10 PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA

advertisement
PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI
Elizabeth Widya Ariany Nender
Sri Widyawati
Anna Dian Savitri
Fakultas Psikologi Universitas Semarang
ABSTRAK
Penelitian ini bersifat kualitatif dan bertujuan untuk mendapatkan gambaran
tentang penerimaan diri dan penerapannya dari para remaja yang orangtuanya
bercerai, dampak perceraian orang tua terhadap remaja, dan faktor apa saja yang
memengaruhi penerimaan diri remaja yang orangtuanya bercerai. Tema peneltian
ini memfokuskan pada gambaran penerimaan diri dan penerapan penerimaan diri,
dampak perceraian orang tua terhadapremaja, serta factor yang berpengaruh
terhadap penerimaan diri.
Responden dalam penelitian ini adalah para remaja awal, umur 12-15 tahun
yang berasal dari keluarga yang orang tuanya bercerai. Data diperoleh dengan
melakukan wawancara, pengamatan lapangan, dan dokumentasi foto. Data
tersebut didukung dengan data tambahan dari orang tua dan teman-teman mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para remaja yang orang tuanya bercerai
memiliki sikap penerimaan diri meskipun orang tuanya bercerai. Faktor-faktor
yang memengaruhi penerimaan diri remaja yang orang tuanya bercerai antara lain
berupa aspirasi yang realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial,
pengharapan, budaya di dalam keluarga, rasa sakit, dan keseimbangan antara hati
serta pikiran. Penerimaan diri dari para remaja tersebut menjadikan mereka
memahami bahwa perceraian dilakukan demi kebaikan orangtua mereka.
Kata Kunci: Penerimaan diri.
ABSTRACT
SELF-ACCEPTANCE ON TEENAGERS OF DIVORCED PARENTS
This study was qualitative and aimed at illustrating the teenagers’ selfacceptance and their practice, impacts of divorced parents toward teenagers, the
influential factors of divorced parents’ teenagers. Theme of this study focused on
the illustration of teenagers’ self-acceptance and their practice, the impact of
divorced parents toward teenagers, the influential factors to the self-acceptance
of divorced parents’ teenagers.
Respondents in this study were early adolescents, aged 12 -15 years of the
divorced families. Data were collected by conducting interviews, field
observation, and photo documentation. These were supported with additional
data derived from their parents and close friends.
Study results showed that teenagers showed their attitude of self-acceptance
although they had divorced parents. The influential factors of teenagers’ selfacceptance among other things were realistic aspiration, successfulness, selfinsight, social insight, expectation, culture in the family, pain, and the
disproportion between their feelings and their thoughts. Teenagers’ selfacceptance whose parents were divorced made them to be able to understand that
a divorce was done for the sake of their parents’ goodness.
A Keyword: Self-Acceptance.
10
Pendahuluan
Masa remaja (adolescence) merupakan
masa peralihan atau masa transisi antara
masa anak-anak ke masa dewasa. Masa
remaja merupakan masa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena
dalam masa ini terjadi perubahan baik
secara fisik, mental, sosial, dan emosional
(Piaget, dalam Hurlock, 1999: 206).
Batasan usia bagi remaja adalah usia 12 21 tahun, dengan pembagian 12 - 15 tahun
merupakan masa remaja awal, 15 - 18 tahun
masa remaja pertengahan, dan 18 – 21
tahun merupakan masa remaja akhir (dalam
Monks, Knoers, dan Haditono, 2002: 262).
Periode ini dikatakan sebagai periode yang
penuh dengan tantangan, yang kadang
menimbulkan problem beragam karena
pada masa ini remaja sedang berusaha
untuk mencapai kematangan perkembangan
kepribadiannya dengan cara mengenali,
menyesuaikan, menerima dan menghargai
diri mereka sendiri. Perubahan yang dialami
remaja pada masa transisi menimbulkan
masalah yang berhubungan dengan
penerimaan
diri
remaja
terhadap
penampilan fisik. Keprihatinan timbul
karena
adanya
kesadaran
bahwa
penerimaan diri terhadap penampilan fisik
berperan penting dalam hubungan sosial.
Masa remaja juga membawa perubahan
pada sisi psikologis, terutama diawali dari
perubahan emosi. Mood yang dimiliki
remaja menjadi sering berubah, bisa
meliputi perasaan malu, kesadaran diri,
kesepian dan depresi. Hasrat untuk
kemandirian tumbuh bersama dengan
kebutuhan keintiman dan dukungan
orangtua.
