2.1. Kekerasan Verbal

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kekerasan Verbal
2.1.1. Kekerasan
Berkowitz (dalam Sobur, 2003) mendefinisikan kekerasan sebagai
segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik
secara fisik maupun mental. Sementara itu, Noerhadi (dalam Subono, 2000)
kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan yang dapat mengambil wujud
persuasif dan fisik, atau gabungan keduanya. Disebutkan oleh Carpenito
(2009) bahwa Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang
mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental.
Sugiarno (2002) memberikan definisi kekerasan pada anak (child
abuse) sebagai tindakan salah atau sewenang-wenang yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap anak, baik secara fisik, emosi maupun seksual. State
of Oregon Department (2003) menyatakan bahwa child abuse adalah
kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak yang dapat
meliputi kekerasan fisik, emosi atau verbal, seksual dan penelantaran.
Sunusi (2006) mendefinisikan kekerasan sebagai suatu perilaku
dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan
untuk mencederai atau merusak individu, baik berupa serangan fisik, mental
sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia,
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, dan
dapat berdampak trauma psikologis bagi individu yang menjadi korban.
1
2
Sorensen (2003) menyatakan bahwa anak yang pernah menjadi
korban kekerasan verbal dari orangtua akan menjadi orang yang memiliki
kepribadian ganda sebagai mekanisme untuk menanggulangi masalahnya,
yaitu di satu pihak cenderung untuk bersikap aktif dalam perilaku interaksi
sosialnya, serta rusaknya self esteem anak. Di sisi lain, anak juga bisa
menunjukkan gelaja tingkah laku sepeti rasa takut bila bersama dengan orang
dewasa, perilaku regresif (misalnya: mengompol, melukai orang lain/diri
sendiri), hubungan kurang akrab dengan teman sebaya, menghindari aktivitas
disekolah, ketakutan dan kecemasan yang berlebihan bila bertemu dengan
orang yang tidak dikenal maupun yang dikenal, dan berperilaku nakal dan
agresivitas tinggi.
2.1.2. Jenis-jenis Kekerasan
Kekerasan juga merupakan semua bentuk tindakan intensional
ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan yang menyebabkan individu
mengalami luka, sakit, penghancuran bukan hanya fisik melainkan psikis.
Dari pendapat tersebut menurut Douglas & Waksler (dalam Susanto, 2002)
dapat didefinisikan adanya empat jenis kekerasan, yaitu :
1.
Kekerasan Terbuka
Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.
2.
Kekerasan Tertutup
Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti
mengancam.
3.
Kekerasan Agresif
Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk
mendapatkan sesuatu, seperti perampokan.
3
4.
Kekerasan Defensif
Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik
kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup.
Sunarto (2009) dalam bukunya yang berjudul Televisi, Kekerasan dan
Perempuan menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan, antara lain :
1.
Fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korban dengan cara memukul, menampar, mencekik,
menendang, melempar barang ketubuh, menginjak, melukai dengan
tangan kosong atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa dan
membunuh.
2.
Psikologis
Kekerasan
psikologis
terwujud
dalam
bentuk
pengurangan
kemampuan mental atau otak (rohani) karena perlakuan-perlakuan
represif tertentu, misalnya ancaman, indoktrinasi dan sebagainya.
3.
Seksual
Melakukan tindakan yang mengarah pada ajakan seksual seperti
menyentuh, meraba, mencium, atau melakukan tindakan-tindakan lain
yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk
pornografi, kawin paksa, ucapan-ucapan yang merendahkan dan
melecehkan dengan mengarah pada aspek seks korban.
Murray (dalam Nurmaliah, 1995) mengelompokkan bentuk-bentuk
perilaku kekerasan menjadi tiga, yaitu :
a.
Bentuk Emosional Verbal
4
Meliputi sikap membenci, baik yang diekspresikan dalam kata-kata
maupun tidak, seperti marah, terlibat dalam pertengkaran, mengutuki,
mengkritik di depan umum, mencemooh, mencaci maki, menghina,
menyalahkan, menertawakan, dan menuduh secara jahat.
b.
