BAB II KARAKTERISTIK PERILAKU SOSIAL REMAJA A. Perilaku Sosial 1. Pengertian Sebagai mahluk sosial, individu akan menampilkan perilaku tertentu antara lain interaksi individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Di dalam interaksi-interaksi sosial tersebut, akan terjadi peristiwa saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Hasil dari peristiwa tersebut adalah perilaku sosial. Sejalan dengan hal di atas banyak pengertian perilaku sosial yang dikemukaan oleh para ahli. Hurlock (1998: 250 ) mengemukakan bahwa perilaku sosial menunjukan terdapatnya tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan sosial atau kemampuan untuk menjadi orang bermasyarakat. Menurut Chaplin (Maryana, 2006: 19 ) bahwa perilaku sosial sebagai tingkah laku yang dipengaruhi oleh hadirnya orang lain, tingkah laku kelompok, atau tingkah laku yang ada di bawah kontrol masyarakat. Lebih jelasnya, Skinner (Sarlito, 2000: 17) menerangkan bahwa perilaku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk berperilaku secara tertentu ( yang dikehendaki oleh masyarakat). Dengan demikian maka tidak dapat dihindarkan bahwa perilaku sosial muncul pada situasi-situasi terjadinya interaksi sosial dalam upaya menyesuaikan dirinya dalam suatu lingkungan. Selanjutnya Sobariah (2005: 21) mendifinisikan bahwa suatu perbuatan atau tingkah laku yang ditampilkan oleh individu dalam situasi sosial dengan teman sebaya baik individual maupun kelompok. Lain halnya dengan Husain Jusuf yang mengatakan bahwa perilaku sosial adalah perilaku yang sudah merupakan satu pola yang relatif menetap yang diperlihatkan oleh individu di dalam interaksinya dengan orang lain (Maryana, 2006: 11) Dari beberapa pendapat tersebut, perilaku sosial dapat diartikan sebagai Segala tingkah laku atau aktivitas yang ditampakkan oleh individu pada saat berinteraksi dengan lingkungan. Dalam interaksi tersebut terdapat proses saling merespon, saling mempengaruhi, serta saling menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Individu harus mampu menyesuaikan diri dengan beragam lingkungan baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang sangat mempengaruhi perilaku sosial siswa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Asrori (2004: 93) bahwa dalam lingkungan sekolah anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai ragam keluarga dengan warna sosial yang beragam. Oleh karena itu sosialisasi yang dilakukan oleh siswa di sekolah akan tergantung dari kemampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan berbagai kegiatan yang ada di sekolah. Dengan demikian perilaku sosial di sekolah dalam penelitian ini dapat di artikan sebagai segala sesuatu bentuk tingkah laku atau aktifitas yang ditampakkan oleh anak pada saat berinteraksi dengan teman sebaya baik secara individual maupun kelompok di lingkungan sekolah. 2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sosial Perilaku sosial seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dibagi ke dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku sosial dijelaskan dalam uraian berikut. a. Faktor internal Faktor internal yaitu potensi yang memang sudah ada pada diri individu yang dibawanya sejak lahir. Jusuf (Maryana, 2006: 19) menyebutkan faktor internal yang berpengaruh terhadap perilaku sosial yaitu harga diri (self esteem) dan faktor kecerdasan (intelligence). Harga diri (self esteem) yaitu sejauh mana individu memandang dan menghargai dirinya sendiri, sehingga ia mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Hollander (Maryana, 2006: 20) mengemukakan bahwa harga diri merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan individu dengan individu lain serta untuk menyesuaikan diri individu. Menurut Krech (Maryana, 2006: 20) peningkatan derajat harga diri dapat membawa seseorang kepada inisiatif sosial, sedangkan penurunan derajat harga diri dapat membawa kepada sifat agresif dan tidak bersahabat. Di dalam beberapa studi yang dilakukan oleh para ahli, telah ditemukan bahwa orang yang menilai baik terhadap diri sendiri, juga cenderung menilai baik terhadap diri orang lain. Hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang menerima dirinya sendiri, juga menerima diri orang lain, sebaliknya orang yang menolak dirinya sendiri cenderung menolak orang lain. Faktor kecerdasan (intelligence) yaitu kemampuan secara kognitif yang dimiliki oleh individu. Seseorang dapat berperilaku baik, bergaul secara efektif apabila ia memiliki inteligensi tinggi, terutama inteligensi sosial. Seseorang yang memiliki inteligensi sosial dapat bergaul secara baik dengan masyarakat. Ia mudah berkawan dan memahami hubungan manusia. Melalui kemampuan ini individu mampu menangkap pesan-pesan dari suatu perilaku serta mampu memahami perilaku sosial yang harus ditampakkan dalam melakukan hubungan sosial. Sifat-sifat kepribadian sangat erat hubungannya dengan inteligensi sosial. Menurut Sorenson (Maryana, 2006: 21), temperamen, sikap, kejujuran, pertimbangan, humor, persahabatan dan tingkat kebebasan dari rasa cemburu semuanya merupakan faktor yang penting di dalam menentukan baiknya seseorang bergaul dengan orang lain. Intelegensi tinggi dapat membantu individu di dalam memecahkan masalah-masalah yang sulit, menghadapi kesulitan dengan tenang, mengambil keputusan secara tepat dan cepat, berfikir secara baik dan berlaku sopan. Inteligensi tinggi dari seorang siswa di kelas, akan menimbulkan kekaguman dari siswa yang lainnya. Dengan demikian akan mudah baginya untuk menjadi pemimpin di dalam berbagai kegiatan, oleh karena dalam kenyataan kepemimpinan yang intelejen itu diperlukan di dalam semua bidang kegiatan di sekolah. