UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DALAM PANDANGAN

advertisement
UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DALAM PANDANGAN MASYARAKAT
MUSLIM KOTA MEDAN
FATIMAH
Kata Kunci: Undang-undang Pornografi, hukum Islam
Masalah pornografi merupakan persoalan klasik yang ada dalam masyarakat dan
belum berakhir hingga saat ini dan telah melahirkan dampak yang semakin nyata,
diantaranya sering terjadi perzinahan, perkosaan bahkan pembunuhan maupun aborsi.
Orang-orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut tidak hanya perempuan dewasa
tetapi banyak juga korban yang masih anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan
dengan kata lain pornografi dapat memicu kejahatan yang berakibat tindak pidana, di
samping itu banyaknya kejahatan menunjukkan rendah dan bobroknya moral suatu
masyarakat.
Pornografi kini telah menjadi masalah nasional, karena telah merambah ke
daerah-daerah pedesaan, meskipun beberapa pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana 1
serta pasal-pasal yang terkait dengan RUU Hukum Pidana seperti pasal 411sampai
dengan pasal 415, pasal 420 dan pasal 422, pasal 432 dan 343 telah mengatur masalah
tersebut, namun kenyataannya ketentuan-ketentuan itu sangat kurang efektif. Dikatakan
kurang efektif karena di dalam pasal-pasal tersebut diperkirakan belum dapat
memberantas, menanggulangi dan mencegah pornografi. Dengan latar belakang inilah
pemerintah berupaya untuk memberantas, menanggulangi dan memecahkan
permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh pornografi di tengah masyarakat
dengan membuat suatu undang-undang pornografi.2
Kehadiran undang-undang ini dipandang sebagai suatu kebutuhan untuk
mengatur dan menekan maraknya pornografi yang beredar dan merajalela di lingkungan
masyarakat, selain itu hukum pidana yang mengatur masalah pornografi yang terdapat di
dalam KUHPidana dipandang belum dapat menanggulangi masalah pornografi tersebut.
Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada
tanggal 30 Oktober 2008 dalam rapat paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi
disahkan. Pengesahan UU tersebut disahkan minus dua fraksi yakni Fraksi PDIP dan
Fraksi PDS. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah menyetujui
pengesahan RUU Pornografi ini.
Aksi pro dan kontra terhadap UU Pornografi ini datang dari berbagai elemen
masyarakat, kelompok yang mendukung di antaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut
Tahrir dan PKS. Kelompok ini menggelar; Aksi Sejuta Ummat, Curhat Budaya dan MUI
mengeluarkan fatwa. Sementara itu kelompok masyarakat yang menentang juga
mengadakan aksi; masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah
1
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya (Bogor;
Politieia, 1988), h. 204-207.
2
Neng Jubaedah, Pornografi Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta; Prenada Media,
2001), h. 1.
1
Konstitusi, Gubernur Bali bersama ketua DPRD Bali dengan tegas menyatakan menolak
UU Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat mendesak pemerintah untuk membatalkan
UU Pornografi yang telah disahkan dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri
dari Indonesia. Gubernur NTT menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi
ini.
Berbeda dengan harapan pemerintah, masyarakat di beberapa wilayah Indonesia
tidak menginginkan dan menolak hadirnya UU Pornografi ini. Selama pembahasannya
dan setelah disidangkan, UU ini mendapat penolakan baik di DPR sendiri ketika di
persidangan maupun dari masyarakat. Pada 28 Oktober 2008 RUU Pornografi di
sepakati 8 fraksi di DPR, sekitar pukul 23.00 WIB. Mereka menandatangani naskah, draft
yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna.
Meski tidak seramai dan sesemarak di daerah-daerah lain, di Sumatera Utara
tepatnya di kota Medan reaksi untuk menolak kehadiran UU Pornografi ini juga terlihat,
reaksi penolakan ini datang dari kelompok mahasiswa, beberapa organisasi masyarakat
dan pemerhati perempuan seperti; Hapsari, Perkumpulan Sada Ahmo, perkumpulan
Peduli, Letare, Forum Perempuan Sumut, Aliansi Sumut Bersatu, Pakkar, Moria GBKP,
SP2S, ISCO, Yakmi, Negaci, Yapendra, Layar Siantar, WCC Sopou, DFamei, GKPS,
Komunitas Membangun Damai, KPS, Bakumsu, PBHI Sumut, FMN Medan Kelompok
Diskusi aktivis Perempuan dan Pendukung Gerakan Perempuan Sumut, Spuk Dairi&
PakPak Barat, Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Sumut, Law Office Maya
Manurung, dan KSPPM. Seluruh organisasi –organisasi ini bersatu dalam Forum
Masyarakat Sipil Sumatera Utara melakukan demonstarsi di gedung DPRD Sumatera
Utara.
