Volatile sulfur compounds sebagai penyebab halitosis

advertisement
Volatile sulfur compounds sebagai penyebab halitosis
Yanuaris Widagdo, Kristina Suntya
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Halitosis is being a problem either for health aspect as well as for social life aspect. Irrespective of
the term is being use, halitosis pointed to the condotion of unrefresh mouth odor. Halitosis in mouth caused
by volatile sulfur compounds (VSCs)that produced by bacteria in mouth. Volatile sulfur compounds is an
unrefresh odor compound and so that caused unrefresh odor. This sulfur was formed by bacteria especiallt
anaerob bacteria that reacted with protein from mouth and then had broken to be amino acids. This amino
acids furthermore produced volatile sulfur compounds.
Kata kunci: Halitosis, VSCs
Korespondensi: Yanuaris Widagdo, Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361)7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Sebelumnya diduga bahwa nafas tak sedap (halitosis) berasal dari perut seperti lambung dan saluran
percernaan lain, tetapi sebenarnya halitosis hampir tidak pernah berasal dari saluran pencernaan termasuk
lambung, hal ini disebabkan karena oesophagus dalam keadaan normal mengalami kolaps sehingga
salurannya tertutup. Namun pada keadaan-keadaan tertentu seperti pada waktu muntah atau bersendawa,
udara dari lambung dapat keluar melalui mulut. Selain itu infeksi-infeksi pada oesophagus atau infeksiinfeksi pada saluran pencernaan yang lain dapat mengganggu kolapsnya dinding oesophagus atau
meningkatkan refleks sendawa, sehingga menyebabkan halitosis.1
Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya bau atau odor yang
tidak disukai sewaktu terhembus udara.2 Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, namun diduga
disebabkan dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga
mulut, yaitu hidrolisis protein oleh bakteri gram negatif.3,4 Kondisi mulut juga dapat memicu terjadinya bau
mulut yaitu kurangnya flow saliva, berhentinya aliran saliva, meningkatnya bakteri gram negatif anaerob,
meningkatnya jumlah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih bersifat alkali dan meningkatnya jumlah
sel-sel mati dan sel epitel nekrotik di dalam mulut.5
Diketemukannya Volatile Sulfur Compounds (VSCs) yang dianggap merupakan penyebab utama
halitosis, telah banyak menarik kalangan peneliti untuk melakukan studi mengenai hal-hal yang terkait
dengan hal ini. VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob dan bereaksi dengan
protein-protein yang ada di dalam mulut yang diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein,
sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa
mulut.1 VSCs merupakan senyawa sulfur yang mudah menguap, terbentuk oleh reaksi bakteri (terutama
bakteri anaerob) dengan protein yang akan dipecah menjadi asam amino. Terdapat tiga asam amino yang
menghasilkan VSCs yaitu Cysteine menghasilkan Hidrogen sulfida (H2S), Methionine menghasilkan Methil
mercaptan (CH3SH), dan Cystine menghasilkan Dimetil Sulfida (CH3SCH3).6
HALITOSIS
Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya bau atau odor yang
tidak disukai sewaktu terhembus udara, tanpa melihat apakah substansi odor berasal dari oral ataupun berasal
dari non-oral.2 Rongga mulut mempunyai peranan besar terhadap terjadinya halitosis (85%).7 Dalam rongga
mulut seseorang, terdapat substrat-substrat protein eksogen (sisa makanan) dan protein endogen (deskuamasi
epitel mulut, protein saliva dan darah) yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur (S).
Selain itu juga terdapat mikroorganisme baik gram positif maupun gram negatif, yang banyak terdapat pada
sel epitel mulut yang mengalami deskuamasi, pada plak gigi dan pada punggung lidah.8 Mikroorganisme
tersebut terutama gram negatif akan memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan menghasilkan asam
amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine dan cistine. Tempat predileksi proses
pembusukan dalam mulut adalah punggung lidah bagian posterior, diastema antar gigi belakang, karies besar,
plak gigi, poket dan lesi-lesi jaringan lunak.9
Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurangnya flow saliva, berhentinya
aliran saliva, meningkatnya bakteri gram negatif anaerob, meningkatnya jumkah protein makanan, pH rongga
mulut yang lebih bersifat alkali dan meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik didalam mulut. 5
Walaupun penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab yang diketahui berasal
dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut.3
Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan
serta pengaruh yang besar terhadap timbulnya halitosis pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah,
ruang interdental dan gigi geligi.
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal ini terjadi karena adanya
aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh
mikroorganisme, sehingga menghasilkan VSCs yang mudah menguap dan bertanggung jawab atas terjadinya
halitosis.1 Pembentukan VSCs dimungkinkan oleh suasana saliva yang alkali (pH basa), sebaliknya pada
suasana asam (pH rendah) pembentukan VSCs terhambat.10 Permukaan lidah terutama bagian posterior yang
sukar dijangkau dengan sikat (lapisan keputihan lidah) merupakan tempat yang ideal bagi pengumpulan sel
epitel mulut yang mengalami deskuamasi, sisa-sisa makanan, bakteri dan deposit dari poket periodontal
sehingga merupakan tempat utama aktivitas dan perkembangbiakan bakteri.9,11 Daerah-daerah di antara
papila-papila serta dasar lidah tersebut merupakan tempat yang paling disukai bakteri khususnya bakteri
anaerob.9,11 Ruang interdental merupakan tempat yang kondusif untuk aktifitas bakteri anaerob, karena ruang
tersebut merupakan tempat akumulasi plak dan kalkulus, serta terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan
terjadinya poket serta penyakit-penyakit gusi dan periodontal.1
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi dan memicu
terjadinya halitosis disebabkan bakteri gram negatif seperti veillonella, fusobacterium nucleatum dan
porphyromonas gingivalis tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang
bau.5 Tindakan penting untuk mengurangi halitosis adalah menghilangkan penyakit periodontal serta
mempertahankan kesehatan jaringan periodontal.4 Pada kasus gigi berlubang, sisa makanan akan terkumpul
di antara gigi dan menyebabkan timbulnya nanah sehingga timbul bau busuk. Gigi yang jarang disikat dapat
menyebabkan sisa makanan tertinggal di celah gigi dan akan meningkatkan perkembangbiakan bakteri
anaerob sebagai penyebab halitosis.12 Debris merupakan substansi yang ideal bagi bakteri anaerob untuk
menghasilkan gas yang bau.5
VOLATILE SULFUR COMPOUNDS ( VSCs )
Volatile sulfur compounds (VSCs) merupakan suatu senyawa sulfur yang mudah menguap, yang
merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa berbau tidak
sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang di sekitarnya.1,13
Volatile berarti vaporous (uap) dan effervescent (berbuih) yaitu dua kata yang secara mendetail
menjelaskan kemampuan VSCs dalam mengganggu aktifitas seseorang melalui bau yang dihasilkannya.14
Suatu penelitian menunjukkan bahwa bakteri dan asam amino mempunyai peranan penting pada proses
pembentukan Volatile sulfur compounds (VSCs).10 Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan
VSCs, yaitu: cysteine menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), methionine menghasilkan methil mercaptan
(CH3SH) dan cystine menghasilkan dimethil sulfida (CH3SCH3).6
Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan lidah dan dalam
kerongkongan. Bakteri tersebut secara normal ada disana karena bakteri tersebut membantu proses
pencernaan manusia dengan cara memecah protein.1 Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat
bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik
atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya. 15
Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau
proteolitik.1 Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang
menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya. Porphyromonas gingivalis dan provotella intermedia
(bentuk Bacteroides intermedius) secara normal terdapat dalam plak supragingival dan sangat efektif dalam
pembentukan halitosis. Demikian juga dengan bakteri anaerob pigmen hitam dan fusobacterium.10 Tongue
coating juga dipercaya sebagai salah satu daerah pembentuk VSCs pada manusia sehat. Tongue coating
terbentuk dari deskuamasi sel-sel epitel, sel darah dan bakteri. Lebih dari 100 bakteri terdapat dalam sel
epitel pada dorsum lidah, dimana hanya 25 bakteri yang melekat pada setiap sel pada rongga mulut. Karena
itu, tongue coating juga berperan dalam proses pembusukan sehingga dihasilkan VSCs.16
Protein merupakan sumber energi bagi bakteri yang bersifat asakarolitik.15 Protein dapat diperoleh
pada makanan tertentu seperti telur ayam, kubis, ikan, daging, susu dan lain-lain. Protein juga dapat diperoleh
pada sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari
mukosa mulut dan pada penyakit tertentu.14 Kemampuan memecah molekul protein dalam bahan pangan
terbatas hanya pada beberapa spesies mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik.17
2
Mikroorganisme terutama bakteri gram negatif akan memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan
asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine dan cystine.9 Bakteri anaerob bereaksi
dengan protein-protein yang ada dan akan dipecah menjadi asam-asam amino. Asam-asam amino tersebut
akan mengalami proses kimiawi (reduksi) yang selanjutnya akan menghasilkan volatile sulfur compounds,
yaitu: methil mercaptan (CH3SH), hidrogen sulfida (H2S) dan dimethil sulfida (CH3SCH3).1
Pemeriksaan tentang peranan berbagai asam amino dalam pembentukan bau mulut menunjukkan
bahwa sulfur yang terkandung dalam kelompok asam amino (cystine, cystein dan methionin) merupakan
penyebeb utama halitosis.10 Cystein dan methionin merupakan asam amino dengan rantai samping yang
mengandung unsur sulfur. Produk utama yang dihasilkan dari substrat tersebut adalah hidrogen sulfida dan
methil mercaptan (gambar 1).10
Cystine (-S-S)
Reduksi
Cysteine (-SH SH-)
Desulphydration
Deamination
Decarboxylation
H2S dan Serini
CH3SH
(Methyl-mercaptan)
Gambar 1. Reduksi Cystine menghasilkan VSCs (sumber: Waler, SM., 1992 cit Djaya 2000)
Cystine (-S-S) mengalami proses reduksi yaitu penambahan unsur hidrogen menjadi cysteine (-SH SH), dimana cysteine (-SH SH-) mengalami 2 proses pemecahan yaitu: 1) deamination dan decarboxylation dan
2) desulphydration. Deamination adalah proses pemecahan asam amino sedangkan decarboxylation adalah
proses pemecahan asam karboksilat sehingga menghasilkan Methyl-mercaptan (CH3SH). Cysteine (-SH SH-)
juga mengalami desulphydration yaitu proses pemecahan sulfat dan air sehingga menghasilkan Hidrogen
sulfida (H2S) dan Serini. Methionine (CH-S-) mengalami proses reduksi yaitu proses penambahan unsur
hidrogen sehingga menghasilkan CH3SH, dimana CH3SH mengalami proses reduksi kembali sehingga
menghasilkan H2S dan CH4 (gambar 2).
