Sistem Religi Masyarakat Maluku SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang Asal Usul Agama pada Masyarakat Hena Lima) Oleh : M. Syafin Soulisa Abstract The development of Islam in Maluku has its own character. This is due to the spread of Islam in the Maluku archipelago, especially cause the process of acculturation and assimilation with the local culture and traditions. Community Hena Lima Muslim majority today than adhering to the teachings of Islam but the order has not been able to leave their local religious traditions. System of religious traditions Hena Lima people can be said is a fusion between religion and customs, so for people Hena Five religious system that is highly valued. Among these is the tradition and culture of belief in ancestral spirits who have spiritual powers, the power of faith-based as god, the tradition of pilgrimage to the tomb of certain people, perform rituals that aim to worship God. Keywords : Religion, Hena Lima A. Pendahuluan Agama Nusantara perkembangan kedua kebudayaan tersebut. Islam yang khusunya di berkembang Maluku di memiliki Menurutnya bahwa Perkembangan kebudayaan Islam dapat ditinjau dari dua segi.1 karakter yang sangat unik dan menarik terkait Pertama, dari segi perluasan wilayah dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini kebudayaan, masyarakat Maluku sejak waktu itu dikarenakan telah penyebaran agama Islam di termasuk bahagian dari pendukung nusantara khususnya Maluku lebih pada pola kebudayaan Islam. Kedua, dari segi substansi akulturasi dan asimilasi ajaran Islam dengan kebudayaan, Kebudayaan Islam di Maluku budaya menerima sebahagian budaya lokal. Dengan dan tradisi lokal masyarakat di nusantara dan Maluku itu sendiri. Para penyiar perkembangan agama Islam telah berhasil mengkombinasikan kebudayaan Islam di Maluku bernuansa lokal aspek-aspek dalam sebagai ciri khasnya. Namun dari sistem masyarakat kepercayaan, kebudayaan Islam tidak menerima budaya memperkenalkan dan Islam spiritual kepada Maluku dalam menyebarkan ajaran Islam. Disinyalir bahwa masyarakat Muslim di Maluku terbentuk sejak abad XV. Menurut M. Saleh Putuhena, telah terjadi interaksi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal. Interaksi itu berpengaruh terhadap sesuatu unsur melalui akomodasi kepercayaan lokal itu, seperti dinamisme, animisme, dan roh nenek moyang yang mempengaruhi kehidupan anak-cucu 1 M. Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK Maluku Oktober 2009 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 103 M. Syafin Soulisa mereka. Demikian pula halnya dengan sistem secara dialogis. Akan tetapi tidak dapat di ritual. Jadi baik sistim kepercayaan maupun pungkiri bahwa budaya agama lokal telah sistim ritual. kebudayaan Islam dapat dikatakan mengakar kuat pada kehidupan individu dan tidak menerima unsur kebudayaan lokal. masyarakat Maluku, olehnya keberadaan agama Menurut Putuhena bahwa Kedua unsur tesebut harus berdasarkan wahyu, Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Dalam sistem serimonial terutama life sycle serimonies seperti upacara kelahiran, dan upacara perkawinan, dan upacara kematian, kebudayaan Islam sarat dengan kebudayaan lokal. Perlu diketengahkan bahwa kebudayaan Islam yang masuk ke Maluku telah mengakomodasi kebudayaan lokal lainya seperti kebudayaan Melayu dan kebudayaan Jawa. Unsur kebudayaan ini merupakan bagian dari upacara penggunaan atau peresmian sesuatu, seperti membangun dan masuk rumah baru, perahu baru, kebun baru dan sebagainya. Sebelum Islam dan sesudah Islam untuk keperluan itu dibacakan mantra atau semacamnya oleh seseorang yang bertugas khusus untuk itu. Sebahagian masyarakat adat khususnya di Maluku Tengah orang seperti itu disebut maueng. Pada masa Islam untuk hal-hal sperti tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam. Selain pola-pola kebudayaan berupa lokal tersebut tetap berpengaruh terhadap pola akulturasi antara kebudayaan Islam dengan ungkapan orang di Maluku terhadap Upu, kebudayaan lokal tersebut, kebudayaan Islam memang cukup beragam dan pemaknaannya menambah khazanah budaya lokal. Dalam bertolak dari identitas kultural, seperti Upu kesenian sering Lanite, Up Lera, Upu Wosi, Upi Ume, Duad memainkan tari debus-badabus, suatu jenis Lervuan, Ratu, dan lain-lain, dalam kaitan dengan tarian kekebalan yang disertai nyanyian dzikir. keberadaan manusia di dunia, Upu dapat dilihat Tari sambra atau gambus, hadrat, keduanya sebagai Tuhan dan serentak diiringi rebana dan nyanyian berupa dzikir. Tari- melahirkan manusia pertama. misalnya, masyarakat ritual keagamaan yang dilakukan pada saat mereka memeluk sala satu agama samawi yang diyakini. Masyarakat Maluku sebagian besar mereka beragama Islam dan Kristen, walau mereka memeluk kedua agama tersebut namun masih tampak dari mereka sisa religi sebagai agama asli mereka. Mereka masih percaya akan adanya roh-roh halus yang harus dihormati dan diberi makan, minum dan tempat tinggal agar tidak menjadi gangguan bagi mereka yang masih hidup. Roh-roh halus itu diyakini sebagai roh para leluhur yang senantiasa selalu hidup bersama mereka. Leluhur sendiri dalam kosmologi orang di Maluku menurut Lawalata, hal tersebut mengarah kepada dua term yaitu Upu dan tete nene moyang. Upu diartikan sebagai Tuhan atau tuan atau bapak atau orang yang dimuliakan atau yang paling dihormati. Menurutnya bahwa leluhur yang 2 tarian tersebut dapat juga dijumpai pada beberapa daerah lain di Nusantara. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa bentuk akulturasi Islam dengan budaya nusantara khususnya budaya Maluku terjadi 104 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon 2Maryo Lawalata, Kedudukan Tete Nene Moyang Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa Tanggapan Kontekstual)dalam http://tounusa.wordpress. com/2011/08/26/kedudukan-tete-nene-moyang-dalampengakuan-iman-gpm-beberapa-tanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini 2013 Sistem Religi Masyarakat Maluku Mus Huliselan mengungkapkan diantara ketiganya semakin baik kehidupan di kosmologi orang Ambon-Maluku ditandai oleh dalam kosmosnya. Terpeliharanya leluhur (tete pandangan dualistik yang membentuk satu nene moyang) akan berdampak langsung pada totalitas. Dunia terdiri Upu Lanite (Tuan atau terpeliharanya Tuhan langit) dan Upu Ume (tuan atau Tuhan sosialnya. tanah/bumi). Upu Lanite dikategorikan sebagai lingkungan alam maupun Dalam hubungan ini, Cooley mangatakan laki-laki dan Upu Ume atau Ina Ume (ina=ibu) bahwa sebagai perempuan. Pertemuan kedua unsur ini persekutuan yang terdiri dari orang-orang hidup yang yang dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena mendiami wilayah Ambon, Lease, dan Seram melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan Tengah dan Barat. Maluku arwah para leluhur dipersatukan. Penyatuan ini memiliki dua peranan yaitu melindungi dan didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para menghukum anak cucunya. Peranan melindungi leluhur ini sifatnya sangat pribadi yaitu tidak dapat menciptakan adat dan manusia yang masih dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan hidup sekarang adalah pelaksana adat. Mereka kerabat (tete nene moyang) atau senegeri yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil, dihitung dari garis ibu atau ayah. sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa melahirkan manusia-manusia 3 leluhur orang Sesuai dengan pandangan kosmologinya, orang Ambon misalnya sangat percaya kepada tiga kekuatan besar yang berkaitan dengan leluhur mereka, yaitu gunung, tanah dan tete nene moyang. Gunung mewakili unsur laki-laki, tanah dan dunia bawah mewakili perempuan dan tete nene moyang mewaliki roh para leluhur (nitu). Masing-masing punya kekuatan sendiri, kalau dipadukan memiliki kekuatan yang sangat besar dan dapat dipakai untuk menolong anak cucu leluhur di dunia. Kondisi bahwa konsep Maluku-Ambon tersebut leluhur adalah menurut pada suatu Lawalata orang-orang konsep yang berusaha membina dan menjaga hubungan secara terus menerus dan teratur antara manusia yang masih hidup, para leluhur dan lingkungan hidupnya. Makin baik hubungan 3 Mus Huliselan, Makna dan Kedudukan Leluhur Dalam Kepercayaan (adat) Ambon, Ambon: 1997 tidak dipublikasikan. masyarakat adalah Maluku orang-orang merupakan yang telah kesulitan.4 Betapa pentingnya ekssitensi leluhur bagi oang maluku sehingga dapatlah dilihat dalam segala aktifitas kehidupan sosial agamanya leluhur senantiasa mendapat tempat penting. Untuk masuk baileu atau rumah tua misalnya, harus minta ijin dari leluhur dengan cara melakukan upacara terlebih dahulu yang dilakukan oleh tuan negeri yang disebut dengan mauweng. dengan mengenakan pakaian adat setempat, jika tidak dengan simbol tertentu maka akan mendapat teguran dari para leluhur mereka berupa bencana, wabah penyakit, kehidupan selalu merasa di gangu dan merasa ditinggaloleh leluhurnya. Olehnya untuk menghidarinya atau cara agar keluarga terhindar dari ganguan tersebut dilakukan ritual untuk meminta kepada leluhur senantisa hadir bersama mereka. 4 Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 109 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 105 M. Syafin Soulisa Valentinja mengatakan keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa, bahwa orang Ambon meskipun mempunyai ilah- Roh-roh halus yang termuat dalam sistem ilah yang berstatus tinggi dan menengah tidak upacara, tetap dalam berdoa dan ibadah. Kegiatan- maupun modern yang merupakan suatu pranata kegiatan keagamaan mereka sebagian besar yang diperlukan masyarakat sebagai usaha didorong oleh adanya krisis dan bencana, jika untuk memenuhi hasratnya dalam melakukan tidaka ada maka mereka tidak peduli pada ilah komunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib atau agama. 5 karena Olehnya itu, Agama atau religi sebagaimana di definisikan adalah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan (Cicero), agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah Tuhan (Emanuel Kant), agama adalah iman akan adanya kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak biasa digambarkan batas waktu atau tempat (Herbert Spencer), E. B. Taylor menulis bahwa” Religion is belief in spiritual being” agama adalah keyakinan tentang adanya mahluk spiritual.6 Dari definisi agama tersebut dapat di pahami bahwa agama atau religi adalah keyakinan manusia akan keberadaan sesuatu yang bersifat gaib dan Maha Tinggi dan dijadikan sandaran oleh manusia. Secara sosiologis menurut Henslin dalam Nanang Martono, agama merupakan suatu isu yang berkaitan dengan kepercayaan, olehnya para sosiolog berurusan dengan hal-hal yang bersifat empiris, hal-hal yang dapat diamati dan diukur.7 Sistem religi (sistem kepercayaan) berfungsi sebagai alat komunikasi dengan merupakan merupakan usaha manusia untuk mencari universal dalam salah yang satu mewujud Cooly unsur kebudayaan sebagai sistim baik berupa didalamnya upacara terdapat tradisional simbol yang makhluk lain. Religi sebagai unsur budaya karena kebudayaan adalah keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang harus didapatinya dengan belajar.8 Olehnya dapat dipahami bahwa setiap tindakan manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan yang dalamnya terdapat unsur-unsur secara keseluruhan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari suku bangsa di dunia. Koentjaraningrat membagi sistim religi dalam masyarakat menjadi empat komponen yaitu Pertama; Emosi Keagamaan, yang menyebabkan manusia itu bersikap religius, Kedua; Sistem segala Keyakinan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supranatural); serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan, Ketiga; sistem ritus dan upacara yang hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib, Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 