JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 MORAL DAN KEADILAN SEBAGAI LANDASAN PENEGAKAN HUKUM YANG RESPONSIF M. Husni Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: As a basic of law enforcement is to fulfing of community needs. The law materials a responsive it consist of Moral, value and justice as community goal. The law enforcement should have as. Justice, certain law and commonity needs as basics. On the other hand, we also need supporting factors, like good legal enforcers, facilities, legal culture and society as a key role actor. If all those factors above adjusted, we are sure that the society vision on legal enforcement could be happened. Kata kunci: Moral, Keadilan, Penegakan Hukum Penegakan Hukum yang berkeadilan sarat dengan landasan etis dan moral. Penegasan ini bukanlah tidak beralasan, selama kurun waktu lebih dari empat daSAWarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian hukum dan hidup dalam intimitas yang tidak sempurna antara sesamanya. Di sisi lain perjuangan serta kemampuan untuk menciptakan iklim penegakan hukum yang berkeadilan sering kandas di tangan penguasa. Apa yang sesungguhnya dialami tidak lain adalah pencabikan moral bangsa sebagai akibat dari kegagalan bangsa ini dalam menata manajemen pemerintahannya yang berlandaskan hukum. Tidak ada negara di dunia ini yang begitu luas dampak pelanggaran hukumnya dalam struktur pemerintahannya, mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai tingkat pemerintahan desa, dan merambah jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat lokal yang dikenal taat dalam menegakkan adat istiadat, etika religius yang ditandai dengan runtuhnya rasa kebersamaan dan hilangnya rasa saling menghormati dan saling menghargai antara sesama warga. Keberhasilan dalam hidup tidak lagi diukur atas dasar seberapa banyak kehadiran dirinya bermanfaat bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi diukur seberapa banyak ia dapat mengumpulkan harta dan seberapa tinggi kedudukan/pangkat dalam jabatannya. Komunikasi dibangun antara orang-orang yang berpunya (harta dan kedudukan) dan meninggalkan komunikasi antara sesama warga miskin dan masyarakat kelas bawah. Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana, karena di dalamnya terlibat subyek hukum yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing, faktor moral sangat berperan dalam menentukan corak hukum suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin akan terwujud. Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas maka permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk meletakkan moral keadilan sebagai landasan penegakan hukum yang responsif. LANDASAN PENEGAKAN HUKUM Kesenjangan sosial yang kian hari kian menyeruak yang muaranya adalah terbentuknya kelas-kelas sosial (social stratifications) yang mencabik-cabik rasa kebersamaan (social solidarity). Tidak jarang puncaknya menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial antara strata atas dengan strata bawah yang merupakan masalah urgensi etis maupun praktis yang terbesar dan perlu segera diselesaikan. Sebagai ilustrasi dari puncak ketegangan itu adalah peristiwa berdarah 2 Mei 1998 di Medan, pembakaran toko dan rumah, mobil mewah yang diikuti dengan penjarahan yang lebih banyak memperlihatkan sisi pelampiasan atas kesenjangan sosialekonomi antara para pemodal kuat (yang dilindungi penguasa) dengan para kaum miskin yang tidak mempunyai akses permodalan dan akses kekuasaan. Contoh yang sederhana adalah peristiwa pembakaran pukat harimau oleh nelayan tradisional yang berpangkal pada ketidakadilan sosial antara nelayan tradisional dengan pemilik modal. Instrumen hukum Keppres 39/80 telah mamasung hak-hak nelayan tradisional dan menempatkan nelayan tradisional di bawah garis kemiskinan yang menuntut belas kasihan antara sesamanya, tetapi kita tak pernah menyebutnya sebagai perbudakan. Tak pelak lagi peraturan itu telah menempatkan nelayan tradisional menjadi kriminal dan bukan tidak mungkin peraturan itu telah menjadikan rakyat menjadi miskin, tertinggal dalam pendidikan, kekurangan gizi, dan bahkan kematian, tetapi kita tidak pernah menyebutnya sebagai peristiwa pembunuhan itulah contoh konkret sebuah peraturan yang tidak menyahuti hati nurani rakyat dan tidak menyahuti rasa keadilan, jauh dari muatan etis dan moralitas. 