersebut memetabolisme karbohidrat yang menghasilkan sekresi asam, enzim dan iritan gingiva serta perusak tulang.1 Patogenesis Penyakit Periodontal Penyakit periodontal termasuk infeksi oportunistik. Bakteri selalu ada dalam lingkungan jaringan periodontal karena tidak mungkin untuk mengeliminasi bakteri dari rongga mulut. Bilamana beberapa spesies tertentu yang lebih virulen meningkat jumlahnya, kemungkinan kerusakan periodontal dapat terjadi.2 Bakteri yang paling awal berkoloni dipermukaan akar adalah Streptococcus gordoni dan Actinomyces naeslundii. Kadang-kadang ditemukan spesies Fusobacterium bersama dengan Streptococcus. Bakteri menyebabkan destruksi jaringan secara tidak langsung yaitu dengan mengaktifkan berbagai komponen sistem pertahanan tubuh. Berbagai bakteri di dalam sulkus gingiva melakukan mekanisme menghindari dan memanipulasi pertahanan host. Ekosistem bakteri menjadi kompleks, sedangkan host mengeluarkan berbagai molekul seperti antibodi, sitokin dan mediator-mediator lain untuk menggatasi bakteri. Epitel sulkus dan epitel penghubung merupakan barier efektif terhadap invasi bakteri dan metabolitnya. Keadaan kronis ini akan melemah dengan adanya pengaruh seperti merokok, genetika dan sebagainya.3 Gingivitis dapat berlangsung stabil untuk bertahun-tahun tanpa progres menjadi periodontitis. Gingivitis adalah penyakit yang reversibel dan hingga kini belum banyak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status gingivitis kronis menjadi periodontitis destruktif. Diperkirakan ada dua hal yang berperan, yaitu respon imun hospes dan mikroflora spesifik dalam plak gigi. Porphyromonas gingivalis, Actibacillus actinomycetemcomitans dan beberapa spirochaete telah dinyatakan sebagai organisme yang penting dan bermakna, meningkatnya titer antibodi serum memperkuat hal tersebut.4 Bakteri dan substansinya, terutama lipolisakarida (LPS), akan melintasi junctional epithel dan poket untuk selanjutnya menuju ke jaringan ikat dan pembuluh darah. LPS berinteraksi dengan monosit jaringan dan makrofag untuk mengaktivasi sel untuk mensintesis sejumlah besar Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor- 1 α (TNF-α), Prostaglandin E2 (PGE2) dan Matrix Metalloproteinase (MMP). PGE2, IL-1 dan TNF-α akan menyebabkan resorpsi tulang, sedangkan MMP menyebabkan degradasi jaringan ikat kolagen.5 Bakteri Penyebab Terdapat dua pendapat tentang bakteri penyebab penyakit periodontal, yaitu campuran bakteri nonspesifik dalam plak gigi, dan mikroflora spesifik yang bertanggungjawab pada perkembangan penyakit periodontal . Hipotesis tentang mikroba spesifik sebagai penyebab mendapat dukungan dari hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa Porphyromonas gingivalis (Bacteroides gingivalis) adalah bakteri predominan yang diisolasi dari penyakit periodontal pada manusia. Selanjutnya Actinobacillus actinomycetem-comitans juga banyak ditemukan pada periodontitis pada orang dewasa dan juvenile periodontitis.6 Bakteri spesifik yang diduga terlibat pada penyakit periodontal seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Jenis bakteri penyebab dan penyakit periodontal.4 BAKTERI Actinomyces viscosus Beberapa streptococci Porphyromonas gingivalis Haemophilus sp. Campylobacter rectus Fusobacteria Sp. Selenomonas sputigena Eikenella corrodens Intermediate Spirochetes Fusobacteria Prevotella intermedia Capnocytophaga Sp. Actinobacillus actinomycetemcomitans PENYAKIT PERIODONTAL Adult gingivitis Adult periodontitis Rapidly progressive adult periodontitis Acute necrotizing ulcerative periodontitis Acute necrotizing ulcerative periodontitis Pregnancy gingivitis Juvenile diabetes Neutropenia Immunocompromised Localized juvenile periodontitis Komunitas bakteri-plak merupakan biofilm yang mengandung bermacam-macam bakteri, berinteraksi secara fisik yang disebut dengan koaggregasi dan koadhesi. Koloni awal pada permukaan gigi terutama adalah Streptococci dan actinomyces dan interaksi diantara mereka serta substratnya membantu mempertahankan komunitas awal biofilm. Fusobacteria mempunyai peran utama sebagai jembatan fisik untuk media koagregasi sel dan sebagai jembatan fisiologis yang melindungi mikroenvironmen anaerob, sehingga dapat melindung koagregat strict anerob dari lingkungan aerob.7 Kadar oksigen pada krevise gingiva relatif sedikit. Phorphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedius dapat bertahan hidup pada oksigen level 8%, sedangkan Spirochete hidup pada level oksigen di bawah 0,5 %.4 Organisme gram negatif diduga penting dalam perkembangan penyakit periodontal. Bakteri patogen spesifik yang paling utama sebagai penyebab penyakit periodontal adalah Porphyromonas gingivalis dan Bacteroides forsythus8 serta Actinobacillus actinomycetemcomitans.5 Selain itu, spesies Prevotella intermedius, Capnocytophaga dan spirochaete juga telah terbukti berperan dalam penyakit ini. Dinding sel mikroflora gram negatif berisi lipopolisakarida (LPS) dan mikroflora Gram positif mempunyai asam lipoteikhoik, dekstran atau levan yang mungkin bertanggungjawab terhadap berbagai macam fungsi imunologik.6 Pemeriksaan terhadap perlekatan bakteri pada epitel krevikular pada penderita dengan periodontitis, menunjukkan porsi 5–20 kali lebih besar dari Phorphyromonas gingivalis dan intermedius. Perlekatan pada epitel krevikular dapat ditingkatkan oleh beberapa protease atau neraminase yang dihasilkan oleh bakteri atau oleh reaksi keradangan hospes.6 Respon imun spesifik diawali oleh sel dendrit yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) untuk menstimulasi sel-T. Porphyromonas gingivalis adalah salah satu dari sekian banyak bakteri yang dapat mensensitisasi dan mengaktifkan sel dendrit.1,9 Bila sel dendrit diaktivasi dan mempresentasikan peptida bakteri, ia akan menuju ke lymphnode terdekat untuk mengaktivasi sel-T. Sumber utama kerusakan tulang ditunjukkan dengan adanya CD4+ sel-T dan sitokin yang dihasilkannya. Stimulasi CD4+ sel-T oleh bakteri (misalnya Actinobacillus actimycetemcomitans) akan meningkatkan produksi ligan osteoprotegrin (OPG-L) yang merupakan modulator kunci untuk osteoclastogenesis dan aktivasi osteoklas.10 2 Porphyromonas gingivalis cysteine proteinase (gingipains) adalah faktor virulen yang juga dihubungkan dengan keparahan penyakit periodontal. Gingipain dapat menyebabkan hidrolisa IL-12 sehingga menjadi inaktif. Gingipain ini memecah IL-12 dalam regio terminal COOH pada rantai subunit p40 dan p35. Inaktivasi IL-12 menyebabkan pembentukan Th1 terganggu dan mempengaruhi produksi TNF-. Akibatnya keseimbangan Th1Th2 terganggu.11 Beberapa faktor virulen yang berhubungan dengan Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus dan Actinobacillus actinomycetem- comitans seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Faktor-faktor virulen Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis), Bacteroides forsythus (B.forsythus) dan Actinobacillus actinomycetemcomitans (Aa).5 Faktor P. gingivalis Epiteliotoksin + Fibroblast growth inhibitor + Endotoxicty Lemah LPS-induce bone resorption + Faktor bone resorption yang lain + Volatile sulfur compounds + Butyric dan propionic acid + Indole + Ammonia + Collagenase + Protease ke Immunoglobulin & komplemen + Leukotoksin GroEL-like protein ? Sialidase + Keterangan : + : ada; - : Tidak ada ; kosong : Tidak diketahui B.forsythus + ? + A.a + + Kuat + + ? - + + + Terapi Antimikroba Beberapa bakteri patogen penyebab penyakit periodontal resisten terhadap aktivitas serum bakterisidal (tidak terbunuh oleh substansi antimikroba pada serum misalnya komplek perusakan membran oleh komplemen, platelet-derived -lysin, protein fase akut dan lisosim). Bakteri- bakteri tersebut antara lain Actinobacillus actinomycetemcomitans, beberapa strain Porphyromonas gingivalis dan Capnocytophaga.4 Konsep terapi antimikroba pada penyakit periodontal memperhatikan faktor obat, mikroorganisme patogen serta faktor inangnya. Penggunaan terapi antimikroba secara sitemik didasarkan atas perkiraan bahwa konsetrasi bahan antimikroba pada poket periodontal, mampu untuk membunuh bakteri spesifik yang dianggap sebagai penyebab penyakit periodontal tersebut. Melalui serum, pemberian secara sistemik dapat mencapai mikroorganisme di dasar poket periodontal yang dalam, dan area perbatasan selain itu dapat mempengaruhi organisme yang berada di epitel gingiva dan jaringan penyanggah.3 Beberapa antimikroba yang sering digunakan di klinik antara lain tetrasiklin, doxycicline, metronidazole, amoxicillin, spiramisin, clindamycin dan minocycline (tabel 3). Tabel 3. Antimikroba pada pengobatan periodontitis.3 Diagnosa Adult Periodontitis Refractory periodontitis Localized Juvenile periodontitis Bahan antimikroba Tetrasiklin Metronidazole Metronidazole + Amoxicillin Spiramisin Doxycycline Doxycycline dilanjutkan Metronidazole Metronidazole Metronidazole + Amoxicillin Clindamycin Amoxicillin + Clavulanate Tetrasiklin Doxycycline Minocycline Metronidazole Metronidazole + Amoxicillin 3 Pembahasan Dewasa ini resistensi antibiotika pada bakteri periodontal cenderung meningkat, terutama strain Prevotella dan Porphyromonas spp yang memproduksi beta-lactamase. Gen resisten ini diduga dibawa oleh elemen genetik yang motile transposons. Resistensi tersebut terutama terhadap tetrasiklin dan eritromisin.12 Bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans dilaporkan resisten terhadap metronidazole. Sebagai pilihan sebaiknya digunakan kombinasi metronidazole dan amoxicillin, pristinamycin serta ciprofloxacin12. Prevotella spp., Porphyromonas spp., dan Fusobacterium spp. dilaporkan sensitif pada clindamycin dan metronidazole. Karena itu, saat ini direkomendasikan pemberian clindamycin untuk pengobatan infeksi periodontal dan infeksi odontogen lainnya.13 Meskipun demikian, biofilm bakteri masih dapat resisten pada mekanisme pertahanan tubuh serta pada antibiotika sitemik dan lokal. Oleh karena itu, tetap diperlukan pembersihan biofilm. Pembersihan biofilm ini akan meningkatkan efektifitas pertahanan tubuh dan efek antibiotika.5 Beberapa bakteri spesifik akan mengakibatkan penyakit periodontal dan mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Bakteri spesifik tersebut terutama adalah Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus dan Actinobacillus actinomycetemcomitans. Selain peran bakteri spesifik tersebut, perjalanan penyakit juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Bakteri pada plak berfungsi sebagai biofilm dan relatif resisten terhadap mekanisme imun dari host atau kemoterapi. Bakteri tersebut segera melekat pada jaringan yang sehat dan yang terkena infeksi. Pengobatan yang paling penting dari penyakit periodontal adalah membersihkan biofilm secara mekanis. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Campbell M. Periodontal disease: the disease, the immune response, the clinical treatment. Available from: http://www.bio.davidson.edu/courses/ Accessed June 12, 2000. Ryan ME. Host modulation: Conceptualization to clinical trials and Integration into clinical practice. CDA Journal. Available from: http://www.cda.org/ Accessed July 12, 2002. Djais AA dan Sunarto H. Penelaah penggunaan antimikroba dan antiseptik pada terapi penyakit periodontal. JKGUI 2000; 7(3): 20-5. Miyasaki K. Periodontal immunology. Available from : http://www.dent.ucla.edu/ Accessed July 18, 2002. Wilton M. 2001. Aetiopathogenesis of Gingivitis & Periodontitis. Available from: http://www.uwcm.ac.uk/study/dentistry/ Accessed May 8, 2001. Lehner T. Immunologi pada penyakit mulut, Ratna-Farida dan Suryadhana (penterjemah). Cetakan I. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. 1995. Kolenbrander PE. Oral microbial communities: biofilms, interactions, and genetic systems. Annu Rev Microbiol 2000; 54: 413-37 Lo Bue AM, Nicoletti G, Toscano MA, Rosetti B, Cali G and Condorelli F. Porphyromonas gingivalis prevalence related to other micro-organisms in adult refractory periodontitis. New Microbiol 1999; 22(3): 209-18 Gemmel E, Carter CL, Grieco PB, Sugerman PB and Seymour GJ. P. Gingivalis-specific T-cell lines produce Th1 and Th2 Cytokines. J Dent Res 2002; 81(5): 303-7 Teng YT. Functional human T-cell immunity and osteoprotegrin lig and control alveolar bone destruction in periodontal infection. J Clin Invest 2000; 106 (6): 59-67. Yun PL, Decarlo AA, Collyer C and Hunter N. Hydrolysis of interleukin-12 by Porphyromonas gingivalis major cysteine proteinases may affect local gamma interferon accumulation and the Th 1 or Th 2 T-cell phenotype in periodontitis. Infect Immun 2001; 69(9): 5650-60. Madinier IM, Fosse TB, Hitzig C, Charbit Y and Hannoun LR. Resistance profile survey of 50 periodontal strains of Actinobacillus actinomycetemcomitans. J Periodontol 1999; 70 (8): 888-92. Eick S, Pfister W and Starube E. Antimicrobial susceptibility of anaerobic and capnophilic bacteria isolated from odontogenic abcesses and rapidly progressive periodontitis. Int J Antimicrob Agents 1999; 12 (1): 41-6. Khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva Maria Martina Nahak, Regina Tedjasulaksana, IGAA Dharmawati Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi Abstract Beluntas (Pluchea indica L.) is a plant used to stop body and mouth odor, to augment the desirable taste for eating, overcome stomach disturbances in children and cease rheumatic pain. The purpose of this survey is to know special quality of the beluntas leaves extract to reduce the number of the formed microbe in the mouth. To produce the porridge, wash cleanly the young and fresh of the beluntas leaves, slice in to refine texture and blend it. Then, macerated the porridge and make rotary evaporation to get the thick extract then continue with color testing. Perform the introductory test by using the pure extract to know the specific characteristic to reduce the number of microbe. Solvent the beluntas leaves