Methionine (CH-S-)
Reduksi
CH3 SH
Reduksi
H2S dan CH4
Gambar 2. Reduksi Methionine menghasilkan VSCs (sumber: Waler, SM., 1992 cit Djaya 2000)
Methil mercaptan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa dan menstimulasi
cytokinin yang berhubungan dengan terjadinya penyakit periodontal. Hidrogen sulfida
merupakan zat yang toksik yang berhubungan dengan terjadinya po yang dalam, inflamasi
gingiva, kerusakan ligamen periodontal, kerusakan perlekatan gingiva dan penyakitpenyakit gingiva.18
3
PEMBAHASAN
Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, namun demikian sebagian besar penyebab yang
diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal
rongga mulut yaitu melalui proses hidrolisis protein oleh bakteri gram negatif. 3,4
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya Halitosis, karena adanya aktivitas
pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh mikroorganisme.1
Nilai pH saliva (umumnya 6,5) juga menentukan pembentukan VSCs dan akan bertambah banyak bila
mengandung materi atau unsur lain. Kondisi ini menciptakan suasana dalam rongga mulut berubah menjadi
alkali dan menimbulkan bau busuk. Pertumbuhan bakteri gram negatif akan semakin meningkat bila nilai pH
> 7,2, sehingga memungkinkan terjadinya penguraian protein.19 Permukaan dorsum lidah yang kasar
merupakan tempat yang ideal bagi bakteri anaerob, dimana pada daerah tersebut banyak terdapat sisa-sisa
makanan dan sisa-sisa sel yang mati.3 Tongue Coating termasuk poket periodontal merupakan sumber utama
pembentukan VSCs pada pasien penyakit periodontal dan berperan penting dalam mempercepat
pembentukan VSCs. Pembuangan tongue coating dapat mengurangi VSCs.16
Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik yaitu menggunakan
karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan
protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya.15 Kebanyakan bakteri gram positif bersifat
sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik.1 Porphyromonas gingivalis sangat
efektif dalam pembentukan halitosis begitu juga dengan Provotella intermedia (bentuk Bacteroides
intermedius) secara normal terdapat dalam plak supragingival. Bakteri gram negatif merupakan penghuni
utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya Bakteri
anaerob pigmen hitam dan Fusobacterium juga aktif dalam menyebabkan halitosis.10
Bau mulut merupakan akibat dari proses pembusukan oleh bakteri, dimana bakteri oral bekerja pada
protein saliva untuk menghasilkan produk-produk compound. Proses pembusukan oleh bakteri dinyatakan
sebagai penyebab utama pembentukan halitosis.10 Perkembangbiakan bakteri anaerob yang hidup normal di
dalam rongga mulut secara berlebihan dan partikel makanan yang tersisa didalam rongga mulut menghasikan
sulfur yang berbau seperti telur busuk.20 Mikroorganisme terutama bakteri gram negatif akan memecah
substrat protein menjadi rantai peptida dan asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin, cysteine
dan cystine. Cystein dan methionin merupakan asam amino dengan rantai samping yang mengandung unsur
sulfur.9 Asam-asam amino tersebut akan mengalami proses kimiawi (reduksi) yang selanjutnya akan
menghasilkan Volatile sulfur compounds, yaitu: Methil mercaptan (CH3SH), Hidrogen sulfida (H2S) dan
Dimethil sulfida (CH3SCH3).1 Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan VSCs, yaitu: cysteine
menghasilkan Hidrogen sulfida (H2S), methionine menghasilkan Methil mercaptan (CH3SH) dan Cystine
menghasilkan Dimethil sulfida (CH3SCH3).6
Halitosis adalah bau mulut yang tidak sedap yang dapat disebabkan karena adanya volatile sulfur
compounds (VSCs). Volatile sulfur compounds adalah hasil produksi dari aktifitas bakteri anaerob di dalam
mulut yang menghasilkan senyawa berupa sulfur yang mudah menguap dan berbau tidak enak. Proses
terjadinya VSCs adalah diawali dengan pemecahan substrat protein dari sisa makanan oleh bakteri gram
negatif yang bersifat proteolitik menjadi rantai peptida dan asam amino seperti methionin, cysteine dan
cystine. Kemudian asam amino tersebut akan direduksi menjadi methil mercaptan, hidrogen sulfida dan
dimethil sulfida. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh masing-masing individu untuk mengurangi atau
mencegah halitosis adalah senantiasa menjaga kebersihan mulut.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Djaya. A Halitosis: Nafas Tak Sedap, 1ed. Jakarta: Dental Lintas Mediatama. 2000. 2-35.
Herawati D. Mengenali Halitosis Patologis Berdasarkan Lokasi Asal untuk Keberhasilan Perawatan
Mal-odor Oral. Majalah Ceramah Ilmiah FKG UGM Yogyakarta 2003; (3):118-21.
Wikipedia, from the Free Encyclopedia, 2006, Juli 24-last update, Halitosis [Homepage of Google.com],
[Online] Available from: http://en.wikipedia.org/ wiki/Halitosis Accesed November 17, 2006.
Mcdowell K, Denise K. Halitosis holistik. Majalah Kedokteran Gigi Dental Horison 2002; 3(7): 30-7.
Ravel, Daniel, 1-last update, Pediatric Dental Health [Homepage of dentalresource.com], [Online].
Available from: http://dentalresource. org/topic48halitosis.htm Accesed Desember 28, 2006.
Preti G, Lawley HJ, Hormann CA, Cowart BJ, Feldman RS, Lowry LD and Young IM. Non-Oral and
Oral Aspect of Oral Malodor, In: Rosenberg M, Bad Braeth Research Perspectives, 2ed. Israel: Ramot
Publishing-Tel Aviv University. 1997: 149-50.
Darwis EW. Jangan Biarkan Nafas Bau Menghambat Pergaulan. Jurnal PDGI 1997; 25(2): 12-4.
2
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Soeprapto H. Mencegah Bau Mulut Pemakai Gigi Tiruan dengan Mengkonsumsi Makanan Berserat.
Majalah Kedokteran Gigi 2003; 36(3): 95-7.
Ruslijanto H. Penelusuran Penyebab Halitosis, Diagnosis, dan Upaya Penanggulangannya. Majalah
Indonesia Kedokteran Gigi 2003; 85(52):81-7.
Kleinberg I dan Codipilly M. The Biological Basis of Oral Malodor Formation, In: Rosenberg M, Bad
Breath Research Perspectives. 2ed. Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997:13-24.
Khosla R. September 22 2006-last update, Bad Breath (Halitosis)
[Homepage of Dental
Pages_Dr.Rajiv], [Online] Available from: http://members.rediff.com/drkhosla/badbreath.html
Accessed Januari 2, 2007.
Jamaluddin NH. September 5, 2004-last update, Bau Mulut Bawa Masalah [Homepage of hmetro.
Current_news], [Online]. Available from: http://www.google.com.mycurrent_news/HM?Sunday
/kesehatan/indexs/htm. Accessed Februari 16, 2006.
Rosenberg M. Introduction. In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives, 2ed , Israel: Ramot
Publishing-Tel Aviv University. 1997: 8-9.
Katz H. Januari 5, 2007-last update, The Truth About Bad Breath & What the Symptoms Mean
[Homepage of TheraBreath.com], [Online]. Available from: http://www.therabreath.com/art
_badbreath.asp Accessed Januari 5, 2007.
Loesche WJ dan De Boeve EH. Strategies to Identify the Main Microbial Contributors to Oral Malodor.,
In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives, 2ed Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University.
1997: 41-8.
Yaegaki K. Oral Malodor and Periodontal Disease. In: Rosenberg M, Bad Breath Research Perspectives.
2ed. Israel: Ramot Publishing-Tel Aviv University. 1997: 102-3.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH dan Wootton M. Ilmu Pangan, Hari Purnamo (penterjemah) 2ed ,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1987: 25, 62, 70.
Denteme, from Alcorp of Kentucky, 2006, Desember-last update, Halitosis [Homepage of
BadBreath.com], [Online]. Available from: http://www.badbreath.htm. Accessed Desember 17, 2006.
CRI Online, from China Radio International, 2006, September 22-last update, Patologi dan Pencegahan
Halitosis [Homepage of CRI], [Online], [Online]. Available from: http;//www.Google.com. Accessed
Maret 21, 2007.
Rozanah. November 18, 2004-last update, Menghilangkan Bau Mulut [Homepage of Google.com],
[Online]. Available from: http://www.google.com. Accessed November 15, 2006.
3
Pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak
IGN Putra Dermawan, Yanuaris Widagdo, Indra Prihanjana
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Metode umum untuk mengontrol plak di dalam mulut adalah dengan cara mekanis yaitu menyikat gigi.
Karena hasil yang diperoleh tidak optimal, maka dikembangkan metode kimiawi berupa obat kumur yang
digunakan setelah penyikatan, salah satunya adalah Hexetidine 0,1%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak. Jumlah sampel adalah 30
orang, yang digunakan sebagai kelompok perlakuan dan sekaligus sebagai kelompok kontrol. Seluruh sampel
dilakukan pengukuran awal indeks plak dengan menggunakan Indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glick
Modification of the Quigley-Hein (1962), kemudian dilakukan penyikatan gigi dan kumur-kumur larutan saline
steril, 4 jam kemudian dilakukan pengukuran akhir indeks plak. Tahap berikutnya + 8 jam kemudian, sampel
yang sama dilakukan pengukuran awal Indeks plak, penyikatan gigi serta kumur-kumur larutan hexetidine 0,1%
dan 4 jam kemudian dilakukan pengukuran akhir indeks plak. Terdapat penurunan rerata akumulasi plak pada
kedua kelompok, yaitu pada kelompok perlakuan rerata penurunan sebesar 1,7357 atau lebih besar dari
kelompok kontrol dengan rerata 0,6080. Berdasarkan uji statistik independent t-test, didapatkan nilai p<0,05,
maka antara kelompok perlakuan yang berkumur larutan hexetidine 0,1% dengan kelompok kontrol yang
berkumur larutan saline steril setelah 4 jam, terdapat perbedaan yang bermakna dalam penurunan indeks plak.
Dapat dikatakan bahwa kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% memiliki pengaruh yang baik terhadap
penurunan akumulasi plak.
Kata kunci: Obat Kumur Hexetidine 0,1%, Akumulasi Plak
Korespondensi: IGN Putra Dermawan, Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11A Denpasar 80233, Bali, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278.
PENDAHULUAN
Penyakit gigi dan mulut adalah suatu penyakit yang tidak kalah pentingnya dengan penyakit lain yang
dapat mengganggu aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Karies dan penyakit periodontal
merupakan beberapa contoh dari kelainan rongga mulut yang disebabkan karena terdapatnya akumulasi plak pada
rongga mulut. Akhir-akhir ini mulai banyak penelitian yang mengaitkan antara karies dengan aksi
mikroorganisme pada plak erat dengan gigi. Organisme ini bekerja melalui produk sukrosa yang masuk ke dalam
plak setelah konsumsi karbohidrat dan membentuk asam pada pH tertentu, sehingga enamel mudah larut.1
Pendapat tersebut di atas diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Gigi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada penelitiannya didapatkan hasil bahwa prevalensi karies gigi dan
penyakit periodontal masih tinggi yaitu berkisar 70-80%, dan penyebab utama kedua penyakit tersebut adalah
plak.2
Secara klinis, plak sering melekat dan menumpuk pada permukaan gigi dan benda lain yang terdapat
dalam rongga mulut seperti tumpatan, geligi tiruan maupun kalkulus. Dalam bentuk lapisan tipis, plak pada
umumnya tidak terlihat dan dapat dilihat dengan bantuan disclosing agent. Bila plak sudah menumpuk berupa
lapisan yang tebal, plak terlihat sebagai deposit yang berwarna kekuningan atau keabu-abuan. Plak jarang
terbentuk pada permukaan oklusal gigi kecuali jika gigi tersebut tidak berfungsi sehingga dapat terbentuk deposit
yang luas sampai ke oklusal.3 Upaya untuk mengotrol keberadaan plak di dalam mulut pada umumnya dilakukan
dengan metode mekanis yaitu dengan menyikat gigi, meskipun pada kenyataanya prevalensi kelainan pada
rongga mulut masih tinggi. Hal ini terjadi karena aplikasi teknik dan alat bantu mekanis belum sempurna
terutama disebabkan karena penderita kurangnya edukasi dan motivasi.