1 M. Husni: Moral dan Keadilan sebagai Landasan… Pelanggaran moral, etika, hukum adalah suatu pandangan yang lazim dan diterima apa adanya oleh warga masyarakat, tanpa mendiskusikannya lagi dengan sesama warga. Apalagi kalau yang melakukan itu mereka yang tergolong dalam kategori “orang yang sukses” dalam mengumpul harta dan mempunyai kedudukan/pangkat yang tinggi dalam jabatannya. Begitu jauhnya bangsa ini telah meninggalkan komitmen moral yang seyogianya orientasi dasar adalah ke arah menciptakan perdamaian dunia yang abadi, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan kesejahteraan serta keadilan sosial masyarakatnya. Yang paling tragis adalah perspektif humanitarianisme dalam gerak langkah perjuangan ditiadakan sama sekali dan digantikan dengan praktik dehumanitarianisme. Yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi, kekuasaan politik, dan stabilitas dalam masyarakat. Padahal, abstraksi seperti pertumbuhan, stabilitas, kekuasaan politik tidaklah dianggap sebagai tujuan, melainkan hanya memiliki nilai sebagai sarana ke arah kesejahteraan manusia yang lebih baik. Begitu pentingnya kita melihat berdasarkan perspektif kemanusiaan, sampai-sampai ajaran Islam pun menemukan, “kehidupanmu itu tidak berarti apa-apa jika tidak bermanfaat bagi manusia lain”. Keindahan sebuah rumah tergantung pada kehadiran tamunya, rumah tanpa tamu sama dengan kuburan, demikian Kahlil Gibran penyair Arab dari Libanon menyentakkan kesadaran kita tentang pentingnya arti kemanusiaan dan kebersamaan. Di sana-sini dapat di saksikan pelanggaran hukum yang berskala besar tanpa ada penyelesaian yang berarti, berita di media massa dan tayangan di layar kaca setiap harinya menghiasi lembaran-lembaran sejarah pelanggaran hukum yang tak kunjung dapat diselesaikan. Mulai dari pelecehan seks, korupsi, kriminal, penggusuran sampai pada penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Belum lagi sederetan pelanggaran terhadap instrumen-instrumen kesepakatan internasional, seperti dumping, monopoli, diskriminasi pajak impor sebagaimana disepakati dalam GATT 94/WTO. Padahal syarat untuk memasuki arena internasional setidak-tidaknya telah menyelesaikan “pekerjaan rumah” terlebih dahulu, bila hendak memposisikan diri sebagai pelaku dalam era kesejagatan dunia. Terdapat banyak ketidakjelasan dalam format penegakan hukum di Indonesia sejak awal Republik ini didirikan sampai saat ini. Secara kelembagaan penempatan Departemen Kehakiman di bawah eksekutif, jelas sangat mengganggu kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif. Di sisi lain, muatan (materi hukum) substantive peraturan hukum jauh dari nuansa moral dan keadilan. Kebijakan yang tidak jelas dalam penyusunan materi peraturan perundang-undangan, telah mengantarkan arah penegakan hukum pada situasi yang jauh dari cita-cita keadilan masyarakat. Betapa tidak, hukum tidak lagi sarat dengan muatan filosofis, padahal keabsahan dari satu peraturan perundang-undangan haruslah memuat landasan filosofis sebagai cita-cita masyarakat, kering dari rasa adil dan tuntutan moralitas masyarakat. Seyogianya, jika peraturan perundang-undangan tidak menyahuti asas filosofis, Mahkamah Agung dapat melakukan hak uji materil (judicial review – trotsingen rechts), tetapi itu tidak pernah terjadi dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Selain aspek substantif dan struktural, yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum ialah aspek budaya hukum. Pengakuan adanya nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adalah