PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING DI INDONESIA Mas Achmad Santosa KETUA SATGAS GAHTAS IUUF “Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk...” Presiden Joko Widodo 20 October 2014 Permen KP 4/2015 Implementasi pertanggungjawaban tindak pidana korporasi eks asing dan pemiliknya Dan membekukan 1. 1 SIPI 2. 3 SIKPI Larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik Permen-KP 02/2015 SOVEREIGNTY SUSTAINABILITY PROSPERITY Paradigma baru manajemen kebijakan perikanan Moratorium eks-kapal asing Permen-KP 56/2014 Penguatan koordinasi antar instansi penegak hukum Pembentukan Satgas Gahtas IUUF Permen-KP No 76/2014 Larangan transhipment Permen-KP 57/2014 Rekomendasi perbaikan Penenggelaman kapal peraturan dan berdasarkan kebijakan(perbaikan bukti permulaan yang cukup tata kelola) GOOD GOVERNANCE KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN IUUF DI MKP mencabut INDONESIA 1. 15 SIUP AnEv 1,132 Penegakan hukum 2. 227 SIPI (2014 – 2019) Eks kapal asing administrasi terhadap kapal 3. 20 SIKPI STRATEGI KEBIJAKAN KKP (2015) – PENENGGELAMAN KAPAL UNTUK MENUMBUHKAN EFEK GENTAR 1. Aceh (1 kapal Malaysia) 2. Kepulauan Riau (5 Malaysia, 10 Thailand, 10 Vietnam dan 3 kapal Indonesia) 3. Sumatera Utara (1 kapal Malaysia) Total ± 30 kapal Kalimantan (4 Vietnam, 1 Thailand dan 1 kapal China) Total ± 6 kapal PAPUA Papua (± 9 kapal Indonesia) Sulawesi Utara(16 kapal Philippines dan 1 kapal Indonesia) Total ± 17 kapal SATGAS GAHTAS IUUF Satuan Tugas Pemberantasan IUUF UF (dibentuk oleh Presiden) Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan IUUF (dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan) • Melakukan analisis dan evaluasi (AnEv) 1.132 eks kapal asing dan menyusun konsekuensi hukum pelanggaran perusahaan dan kapal. • Menyusun, memonitoring dan mengimplementasikan rekomendasi hasil AnEv • Menyusun reformasi perizinan perikanan (nasional dan regional) • Monitoring praktik penegakan hukum IUUF dan menyediakan aisstensi teknis untuk aparat penegak hukum • Mengembangkan Guidelines penegakan hukum IUUF yang komprehensif dan terintegrasi • Penguatan koordinasi antar penegak hukum dengan mengembangkan Online Case Tracking System penegakan hukum IUUF • Penguatan kapasitas penegakan hukum untuk memberantas IUU Fishing dengan membentuk Satgas bersama yang terdiri atas KKP, Angkatan Laut, Polisi, Bakamla dan Kejaksaan. • Mengoptimalkan perangkat yang ada termasuk kapal perang, pesawat tempur dan teknologi lainnya untuk keperluan pengawasan dan penegakan hukum • Patroli rutin (termasuk patrol udara) yang dilakukan oleh Satgas bersama untuk mendeteksi aktivitas IUU Fishing. Komposisi Keanggotaan Satgas Gahtas IUUF (koordinasi lintas kelembagaan) 6 ANEV EKS-KAPAL ASING • Implementasi dari moratorium • Kemampuan potensi produksi perikanan tangkap Indonesia terbesar kedua di dunia (5,4 juta ton/tahun 2012) * setelah China, sehingga menarik bagi negara lain khususnya ASEAN dan Asia Pasifik untuk berbinis di sektor perikanan di Indonesia. • Kapasitas dan besarnya ukuran dari kapal penangkap ikan (100-600 GT) dalam mengeksploitasi kekayaan laut dan perikanan Indonesia • Kegiatan penangkapan ikan ilegal kerap berkaitan dengan tindak kriminal mengancam keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan, menguransi potensi ekonomi, sosial dan stabilitas politik secara khusus terhadap nelayan pesisir yang mata pencahariannya sangat bergantung pada kekayaan laut Indonesia • Kegiatan bisnis perikanan tidak hanya melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang perikanan, tetapi juga melanggar prinsip dan ketentuan hak asasi manusia • Terdapat banyak kegiatan bisnis perikanan yang dikontrol secara langsung oleh organisasi kejahatan transnasional (transnational organized crime) • Mendukung dan mengimplementasikan kebijakan (kebijakan poros maritim dunia Presiden Jokowi) yang mengedepankan prinsip kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability) dan kesejahteraan (prosperity) * FAO, The State of World Fisheries and Aquaculture, 2014. KRITERIA ANEV Pelanggaran terkait Legalitas Perusahaan Pelanggaran terkait Kepatuhan Operasional Kapal • Pemilik kapal tidak memiliki NPWP/NPWP yang terdaftar di KKP tidak terverifikasi oleh Kemenkeu (Ditjen Pajak); • Pengesahan pendirian badan usaha pemilik kapal eks asing atau identitas pemilik perorangan tidak terverifkasi (misalnya untuk PT, oleh Kemenkumham); • Domisili pemilik/badan usaha kapal tidak ditemukan dan/atau tidak sesuai dengan SIUP. • Kapal tidak melakukan kewajiban pendaratan di pelabuhan pangkalan yang ditunjuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam masa berlakunya SIPI/SIKPI (termasuk tidak pernah melaporkan keluar masuk kapal ke pelabuhan pangkalan selama jangka waktu berlaku SIKPI/SIPI); • Kapal tidak memasang VMS atau tidak pernah mengaktifkan VMS dalam jangka waktu 2 (dua) bulan berturut-turut selama SIPI/SIKPI berlaku; • Kapal tidak terpantau/diketahui keberadaannya di pelabuhan pangkalan, WPP NRI atau laut lepas berdasarkan SPKP dan/atau hasil pemantauan lapangan; • Tidak membangung atau bermitra dengan UPI; • Kapal melakukan transshipment secara tidak sah; • Mempekerjakan ABK dan nahkoda asing; • Menangkap ikan di perairan Indonesia (laut territorial); • Menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan SIPI; atau • Kapal terbukti digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang perikanan sesuai Pasal 103 (1) berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kepatuhan pembayaran pajak (bekerjasama dengan Ditjen Pajak) Hasil Interim dan Lesson Learned Anev Kapal Eks Asing 1. + 912 dari 1,132 kapal melakukan pelanggaran operasional 2. Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain adalah: 1. 2. • Menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan asing • Menggunakan BBM illegal • Tidak mengaktifkan VMS • Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan • Melakukan alih muatan ilegal (illegal transhipment) di tengah laut • Menggunakan alat tangkap tidak sesuai SIPI • Melanggar jalur penangkapan ikan • Kapal tidak terdeteksi di wilayah perairan Indonesia • Melakukan eskpor-impor barang tanpa izin kepabeanan • Tidak membangun/bermitra dengan UPI • Mempekerjakan ABK asing tanpa izin • Melakukan tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan Sekitar 560 kapal yang dimiliki oleh beberapa perusahaan (49 perusahaan) dapat dikategorikan perusahaan yang melakukan pelanggaran berat. 1. Sekitar 200 dari 560 kapal tersebut dimiliki oleh 2 grup perusahaan besar (Papua dan Maluku) yang terindikasi melakukan praktik perdagangan manusia dan kerja paksa 2. Sekitar 90 dari 560 kapal tersebut saat ini keberadaannya tidak dapat dilacak berada di Indonesia (diindikasikan kapal tersebut telah kembali ke negara asalnya). Berdasarkan hasil tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan menjatuhkan sanksi administratif terhadap kapal dan perusahaan yang melanggar dengan rincian sebagai berikut: 1. Mencabut izin SIUP 15 perusahaan, SIPI 227 Kapal penangkap ikan