Remaja
dalam
tahap
perkembangannya juga memiliki tugas
menghadapi krisis untuk menjadi dewasa
dan unik dengan pemahaman diri sendiri
yang koheren dan memiliki peran yang
bernilai dalam masyarakat. Pemahaman dan
penerimaan yang realistis atas kemampuan
diri menjadikan remaja yang berada dalam
masa transisi mampu melakukan sesuatu
yang diharapkan.
Osborne
(1992:
75)
menyatakan
penerimaan diri sebagai sikap menerima diri
sendiri baik kelemahan maupun kelebihan
yang dimilikinya. Penerimaan diri merupakan
kunci dalam mencapai kesuksesan, karena
individu dapat melangkah dengan penuh
percaya diri. Individu tidak akan merasa
minder dengan apa yang dimiliki, tidak terlalu
silau dengan kelebihan orang lain, serta lebih
fokus dalam usaha pengoptimalisasian potensi
diri untuk mencapai kesuksesan (Prihadhi,
2004: 57). Remaja yang berada dalam masa
transisi dan mengalami berbagai perubahan
baik secara fisik maupun psikis diharapkan
dapat menumbuhkan penerimaan diri yang
baik, sehingga tetap dapat menunjukkan
potensi yang dimiliki meskipun berada dalam
situasi yang sulit.
Dampak perceraian terhadap anak hampir
selalu buruk. Banyak anak menderita masalah
psikologis dan sosial selama bertahun-tahun
akibat stres yang berkepanjangan dalam
keluarga yang bercerai. Remaja yang
dibesarkan dalam kondisi orangtua yang
bercerai dapat merasa bahwa dirinya tidak
seberuntung teman-temannya yang lain.
Remaja dari keluarga dengan orangtua bercerai
dapat merasa rendah diri. Berbagai bentuk
perilaku menyimpang ditunjukkan remaja
dengan orangtua bercerai, seperti mabukmabukan,
pergaulan
bebas,
hingga
menggunakan narkoba untuk menenangkan
pikirannya (wordpress, 2009). Remaja
diharapkan dapat menunjukkan penerimaan
diri yang baik terhadap perceraian orangtua,
sehingga
dapat
melewati
tahap
perkembangannya tersebut.
Riyanto (2006: 45) mendefinisikan
penerimaan diri sebagai menerima semua
pengalaman hidup, sejarah hidup, latar
belakang hidup, lingkungan pergaulan, dan
masa-masa yang telah dilalui oleh individu.
Penerimaan diri juga merupakan suatu
keyakinan mendasar untuk menjadi diri
sendiri, bukan diri orang lain atau bukan diri
yang bertopeng. Remaja yang dapat menerima
keluarganya bercerai membutuhkan proses
panjang, dimana awalnya remaja tersebut
shock dengan keadaan yang menimpa dirinya,
11
setelah itu biasanya remaja tidak percaya
atas apa yang telah terjadi pada
keluarganya, ketidakpercayaan remaja
tersebut diiringi dengan sikap marah
terhadap diri sendiri atau terhadap
orangtuanya yang bercerai. Setelah itu
biasanya remaja mengalami depresi atau
tekanan berlebihan karena belum dapat
menerima
kejadian
yang
menimpa
keluarganya yang bercerai, dan remaja
tersebut akan dapat merasa bersalah, karena
berfikir bahwa keadaan ini terjadi karena
dirinya.
Hasil penelitian yang dilakukan
Prihatiningsih (2009: 14) tentang kenakalan
remaja putra korban perceraian orangtua,
diketahui bahwa remaja dengan orangtua
bercerai
menunjukkan
bentuk-bentuk
kenakalan. Bentuk kenakalan remaja karena
perceraian orangtua adalah menjadi
pemarah, suka berkelahi dengan siapa pun,
melawan terhadap orangtua, mencoba halhal yang bersifat kriminal seperti mencopet,
mencoba-coba obat-obatan terlarang yaitu
sabu-sabu, pil ekstasi dan ganja. Subjek
juga suka minum-minuman keras sampai
mabuk.
Perceraian
kedua
orangtua
berdampak terhadap kehidupan remaja.