Akhir-akhir ini dikembangkan tindakan pencegahan kelainan gigi dan mulut secara kimiawi berupa obat
kumur yang dipergunakan bersama-sama dengan metode mekanis.4 Berkumur merupakan salah satu cara untuk
membersihkan mulut. Pada saat berkumur sebaiknya dipilih suatu larutan atau obat kumur yang memiliki
spektrum luas dan cukup efektif dalam konsentrasi rendah dalam waktu yang singkat. Salah satu larutan yang
dapat dipilih sebagai mediator dalam berkumur adalah larutan hexetidine 0,1% yang merupakan suatu antiseptik
yang sering dipergunakan sebagai obat kumur di dalam mulut.4 Larutan tersebut memiliki kemampuan untuk
1
membunuh bakteri dan jamur, sehingga sering dipergunakan untuk mengatasi infeksi-infeksi yang sering terjadi
pada rongga mulut termasuk sariawan. Larutan hexetidine 0,1% dapat juga dipergunakan untuk mengatasi
berbagai kelainan-kelainan di dalam mulut yang dapat timbul akibat adanya peranserta bakteri dalam plak, seperti
kelainan yang mengenai gingiva (gingivitis), sakit pada kerongkongan, ulcer rekuren di dalam mulut dan pada
individu dengan keluhan bau nafas yang tidak sedap. Selain itu, penggunaan larutan tersebut juga diinstruksikan
pada pasien pre dan paskaoperasi di bidang kedokteran gigi.5 Hexetidine 0,1% merupakan salah satu larutan
kimia yang efektif untuk mengatasi kelainan-kelainan pada rongga mulut.6 Penelitian oleh Raymond (1958) yaitu
pada 145 pasien dengan berbagai kelainan seperti infeksi rongga mulut yang akut maupun kronis, radang gusi
serta peradangan yang timbul setelah operasi, menunjukkan adanya penyembuhan dari kelainan-kelainan
tersebut.6
Berdasarkan uraian dari beberapa paragraf di atas, maka dianggap perlu untuk meneliti pengaruh kumurkumur hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak, sebagai penunjang dari metode mekanis penyikatan
gigi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis (clinical trial) dengan rancangan eksperimental terhadap
manusia untuk mengamati pengaruh kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% terhadap penurunan akumulasi plak
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian dilakukan di ruang preklinik Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar pada tanggal 5-8 Januari 2005. Populasi penelitian adalah mahasiswa
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar angkatan 2001. Jumlah sampel 30 orang, dimana
30 orang tersebut digunakan sebagai kelompok perlakuan dan sekaligus sebagai kelompok kontrol. Sampel
diambil berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Kriteria inklusi yaitu mahasiswa Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar angkatan 2001 baik pria maupun wanita yang berumur 20-22 tahun;
tidak merokok; tidak memiliki penyakit sistemik; tidak sedang menjalani pengobatan atau menggunakan obatobatan; memiliki oral higiene (OH) baik; tidak terdapat penyakit mulut seperti periodontitis, gingivitis,
stomatitis; serta tidak terdapat karies yang parah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat
diagnostik (sonde, excavator, pinset, nerbeken, kaca mulut), sikat dan pasta gigi, gelas kumur, cotton pellet.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: disclosing agent, larutan hexetidine 0,1%, dan larutan saline
steril.
Sebelum pencatatan indeks plak, seluruh permukaan fasial gigi diulasi dengan disclosing agent.
Akumulasi plak dinilai dengan menggunakan indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glickman Modification of the
Quigley-Hein (1962), yaitu sebagai berikut: 0= tidak ada plak; 1= bercak-bercak plak, pada servical margin gigi;
2= selapis tipis plak, pada servical margin gigi (+ 1mm); 3= lapisan plak lebih dari 1mm, tidak lebih dari 1/3
permukaan gigi; 4= lapisan plak lebih dari 1/3 permukaan gigi, namun tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi; 5=
lapisan plak pada 2/3 atau lebih permukaan gigi.8
Gambar 1. Indeks plak oleh Turesky-Gilmore-Glickman Modification of the Quigley-Hein (1962)
Indeks plak diperoleh dengan menjumlahkan indeks plak pada tiap permukaan gigi bagian fasial yang
dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa. Setiap sampel pada kelompok kontrol dicatat indeks plak awal
kemudian dilakukan pembersihan gigi dengan cara menyikat gigi dan dilanjutkan dengan kumur-kumur
menggunakan larutan saline steril. Sampel diinstruksikan untuk tidak menyikat gigi selama 4 jam. Setelah 4 jam,
dilakukan pemeriksaan dan pencatatan indeks plak akhir. Setelah selang waktu + 8 jam dari pengamatan pertama,
kelompok kontrol tersebut diberi perlakuan (dijadikan kelompok perlakuan) sebagai berikut : memeriksa dan
mencatat indeks plak awal kemudian dilakukan penyikatan gigi dan dilanjutkan dengan kumur-kumur
menggunakan larutan hexetidine 0,1%. Setelah 4 jam diperiksa dan dicatat indeks plak akhir.
2
HASIL PENELITIAN
Pencatatan indeks plak yang dilakukan pada awal pemeriksaan sebelum dilakukan penyikatan gigi dan 4
jam setelah kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% pada kelompok perlakuan dan larutan saline steril pada
kelompok kontrol, menunjukkan penurunan rerata sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Uji t Independen selisih data antara perlakuan dengan kontrol (0-4 jam)
Perlakuan
Kontrol
N
30
30
Rerata
1,7357
0,6080
SD
0,68727
0,30873
F
p
10,61
0,000
Dari tabel 1 didapatkan nilai p= 0,000 (p<0,05), maka antara kelompok perlakuan yang berkumur
larutan hexetidine 0,1% dengan kelompok kontrol yang berkumur larutan saline steril setelah 4 jam, dalam
penurunan indeks plak terdapat perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa kumur-kumur
larutan hexetidine 0,1% mempengaruhi penurunan akumulasi plak.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan kumurkumur larutan hexetidine 0,1% dan kelompok kontrol dengan kumur-kumur larutan saline steril menunjukkan
penurunan akumulasi plak dengan perbedaan penurunan yang bermakna. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Sharma dkk (2003), yang menyatakan bahwa setelah kumur-kumur larutan hexetidine 0,1% menunjukkan
penghambatan dan penurunan plak supragingiva dengan jumlah pengurangan sebesar 33,5%.
Hasil penelitian juga menunjukkan penurunan akumulasi plak baik pada kelompok perlakuan maupun
pada kelompok kontrol, hal tersebut disebabkan karena pada kedua kelompok dilakukan penyikatan gigi dan
kumur-kumur. Penyikatan gigi merupakan metode pengontrolan plak secara mekanis. Prosedur menyikat gigi
dengan benar dapat mengangkat plak supragingiva dengan sempurna, sedangkan plak subgingiva yang dapat
terbuang hanya dari kedalaman beberapa millimeter saja. Efektifitas penyikatan gigi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu cara menyikat gigi, waktu menyikat gigi, desain dan ukuran sikat gigi.9 Meskipun pembersihan
secara mekanis menggunakan sikat dan pasta gigi masih merupakan cara yang efektif dalam menghambat
pembentukan plak bakteri, namun cara tersebut sangat memerlukan ketaatan dan ketelatenan. Tidak jarang hasil
yang maksimal tidak tercapai apabila pembersihan semata-mata dilakukan dengan cara mekanis. Hal tersebut
mendorong penggunaan obat kumur untuk menunjang proses pembersihan secara mekanis tersebut.10 Obat kumur
dikatakan efektif untuk menjaga keadaan rongga mulut agar tetap sehat karena obat kumur memiliki kemampuan
untuk menyusup ke area subginggiva sampai beberapa millimeter dan melakukan mekanisme pembersihan yang
bertujuan untuk menghambat kolonisasi mikroorganisme patogen pada daerah ini. Karena alasan inilah obat
kumur hingga saat ini masih dianggap sebagai salah satu metode yang efektif dan efesien untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut.10
Pada kelompok perlakuan yang berkumur larutan hexetidine 0,1%, terdapat penurunan akumulasi plak
yang lebih besar daripada kelompok kontrol yang berkumur larutan saline steril, dengan perbedaan penurunan
akumulasi plak yang bermakna. Perbedaan penurunan akumulasi plak yang bermakna tersebut disebabkan karena
pada kelompok perlakuan dilakukan kumur-kumur dengan bahan kimia yang bersifat anti plak yaitu larutan
hexetidine 0,1%. Bahan kimia bersifat anti plak yang terkandung dalam obat kumur berfungsi untuk mencegah
perlekatan bakteri, menghambat pertumbuhan bakteri, atau bahkan menyingkirkan plak bakteri.11
Larutan hexetidine 0,1% merupakan suatu antiseptik yang dapat membunuh bakteri dalam plak dan
mencegah pembentukannya dan dapat membunuh jamur yang terdapat dalam rongga mulut yang efektif dalam
pengurangan peradangan dan infeksi serta bau mulut tak sedap pada rongga mulut.5 Larutan hexetidine 0,1%
berkhasiat antibakteri dan antiprotozoa serta bermanfaat untuk bakteri gram positif dan negatif. Hexetidine 0,1%
dapat mengikat protein dari mukosa mulut sehingga memperpanjang efek antibakterinya. Ikatan protein ini akan
menghambat metabolisme bakteri yang ada di permukaan mukosa.12 Kumur-kumur larutan hexetidine 0,1%
memiliki pengaruh yang baik terhadap penurunan akumulasi plak
DAFTAR PUSTAKA
1. Forest JO. Pencegahan Penyakit Mulut (Preventive Dentistry); Lilian Yuwono (penterjemah). Jakarta:
Hipokrates. 1998.
3
2.
Natamiharja L dan Dewi O. Efektifitas penyingkiran plak antara sikat gigi berserabut posisi lurus dan silang
(exeed) pada murid kelas V sekolah dasar. Dentika Dental Jurnal 2002; 7 (1): 6-10.
3. Sharma NC, Galustians J, Aqish J, Charles CH, Vincent JW, McGuire JA Antiplaque and antigingivitis
effectivenes of Hexetidine. Journal of Periodontology 2003; 30 (7):590.
4. Wirayuni KA Plak Kontrol, J. Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2003; 1(1): 17-22.
5. Netdoctor
2004,
Agustus
7-last
update,
Oraldine,
[online].
Available
from:
http://www.netdoctor.co.uk/medicines/100001942.html Acessed November 11, 2004.
6. Johan EMC. Efek berkumur larutan Heksetidin 0,1% sebelum pencabutan gigi terhadap terjadinya
bakterimia setelah pencabutan gigi. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti; 15(42): 125-30.
7. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. 2002.
8. Carranza FA. Classification of Periodontal Diseases. In: Carranza. Glickman’s Clinical Periodontology, 7ed.
Philadelphia: W.B Saunders Co, 1990.
9. Pasaribu A. Pengantar Statistik. Medan: Penerbit Ghali Indinesia. 1981.
10. Daliemunthe SH. Obat kumur dan kesehatan periodonsium, Majalah Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara 1998; Jan (4): 17-23.
11. Mustaqimah, D.N. 2003, Gingiva yang mudah berdarah dan pengelolaannya, J Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia, vol.10, no.1, hlm. 50-56.
12. Zulkarnaen. Obat kumur sebelum penyikatan: suatu cara pemeliharaan kebersihan mulut. Majalah
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara 1997; Juli (3): 32-5.
4
Bakteri penyebab penyakit periodontal
Haris Nasutianto
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Penyakit periodontal merupakan perlanjutan dari gingivitis. Perubahan gingivitis menjadi periodontitis
dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu: respon imun host dan mikroflora spesifik dalam biofilm plak gigi. Mikroflora
spesifik yang diduga menjadi penyebab utama adalah Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus
actinomycetemcomitans dan Bacteroides forsythus. Liposakarida (LPS) bakteri tersebut akan mengaktivasi
terbentuknya IL-1, TNF-, PGE-2, MMP dan OPG-L yang akan menyebabkan resorpsi tulang dan degradasi
jaringan ikat kolagen. Pengobatan yang paling penting adalah dengan pembersihan biofilm dengan disertai
pemberian antibiotika. Antibiotika yang direkomendasikan saat ini adalah Klindamisin
Kata kunci: Periodontitis, Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Bacteroides
forsythus
Korespondensi: Haris Nasutianto, Bagian Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
Pendahuluan
Penyakit periodontal adalah penyakit yang paling umum di dunia dan penyebab utama kehilangan gigi
pada orang dewasa. Periodontitis adalah suatu infeksi kronis yang secara perlahan menyerang dan merusak
gingiva dan tulang penyangga gigi.Diperkirakan paling sedikit 75 % dari populasi orang dewasa Amerika
menderita penyakit ini. Selain itu penyakit ini juga menyerang 1/3 anak-anak umur 6-11 tahun dan 2/3 remaja.
Penyakit periodontal ditandai dengan adanya poket gingiva yang lebih dari 3 mm.1
Periodontitis disebabkan lebih dari 200 spesies bakteri. Faktor penyebab yang bertanggungjawab pada
penyakit periodontal tidak diketahui dengan pasti. Bakteri-bakteri tersebut membentuk plak, yang melekat pada
permukaan gigi dan gusi. Bakteri–bakteri tersebut memetabolisme karbohidrat yang menghasilkan sekresi asam,
enzim dan iritan gingiva serta perusak tulang.1
Patogenesis Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal termasuk infeksi oportunistik. Bakteri selalu ada dalam lingkungan jaringan
periodontal karena tidak mungkin untuk mengeliminasi bakteri dari rongga mulut. Bilamana beberapa spesies
tertentu yang lebih virulen meningkat jumlahnya, kemungkinan kerusakan periodontal dapat terjadi.2
Bakteri yang paling awal berkoloni dipermukaan akar adalah Streptococcus gordoni dan Actinomyces
naeslundii. Kadang-kadang ditemukan spesies Fusobacterium bersama dengan Streptococcus.