dan SIKPI 20 kapal pengangkut ikan 2. Membekukan izin 1 SIPI kapal penangkap ikan dan 3 SIKPI kapal pengangku ikan PETA KEPATUHAN KAPAL (2015) III. Kepulauan Riau (± 60 kapal) 1. Posisi kapal tidak diketahui (terindikasi kembali ke negara asal) 2. Double flagging 3. VMS tidak aktif 4. Badan hukum fiktif IV. Papua Barat(± 90 kapal) 1. Mempekerjakan nahkoda dan ABK asing (sekitar 80-90%) 2. VMS tidak aktif 3. Double flagging 4. Posisi kapal tidak diketahui (terindikasi kembali ke negara asal) II. Papua (± 140 kapal) 1. Mempekerjakan nahkoda dan ABK asing (sekitar 80-90%) 2. Double flagging 3. VMS tidak aktif 4. BBM ilegal 5. Menangkap ikan yang dilindungi 6. Ekspor ilegal ikan yang dilindungi 7. Impor barang ilegal ke Indonesia 8. Kerja paksa (indikasi) V. Sulawesi Utara (± 200 kapal) 1. Mempekerjakan nahkoda dan ABK asing (sekitar 20%) 2. Mark down GT kapal 3. VMS tidak aktif VI. Bali (± 150 kapal) 1. Mempekerjakan ABK asing (sekitar 5-10%) 2. Mark down GT kapal 3. VMS tidak aktif I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Maluku (± 350 kapal) Mempekerjakan nahkoda dan ABK asing (sekitar 95%) Double flagging VMS tidak aktif Posisi kapal tidak diketahui Solar illegal Perdagangan manusia dan kerja paksa Tindak pidana ketenagakerjaan dan keimigrasian Transhipment ilegal Temuan Permasalahan Terkait Tata Kelola Pengusahaan Perikanan • Mengkonfirmasi Hasil Survey Integritas Sektor Publik KPK (2014) yang menunjukan bahwa pelayanan Perizinan belum memadari (kepraktisan SOP, keterbukaan informasi, menguatnya budaya anti korupsi dan mekanisme dumas) • Ketidakjelasan definisi penangkapan dan pengangkutan ikan • Pendaftaran kapal masih mengacu kepada kebenaran formal (tidak berdasarkan keabsahan material dokumen) yang memicu praktek double flagging • Proses pengukuran kapal belum transparan dan akuntabel (yang menumbuhkan praktek-praktek mark down ukuran kapal). Praktek mark down dilandasi berbagai motif: kemudahan pengurusan izin, mengutangi besaran pembayaran PPP atau PHP, menangguk keunrungan dengan cata melaporkan hasil tagkapan yang tidak benar (unreported fishing) • Penyalahgunaan pemanfaatan terminal khusus • Proses pemberian izin belum berdasarkan potensi/alokasi SDI Indonesia • Proses pemberian izin belum berdasarkan AUPB (UU-AP) • Koordinasi pemberian izin antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah kurang berjalan • Banyak ditemukan alat tangkap yang digunakan tidak sesuai dengan izin (rendahnya tingkat kepatuhan disebabkan pemantauan kepatuhan tidak dilakukan secara ketat dan periodik) • Belum adanya sistem dan strategi penegakan hukum yang komprehensif dan terintegrasi dalam penanganan IUUF (kesiapan menangani kejahatan perikanan dan kejahatankejatahan lain terkait) Transhipment (alih muatan hasil tangkap ikan dari kapal tangkap ke kapal angkut) Mengapa Transhipment dilarang? 1. Resiko tinggi yang memicu IUUF; 2. Sulitnya akses pengawasan dan penegakan hukum di tengah laut , terutama kelangkaan sumber daya pengawasan di tengah laut; 3. Manifestasi Precautionary Principle; 4. Pengecualian bagi kapal penangkap tuna ukuran besar (Tuna Larger Vessel) yang terdaftar di RFMO diperbolehkan transhipment dengan melaporkannya terlebih dahulu, dan menempatkan observer independen di atas kapal (on board), dilengkapi dengan asuransi serta biaya observer. Pendaratan Hasil Tangkapan (Port Landings) 1. Mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditunjuk merupakan titik kritis untuk mencegah IUUF dalam siklus rantai pasokan (supply chain) usaha