Perasaan yang dialami adalah perasaan
terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai
secara terus-menerus. Hal ini membuat
remaja akan mengalami beberapa emosi
yang umum selama dan sesudah perpisahan
orangtuanya. Penerimaan diri yang baik
akan dapat menghindarkan remaja dari
perasaan tertekan akibat perceraian
orangtua.
Penerimaan diri berarti seseorang harus
membuka hatinya untuk bersedia menerima
keseluruhan dirinya secara utuh dan tulus,
termasuk kelebihan dan kekurangannya
(Kuang, 2010: 13). Penerimaan diri akan
menjadikan remaja yang orangtuanya
bercerai dapat menerima kondisi keluarga
yang tidak utuh karena perceraian yang
dilakukan orangtua. Menerima keadaan
bukan berarti remaja tersebut hanya pasrah
berdiam diri pada keadaan, melainkan
berusaha menerima keadaan bahwa ayah
dan ibunya telah berpisah, agar remaja
tersebut merasa nyaman dengan kehidupannya
sekarang. Sehingga remaja dapat bergaul
dengan masyarakat disekitarnya dan percaya
diri tanpa rasa malu atau minder dan menjalani
kehidupannya dengan penuh makna serta
bahagia.
Schneiders (dalam Gunarsa dan Gunarsa,
2008: 98) menyatakan bahwa penerimaan diri
merupakan salah satu ciri terpenting dalam
penyesuaian diri yang baik. Bilamana individu
dapat menerima dirinya, maka individu
tersebut juga akan dapat menerima orang lain
termasuk kekurangannya atau hal-hal positif
dari orang lain. Individu tidak akan merasa
minder dengan apa yang dimiliki, tidak terlalu
silau dengan kelebihan orang lain, serta lebih
fokus dalam usaha pengoptimalisasian potensi
diri untuk mencapai kesuksesan (Prihadhi,
2004: 57). Penerimaan diri pada remaja yang
orangtuanya bercerai akan mampu menjadikan
remaja memahami keputusan perceraian yang
diambil orangtua, sehingga tidak menganggap
perceraian orangtua sebagai sesuatu yang
merugikan dirinya. Remaja yang orangtuanya
bercerai akan tetap dapat memaksimalkan
potensi yang dimiliki tanpa harus merasa
rendah diri ketika berada di lingkungan sosial.
Penerimaan diri terbentuk berdasarkan
beberapa faktor yang memengaruhinya, antara
lain aspirasi yang realistis, keberhasilan,
wawasan diri, wawasan sosial, dan konsep diri
yang stabil (Hurlock, 1999: 259). Selain itu,
peran keluarga juga menentukan penerimaan
diri yang dimiliki individu (Kuang, 2010: 15).
Individu dalam kehidupannya, senantiasa
terlibat
dalam
lingkungan,
sehingga
ditambahkan oleh Satyaningtyas dan Sri (2005:
3) bahwa lingkungan sosial juga berpengaruh
terhadap penerimaan diri individu. Masingmasing faktor memegang peranan penting
dalam menumbuhkan penerimaan diri pada
remaja.
Kemampuan
remaja
dalam
menumbuhkan
penerimaan
diri
akan
menjadikan remaja mampu mengelola emosi,
sehingga remaja dapat mengendalikan diri
terhadap setiap dorongan untuk melakukan
perilaku yang tidak berkenan pada diri
individu. Remaja dengan penerimaan diri yang
positif akan dorongan untuk berbuat positif
pada diri sendiri. Menerima diri bukanlah
12
berarti pasrah apa adanya, melainkan
menerima diri atau menerima segala bentuk
kenyataan yang menimpa diri sendiri
dengan alasan untuk memperbaiki diri
(Ubaedy, 2008: 204-205).