merupakan kenyataan yang hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia.Tindakan kekerasan, pelanggaran dalam bentuk kriminal, sengketa keperdataan, pengelolaan manajemen masyarakat lokal, sengketa hak ulayat, dan lain sebagainya kerap kali diselesaikan melalui pola-pola sederhana tanpa harus melalui lembaga peradilan formal. Keberterimaan masyarakat atas putusan lembaga non-formal itu cukup memperlihatkan makna yang menggembirakan bagi terwujudnya keadilan dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Penghormatan terhadap keputusan bersama itu kerap kali mampu menghindari konflik yang berkepanjangan, manakala putusan ditempuh melalui lembaga peradilan formal. Namun, tak jarang pula kasus yang seharusnya ditempuh melalui peradilan formal, sering kali diselesaikan dengan cara-cara masyarakat lokal tradisional. Proses peradilan terhadap para koruptor atau seorang yang menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya selama berkuasa, seringkali tertunda proses peradilannya, karena adanya ganjalan budaya yang sulit untuk diterobos. Akhirnya kasus-kasus semacam itu seringkali tak terselesaikan menurut jalur hukum formal. Budaya penegakan hukum semacam ini, tidak saja menumbuhkan rasa kekurang–percayaan masyarakat terhadap institusi peradilan tetapi lebih jauh telah menciptakan suasana ketidakpastian hukum. Inilah budaya hukum yang tidak reformis. Kejahatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah kategori kejahatan modern dan haruslah diselesaikan melalui mekanisme hukum modern, tidak dengan pola penyelesaian tradisional. Kejahatan yang tergolong “white color crime” harus ditempuh melalui prosedur hukum formal demi untuk menciptakan tujuan preventif hukum pidana yakni melalui publikasi yang luas terhadap masyarakat. Hanya dengan mekanisme ini kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan formal dapat segera diyakinkan. Memang sandungan budaya dan persinggungan politis untuk penegakan hukum merupakan sesuatu yang tak dapat terelakkan. Namun, kearifan para aparat penegak hukum senantiasa dituntut agar dapat menyahuti hati nurani rakyat sebagai pencerminan dari moral bangsa. Ada perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu kesadaran baru saat ini yakni: kaum lemah dan tak berkuasa tidak lagi bersedia menerima kemiskinan dan ketidakadilan secara pasif, dan suara amarah mereka mengganggu serta mengancam pihak-pihak yang bermaksud mempertahankan status quo. Pada saat ketidakadilan menjadi tak tertanggungkan lagi, kekerasan akan merajalela. 2 JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 LANDASAN PENEGAKAN HUKUM YANG RESPONSIF Sebagai landasan penegakan hukum yang dapat menyahuti tuntutan masyarakat haruslah hukumnya yang responsive, jika tidak maka ia akan kehilangan rohnya. Rohnya hukum itu adalah moral dan keadilan. Moral dan keadilan begitu mudah ditemui dalam hati nurani rakyat, maka bersegeralah untuk mereformasi semua peraturan perundang-undangan yang di dalamnya bermuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme untuk kemudian diisi dengan muatan moral dan keadilan, sebab saat ini hampir tidak ada peraturan perundang-undangan (yang dilahirkan pada masa rezim orde baru) yang tidak untuk direformasi. Reformasi hukum, haruslah melihat kembali pada tatanan moralitas yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Era di mana hukum dibangun atas kehendak penguasa (top down) sudah berakhir. Suara-suara rakyat yang mudah dari bawah (buttom up) sudah tiba waktunya untuk disahuti, dengan merumuskannya dalam berbagai kebijakan yang dituangkan dalam produk pembangunan hukum. Jika pemerintah berpedoman kepada konsep pembangunan hukum yang merupakan ciri masyarakat modern dan demokratis menempatkan hukum sebagai instrumen masyarakat dalam memproteksi atau melindungi diri dari pelanggaran hak dan hukum, baik dilakukan orang lain, kelompok terorganisasi, negara, dan sistem