Bakteri menyebabkan destruksi jaringan secara tidak langsung yaitu dengan mengaktifkan berbagai
komponen sistem pertahanan tubuh. Berbagai bakteri di dalam sulkus gingiva melakukan mekanisme
menghindari dan memanipulasi pertahanan host. Ekosistem bakteri menjadi kompleks, sedangkan host
mengeluarkan berbagai molekul seperti antibodi, sitokin dan mediator-mediator lain untuk menggatasi bakteri.
Epitel sulkus dan epitel penghubung merupakan barier efektif terhadap invasi bakteri dan metabolitnya.
Keadaan kronis ini akan melemah dengan adanya pengaruh seperti merokok, genetika dan sebagainya.3
Gingivitis dapat berlangsung stabil untuk bertahun-tahun tanpa progres menjadi periodontitis. Gingivitis
adalah penyakit yang reversibel dan hingga kini belum banyak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan status gingivitis kronis menjadi periodontitis destruktif. Diperkirakan ada dua hal yang berperan, yaitu
respon imun hospes dan mikroflora spesifik dalam plak gigi. Porphyromonas gingivalis, Actibacillus
actinomycetemcomitans dan beberapa spirochaete telah dinyatakan sebagai organisme yang penting dan
bermakna, meningkatnya titer antibodi serum memperkuat hal tersebut.4
Bakteri dan substansinya, terutama lipolisakarida (LPS), akan melintasi junctional epithel dan poket
untuk selanjutnya menuju ke jaringan ikat dan pembuluh darah. LPS berinteraksi dengan monosit jaringan dan
makrofag untuk mengaktivasi sel untuk mensintesis sejumlah besar Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor-
1
α (TNF-α), Prostaglandin E2 (PGE2) dan Matrix Metalloproteinase (MMP). PGE2, IL-1 dan TNF-α akan
menyebabkan resorpsi tulang, sedangkan MMP menyebabkan degradasi jaringan ikat kolagen.5
Bakteri Penyebab
Terdapat dua pendapat tentang bakteri penyebab penyakit periodontal, yaitu campuran bakteri
nonspesifik dalam plak gigi, dan mikroflora spesifik yang bertanggungjawab pada perkembangan penyakit
periodontal .
Hipotesis tentang mikroba spesifik sebagai penyebab mendapat dukungan dari hasil beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa Porphyromonas gingivalis (Bacteroides gingivalis) adalah bakteri predominan yang
diisolasi dari penyakit periodontal pada manusia. Selanjutnya Actinobacillus actinomycetem-comitans juga
banyak ditemukan pada periodontitis pada orang dewasa dan juvenile periodontitis.6 Bakteri spesifik yang diduga
terlibat pada penyakit periodontal seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jenis bakteri penyebab dan penyakit periodontal.4
BAKTERI
Actinomyces viscosus
Beberapa streptococci
Porphyromonas gingivalis
Haemophilus sp.
Campylobacter rectus
Fusobacteria Sp.
Selenomonas sputigena
Eikenella corrodens
Intermediate Spirochetes
Fusobacteria
Prevotella intermedia
Capnocytophaga Sp.
Actinobacillus actinomycetemcomitans
PENYAKIT PERIODONTAL
Adult gingivitis
Adult periodontitis
Rapidly progressive adult periodontitis
Acute necrotizing ulcerative periodontitis
Acute necrotizing ulcerative periodontitis
Pregnancy gingivitis
Juvenile diabetes
Neutropenia
Immunocompromised
Localized juvenile periodontitis
Komunitas bakteri-plak merupakan biofilm yang mengandung bermacam-macam bakteri, berinteraksi
secara fisik yang disebut dengan koaggregasi dan koadhesi.
Koloni awal pada permukaan gigi terutama adalah Streptococci dan actinomyces dan interaksi diantara
mereka serta substratnya membantu mempertahankan komunitas awal biofilm. Fusobacteria mempunyai peran
utama sebagai jembatan fisik untuk media koagregasi sel dan sebagai jembatan fisiologis yang melindungi
mikroenvironmen anaerob, sehingga dapat melindung koagregat strict anerob dari lingkungan aerob.7 Kadar
oksigen pada krevise gingiva relatif sedikit. Phorphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedius dapat
bertahan hidup pada oksigen level 8%, sedangkan Spirochete hidup pada level oksigen di bawah 0,5 %.4
Organisme gram negatif diduga penting dalam perkembangan penyakit periodontal. Bakteri patogen
spesifik yang paling utama sebagai penyebab penyakit periodontal adalah Porphyromonas gingivalis dan
Bacteroides forsythus8 serta Actinobacillus actinomycetemcomitans.5 Selain itu, spesies Prevotella intermedius,
Capnocytophaga dan spirochaete juga telah terbukti berperan dalam penyakit ini.
Dinding sel mikroflora gram negatif berisi lipopolisakarida (LPS) dan mikroflora Gram positif
mempunyai asam lipoteikhoik, dekstran atau levan yang mungkin bertanggungjawab terhadap berbagai macam
fungsi imunologik.6
Pemeriksaan terhadap perlekatan bakteri pada epitel krevikular pada penderita dengan periodontitis,
menunjukkan porsi 5–20 kali lebih besar dari Phorphyromonas gingivalis dan intermedius. Perlekatan pada epitel
krevikular dapat ditingkatkan oleh beberapa protease atau neraminase yang dihasilkan oleh bakteri atau oleh
reaksi keradangan hospes.6
Respon imun spesifik diawali oleh sel dendrit yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC)
untuk menstimulasi sel-T. Porphyromonas gingivalis adalah salah satu dari sekian banyak bakteri yang dapat
mensensitisasi dan mengaktifkan sel dendrit.1,9 Bila sel dendrit diaktivasi dan mempresentasikan peptida bakteri,
ia akan menuju ke lymphnode terdekat untuk mengaktivasi sel-T.
Sumber utama kerusakan tulang ditunjukkan dengan adanya CD4+ sel-T dan sitokin yang
dihasilkannya. Stimulasi CD4+ sel-T oleh bakteri (misalnya Actinobacillus actimycetemcomitans) akan
meningkatkan produksi ligan osteoprotegrin (OPG-L) yang merupakan modulator kunci untuk osteoclastogenesis
dan aktivasi osteoklas.10
2
Porphyromonas gingivalis cysteine proteinase (gingipains) adalah faktor virulen yang juga dihubungkan
dengan keparahan penyakit periodontal. Gingipain dapat menyebabkan hidrolisa IL-12 sehingga menjadi inaktif.
Gingipain ini memecah IL-12 dalam regio terminal COOH pada rantai subunit p40 dan p35. Inaktivasi IL-12
menyebabkan pembentukan Th1 terganggu dan mempengaruhi produksi TNF-. Akibatnya keseimbangan Th1Th2 terganggu.11 Beberapa faktor virulen yang berhubungan dengan Porphyromonas gingivalis, Bacteroides
forsythus dan Actinobacillus actinomycetem- comitans seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Faktor-faktor virulen Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis), Bacteroides
forsythus (B.forsythus) dan Actinobacillus actinomycetemcomitans (Aa).5
Faktor
P. gingivalis
Epiteliotoksin
+
Fibroblast growth inhibitor
+
Endotoxicty
Lemah
LPS-induce bone resorption
+
Faktor bone resorption yang lain
+
Volatile sulfur compounds
+
Butyric dan propionic acid
+
Indole
+
Ammonia
+
Collagenase
+
Protease ke Immunoglobulin & komplemen
+
Leukotoksin
GroEL-like protein
?
Sialidase
+
Keterangan : + : ada; - : Tidak ada ; kosong : Tidak diketahui
B.forsythus
+
?
+
A.a
+
+
Kuat
+
+
?
-
+
+
+
Terapi Antimikroba
Beberapa bakteri patogen penyebab penyakit periodontal resisten terhadap aktivitas serum bakterisidal
(tidak terbunuh oleh substansi antimikroba pada serum misalnya komplek perusakan membran oleh komplemen,
platelet-derived -lysin, protein fase akut dan lisosim). Bakteri- bakteri tersebut antara lain Actinobacillus
actinomycetemcomitans, beberapa strain Porphyromonas gingivalis dan Capnocytophaga.4
Konsep terapi antimikroba pada penyakit periodontal memperhatikan faktor obat, mikroorganisme
patogen serta faktor inangnya. Penggunaan terapi antimikroba secara sitemik didasarkan atas perkiraan bahwa
konsetrasi bahan antimikroba pada poket periodontal, mampu untuk membunuh bakteri spesifik yang dianggap
sebagai penyebab penyakit periodontal tersebut. Melalui serum, pemberian secara sistemik dapat mencapai
mikroorganisme di dasar poket periodontal yang dalam, dan area perbatasan selain itu dapat mempengaruhi
organisme yang berada di epitel gingiva dan jaringan penyanggah.3
Beberapa antimikroba yang sering digunakan di klinik antara lain tetrasiklin, doxycicline,
metronidazole, amoxicillin, spiramisin, clindamycin dan minocycline (tabel 3).
Tabel 3. Antimikroba pada pengobatan periodontitis.3
Diagnosa
Adult Periodontitis
Refractory periodontitis
Localized Juvenile periodontitis
Bahan antimikroba
Tetrasiklin
Metronidazole
Metronidazole + Amoxicillin
Spiramisin
Doxycycline
Doxycycline dilanjutkan Metronidazole
Metronidazole
Metronidazole + Amoxicillin
Clindamycin
Amoxicillin + Clavulanate
Tetrasiklin
Doxycycline
Minocycline
Metronidazole
Metronidazole + Amoxicillin
3
Pembahasan
Dewasa ini resistensi antibiotika pada bakteri periodontal cenderung meningkat, terutama strain
Prevotella dan Porphyromonas spp yang memproduksi beta-lactamase. Gen resisten ini diduga dibawa oleh
elemen genetik yang motile transposons. Resistensi tersebut terutama terhadap tetrasiklin dan eritromisin.12
Bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans dilaporkan resisten terhadap metronidazole. Sebagai
pilihan sebaiknya digunakan kombinasi metronidazole dan amoxicillin, pristinamycin serta ciprofloxacin12.
Prevotella spp., Porphyromonas spp., dan Fusobacterium spp. dilaporkan sensitif pada clindamycin dan
metronidazole. Karena itu, saat ini direkomendasikan pemberian clindamycin untuk pengobatan infeksi
periodontal dan infeksi odontogen lainnya.13
Meskipun demikian, biofilm bakteri masih dapat resisten pada mekanisme pertahanan tubuh serta pada
antibiotika sitemik dan lokal. Oleh karena itu, tetap diperlukan pembersihan biofilm. Pembersihan biofilm ini
akan meningkatkan efektifitas pertahanan tubuh dan efek antibiotika.5
Beberapa bakteri spesifik akan mengakibatkan penyakit periodontal dan mempengaruhi perjalanan
penyakitnya. Bakteri spesifik tersebut terutama adalah Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus dan
Actinobacillus actinomycetemcomitans. Selain peran bakteri spesifik tersebut, perjalanan penyakit juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik.
Bakteri pada plak berfungsi sebagai biofilm dan relatif resisten terhadap mekanisme imun dari host atau
kemoterapi. Bakteri tersebut segera melekat pada jaringan yang sehat dan yang terkena infeksi. Pengobatan yang
paling penting dari penyakit periodontal adalah membersihkan biofilm secara mekanis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Campbell M. Periodontal disease: the disease, the immune response, the clinical treatment. Available from:
http://www.bio.davidson.edu/courses/ Accessed June 12, 2000.
Ryan ME. Host modulation: Conceptualization to clinical trials and Integration into clinical practice. CDA
Journal. Available from: http://www.cda.org/ Accessed July 12, 2002.
Djais AA dan Sunarto H. Penelaah penggunaan antimikroba dan antiseptik pada terapi penyakit periodontal.
JKGUI 2000; 7(3): 20-5.
Miyasaki K. Periodontal immunology. Available from : http://www.dent.ucla.edu/ Accessed July 18, 2002.