extract into 10%, 20% and 30%. Then, every sample gathers one milliliter saliva into the sterile reaction tube and liquidates until 104. Make ready for every sample 4 pieces of Petridis, and put label: control, 10%, 20%, and 30%. In every Petridis fill it with 1 milliliter of liquidated saliva and add 1 milliliter of beluntas leaves extract according to the concentrated on the label. Add the nutrient gelatins and then bring it to incubation. The growth of the microbe is counted by using the colony counter. The color test result of the beluntas leaves extract indicated that the beluntas leaves contains an active subject matter, such as: phenol, flavonoid and triterpenoid. Based on t- test statistic analysis, beluntas leaves extract is known significantly reduce the number of microbe in saliva in every part of concentration. Meanwhile, the statistic examination result of one way anova indicated that the formation of microbe in the saliva in every part of concentration in average does not differ beneficially. Key Words: Beluntas leaves extract, microbe, saliva. Korespondensi: Maria Martina Nahak, Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi Jln P. Moyo Denpasar 80222, Bali. 1 PENDAHULUAN Obat tradisional yang paling klasik di Indonesia adalah jamu, yang kehadirannya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia dari berbagai kalangan bahkan telah mulai menjadi komoditi ekspor.1 Tanaman obat selain dimanfaatkan untuk berbagai penyakit sistemik yang sifatnya kronis, juga dimanfaatkan untuk mengobati bermacam-macam penyakit dan kelainan dalam rongga mulut.2 Beluntas (Pluchea indica L. atau biasa disebut juga Baccharis indica L.), adalah tanaman yang biasa ditanam sebagai pagar hidup atau pembatas tanah, dan mudah dijumpai di Indonesia. Umumnya tumbuh liar di daerah kering, pada tanah yang keras dan berbatu. Tumbuhan ini memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit naungan, dan banyak ditemukan di daerah pantai. Tipe dari tumbuhan ini adalah berupa perdu kecil, tumbuh tegak, dapat mencapai dua meter atau lebih dengan percabangan yang banyak. Daunnya bertangkai pendek, berwarna hijau terang, dan apabila diremas akan berbau khas aromatis dan rasanya getir. Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoida, tannin, minyak atsiri, asam cholorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Minyak atsiri biasanya mengandung beberapa turunan fenol seperti eugenol, kavikol, kavibetol, fenil propane dan sineol. Senyawa-senyawa turunan fenol ini mempunyai daya anti bakteri yang sangat kuat.3 Daun beluntas berkhasiat untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut, meningkatkan nafsu makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak-anak, mengobati TBC kelenjar (skrofuloderma), menghilangkan nyeri pada rematik, nyeri tulang sakit pinggang.3 Bau mulut atau biasa disebut dengan halitosis adalah nafas tak sedap yang berasal dari udara yang dikeluarkan oleh seseorang lewat mulut dan menurut studi dari para ahli di Amerika Serikat, 90%nya berasal dari rongga mulut yang disebabkan oleh senyawa sulfur yang mudah menguap yang disebut dengan Volatile Sulfur Compound (VSC). VSC terbentuk melalui reaksi 2 dari protein dengan bakteri-bakteri anaerob seperti stafilokokus, spirochaeta dan vibrio.4 Di dalam ronga mulut terdapat banyak sekali mikroorganisme yang hidup baik di oral mucosa, saliva dan permukaan gigi seseorang termasuk bakteri-bakteri anaerob yang menyebabkan bau mulut, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui apakah ekstrak daun beluntas mempunyai khasiat untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva? Bahan dan Metode Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan pre dan post test design. Bahan pemeriksaan adalah bubur daun beluntas yang dimaserasi dengan metanol proanalisis selama 24 jam kemudian dilakukan rotary evapourasi untuk mendapatkan ekstrak daun beluntas yang kental, kemudian dilakukan uji warna untuk mengetahui kandungan kimiawi daun beluntas. Selanjutnya dilakukan uji pendahuluan dengan menggunakan ekstrak murni daun beluntas untuk mengetahui khasiatnya untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva. Setelah diketahui bahwa ternyata ekstrak murni mampu menurunkan 70% bakteri pada saliva maka selanjutnya ekstrak murni diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 10%, 20% dan 30% untuk uji anti bakteri. Pada penelitian ini, 38 orang mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Denpasar yang memenuhi kriteria sampel, diminta untuk mengumpulkan saliva sebanyak satu mililiter (1 ml) dalam tabung reaksi steril, kemudian dilakukan deret pengenceran sebanyak 10. 4 Siapkan untuk masing-masing sampel 4, buah cawan petri yang diberi label kontrol, 10%, 20% dan 30%. Saliva yang telah diencerkan, diambil satu mililiter untuk dimasukkan ke dalam 4 buah cawan petri tadi yang telah berisi media kultur agar (NA), kemudian tambahkan juga ke dalam masing-masing cawan petri tadi 1 ml ekstrak daun beluntas sesuai dengan konsentrasi yang sudah ditentukan. Goyang secara simultan untuk mendapatkan pertumbuhan bakteri yang 3 merata. Inkubasi selama 24 jam pada temperatur 370C. Setelah masa inkubasi, lakukan penghitungan jumlah mikroba yang terbentuk dengan menggunakan coloni counter, kemudian hasilnya ditabulasi dan dianalisis. Hasil Kandungan kimiawi daun beluntas bervariasi tergantung daerah dimana tumbuhnya. Berdasarkan hasil uji warna yang telah dilakukan diketahui bahwa ekstrak daun beluntas mengandung zat aktif flavonoid, triterpenoid dan senyawa fenol tetapi tidak mengandung senyawa alkaloid. Jumlah mikroba yang terbentuk pada saliva responden terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Mikroba yang terbentuk pada saliva Ekstrak daun beluntas Rerata Simpang baku Kontrol 218,95 12,205 Konsentrasi 10% 210,74 11,942 Konsentrasi 20% 201,13 11,851 Konsentrasi 30% 186,74 11,955 Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun beluntas maka pembentukan mikroba pada saliva semakin menurun. Untuk mengetahui khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva pada tiap-tiap tingkatan konsentrasi maka dilakukan uji t. 4 Tabel 2. Khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva Ekstrak daun beluntas t Beda rerata p Kontrol 17,940 218,95 0,000 Konsentrasi 10% 17,647 210,74 0,000 Konsentrasi 20% 16,972 201,13 0,000 Konsentrasi 30% 15,620 186,74 0,000 Berdasarkan tabel 2 di atas, terlihat bahwa hasil uji t untuk mengetahui khasiat ekstrak daun baluntas untuk menurunkan bakteri pada saliva menunjukkan nilai yang signifikan pada tiap tingkatan konsentrasi dengan nilai p = 0,000 ( p < 0,05). Hasil uji Anova terhadap khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva terlihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3 Perbedaan Khasiat Ekstrak Daun Beluntas untuk Menurunkan Bakteri pada Saliva Ekstrak beluntas daun Between groups df F P 3 1,332 0,266 Within groups 