Penerimaan diri merupakan salah satu
faktor kepribadian yang penting dalam
mencegah individu dalam lingkaran stres
tanpa akhir (Safaria dan Kundjana, 2008:
77). Perceraian yang terjadi pada orangtua
akan menimbulkan berbagai tekanan dalam
diri remaja. Hal tersebut diperburuk dengan
berbagai penilaian dari masyarakat yang
memberikan label sebagai anak broken
home, sehingga dapat berdampak pada
penerimaan diri yang ditunjukkan remaja
terhadap perceraian orangtua. Schneiders
(dalam Gunarsa dan Gunarsa, 2008: 98)
menyatakan bahwa penerimaan diri
merupakan salah satu ciri terpenting dalam
penyesuaian diri yang baik. Bilamana
individu dapat menerima dirinya, maka
individu tersebut juga akan dapat menerima
orang lain termasuk kekurangannya atau
hal-hal positif dari orang lain. Remaja
dengan penerimaan diri yang baik
kemungkinan akan dapat mengatasi
berbagai kesulitan yang muncul setelah
orangtua bercerai, baik kesulitan dari segi
berkurangnya ekonomi hingga kesulitan
dalam menghadapi berbagai pandangan
negatif masyarakat.
Penerimaan diri bukanlah hal yang tidak
mungkin untuk dimiliki remaja yang
orangtuanya bercerai. Individu menentukan
sendiri harapannya dan disesuaikan dengan
pemahaman mengenai kemampuan dan
bukan diarahkan oleh orang lain dalam
mencapai tujuan. Penerimaan diri akan
menjadikan remaja yang orangtuanya
bercerai memiliki optimisme terhadap diri
sendiri, mau menerima kualitas baik dan
buruk diri, serta memiliki sikap positif
terhadap kejadian buruk di dalam
kehidupannya. Remaja yang orangtuanya
bercerai apabila memiliki penerimaan diri
positif akan dapat mengembangkan rasa
percaya diri ketika berada di tengah-tengah
masyarakat,
sehingga
mampu
memaksimalkan potensi yang dimilikinya
tanpa harus mengalami keterpurukan akibat
status yang berasal dari keluarga dengan
orangtua bercerai. Berbagai kesulitan dalam
menumbuhkan penerimaan diri positif atas
perceraian orangtua merupakan hal yang harus
diatasi oleh remaja dengan orangtua bercerai,
sehingga remaja tidak terjebak dalam
pergaulan negatif sebagai bentuk pelampiasan
atas permasalahan yang melanda keluarganya.
Selain itu, kemampuan dalam menumbuhkan
penerimaan diri akan dapat menjadikan remaja
yang orangtuanya bercerai mampu menjadikan
perceraian orangtua sebagai pelajaran berharga
yang mendorongnya untuk lebih mandiri
dalam menghadapi kehidupan.
Tinjauan Pustaka
Osborne
(1992:
75)
menyatakan
penerimaan diri sebagai sikap menerima diri
sendiri baik kelemahan maupun kelebihan
yang dimilikinya. Penerimaan diri merupakan
kunci dalam mencapai kesuksesan, karena
individu dapat melangkah dengan penuh
percaya diri. Individu tidak akan merasa
minder dengan apa yang dimiliki, tidak terlalu
silau dengan kelebihan orang lain, serta lebih
fokus dalam usaha pengoptimalisasian potensi
diri untuk mencapai kesuksesan (Prihadhi,
2004: 57). Penerimaan diri merupakan salah
satu faktor kepribadian yang penting dalam
mencegah individu dalam lingkaran stres tanpa
akhir (Safaria dan Kundjana, 2008: 77).
Penerimaan diri berarti seseorang harus
membuka hatinya untuk bersedia menerima
keseluruhan dirinya secara utuh dan tulus,
termasuk kelebihan dan kekurangannya
(Kuang, 2010: 13). Tinggi rendahnya alasan
seseorang terhadap berbagai alasan suatu hal
dapat dipandang sebagai pernyataan sikap
terhadap suatu perilaku, yaitu penilaian yang
dibuat seseorang mengenai baik atau buruknya
suatu perilaku dan sejauh mana individu
mendukung atau menentang perilaku tersebut
(Ajzen dan Fishbein, dalam Loebis, 1995: 17).
Individu yang memiliki penerimaan diri akan
mengetahui
segala
kelebihan
dan
kekurangannya dan mampu mengelolanya
(Satyaningtyas dan Sri, 2005: 2).
Istilah adolescence atau remaja berasal dari
kata Latin adolescere yang berarti “tumbuh”
13
atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa
primitif memandang masa puber dan masa
remaja tidak berbeda dengan periodeperiode lain dalam rentang kehidupan, anak
dianggap dewasa apabila sudah mampu
mengadakan
reproduksi.