perikanan tangkap sebelum di proses di UPI atau dipasok ke pasar (termasuk ekspor); 2. Kemampuan pengawasan dan inspeksi otoritas pelabuhan (port state control) menjadi hal yang penting untuk mencegah IUUF; 3. Port State Control yang ketat dari otoritas pelabuhan (Port State Authorities) merupakan disinsentif dan cost effective untuk pelaku IUUF; 4. Lax of Enforcement dan kapasitas otoritas pelabuhan yang terbatas merupakan "save havens" dan "portal" bagi pelaku IUUF memasuki supply chain (pasar dan konsumen). Peta Jalan Reformasi Tata Kelola Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Indonesia Pasca AnEv 2015/16 Perbaikan sistem perizinan perikanan tangkap dan pendaftaran kapal berdasarkan prinsip good governance dan potensi/alokasi SDI Penguatan pengawasan di pelabuhan perikanan, termasuk kajian ratifikasi Port State Measures Agreement (FAO) Penguatan sistem dan praktek MCS, termasuk komprehensivitas regulasi, penguatan sanksi, penguatan koordinasi, kualitas/kuantitas/integritas SDM, dan sarana dan pendekatan Penguatan penegakan hukum (koordinasi, peningkatan keterampilan, penerapan pendekatan multidoor, dan Pengembangan OCTS) Perbaikan administrasi dan transparansi pelaporan hasil tangkapan dan perdagangan ekspor ikan (termasuk didalamnya pengkajian ulang sertifikasi hasil tangkapan Indonesia/SHTI dan surat persetujuan muat/SPM) Kebijakan pencegahan pelanggaran HAM di industri perikanan yang berada dan beroperasi di wilayah perikanan, antara lain kewajiban audit HAM sektor perikanan Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar K/L dan antar negara, termasuk optimalisasi Regional Plan of Action (RPOA) – ASEAN++, dan kerjasama dengan Interpol dan lembaga-lembaga internasional lainnya Instansi dan Yurisdiksi Kewenangan Penegak Hukum Perikanan • Yurisdiksi penyidikan di Laut teritorial (0-12 mil), ZEE (12-200 mil) dan Laut Lepas (high seas) Penuntutan • Yurisdiksi Penyidikan di ZEE dan laut lepas • Yurisdiksi penyidikan di Laut territorial • Yurisdiksi pengawasan dan penindakan (berdasarkan UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan) 1. Melakukan pengejaran seketika; 2. Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan 3. Mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Pengadilan Penenggelaman dan pembakaran kapal dapat dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan. Penyidikan : Pasal 69 ayat (1) (3): Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penuntutan : Pasal 74 jo Pasal 76 A :Pada tahap penuntutan, benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapa dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri. PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM PERIKANAN KASUS MV. HAI FA (1) • IMO : 7818561 • Length x Breadth : 107m x 16.12 m • MMSI : 371295000 • Year build : 1978 • Call sign : 3 EAY • Captain Name : Zhu Nian Le • Gross Tonnage : 3830 • Deadweight : 4258 t KASUS MV. HAI FA (2) Pelanggaran : 1. Berlayar tanpa surat laik operasi (SLO) dari Satker PSDKP Avona 2. Mengangkut dan mengeskpor hiu martil yang dilindungi (15 Ton) 3. Mematikan VMS dan AIS selama 4 (empat) kali periode berlayar di perairan Indonesia Hukuman : PN Perikanan Ambon memutus bersalah Nahkoda MV. Hai Fa karena mengangkut (tujuan ekspor) hiu martil yang dilindungi dan dikenakan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah). Putusan tersebut dikuatkan oleh PT. Ambon. Pasca putusan: Pada saat sedang akan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran lain, kapal MV. Hai fa kembali ke