148 Total 151 Berdasarkan tabel 3 di atas, akan didapatkan nilai F tabel = 2,67. Dengan demikian maka nilai F hitung ( F output) < nilai F tabel, dengan nilai p > 0,05. Pembahasan 5 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa ekstrak daun beluntas mengandung beberapa zat aktif yaitu senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid tetapi tidak mengandung senyawa alkaloid. Menurut Heyne (1987), senyawa fenol merupakan salah satu komponen kimiawi dari minyak atsiri yang mempunyai beberapa turunan seperti eugenol, kavikol, kavibetol, fenil propane dan sineol. Senyawa-senyawa turunan fenol ini mempunyai daya anti bakteri yang sangat kuat.5 Manitto (1981), menyatakan bahwa senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, juga mempunyai khasiat sebagai antibakteri dan antioksidan.6 Sedangkan Soetarno (1990), menyatakan bahwa Triterpenoid termasuk golongan senyawa terpen yang merupakan salah satu senyawa dari minyak atsiri, bersifat non polar (tidak larut dalam air) dan befungsi sebagai anti bakteri.7 Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Dalimartha (1999) yang mengatakan bahwa daun beluntas mengandung senyawa aktif senyawa aktif diantaranya senyawa fenol, flavonoid dan turunan minyak atsiri lainnya.3 Berdasarkan hasil analisis deskriptif didapatkan bahwa rata-rata pertumbuhan mikroba dalam saliva semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas. Penurunan rata-rata pertumbuhan mikroba terbanyak terlihat pada cawan petri dengan label konsentrasi 30%. Hasil analisis bivariat dengan t-test terhadap khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan bakteri pada saliva menunjukkan hasil yang signifikan pada tiap tingkatan konsentrasi dengan nilai p = 0,000. Hal ini berarti ekstrak daun beluntas dengan kandungan senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid berkhasiat untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva. Selanjutnya hasil analisis statistik dengan menggunakan One Way Anova menunjukkan bahwa statistik hitung ( angka F output ) = 1,332. Dengan nilai Numerator = 3 dan nilai 6 Denumerator = 148 maka angka statistik tabel (tabel F) = 2,67. Dengan demikian maka nilai F output < nilai F tabel. Hal ini berarti Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan rata-rata pembentukan mikroba pada saliva pada masing-masing cawan petri dengan label kontrol, 10%, 20% dan 30%. Selanjutnya dengan nilai probabilitas (nilai p) = 0,266 atau nilai p>0,05 berarti Ho diterima. Jadi, artinya rata-rata pembentukan mikroba pada saliva tidak berbeda secara bermakna pada setiap tingkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung zat aktif berupa senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid. Ketiga senyawa tersebut merupakan senyawa-senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri yang mempunyai daya antibakteri. Rata-rata pertumbuhan bakteri pada saliva semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas, dan rata-rata rata-rata penurunan jumlah bakteri yang terbentuk paling besar terlihat pada cawan petri dengan konsentrasi ekstrak daun beluntas 30%. Hasil analisis statistik dengan t-test dan One Way Anova menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas berkhasiat menurunkan jumlah bakteri pada saliva tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga jenis konsentrasi ekstrak daun beluntas. Tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan ini kemungkinan disebabkan oleh karena perbedaan konsentrasi antara yang satu dengan lainnya terlalu kecil. Meskipun ekstrak daun beluntas mempunyai daya anti bakteri, namun dalam penelitian ini tidak dapat dibuktikan jenis-jenis bakteri apa saja yang dapat dihambat pertumbuhannya. Oleh karena itu disarankan agar penelitian ini dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya dengan terlebih dahulu dilakukan isolasi terhadap bakteri penyebab bau mulut sehingga benar-benar dapat dibuktikan khasiat daun beluntas untuk menghilangkan bau mulut. Oleh karena dengan konsentrasi ekstrak daun beluntas 10%, 20% dan 30% tidak berbeda bermakna untuk menurunkan jumlah bakteri dalam mulut maka untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan perbedaan konsentrasi yang lebih besar. 7 DAFTAR PUSTAKA 1. Suriawiria U. Obat mujarab dari pekarangan rumah. Jakarta : Papas Sinar Sinanti; 2000. h.33-37 2. Sutardjo R M E. Pengobatan tradisional. Semarang: Aneka Ilmu;1999. h. 53- 56 3. Dalimartha S. Atlas tumbuhan obat Indonesia. jilid 1. Cetakan VIII. Jakarta : Trubus Agriwidya; 2005. h.18-21 4. Djaya A. Halitosis – nafas tak sedap. Jakarta : PT. Dental Lintas Mediatama. h. 5-19 5. Heyne K. Tumbuhan berguna Indonesia II, Jakarta : Badan Litbang Kehutanan; 1987. h. 25-28 6. Manitto P. Biosintesis produk alami. Koensoemardiyah (penerjemah). Semarang : IKIP Semarang Press; 1992. h. 287-292; 434-452 7. Soetarno S. Terpenoid. Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati-Institut Teknologi Bandung; 1990. h. 19-22. 8 Tindakan kedaruratan pada perawatan bedah mulut Hendri Poernomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Dalam menghadapi situasi kedaruratan dapat dua elemen penting yang harus diketahui yaitu pengetahuan dan ketrampilan tenaga medis serta ditunjang dengan peralatan dan perlengkapan medis untuk mencegah terjadinya kedaruratan yang lebih dikenal dengan emergency kit. Penanganan kedaruratan sangat penting dilakukan sedini mungkin baik sebelum operasi, saat operasi, dan setelah operasi. Emergency kit merupakan seperangkat alat kedaruratan yang harus disediakan untuk menangani kemungkinan terjadinya sinkop, syok anafilaktik dan perdarahan. Beberapa alat dan bahan yang biasanya terdapat dalam emergency kit adalah adrenalin, kortikosteroid, spuit 1cc dan tabung oksigen. Berhasil tidaknya penanganan kedaruratan tergantung dari kemampuan mengenal macam-macam keadaan kedaruratan, mengetahui penyebabnya dan bagaimana cara mengantisipasi penyebab kedaruratan serta efektifitas dan efisiensi tenaga medis dalam menanggulangi kedaruratan itu sendiri. Kata kunci : kedaruratan, sinkop, syok anafilaktik, emergency kit Korespondensi: Hendri Poernomo. Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7422079, Fax. (0361) 261278 PENDAHULUAN Keadaan kedaruratan dapat terjadi kapan saja dan dalam keadaan apapun, baik pada tindakan pencabutan sederhana maupun tindakan operatif di dalam rongga mulut tidak terkecuali pada tindakan odontektomy. Dalam menghadapi situasi kedaruratan terdapat dua elemen penting yang harus diketahui yaitu pengetahuan dan ketrampilan tenaga medis serta ditunjang dengan peralatan dan perlengkapan medis untuk mencegah terjadinya kedaruratan yang lebih dikenal dengan emergency kit. 1 Upaya pencegahan lain pada kedaruratan yang terpenting adalah mengetahui risiko dengan cara pemeriksaan riwayat kasus yang cermat, persiapan psikologis dan bimbingan pada pasien, premedikasi yang sesuai dengan ketepatan pemilihan bahan anastesi, perhitungan dosis maksimal yang diperbolehkan bagi individu serta teknik injeksi yang benar. Seperangkat alat dan bahan kedaruratan yang biasanya disediakan di klinik khususnya dibidang kedokteran gigi adalah kortikosteroid, adrenalin, spuit 1cc, tabung O2. Selain penyediaan emergency kit , penanggulangan terjadinya komplikasi pada saat intraoperatif, segera setelah operasi dan jauh sesudah operasi seperti : perdarahan, syok, sinkop, rasa sakit, oedema / pembengkakan harus benar-benar diperhatikan untuk pencegahan dan penanganan proses operasi.