Istilah
adolescence, seperti yang dipergunakan
saat ini, mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional,
sosial, dan fisik (Hurlock, 2006: 206).
Remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu
masa remaja awal dan masa remaja akhir.
Menurut Hurlock (2006: 206) awal masa
remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas
tahun sampai enam belas atau tujuh belas
tahun, dan akhir masa remaja bermula dari
usia enam belas atau tujuh belas tahun
sampai delapan belas tahun, yaitu usia
matang secara hukum. Menurut Monks,
Knoers dan Haditono (2002: 262), masa
remaja dibagi menjadi tiga periode, yaitu
remaja awal (usia 12-15 tahun), remaja
tengah atau madya (15-18 tahun), dan
remaja akhir (19-24 tahun, masa remaja
yang diperpanjang).
Berdasarkan dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penerimaan diri remaja
adalah kemampuan individu yang berada
pada rentang usia 12-18 tahun untuk
mengakui, menghargai, dan menerima
kekurangan dan kelebihan dirinya secara
obyektif serta mempunyai keinginan untuk
terus mengembangkan dan mencegah
individu terjebak dalam lingkaran stres
tanpa akhir.
Menurut Osborne (1992: 77) ciri-ciri
individu yang memiliki penerimaan diri,
yaitu:
a. Tidak dikendalikan oleh ambisi yang
berlebihan, melainkan memiliki sifat
rendah hati dan dewasa secara
emosional.
Ambisi yang berlebihan membuat
seseorang ingin memiliki dorongan
yang berlebihan untuk mengungguli,
mengalahkan, lebih menonjol, berkuasa,
berkedudukan, dan memiliki segala
sesuatu yang dapat melebihi orang lain
yang dianggap sebagai saingannya.
b. Tidak hanya mengeluh
Seseorang yang menerima dirinya merasa
memiliki kasih dan pengakuan dari setiap
orang sehingga dapat melakukan suatu
pekerjaan dengan baik. Ia tahu apa yang
harus dikerjakan dan bagiamana yang
merupakan bagian pekerjaan orang lain.
Hal ini menyebabkan ia bekerja dengan
benar dan tidak terlalu sibuk sehingga
membuat ia tidak banyak mengeluh.
c. Tidak mudah menyerah
Orang yang tidak mudah menyerah
memiliki
kemauan
keras
untuk
menanggulangi setiap rintangan, belajar
dari kegagalan dan tidak takut untuk
mencoba sesuatu yang baru.
d. Tidak mudah tersinggung, sabar, dan
berperilaku positif terhadap orang lain
Orang yang menerima dirinya memiliki
kemampuan pengendalian emosi sehingga
tidak mudah marah dan tersinggung,
hatinya tidak mudah dilukai tetap berusaha
sabar dan berfikir positif terhadap orang
lain.
e. Mengendalikan kemarahan, pikiran dan
emosinya secara benar
Orang yang menerima diri akan belajar
untuk jujur terhadap dirinya termasuk pada
pikiran-pikiran serta emosi-emosi yang
dimilikinya sehingga ia bisa mengungkap
kemarahannya dengan baik dan benar.
f. Hidupnya berorientasi saat ini dan masa
yang akan datang
Individu tidak akan mengingat dan
menyesali hal-hal yang sudah terjadi di
masa lalu. Namun, segala sesuatu yang
dialaminya akan dianggap sebagai hikmah
untuk belajar sesuatu dari kehidupannya
yang lebih baik.
g. Tidak mengharapkan belas kasihan orang
lain
Orang yang memiliki penerimaan diri
mengetahui bahwa rasa bahagia yang benar
bukan berasal dari orang lain, harta benda,
jabatan, dan pendidikan yang dimilikinya
melainkan berawal dari penerimaan diri
apa adanya dengan merasa cukup akan
setiap hal yang dimilikinya.
14
Harefa
(2005:
15)
menyatakan
penerimaan diri yang ada dalam diri
individu ditandai dengan beberapa ciri,
yaitu:
a. Menerima
kelemahan-kelemahan
sekaligus mengetahui bahwa dalam diri
individu terdapat kekuatan-kekuatan
yang unik dan berbeda dengan orang
lain.