Wilton M. 2001. Aetiopathogenesis of Gingivitis & Periodontitis. Available from:
http://www.uwcm.ac.uk/study/dentistry/ Accessed May 8, 2001.
Lehner T. Immunologi pada penyakit mulut, Ratna-Farida dan Suryadhana (penterjemah). Cetakan I. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC. 1995.
Kolenbrander PE. Oral microbial communities: biofilms, interactions, and genetic systems. Annu Rev
Microbiol 2000; 54: 413-37
Lo Bue AM, Nicoletti G, Toscano MA, Rosetti B, Cali G and Condorelli F. Porphyromonas gingivalis
prevalence related to other micro-organisms in adult refractory periodontitis. New Microbiol 1999; 22(3):
209-18
Gemmel E, Carter CL, Grieco PB, Sugerman PB and Seymour GJ. P. Gingivalis-specific T-cell lines
produce Th1 and Th2 Cytokines. J Dent Res 2002; 81(5): 303-7
Teng YT. Functional human T-cell immunity and osteoprotegrin lig and control alveolar bone destruction in
periodontal infection. J Clin Invest 2000; 106 (6): 59-67.
Yun PL, Decarlo AA, Collyer C and Hunter N. Hydrolysis of interleukin-12 by Porphyromonas gingivalis
major cysteine proteinases may affect local gamma interferon accumulation and the Th 1 or Th 2 T-cell
phenotype in periodontitis. Infect Immun 2001; 69(9): 5650-60.
Madinier IM, Fosse TB, Hitzig C, Charbit Y and Hannoun LR. Resistance profile survey of 50 periodontal
strains of Actinobacillus actinomycetemcomitans. J Periodontol 1999; 70 (8): 888-92.
Eick S, Pfister W and Starube E. Antimicrobial susceptibility of anaerobic and capnophilic bacteria isolated
from odontogenic abcesses and rapidly progressive periodontitis. Int J Antimicrob Agents 1999; 12 (1): 41-6.
Khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada
saliva
Maria Martina Nahak, Regina Tedjasulaksana, IGAA Dharmawati
Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi
Abstract
Beluntas (Pluchea indica L.) is a plant used to stop body and mouth odor, to augment
the desirable taste for eating, overcome stomach disturbances in children and cease rheumatic
pain. The purpose of this survey is to know special quality of the beluntas leaves extract to
reduce the number of the formed microbe in the mouth. To produce the porridge, wash cleanly
the young and fresh of the beluntas leaves, slice in to refine texture and blend it. Then,
macerated the porridge and make rotary evaporation to get the thick extract then continue
with color testing. Perform the introductory test by using the pure extract to know the specific
characteristic to reduce the number of microbe. Solvent the beluntas leaves extract into 10%,
20% and 30%. Then, every sample gathers one milliliter saliva into the sterile reaction tube
and liquidates until 104. Make ready for every sample 4 pieces of Petridis, and put label:
control, 10%, 20%, and 30%. In every Petridis fill it with 1 milliliter of liquidated saliva and
add 1 milliliter of beluntas leaves extract according to the concentrated on the label. Add the
nutrient gelatins and then bring it to incubation. The growth of the microbe is counted by
using the colony counter. The color test result of the beluntas leaves extract indicated that the
beluntas leaves contains an active subject matter, such as: phenol, flavonoid and triterpenoid.
Based on t- test statistic analysis, beluntas leaves extract is known significantly reduce the
number of microbe in saliva in every part of concentration. Meanwhile, the statistic
examination result of one way anova indicated that the formation of microbe in the saliva in
every part of concentration in average does not differ beneficially.
Key Words: Beluntas leaves extract, microbe, saliva.
Korespondensi: Maria Martina Nahak, Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi
Jln P. Moyo Denpasar 80222, Bali.
1
PENDAHULUAN
Obat tradisional yang paling klasik di Indonesia adalah jamu, yang kehadirannya sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia dari
berbagai kalangan bahkan telah mulai menjadi komoditi ekspor.1 Tanaman obat selain
dimanfaatkan untuk berbagai penyakit sistemik yang sifatnya kronis, juga dimanfaatkan untuk
mengobati bermacam-macam penyakit dan kelainan dalam rongga mulut.2
Beluntas (Pluchea indica L. atau biasa disebut juga Baccharis indica L.), adalah tanaman
yang biasa ditanam sebagai pagar hidup atau pembatas tanah, dan mudah dijumpai di Indonesia.
Umumnya tumbuh liar di daerah kering, pada tanah yang keras dan berbatu. Tumbuhan ini
memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit naungan, dan banyak ditemukan di daerah
pantai. Tipe dari tumbuhan ini adalah berupa perdu kecil, tumbuh tegak, dapat mencapai dua
meter atau lebih dengan percabangan yang banyak. Daunnya bertangkai pendek, berwarna hijau
terang, dan apabila diremas akan berbau khas aromatis dan rasanya getir. Daun beluntas
mengandung alkaloid, flavonoida, tannin, minyak atsiri, asam cholorogenik, natrium, kalium,
aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Minyak atsiri biasanya mengandung beberapa
turunan fenol seperti eugenol, kavikol, kavibetol, fenil propane dan sineol. Senyawa-senyawa
turunan fenol ini mempunyai daya anti bakteri yang sangat kuat.3 Daun beluntas berkhasiat
untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut, meningkatkan nafsu makan, mengatasi
gangguan pencernaan pada anak-anak, mengobati TBC kelenjar (skrofuloderma), menghilangkan
nyeri pada rematik, nyeri tulang sakit pinggang.3
Bau mulut atau biasa disebut dengan halitosis adalah nafas tak sedap yang berasal dari
udara yang dikeluarkan oleh seseorang lewat mulut dan menurut studi dari para ahli di Amerika
Serikat, 90%nya berasal dari rongga mulut yang disebabkan oleh senyawa sulfur yang mudah
menguap yang disebut dengan Volatile Sulfur Compound (VSC). VSC terbentuk melalui reaksi
2
dari protein dengan bakteri-bakteri anaerob seperti stafilokokus, spirochaeta dan vibrio.4 Di
dalam ronga mulut terdapat banyak sekali mikroorganisme yang hidup baik di oral mucosa,
saliva dan permukaan gigi seseorang termasuk bakteri-bakteri anaerob yang menyebabkan bau
mulut, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui apakah ekstrak daun beluntas mempunyai
khasiat untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva?
Bahan dan Metode
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan pre dan post test design. Bahan
pemeriksaan adalah bubur daun beluntas yang dimaserasi dengan metanol proanalisis selama 24
jam kemudian dilakukan rotary evapourasi untuk mendapatkan ekstrak daun beluntas yang
kental, kemudian dilakukan uji warna untuk mengetahui kandungan kimiawi daun beluntas.
Selanjutnya dilakukan uji pendahuluan dengan menggunakan ekstrak murni daun beluntas untuk
mengetahui khasiatnya untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva. Setelah diketahui bahwa
ternyata ekstrak murni mampu menurunkan 70% bakteri pada saliva maka selanjutnya ekstrak
murni diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 10%, 20% dan 30%
untuk uji anti bakteri.
Pada penelitian ini, 38 orang mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan
Denpasar yang memenuhi kriteria sampel, diminta untuk mengumpulkan saliva sebanyak satu
mililiter (1 ml) dalam tabung reaksi steril, kemudian dilakukan deret pengenceran sebanyak 10. 4
Siapkan untuk masing-masing sampel 4, buah cawan petri yang diberi label kontrol, 10%, 20%
dan 30%. Saliva yang telah diencerkan, diambil satu mililiter untuk dimasukkan ke dalam 4
buah cawan petri tadi yang telah berisi media kultur agar (NA), kemudian tambahkan juga ke
dalam masing-masing cawan petri tadi 1 ml ekstrak daun beluntas sesuai dengan konsentrasi
yang sudah ditentukan. Goyang secara simultan untuk mendapatkan pertumbuhan bakteri yang
3
merata. Inkubasi selama 24 jam pada temperatur 370C. Setelah masa inkubasi, lakukan
penghitungan jumlah mikroba yang terbentuk dengan menggunakan coloni counter, kemudian
hasilnya ditabulasi dan dianalisis.
Hasil
Kandungan kimiawi daun beluntas bervariasi tergantung daerah dimana tumbuhnya.
Berdasarkan hasil uji warna yang telah dilakukan diketahui bahwa ekstrak daun beluntas
mengandung zat aktif flavonoid, triterpenoid dan senyawa fenol tetapi tidak mengandung
senyawa alkaloid. Jumlah mikroba yang terbentuk pada saliva responden terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Mikroba yang terbentuk pada saliva
Ekstrak daun beluntas
Rerata
Simpang baku
Kontrol
218,95
12,205
Konsentrasi 10%
210,74
11,942
Konsentrasi 20%
201,13
11,851
Konsentrasi 30%
186,74
11,955
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun beluntas maka
pembentukan mikroba pada saliva semakin menurun.
Untuk mengetahui khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada
saliva pada tiap-tiap tingkatan konsentrasi maka dilakukan uji t.
4
Tabel 2. Khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah bakteri pada saliva
Ekstrak daun beluntas
t
Beda rerata
p
Kontrol
17,940
218,95
0,000
Konsentrasi 10%
17,647
210,74
0,000
Konsentrasi 20%
16,972
201,13
0,000
Konsentrasi 30%
15,620
186,74
0,000
Berdasarkan tabel 2 di atas, terlihat bahwa hasil uji t untuk mengetahui khasiat ekstrak
daun baluntas untuk menurunkan bakteri pada saliva menunjukkan nilai yang signifikan pada tiap
tingkatan konsentrasi dengan nilai p = 0,000 ( p < 0,05).
Hasil uji Anova terhadap khasiat ekstrak daun beluntas untuk menurunkan jumlah
bakteri pada saliva terlihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3
Perbedaan Khasiat Ekstrak Daun Beluntas untuk Menurunkan Bakteri pada Saliva
Ekstrak
beluntas
daun Between groups
df
F
P
3
1,332
0,266
Within groups
148
Total
151
Berdasarkan tabel 3 di atas, akan didapatkan nilai F tabel = 2,67. Dengan demikian maka
nilai F hitung ( F output) < nilai F tabel, dengan nilai p > 0,05.
Pembahasan
5
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa ekstrak daun
beluntas mengandung beberapa zat aktif yaitu senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid tetapi
tidak mengandung senyawa alkaloid. Menurut Heyne (1987), senyawa fenol merupakan salah
satu komponen kimiawi dari minyak atsiri yang mempunyai beberapa turunan seperti eugenol,
kavikol, kavibetol, fenil propane dan sineol. Senyawa-senyawa turunan fenol ini mempunyai
daya anti bakteri yang sangat kuat.5 Manitto (1981), menyatakan bahwa senyawa flavonoid
adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, juga mempunyai khasiat
sebagai antibakteri dan antioksidan.6 Sedangkan Soetarno (1990), menyatakan bahwa
Triterpenoid termasuk golongan senyawa terpen yang merupakan salah satu senyawa dari minyak
atsiri, bersifat non polar (tidak larut dalam air) dan befungsi sebagai anti bakteri.7 Hasil penelitian
ini sesuai dengan pendapat Dalimartha (1999) yang mengatakan bahwa daun beluntas
mengandung senyawa aktif senyawa aktif diantaranya senyawa fenol, flavonoid dan turunan
minyak atsiri lainnya.3
Berdasarkan hasil analisis deskriptif didapatkan bahwa rata-rata pertumbuhan mikroba
dalam saliva semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas.
Penurunan rata-rata pertumbuhan mikroba terbanyak terlihat pada cawan petri dengan label
konsentrasi 30%. Hasil analisis bivariat dengan t-test terhadap khasiat ekstrak daun beluntas
untuk menurunkan bakteri pada saliva menunjukkan hasil yang signifikan pada tiap tingkatan
konsentrasi dengan nilai p = 0,000. Hal ini berarti ekstrak daun beluntas dengan kandungan
senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid berkhasiat untuk menurunkan jumlah bakteri pada
saliva.