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa faktor harga diri dan inteligensi dapat mempengaruhi perilaku sosial. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari pengalaman atau lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku sosial siswa antara lain faktor kelurga, sekolah, teman sebaya dan media masa. 1. Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Hubungan dengan para anggota keluarga tidak semata-mata berupa hubungan dengan orang tua, tetapi juga dengan saudara, nenek dan kakek akan mempengaruhi perilaku sosial anak terhadap orang di luar lingkungan rumah. Posisi anak dalam keluarga, apakah yang paling tua, anak tengah, anak bungsu, atau anak tunggal juga penting. Anak yang lebih tua, atau jarak umurnya dengan saudara-saudara terlalu jauh, atau satu-satunya anak yang berjenis kelaminnya lain dari saudara-saudaranya cenderung lebih banyak menyendiri ketika berada bersama anak- anak lain. Perilaku sosial dan sikap anak mencerminkan perlakuan yang diterima di rumah. Anak yang merasa ditolak oleh orang tuanya atau saudaranya mungkin menganut sikap kesyahidan (attitude of martyrdom) di luar rumah dan membawa sikap ini sampai dewasa. Anak semacam itu mungkin akan menyendiri dan menjadi introvert. Sebaliknya penerimaan dan sikap orang tua yang penuh cinta kasih mendorong anak bersifat ekstrovert . 2. Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mandiri dan mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak Hurlock (Yusuf, 2001: 54) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam berfikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru subtitusi orang tua. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak yaitu (a) para siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangannya ”konsep diri” nya, (c) anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk sukses dan (e) sekolah memberikan kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik. Menurut Havighurst (Yusuf, 2001: 55) sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini, sekolah seyogianya berupaya menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat menfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Gerungan (1991: 194) yang mengemukakan: ”Peranan sekolah itu jauh lebih luas. Di dalamnya berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan”pendidikan” pada umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari kecakapan-kecakapan pada umumnya, belajar kerjasama dengan kawan sekelompoknya, melaksanakan tuntutan-tuntutan dan contoh-contoh yang baik belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran...”. Sekolah Menengah Pertama memiliki lingkup dan komleksitas yang berbeda dengan Sekolah Dasar. Di Sekolah Menengah Pertama merupakan sekolah secara keseluruhan bukan terbatas pada satu kelas dengan satu guru tetapi sebaliknya terdiri dari banyak guru dan banyak mata pelajaran. Kelompok teman sebayapun yang asalnya homogen dan lingkupnya terbatas menjadi kelompok teman sebaya yang lebih besar dan heterogen, dengan demikian siswa memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memilih teman sebaya yang sesuai dengan dirinya dan semakin luas kesempatan untuk bersaing dalam bidang prestasi. 3 Teman Sebaya Dalam pergaulannya dengan teman sebaya, anak dituntut untuk mampu mengikuti apa yang menjadi aturan dalam kelompok sebayanya. Secara langsung atau tidak langsung anak akan meniru perilaku yang dilakukan oleh teman-temannya. Agar anak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosialnya, diperlukan tiga proses sosialisasi (Hurlock, 1997: 228) Ketiga proses sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut. a) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial (learning to behave in socially approved ways) yang berarti bahwa dalam kelompok terdapat standar bagi para anggotanya. Individu harus mengetahui perilaku yang diterima oleh anggota kelompoknya. Dalam berkomunikasi misalnya, anak tidak hanya berkata-kata tapi anak dapat berkomunikasi dengan bahasa yang menarik dan dapat dimengerti kelompoknya. b) Belajar memainkan peran yang dapat diterima (playing approved social rules) yang berarti bahwa setting kelompok memiliki kebiasaan yang telah ditentukan dan disepakati oleh anggotanya. c) Perkembangan sikap sosial (devolepment of social attitude) yang berarti anak dituntut untuk bergaul dengan baik serta harus menyukai orang lain dan aktivitas sosialnya seperti sikap positif dan atau negatif, perasaan suka dan atau tidak suka terhadap aktivitas sosial. 