¹ Isi dari Kit : Kortikosteroid Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktifitas mineralokortikoitnya dan meningkatkan aktifitas antiinflamasinya, misalnya dexametasone yang mempunyai efek anti inflamasi 30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol.² Dexametason adalah derivate kortisol sintetis yang dikelompokkan dalam fluorkortikoida yang merupakan turunan fluor dari predinisolon dengan 1 atau 2 atom fluor pada C6 atau/dan C9 dalam posisi – alfa. Dexametason lebih kurang 6 kali lebih kuat dari kortisol. Zat ini menekan adrenal relative kuat maka resiko insufisiensi juga agak besar3. Gambar 1 2 Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan radang dan penyakit imunologik serta dapat digunakan juga pada penanganan kedaruratan. Fungsi utama dari kortikosteroid adalah memperlancar fungsi fisiologis, metabolik dalam tubuh, antiinflamasi, efek imunosupresif. Pada keadaan emergency kortikosteroid dipakai apabila adrenalin tidak potensial pada penanganan syok anafilaktik. Kortikosteroid juga dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, merelaksasi otot-otot bronkus dimana kortikosteroid yang biasa digukan adalah hidrokortison 100mg atau dexametasone 5-10 mg yang diberikan secara intravena sebagai terapi untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik, selain itu kortikosteroid dapat memperlancar suplai darah ke jantung sehingga kontraksi otot jantung menjadi normal.² Gambar 1 : Dexametasone dalam Ampul Adrenalin Adrenalin adalah nama dagang dari preparat “Epinefrin”. Adrenalin adalah zatzat yang dapat menimbulkan (sebagian) efek yang sama dengan stimulasi susunan saraf dan melepaskan nor adrenalin di ujung-ujung sarafnya. Adrenalin yang terkandung dalam anastesi lokal berfungsi untuk meningkatkan laju mula kerja, memperpanjang masa kerja dan mengurangi kemungkinan kadar anastesi dalam darah yang tinggi, sehingga dapat 3 menimbulkan reaksi toksik dan bertujuan untuk mengurangi terjadinya absorbsi obat sehingga aksi obat menjadi lebih lama dan mengurangi reaksi sistemik.4 Adrenalin merupakan stimulator yang kuat terhadap system saraf simpatik, dan merupakan vasokonstriktor yang dapat mengurangi aliran darah local. Adrenalin dapat meningkatkan tekanan darah, jika diberikan secara topikal dapat mengurangi perdarahan. Pada penanganan emergency, adrenalin sangat efektif untuk meningkatkan kekuatan otot jantung yang melemah akibat syok, meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan hantaran dari atrium ke ventrikel, merelaksasi otot polos pembuluh darah, mendilatasi pupil, merelaksasi otot bronkhus sehingga membebaskan jalan nafas bagian atas seperti pada mukosa hidung. 5 Adrenalin merupakan pilihan utama dalam penanganan anafilaktik syok karena efek yang dihasilkan cepat. Adrenalin diberikan secara intramuskuler bukan secara subkutan karena dengan intramuskuler efek vasokontriksi lokal adrenalin menjadi lebih cepat. Dosis yang diberikan 0,3 – 0,5 ml, dapat diulang setiap 5 – 10 menit sampai didapatkan tekanan sistol 90- 100 mmHg dan frekuensi jantung tidak melebihi 120x/menit (gambar 2). Pada keadaan syok yang berat dapat ditambahkan kortikosteroid yang berguna dapat mengurangi permeabilitas kapiler pembuluh darah dan menekan respon lebih lanjut terhadap antigen / antibodi. Adrenalin juga dapat mengontrol pendarahan berlebihan dari superfisial kulit dan mukosa yang diberikan secara topikal yang diteteskan pada kasa atau tampon6 4 Gambar 2 : Adrenalin dalam Ampul Spuit 1cc Spuit adalah alat yang digunakan untuk menginjeksikan adrenalin atau kortikosteroid. Gambar 3 : Spuit 1cc Tabung O2 Tabung oksigen berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk memompa udara ke dalam paru-paru dengan cara mengembalikan denyut nadi sehingga aktifitas respiratory 5 menjadi normal. Oksigen harus diberikan bila terdapat kontraksi berlebihan dari otot-otot respirasi. Meskipun tidak mungkin mencegah segalanya secara sempurna, insiden dan efeknya dapat dikurangi dengan latihan penanganan dan ketrampilan tenaga medis. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemeriksaan kecepatan pernafasan, volume dan karakteristik denyut nadi.7 Penggunaan tabung oksigen sangatlah penting terutama pada keadaan emergency Yaitu pada saat pasien mengalami kekurangan pasokan nafas dalam tubuh, misalnya pada saat pasien mengalami syok dan sinkop. Cara pengunaan tabung oksigen ini sangatlah penting untuk diketahui yaitu pemberian awalnya tergantung dari tekanan nafas dari pasien itu sendiri, misalnya pada keadaan syok biasanya diberikan tekanan sebesar 3-5 Ltr/mnt. 6 Gambar 4. Tabung Oksigen dan Regulator O2 Indikasi Pemakaian Emergency Kit Sinkop Sinkop adalah menurunnya kesadaran akibat berkurangnya aliran darah ke otak yang ditandai dengan : pasien merasakan pusing, lemah, mual, kulit pucat, dingin dan berkeringat. Kondisi ini dapat terjadi dengan tiba-tiba disertai dengan kehilangan kesadaran. Jika sinkop disebabkan oleh karena rasa takut dan rasa sakit, penderita dapat sadar dengan sendirinya tetapi jika disebabkan oleh reaksi alergi obat anastetikum harus ditanggulangi segera dengan cara baringkan pasien dengan posisi terlentang dimana kepala lebih rendah daripada kaki untuk memungkinkan suplay darah ke otak kembali normal, longgarkan pakaian dan ikat pinggang, beri bau-bauan yang merangsang, tetap menjaga komunikasi dengan pasien agar kesadarannya tetap terjaga. Penanganan dengan cara seperti diatas dirasakan cukup efektif untuk menangani sinkop. Jika kesadaran pasien tidak kembali mungkin bukan berasal dari sinkop sehingga terapi oksigenasi lazim dilakukan.7 Syok Anafilaktik Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan suplay oksigen ke jaringan berkurang, terjadi disharmoni jumlah darah dan luas 7 peredaran darah. Dalam keadaan emergency, denyut nadi jangan sampai melebihi 120x/menit. Jika hal tersebut terjadi dapat berarti syok dalam keadaan maksimal sehingga menyebabkan kematian. Syok dapat terjadi dalam massa beberapa detik atau beberapa menit sesudah pemberian antigen yang menyebabkan terjadinya kegagalan sirkulasi dan respirasi8. Syok biasanya terjadi setelah pemberian anastesi lokal maupun syok yang disebabkan oleh rasa sakit. Gejala syok dapat berupa pusing yang berlebih, sesak nafas, lemah, gelisah, hipotensi dengan sistolik dibawah 70mmHg, ortikaria. 