ketatanegaraan yang berlaku. Artinya, pembangunan hukum yang ideal bertujuan untuk terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibedakan dalam dua macam perlindungan. Pertama, hukum yang preventif di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya, perlindungan hukum ini yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua, perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui peradilan umum, peradilan administrasi negara, dan sebagainya (Hadjon, 1997). Kajian tentang pembangunan hukum pada era orde baru menunjukkan proses pembangunan yang bersifat dualistis dari kemauan penguasa negara dalam mengembangkan pembangunan hukum, yaitu model pembangunan hukum yang bersifat responsif dan di sisi lain mengembangkan pembangunan kerangka hukum ortodoks (respresif) yang menindas hak asasi manusia dari rakyat jelata. Ternyata selama ini model pembangunan hukum terakhir ini yang lebih menonjol dalam hubungan negara dengan warga negara, sehingga perlu dilakukan penataan kembali dalam era reformasi ini. Perkembangan hukum tercermin dalam tipe-tipe hukum yang dikembangkan oleh penguasa negara melalui tiga tipe perkembangan hukum. Pertama, hukum represif (represif law) yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif dari penguasa negara atau rezim yang berkuasa dalam pemerintahan. Kedua, hukum otonom yaitu hukum sebagai pranata yang mampu menetralisasikan represif penguasa negara dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Ketiga, hukum responsif yaitu hukum sebagai suatu sarana untuk menanggapi ketentuanketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat (Nonet, 1995). Dalam tipe pertama, hukum dikembangkan sebagai bagian dari sistem kekuasaan absolute yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan status quo di mana antara hukum represif keras dan terperinci bagi rakyat, tetapi lunak mengikat para pembuat peraturan dan penguasa negara, karena hukum tunduk pada politik kekuasaan. Tuntutan patuh bersifat mutlak dan ketidakpatuhan rakyat dianggap sebagai penyimpangan perilaku yang ditindas dengan kejam. Kritik terhadap penguasa negara dianggap sebagai ketidaksetiaan. Tipe ini membawa hukum justru tidak mampu menghadapi tekanan kekuasaan dari negara, khususnya rezim yang berkuasa dan menjadikan hukum hanya sebagai instrumen “keamanan” dengan implikasi pada pilihan hukum dalam konteks machtstaat. Pada tipe kedua, hukum bertujuan untuk membatasi kesewenang- wenangan, baik dalam mempertahankan atau mengubah kekuasaan status quo. Tipe hukum ini tidak mempermasalahkan dominasi kekuasaan dalam orde yang ada maupun orde yang akan dicapai. Hukum otonom merupakan model hukum “the rule of law” dalam bentuk liberal klasik. Legitimasi hukum dalam hukum otonom terletak pada kebenaran prosedural. Hukum bebas dari pengaruh politik sehingga terdapat pemisahan kekuasaan. Namun kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan bagi warga negara dibatasi oleh tata cara yang sudah mapan. Untuk tipe ketiga, hukum responsif adalah hukum dikembangkan sebagai sistem supremasi judicial, dimana menempatkan prinsip the rule of law sebagai konsekwensi paham rechtstaat. Artinya, hukum yang dikembangkan mempunyai sasaran kebijakan dan penjabaran yuridis dari reaksi kebijakan yang diambil oleh pemerintah serta pentingnya partisipasi kelompok dan pribadi- pribadi yang terlibat dalam penentuan kebijakan negara. Tipe hukum ini sebenarnya mengarahkan pada perwujudan nilai- nilai yang terkandung dalam cita- cita dan kehendak politik serta kehendak yuridis seluruh masyarakat. Nilai- nilai tersebut tidak dapat dianggap sebagai data politik yang dapat dibaca pada penjelasan kebijaksanaan pemerintah, nilai-nilai ini harus tercermin secara jelas dalam praktek penggunaan dan pelaksanaan hukum, sehingga dalam penghayatannya nilai- nilai ini mampu memberi arah pada kehidupan politik dan hukum. Pada rezim otoriter kuatnya kekuasaan negara berakibat pada