BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan penting dalam sebuah
instansi, dengan adanya profesionalitas dan kompetitif karyawan instansi dapat
melakukan aktivitas secara maksimal dalam mencapai tujuan meskipun semua
peralatan modern yang diperlukan dalam organisasi sudah tersedia. Dalam instansi
sumber daya manusia dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan keberhasilan
suatu instansi dalam mencapai tujuan. Noermijiati & Risti (2010) mengungkapkan
bahwa sumber daya manusia bukan hanya semata-mata menjadi objek pencapaian
tujuan, tetapi sekaligus menjadi pelaku untuk mewujudkan tujuan instansi.
Bohlander & Snell (2010) mengungkapkan manajemen sumber daya manusia
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana memberdayakan karyawan
dalam
instansi.
Tujuannya
untuk
membuat
pekerjaan,
kelompok
kerja,
mengembangkan para karyawan yang mempunyai kemampuan, mengidentifikasikan
suatu pendekatan untuk dapat mengembangkan kinerja karyawan dan memberikan
imbalan kepada mereka atas usahanya dalam bekerja.
Sedangkan menurut Hasibuan (2005), manajemen sumber daya manusia
adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan kerja agar efektif dan efisien
membantu terwujudnya tujuan instansi, karyawan, dan masyarakat.
2.2
Pelatihan
2.2.1 Pengertian Pelatihan
Sutrisno (2009) menjelaskan, faktor yang mempengaruhi produktivitas
diantaranya adalah pelatihan, mental karyawan dan kemampuan fisik karyawan serta
hubungan antara atasan dan bawahan. Pelatihan sangat penting untuk dilaksanakan
bagi kepentingan bersama, sebab melalui pelatihan karyawan akan dapat lebih
memahami dan mengerti mengenai tugas dan tanggung jawab yang di emban baik
secara individu maupun kelompok.
Mangkunegara (2006) mengungkapkan pelatihan adalah suatu proses jangka
pendek yang mempergunakan prosedur sistematik dan terorganisir dimana karyawan
non manajerial mempelajari pengetahauan dan keterampilan teknis dalam tujuan
terbatas.
Disisi lain, Farhan, Sadaqat, & Hafeez (2011) menekankan bahwa profesional
harus terus menerus belajar kembali dan melatih untuk menjaga keterampilan mereka
saat ini. Ia menegaskan bahwa semua karyawan harus terus belajar kembali dan
melakukan pelatihan ulang dalam keterampilan, pengetahuan dan kompetensi agar
kemampuan dapat menyesuaikan lingkungan bisnis yang berubah secara dramatis.
Hung (2008) dalam penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa salah
satu cara untuk memperbaharui pengetahuan dengan mengembangkan keterampilan,
membuat perubahan perilaku dan sikap untuk meningkatkan kemampuan karyawan
dalam melaksanakan tugas mereka agar efisien dan efektif melalui pelatihan. Dalam
penelitiannya Hung (2008) juga menemukan bahwa adanya hubungan positif antara
pelatihan dan keterlibatan kerja melalui analisis regresi. Hal ini berarti jika instansi
dapat memberikan karyawannya sebuah program pelatihan yang lebih baik, maka itu
akan meningkatkan kemauan karyawan untuk bekerja dan melihat pekerjaan mereka
sebagai bagian dari kesehariannya. Dengan demikian, hal tersebut akan menyebabkan
tingkat keterlibatan kerja yang lebih tinggi pada semua karyawan.
Sedangkan menurut Dessler (2011), pelatihan mengacu pada metode-metode
yang digunakan untuk memberikan pelatihan baru dan tetap pada keahlian-keahlian
yang mereka perlukan untuk melakukan pekerjaan. Pelatihan adalah indikator dari
manajemen yang baik. Memiliki karyawan yang berpotensi tinggi tidak menjamin
kesuksesan untuk mereka. Karyawan harus mengetahui apa yang ingin mereka
lakukan dan bagaimana anda ingin mereka melakukannya. Jika karyawan tidak
mengetahuinya, maka mereka akan melaksanakan pekerjaan dengan cara mereka
sendiri, bukan dengan cara yang diinginkan oleh instansi.