Segala kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki seseorang akan diterima apa
adanya
dengan
tetap
berusaha
memeperbaiki kelemahan yang dimiliki
serta
menggunakan
kelebihannya
dengan tepat
b. Enggan menyediakan banyak waktu
untuk meratapi kelemahan-kelemahan,
namun berusaha keras mengembangkan
potensi-potensi yang dimiliki.
Penulis akan menggunakan pendapat
yang diutarakan oleh Osborne (1992: 77)
karena pendapatnya dianggap telah
mewakili dari tokoh yang lain bahwa ciriciri
penerimaan
diri,
yaitu
tidak
dikendalikan oleh ambisi yang berlebihan,
tidak banyak mengeluh, tidak mudah
menyerah, tidak mudah tersinggung, sabar,
dan berperilaku positif terhadap orang lain,
mengendalikan kemarahan, pikiran dan
emosinya
secara
benar,
hidupnya
berorientasi saat ini dan masa yang akan
datang, serta tidak mengharapkan belas
kasihan orang lain.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini subjek penelitian
yang digunakan berjumlah tiga orang.
Adapun karakteristik subjek penelitian
tersebut adalah:
1. Berada pada masa remaja awal, yaitu
berusia 12 – 15 tahun. Santrock (2003:
199) menyatakan bahwa pada awal
masa remaja, perceraian orangtua
menjadikan remaja sering terlibat dalam
konflik dengan ibu, berperilaku tidak
patuh, memiliki harga diri yang lebih
rendah, dan lebih mengalami masalah
dalam berhubungan dengan lawan jenis.
2. Subjek berasal dari keluarga yang
orangtuanya telah bercerai. Hal ini
dikarenakan perceraian orangtua akan
mendatangkan perasaan traumatis bagi
anak. Beberapa remaja mengalami tekanan
psikologis ketika di rumah diakibatkan
adanya
perceraian
orangtua
yang
menyebabkan remaja tidak betah di rumah
dan
menyebabkan
remaja
mencari
pelampiasan. Perceraian menjadikan anak
terbebani rasa kehilangan (Dariyo, 2004:
169)
Pada penelitian ini secara tepat
menggunakan
keabsahan
data
derajat
kepercayaan (credibility), yaitu triangulasi,
merupakan teknik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain.
Pembahasan
Perceraian orangtua dapat berpengaruh
terhadap perkembangan remaja terutama
penerimaan diri. Remaja yang orangtuanya
bercerai mampu menerima diri semenjak
perceraian yang terjadi pada orangtuanya.
Penerimaan diri tersebut dimanifestasikan
dalam keinginan untuk dapat mencapai
keberhasilan di masa depan. Remaja yang
orangtuanya bercerai tidak ingin orang lain
menaruh rasa kasihan terhadap status subjek
yang berasal dari keluarga bercerai. Ubaedy
(2008:
204-205)
menyatakan
bahwa
penerimaan diri adalah sebuah tekad untuk
mempersiapkan diri dalam melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik. Penerimaan
diri dapat menjadi dorongan untuk berbuat
positif pada diri sendiri. Menerima diri
bukanlah berarti pasrah apa adanya, melainkan
menerima diri atau menerima segala bentuk
kenyataan yang menimpa diri sendiri dengan
alasan untuk memperbaiki diri.
Riyanto (2006: 45) mendefinisikan
penerimaan diri sebagai menerima semua
pengalaman hidup, sejarah hidup, latar
belakang hidup, lingkungan pergaulan, dan
masa-masa yang telah dilalui oleh individu.
Penerimaan diri merupakan dasar bagi semua
pertumbuhan dan perubahan yang ada pada diri
individu. Penerimaan diri juga merupakan
suatu keyakinan mendasar untuk menjadi diri
sendiri, bukan diri orang lain atau bukan diri
15
yang
bertopeng.
Penerimaan
diri
menjadikan remaja dengan orangtua
bercerai mampu mengelola emosi ketika
teringat kejadian perceraian orangtua.