6 Syok anafilaktik bisa dalam praktek kedokteran gigi. Syok ini terjadi akibat reaksi antigen dan antibodi atau reaksi hipersentivitas terhadap obat-obatan. Keadaan ini dapat menyebabkan permeabilitas dan dilatasi kapiler secara menyeluruh. Pada syok anafilaktik biasanya terjadi gangguan pada otot-otot bronkus sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi udara. Syok anafilaktik juga disebabkan oleh pemberian obat secara intravena. 6 Penanganan syok anafilaktik dapat dilakukan dengan penanggulangan antara lain: segera baringkan pasien dengan kaki berada lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, sehingga dapat memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah, resusitasi jantung (penilaian Airway, Breathing, Circulation support), segera berikan terapi adrenalin 0,3-0,5mg dengan pemberian 5-10 menit dengan tetap memperhatikan tekanan darah, pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison 100mg atau deksametasone 5-10mg. Tindakan resusitasi harus efektif dilakukan sampai sirkulasi udara pernafasan dan denyut jantung menjadi normal. 5 Perdarahan 8 Perdarahan adalah keluarnya darah yang tidak dapat berhenti sendiri tanpa sesuatu perawatan atau keluarnya darah karena suatu keadaan yang abnormal. Terapi perdarahan dilakukan dengan menekan tampon yang diberi adrenalin dan bila perlu dilakukan penjahitan. 6,9 SIMPULAN Penanganan kedaruratan sangat penting dilakukan sedini mungkin baik sebelum operasi, saat operasi, dan setelah operasi. Emergency kit merupakan seperangkat alat kedaruratan yang harus disediakan untuk menangani kemungkinan terjadinya sinkop, syok anafilaktik dan perdarahan. Beberapa alat dan bahan yang biasanya terdapat dalam emergency kit adalah adrenalin, kortikosteroid, spuit 1cc dan tabung oksigen. Berhasil tidaknya penanganan kedaruratan tergantung dari kemampuan mengenal macam-macam keadaan kedaruratan, mengetahui penyebabnya dan bagaimana cara mengantisipasi penyebab kedaruratan serta efektifitas dan efisiensi tenaga medis dalam menanggulangi kedaruratan itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA 1. Lewis,M.A.O, dan Lamey,P.J. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut, E.Wiriawan,drg, Jakarta(penterjemah): Widya Medika Penerbit Buku Kedokteran; 1998 2. Rifki,A.Z, Syok Dan Penanggulangannya [online]. Available http://www.tempo.co.id/medika/arsip/032001/sek-1.htm [17/08/2007] : 3. Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. Obat-obat Penting Khasiat,Penggunaan dan Efek-efek Sampingan, Edisi kelima,PT Gramedia,Jakarta,2002 4. Goth A,Medical Pharmacology, Ed.Ke-2, Mosby Co, Saint Louis, hal 363-371, 1974 5. Sutarman,N.P, Rama, J. Pengaruh Kortikosteroid Terhadap Sistem Imun (Homepage: Cermin Dunia Kedokteran), [online]. Available : 9 http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13 pengaruh pengaruhkortikosteroid 085.html [17/08/2007] 6. Syok Anafilaksis [Homepage: Syok Anafilaksis], http://puskesmaspalaran.wordpress.com./2006/11/05 [17/08/2007] kortikosteroid085.pdf/13 [Online] . Available : syok-anafilaksis 7. I Wayan Harsana,MS. Buku Obat-obat Otonom.Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteranan Universitas Udayana,2003 8. H. Tabrani Rab. Pengatasan Shock,EGC,Jakarta,1999 9. Howe,G.L., Pencabutan Gigi Geligi, Johan Arief Budiman (penterjemah), EGC, Jakarta, 1993 10 PENGARUH PERAWATAN ORTODONSI CEKAT TERHADAP GINGIVA Wiwekowati, Norman Hidajah dan I Dewa Gede Putra Utama Fakultas kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Penggunaan alat ortodonsi cekat akan menjumpai berbagai masalah khususnya dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Alat cekat yang menempel pada permukaan gigi menimbulkan kesulitan dalam menjaga kebersihannya sehingga cenderung terjadi penumpukan plak dan kalkulus pada gigi, terutama daerah di sekitar breket dan sepertiga mahkota gigi pada tepi gingiva. Selain karena plak dan kalkulus kelainan gingiva bisa disebabkan oleh kelebihan semen yang tidak dibersihkan dengan baik, pemasangan band yang tidak tepat dan gaya-gaya ortodonsi yang diaplikasikan terlalu besar dan terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah gingiva yang permanen. Namun hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan cara pemasangan alat yang benar dan peningkatan kebersihan rongga mulut oleh pasien selama pemakaian alat ortodonsi cekat. Kata Kunci : Perawatan Alat Ortodonsi Cekat, Pengaruh, Gingiva Korespondensi : Wiwekowati, Bagian Ortodonsia Fakultas kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. 261278 PENDAHULUAN Perawatan ortodonsi cekat bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-geligi yang tidak teratur seperti berdesakan, protrusi, retrusi, ektostema dan diastema. Perawatan ortodonsi tidak hanya untuk memperbaiki susunan gigi-geligi, tetapi dalam kasus tertentu dapat memperbaiki penampilan wajah seseorang. Penampilan wajah yang tidak baik dapat mempengaruhi psikologis seseorang terutama untuk mereka yang sering berhubungan dengan orang banyak.1 Perawatan dengan alat ortodonsi cekat semakin banyak diminati oleh masyarakat. Perawatan dengan alat ortodonsi cekat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kecanggihan dan kemampuan alat ortodonsi cekat telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam dekade terakhir ini. Alat ini dikembangkan agar menjadi lebih 1 ekonomis, efesien, aman dan dapat diterima oleh masyarakat. Bersamaan dengan perkembangan-perkembangan ini, berkembang juga kesadaran masyarakat untuk merawat giginya yang mengalami kelainan.2 Perawatan dengan alat ortodonsi cekat menggunakan komponen-komponen yang dapat memicu terjadinya trauma pada mukosa seperti gingiva terutama bagian-bagian yang terbuat dari logam seperti breket, kawat busur dan aksesori. Komponen breket, kawat busur dan aksesori saling berhubungan dan merupakan komponen utama dalam perawatan gigi dengan alat ortodonsi cekat. Bracket memberikan titik perlekatan pada mahkota gigi sehingga kawat busur dan aksesorinya dapat memperbaiki posisi gigi. Bracket menempel kuat pada gigi dengan perlekatan langsung atau dengan bantuan stainless steel band yang disemenkan dengan breket tersebut.3 Pada awal pemakaian alat ortodonsi cekat banyak pasien yang mengeluhkan dengan timbulnya peradangan pada rongga mulutnya. Kerusakan fisik pada mukosa dapat disebabkan oleh permukaan tajam seperti kawat busur atau tepi-tepi alat ortodonsi cekat yang tajam. Keadaan ini dapat diperparah oleh keadaan kebersihan rongga mulut yang tidak baik sehingga menye-babkan keradangan pada gingiva.4 Observasi yang dilakukan oleh ahli ortodonsi menyimpulkan bahwa sebagian besar pemakai alat ortodonsi cekat mengalami peradangan pada jaringan lunak pada gingiva pada awal perawatan ortodonsi cekat.5 GINGIVA 2 Gingiva adalah bagian mukosa mulut yang mengelilingi gigi dan menutupi ridge alveolar. Gingiva merupakan bagian dari jaringan pendukung gigi yang berfungsi untuk melindungi gigi-geligi dan jaringan dibawahnya