Mathis & Jackson (2006) menjelaskan pelatihan adalah sebuah proses dimana
orang yang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan
organisasional.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan
adalah cara untuk memperbaharui pengetahuan dengan mengembangkan keterampilan
yang mengacu pada metode-metode secara sistematis dan dapat merubah tingkah laku
sehingga karyawan mendapatkan kapabilitas serta profesionalitas kerja yang dapat
diterapkan karyawan dalam mencapai tujuan-tujuan instansi.
2.2.2 Metode Pelatihan
Menurut Mangkunegara (2006) ada beberapa metode pelatihan yang dapat
dilakukan untuk karyawan, yaitu:
1. Metode On The Job Training
Metode on job training di anggap sangat tepat untuk mengajarkan skill yang
dapat dipelajari dalam beberpa hari atau beberapa minggu. Dengan metode ini peserta
belajar dengan perlengkapan yang nyata dan dalam lingkungan pekerjaan atau job
yang jelas.
2. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode pelatihan yang sangat efektif karena
lebih mudah menunjukan kepada peserta cara mengerjakan suatu tugas. Metode ini
biasa dikombinasikan dengan alat bantu belajar seperti gambar-gambar, teks materi,
ceramah, diskusi. Disamping itu metode ini dapat digunakan untuk pengajaran operasi
mekanik dan hubungan interpersonal.
3. Metode Simulasi
Metode Simulasi adalah suatu situasi atau peristiwa menciptakan bentuk
realitas atau imitasi dari realitas. Simulasi itu merupakan pelengkap sebagai teknik
duplikat yang mendekati kondisi nyata pada pekerjaan.
4. Metode Apprenticeship
Metode
training
apprenticeship
adalah
suatu
cara
mengembangkan
keterampilan (skill) pengrajin atau pertukangan. Metode ini didasarkan pula pada on
the job training dengan memberikan petunjuk-petunjuk cara pengerjaanya.
5. Metode Ruang Kelas
Metode ruang kelas merupakan metode training yang dilakukan di dalam
kelas walaupun dapat dilakukan di area pekerjaan. Aspek-aspek tertentu dari semua
pekerjaan lebih mudah dipelajari dalam kelas dari pada on the job.
2.2.3 Jenis-jenis Pelatihan
Pada hal ini Mathis & Jackson (2006) mengklasifikasikan berbagai tujuan
yang berbeda pada setiap instansi dan mengelompokannya secara umum, meliputi :
1. Pelatihan yang dibutuhkan rutin
Hal ini dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang
diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi
karyawan baru).
2. Pelatihan pekerja/teknis
Memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas dan
tanggung jawab mereka dengan baik.
3. Pelatihan antar pribadi dan pemecahan masalah
Dimaksudkan untuk mengatasi masalah operasional dan antar pribadi
serta meningkatkan hubungan dalam pekerjaan organisasional.
4. Pelatihan perkembangan dan inovatif
Menyediakan fokus jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas
individu dan instansi untuk masa depan.
2.2.4 Dimensi Pelatihan
Pelatihan memiliki beberapa indikator menurut Mangkunegara (2006),
diantaranya:
1. Instruktur
Mengingkat pelatih umumnya berorientasi pada peningkatan skill, maka
para pelatih yang dipilih untuk memberikan materi pelatihan harus benarbenar memiliki kualifikasi yang memadai sesuai bidangnya, personal dan
kompeten, selain itu pendidikan instruktur pun harus benar-benar baik
untuk melakukan pelatihan.
2. Peserta
Peserta pelatihan harus diseleksi terlebih dahulu berdasarkan persyaratan
tertentu dan kualifikasi yang sesuai, selain itu peserta juga harus memiliki
semangat yang tinggi untuk mengikuti pelatihan.