Penerimaan diri pada remaja yang
orangtuanya bercerai terlihat dari tidak
dikendalikan oleh ambisi yang berlebihan,
melainkan memiliki sifat rendah hati dan
dewasa secara emosional, tidak hanya
mengeluh,
tidak
mudah
menyerah,
mengendalikan kemarahan, pikiran dan
emosinya
secara
benar,
hidupnya
berorientasi saat ini dan masa yang akan
datang, tidak mengharapkan belas kasihan
orang lain, serta tidak mudah tersinggung,
sabar, dan berperilaku positif terhadap orang
lain. Penerimaan diri yang dimiliki remaja
dengan
orangtua
bercerai
mampu
menjadikan remaja mampu menghindarkan
remaja dari keinginan untuk mengungguli
atau mengalahkan teman yang memiliki
orangtua utuh. Remaja dengan orangtua
bercerai dapat menghindarkan adanya
perasaan iri yang mendorong remaja untuk
menjatuhkan atau bahkan mengalahkan
teman yang memiliki orangtua yang utuh.
Penerimaan diri yang dimiliki remaja yang
orangtuanya bercerai menjadikan remaja
lebih terbiasa dan justru semakin
meningkatkan kemandirian dalam diri
remaja untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Selain itu remaja yang
orangtuanya bercerai dapat mengerti
tanggung jawab yang harus dilakukan
dalam kehidupan di keluarga maupun di
kehidupan masyarakat.
Perceraian yang terjadi diantara orangtua
remaja, dapat disikapi dengan baik dengan
adanya penerimaan diri. Kondisi tersebut
menjadikan remaja tidak merasa khawatir
dengan adanya penilaian negatif dari
masyarakat karena remaja yakin bahwa
dirinya dapat mengatasi permasalahan yang
datang dalam kehidupannya. Penerimaan diri
yang dimiliki remaja dengan orangtua
bercerai menjadikan remaja tidak senang
apabila ada orang lain yang merasa iba
dengan kondisi diri dan keluarganya.
Perasaan tidak mudah menyerah yang
dimiliki remaja yang orangtuanya bercerai
semakin meningkatkan penerimaan dirinya,
sehingga remaja tetap dapat menikmati
kehidupannya saat ini.
Penerimaan diri terbentuk berdasarkan
beberapa faktor yang memengaruhinya, antara
lain aspirasi yang realistis, keberhasilan,
wawasan diri, wawasan sosial, dan konsep diri
yang stabil (Hurlock, 1999: 259). Selain itu,
peran keluarga juga menentukan penerimaan
diri yang dimiliki individu (Kuang, 2010: 15).
Kemampuan subjek dalam memahami bahwa
kegagalan adalah bagian dari kehidupan
menjadikan subjek mampu menumbuhkan
penerimaan diri yang baik. Selain itu,
kemampuan dalam menghadapi rasa sakit yang
disebabkan karena perceraian orangtua
menjadikan remaja dengan orangtua bercerai
tidak mengalami trauma yang mendalam
akibat percerian orangtua.
Hurlock (1999: 259) menyatakan bahwa
individu yang mampu menerima dirinya harus
realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai
ambisi yang tidak mungkin tercapai.
Kemampuan individu memandang setiap
kejadian dalam kehidupan secara realistis akan
menumbuhkan penerimaan diri pada remaja
yang orangtuanya bercerai. Remaja akan dapat
menghindarkan diri dari adanya penolakan
terhadap kondisi yang dirasa kurang
menguntungkan
dalam
kehidupannya.
Penerimaan diri yang dimiliki remaja yang
orangtuanya bercerai semakin berkembang
dengan adanya peran lingkungan keluarga
remaja.
Dampak perceraian terhadap anak hampir
selalu buruk. Banyak anak menderita masalah
psikologis dan sosial selama bertahun-tahun
akibat stres yang berkepanjangan dalam
keluarga yang bercerai. Remaja yang
dibesarkan dalam kondisi orangtua yang
bercerai dapat merasa bahwa dirinya tidak
seberuntung teman-temannya yang lain.
Remaja dari keluarga dengan orangtua bercerai
dapat merasa rendah diri. Berbagai bentuk
perilaku menyimpang ditunjukkan remaja
dengan orangtua bercerai, seperti mabukmabukan,
pergaulan
bebas,
hingga
menggunakan narkoba untuk menenangkan
pikirannya. Remaja dapat menunjukkan
penerimaan diri yang baik terhadap perceraian
16
orangtua, sehingga dapat melewati tahap
perkembangannya tersebut. Perceraian yang
terjadi pada remaja menjadikan subjek
menaruh kebencian yang mendalam
terhadap sosok bapak yang sering
melakukan kekerasan kepada ibu.