Selanjutnya hasil analisis statistik dengan menggunakan One Way Anova menunjukkan
bahwa statistik hitung ( angka F output ) = 1,332. Dengan nilai Numerator = 3 dan nilai
6
Denumerator = 148 maka angka statistik tabel (tabel F) = 2,67. Dengan demikian maka nilai F
output < nilai F tabel. Hal ini berarti Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan rata-rata
pembentukan mikroba pada saliva pada masing-masing cawan petri dengan label kontrol, 10%,
20% dan 30%. Selanjutnya dengan nilai probabilitas (nilai p) = 0,266 atau nilai p>0,05 berarti
Ho diterima. Jadi, artinya rata-rata pembentukan mikroba pada saliva tidak berbeda secara
bermakna pada setiap tingkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ekstrak daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung zat aktif berupa
senyawa fenol, flavonoid dan triterpenoid. Ketiga senyawa tersebut merupakan senyawa-senyawa
yang terdapat dalam minyak atsiri yang mempunyai daya antibakteri. Rata-rata pertumbuhan
bakteri pada saliva semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun
beluntas, dan rata-rata rata-rata penurunan jumlah bakteri yang terbentuk paling besar terlihat
pada cawan petri dengan konsentrasi ekstrak daun beluntas 30%. Hasil analisis statistik dengan
t-test dan One Way Anova menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas berkhasiat menurunkan
jumlah bakteri pada saliva tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga jenis
konsentrasi ekstrak daun beluntas. Tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan ini kemungkinan
disebabkan oleh karena perbedaan konsentrasi antara yang satu dengan lainnya terlalu kecil.
Meskipun ekstrak daun beluntas mempunyai daya anti bakteri, namun dalam penelitian ini tidak
dapat dibuktikan jenis-jenis bakteri apa saja yang dapat dihambat pertumbuhannya. Oleh karena
itu disarankan agar penelitian ini dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya dengan terlebih dahulu
dilakukan isolasi terhadap bakteri penyebab bau mulut sehingga benar-benar dapat dibuktikan
khasiat daun beluntas untuk menghilangkan bau mulut.
Oleh karena dengan konsentrasi ekstrak daun beluntas 10%, 20% dan 30% tidak berbeda
bermakna untuk menurunkan jumlah bakteri dalam mulut maka untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk menggunakan perbedaan konsentrasi yang lebih besar.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. Suriawiria U. Obat mujarab dari pekarangan rumah. Jakarta : Papas Sinar Sinanti; 2000.
h.33-37
2. Sutardjo R M E. Pengobatan tradisional. Semarang: Aneka Ilmu;1999. h. 53- 56
3. Dalimartha S. Atlas tumbuhan obat Indonesia. jilid 1. Cetakan VIII. Jakarta : Trubus
Agriwidya; 2005. h.18-21
4. Djaya A. Halitosis – nafas tak sedap. Jakarta : PT. Dental Lintas Mediatama. h. 5-19
5. Heyne K. Tumbuhan berguna Indonesia II, Jakarta : Badan Litbang Kehutanan; 1987. h.
25-28
6. Manitto P. Biosintesis produk alami. Koensoemardiyah (penerjemah). Semarang : IKIP
Semarang Press; 1992. h. 287-292; 434-452
7. Soetarno S. Terpenoid. Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati-Institut Teknologi
Bandung; 1990. h. 19-22.
8
Tindakan kedaruratan pada perawatan bedah mulut
Hendri Poernomo
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Dalam menghadapi situasi kedaruratan dapat dua elemen penting yang harus
diketahui yaitu pengetahuan dan ketrampilan tenaga medis serta ditunjang dengan
peralatan dan perlengkapan medis untuk mencegah terjadinya kedaruratan yang lebih
dikenal dengan emergency kit. Penanganan kedaruratan sangat penting dilakukan sedini
mungkin baik sebelum operasi, saat operasi, dan setelah operasi. Emergency kit
merupakan seperangkat alat kedaruratan yang harus disediakan untuk menangani
kemungkinan terjadinya sinkop, syok anafilaktik dan perdarahan. Beberapa alat dan
bahan yang biasanya terdapat dalam emergency kit adalah adrenalin, kortikosteroid, spuit
1cc dan tabung oksigen.
Berhasil tidaknya penanganan kedaruratan tergantung dari kemampuan mengenal
macam-macam keadaan kedaruratan, mengetahui penyebabnya dan bagaimana cara
mengantisipasi penyebab kedaruratan serta efektifitas dan efisiensi tenaga medis dalam
menanggulangi kedaruratan itu sendiri.
Kata kunci : kedaruratan, sinkop, syok anafilaktik, emergency kit
Korespondensi: Hendri Poernomo. Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7422079,
Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Keadaan kedaruratan dapat terjadi kapan saja dan dalam keadaan apapun, baik
pada tindakan pencabutan sederhana maupun tindakan operatif di dalam rongga mulut
tidak terkecuali pada tindakan odontektomy. Dalam menghadapi situasi kedaruratan
terdapat dua elemen penting yang harus diketahui yaitu pengetahuan dan ketrampilan
tenaga medis serta ditunjang dengan peralatan dan perlengkapan medis untuk mencegah
terjadinya kedaruratan yang lebih dikenal dengan emergency kit.
1
Upaya pencegahan lain pada kedaruratan yang terpenting adalah mengetahui
risiko dengan cara pemeriksaan riwayat kasus yang cermat, persiapan psikologis dan
bimbingan pada pasien, premedikasi yang sesuai dengan ketepatan pemilihan bahan
anastesi, perhitungan dosis maksimal yang diperbolehkan bagi individu serta teknik
injeksi yang benar. Seperangkat alat dan bahan kedaruratan yang biasanya disediakan di
klinik khususnya dibidang kedokteran gigi adalah kortikosteroid, adrenalin, spuit 1cc,
tabung O2. Selain penyediaan emergency kit , penanggulangan terjadinya komplikasi pada
saat intraoperatif, segera setelah operasi dan jauh sesudah operasi seperti : perdarahan,
syok, sinkop, rasa sakit, oedema / pembengkakan harus benar-benar diperhatikan untuk
pencegahan dan penanganan proses operasi.¹
Isi dari Kit :
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini
dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi
tubuh. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk
mengurangi aktifitas mineralokortikoitnya dan meningkatkan aktifitas antiinflamasinya,
misalnya dexametasone yang mempunyai efek anti inflamasi 30 kali lebih kuat dan efek
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol.² Dexametason adalah derivate
kortisol sintetis yang dikelompokkan dalam fluorkortikoida yang merupakan turunan
fluor dari predinisolon dengan 1 atau 2 atom fluor pada C6 atau/dan C9 dalam posisi –
alfa. Dexametason lebih kurang 6 kali lebih kuat dari kortisol. Zat ini menekan adrenal
relative kuat maka resiko insufisiensi juga agak besar3. Gambar 1
2
Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan radang dan penyakit
imunologik serta dapat digunakan juga pada penanganan kedaruratan. Fungsi utama dari
kortikosteroid adalah memperlancar fungsi fisiologis, metabolik dalam tubuh,
antiinflamasi, efek imunosupresif. Pada keadaan emergency kortikosteroid dipakai
apabila adrenalin tidak potensial pada penanganan syok anafilaktik. Kortikosteroid juga
dapat
berfungsi
sebagai
antiinflamasi,
merelaksasi
otot-otot
bronkus
dimana
kortikosteroid yang biasa digukan adalah hidrokortison 100mg atau dexametasone 5-10
mg yang diberikan secara intravena sebagai terapi untuk mengatasi efek lanjut dari syok
anafilaktik, selain itu kortikosteroid dapat memperlancar suplai darah ke jantung
sehingga kontraksi otot jantung menjadi normal.²
Gambar 1 : Dexametasone dalam Ampul
Adrenalin
Adrenalin adalah nama dagang dari preparat “Epinefrin”. Adrenalin adalah zatzat yang dapat menimbulkan (sebagian) efek yang sama dengan stimulasi susunan saraf
dan melepaskan nor adrenalin di ujung-ujung sarafnya. Adrenalin yang terkandung dalam
anastesi lokal berfungsi untuk meningkatkan laju mula kerja, memperpanjang masa kerja
dan mengurangi kemungkinan kadar anastesi dalam darah yang tinggi, sehingga dapat
3
menimbulkan reaksi toksik dan bertujuan untuk mengurangi terjadinya absorbsi obat
sehingga aksi obat menjadi lebih lama dan mengurangi reaksi sistemik.4
Adrenalin merupakan stimulator yang kuat terhadap system saraf simpatik, dan
merupakan vasokonstriktor yang dapat mengurangi aliran darah local. Adrenalin dapat
meningkatkan tekanan darah, jika diberikan secara topikal dapat mengurangi perdarahan.
Pada penanganan emergency, adrenalin sangat efektif untuk meningkatkan kekuatan otot
jantung yang melemah akibat syok, meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan hantaran dari atrium ke ventrikel, merelaksasi otot polos pembuluh darah,
mendilatasi pupil, merelaksasi otot bronkhus sehingga membebaskan jalan nafas bagian
atas seperti pada mukosa hidung. 5
Adrenalin merupakan pilihan utama dalam penanganan anafilaktik syok karena
efek yang dihasilkan cepat. Adrenalin diberikan secara intramuskuler bukan secara
subkutan karena dengan intramuskuler efek vasokontriksi lokal adrenalin menjadi lebih
cepat. Dosis yang diberikan 0,3 – 0,5 ml, dapat diulang setiap 5 – 10 menit sampai
didapatkan tekanan sistol 90- 100 mmHg dan frekuensi jantung tidak melebihi
120x/menit (gambar 2). Pada keadaan syok yang berat dapat ditambahkan kortikosteroid
yang berguna dapat mengurangi permeabilitas kapiler pembuluh darah dan menekan
respon lebih lanjut terhadap antigen / antibodi. Adrenalin juga dapat mengontrol
pendarahan berlebihan dari superfisial kulit dan mukosa yang diberikan secara topikal
yang diteteskan pada kasa atau tampon6
4
Gambar 2 : Adrenalin dalam Ampul
Spuit 1cc
Spuit adalah alat yang digunakan untuk menginjeksikan adrenalin atau
kortikosteroid.
Gambar 3 : Spuit 1cc
Tabung O2
Tabung oksigen berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk memompa udara ke
dalam paru-paru dengan cara mengembalikan denyut nadi sehingga aktifitas respiratory
5
menjadi normal. Oksigen harus diberikan bila terdapat kontraksi berlebihan dari otot-otot
respirasi. Meskipun tidak mungkin mencegah segalanya secara sempurna, insiden dan
efeknya dapat dikurangi dengan latihan penanganan dan ketrampilan tenaga medis. Hal
lain yang harus diperhatikan adalah pemeriksaan kecepatan pernafasan, volume dan
karakteristik denyut nadi.7
Penggunaan tabung oksigen sangatlah penting terutama pada keadaan emergency
Yaitu pada saat pasien mengalami kekurangan pasokan nafas dalam tubuh, misalnya pada
saat pasien mengalami syok dan sinkop.
Cara pengunaan tabung oksigen ini sangatlah penting untuk diketahui yaitu
pemberian awalnya tergantung dari tekanan nafas dari pasien itu sendiri, misalnya pada
keadaan syok biasanya diberikan tekanan sebesar 3-5 Ltr/mnt.