3. Materi
Pelatihan sumber daya manusia merupakan materi kurikulum yang sesuai
dengan tujuan pelatihan sumber daya manusia yang hendak dicapai oleh
instansi dan materi pelatihan pun harus yang terbaru agar peserta dapat
memahami masalah yang terjadi pada kondisi yang sekarang.
4. Metode
Metode pelatihan akan lebih menjamin berlangsungnya kegiatan pelatihan
sumber daya manusia yang efektif apabila sesuai dengan jenis materi dan
komponen peserta pelatihan.
5. Tujuan
Pelatihan merupakan tujuan yang ditentukan, khususnya terkait dengan
penyusunan rencana aksi (action play) dan penempatan sasaran, serta hasil
yang diharapkan dari pelatihan yang akan diselenggarkan, selain itu tujuan
pelatihan pula harus disosialisasikan sebelumnya, agar para peserta dapat
memahami pelatihan tersebut.
2.2.5 Evaluasi Pelatihan
Goldstein dan Buxton berpendapat dalam Mangkunegara (2006) bahwa
evaluasi pelatihan dapat didasarkan pada kriteria (pedoman dari ukuran kesukesan),
dan rancangan percobaan. Kriteria tersebut diantaranya, yaitu:
a. Kriteria Pendapat
Kriteria ini didasarkan pada pendapat peserta pelatihan mengenai program
pelatihan yang telah dilakukan. Hal ini dapat diungkapkan dengan
menggunakan kuesioner mengenai pelaksanaan pelatihan.
b. Kriteria Belajar
Kriteria belajar dapat diperoleh dengan menggunakan tes pengetahuan, tes
keterampilan yang mengukur skill, dan kemampuan peserta.
c. Kriteria Perilaku
Kriteria perilaku dapat diperoleh dengan menggunakan tes keterampilan
kerja. Sejauh mana perubahan perilaku peserta sebelum pelatihan dan
setelah pelatihan.
d. Kriteria Hasil
Kriteria hasil dapat dihubungkan dengan hasil yang diperoleh seperti
menekan
turnover,
berkurangnya
tingkat
absen,
meningkatkan
produktivitas, meningkatkan penjualan dan meningkatkan kualitas dan
produksi.
2.2.6 Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Instansi melalukan pelatihan kepada karyawannya guna menghasilkan SDM
yang berkualitas serta dapat berkompetitif di dalam pekerjaanya. Pelatihan dilakukan
untuk mengasah kemampuan dan keterampilan karyawan serta memperbaharui
pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya oleh karyawan. Tujuan utama dari
pelatihan karyawan ialah meningkatkan efektivitas dan efisiensin kinerja karyawan
pada sebuah instansi.
Akhtar & Udham (2010) mengatakan bahwa karyawan yang dapat
memperoleh manfaat dari pelatihan tersebut akan merasa lebih termotivasi dan
kemauan untuk mendapatkan lebih terlibat dengan pekerjaan mereka sebagai
tanggung jawabnya.
Sedangkan menurut Mondy (2010) aktivitas pelatihan memiliki potensi untuk
menyelaraskan karyawan dengan strategi korporat instansi. Beberapa manfaat
strategis dari pelatihan adalah kepuasan karyawan, peningkatan moral, retensi yang
lebih tinggi, turnover yang lebih rendah, meningkatkan perekrutan, dan fakta bahwa
karyawan yang merasa puas akan pekerjaannya akan menghasilkan kepuasan
pelanggan.
Mangkunegara (2006) juga mengungkapkan mengenai tujuan pelatihan yakni
dapat meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi, meningkatkan produktivitas
kerja, dengan adanya produktivitas hal itu juga dapat meningkatkan kualitas kerja,
serta meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia, dan juga sikap
moral dan semangat kerja.