327 6 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 16-17 7 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern Dan Poskolonial, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 168 5 106 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon Keempat; Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut.9 8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 180 9 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 147 Sistem Religi Masyarakat Maluku Emosi keagamaan (Religion Emotion) hal ini biasanya di alami oleh setiap manusia walau hanya sementara. Keadaan tersebut religi. Emosi keagamaanlah tentang asal usul agama dan Kepercayaan. yang mendorong seseorang melakukan sesuatu yang bersifat dengan pendekatan Teori Sosiologi Agama yang B. Sejarah singkat Masyarakat Negeri Hena Lima menyebabkan sesorang menilai suatu benda, gagasan, tindakan mendapat suatu nilai keramat dan dianggap keramat.10 Sistim religi atau juga disebut dengan agama adalah merupakan salah satu unsur universal dalam kehidupan manusia. Hampir setiap ummat manusia mengenal tentang keberadaan agama. Selain rumusan yang di sampaikan Koentjaraningrat, Comte juga merumuskan teori hukum tiga tahapnya, dimana pada tahap awal perkembangan manusia adalah Teologis. Pada tahap ini manusia merasakan keberadaan sesuatu yang memiliki kekuatan yang melebihi wujudnya kekuatan bersifat dirinya, abstrak dan namun kemudian diasumsikan oleh manusia dengan sebuah dewa atau mahluk yang tidak tampak.11 Emosi keagamaan itu yang mendorong orang berperilaku serba religi. Agama kepercayaan supranatural. berkaitan manusia Kepercayaan erat akan ini dengan kekuatan diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun aktifitas dan berbagai simbol. Agama kemudian mampu menggerakan pola fikir manusia, dan mampu mengendalikan perilaku dan merubah kehidupan masyarakat manusia. Dari pemahaman kebudayaan dan sistim religi masyarakat maka tulisan ini akan memfokus pada sistim religiusitas yang terdapat pada masyarakat Negeri Hena Lima- Ambon 10 merupakan salah satu negeri yang terletak di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Dinamakan Negeri Hena Lima, karena terdapat lima negeri yaitu Hena Nau, Hena Lale, Hena Helu, Ela Tua dan Hena Ulisiahu yang di integrasikan menjadi satu negeri besar. Semula kelima negeri tersebut tinggal di peggunungan Hena Lima, setelah masuknya agama Islam kelima negeri tersebut turun ke tepi pantai dan membentuk satu negeri besar di pimpin langsung oleh satu Raja atau Kepala desa hingga sekarang.12 Hena BiNau (Negeri Mawi) berasal dari Kata “Bi” yang artinya tarik/hela dan “ Nau” yang berarti mawi (meramal) yang kemudian disatukan menjadi “Binau” artinya tarik atau hela mawi. Karena pekerjaan ini dilaksanakan di suatu tempat khusus, maka dalam bahasa adat di sebut tempat mawi/perintis atau petunjuk jalan yang umunya di kenal dengan nama “Nuzum”. Dalam perkembangan bahasa dan adat istiadat, maka nama ini dirubah menjadi Uli Nau dan pada akhirnya menjadi Nau hingga sekarang. Datuk atau moyang yang mula-mula menjadi pimpinan pada Hena Nau (kampong mawi) adalah Kapitan Rakamau yang dikenal dengan sebutan Latu Ela ( Raja Besar) artinya orang yang memegang jabatan tertinggi. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, hlm. 376-377 George Ritzer, Modern Sociological Theory, terj. Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 17 11 Masyarakat Hena Lima (Negeri Lima) 12 M. Syafin Soulisa, Interaksi Sosial Dalam Budaya Gandong Pada Masyarakat Hena lima Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon 2006), hlm. 34 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 107 M. Syafin Soulisa Hena Ulisiahu, Hena ini letaknya kurang daerah pengunungan merasa resah maka lebih 2 Km di sebelah selatan Negeri Hena Lima. datanglah Kapitan Rakamau dari Hena Nau Nama Hena Ulisiahu ini di ambil dari nama bersama-sama dengan pimpinan kedua Hena sejenis umbi yang banyak tumbuh di daerah untuk pemukiman mereka, yang dalam bahasa daerah Pimpinan Hena Helu agar mereka turun ke disebut dengan mengadakan perundingan dengan nama “Isiahu”. Dalam pesisir pantai, kemudian ditempatkan disebelah atas ininsiatif Kapitan barat Hena Nau dan diberi Nama Hena Helu Rakamau (Latu Ela) merasa tidak puas dengan (Kampong baru). Hingga sekarang tetap di kehidupan keluarga Hena Ulisiahu, sehingga dia pertahankan berusaha untuk menurunkan mereka untuk sebagaimana Soa Lainnya. Sedangkan Rumatau menemani masyarakat Hena Nau di pesisir (Marga) asli penduduk Hena Helu adalah Marga pantai. Ajakan tersebut disetujui, Maka mereka Soumena Letehaha (Soumena diatas ) Soumena pun turun, dalam perjalanan turun terdapat Baelete, Hehalatu dan Sopalau (Berlayar Jauh ). perkembangan dan sebuah batu yang merintangi jalan yang mereka lalui sehingga mereka berusaha sebagai Soa Hena Helu, Hena Elatua, negeri yang sebelum turun untuk ke pantai, mereka menetap di bawa kaki gunung memindahkan kesebelah jalan, peristiwa ini di Latua kurang lebih berjarak 9,5 km sebela sebut “Talahatu” artinya Tebang Batu atau selatan Hena Lima. Gunung yang berada pada memindahkan batu. Mereka berhasil turun ke perbatasan Negeri Hena Lima, Hatu dan Negeri pantai dan bergabung dengan penduduk Hena Alang. Dari Nau. Peristiwa memindahkan batu tersebut menamakan negeri mereka ketika berada di (Talahatu) di abadikan menjadi marga asli Hena pantai dengan sebutan negeri atau Soa Latua. Ulisiahu di samping Marga Tuny.hena Ulisiahu Marga-marga atau lumatau yang mendiami hena sendiri tidak terlalu berkembang dikarenakan Latua yakni marga Latuapo, tunny, Hutuely, tidak terlalu banayak marga atau lumtau. Hitaut, Sopaliu dan Teunusun. Marga-marga nama gunung tersebut mereka Hena Helu (Negeri Baru), negeri ini tersebut masih ada kecuali marga Sopaliu dan letaknya kurang lebih 8 Km sebelah tenggara Teunusun telah punah dikarenakan sudah tidak Hena Lima (Negeri Lima). Letaknya sangat ada strategis di atas pengunungan. Tempat ini memerintah pada saat itu adalah raja latuhukul disebut Hena Helu yang artinya “Kampung Baru” (raja Gunung Alifuru) dari lumatau marga karena mereka turun ke pantai belakangan. Latuapo. Kehidupan mereka di pengunungan ini sering Hena Lale (Negeri Lalat), negeri ini terletak di daerah pengunungan Wasi Hena Lale (hutan Negeri Lalat) kurang lebih 10 Km dari Negeri Hena Lima. Awal mula Hena ini didiami oleh satu keluarga Batih yang terdiri dari ayah ibu dan tiga orang anak. ketiga Anak (kakak beradik) masing-masing “Tauqi” (sulung) “Tauqa”(tengah) dan “Siti Ehuputy” (bungsuh). membawa akibat buruk bagi Masyarakat Hena Nau dan Hena Ulisiahu, karena warga kedua Hena tersebut sering di culik dan akhirnya di bunuh oleh Masyarakat Hena Helu. Akibat dari sering terjadi pembunuhan itu. Orang-orang yang berada di sekitar pengunungan, seperti Hena Dali juga Hena Elatua yang masi terdiam di 108 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon keturunannya. Adapun raja yang Sistem Religi Masyarakat Maluku Mereka adalah Penduduk asli yang di sebut Alifuru, dimana kehidupanya masi primitif dan belum mempunyai peradaban. Perkampungan mereka di sebut Hena Lale yang artinya negeri yang banyak Lalatnya. Dikatakan demikian karena kebiasaan yang dimiliki oleh mereka bahwa bilamana ada orang asing yang datang menemui mereka, mereka lantas datang mengerumuni orang tersebut, sama halnya lalat mengurumuni suatu bangkai. Ketiga kakak beradik ini setelah kedua orang tuanya meninggal mereka tidak betah hidup di pengunungan dan memilih unutk turun ke pantai Dalam perkembangan selanjutnya maka Hena-hena tersebut di rubah kedudukannya atau status di dalam badan pemerintahan Desa dalam sistem pemerintahan adat Hena Lima (Negeri Lima) disebut”Soa” yang terdiri dari Soa Nau, Soa Ulisiahu, Soa Hena Helu,Soa Hena Lale dan Soa Elatau, dimana setiap Soa tersebut diangkat dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa, dalam istilah masyarakat Hena Lima yang disebut “Tamaela”, sedangkan Raja atau Kapala Desa disebut “ Upu”. 13 Negeri Hena Lima secara geografis terletak di sebelah Utara Barat Pulau Ambon. Secara administarasi pemerintahan berada di daerah Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Letak Negeri Hena Lima tidak jauh dari ibu Kota Provinsi Maluku, Ambon, dengan jarak kurang lebih 56 kilometer, dengan daya tempuh tidak kurang dari dua jam perjalanan dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Sementara jarak dari Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah, Masohi kurang lebih 100 kilometer, sedangkan jarak dari pusat Kecamatan Leihitu kurang lebih 18 kilometer.14 Ibid, hlm. 37-40 14 Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah Dalam Anggka 2012, hlm. 18 13 Penduduk Hena Lima 100% beragama Islam, karena tidak satu pun dari mereka yang menganut agama lain. Dari jumlah penduduk yang mencapai 6000-an jiwa ini terdapat empat buah masjid dan tiga buah mushalah wanita, yakni Masjid At-Taqwa, Masjid Tailan, Masjid Baitul Aziz dan Masjid Nurul Hidayah. Sementara mushalah wanita yakni mushalah Nurul Iman, Nurul Islam dan Mushalah Nurul Ihsan. Dari keempat masjid dan ketiga mushalah tersebut, masjid At Taqwa dijadikan sebagai pusat kegiatan peribadatan dan kegiatan sosial bagi masyarakat Hena Lima. Kegiatan ibadah masyarakat semisal pembinaan mental mulai dari pengajian Quran, khotbah Jumat, sampai pada pengajian-pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya. Sementara kegiatan sosial semisal rapat pertemuan para tokoh adat dan masyarakat guna membahas persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan masyarakat.15 Masyarakat Negeri Hena Lima merupakan masyarakat yang sangat kuat dalam memegang agama dan adat leluhurnya. perbedaannya Hal ini peninggalan akan bila terlihat dibandingkan jelas dengan masyarakat lain di luar Negeri Hena Lima, diduga karena adanya pengaruh kepercayaan dari leluhur mereka. Oleh karena itu tulisan ini dikhususkan Masyarakat kepada Hena Sistem Lima, Religiusitas dan pengaruh kepercayaan masyarakat setempat kepada para leluhur (Upu Wosi) Negeri Hena Lima hingga memunculkan “believe” dalam diri masyarakat Hena Lima terhadap adanya Mamolin (pantangan, pamali) terhadap segala hal yang tidak diajarkan oleh leluhurnya. Sebagai kajian teori, maka akan digunakan beberapa teori dari 15 Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 109 M. Syafin Soulisa para tokoh sosiologi yang berkenaan dengan ketenangan, kelancaran dan sesuai harapan masalah Agama dan Sistem kepercayaan. maka roh-roh Penghormatan C. Religiusitas Masyarakat Negeri Hena 1. Animisme dan pengaruhnya bagi Religiusitas Masyarakat Negeri Hena Lima. Animisme dihormati. persembahan manusia pembacaan doa-doa, pemberian sesaji ataupun korban. Menurut William, istilah “animieme” mengandung banyak variasi,dimana binatang, merupakan suatu tumbuh-tumbuhan, air, gunung, batu dapat kepercayaan secara memiliki jiwa sendiri-sendiri. Hutan dapat perlahan (evolusi) dari kepercayaan kepada roh dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terikat atau kelanjutan adalah dan perlu kepada roh-roh tersebut dilakukan dengan melakukan Lima tersebut perubahan nenek moyang atau leluhur. Kepercayaan ini berasal dari perkembangan berfikir manusia dalam memahami sebab-musabab gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya seiring dengan perkembangan daya berfikir manusia dalam memikirkan asal usul gejala-gejala alam seperti hujan, panas, gunung meletus, gempa bumi, tumbuh-tumbuhan, angin dan lain sebagainya.16 Ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang terjadi seperti api yang membakar, air sungai yang mengalir, bencana gunung meletus manusia memerlukan pemercahan masalah alam tersebut dengan mencari sebab-sebab fenomena alam tersebut. Akhirnya, dikarenakan yang berkeliaran bebas, namun pada umumnya lebih dekat dengan manusia.17 Animisme menurut Edwart Tylor memiliki dua arti, pertama; sebagai suatu sistim kepercayaan dimana manusia religius khsusnya primitif membubuhkan jiwa pada manusia, mahluk hidup dan benda mati. Kedua; animisme timbul akibat dari pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis terutama mimpi.18 Pada masa sekarang animisme masih sangat melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat, baik di kota maupun di desa. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan perkembangan berfikir yang belum berkembang dalam dengan baik maka kemudian manusia purba rasional-ilmiah. menganggap tersebut akhirnya masih bertahan ditengah- bahwa penyebab fenomena- tengah fenomena alam tersebut adalah roh. Roh yang dianggap mengatur fenomena- memahami fenomena manusia alam secara Kepercayaan-kepercayaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. fenomena alam dan juga alam semesta karena Masyarakat Negeri Hena Lima, mereka bentuknya yang tidak kasatmata atau tidak percaya bahwa pada ruang atau tempat-tempat dapat ditangkap oleh panca indera dapat berbuat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh apa saja yang tidak dapat dilakukan manusia. kekuatan-kekuatan tertentu pula (nitu-nitu-Upu Agar Wosi). manusia beraktivitas senantiasa keseharian dapat dengan terus Tempat atau dusun-dusun, sungai, penuh 16http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/19/ bahan-ajar-perkembangan-sistem-kepercayaanmasyarakat-indonesia/ di akses 09 Februari 2013 110 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon 17 Beni Ahmad Saibani, Pengantar Antropologi, ( Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 245 18 Adeng Muchtar Ghazali, Pengantar Antropologi Agama, (Bandung: Alfabet, 2011), hlm. 73 Sistem Religi Masyarakat Maluku tempat-tempat lereng bukit, pohon, tempat antara perkampungan Hena Lima, senantiasa melakukan upacara-upacara adat sebagainya, merupakan tempat-tempat yang sebagai bentuk ritual keagamaan terhadap para didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu (nitu). leluhur Tempat-tempat tersebut didiami mahluk- seperti upacara pataniti,Sirimasa, Aroha, Jarah mahluk halus dan dianggap mamolin (pamali). Baliwe. Dalam Jarah Baliwe misalnya, yang di Itulah sebabnya di daerah-daerah tersebut bagi lakukan sebagai tanda penghormatan kepada masyarakat Negeri senantiasa Tete Baliwe sebagai leluhur dari Masyarakat menjaganya sebagai penghormatan Negeri Hena Lima. Upacara dilakukan setiap masyarakat Hena hutan, Negeri dan terhadap dengan Masyarakat Lima bentuk makhluk-makhluk Hena Lima mereka. Upacara-upacara tersebut halus agar empat tahun sekali itu, dengan khidmat seraya tehindar dari memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi malapetaka. diri sendiri, keluarga maupun negeri-desa secara Edward Burnet Taylor dalam teori ruh keseluruhan. sebagaimana dijelaskan oleh Koenjtaraningarat19 Ritual kepercayaan seperti itulah yang bahwa alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa mempengaruhi sistem religi masyarakat Negeri yang bebas merdeka. E.B. Taylor tidak lagi Hena Lima, meskipun penduduk Negeri Hena menyebutnya sebagai jiwa namun spirit atau Lima mayoritas beragama Islam, akan tetapi makhluk halus. Ia membedakan sebagaimana masyarakat adat mereka juga antara roh dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus sangat taat memegang adat-istiadat dan dari setiap makhluk yang mampu hidup terus kepercayaan pada leluhurnya. Artinya, walaupun sesudah jasadnya mati atau sedang tidur, mereka menyatakan memeluk agama Islam sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang namun syariat Islam yang mereka jalankan di ada karena memang dari awal sudah ada dan sandingkan dengan adat istiadat. tidak dapat ditanggakap oleh panca indra Bagi masyarakat Negeri Hena Lima, manusia, dapat melakukan apa yang tidak dapat dalam menjalankan agama, mereka patuh pada dilakukan oleh manusia, serta menghuni alam warisan leluhur, seperti sholat, puasa pada bulan dimana manusia tinggal. Ramadhan. Artinya, bagi masyarakat Negeri Berdasarkan kepercayaan semacam itu, Hena Lima tidak terpengaruh dengan faham makhluk halus menjadi obyek penghormatan kegamaan yang bayak bermunculan dalam dan penyembahan manusia dengan berbagai masyarakat Islam. Bahwa apa yang telah di upacara keagamaan berupa do’a, sajian, dan ajarkan oleh leluhur itulah yang di jalankan. korban. Kepercayaan semacam itulah yang oleh Dinamisme dan istilah Mamolin-Pamali E.B. Taylor disebut Animisme, yaitu suatu “Keramat” pada Masyarakat Negeri Hena Lima. kepercayaan terhadap adanya roh-roh nenek Dinamisme adalah paham-kepercayaan kepada moyang. kekuatan sakti yang ada dalam segala hal. Kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan 19 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Agama: Pokok-Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 195-196 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 111 M. Syafin Soulisa yang ditandai dengan adanya malapetaka atau balas budi kepada alam atau anasir alam.20 hakikat roh maupun makhluk halus. Maka dari itulah Masyarakat Negeri Hena Lima percaya dia menganggap supernatural dari bahwa alam kekuatan lebih dahulu bahwa alam semesta seperti gunung, lautan, mempengaruhi system kepercayaan manusia tanah, terdapat sebelum mempercayai akan adanya kekuatan penghhuninnya dan memiliki kekuatan-kekuatan dari makhluk halus. Asumsi Marret inilah yang yang bersifat supernatural. Jika diantara mereka memunculkan kepercayaan preanisme atau lebih ada yang akan membuka hutan untuk berkebun dikenal dengan istilah dinamisme21 yaitu suatu maka mereka senatiasa berpamitan terlebih kepercayaan dahulu kepada pohon sebelum di tebang, begitu supernatural dari alam. sungai, pepohonan terhadap adanya kekuatan juga ketika akan melaut atau mengadakan Pada Masyarakat Negeri Hena Lima, pekerjaan lainnya. Kekuatan