4. Media massa Perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi memudahkan orang untuk memperoleh informasi dan komunikasi dengan cepat. Namun hal tersebut tidak hanya mempunyai dampak positif tetapi juga berdampak negatif terhadap perkembangan pribadi -sosial remaja. Media massa berupa perangkat komunikasi seperti majalah, surat kabar, radio, televisi dan sebagainya, mempunyai peranan dalam mengembangkan perilaku sosial anak. Salah satu media massa yang sangat berpengaruh terhadap anak adalah televisi. Jika ternyata anak lebih akrab dengan televisi, maka kepribadian yang terpencar dalam tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh acara-acara televisi. Hal ini dikarenakan terjadinya proses peniruan atau imitasi yang dilakukan oleh anak sangat dominan dalam kehidupan keseharian. 3. Bentuk-bentuk Perilaku Sosial Sosialisasi yang dilakukan siswa di sekolah disertai dengan adanya hubungan interpersonal. Dalam hubungan interpersonal tersebut siswa akan mengembangkan pola respon tertentu dalam bentuk perilaku. Hubungan antara siswa dengan kehidupan di sekolah merupakan suatu keadaan yang perlu diperhatikan oleh para personil sekolah, karena hubungan tersebut akan mempengaruhi perilaku sosial yang ditampilkan oleh siswa. Johnson (Maryana 1984: 76) dalam menjelaskan interaksi, mengutip teori Simon yang menyatakan bahwa satu perilaku kelompok (a group behavior) dapat ditandai oleh empat variabel yaitu: intensitas interaksi, tingkat persahabatan, jumlah kegiatan yang dilakukan, dan jumlah kegiatan yang dipaksakan kepada kelompok oleh lingkungan eksternal. Sedangkan menurut Lindgren ( Jusuf, 1984: 75) mengemukakan bahwa perilaku sosial anak tercermin di dalam sikap dan perasaan yang dapat membawanya kepada tindakan interpersonal yang lebih lanjut. Peristiwa interpersonal dapat dipelajari dari bermacam-macam tindakan yang dilakukan seseorang, yaitu: penerimaan (acceptance), penolakan (rejection), agresi, kasih sayang, dan penghindaran (avoidance). Peristiwa interpersonal dapat pula dipelajari dari proses komunikasi dan dari segi kerjasama atau persaingan. Lebih lanjut yusuf (Maryana, 2006: 25) bentuk perilaku sosial siswa di sekolah dapat dilihat berdasarkan tujuh dimensi, yaitu : (a) persahabatan, (b) kepemimpinan, (c) sikap keterbukaan, (d) inisiatif sosial, (e) partisipasi dalam kegiatan kelompok, (f) tanggung jawab dalam tugas kelompok dan (g) toleransi terhadap teman. B. Konsep Remaja 1. Pengertian Remaja, dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin Adolescere yang artinya ”tumbuh” atau ”tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orangorang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang lebih luas, mencakup mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock,1991). Pandangan Piaget (Hurlock,1991: 206) mengatakan remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak asfek afektif lebih atau kurang dari usia pubertas. Hall (Santrock, 2003: 10) mendefinisikan bahwa remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun dan penuh dengan topan dan badai. Remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan komflik dan perubahan suasana hati. Lebih lanjut Erikson ( Syamsudin, 2003: 132) menafsirkan bawa masa remaja itu sebagai suatu masa yang amat kritis yang mungkin dapat merupakan ”the best of time and the worst of time”. Bila individu mampu menghadapi tuntutan yang dihadapi secara integratif, ia akan menemukan identitasnya yang akan dibawanya menjelang masa dewasanya. Sebaliknya kalau gagal, ia akan berada pada kritis identitas (identity crisis) yang berkepanjangan. Masa remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. (Desmita, 2005: 190). Harold Alberty (Syamsuddin, 2003: 130) menyatakan bahwa masa remaja secara umum didefinisikan sebagai periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya awal masa dewasanya. Pendapat ini didukung dengan rentang masa remaja yang dikemukakan oleh Syamsudin (1993: 130) yang menyatakan bahwa rentangan masa remaja itu berlangsung dari sekitar usia 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut tahun kalender kelahirannya. Dengan demikian masa remaja merupakan masa yang dijalani individu yang dimulai dari berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya masa dewasa awal yang ditandai oleh perubahan-perubahan dari berbagai aspek yang meliputi: perkembangan fisik, perkembangan inteligensi, perkembangan emosi, perkembangan bahasa, perkembangan sosial, perkembangan kepribadian, perkembangan moral, dan perkembangan kesadaran beragama. 2. Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut Hurlock (Asrori, 2004: 10) adalah berusaha : 1. mampu menerima keadaan fisiknya; 2. mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa; 3. mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis; 4. mencapai kemandirian emosional; 5. mencapai kemandirian ekonomi; 6. mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagi anggota masyarakat; 7. memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua; 8. mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa; 9. mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan; 10. memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Senada dengan pendapat Hurlock, William Kay (Yusuf, 2001: 72) mengemukakan tugastugas perkembangan remaja itu sebagai berikut: 1. menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya; 2. mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas; 3. mengembangkan keterampilan berkomunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok; 4. menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya; 5. menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri; 6. memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup (weltanschauung) 7. mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan. Lebih lanjut Havighurst (Hurlock, 1991: 10) mengemukakan bahwa tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut : 1. mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2. mencapai peran sosial pria, dan wanita 3. menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya 6. mempersiapkan karier ekonomi 7. mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8. memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. 3. Ciri-ciri Masa Remaja Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1991: 207) mengemukakan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut. a. Masa remaja sebagai periode yang penting Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputusnya dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelummnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Bila anak-anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak-anak harus ”meniggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakkan” dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Namun perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru. Seperti dijelaskan oleh Osterrieth, ” Stuktur psikis anak remaja berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak” Perubahan fisik yang terjadi selama tahun masa awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang bergeser. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lain seorang anak dan juga bukan orang dewasa. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku munurun juga. Ada lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi, kedua perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan, ketiga remaja akan terasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya, keempat dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah, dan kelima sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi baik oleh anak-laki-laki maupun oleh anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama masa kanak-kanak, masalah anakanak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri. Terdapat ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih penting. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya. Tetapi status remaja yang mendua menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan “krisis indentitas” atau masalah identitas ego pada masa remaja. Salah satu cara mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu dengan menggunakan simbol dalam bentuk barang-barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya. f. Masa remaja sebagai usia menimbulkan ketakutan Anggapan bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja takut bertanggung jawab dan mengawasi kehidupan remaja takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja. Anggapan di atas juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan buruk tentang remaja. Hal ini membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit sehingga terjadi banyak pertentangan dengan orang tua dan anak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua dalam mengatasi berbagai masalahnya. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya. Hal ini menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistis cita-citanya, semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan sendiri. Menjelang berakhirnya masa remaja, pada umumnya baik anak laki-laki maupun perempuan sering terganggu oleh idealisme yang berlebih bahwa mereka harus segera melepaskan kehidupan mereka bila telah mencapai status orang dewasa. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan streotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. C. Perilaku Sosial Siswa SMP Siswa Sekolah Menengah Pertama umumnya berada pada masa rentang usia 12-15 tahun. Kelas 7 berada pada usia sekitar 11- 13 tahun, kelas 8 berada pada usia sekitar 12- 14 tahun sedangkan kelas 9 berada pada usia sekitar 13- 15 tahun. Baik kelas 7, 8 dan kelas 9 di lihat dari rentang usia berada pada masa remaja awal yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan untuk menjalin hubungan sosial secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan sosial remaja. Pendapat Havighurst berkenaan dengan tugas perkembangan sosial remaja (Yusuf, 2001: 74) yakni: 1. mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya 2. mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial 3. mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita 4. memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam tingkah laku Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Hal ini juga berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Keadaan fisik pada masa remaja di pandang sebagai suatu hal yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya (ketidaksesuaian antara body image dengan self picture) dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya diri, hal ini akan berdampak pada perilaku sosialnya. Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya (Sudrajat: 2008). Teman sebaya bagi remaja (siswa) mempunyai peran cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah : (a) social cognition, (b) konformitas. Pada masa remaja khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, di satu sisi lain dia membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemampuan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konplik nilai dirinya maupun dengan lingkungan. D. Karakteristik Perilaku Sosial Remaja Masa remaja sering kali dikenal dengan masa mencari jati diri, ini terjadi karena masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan perilaku seperti orang dewasa. Oleh karena itu ada sejumlah perilaku sosial yang sering ditunjukan dalam kehidupan dalam kesehariannya. Menurut (Asrori, 2004: 91) karakteristik perilaku sosial remaja adalah : a berusaha mencari pergaulan; b adanya upaya memilih nilai-nilai sosial; c meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis; Lain halnya dengan pendapat ( Skripsi-tesis Com: 2008) yang mengemukakan bahwa karakteristik perilaku sosial yang umum dimiliki remaja adalah sebagai berikut : (a) berusaha untuk memisahkan diri dari orang tuanya, (b) berusaha ingin bergabung dengan teman-teman sebayanya, (c) mempunyai keinginan untuk bebas dari kekuasaan, (d) tidak tergantung atau melepaskan diri dari orangtua, (e) memiliki rasa ingin tahu serta mencari identitas dirinya, (f) berusaha menyesuaikan dirinya dan meningkatkan hubungan dengan teman sebaya. Senada dengan pendapat di atas (Warta PPMI Assalaam) mengatakan bahwa karakteristik perilaku sosial yang ditampakkan oleh remaja adalah sebagai berikut : (1) lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebaya, (2) kemampuan untuk memiliki dan memilih banyak rujukan/ idola, (3) keinginan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kelompok, (4) kurang membutuhkan (penolakan) pengawasan dari orang tua, (5) cenderung bebas dalam mengekpresikan dan menampilkan diri, (6) membutuhkan penerimaan sosial (masyarakat), (7) saling berbagi dengan teman sebaya mengenai keyakinan dan minat sosial. E. Penelitian-penelitian Terdahulu Berikut ini dikemukakan beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut. 1. Erma Maryana (2006) dalam skripsinya yang berjudul ”perilaku sosial siswa SD” dari hasil penelitian ini menunjukan kemampuan berperilaku sosial yang sangat tinggi. Hal ini diketahui dari indeks persentase yang menunjukan bahwa siswa yang memiliki perilaku sosial katagori tinggi lebih banyak dibanding dengan siswa yang memiliki perilaku sosial dalam katagori sedang dan rendah. Hal ini dikarenakan siswa SD berada pada masa usia berkelompok. Dimana pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan untuk menyesuaiak diri (egosentris) kepada sikap bekerjasama (kooperatif) atau sosiometris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Minat anak terhadap kelompok sebaya sangat tinggi. 2. Dian Sobariah (2005) dalam skripsinya ”Kecenderungan perilaku sosial siswa di sekolah ditelaah dari pola asuh orang tua”. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar siswa berperilaku sosial memadai. Penelitian menunjukan adanya perbedaan perilaku sosial siswa dilihat dari kecenderungan pola asuh orang tua yang demokratis, acuh tak acuh, dan otoriter. Siswa yang meraskan pola asuh orangtuanya cenderung demokratis dan otoriter sebagian besar berperilaku sosial memadai. Sedangkan siswa yang merasakan pola asuh orang tuanya acuh tak acuh sebagian besar berperilaku sosial kurang memadai. Dengan demikian jelaslah pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku sosial siswa. 3. Abdul Malik Sinaga (1986) dalam Tesisnya ”Keakraban hubungan ibu dan ayah serta tipe sikap orang tua dihubungkan dengan perilaku anak di sekolah”. Hasil penelitian menunjukan bahwa keakraban hubungan ibu dan ayah berderajat tinggi, berpengaruh positif dan memberi corak terhadap perilaku harmonis yang ditampilkan anak dalam interaksi sosialnya di sekolah. Sebaliknya keakraban hubungan ibu dan ayah yang berderajat rendah, sangat mempengaruhi perkembangan perilaku anak yang tidak harmonis ditampilkan di sekolah, seperti perilaku ketergantungan, agresif, dan menyendiri. Hal ini tergambar pada prosentase yang modusnya 39,46 % pada perilaku menyendiri dan 36,97% pada perilaku agresif lebih tinggi prosentasenya bila dibandingkan dengan perilaku menyendiri dan harmonis. Keakraban Hubungan ibu dan ayah yang berderajat tinggi, dan dengan sikap orangtua yang demokratik serta menerima, pengaruhnya semakin berarti bila dihubungkan dengan perilaku anak yang harmonis di sekolah. Hal ini dinyatakan oleh prosentase yang menonjol dari lainnya, didapat 59,31 % pada keakraban tinggi dan sikap orangtua yang demokratik, dan 53, 31 % pada keakraban tinggi dan sikap menerima berpengaruh lebih tinggi pada perilaku anak yang harmonis. Dengan demikian jelaslah bahwa keakraban hubungan ibu dan ayah serta tipe sikap orangtua sangat berpengaruh terhadap perilaku anak di sekolah.