2.3
Keterlibatan Kerja
2.3.1 Pengertian Keterlibatan Kerja
Keterlibatan Kerja (Job Involvement) adalah keterlibatan secara psikologis
yang memihak kepada instansi sehingga seorang karyawan akan melihat pentingnya
sebuah pekerjaan atau tugas yang didasari tanggung jawab sehingga apabila ia
meninggalkan dalam keadaan belum tuntas maka pekerjaan tersebut akan
menggambarkan dirinya dalam lingkungan kerja.
Brad (2009) mengatakan keterlibatan karyawan adalah tingkat dimana
seseorang berkomitmen pada sebuah instansi dan dampak dari komitmen tersebut
pada bagaimana cara kerja mereka dan panjangnya masa kerja.
Keterlibatan kerja akan meningkat apabila karyawan dalam instansi
menghadapi suatu situasi yang penting untuk didiskusikan bersama (Ansel & Wijono,
2012). Apabila kebutuhan tersebut dapat terpengaruhi maka akan membuat karyawan
lebih berkomitmen terhadap instansi. Karyawan akan menyadari pentingnya untuk
berusaha dan memberikan kontribusi bagi kepentingan instansi (Sumarto, 2009).
Hung (2008) mengatakan bahwa keterlibatan kerja adalah kognitif seseorang
dalam pemenuhan kebutuhan, yang membantu seseorang untuk bekerja lebih keras
dan akan meningkatkan kinerjanya. Karyawan akan termotivasi untuk bekerja lebih
keras dan meningkatkan kinerja mereka setelah kebutuhan kondisi fisik dan mental
berubah ketika konflik pekerjaan dengan kehidupan mereka. Akibatnya, hal ini akan
memperngaruhi keterlibatan kerja dan kinerja karyawan.
Menurut Chughtai (2008) orang yang memiliki harga diri yang lebih tinggi
dalam pekerjaan mereka sebagian besar akan menjadi individu yang sangat terlibat
dalam pekerjaan mereka. Akibatnya, ia ingin tampil baik karena pekerjaanya sudah
menjadi bagian dari hidup mereka.
Keterlibatan kerja merupakan faktor penting untuk keberhasilan instansi dan
juga untuk mempertahankan karyawan dengan mengurangi niat untuk meninggalkan
pekerjaannya tutur (Marcus, Fernandes, & Johnson dalam Rizwan, Khan, & Saboor,
2011).
Dalam beberapa pengertian dari para ahli dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan kerja (job involvement) adalah tingkat dimana seseorang berkomitmen
pada sebuah instansi dalam menghadapi suatu situasi yang dapat memkpengaruhi
kebutuhan karyawan. Apabila seorang pegawai memiliki harga diri yang tinggi dalam
pekerjaanya, maka akan karyawan akan menjadi seorang individu yang sangat terlibat
dalam pekerjaanya. Keterlibatan kerja juga penting dalam keberhasilan sebuah
instansi yakni adanya pengurangan niat seorang karyawan dalam meninggalkan
pekerjaanya.
Selain itu, ada empat cara untuk mengkatagorikan keterlibatan kerja, antara
lain (a) pengaruh aktif dengan pekerjaan, (b) bekerja sebagai pusat kehidupan yang
menarik, (c) kinerja kompatibilitas dengan konsep diri, dan (d) kinerja sebagai pusat
harga diri (Ishfaq & Talat, 2011).
2.3.2 Indikator Keterlibatan Kerja
Marcus, Fernandes, & Johnson (2007) menjelaskan dalam jurnal (Rizwan,
Khan, & Saboor, 2011) mengusulkan beberapa hal yang menjadi indikator untuk
membuat karyawan lebih terlibat dalam pekerjaan dan dengan instansi, diantaranya:
1. Pemberdayaan (Empowerment)
Pemberdayaan mengacu pada tingkat pengambilan keputusan yang dapat
ditangani oleh karyawan saat bekerja dalam instansi. Para karyawan merasa
percaya diri dalam kemampuan dan mengganggap keleluasaan lebih pada
pekerjaan mereka. Akibatnya, pemberdayaan dapat mempertinggi otonomi
karyawan dalam pekerjaan mereka.