Fenomena di atas menjadi suatu yang menarik untuk diteliti bagaimana UU
Pornografi dalam Pandangan Masyarakat yang secara spesifik diteliti dalam pandangan
masyarakat Muslim Kota Medan.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
UU Pornografi dalam Pandangan Masyarakat Muslim Kota Medan? Dalam rumusan
tersebut tercakup;
a.
Bagaimana pengetahuan masyarakat Muslim Kota Medan tentang UU Pornografi?
b.
Bagaimana pendapat atau sikap masyarakat Muslim kota Medan terhadap UU
Pornogrfi?
c.
Apa harapan masyarakat Muslim kota Medan terhadap UU Pornografi?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Undang-Undang
Pornografi dalam pandangan masyarakat Muslim kota Medan, sehingga tergambar
pengetahuan, pendapat atau sikap serta harapan masyarakat Muslim kota Medan
terhadap UU Pornografi.
2
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan khazanah pemikiran dan
memperkaya analisis bahan hukum terhadap perkembangan dan penegakan hukum yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Lebih khusus lagi
temuan penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dan pertimbangan bagi penegak
hukum, akademisi, praktisi hukum, pemerintah dan mereka yang konsern dalam
menciptakan masyarakat yang sadar
hukum, dalam menegakkan hukum yang
berkeadilan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Sesuai sifat permasalahan penelitian yang diajukan, penelitian ini menggunakan
dua pendekatan penelitian yaitu pendekatan sosio legal dan pendekatan kualitatif. Metode
sosio legal digunakan karena ruang lingkup disiplin ilmu yang akan diteliti adalah bidang
hukum yakni UU Pornografi yang dilihat sebagai gejala sosial.3 Sebagai gejala sosial suatu
Hukum atau dalam hal ini Undang-Undang Pornografi hanya dipandang dari segi luarnya
saja dan yang menjadi titik fokus kajian adalah individu atau masyarakat dalam
kaitannya dengan UU Pornografi.
Fokus kajian penelitian ini adalah pandangan masyarakat maka penelitian ini
lebih menekankan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dianggap tepat untuk
digunakan dalam melakukan penelitian ini karena penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui pengetahuan, pendapat serta harapan masyarakat muslim kota Medan dan
menggali informasi yang lebih dalam dengan latar belakang konteks yang mengitarinya
dalam setting alamiah dan menginterpretasikan fenomena yang ditemukan berdasarkan
pemaknaan yang diberikan oleh informan. Di samping itu kajian sebuah fenomena harus
dilakukan dengan menganalisis konteks yang mengitarinya, dan hal ini hanya mungkin
dilakukan dengan pendekatan kualitatif.4
2. Subjek dan Informan
Subjek penelitian ini adalah masyarakat Muslim kota Medan yaitu; laki-laki dan
perempuan dengan karakteristik; remaja dan dewasa usia 18 tahun ke atas. Dengan
tehnik purposive sampling dan snowball sampling, peneliti merekrut subjek dengan kategori
dan karakteristik sebagai berikut; a). Mereka yang aktif di organisasi keagamaan NU,
Muhammadiyah, alwashliyah ataupun perwiridan dan remaja mesjid, b). Masyarakat
awam yang tidak terlibat dalam kegiatan seni maupun keagamaan. Adapun informan
penelitian ini adalah para tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah daerah, praktisi
hukum dan akademisi.
3
Peter Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 87.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h.
4
5.
