Membaca APBN dalam Sudut Pandang Lingkungan Hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Hampir selalu dikatakan bahwa krisis yang terbesar dihadapi oleh masyarakat global hari ini salah satunya adalah krisis lingkungan yang termanifestasi dalam perubahan iklim. Dalam berbagai forum atau konferensi internasional termasuk dalam forum WTO, isu lingkungan hidup menjadi penting yang dibicarakan oleh semua negara, tidak ketinggalan Indonesia. Dalam hampir semua pertemuan, Indonesia selalu menyatakan lingkungan hidup berada pada situasi yang kritis dan bahkan Presiden RI sudah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26%. Persoalan yang dihadapi, termasuk bagaimana jalan keluar yang dilakukan tentulah tidak bisa hanya tergantung pada statement politik kepala negara baik di dalam maupun luar negeri. Keseriusan mengatasi krisis harusnya digambarkan dalam politik anggaran negara (APBN). Jika melihat pada struktur anggaran dalam APBN 2013, kita dapat menyimpulkan secara cepat bahwa selama ini lingkungan hidup masih menjadi isu pinggiran dalam proses membangun kehidupan berbangsa, sehingga persoalan-persoalan lingkungan hidup juga tidak dapat bisa diselesaikan. Minornya isu lingkungan hidup dapat dilihat dari struktur belanja baik berdasarkan fungsi maupun belanja kementrian negara. Alokasi belanja APBN berdasarkan fungsi lingkungan hidup sebesar 12.446,4 Milyar Rupiah, jauh dibandingkan dengan fungsi lain misalnya ketertiban dan keamanan yang mencapai 36.486,8 Milyar Rupiah, anggaran itupun banyak digunakan justru untuk memberikan keamanan bagi invetasi, sementara rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup banyak yang dikriminalisasi dan mengalami kekerasan justru atas nama ketertiban dan keamanan. Alokasi ini kemudian dibagi pada kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. selain KLH yang memiliki mandat khusus, ada beberapa Kementrian dan badan negara lainnya yang juga memiliki kewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup antara lain: Kemenhut, Pekerjaan Umum, Kementrian Kelautan dan Perikanan, ESDM, Kementrian Perhubungan, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Pertanian, Perindustrian, Kesehatan, Ristek, Dikbud, BNPB, dan BMKG. Jika kita melihat pada alokasi belanja negara berdasarkan Kementrian, juga dapat disimpulkan bahwa bangsa ini masih berada dibawah rezim sektoral yang justru menjadi salah satu akar masalah lingkungan hidup. Salah satu hal penting mengapa krisis lingkungan hidup tidak pernah serius ditangani oleh pemerintah, itu karena pendekatan pengelolaan SDA berbasis sektoral Jika kita membandingkan pos belanja Kementrian Lingkungan Hidup yang mendapat mandat khusus untuk memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, jauh berada dibawah Departemen Sektoral SDA misalnya Departemen Kehutanan (6.717,5), ESDM (18.803,9), Kelautan dan Perikanan (7.077,04), dan Pertanian (17.819,5). Sementara KLH sendiri pos belanjanya sebesar Rp. 921,5. Dari struktur anggaran belanja ini menggambarkan bahwa pemerintahan ini memang semakin memperkuat rezim sektoral SDA yang eksploitatif dan ekspansif, dan itu dilegitimasi melalui anggaran belanja yang besar bagi departemen sektoral yang dinilai menyumbangkan pendapatan negara melalui sektor non pajak yakni sebesar Rp. 197.204,9. Meskipun jika dilihat pendapatan negara dari sektor SDA yang dikategorikan non pajak, tidak berelasi dengan kesejahteraan rakyat dan parahnya justru merusak lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam status lingkungan hidup (SLHI) yang dikeluarkan oleh KLH pada bulan Juni 2012 menyebutkan anggaran lingkungan hidup yang dialokasikan ke KLH jauh dari upaya menjawab tekanan terhadap lingkungan hidup yang semakin berat. Dari tahun ke tahun memang mengalami kenaikan, namun kenaikannya tidak signifikan (hanya sebesar 1%) dibandingkan dengan laju kerusakannya yang kian massif.1 Politik anggaran yang belum berpihak kepada lingkungan hidup ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, namun juga daerah. Padahal dalam situasi politik desentralisasi persoalan lingkungan hidup di daerah jauh lebih rumit. Di tingkat daerah, proporsi pos biaya untuk lingkungan hidup yang tertinggi adalah DKI Jakarta yakni 4,66 persen dari total APBD. Sementara sebagian besar daerah lainnya