dari sisa makanan dan bakteri. Gingiva sehat berwarna merah muda dengan tepi tajam sesuai dengan kontur gigigeligi. Warna gingiva bervariasi tergantung dari jumlah pigmen melanin pada epithelium, derajat keratinisasi epitelium dan vaskularisasi dari jaringan ikat dibawahnya. Vaskularisasi ini sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan gingiva dimana saat dilakukan perawatan ortodonsi adanya vaskularisasi yang baik akan membantu keberhasilan perawatan ortodonsi cekat tersebut. Pada bangsa Kaukasia pigmentasi umumnya minimal sehingga gingiva terlihat lebih muda, sedangkan pada bangsa Afrika dan Asia kandungan melaninnya lebih besar sehingga gingivanya terlihat berwarna lebih kecoklatan atau hitam kebiruan. Perubahan pigmentasi juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit pada gingiva. Gingiva dapat beradaptasi dengan adanya perubahan lingkungan rongga mulut dengan sistem pertahanan yang dimilikinya. Sulkus gingiva merupakan salah satu sistem pertahanan terhadap bakteri dan mikroorganisme lainnya. Melalui alirannya dan kandungan saliva seperti lisosim dan IgA, gingiva dapat mengendalikan jumlah mikroorganisme dalam rongga mulut. Pada perawatan ortodonsi sangat dianjurkan untuk selalu menjaga kesehatan gingiva dan rongga mulut agar perawatan ortodonsi berhasil dengan baik dan tidak menimbulkan masalah lain yang tidak diinginkan seperti penyakit periodontal.6 ALAT ORTODONSI CEKAT 3 Proffit (1993) menyatakan bahwa tujuan dari perawatan ortodonsi adalah untuk menghasilkan hubungan oklusal yang sebaik mungkin untuk memperbaiki estetika wajah dan menghasilkan hubungan oklusal yang stabil sehingga didapat penampilan dentofacial yang menyenangkan secara estetik dengan fungsi yang baik dan stabil. Perawatan ortodonsi tidak hanya untuk memperbaiki susunan gigi-geligi, tetapi dalam kasus tertentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap penampilan wajah seseorang terutama mereka yang sering berhubungan dengan orang banyak.7 Dewasa ini penggunaan alat ortodonsi cekat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama di kota-kota besar karena alat ini dapat memperbaiki posisi gigi yang lebih berat dengan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan dengan alat lepasan.4 Alat ortodonsi cekat merupakan alat yang langsung direkatkan pada gigi-geligi dan terdapat tekanan dari kawat busur atau auxiliary, melalui perlekatanya pada gigigeligi tersebut diperoleh kontrol yang tepat terhadap sifat dan arah tekanan yang dihasilkan.1 Alat ortodonsi cekat lebih kuat dan mekanismenya lebih rumit dari alat lepasan, sehingga pemasangan dan pelepasan alat ini memerlukan keahlian khusus dan hanya dapat dilakukan oleh dokter gigi spesialis ortodonsi yang sudah mempunyai ketrampilan khusus, dengan demikian pasien tidak dapat memasang dan melepas sendiri alat ini.1,4 Menurut Williams (2000) alat ortodonsi cekat terdiri dari tiga komponen dasar yaitu: Bracket. Fungsi bracket untuk menghasilkan tekanan yang terkontrol pada gigi. Bracket terbuat dari logam stainless steel, komposit, porselen dan yang terbaru dari emas 24 karat. Untuk keperluan estetik dapat digunakan komposit atau porselen yang sewarna 4 dengan gigi. Bracket memberikan titik perlekatan pada mahkota gigi-geligi, sehingga kawat busur dan asesorinya dapat mempengaruhi posisi gigi. Bracket harus ditempel dengan kuat pada gigi, baik dengan perekatan langsung dengan etsa asam atau dengan bantuan band baja tahan karat yang di las ke bracket. Terdapat beberapa desain bracket yang berbeda-beda berdasarkan prinsip dan fungsinya dalam merawat kelainan gigigeligi yaitu bracket edgewise yaitu bracket dengan alur kawat busur yang lebar dalam jurusan mesiodistal dan bracket Begg yaitu bracket dengan alur kawat busur yang sempit dalam jurusan mesiodistal. Kawat busur. Perawatan gigi berkaitan dengan pengaplikasian gaya yang diteruskan ke permukaan gigi. Gaya- gaya ini ditimbulkan oleh komponen-komponen aktif seperti kawat busur. Alat ini terbuat dari kawat stainless steel yang dipasang pada tengah-tengah bracket dengan ligature kawat, ring plastik atau pin. Kawat busur bersifat elastis sehingga dapat menimbulkan tekanan pada gigi-geligi. Suatu alat aktif seperti kawat busur dapat menghasilkan gaya dalam satu arah dan gaya lawan yang setara dalam arah yang berlawanan. Sifat kawat busur sangat tergantung dari diameter kawat, komposisi kawat, panjang dan bentuk bentangan antar bracket, lebar bracket dan gesekan antara kawat dan alur bracket.3 Auxiliary. Alat ini dipakai bersama dengan kawat busur untuk menggerakan gigi. Tekanan diberikan pada gigi melalui auxiliary spring atau elastic.1 Masalah yang terjadi akibat pemasangan alat ortodonsi cekat Pada awal pemakaian alat ortodonsi cekat, banyak pasien yang mengeluh dengan adanya peradangan pada rongga mulutnya. Kerusakan fisik pada mukosa mulutnya dapat 5 disebabkan oleh permukaan yang tajam dari busur kawat. Observasi yang dilakukan oleh ahli ortodonsi menyimpulkan bahwa sebagian besar pemakai alat ortodonsi cekat mengalami peradangan pada jaringan lunak pada awal perawatan ortodonsi dan gingivitis merupakan hal yang paling umum terjadi selama perawatan alat ortodonsi cekat.4. Kebersihan mulut yang tidak terjaga menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri yang terakumulasi pada rongga mulut, hal ini dapat berakibat pada peningkatan akumulasi plak pada permukaan gigi. Plak yang tidak dibersihkan dapat mengiritasi jaringan gingiva dibawahnya.6 Alat cekat yang menempel pada permukaan gigi menciptakan suatu daerah yang sulit dibersihkan sehingga cenderung terjadi penumpukan plak pada gigi. Jika hal ini dibiarkan selain dapat memicu terjadinya stomatitis juga dapat menyebabkan berbagai masalah periodontal seperti gingivitis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hollender dkk dan Hamp dkk, yang menemukan bahwa pemakaian alat cekat dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan pendukung periodontal. 3 Menurut Kloehm dan Pfeifer (1974 cit. Goldman dan Cohen 1980) bahwa alat ortodonsi cekat dapat menambah inflamasi pada gingiva dan akumulasi plak serta menyebabkan terjadinya hiperplasi pada jaringan lunak terutama pada daerah interproksimal. Namun kejadian ini bersifat reversible dan jaringan kembali normal dalam 4 bulan setelah alat cekat dilepas. Pada penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan adanya akumulasi plak disertai pendarahan pada gingivanya dan ada ketidakteraturan pada kedua gigi kaninus dan insisivus pada anak-anak pemakai alat ortodonsi cekat. 