3
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian kualitatif yaitu dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan
dokumen. Interview atau wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi
terstruktur. Peneliti merancang pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada subjek
penelitian untuk menjawab permasalahan utama tentang pandangan mereka terhadap
Undang-Undang Pornografi. Pertanyaan-pertanyaan dalam model wawancara ini
ditanyakan tidak selalu berurutan berdasarkan nomor urut pertanyaan yang telah disusun
dalam kisi-kisi wawancara. Pertanyaan mungkin saja mengalir sesuai topik yang
berkembang sepanjang topic wawancara. Wawancara model ini juga memungkinkan
untuk mendapatkan data yang mendalam dari para subjek atau informan penelitian.
Data utama diharapkan diperoleh dari subjek penelitian sebagai sumber primer
sedangkan data pendukung diperoleh dari data sekunder seperti dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan perundang-undangan, pornografi, sosiologi dan sebagainya. Secara
umum sumber primer dalam penelitian kualitatif adalah data yang idak dipublikasikan
yang dikumpulkan oleh peneliti dari orang-orang atau subjek dan informan penelitian
secara langsung. Data sekunder adalah data yang merujuk kepada sumber-sumber yang
dipublikasikan seperti buku, artikel dan sebagainya.
Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengacu pada beberapa teori yang mendukung pembahasan
penelitian. Teori-teori perundang-undangan, keberadaan hukum dalam masyarakat dan
teori-teori hukum Islam yang berhubungan dengan pemeliharaan diri. Menurut Kansil
pengertian undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara,5 Kansil menempatkan
undang-undang sebagai suatu kaedah atau norma hukum,6 atau dalam bahasa Belanda
disebut recht, hukum di sini menekankan pada prilaku yang diwajibkan oleh pemerintah
dan yang menyimpangnya diberi sanksi.7
Terkait dengan norma K. Bertens mengemukakan norma dilihat dari sudut
filsafat terbagi tiga yaitu norma umum menyangkut norma kesopanan atau etiket, norma
hukum dan norma moral. Norma moral atau dalam pemakaian internasional disebut
dengan etika menentukan perbuatan yang dilakukan itu baik atau buruk dari sudut etis
dan merupakan norma tertinggi yang tidak bisa ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya
norma moral menilai norma-norma lain. Dengan demikian ketika suatu norma tidak
mengandung atau bertentangan dengan norma moral maka norma tersebut harus kalah,
demikian juga halnya dengan norma hukum, jika suatu undang-undang dianggap tidak
etis maka undang-undang tersebut harus dihapus atau diubah.8
5
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ( Jakarta; Balai Pustaka;
1986), h. 46.
6
Ibid.
7
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju sistem Hukum Nasional (Bandung; Alumni, 1991),
h. 39.
8
K. Bertens, Etika ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.148-149.
4
Untuk itu pada perkembangan selanjutnya para ahli hukum mengakui bahwa
antara hukum dan moral tidak bisa dipisahkan, karena hukum sebenarnya moral yang
telah diangkat kepada tingkat legalitas bagi masyarakat, sehingga hukum menjadi standard
of morality. Moral harus tetap menjadi jiwa dan menjadi pendorong dilaksanakannya
hukum, agar hukum ditaati atas dasar kesadaran yang tumbuh dari dalam, bukan karena
takut hukuman, atau karena diawasi orang lain.9
Menurut ilmu hukum selain persyaratan-persyaratan yang harus tercakup
sebagaimana tersebut di atas, sebuah undang-undang juga harus memiliki tiga landasan
perundang-undangan; landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis.
Perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filisofische grondslag) apabila
rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechvaardiging). Alasan
tersebut sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Sesuai dengan cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée
der gerchtigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid).
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (sociologische
grondslag) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran
hukum masyarakat. Perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis
(rechtsgrond) atau disebut juga landasan hukum atau dasar hukum ataupun legalitas yaitu
landasan atau dasar yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang lebih tinggi
derajatnya.10
Sedangkan makna Pandangan dalam kamus bahasa Indonesia memiliki beberapa
arti: hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan sebagainya, benda atau
orang yang dipandang yang disegani, dihormati), pengetahuan dan pendapat. 11
Adapun kata pornografi diambil dari bahasa Yunani yaitu porne (pelacur) dan
gfraphos (gambar atau tulisan) yang secara harfiah berarti tulisan atau gambar tentang
pelacur. Secara bahasa definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terangkum dalam dua pemahaman; pertama, penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang
dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam
seks, kedua; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk
membangkitkan nafsu berahi dalam seks.12
Pada UU Pornografi, definisi pornografi disebutkan dalam pasal 1: “ Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar, gerak tubuh, atau
9
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001), h. 79.