China, berlayar tanpa SLO dan SPB (surat persetujuan berlayar) dan mematikan AIS dan VMS selama berlayar di perairan Indonesia. KASUS MV. HAI FA - Penggunaan tools Interpol Training and Capacity Building Criminal Intelligence Analysis Data Exchange Response Teams Database Command and Coordination Center Notices: Purple Notice KASUS SINO (1) Sino dimiliki oleh PT. Sino Indonesia Shunlida Fishing, perusahaan PMA (China) yang berdomisili di Merauke , Papua. • Pada tanggal 30 Oktober 2014, KRI Halim Perdana Kusuma 355 menangkap 5 kapal Sino di Perairan Laut Arafura • Alasan Penangkapan :(1) menangkap ikan tanpa izin/SIPI yang berlaku, (2) menangkap ikan di laut teritorial dan (3) menggunakan alat tangkap jaring ganda yang tidak sesuai dengan alat tangkap yang diperbolehkan pada SIPI. • Kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Perikanan Ambon • Pada tanggal 25 Oktober 2014, pengawas perikanan Merauke menangkap 6 kapal Sino saat ingin bersandar di PU. Merauke. • Alasan penangkapan : (1) menangkap ikan tanpa izin/SIPI yang berlaku dan (2) berlayar tanpa SLO dari Pelsus MTJ di Tual. • Kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Perikanan Merauke KASUS SINO (2) PUTUSAN SINO DI PN PERIKANAN AMBON DAN PT. AMBON PUTUSAN SINO DI PN PERIKANAN MERAUKE PN. Perikanan Ambon: Terbukti melanggar pasal 100 jo Pasal 7 (2A) dan menjatuhkan pidana 1. denda sebesar Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah) subside 4 bulan penjara; 2. Alat tangkap dirampas untuk dimusnahkan; 3. Uang hasil lelang ikan diberikan kepada negara dan Kapal yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dikembalikan kepada pemilik. Pengadilan Tinggi Ambon (mengoreksi putusan PN Ambon): Terbukti melanggar pasal 93 (1) tentang penangkapan ikan tanpa SIPI dan menjatuhkan pidana: 1. Hukuman penjara 2 tahun; 2. Denda sebesar 1 milyar subsidair 6 bulan kurungan; 3. kapal dirampas untuk dimusnahkan; 4. uang hasil lelang ikan sitaan dirampas Untuk Negara 5. Membayar biaya perkara sebesar Rp.10.000,- Terbukti melanggar pasal 93 (1) tentang penangkapan ikan tanpa SIPI dan menjatuhkan pidana : 1. Hukuman penjara 2 tahun 2. Denda 1 Milyar subsider 6 bulan kurungan 3. Barang bukti kapal dirampas untuk dimusnahkan 4. Hasil lelang ikan +/-500 ton senilai Rp 6.776.250.000,00 dirampas untuk negara 5. Membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,00 SAAT INI PENYIDIK LANTAMAL IX AMBON SEDANG MENYUSUN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PT. SINO INDONESIA SHUNLIDA FISHING (P-19) KASUS PT PGL DI MALUKU (1) Pada tanggal 10 Oktober, Kapal angkut berbendera Thailand yang diageni perusahaan Indonesia ditangkap di wilayah periaran PNG saat sedang melakukan transhipment. Kedua kapal terdaftar sebagai kapal perikanan Indonesia dan PNG (double registered). KASUS PT PGL DI MALUKU (2) Setelah masa berlaku izin operasi pengangkutan (SIKPI) habis, Kapal angkut berbendera Thailand yang diageni PT. PGL masih beroperasi dan secara periodik mengangkut hasil tangkapan ikan dari kapal perikanan Indonesia di Laut Aarafura (transhipment). Foto satelit ini diambil pada tanggal 14 Juli 2015 di Laut Arafura. TIDAK MEMILIKI/ BERMITRA DENGAN UPI TIDAK MENDARATKAN IKAN DI PELABUHAN PANGKALAN PEMALSUAN DOKUMEN PENGALIHAN KEPEMILIKAN KAPAL (DC, BOS,GA DAN PDA) DOUBLE FLAGGING DAN DOUBLE REGISTERED PENANGKAPA N IKAN TANPA IZIN SIPI/SIKPI MARK DOWN UKURAN KAPAL PERUBAHAN NAMA KAPAL MODUS OPERANDI IUUF ALAT TANGKAP TERLARANG BERLAYAR TANPA IZIN (SLO/SPB) PELANGGARAN JALUR PENANGKAPAN IKAN