2. Informasi (Information)
Informasi berarti data tentang kuantitas dan kualitas operasi bisnis seperti
output satuan, biaya, pendapatan, profitabilitas dan reaksi pelanggan. Ini
termasuk mengembangkan sistem dalam instansi oleh karyawan yang
mengetahui lebih banyak informasi mengenai berbagai aspek organisisasi.
3. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan berbeda dari informasi. Informasi adalah data mengenai
instansi yang mengacu pada tingkat seorang karyawan dapat mengevaluasi
dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pada informasi tersebut. Hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan pelatihan dan
pengembangan. Tingkat kompetensi karyawan harus meningkat dan mengupgrade agar dapat melakukan tugas dengan baik.
4. Penghargaan (Rewards)
Imbalan financial atau non-financial diberikan kepada karyawan terhadap
layanan mereka untuk meningkatkan kinerja instansi. Imbalan ini dianggap
sebagai alat penting untuk memotivasi karyawan agar mengakibatkan
karyawan yang lebih terlibat dengan pekerjaan mereka.
2.4
Kinerja Karyawan
2.4.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Menurut Mangkunegara (2007) kinerja adalah sepadan dengan prestasi kerja
actual performance, yang merupakan hasil secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang karyawan dalam melaksanaan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan.
Sedangkan menurut Mathis & Jackson (2006) kinerja para karyawan individu
adalah faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu instansi. Selain karyawan dapat
menjadi keunggulan bersaing, mereka juga dapat menjadi liabilitas atau penghambat.
Ketika karyawan terus menerus meninggalkan instansi dan ketika karyawan bekerja
namun tidak efektif, maka sumber daya menempatkan instansi dalam keadaan merugi.
Kinerja individu, motivasi, retensi karyawan merupakan faktor utama bagi instansi
untuk memaksimalkan efektivitas sumber daya manusia.
Dalam penelitian yang dijalankan oleh Yusuf et al (2012) menjelaskan kinerja
karyawan adalah catatan dari hasil yang dihasilkan dalam fungsi pekerjaan tertentu
atau kegiatan selama periode waktu tertentu yang terkait dengan tujuan instansi.
Menurut Sudarmanto (2009), kinerja merupakan catatan hasil yang
diproduksi/dihasilkan atas fungsi tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode
waktu tertentu dan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan instansi.
Menurut Edy (2010), kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melakukan
tugas, hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu instansi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing atau
tentang bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku sesuai
dengan tugas yang telah dibebankan kepadanya serta kuantitas, kualitas dan waktu
yang digunakan dalam menjalankan tugas.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja kerja
(employee performance) adalah sebuah faktor yang mempengaruhi instansi untuk
menentukan kesuksesan seseorang dalam melakukan tugas sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing karyawan yanh kemudian akan menghasilkan
catatan hasil produksi secata kualitas dan kuantitas selama periode waktu tertentu
yang relevan serta bertujuan untuk sebuah instansi.
2.4.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Edy (2010) memaparkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan, diantaranya:
1. Efektivitas dan Efisiensi
Dalam hubungannya dengan kinerja instansi, maka ada ukuran baik buruknya
kinerja diukur oleh efektivitas dan efisiensi. Masalahnya adalah bagimana proses
terjadinya efisiensi dan efektivitas instansi. Dikatakan efektif bila mencapai tujuan,
kemudian dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong pencapaian
tujuan.
2. Otoritas dan Tanggung jawab
Dalam instansi yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah didelegasikan
dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing karyawan yang ada
dalam instansi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam
rangka mencapai tujuan instansi. Kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap
orang dalam suatu instansi akan mendukung kinerja karyawan tersebut.
3. Disiplin
Secara umum, disiplin menunjukan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada
diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan instansi. Kedispilinan keryawan
yang ada dalam instansi baik atasan maupun bawahan akan memberikan corak
terhadap kinerja instansi. Kinerja instansi akan tercapai apabila kinerja individu
maupun kelompok ditingkatkan.