10
Amiroeddin Sjarif, Perundang-Undangan Dasar, jenis, dan Teknik Pembuatannya (Jakarta:
PT. Rineka Cipta1997), h. 91-95
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001, Edisi III), h. 82
12
Ibid., h.
5
bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.13
Selanjutnya dalam kajian keberadaan hukum pada masyarakat pemberlakuan
suatu kaidah hukum dapat dilihat kepada beberapa aspek yaitu; aspek kaidah hukum,
aspek petugas atau penegak hukum, aspek sarana atau fasilitas dan aspek kesadaran
masyarakat. Kaidah hukum akan melihat suatu hukum kepada: 1. Hukum berlaku secara
yuridis 2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. 3. Hukum
berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.14
Penegak hukum akan melihat batasan-batasan yang tegas kepada wewenangnya,
batasan-batasan yang dapat diberikan kebijakan, keterikatan petugas dengan peraturanperaturan yang ada serta keteladanan yang diberikan. Fasilitas atau sarana sangat penting
untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Selain sarana kesadaran warga masyarakat
merupakan salah satu faktor yang amat penting untuk mematuhi suatu peratuan secara
sederhana disebut derajat kepatuhan. Kesadaran masyarakat akan tercapai dengan
beberapa hal yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, pematuhan hukum,
pengharapan terhadap hukum dan peningkatan kesadaran hukum. 15
Teori-teori di atas memiliki arti penting dan dianggap sangat mendukung dalam
penelitian ini. Oleh karena itu teori-teori tersebut serta ditambah dengan teori-teori lain
yang relevan akan dijadikan sebagai dasar perumusan kerangka konseptual penelitian.
Temuan Penelitian
Pengetahuan Masyarakat Muslim Kota Medan Tentang UU Pornografi
1. Bentuk dan isi Undang-undang
Hasil dari wawancara peneliti dengan sejumlah responden terdapat keragaman
pengetahuan masyarakat Muslim kota Medan tentang adanya undang-undang Pornografi.
Meski ada yang menyatakan tidak tahu adanya Undang-Undang Pornografi namun secara
umum hampir seluruh responden menyatakan mengetahui adanya Undang-undang
Pornografi di Indonesia, jika diklasifikasikan pengetahuan tersebut sangat beragam;
Tahu bahwa Undang-Undang Pornografi itu ada tetapi tidak pernah melihat atau
membaca isi daripada undang-undang tersebut dalam bentuk apapun jadi hanya tahu
sebatas melihat dan mendengar berita-berita seputar Undang-Undang Pornografi dari
media televisi dan koran. Subjek ini adalah mereka yang berasal dari tokoh masyarakat di
lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing.
Tahu ketika masih dalam berbentuk draft awal saja yaitu Rancangan UndangUndang Anti Pornografi dan Porno Aksi, bahkan mereka tidak mengetahui UndangUndang Pornografi sudah disahkan Responden atau subjek ini adalah mereka yang
berasal dari lembaga Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara.
13
Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Pornografi Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2008 (Bandung: Fokus Media, 2009), h. 2.
14
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta; Sinar Grafika, 2008), h. 62
15
Ibid., h. 66-69
6
Tahu ketika masih dalam berbentuk RUU Anti Pornografi dan Porno Aksi dan
tahu kalau rancangan undang-undang tersebut sudah disahkan, mulai dari masih
berbentuk rancangan sampai ke bentuk undang-undang disamping juga mengetahui
beberapa pasal yang menjadi isu kontra terhadap Undang-Undang Pornografi.
Tahu bentuk, isi dan hal-hal yang mempengaruhi pada legislasi UU Pornografi
tersebut. Subjek ini adalah seorang dosen filsafat hukum di PPS IAIN SU Medan.
2. Isu-isu sekitar Undang-Undang Pornografi
Beragam informasi yang diterima oleh para subjek dan informan seputar UU
Pornografi. Isu-isu sentral seperti; adanya pro dan kontra dari kelompok masyarakat;
seniman, budayawan, artis, partai politik , lembaga swadaya masyarakat, maupun dari
kalangan pemerintah terhadap kehadiran Undang-Undang Pornografi, dukungan dan
penolakan terhadap undang-undang ini ditandai dengan adanya berbagai aksi yang
dilakukan oleh sejumlah kelompok masyarakat khususnya masyarakat Bali dan Papua
merupakan masyarakat yang paling menolak Undang-Undang ini.