tersebut dianggap menurut Abdul Mutalib Assel bahwa bencana melebihi dari kekuatan yang pernah diketahui yang terjadi selain di sebabkan karena perilaku oleh manusia. Adanya peristiwa-peristiwa alam tidak baik dari manusia juga di sebabkan oleh seperti longsoran gunung, banjir terjadi karena perilaku yang melanggar hukum adat atau dalam manusia yang hidup di alam tersebut sudah tidak istilah masyarakat Hena Lima disebut hal yang bersikap memelihara dan melestarikan alam. Mamolin (Tabu atau Pamali). Istilah Mamolin ini Sehingga alam yang semula tenang dan damai merupakan salah satu kebiasaan yang ada dan di seakan-akan “marah” karena perilaku tidak baik yakini manusia. jika pohon-pohon tersebut ditebang umumnya tentunya sangat berbahaya, dengan terjadi pemangku adat. 22 bencana longsor dan banjir karena tanah yang sudah keropos. oleh masyarakat Hena Lima pada terlebih lagi pada orang tua dan Kebiasaan ini mengindikasikan adanya sebuah larangan (baik yang bersifat sosial R.R. Marret menjelaskan bahwa agama Maupun kultural) yang diwariskan secara turun dan sikap religius manusia terjadi karena adanya temurun dalam masyarakat tersebut. Mamolin kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis terdapat di lingkungan alam sekelilingnya. yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh Dengan sanggahan terhadap Edwarb B. Taylor setiap orang dalam masyarakat tersebut. Contoh yang mengatakan bahwa timbulnya agama hal yang di anggap mamolin (Tabu atau Pamali) karena adanya kesadaran manusia terhadap di masyarakat Negeri Hena Lima seperti dalam adanya jiwa. Menurut Marret terlalu rumit - bila pembangunan rumah dan Masjid kesadaran keagamaan itu muncul ketika manusia sudah menyadari akan adanya jiwa, karena Jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, begitu pula dengan makhluk halus- dan terlalu kompleks bila harus mengkaji tentang 2. Kesederhanaan Pola Pikir Masyarakat Negeri Hena Lima. Masyarakat Negeri Hena Lima dari segi tingkat pendidikan dapat dikatakan telah maju Ibid, hlm. 28 H. Abdul Mutalib Assel (tokoh adat Hena Lima) Wawancara 16 Agustus 2013 21 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 38 20 112 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon 22 Sistem Religi Masyarakat Maluku dan berkembang hal ini dapat dilihat dengan terjadinya keberadaan lembaga pendidikan dari Taman mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah oleh akalnya. Menurut Frazer Atas (SMA), namun dikarenakan masyarakat memecahkan Hena Lima adalah masyarakat yang masih dengan akal dan sistem pengetahuannya Tetapi berpegang pada aturan adat istiadat dari para akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, leluhurnya dan batas akal itu meluas sejalan dengan sehingga ikut mempengaruhi kesederhanaan cara fikir. dikarenakan berbagai manusia manusia biasa 23 persolaan hidupnya meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi. Masyarakat Negeri Hena Lima menyadari bahwa semua agama permasalahan yang mereka Oleh karena itu makin maju kebudayaan manusia makin luas batas akalnya. Pada rasakan tidak semuanya bisa memperoleh masyarakat yang kebudayaannya masih sangat jawaban dari proses berfikir melalui akal, karena sederhana batas akal manusia masih sangat anggapan sempit. mereka akal tidak selalu bisa menafsirkan hukum adat yang berlaku. Ketika Oleh karena itulah berbagai persoalan Sesuatu yang disebut dengan mamolin ataupun hidup banyak yang tidak dapat di pecahkan tabu sehingga pantang untuk dilanggar maka dengan mereka hanya bisa memahami sebagai aturan memecahkannya melalui magis atau ilmu gaib. adat yang tidak boleh dilanggar, menghormati Magis adalah segala perbuatan manusia untuk para leluhur, atau agar terhindar dari petaka. mencapai Semisal dianggap mamolin atau tabu untuk berbagai kekuatan yang ada di alam semesta membicarakan soal keberadaan leluhur dan asal- serta seluruh kompleksitas anggapan yang ada di usul mereka, karena mungkin juga sulit untuk belakangnya. Pada mulanya manusia hanya menjelaskan atau mencari informasi yang detail menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan dan akurat berkenaan dengan asal-usul leluhur soal-soal hidupnya yang ada di luar batas selain juga karena pamali untuk diceritakan. kemampuan dan pengetahuan akalnya. Mereka juga suatu mereka. Maka maksud tertentu mereka melalui dengan Lambat laun terbukti banyak perbuatan mematuhi adat seperti itu, ada hal magis yang di magisnya itu tidak ada hasilnya. Oleh karena tempuh dalam menjalankan aturan adat. ketika itulah ia mulai percaya bahwa alam ini di diami Mereka oleh menyadari keterbatasan akal menganggap akal ada kekuatan mereka yang di luar makhluk-makhluk halus yang lebih mendiami berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai tempat-tempat tertentu yang dianggap suci mencari hubungan yang baik dengan makhluk- maupun angker. Dari situlah timbul anggapan makhluk halus yang mendiami alam itu. Dengan bahwa kekuatan-kekuatan luar biasa tersebut demikian hubungan baik ini menyebabkan tidak akan mendatangkan mala petaka terhadap manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada masyarakat Negeri Hena Lima jika masyarakat kekuatan yang di anggap lebih dari dirinya yang tidak melanggar ajaran dari para leluhur. pada akhirnya memunculkan sistem religi. James G. Frazer dalam Teori Batas Akalnya menyatakan bahwa permulaan 23 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000), hlm. 26 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 113 M. Syafin Soulisa 3. Masyarakat Negeri Hena Lima dalam di Negeri Hena Lima maupun desa atau negeri menghadapi Krisis. Pada masyarakat Negeri Hena Lima yang masih sangat memegang adat istiadat dari leluhurnya, mereka percaya bahwa dengan menjalankan kehidupan dengan tidak melanggar aturan-aturan hukum adat yang berlaku maka mereka telah melestarikan ajaran dari para leluhur mereka, dampaknya adalah