kecenderungan kehidupan demokrasi menurun drastis sehingga hukum menjadi marjinal atau dipinggirkan, sementara hukum yang bersifat positif instrumentalis terus dikembangkan oleh penguasa negara, begitu pula dalam kehidupan demokrasi, baik dalam sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial, jika kekuasaan eksekutif terlalu kuat, maka fungsi kontrol legislative tidak akan berdaya untuk menata kehidupan yang lebih demokratis. Institusi studi tentang konsep beamtenstaat yang menggaris bawahi bahwa negara membangun kemandiriannya dalam suatu 3 M. Husni: Moral dan Keadilan sebagai Landasan… kehidupan bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat, yaitu disamping membangun kekuatan ekonomi, negara juga mengembangkan kekuatan birokrasi keamanan, serta membangun konsep pembangunan hukum dalam perspektif mediasi antara negara dan masyarakat. Perspektif fungsi hukum diharapkan mampu secara efektif membangun legitimasi negara dalam kerangka hubungannya dengan masyarakat. Persepektif fungsi hukum diharapkan mampu secara efektif membangun legitimasi negara dalam kerangka hubungannya dengan masyarakat, namun kenyataan menjadi lain, karena tidak semua orang dapat dipuaskan keinginannya dengan kemampuan pemerintah yang terbatas. Dalam konsep beamtenstaat, legitimasi negara dari masyarakat akan menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan, apabila hukum tidak mampu lagi bermain dalam rangka fungsinya, yaitu instumen legitimasi dan mediasi, sehingga bagunan hukum yang terbentuk diharapkan mampu mengurangi kesenjangan legitimasi “hak” negara atas proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah yang menyangkut harkat dan martabat hidup rakyat banyak. Keadaan ini tampak saat bangsa kita mengalami krisis moneter, tuntutan mahasiswa dan rakyat antara lain perlunya dilakukan reformasi dibidang hukum. Kerangka pemikiran menempatkan hukum sebagai sebuah kekuatan rekayasa sosial, hukum ditempatkan sebagai perangkat yang mengatur dan merekayasa tata nilai dan tata perilaku masyarakat. Supermasi hukum dalam makna yang sempit sebagai akibat dorongan paham legalitas menyebabkan negara menempatkan diri sebagai pengatur dan sebagai sumber penggalian nilai hukum dan filsafat hukum. Nilai yang berkembang di masyarakat, dirasakan perlu diarahkan pada mekanisme yang ada dan ditetapkan negara tanpa melupakan hukum sebagai indikasi struktur normatif kehidupan sosial yang bersifat konsensual dan instrumental. Partisipasi politik yang diarahkan oleh perangkat hukum yang demikian, diharapkan mampu membangun sistem nilai dan perilaku masyarakat yang mendukung keberadaan negara. Budaya politik yang dikembangkan akan mengarah kepada berkembangannya politik paternalistik. Partisipasi demikian akan mempunyai ukuran kebenaran diharapkan hukum positif dan sebaliknya pelanggaran terhadap harapan dan aturan main hukum positif merupakan ancaman yang dihadapkan dengan berfungsinya hukum dan lembaga peradilan dengan baik untuk menjamin Hak Asasi Manusia. (Sulistia, 1999). Pada arus yang berbeda, akibat dorongan demokratisasi negara, baik pada tingkat elit negara maupun pada tuntutan masyarakat, pembangunan hukum justru mengarah pada liberalisasi sistem hukum. Pada periode inilah tarik- menarik antara liberalisasi sistem hukum sebagai instrumen negara telah menempatkan masyarakat pada pranata hukum berada dalam keadaan anomie. Artinya, lembaga peradilan dan pranata hukum lain bergesekan dalam ketidakpastian untuk melakukan penegakan hukum. Kesalahan prosedur dan mafia peradilan atau julukan lain yang cukup seram, seperti dagang hukum, kasih uang habis perkara atau kurang uang hukuman penjara (KUHP) yang berpuncak pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada rezim masa lalu sering terjadi secara kasat mata. Semua ini sangat merugikan dalam menata hubungan negara dengan warga negara ataupun sesama negara. Karena adanya suatu pihak yang diuntungkan oleh