Persoalan budaya khususnya budaya Bali merupakan persoalan yang selalu
diketengahkan, budaya ini selalu dikaitkan dengan busana adatnya yang menampakkan
bahagian tubuh perempuan. dengan seni tari-tarian, seni patung yang berbentuk manusia
tanpa busana, lukisan yang juga banyak menampilkan lukisan-lukisan perempuan Bali
yang menggunakan busana terbuka bahkan juga tanpa busana , gerakan dalam tarian dan
nyanyian maupun pakaian daerah yang menampakkan bagian badan perempuan.
Ibu A dari MUI mengatakan: “ kalau yang menyangkut dengan apa, budaya
bangsa Indonesia yang ada ee…tidak menjadi masalah, cuman kubilang budayanya
budaya apa? Kan orang banyak menolak itukan Bali dengan alasan budaya ……karena
budaya orang itukan …boleh dikatakan seperti itu..”
Berbeda dengan ibu A ibu T mengatakan bahwa sebenarnya undang-undang
pornografi tidak menyinggung masalah budaya. Selain masalah budaya, Bali merupakan
daerah pariwisata yang banyak dikunjungi turis-turis asing yang umumnya mereka
memakai pakaian minim, bahkan turis-turis asing ini sudah terbiasa membiarkan bagian
tubuh mereka itu terbuka khususnya di pantai-pantai.
Perbincangan kegiatan-kegiatan seni yang terdapat dalam budaya daerah di
Indonesia pada akhirnya menyingkap persoalan seni di dunia hiburan baik di layar televisi
maupun di tempat-tempat umum. Banyak acara hiburan baik di televisi dan di
lingkungan masyarakat yang mengandung pornografi dilihat dari penampilan para artis
dan pelaku-pelaku seni tersebut baik dari segi pakaian, gerakan dan juga tempat yang
dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu beberapa nama artis, sejumlah
iklan dan beberapa acara tayangan televisi selalu muncul sebagai contoh pelaku dan
bentuk pornografi seperti pernyataan-pernyataan berikut:
Kebiasaan, moral dan ajaran agama merupakan isu-isu yang selalu hadir dalam
diskusi penelitian ini dan menjadi dasar pandangan sebahagian besar para subjek dalam
memberikan keterangannya. Masalah-masalah tersebut akhirnya merambah kepada
persoalan perlindungan terhadap perempuan.
7
Politik waletter dan politik parlemen jalanan, dua istilah yang digunakan oleh
beberapa subjek dalam mengemukakan persoalan politik yang turut melatar belakangi
dan mempengaruhi terlegislasinya Undang-Undang pornografi. Politik Waletter
digunakan untuk menyatakan budaya menjadi alasan masayarakat Bali untuk menolak
Undang-Undang Pornografi
Adanya tekanan dari FPI atau pihak luar agar disahkannya Undang-Undang
Pornografi diistilahkan dengan parlemen jalanan oleh Bapak FA, “ oo itu parlemen
jalanan tekanan-tekanan dari luar parlemen, rata-rata produk undang-undang itukan
banyak dipengaruhi tekanan-tekanan pihak luar , dalam kasus Undang-Undang
Pornografi partai-partai Islam tidak mampu memenangkan di parlemen..”.
Pendapat Masyarakat Muslim Kota Medan Tentang UU Pornografi
1.Makna Pornografi
Pendapat masyarakat Muslim Kota Medan tentang Undang-Undang Pornografi
selalu berawal dari pemahaman mereka tentang arti pornografi. Pornografi sangat erat
kaitannya dengan larangan-larangan yang terdapat dalam ajaran agama Islam, dalam
masalah membuka aurat, pengumbaran seksualitas. Ibu T mengatakan:
“Pornografi….mengumbar seks itunya dia”.