mereka akan terhindar dari malapetaka. Masyarakat Negeri Hena Lima ketika ada di antara mereka mengalami sakit selain ke pihak medis, mereka juga melaksanakan ritual Hulasi 24 Wae Kubur25 dan Jarah Baliwe26(segala sikap perbuatan yang menjadi gambaran dari sistem kepercayaan kepada leluhur yang di anut) adalah kepercayaan yang mereka yakini akan mendatangkan penyembuhan. Ritual-ritual tersebut sebagai penggambaran dari sistem religi yang mereka yakini untuk menjawab segala hal ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan. Menurut Afandi Uluputty,27 masyarakat beranggapan bahwa dengan menjalankan ritualritual tersebut maka mereka telah berusaha untuk mencari solusi dari kemungkinan- kemungkinan timbulnya krisis (terutama berupa bencana, seperti sakit Negeri Hena Lima, baik yang bertempat tinggal dan maut) dalam hidupnya. Seperti ketika masyarakat Negeri Hena Lima melakukan ritual upacara jara baliwe yang dilaksanakan oleh seluruh warga anak adat Hulasi adalah bentuk ritual pengobatan yang dilakukan ketika seseorang dalam kondisi sakit, bahannya berupa daun siri, kapur dan pinang 25 Wae Kubur yakni air yang di ambil dengan cara berjiarah ke makam kuburan orang tua atau leluhur yang di awali dengan pembacaan Yasin dan Tahlilan 26 Jarah Baliwe adalah bentuk permohonan kepada Leluhur dalam bentuk berjiarah ke makamnya. 27 Afandi Uluputty (Toko Adat Negeri Hena Lima), Wawancara Agustus 2013 tentangga. Maksud dan tujuan inti dari upacara Jara Baliwe adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Hena Lima, yaitu Tete Baliwe serta menyatakan rasa syukur kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Dalam mengomentari pemikiran M. Crawley, Dadang Kahmad menjelaskan bahwa kelakuan keagamaan manusia mulanya muncul untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Menurut kedua sarjana ini, Dalam jangka waktu sejarah hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis tersebut menjadi obyek perhatian manusia dan sangat menakutkan. Betapapun bahagianya seseorang, ia harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis tersebut terutama berupa bencana seperti sakit dan maut yang memang sangat sukar untuk di hindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda. Karena selama hidupnya ada beberapa masa krisis, maka manusia membutuhkan memperteguh dan sesuatu untuk menguatkan dirinya. Perbuatan yang berupa upacara sakral pada masa krisis keberagamaan merupakan pangkal dari manusia.28 24 114 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon D. Karamat Baliwe sebagai Simbol Masyarakat Negeri Hena Lima. Masyarakat merasakan 28 adanya Negeri getaran Hena jiwa Lima terhadap Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, …, 28 Sistem Religi Masyarakat Maluku lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini pertemuan terlihat ketika mereka berprilaku baik terhadap merupakan suatu keadaan dimana seluruh alam sekitar mereka. Menurut mereka prilaku anggota masyarakat berkumpul dalam suatu yang mereka acara besar yang pelaksanaannya sudah diyakini memelihara dan menaati adat istiadat dari para bersama dapat mempererat rasa kesatuan leluhur mereka. Dengan tidak melanggar hukum seluruh anggota masyarakat. baik itu tergambar ketika raksasa. Pertemuan tersebut adat maka dimungkinkan masyarakat Negeri Emosi keagamaan yang timbul karena Hena Lima akan terhindar dari mala petaka. rasa sentiment kemasyarakatan membutuhkan Misalnya ketika terjadi bencana Wae Ela, dalam suatu obyek tujuan. Sifat yang menyebabkan kepercayaan runtuhnya sesuatu itu menjadi obyek dari emosi keagamaan gunung Ulak Hatu pada tanggal 13 Juli 2012 dan bukan karena sifat luar biasanya, anehnya, bencana banjir Wae Ela pada tanggal 25 Juli megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan 2013 adalah bentuk anggapan umum masyarakat. Obyek itu ada masyarakat bahwa kemarahan dari leluhur akibat dari masyarakat Negeri Hena Lima telah karena banyak melanggar hukum adat dan agama yang kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu menjadi warisan leluhur. masyarakat Kemudian rasa masa satu peristiwa lampau yang secara menarik bakti, perhatian orang banyak di dalam masyarakat maupun rasa cinta terhadap sesama masyarakat tersebut. Obyek yang menjadi tujuan emosi agar terhindar dari marabahaya itulah yang keagamaan juga obyek yang bersifat keramat. menjadi Dan objek keramat itu sebenarnya merupakan dasar keterikatan, terjadinya timbulnya sentiment kemasyarakatan. Durkheim menjelaskan bahwa suatu Lambang masyarakat (Totem).29 agama yang permulaan itu muncul karena Pada Masyarakat Negeri Hena Lima, adanya suatu getaran, suatu emosi yang timbul Contoh dari prilaku baik yang tergambar dari dalam dari prilaku memelihara adat istiadat mereka yaitu pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga ketika mereka melaksanakan ritual upacara jara masyarakat baliwe. jiwa manusia sebagai (sentiment akibat kemasyarakatan). Menurut Afandi Uluputy 30bahwa Durkheim menyebutnya sebagai getaran jiwa Upacara jara baliwe merupakan upacara ziarah atau Sentiment dan membersihkan makam. Sebelumnya para kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu peserta upacara harus melaksanakan beberapa berupa suatu kompleksitas perasaan yang tahap upacara. Mereka harus mandi dan mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan membersihkan diri dari segala kotoran. Selesai perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana mandi mereka berwudlu kemudian mengenakan ia hidup. Sentiment kemasyarakatan tersebut pakaian rapi sementara berputih-putih adalah harus selalu dipelihara agar tidak melemah dan lebih baik. Secara teratur mereka berjalan menjadi laten, maka dari itu harus selalu menuju karamat tete baliwe, jaraknya sekitar 1 emosi keagamaan. dikobarkan dengan mengadakan satu kontraksi masyarakat seluruh yaitu dengan masyarakat dalam mengumpulkan pertemuan- 29 