4. Inisiatif
Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk
sesuatu yang berkaitan dengan tujuan instansi. Dengan kata lain, inisiatif karyawan
akan ada di dalam instansi yang merupakan daya dorong kemajuan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kinerja.
2.4.3 Dimensi Kinerja Karyawan
Dalam hal tersebut ada lima dimensi yang mempengaruhi (Yusuf et al, 2012),
yaitu:
1. Jobs Skills
Kemampuan dan keahlian yang mendukung pelaksanaan tugas, yang
mencakup kemampuan, pengetahuan, keterampilan interpersonal dan
kecakapan teknis.
2. Discipline
Yakni kemampuan karyawan untuk mematuhi peraturan dan kebijakan
untuk
berperilaku
dengan
instansi,
termasuk
timelines
kerja,
penyelesaian tugas, kehadiran, istirahat kerja, dan penyelesaian kerja.
3. Responsibility
Kemampuan
seseorang
untuk
melakukan
atau
menyelesaikan
pekerjaan dengan benar, contohnya waktu yang digunakan untuk
bekerja dan kualitas pekerjaan.
4. Corporation
Kemampuan untuk membangun interaksi dengan rekan-rekan dan
membantu satu sama lain dalam melaksanakan tugas.
5. Creativity
Mengacu pada kemampuan karyawan untuk berperilaku dan mencoba
hal-hal baru.
2.4.4 Upaya Peningkatan Kinerja Karyawan
Sebuah instansi dapat berkembang dengan adanya kinerja yang baik serta
kualitas yang dimiliki oleh seorang karyawan, dalam hal ini, Sutrisno (2009)
menjelaskan terdapat beberapa cara peningkatan kinerja karyawan. Stoner (dalam
Sutrisno, 2009) mengemukakan adanya empat cara, yaitu:
1. Diskriminasi
Seorang manajer harus mampu membedakan secara objektif antara mereka yang
dapat memberi sumbangan berarti dalam pencapaian tujuan instansi dengan
mereka yang tidak. Dalam konteks penilaian kinerja memang harus ada
perbedaan antara karyawan yang berprestasi dengan karyawan yang tidak
berprestasi. Oleh karena itu, dapat dibuat keputusan adil dalam berbagai bidang,
misalnya pengembangan SDM.
2. Pengharapan
Dengan memperhatikan bidang tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja
karyawan. Karyawan yang memiliki nilai kinerja tinggi mengharapkan
pengakuan dalam bentuk berbagai pengharapan yang diterimanya dari instansi.
Untuk mengesankan dalam bekerja harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga
penghargaan memang jatuh pada tangan yang berhak.
3. Pengembangan
Bagi yang bekerja dibawah standar, skema untuk mereka adalah mengikuti
program pelatihan dan pengembangan. Sedangkan yang di atas standar, dapat
dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil laporan
manajemen, bagaimanapun bentuk kebijakan instansi dapat terjamin keadilan dan
kejujurannya. Untuk itu diperlukan suatu tanggung jawab yang penuh pada
manajer yang membawahinya.
4. Komunikasi
Pada manajer bertanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja pada karyawannya
dan secara akurat mengkomunikasikan penilaian yang dilakukan. Untuk dapat
melakukan secara akurat, pada manajer harus mengetahui kekurangan dan
masalah apa saja yang dihadapi karyawan dan bagaimana cara mengatasinya.
Disamping itu, para manajer juga harus mengetahui program pelatihan dan
pengembangan apa saja yang dibutuhkan secara intens dengan karyawan.
2.4.5 Metode Penilaian Kinerja Karyawan
Mathis & Jackson (2006) memaparkan metode yang paling sederhana untuk
menilai kinerja adalah metode penilaian katagori. Metode penilaian katagori yang
paling umum adalah skala penilaian grafis dan checklist.