Pendapat masyarakat tentang pornografi seputar masalah pakaian, gerakan dan
kegiatan-kegiatan seni yang mengkomersilkan tubuh tersebut bila dilakukan di tempattempat umum atau menjadi konsumsi umum, berbeda jika pakaian, gerakan dan
visualisasi itu adalah ajaran dari suatu agama dan hanya dikonsumsi untuk suatu agama
dan masyarakat yang menganut agama tersebut tidak dapat dikatakan pornografi.
2. Undang-undang yang melindungi hak perempuan
3. Undang-Undang Pornografi dikatakan sebagai undang-undang yang
melindungi hak perempuan dari kejahatan seksual karena dengan undang-undang ini
untuk membatasi akhlak bebas yang berawal dari pakaian. Dengan terbukanya aurat
perempuan telah membuka satu poin atau satu peluang mengundang kejahatan seksual
di samping pakaian yang terbuka gerakan- gerakan dalam tarian yang sensual juga
mengundang kejahatan seksualitas. Meski dikatakan sangat subjektif, sangat tergantung
dari fikiran orang yang memandang sehingga syahwatnya terganggu, tetapi jika
pandangan atau tontonan yang mengundang syahwat itu tidak ada maka syahwat itu
tidak akan terganggu.
4. Undang-Undang yang Belum Jelas Beberapa subjek mengatakan UndangUndang Pornografi belum jelas, baik dari sudut materi undang-undang maupun sisi
penegak hukumnya. Ketidak jelasan materi terdapat pada kata-kata yang menyebutkan
“menimbulkan birahi” dan “menunjukkan bagian tubuh yang sensual”. Menurut mereka
kata-kata ini rancu dan mengandung subjektifitas. Melihat bagian tubuh perempuan
tergantung kepada orang yang melihat menimbulkan birahi atau tidak, karena pada satu
orang bisa menimbulkan tetapi pada orang yang lain tidak menimbulkan birahinya.
tetapi ada yang dengan melihat perempuan saja sudah terangsang birahinya. Ketidak
jelasan ini juga terjadi pada orang yang berhak menindak pelaku pornografi atau siapa
penegak hukumnya.
8
5. Undang-Undang yang Belum Berlaku. Menurut pendapat seluruh subjek
undang-undang ini belum diberlakukan atau belum dijalankan, hal ini dilihat dari masih
banyaknya acara-acara yang ditayangkan televisi mengandung pornografi, mulai dari
iklan, hiburan musik,sinetron dan film.
6. Undang-undang yang tidak menyinggung budaya. Masyarakat Indonesia yang
menolak Undang-Undang Pornografi dengan alasan tidak menghormati budaya-budaya
yang ada di Indonesia pada dasarnya tidak memahami Undang-Undang Pornografi.
Pendapat ini dikemukakan dengan memiliki beberapa alasan:
a. Undang-Undang ini tidak berisikan perintah menggunakan jilbab (busana muslim)
dan hanya menyerukan menutupi bagian-bagian yang tak pantas dilihat yang dapat
menimbulkan birahi.
b. Undang-Undang ini telah mengecualikan satu pasal yang tetap mengakui budaya.
c. Budaya-budaya yang ada di Indonesia tidak dikategorikan pornografi dari sisi
pakaian maupun gerakannya, seperti Papua, pakaian koteka yang dikenakan
masyarakat Papua bukanlah suatu budaya tetapi tingkat pengetahuan masyarakat
tersebut tentang berpakaian masih seperti itu masih primitif, saat ini ada anggota
masyarakat Papua mengetahui tentang cara berpakaian yang menutup tubuhnya
mereka mau mengikuti. . Dari sisi gerakan tarian juga tidak mengundang birahi.