Penutup
Simpulan
1. Gambaran penerimaan diri pada remaja
yang orangtuanya bercerai
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa remaja yang orangtuanya
bercerai menunjukkan penerimaan diri
meskipun memiliki orangtua bercerai.
Penerimaan diri pada remaja yang
orangtuanya bercerai terlihat dari tidak
dikendalikannya remaja oleh ambisi
yang berlebihan, melainkan memiliki
sifat rendah hati dan dewasa secara
emosional, tidak hanya mengeluh, tidak
mudah
menyerah,
mengendalikan
kemarahan, pikiran dan emosinya
secara benar, hidupnya berorientasi saat
ini dan masa yang akan datang, tidak
mengharapkan belas kasihan orang lain,
serta tidak mudah tersinggung, sabar,
dan berperilaku positif terhadap orang
lain.
2. Faktor yang yang berpengaruh terhadap
penerimaan diri pada remaja yang
orangtuanya bercerai
Faktor yang memengaruhi penerimaan
diri remaja yang orangtuanya bercerai,
antara lain aspirasi yang realistis,
keberhasilan, wawasan diri, wawasan
sosial,
pengharapan
(expectation),
budaya di dalam keluarga, rasa sakit
(pain), serta ketidakseimbangan antara
hati dan pikiran.
3. Dampak perceraian orangtua terhadap
remaja
Dampak penerimaan diri pada remaja
yang orangtuanya bercerai menjadikan
subjek tidak ingin kehilangan sosok ibu,
semakin memiliki kepercayaan terhadap
sosok ibu dan berusaha melakukan yang
terbaik.
Saran
1. Bagi remaja dengan orangtua bercerai
Remaja
dengan
orangtua
bercerai
diharapkan dapat semakin meningkatkan
kemampuan dalam diri untuk mengakui,
menghargai, dan menerima kekurangan dan
kelebihan dirinya secara obyektif serta
mempunyai
keinginan
untuk
terus
mengembangkan potensi yang dimiliki
sehingga remaja tidak akan merasa tertekan
meskipun berasal dari keluarga yang bercerai.
2. Bagi orangtua
Orangtua diharapkan dapat semakin
memberikan dukungan yang dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan rasa
nyaman remaja dalam menghadapi
kehidupan.
3. Bagi peneliti lain
Peneliti lain diharapkan dapat menggali
lebih mendalam faktor-faktor yang
memengaruhi penerimaan diri remaja yang
orangtua bercerai, misalnya konsep diri dan
faktor lingkungan.
Daftar Pustaka
Chaplin, J. P. 2006. Kamus LengkapPsikologi.
Alih bahasa: Kartono. Jakarta: Bima
Aksara.
Dagun, S. M. 2002. Psikologi Keluarga.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan
Dewasa Muda. Jakarta: PT. Gramedia.
Goode, W. J. 2007. Sosiologi Keluarga.
Jakarta: Bumi Aksara.
Gunarsa, S. D., dan Gunarsa, Y. S. D. 2008.
Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hadi, S. 2001. Statistik. Jilid Dua. Yogyakarta:
ANDI.
Handayani, M. M., Sofia, R., dan Avin, F. H.
2000. Efektivitas Pelatihan Penggunaan
Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan
Diri dan Harga Diri Pada Remaja. INSAN.
Volume 2 No.1. Hal.39-46. November.
17
Surabaya:
Fakultas
Universitas Airlangga.
Psikologi
Harefa, A. 2005. Sukses Tanpa Gelar.
Jakarta: PT. Gramedia.
Psikologi Indonesia. No. 1. Hal. 17-21.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Herdiansyah, H. 2011. Metode Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Hurlock,
E.B.
1999.
Psikologi
Perkembangan (Suatu Pendekatan
Sepanjang Kehidupan). Alih Bahasa:
Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T. O. 1999. Bunga Rampai
Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Kertamuda, F. E. 2009. Konseling
Pernikahan untuk Keluarga Indonesia.
Jakarta: Salemba Humanika.
Kuang, M. 2010. Amazing Life: Panduan
Menuju Kehidupan yang Luar Biasa.
Jakarta: PT. Gramedia.
Laraswati, S. P. 2011. Penyesuaian Diri
Remaja yang Orangtuanya Bercerai.
Jurnal Psikologi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Loebis, S. K. 1995. Pola Penerimaan
Wanita terhadap Aborsi, Jurnal
18
Download