6
Gambar 4. Tabung Oksigen dan Regulator O2
Indikasi Pemakaian Emergency Kit
Sinkop
Sinkop adalah menurunnya kesadaran akibat berkurangnya aliran darah ke otak
yang ditandai dengan : pasien merasakan pusing, lemah, mual, kulit pucat, dingin dan
berkeringat. Kondisi ini dapat terjadi dengan tiba-tiba disertai dengan kehilangan
kesadaran. Jika sinkop disebabkan oleh karena rasa takut dan rasa sakit, penderita dapat
sadar dengan sendirinya tetapi jika disebabkan oleh reaksi alergi obat anastetikum harus
ditanggulangi segera dengan cara baringkan pasien dengan posisi terlentang dimana
kepala lebih rendah daripada kaki untuk memungkinkan suplay darah ke otak kembali
normal, longgarkan pakaian dan ikat pinggang, beri bau-bauan yang merangsang, tetap
menjaga komunikasi dengan pasien agar kesadarannya tetap terjaga. Penanganan dengan
cara seperti diatas dirasakan cukup efektif untuk menangani sinkop. Jika kesadaran
pasien tidak kembali mungkin bukan berasal dari sinkop sehingga terapi oksigenasi lazim
dilakukan.7
Syok Anafilaktik
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan
suplay oksigen ke jaringan berkurang, terjadi disharmoni jumlah darah dan luas
7
peredaran darah. Dalam keadaan emergency, denyut nadi jangan sampai melebihi
120x/menit. Jika hal tersebut terjadi dapat berarti syok dalam keadaan maksimal sehingga
menyebabkan kematian. Syok dapat terjadi dalam massa beberapa detik atau beberapa
menit sesudah pemberian antigen yang menyebabkan terjadinya kegagalan sirkulasi dan
respirasi8. Syok biasanya terjadi setelah pemberian anastesi lokal maupun syok yang
disebabkan oleh rasa sakit. Gejala syok dapat berupa pusing yang berlebih, sesak nafas,
lemah, gelisah, hipotensi dengan sistolik dibawah 70mmHg, ortikaria. 6
Syok anafilaktik bisa dalam praktek kedokteran gigi. Syok ini terjadi akibat
reaksi antigen dan antibodi atau reaksi hipersentivitas terhadap obat-obatan. Keadaan ini
dapat menyebabkan permeabilitas dan dilatasi kapiler secara menyeluruh. Pada syok
anafilaktik biasanya terjadi gangguan pada otot-otot bronkus sehingga menyebabkan
gangguan sirkulasi udara. Syok anafilaktik juga disebabkan oleh pemberian obat secara
intravena. 6
Penanganan syok anafilaktik dapat dilakukan dengan penanggulangan antara
lain: segera baringkan pasien dengan kaki berada lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, sehingga dapat memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah, resusitasi jantung (penilaian Airway, Breathing, Circulation
support), segera berikan terapi adrenalin 0,3-0,5mg dengan pemberian 5-10 menit dengan
tetap memperhatikan tekanan darah, pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison
100mg atau deksametasone 5-10mg. Tindakan resusitasi harus efektif dilakukan sampai
sirkulasi udara pernafasan dan denyut jantung menjadi normal. 5
Perdarahan
8
Perdarahan adalah keluarnya darah yang tidak dapat berhenti sendiri tanpa sesuatu
perawatan atau keluarnya darah karena suatu keadaan yang abnormal. Terapi perdarahan
dilakukan dengan menekan tampon yang diberi adrenalin dan bila perlu dilakukan
penjahitan. 6,9
SIMPULAN
Penanganan kedaruratan sangat penting dilakukan sedini mungkin baik sebelum
operasi, saat operasi, dan setelah operasi. Emergency kit merupakan seperangkat alat
kedaruratan yang harus disediakan untuk menangani kemungkinan terjadinya sinkop,
syok anafilaktik dan perdarahan. Beberapa alat dan bahan yang biasanya terdapat dalam
emergency kit adalah adrenalin, kortikosteroid, spuit 1cc dan tabung oksigen. Berhasil
tidaknya penanganan kedaruratan tergantung dari kemampuan mengenal macam-macam
keadaan kedaruratan, mengetahui penyebabnya dan bagaimana cara mengantisipasi
penyebab kedaruratan serta efektifitas dan efisiensi tenaga medis dalam menanggulangi
kedaruratan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lewis,M.A.O, dan Lamey,P.J. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut, E.Wiriawan,drg,
Jakarta(penterjemah): Widya Medika Penerbit Buku Kedokteran; 1998
2. Rifki,A.Z,
Syok
Dan
Penanggulangannya
[online].
Available
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/032001/sek-1.htm [17/08/2007]
:
3. Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. Obat-obat Penting Khasiat,Penggunaan dan
Efek-efek Sampingan, Edisi kelima,PT Gramedia,Jakarta,2002
4. Goth A,Medical Pharmacology, Ed.Ke-2, Mosby Co, Saint Louis, hal 363-371,
1974
5. Sutarman,N.P, Rama, J. Pengaruh Kortikosteroid Terhadap Sistem Imun
(Homepage: Cermin Dunia Kedokteran), [online].
Available
:
9
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13
pengaruh
pengaruhkortikosteroid 085.html [17/08/2007]
6. Syok Anafilaksis [Homepage: Syok Anafilaksis],
http://puskesmaspalaran.wordpress.com./2006/11/05
[17/08/2007]
kortikosteroid085.pdf/13
[Online]
. Available :
syok-anafilaksis
7.
I Wayan Harsana,MS. Buku Obat-obat Otonom.Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteranan Universitas Udayana,2003
8.
H. Tabrani Rab. Pengatasan Shock,EGC,Jakarta,1999
9. Howe,G.L., Pencabutan Gigi Geligi, Johan Arief Budiman (penterjemah), EGC,
Jakarta, 1993
10
PENGARUH PERAWATAN ORTODONSI CEKAT
TERHADAP GINGIVA
Wiwekowati, Norman Hidajah dan I Dewa Gede Putra Utama
Fakultas kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Penggunaan alat ortodonsi cekat akan menjumpai berbagai masalah khususnya
dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Alat cekat yang menempel pada
permukaan gigi menimbulkan kesulitan dalam menjaga kebersihannya sehingga
cenderung terjadi penumpukan plak dan kalkulus pada gigi, terutama daerah di sekitar
breket dan sepertiga mahkota gigi pada tepi gingiva. Selain karena plak dan kalkulus
kelainan gingiva bisa disebabkan oleh kelebihan semen yang tidak dibersihkan dengan
baik, pemasangan band yang tidak tepat dan gaya-gaya ortodonsi yang diaplikasikan
terlalu besar dan terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah gingiva yang permanen.
Namun hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan cara pemasangan alat yang benar
dan peningkatan kebersihan rongga mulut oleh pasien selama pemakaian alat ortodonsi
cekat.
Kata Kunci : Perawatan Alat Ortodonsi Cekat, Pengaruh, Gingiva
Korespondensi : Wiwekowati, Bagian Ortodonsia Fakultas kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701,
Fax. 261278
PENDAHULUAN
Perawatan ortodonsi cekat bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-geligi yang
tidak teratur seperti berdesakan, protrusi, retrusi, ektostema dan diastema. Perawatan
ortodonsi tidak hanya untuk memperbaiki susunan gigi-geligi, tetapi dalam kasus tertentu
dapat memperbaiki penampilan wajah seseorang. Penampilan wajah yang tidak baik
dapat mempengaruhi psikologis seseorang terutama untuk mereka yang sering
berhubungan dengan orang banyak.1
Perawatan dengan alat ortodonsi cekat semakin banyak diminati oleh masyarakat.
Perawatan dengan alat ortodonsi cekat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Kecanggihan dan kemampuan alat ortodonsi cekat telah mengalami kemajuan yang
cukup signifikan dalam dekade terakhir ini. Alat ini dikembangkan agar menjadi lebih
1
ekonomis, efesien, aman dan dapat diterima oleh masyarakat. Bersamaan dengan
perkembangan-perkembangan ini, berkembang juga kesadaran masyarakat untuk
merawat giginya yang mengalami kelainan.2
Perawatan dengan alat ortodonsi cekat menggunakan komponen-komponen yang
dapat memicu terjadinya trauma pada mukosa seperti gingiva terutama bagian-bagian
yang terbuat dari logam seperti breket, kawat busur dan aksesori. Komponen breket,
kawat busur dan aksesori saling berhubungan dan merupakan komponen utama dalam
perawatan gigi dengan alat ortodonsi cekat. Bracket memberikan titik perlekatan pada
mahkota gigi sehingga kawat busur dan aksesorinya dapat memperbaiki posisi gigi.
Bracket menempel kuat pada gigi dengan perlekatan langsung atau dengan bantuan
stainless steel band yang disemenkan dengan breket tersebut.3
Pada awal pemakaian alat ortodonsi cekat banyak pasien yang mengeluhkan
dengan timbulnya peradangan pada rongga mulutnya. Kerusakan fisik pada mukosa dapat
disebabkan oleh permukaan tajam seperti kawat busur atau tepi-tepi alat ortodonsi cekat
yang tajam. Keadaan ini dapat diperparah oleh keadaan kebersihan rongga mulut
yang
tidak baik sehingga menye-babkan keradangan pada gingiva.4
Observasi yang dilakukan oleh ahli ortodonsi menyimpulkan bahwa sebagian
besar pemakai alat ortodonsi cekat mengalami peradangan pada jaringan lunak pada
gingiva pada awal perawatan ortodonsi cekat.5
GINGIVA
2
Gingiva adalah bagian mukosa mulut yang mengelilingi gigi dan menutupi ridge
alveolar. Gingiva merupakan bagian dari jaringan pendukung gigi yang berfungsi untuk
melindungi gigi-geligi dan jaringan dibawahnya dari sisa makanan dan bakteri.
Gingiva sehat berwarna merah muda dengan tepi tajam sesuai dengan kontur gigigeligi. Warna gingiva bervariasi tergantung dari jumlah pigmen melanin pada epithelium,
derajat keratinisasi epitelium dan vaskularisasi dari jaringan ikat dibawahnya.
Vaskularisasi ini sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan gingiva dimana saat
dilakukan perawatan ortodonsi adanya vaskularisasi yang baik akan membantu
keberhasilan perawatan ortodonsi cekat tersebut.
Pada bangsa Kaukasia pigmentasi umumnya minimal sehingga gingiva terlihat
lebih muda, sedangkan pada bangsa Afrika dan Asia kandungan melaninnya lebih besar
sehingga gingivanya terlihat berwarna lebih kecoklatan atau hitam kebiruan. Perubahan
pigmentasi juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit pada gingiva. Gingiva dapat
beradaptasi dengan adanya perubahan lingkungan rongga mulut dengan sistem
pertahanan yang dimilikinya. Sulkus gingiva merupakan salah satu sistem pertahanan
terhadap bakteri dan mikroorganisme lainnya.
Melalui alirannya dan kandungan saliva seperti lisosim dan IgA, gingiva dapat
mengendalikan jumlah mikroorganisme dalam rongga mulut. Pada perawatan ortodonsi
sangat dianjurkan untuk selalu menjaga kesehatan gingiva dan rongga mulut agar
perawatan ortodonsi berhasil dengan baik dan tidak menimbulkan masalah lain yang
tidak diinginkan seperti penyakit periodontal.6
ALAT ORTODONSI CEKAT
3
Proffit (1993) menyatakan bahwa tujuan dari perawatan ortodonsi adalah untuk
menghasilkan hubungan oklusal yang sebaik mungkin untuk memperbaiki estetika wajah
dan menghasilkan hubungan oklusal yang stabil sehingga didapat penampilan dentofacial
yang menyenangkan secara estetik dengan fungsi yang baik dan stabil. Perawatan
ortodonsi tidak hanya untuk memperbaiki susunan gigi-geligi, tetapi dalam kasus tertentu
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penampilan wajah seseorang terutama mereka
yang sering berhubungan dengan orang banyak.7
Dewasa ini penggunaan alat ortodonsi cekat telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat, terutama di kota-kota besar karena alat ini dapat memperbaiki posisi gigi
yang lebih berat dengan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan dengan alat lepasan.4
Alat ortodonsi cekat merupakan alat yang langsung direkatkan pada gigi-geligi
dan terdapat tekanan dari kawat busur atau auxiliary, melalui perlekatanya pada gigigeligi tersebut diperoleh kontrol yang tepat terhadap sifat dan arah tekanan yang
dihasilkan.1
Alat ortodonsi cekat lebih kuat dan mekanismenya lebih rumit dari alat lepasan,
sehingga pemasangan dan pelepasan alat ini memerlukan keahlian khusus dan hanya
dapat dilakukan oleh dokter gigi spesialis ortodonsi yang sudah mempunyai ketrampilan
khusus, dengan demikian pasien tidak dapat memasang dan melepas sendiri alat ini.1,4
Menurut Williams (2000) alat ortodonsi cekat terdiri dari tiga komponen dasar yaitu:
Bracket. Fungsi bracket untuk menghasilkan tekanan yang terkontrol pada gigi. Bracket
terbuat dari logam stainless steel, komposit, porselen dan yang terbaru dari emas 24
karat. Untuk keperluan estetik dapat digunakan komposit atau porselen yang sewarna
4
dengan gigi. Bracket memberikan titik perlekatan pada mahkota gigi-geligi, sehingga
kawat busur dan asesorinya dapat mempengaruhi posisi gigi. Bracket harus ditempel
dengan kuat pada gigi, baik dengan perekatan langsung dengan etsa asam atau dengan
bantuan band baja tahan karat yang di las ke bracket. Terdapat beberapa desain bracket
yang berbeda-beda berdasarkan prinsip dan fungsinya dalam merawat kelainan gigigeligi yaitu bracket edgewise yaitu bracket dengan alur kawat busur yang lebar dalam
jurusan mesiodistal dan bracket Begg yaitu bracket dengan alur kawat busur yang sempit
dalam jurusan mesiodistal.