7. Undang-Undang yang Mengarah Agama (Islam). Larangan-larangan untuk
melakukan tindak pornografi yang dimuat dalam undang-undang ini dinilai bermuatan
ajaran agama Islam, karena Islam mengatur tentang cara berpakaian, mengharamkan
menunjukkan aurat, mengharamkan pembuatan-pembuatan patung yang berbentuk
manusia serta visualisasi yang dapat mengundang syahwat. Meski Islam sendiri memiliki
ajaran-ajaran yang dapat dikatakan porno, seperti; adab-adab hubungan suami isteri,
tentang bersuci dan sebagainya, namun ajaran-ajaran Islam tersebut tidak disajikan secara
vulgar, ajaran-ajaran tersebut diperoleh melalui pendidikan di sekolah, di majelis ta’lim
atau di buku-buku yang mengajarkan tentang adab atau etika. oleh karenanya undangundang ini akan memberikan kemaslahatan tidak hanya kepada umat Islam tetapi juga
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
8. Undang-Undang yang Tidak menghargai keberagaman. Keberagaman budaya
yang ada di Indonesia terkena imbas dengan hadirnya undang-undang ini, Indonesia
memiliki budaya yang beragam, tetapi Undang-Undang pornografi memuat ajaran agama
Islam, sementara sebuah undang-undang harus bersifat umum dan berlaku umum tidak
hanya untuk satu komunitas tertentu jadi kehadiran undang-undang ini tidak menghargai
keberagaman budaya-budaya yang ada di Indonesia.
Untuk mengantisipasi persoalan ponografi di Indonesia sebenarnya cukup
dengan Perda, karena lebih sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. UndangUndang Pornografi hadir karena cara berfikir yang terlalu legalistik, hukum baru diikuti
jika tertulis, akibatnya para hakim di Indonesia tidak produktif karena menghukum
sesuatu hanya berdasarkan hukum tertulis tersebut, meskinya sesuatu diputuskan dengan
menulusuri keadaan masyarakat serta hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat
tersebut.
9
Harapan Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap UU Pornografi
Sebagai undang-undang yang sudah dibuat dan disyahkan, masyarakat muslim kota
Medan memiliki berbagai macam harapan:
1. UU Pornografi disosialisasikan ke seluruh masyarakat Indonesia oleh pemerintah,
karena sebagaimana undang-undang yang lain UU Pornografi saat ini hanya diketahui
kalangan pemerintah dan pembuat UU atau kalangan terbatas.
2. Agar UU Pornogafi diberlakukan dan pelaku-pelaku pornografi dapat ditindak.
Harapan ini disampaikan mengingat setelah adanya undang-undang ini kemaksiatan
masih saja terdapat di mana-mana terutama di layar-layar media.
3. Melalui UU ini mereka berharap tingkat kemaksiatan jauh berkurang di negeri ini dan
menyadarkan pelaku-pelaku pornografi bahwa yang mereka lakukan itu adalah salah
dengan dalil apapun.
4. Adanya Undang-Undang ini tingkat moralitas bangsa terutama generasi muda
semakin baik.
5. Lebih baik undang-undang penyiaran yang diperketat.
Pembahasan
Adalah menarik untuk menganalisis hubungan antara UU Pornografi dengan
pandangan masyarakat Muslim kota Medan Pertanyaan yang perlu dijawab adalah
apakah UU Pornografi sudah sesuai dengan hukum yang dicitakan menurut pandangan
mereka? Dengan menggunakan pendekatan keberadaan hukum dalam masyarakat
temuan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut;
Pengetahuan masyarakat Muslim kota Medan tentang UU Pornografi dapat
dikatakan sudah mengetahui keberadaan UU tersebut walau dapat dikatakan
pengetahuan mereka tidak utuh sebagai sebuah pengetahuan terhadap sebuah hukum
atau undang-undang. Pengetahuan mereka hanya ketika UU tersebut masih dalam
berbentuk rancangan, UU Pornografi itu ada dan kontroversi terhadap UU tersebut
sangat kuat. Respon-respon yang mereka berikan lebih banyak mengarah kepada pihakpihak yang kontroversial terhadap UU daripada terhadap undang-undang tersebut.
Selain mengetahui UU tersebut, secara umum masyarakat Muslim kota Medan
mengetahui ide dan tujuan daripada UU Pornografi, yaitu sebagai hukum yang bertujuan
mencegah pembuatan dan penyebar luasan pornografi serta manfaat undang-undang
tersebut bagi masyarakat Indonesia, untuk mengurangi tingkat kemaksiatan yang
mengakibatkan banyaknya tindak kriminal dan pelecehan seksual.
Secara tegas UU Pornografi mengatur; 1). Pelarangan dan pembatasan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, 2).perlindungan anak dari
pengaruh pornografi, dan 3). Pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.16
Dari sisi pendapat masyarakat terhadap UU Pornografi dapat diklasifikasikan
kepada empat; Pertama, terhadap materi undang-undang, secara materi Undang-Undang
16
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Pornografi Undang-Undang Republik
Indonesia No. 44 Tahun 2008 ( Jakarta, 2009), h. 18.