•
Skala Penilaian Grafis (Graphic Rating Scale)
Skala penilaian grafis memungkinkan penilaian untuk menandai kinerja
karyawan pada rangkaian kesatuan. Karena kesederhanaannya, metode ini
sering digunakan. Ada dua jenis skala penilaian grafis yang digunakan di masa
ini. Jenis yang pertama dan yang paling umum memberikan daftar kriteria
pekerjaan seperti kuantitas kerja, kualitas kerja, kehadiran dan lain-lain. Jenis
keputusan, pengembangan karyawan dan lain-lain, disertai daftar perilaku
spesifik dan efektivitas dari masing-masing hal yang dinilai.
•
Daftar Perikas (Checklist)
Checklist adalah alat penilaian kinerja yang menggunakan daftar pernyataan
atau kata-kata. Penilaian memberi tanda pernyataan yang paling representatif
dari karakteristik dan kinerja karyawan. Checklist dapat dimodifikasi sehingga
beragam bobot dapat diterapkan pada pernyataan atau kata-kata tersebut.
Hasilnya kemudian dijumlahkan.
2.4.6 Kerangka Penelitian
ρyx
ρzy
Keterlibatan
Kerja (Y)
Pelatihan (X)
Kinerja
Karyawan (Z)
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
Sumber : Penulis 2015
2.5
Penelitian Terdahulu
Terdapat berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti akan hubungan
serta pengaruh antara variabel pelatihan, keterlibatan kerja dan kinerja karyawan.
Berikut ini adalah beberapa gambaran dari peneliti:
Penelitian pada Li Mei, dan Hung yang dijelaskan dalam the journal of human
resourse dan adult learning Vol 4, Num 2, Desember 2008 tentang “Research on
How Training Influences Administrative Staff Job Involvement and Organization
Commitment” menjelaskan bahwa pelatihan memiliki kontribusi pada keterlibatan
kerja. Jika pelatihan yang sesuai dengan kondisi saat ini dapat dibuat, itu kan
menghasilkan dua kali hasil dengan setengah usaha. Masyarakat yang bergerak maju
dengan teknologi, salah satunya tidak bisa lagi tetap, dalam hal lain tidak berubah
dalam menangani semua tantangan karir kedepan, sehingga sistem pelatihan pun
harus siap seiring perkembangan teknologi.
Penelitian oleh Christopher Wanyonyi Lukabaya mengenai “Factor Affecting
Job Involvement in a Organization: A Case of Nzoia Sugar Company Limited” dalam
jurnal: International Journal of Innovation Research and Development. Menjelaskan
keterlibatan kerja dengan motivasi, kepribadian, pelatihan dan karakteristik pekerjaan.
Hal ini membantu manajemen menghasilkan hasil yang diinginkan menggunakan
variabel yang telah diidentifikasi, mereka dapat bekerja lebih efektif dan efisien
dengan adanya keterlibatan karyawan yang menempatkan upaya ekstra untuk
menyelesaikan tugas mereka. Para karyawan dalam hal ini terlibat dalam
pekerjaannya tidak hanya secara fisik tetapi juga secara emosional dan kognitif.
2.6
Hipotesis
Berdasarkan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, hipotesis yang diuji
dalam penelitian ini adalah:
T-1 Untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap keterlibatan kerja di LAPAN
Ho = Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap keterlibatan kerja di LAPAN
Ha = Ada pengaruh pelatihan terhadap keterlibatan kerja di LAPAN
T-2 Untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan di LAPAN
Ho = Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan di LAPAN
Ha = Ada pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan di LAPAN
T-3 Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan kerja terhadap kinerja karyawan di
LAPAN
Ho = Tidak ada pengaruh keterlibatan kerja terhadap kinerja karyawan di
LAPAN
Ha = Ada pengaruh keterlibatan kerja terhadap kinerja karyawan di LAPAN
T-4 Untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan melalui
keterlibatan kerja di LAPAN
Ho = Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan melalui
keterlibatan kerja di LAPAN
Ha = Ada pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan melalui keterlibatan
kerja di LAPAN
Download