6 Pada beberapa kasus di klinik juga ditemukan terjadinya pembesaran pada gingiva yang terjadi pada seorang pasien perempuan berusia 16 tahun, pembesaran ini terjadi setelah pasien menggunakan alat ortodonti selama 6 bulan, meskipun sudah menggunakan sikat gigi khusus gusinya tetap meradang bahkan berdarah.8 Selain karena adanya akumulasi plak, gingivitis juga disebabkan oleh kesalahan operator dalam mendesain dan memasang alat cekat tersebut pada pasien. Kesalahan desain meliputi penggunaan kawat yang terlalu panjang, ujung kawat yang tidak dibulatkan dan pemakaian elastik yang kurang sempurna .4 Sedangkan pada saat pemasangan alat tersebut didalam mulut, kesalahan yang sering terjadi adalah kelebihan semen yang tidak dibersihkan dengan baik, pemasangan band yang tidak tepat dan gaya-gaya ortodonsi yang diaplikasikan terlalu besar dan terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah periodontal yang permanen.9 Jika tekanan yang diaplikasikan sangat besar dan dalam waktu yang lama, ligamen periodontal di daerah tekanan akan kekurangan pasokan darah dan bisa terjadi nekrosis dari ligamen periodontal yang disertai resopsi pada permukaan akar gigi sehingga cenderung menimbulkan rasa nyeri dan gigi menjadi sangat goyang.3 Kelainan gingiva akibat pemakaian alat ortodonsi cekat Perawatan dengan alat ortodonsi cekat banyak menggunakan komponenkomponen yang dapat menimbulkan trauma atau iritasi pada jaringan lunak rongga mulut. Kelainan tersebut bisa disebabkan oleh kesalahan operator dalam mendesain dan memasang alat cekat tersebut pada pasien. Kesalahan desain meliputi penggunaan kawat 7 yang terlalu panjang, ujung kawat yang tidak dibulatkan dan pemakaian elastik yang kurang sempurna .4 Sedangkan jika tekanan yang diaplikasikan sangat besar dan dalam waktu yang lama, ligamen periodontal di daerah tekanan akan kekurangan pasokan darah dan bisa terjadi nekrosis dari ligamen periodontal yang disertai resopsi pada permukaan akar gigi sehingga cenderung menimbulkan rasa nyeri dan gigi menjadi sangat goyang.3 Menurut Alexander (1986) kelainan gingiva bisa terjadi akibat kesalahan saat pemasangan alat tersebut didalam mulut, kesalahan yang sering terjadi adalah kelebihan semen yang tidak dibersihkan dengan baik, pemasangan band yang tidak tepat dan gayagaya ortodonsi yang diaplikasikan terlalu besar dapat menimbulkan masalah periodontal yang permanen. Sedangkan menurut Prayitno (2003) kelainan jaringan lunak terutama pada gingiva sering terjadi.8,9 Kelainan tersebut seperti gingivitis, resesi gingiva, gingiva berdarah, pembesaran gingiva, dan peradangan pada sulkus gingiva. Trauma dan peradangan yang terjadi pada gingiva lebih banyak disebabkan oleh karena kurangnya kebersihan rongga mulut selama memakai alat ortodonsi cekat sehingga memicu terjadinya pertumbuhan plak dan kalkulus di sekitar alat ortodnsi cekat tersebut. Hal ini menimbukan keluhan pada gingiva dimana gingiva mengalami pembesaran dan peradang serta mudah berdarah. Selain faktor kebersihan mulut yang kurang terjaga kelainan tersebut juga disebabkan oleh tekanan dari alat ortodonsi dan pemasangan alat yang kurang baik. Walaupun demikian perawatan lebih ditujukan untuk menghilangkan keradangan pada gingiva dengan melakukan pembersihan plak dan kalkulus dengan sempurna dan memberikan pendidikan 8 cara menjaga oral hygiene dengan baik pada pasien. Selain itu pasien juga diberikan obat kumur dan vitamin C untuk mempercepat proses penyembuhan.4 Hal ini juga diteliti oleh Olav Bondevik dkk yang menemukan bahwa sebanyak 77% pemakai alat ortodonsi cekat pernah mengalami lesi pada rongga mulutnya minimal satu kali yang disebabkan oleh trauma dari alat ortodonsi cekat yang dipakainya.4 Pencegahan Walupun sering ditemukan kasus kelainan pada gingiva akibat alat ortodonsi cekat namun hal ini dapat dicegah dengan cara sebagai berikut: Meningkatkan kebersihan gigi-geligi dan rongga mulut selama memakai alat ortodonsi cekat; untuk mencegah terjadinya akumulasi plak dan kalkulus di sekitar gigi dan alat ortodonsi cekat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan sikat gigi dengan teratur dengan sikat gigi interdental yang dapat menjangkau sela-sela breket dan interdental gigi. Sikat gigi yang bisa dipakai adalah sikat gigi interdental, dental floss atau water pik yaitu alat berupa semprotan air untuk membersihkan sela-sela gigi.10 Sebelum dilakukan perawatan, operator sebaiknya memperhatikan secara betul keadaan rongga mulut pasien, jika terdapat plak dan kalkulus dapat dilakukan scaling untuk membersihkan plak dan kalkulus tersebut.4 Pada saat perawatan, operator harus memperhatikan setiap tindakan yang dilakukan. Pemasangan kawat tidak boleh terlalu panjang dan ujung kawat yang tajam harus dibulatan. Kelebihan semen yang dapat memicu retensi plak dan kalkulus harus dibersihkan dan tekanan alat ortodonsi harus tepat dan tidak boleh berlebihan.9 Setelah perawatan pasien dianjurkan untuk mengontrol secara teratur perawatan alat ortodonsi yang telah dilakukan untuk melihat perkembangan perawatan dan keadaan 9 rongga mulut secara umum selama memakai alat ortodonsi cekat dan memberi instruksi kepada pasien tentang cara menjaga kebersihan mulut dirumah secara benar.8 Dari uraian di depan dapat disimpulkan bahwa kelainan gingiva yang sering terjadi selama pemakaian alat ortodonsi cekat adalah gingivitis, resesi gingiva, gingiva berdarah, pembesaran gingiva, dan peradangan pada sulkus gingiva. Pencegahannya adalah dengan meningkatkan kebersihan gigi dan rongga mulut secara teratur dan benar selama memakai alat ortodonsi cekat dan pemasangan alat ortodonsi cekat harus benar yaitu pemasangan kawat tidak boleh terlalu panjang, ujung kawat yang tajam harus dibulatan, kelebihan semen harus dibersihkan dan tekanan alat ortodonsi harus tepat dan tidak boleh berlebihan DAFTAR PUSTAKA 1. Houston,W.J.B.,1983, Diagnosis Ortodonsi, Penerjemah: Yuwono Lilian, Penerbit EGC, Jakarta, hal. 37-38,60-62, 136-141. 2. Williams, J.K, Cook, P.A., Isaacson, K.G., Thom., 2000, Alat-Alat Ortodonsi Cekat,Prinsip dan Praktik, Alih Bahasa : Budi Susetyo, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 1-5, 18-27. 3. Foster,T.D.,1999, Buku Ajar Ortodonsi, ed.ke-3, Alih bahasa: Yuwono Lilian,drg.,Penerbit EGC Penerbit buku kedokteran, Jakarta, hal. 240-251, 311-316. 4. Priandhini,D.,2003, Lesi-Lesi Dalam Mulut Akibat Pemakaian Alat Cekat Ortodontik, Dentika Dental Journal, vol.8(2), hal. 232-237. 5. Graber, T.M., 1985, Orthodontics Treatment And Practice, 3nd edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia, hal. 701-860. 6. Manson,J.D., Elley,B.M.,1993, Buku Ajar Periodonti, Alih bahasa : Anastasia,S., Penerbit Hipokrates, Jakarta, hal. 111-118, 146-161. 7. Profitt, W.R., 1993, Contemporary Orthodontics, 2nd Edition, CV. Mosby, St. Louis, hal. 3-11 8. Prayitno,S.W.,2003, Periodontologi Klinik Fondasi Kedokteran Gigi Masa Depan, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal. 82-88. 9. Alexander,R.G.Wick, 1986, Teknik Alexander Konsep dan Filosofi Kontemporer, alih bahasa : Budi Susetyo,drg., Penerbit EGC Penerbit buku kedokteran, Jakarta, hal. 297-299 10. Vanarsdall Robert L., 1985, Correction of Periodontal Problems Through Orthodontic Treatment, Quintessence Publising Co., Inc. Chicago, Berlin, London, Rio de Janeiro, Tokyo, hal. 127-141 10