masih berada di angka nol koma seperti Sumsel yang hanya 0,23%. Ketimpangan struktur anggaran belanja di Kementrian ini juga berimplikasi pada tingkat kewibawaan lembaga negara ini dengan departemen sektoral lainnya. Padahal, penyelesaian persoalan lingkungan hidup harus dibangun dengan koordinasi dan sinergitas antar lembaga negara yang kuat. Faktanya ego sektoral mendominasi, dan KLH tidak mampu melakukan konsolidasi lintas sektor tersebut. Belum lagi jika dihadapkan dengan kekuatan lain yang lebih besar, yakni industri-industri yang selama ini ditenggarai banyak melakukan pengrusakan lingkungan. Parahnya, politik anggaran yang tidak berpihak kepada lingkungan hidup, pada akhirnya mengorbankan lingkungan hidup dan rakyat itu sendiri. Dalam kajian triwulan status lingkungan hidup yang dilakukan oleh WALHI dan advokasi kasus-kasus yang dilakukan menyebutkan bahwa pada periode triwulan pertama saja pada tahun 2013, ada 123 kasus/protes lingkungan hidup seperti grafik dibawah ini. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1 38 5 5 55 9 7 Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2012, Pilar Lingkungan Hidup Indonesia; Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia Ironinya, protes masyarakat tersebut tidak direspon secara baik oleh negara, bahkan cenderung dibiarkan seperti yang terlihat dalam tabel ini Respon Negara 12 10 8 6 4 2 0 Politik anggaran belanja yang timpang juga berkontribusi pada angka merah dalam perbaikan kerangka hukum dan kebijakan. Ini dapat dilihat dari sejak UU No. 32/2009 disahkan, dari PP yang harus dikeluarkan, KLH baru menyelesaikan 2 (dua) Peraturan Pemerintah, itupun terkait dengan ijin lingkungan dan tailing. Padahal Undang-Undang memerintahkan PP sudah harus dikeluarkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU ini disahkan. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang progressf ini, pada akhirnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, karena tidak implementatif akibat tidak adanya PP. Demikian juga implikasinya pada penegakan hukum lingkungan, sungguh jauh dari yang diharapkan. Bahkan KLH tidak berdaya menghadapi kekuatan korporasi perusak lingkungan. Buruknya kelembagaan negara ini juga turut dikontribusikan oleh DPR RI khususnya Komisi VII yang membidangi lingkungan hidup, yang tidak menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana yang dimandatkan oleh rakyat. Dari semua itu, siapa yang menanggung biaya kerusakan lingkungannya? dari seluruh cerita ketidakberpihakan terhadap lingkungan hidup yang digambarkan dalam struktur APBN ini, yang menanggungnya adalah rakyat seperti penyakit yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Sayangnya tanggungan inipun tidak terwakilkan pada anggaran yang lain seperti anggaran kesehatan, dengan biaya kesehatan yang sulit dijangkau oleh rakyat miskin korban pencemaran lingkungan. Belum lagi dampak kehilangan sumber kehidupan seperti yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dari semuanya, yang menanggung biaya akibat kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas adalah rakyat baik yang terdampak langsung maupun rakyat umum, akibat pengalihan tanggungawab tersebut kepada negara melalui dana APBN yang artinya uang pajak rakyat. Itu mengapa Indonesia menjadi surga bagi para perusahaan pencemar lingkungan, karena kerugian akibat praktek buruk korporasi, akan diambilalih oleh negara dengan uang rakyat. Terkait dengan APBN 2014 alternatif, melihat berbagai akar masalah dalam lingkungan hidup yang salah satunya akibat dari ketimpangan penguasaan SDA, WALHI mendorong agar struktur APBN 2014 diarahkan pada upaya mendorong secara sungguh-sungguh pada cita-cita reformasi pengelolaan SDA dan Agraria yang sesungguhnya sudah diamanahkan sebagaimana terdapat dalam Tap MPR XI/2001. Termasuk didalamnya adalah melakukan reformasi pada kelembagaan negara yang selama ini sektoral, sudah waktunya untuk megakhiri rezim sektoral SDA. Artinya, struktur pembiayaan negara harus melihat dan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan kekayaan alam, perlindungannya, serta perbaikan atau pemulihannya. Catatan untuk editor: 1. Angka anggaran yang dimaksud dalam APBN adalah hitungan satuan milyar rupiah 2. Data angka alokasi lingkungan hidup dalam APBD merupakan anggaran APBD 2011.