10
Pornografi dinilai belum jelas atau tegas, pemaknaan beberapa materinya sangat bersifat
subjektifitas sehingga dapat disalah artikan. Dalam kajian teori undang-undang bahasa
hukum yang digunakan jelas, dan juga beeldend (menggambarkan dengan baik sekali),
dapat dimengerti oleh setiap orang dan mempunyai segi-segi sastra yang enak dibaca dan
enak didengar.17
Kedua, penegak hukum undang-undang ini juga tidak diketahui, penegak hukum
dalam pengertian masyarakat adalah aparat hukum yang berwenang untuk menindak
pelaku pornografi. Masyarakat belum mengetahui siapa aparat yang berwenang dan
batas-batas yang dapat dijadikan kewenangan para petugas.
Ketiga, pelaksanaan (fungsi) hukum, maraknya kegiatan-kegiatan yang dilakukan
di tengah masyarakat dan tayangan-tayangan media televisi yang dinilai masyarakat sudah
melanggar UU Pornografi, merupakan indikator belum berfungsinya undang-undang
tersebut bagi masyarakat.
Salah satu faktor yang memberlakukan atau memfungsikan sebuah peraturan atau
undang-undang adalah warga masyarakat, maksudnya adalah kesadaran masyarakat untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan, yang disebut dengan derajat kepatuhan,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.18
Keempat , ide–ide serta tujuan yang terkandung dalam UU Pornografi bermuatan
moral dan ajaran agama yang sesuai dengan moral bangsa Indonesia dan kepercayaan
yang diyakini mayoritas masyarakat Indonesia. Pelarangan pembuatan, penyebar luasan
serta melaksanakan aktifitas yang menjadi objek pornografi adalah suatu perasaan moral
yang diakui dan menyahuti pesan-pesan ajaran agama Islam yang terdapat di dalam
berbagai surah Alqur’an; surah al-Ahzab tentang perintah menutup aurat, tentang hadis
nabi yang melarang memakai pakaian yang tipis dan sebagainya.
Sebagai undang-undang yang sudah dikeluarkan secara resmi masyarakat muslim
kota Medan mengharapkan agar undang-undang tersebut ditegakkan dan diberlakukan,
sehingga kejahatan-jahatan lain yang ditimbulkan oleh pornografi dapat berkurang dan
moral bangsa Indonesia semakin baik.
Penutup
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat dikatakan UU Pornografi dalam pandangan
masyarakat muslim kota Medan masih bersifat hukum yang berlaku secara filosofis yang
mengakibatkan hukum tersebut masih dalam ide atau cita-cita (ius constituendum).
Sebagai suatu produk hukum, UU Pornografi ini meskinya sudah tersosialisasi pada
seluruh ruang lingkup masyarakat Indonesia serta dapat diterima dan diberlakukan di
seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah-daerah yang menolak pemberlakuaannya. Hal
ini disebabkan sebuah undang-undang bersifat umum dan menyeluruh selain itu tujuan
17
Amiroeddin Sjarif, Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Pembuatannya (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1997), h. 85-87
18
Ibid, h. 65.
11
yang dikandung undang-undang tersebut meningkatkan moralitas bangsa yang sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia.
Penulis: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, menyelesaikan S.2 pada
Program Pasca Sarjana IAIN SU.
Pustaka Acuan
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta; Sinar Grafika, 2008.
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2001, Edisi III.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju sistem Hukum Nasional, Bandung; Alumni,
1991.
Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka;
1986.
Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Neng Jubaedah, Pornografi Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta; Prenada Media,
2001.
Sjarif, Amiroeddin, Perundang-Undangan Dasar, jenis, dan Teknik Pembuatannya, Jakarta: PT.
Rineka Cipta,1997.
Sjarif, Amiroeddin, Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Pembuatannya, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1997.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Bogor;
Politieia, 1988.
Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Pornografi Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2008 (Bandung: Fokus Media, 2009), h. 2.
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Pornografi Undang-Undang Republik Indonesia
No. 44 Tahun 2008 ( Jakarta, 2009), h. 18.
Usman, Suparman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001.
12
Download