Kawat busur. Perawatan gigi berkaitan dengan pengaplikasian gaya yang diteruskan ke
permukaan gigi. Gaya- gaya ini ditimbulkan oleh komponen-komponen aktif seperti
kawat busur. Alat ini terbuat dari kawat stainless steel yang dipasang pada tengah-tengah
bracket dengan ligature kawat, ring plastik atau pin. Kawat busur bersifat elastis sehingga
dapat menimbulkan tekanan pada gigi-geligi. Suatu alat aktif seperti kawat busur dapat
menghasilkan gaya dalam satu arah dan gaya lawan yang setara dalam arah yang
berlawanan. Sifat kawat busur sangat tergantung dari diameter kawat, komposisi kawat,
panjang dan bentuk bentangan antar bracket, lebar bracket dan gesekan antara kawat dan
alur bracket.3
Auxiliary. Alat ini dipakai bersama dengan kawat busur untuk menggerakan gigi.
Tekanan diberikan pada gigi melalui auxiliary spring atau elastic.1
Masalah yang terjadi akibat pemasangan alat ortodonsi cekat
Pada awal pemakaian alat ortodonsi cekat, banyak pasien yang mengeluh dengan
adanya peradangan pada rongga mulutnya. Kerusakan fisik pada mukosa mulutnya dapat
5
disebabkan oleh permukaan yang tajam dari busur kawat. Observasi yang dilakukan oleh
ahli ortodonsi menyimpulkan bahwa sebagian besar pemakai alat ortodonsi cekat
mengalami peradangan pada jaringan lunak pada awal perawatan ortodonsi
dan
gingivitis merupakan hal yang paling umum terjadi selama perawatan alat ortodonsi
cekat.4.
Kebersihan mulut yang tidak terjaga menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri
yang terakumulasi pada rongga mulut, hal ini dapat berakibat pada peningkatan
akumulasi plak pada permukaan gigi. Plak yang tidak dibersihkan dapat mengiritasi
jaringan gingiva dibawahnya.6
Alat cekat yang menempel pada permukaan gigi menciptakan suatu daerah yang
sulit dibersihkan sehingga cenderung terjadi penumpukan plak pada gigi. Jika hal ini
dibiarkan selain dapat memicu terjadinya stomatitis juga dapat menyebabkan berbagai
masalah periodontal seperti gingivitis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hollender dkk dan Hamp dkk, yang menemukan bahwa pemakaian alat cekat dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan pendukung periodontal. 3
Menurut Kloehm dan Pfeifer (1974 cit. Goldman dan Cohen 1980) bahwa alat
ortodonsi cekat dapat menambah inflamasi pada gingiva dan akumulasi plak serta
menyebabkan terjadinya hiperplasi pada jaringan lunak terutama pada daerah
interproksimal. Namun kejadian ini bersifat reversible dan jaringan kembali normal
dalam 4 bulan setelah alat cekat dilepas. Pada penelitian yang dilakukan di Inggris
ditemukan adanya akumulasi plak disertai pendarahan pada gingivanya dan ada
ketidakteraturan pada kedua gigi kaninus dan insisivus pada anak-anak pemakai alat
ortodonsi cekat.
6
Pada beberapa kasus di klinik
juga ditemukan terjadinya pembesaran pada
gingiva yang terjadi pada seorang pasien perempuan berusia 16 tahun, pembesaran ini
terjadi setelah pasien menggunakan alat ortodonti selama 6 bulan, meskipun sudah
menggunakan sikat gigi khusus gusinya tetap meradang bahkan berdarah.8
Selain karena adanya akumulasi plak, gingivitis juga disebabkan oleh kesalahan
operator dalam mendesain dan memasang alat cekat tersebut pada pasien. Kesalahan
desain meliputi penggunaan kawat yang terlalu panjang, ujung
kawat
yang tidak
dibulatkan dan pemakaian elastik yang kurang sempurna .4
Sedangkan pada saat pemasangan alat tersebut didalam mulut, kesalahan yang
sering terjadi adalah kelebihan semen yang tidak dibersihkan dengan baik, pemasangan
band yang tidak tepat dan gaya-gaya ortodonsi yang diaplikasikan terlalu besar dan
terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah periodontal yang permanen.9
Jika tekanan yang diaplikasikan sangat besar dan dalam waktu yang lama,
ligamen periodontal di daerah tekanan akan kekurangan pasokan darah dan bisa terjadi
nekrosis dari ligamen periodontal yang disertai resopsi pada permukaan akar gigi
sehingga cenderung menimbulkan rasa nyeri dan gigi menjadi sangat goyang.3
Kelainan gingiva akibat pemakaian alat ortodonsi cekat
Perawatan dengan alat ortodonsi cekat banyak menggunakan komponenkomponen yang dapat menimbulkan trauma atau iritasi pada jaringan lunak rongga
mulut. Kelainan tersebut bisa disebabkan oleh kesalahan operator dalam mendesain dan
memasang alat cekat tersebut pada pasien. Kesalahan desain meliputi penggunaan kawat
7
yang terlalu panjang, ujung kawat yang tidak dibulatkan dan pemakaian elastik yang
kurang sempurna .4
Sedangkan jika tekanan yang diaplikasikan sangat besar dan dalam waktu yang
lama, ligamen periodontal di daerah tekanan akan kekurangan pasokan darah dan bisa
terjadi nekrosis dari ligamen periodontal yang disertai resopsi pada permukaan akar gigi
sehingga cenderung menimbulkan rasa nyeri dan gigi menjadi sangat goyang.3
Menurut Alexander (1986) kelainan gingiva bisa terjadi akibat kesalahan saat
pemasangan alat tersebut didalam mulut, kesalahan yang sering terjadi adalah kelebihan
semen yang tidak dibersihkan dengan baik, pemasangan band yang tidak tepat dan gayagaya ortodonsi yang diaplikasikan terlalu besar dapat menimbulkan masalah periodontal
yang permanen. Sedangkan menurut Prayitno (2003) kelainan jaringan lunak terutama
pada gingiva sering terjadi.8,9
Kelainan tersebut seperti gingivitis, resesi gingiva, gingiva berdarah, pembesaran
gingiva, dan peradangan pada sulkus gingiva. Trauma dan peradangan yang terjadi pada
gingiva lebih banyak disebabkan oleh karena kurangnya kebersihan rongga mulut selama
memakai alat ortodonsi cekat sehingga memicu terjadinya pertumbuhan plak dan
kalkulus di sekitar alat ortodnsi cekat tersebut. Hal ini menimbukan keluhan pada gingiva
dimana gingiva mengalami pembesaran dan peradang serta mudah berdarah. Selain
faktor kebersihan mulut yang kurang terjaga kelainan tersebut juga disebabkan oleh
tekanan dari alat ortodonsi dan pemasangan alat yang kurang baik. Walaupun demikian
perawatan lebih ditujukan untuk menghilangkan keradangan pada gingiva dengan
melakukan pembersihan plak dan kalkulus dengan sempurna dan memberikan pendidikan
8
cara menjaga oral hygiene dengan baik pada pasien. Selain itu pasien juga diberikan obat
kumur dan vitamin C untuk mempercepat proses penyembuhan.4
Hal ini juga diteliti oleh Olav Bondevik dkk yang menemukan bahwa sebanyak
77% pemakai alat ortodonsi cekat pernah mengalami lesi pada rongga mulutnya minimal
satu kali yang disebabkan oleh trauma dari alat ortodonsi cekat yang dipakainya.4
Pencegahan
Walupun sering ditemukan kasus kelainan pada gingiva akibat alat ortodonsi
cekat namun hal ini dapat dicegah dengan cara sebagai berikut: Meningkatkan
kebersihan gigi-geligi dan rongga mulut selama memakai alat ortodonsi cekat; untuk
mencegah terjadinya akumulasi plak dan kalkulus di sekitar gigi dan alat ortodonsi cekat.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan sikat gigi dengan teratur dengan sikat gigi
interdental yang dapat menjangkau sela-sela breket dan interdental gigi. Sikat gigi yang
bisa dipakai adalah sikat gigi interdental, dental floss atau water pik yaitu alat berupa
semprotan air untuk membersihkan sela-sela gigi.10 Sebelum dilakukan perawatan,
operator sebaiknya memperhatikan secara betul keadaan rongga mulut pasien, jika
terdapat plak dan kalkulus dapat dilakukan scaling untuk membersihkan plak dan
kalkulus tersebut.4 Pada saat perawatan, operator harus memperhatikan setiap tindakan
yang dilakukan. Pemasangan kawat tidak boleh terlalu panjang dan ujung kawat yang
tajam harus dibulatan. Kelebihan semen yang dapat memicu retensi plak dan kalkulus
harus dibersihkan dan tekanan alat ortodonsi harus tepat dan tidak boleh berlebihan.9
Setelah perawatan pasien dianjurkan untuk mengontrol secara teratur perawatan alat
ortodonsi yang telah dilakukan untuk melihat perkembangan perawatan dan keadaan
9
rongga mulut secara umum selama memakai alat ortodonsi cekat dan memberi instruksi
kepada pasien tentang cara menjaga kebersihan mulut dirumah secara benar.8
Dari uraian di depan dapat disimpulkan bahwa kelainan gingiva yang sering
terjadi selama pemakaian alat ortodonsi cekat adalah gingivitis, resesi gingiva, gingiva
berdarah, pembesaran gingiva, dan peradangan pada sulkus gingiva. Pencegahannya
adalah dengan meningkatkan kebersihan gigi dan rongga mulut secara teratur dan benar
selama memakai alat ortodonsi cekat dan pemasangan alat ortodonsi cekat harus benar
yaitu pemasangan kawat tidak boleh terlalu panjang, ujung kawat yang tajam harus
dibulatan, kelebihan semen harus dibersihkan dan tekanan alat ortodonsi harus tepat dan
tidak boleh berlebihan
DAFTAR PUSTAKA
1. Houston,W.J.B.,1983, Diagnosis Ortodonsi, Penerjemah: Yuwono Lilian, Penerbit
EGC, Jakarta, hal. 37-38,60-62, 136-141.
2.
Williams, J.K, Cook, P.A., Isaacson, K.G., Thom., 2000, Alat-Alat Ortodonsi Cekat,Prinsip dan
Praktik, Alih Bahasa : Budi Susetyo, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 1-5, 18-27.
3.
Foster,T.D.,1999, Buku Ajar Ortodonsi, ed.ke-3, Alih bahasa: Yuwono Lilian,drg.,Penerbit EGC
Penerbit buku kedokteran, Jakarta, hal. 240-251, 311-316.
4.
Priandhini,D.,2003, Lesi-Lesi Dalam Mulut Akibat Pemakaian Alat Cekat Ortodontik, Dentika Dental
Journal, vol.8(2), hal. 232-237.
5. Graber, T.M., 1985, Orthodontics Treatment And Practice, 3nd edition, W.B. Saunders Company,
Philadelphia, hal. 701-860.
6.
Manson,J.D., Elley,B.M.,1993, Buku Ajar Periodonti, Alih bahasa : Anastasia,S., Penerbit Hipokrates,
Jakarta, hal. 111-118, 146-161.
7.
Profitt, W.R., 1993, Contemporary Orthodontics, 2nd Edition, CV. Mosby, St. Louis, hal. 3-11
8.
Prayitno,S.W.,2003, Periodontologi Klinik Fondasi Kedokteran Gigi Masa Depan, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal. 82-88.
9.
Alexander,R.G.Wick, 1986, Teknik Alexander Konsep dan Filosofi Kontemporer, alih bahasa : Budi
Susetyo,drg., Penerbit EGC Penerbit buku kedokteran, Jakarta, hal. 297-299
10. Vanarsdall Robert L., 1985, Correction of Periodontal Problems Through Orthodontic Treatment,
Quintessence Publising Co., Inc. Chicago, Berlin, London, Rio de Janeiro, Tokyo, hal. 127-141
10
Download