kekuasaan, otomatis menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dalam upaya pembangunan hukum. (Yahya, 2004) KESIMPULAN Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan hukum adalah terciptanya suatu tatanan hukum yang dapat menjembatani kepentingan masyarakat Indonesia yang saling berbenturan sebagai akibat dari tawaran sistem hukum yang berbeda-beda. Perbedaan pada sistem hukum ini berawal dari perjalanan sejarah yang cukup panjang yang memperlihatkan adanya pengaruh sistem hukum asing (yang sejak awal juga sudah ada perbedaan yakni antara sistem hukum Eropa Kontinental di satu pihak dan sistem hukum Anglo Saxon di pihak lain) terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (lokal) Indonesia (hukum adat). Paling tidak dengan kebijakan itu perbedaan-perbedaan pada system hukum itu dapat sedikit demi sedikit (secara berangsur-angsur) dihapuskan untuk kemudian menuju pada satu tatanan hukum yang dapat berterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia, namun tetap pula mampu mengantisipasi gelombang globalisasi yang ditawarkan oleh masyarakat Internasional. Dengan bahasa yang sederhana harapan dari pilihan terhadap kebijakan yang semacam ini adalah untuk mengukuhkan kembali hukum rakyat sebagai hukum yang hidup agar kepentingan masyarakat tetap terpelihara dengan baik, namun tetap eksis dan mampu menangkap setiap perubahan yang ditawarkan oleh peradaban modern. Apa sebenarnya yang ditawarkan oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang dalam pilihan terhadap kebijakan pembangunan hukumnya didasarkan pada konsepsi hukum yang terkodifikasi dengan rapi, tidaklah terlalu buruk untuk terus dikembangkan dalam strategi pembangunan hukum di Indonesia, yang dalam banyak hal lebih memberikan kepastian hukum. Namun begitu, apa yang sesungguhnya yang dikembangkan oleh negara- negara penganut sistem hukum Anglo Saxon (Amerika dan Inggris meskipun keduanya ada juga perbedaan), yang menggantungkan pola pilihan dalam penentuan apa yang menjadi hukum melalui putusan hakim, adalah juga sangat sesuai bagi Indonesia. Oleh karena konsepsi hukum adat Indonesia yang sejak lama didasarkan pada putusan fungsionaris hukum adat (teori Beslissingen Leer yang dikembangkan oleh Ter Haar) adalah sangat sejalan dengan konsepsi yang ditawarkan oleh sistem hukum Anglo Saxon. Oleh karena itu pula, memadukan antara kedua kutub yang berbeda itu untuk dipertemukan dalam rangka kebijakan pembangunan 4 JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 hukum Indonesia adalah suatu langkah yang arif guna memberi arti bagi hukum rakyat Indonesia sebagai hukum yang hidup. Caranya adalah, mengakat kembali “nilai- nilai hukum yang hidup” dalam masyarakat Indonesia, melalui langkah- langkah metodologis yang lazim dikenal dalam ilmu hukum. DAFTAR PUSTAKA Dewanta, Awan S. 1996. Transformasi Menuju Demokrasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta Hadjon, Philipus M. 1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu Swadaya. Nonet, Philippe And Selznick, Philip. 1995. Law And Sociaty In transition Toward Responsive Law. Rasyidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra. 1996. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung. Rasjidi, Lili dan Ira. Rasjidi. 2001. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT.Citra Aditya, Bandung. Rahman, Abdul. 1999. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung. Sanit, Arbi. 1999. Politik sebagai Sumber Daya Hukum Telaah Mengenai Dampak Tingkah Laku Politik Elit dan Massa lalu. Soekamto, Soerjono. 2002. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegak Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. ______ , 2000. Pokok- pokok Sosiologi Hukum. Edisi Baru Sulistia, Teguh, 1999. Masyarakat dan Negara Dalam Pembangunan Hukum, Harian Mimbar Minang Padang Yahya, Chalik. 2004. Relasi Yuridis Antara Negara dan Warga Negara dalam Era Reformasi, Majalah Hukum. Medan. 5