TIDAK TAAT DALAM MELAPORKAN HEALTH CERTIFICATE DAN PEMBERITAHUAN EKSPOR BARANG (PEB) PELAPORAN LOGBOOK YANG TIDAK AKURAT DAN DAN TIDAK BENAR ALIH MUATAN ILLEGAL DI TENGAH LAUT (ILLEGAL TRANSHIPMENT) TIDAK MENGAKTIFKAN VMS DAN AIS PENGUNAAN NAKHODA DAN ABK ASING TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KORUPSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG KERJA PAKSA PENGANIAYAAN MODUS OPERANDI TINDAK PIDANA LAINNYA TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN PEKERJA ANAK TINDAK PIDANA PAJAK PENYELUNDUPAN BARANG BBM ILEGAL Lesson Learned Penegakan Hukum Hai Fa dan Sino Koordinasi antar penegak hukum belum berjalan (disparitas dakwaan, tuntutan, dan putusan yang diakibatkan oleh persepsi yang berbeda antar apgakum); Jenis dakwaan sangat menentukan peluang keberhasilan kasus: Sino Merauke menggunakan jenis dakwaan kumulatif terhadap 3 (tiga) dakwaan, Jaksa membuktikan ketiga dalil dakwaan dan hakim memutus hukuman terberat. Sementara Hai Fa menggunakan jenis dakwaan alternatif, jaksa hanya perlu membuktikan satu dalil dan hasilnya hakim memutus hukuman yang sangat ringan. Penggunaan pasal-pasal dalam UU Perikanan menentukan beratnya hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku IUUF: Jaksa pada Kejaksaan Negeri Merauke menggunakan pasal kejahatan dengan hukuman tergolong berat, sementara Jaksa pada Kejaksaan Negeri Ambon menggunakan pasal pelanggaran dengan hukuman ringan. Akibatnya hakim memutus hukuman terhadap kasus Sino Merauke lebih berat daripada hukuman terhadap kasus Hai Fa Ambon. Penegak hukum belum menggunakan pendekatan multidoor (belum ada kasus yang menjerat korporasi dan tindak pidana lain seperti pajak, korupsi dan money laundering) Yurisdiksi Pengadilan perikanan membatasi penerapan pendekatan multidoor UU Pelayaran Mengapa Pendekatan Multi-Rezim Hukum digunakan untuk penanganan kasus IUU Fishing? • Kejahatan di sektor kelautan dan perikanan merupakan kejahatan lintas sektor. • Keterbatasan per-UU-an, mengakibatkan dibutuhkan UU lain untuk menjerat pelaku IUU Fisihing; • Kejahatan IUU Fishing berpotensi besar selalu diikuti dengan TPPU, Suap, Gratifikasi dan Penghindaran Pajak. UU Perikanan UU PMA UU Karantina UU SD Hayati UU TPPO UU Migas UU HAM UU PT Multidoors di Bidang Kelautan dan Perikanan UU PPLH UU Tipikor UNCLOS UU TPPU UU imigrasi UU Ketenagak erjaan UU Pajak UU ZEEI KUHP/ KUHAP UU UU PPPK Kepabean -an • • • • • Pendekatan Multidoors Perluasan cara pandang Multi Rezim Perundang-Undangan Multi Penegak Hukum dan Institusi Sinergi Penegak Hukum Kejar Pelaku dan Aset 27 PERSOALAN PENEGAKAN HUKUM DI SEKTOR PERIKANAN • Penerapan pasal-pasal hukum yang sangat lemah (antara lain jenis dakwaan yang digunakan alternative dan penggunaan pasal-pasal yang digunakan sangat ringan sehingga tidak menumbuhkan efek jera) • Masih lemahnya koordinasi antar penyidik dan antar K/L dalam penanganan perkara perikanan • Keterampilan penegak hukum dalam menerapkan dakwaan yang non konvensional/korporasi masih terbatas (Penegak hukum belum menggunakan pendekatan multi-door) • Penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi hasil putusan pengadilan (Misalnya : kapal pelaku IUUF dilelang dengan murah dan kembali ke pemilik asal) • Lambannya penegak hukum dalam menangani barang bukti ikan hasil tangkapan (turunnya nilai ekonomis) • Keterbatasan sumber daya pemerintah dalam menangani ABK non justicia (penampungan ABK asing yang tidak tersangkut perkara) • Diperlukan penguatan integritas aparat penegak hukum Terima Kasih