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi; PokokPokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 198-199 30 H. Afandy Uluputy (Tua Adat Negeri Hena Lima) Wawancara tanggal 1 Agustus 2013 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 115 M. Syafin Soulisa kilommeter di atas gunung Baliwe. Sebelum Manwai Baliwe maka sistem religi menjadi suatu masuk ke makam karamat tete baliwe mereka pedoman hidup masyarakat Hena Lima. mengucapakan salam terlabih dahulu sebagai Menurut Andrew Lang, sebagaimana di tanda penghormatan, kemudian masuk dan jelaskan oleh Dadang Kahmad,31 bahwa kelakuan duduk secara bersila. religius manusia terjadi karena mendapat wahyu Hal itu dilakukan sebagai tanda dari Tuhan. Lang yang juga sebagai ahli penghormatan dan merendahkan diri. Kemudian kesusastraan banyak membaca tentang diawali dengan pembacaan surah Alfatiha, kesusastraan rakyat dari banyak suku bangsa di Tahlilan dan Ratibul Hadad yang di pimpin oleh dunia. Dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering Imam atau sala seorang dari penghulu masjid, mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang sambil memohon keselamatan, kesejahteraan, oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dan kehendak masing-masing jamaah. Setelah itu dianggap dewa tertinggi. Kepercayaan pada barulah membaca ayat-ayat Suci Al-Quran dan seorang tokoh dewa tertinggi tampak pada suku- diakhri dengan doa bersama. Dari ritual itu maka suku bangsa yang sangat rendah kebudayaannya bisa diambil kesimpulan bahwa karamat baliwe dan yang hidup dari berburu dan meramu. merupakan simbol atau lambang keramat bagi Keadaan itu membuktikan bahwa kepercayaan kehidupan masyarakat Negeri Hena Lima. terhadap satu tuhan itu tidak timbul karena pengaruh agama nasrani atau agama Islam. E. Manwai Baliwe sebagai Leluhur Masyarakat Negeri Hena Lima sangat menghormati leluhurnya yaitu Manwai Baliwe. Dinamakan Manwai Baliwe karena kuburan karamatnya terletak di puncak gunung Baliwe Negeri Hena Lima. Manwai Baliwe dikenal sebagai seorang ulama besar Timur Tengah yang diyakini datang ke Negeri Hena Lima untuk menyebarkan Agama Islam. Masyarakat Negeri Hena Lima meyakini bahwa Manwai Baliwe merupakan leluhur Dari sejarahnya memang diduga sebelum bahwa Manwai Baliwe menyebarkan ajaran Agama Islam. Sebagai seorang wali Allah beliau mendapatkan petunjuk Allah dan pada akhirnya meninggal dan memiliki karamah di puncak gunung Baliwe. Olehnya, sekarang masyarakat seperti itu dalam perkembangannya bahkan tampak terdesak oleh Masyarakat Hena Lima. mereka. Kepercayaan Negeri Hena sampai Lima berkeyakinan bahwa dari ajaran yang dibawa 116 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon kepercayaan dewa-dewi akan alam, menyimpulkan makhluk-makhluk roh, bahwa dan hantu. kepercayaan halus, Lang kepada dewa tertinggi merupakan suatu kepercayaan yang sudah tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua. F. Penutup Tulisan ini menunjukan bahwa sistim religi masyarakat Maluku Khusunya masyarakat Negeri Hena Lima sangat tinggi. Religiusitas masyarakat Negeri Hena Lima bersifat sinkretis, karena ekspresi keagamaan telah disatukan dengan ajaran-ajaran pra-Islam, khususnya Animisme dan Hinduisme. Hal ini karenakan masyarakat Negeri Hena Lima memiliki kebajikan dan kearifan lokal yang diserap dari 31 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,…. Ibid, 30-31 Sistem Religi Masyarakat Maluku berbagai akar budaya, serta tradisi yang sudah mengakar kuat di Nusantara khususnya Maluku, bahkan jauh sebelum kehadiran Islam di Maluku ini. Dalam tulisan ini penulis mencoba Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Agama: Pokok-Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005 Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 mengimformasikan tentang percampuran dan Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012 ambiguitas Lawalata, Maryo, Kedudukan Tete Nene Moyang Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa Tanggapan Kontekstual)dalam http://tounusa.wordpress.com/2011/0 8/26/kedudukan-tete-nene-moyangdalam-pengakuan-iman-gpm-beberapatanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini 2013 bentuk-bentuk singkretik yang merupakan ciri utama sistim religi-agama di Negeri Hena Lima. Campurnya kebudayaan agama lokal dengan agama Islam menjadi ciri khas tersendiri (keberagamaan) bagi sistim masyarakat religiusitas di Maluku khususnya masyarakat Negeri Hena Lima. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Saibani, Beni, Pengantar Antropologi, Bandung: Pustaka Setia, 2012 Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah Dalam Anggka 2012 Cooly, Frank L, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Kegamaan dan Pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987) Ghazali, Adeng Muchtar, Pengantar Antropologi Agama, Bandung: Alfabet, 2011 Huliselan, Mus, Makna dan Kedudukan Leluhur Dalam Kepercayaan (adat) Ambon, Ambon: 1997 tidak dipublikasikan. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000 --------------------, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1984 Martono, Nanang, Sosiologi Perubahan Sosial: Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern Dan Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pres, 2011 Putuhena, M. Saleh, Interaksi Islam dan Budaya di Maluku: Perspektif Historis dan RelegioPolitik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK Maluku Oktober 2009 Ritzer, George, Modern Sociological Theory, terj. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2008 Soulisa, M. Syafin, Interaksi Sosial Dalam Budaya Gandong Pada Masyarakat Hena lima Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon 2006) http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/1 9/bahan-ajar-perkembangan-sistemkepercayaan-masyarakat-indonesia/ di akses 09 Februari 2013 Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 117