Bentuk Fisik Bersifat Sosial
Meliputi perbuatan berkelahi atau membunuh dalam rangka
mempertahankan diri atau mempertahankan objek cinta, membalas
dendam terhadap penghinaan, berjuang dan berkelahi untuk
mempertahankan negara, dan membalas orang yang melakukan
penyerangan.
c.
Bentuk Fisik Bersifat Anti Sosial (Fisik Asosial)
Meliputi perbuatan perampokan, menyerang, membunuh, melukai,
berkelahi tanpa alasan, membalas penderitaan secara brutal dengan
pengerusakan yang berlebihan, menentang otoritas resmi, melawan
atau menghianati negara dan perilaku kekerasan secara seksual.
2.1.3. Kekerasan Verbal
Seringkali tanpa disadari sering mendengar kekerasan verbal yang
dilakukan anggota keluarga, teman ataupun orang yang tidak kenali.
Kekerasan verbal dalam kepustakaan komunikasi dapat diartikan sebagai
suatu bentuk kekerasan yang menggunakan kata-kata yang kasar, jorok dan
menghina. Kekerasan verbal saat ini memperoleh perhatian khusus dalam
studi-studi komunikasi karena pengaruhnya atau kadar kesensitifan
masyarakan terhadap perilaku kekerasan (Putra, 2008).
Menurut Rosenthal (1998), kekerasan verbal berupa komunikasi yang
berisi ancaman, perkataan kasar, atau menghina kemampuan anak yang
5
dilakukan secara terus menerus dan berakibat trauma pada anak, perasaan
malu, takut, dan rendah diri. Tower (2005) mengatakan bahwa kekerasan
verbal adalah kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat
anak, dimana terdapat ancaman atau penggunaan kata-kata kasar yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan luka psikologis, trauma dan
hal-hal yang berbahaya lainnya.
Berkowitz (2003) mendefinisikan perilaku kekerasan verbal sebagai
suatu bentuk perilaku atau aksi kekerasan yang diungkapkan untuk menyakiti
orang lain, perilaku kekerasan verbal dapat berbentuk umpatan, celaan atau
makian, ejekan, fitnah dan ancaman melalui kata-kata. Sedangkan Coons
(1986) berpendapat, kekerasan verbal perilaku pola komunikasi yang berisi
penghinaan, perkataan kasar maupun kata-kata yang melecehkan anak,
seperti menyalahkan, memberi lebel, atau juga mengkambinghitamkan anak.
Susilowati (2008) mengungkapkan bahwa kekerasan verbal sering
disebut sebagai kekerasan psikis yang merupakan suatu tindakan kekerasan
yang berupa ucapan yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri dan
meningkatnya rasa tidak berdaya.
Kekerasan verbal termasuk jenis kekerasan yang tidak meninggalkan
bekas fisik di tubuh korban, namun melukai hati korban yang tersiksa dalam
keheningan. Kekerasan verbal seringkali lebih sulit untuk dilihat secara nyata
karena tidak meninggalkan bekas seperti kekerasan fisik atau seksual, dan
sering tak terlihat karena dilakukan ditempat yang termasuk pribadi seperi
dirumah.
Berdasarkan definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kekerasan
verbal adalah perilaku pola komunikasi yang berupa ancaman, perkataan
6
kasar, celaan, makian, ejekan, fitnah, menyalahkan, memberi label, dan
menghina dan melecehkan kemampuan anak yang dilakukan secara terus
menerus oleh orang-orang terdekat anak yang berpotensi mengakibatkan luka
psikologis, trauma, dan perasaan rendah diri pada anak.
2.1.4. Karakteristik Kekerasan Verbal
Menurut Hampton (1999) kekerasan verbal memiliki berbagai
karakteristik, yaitu :
a.
Kekerasan verbal sangat menyakitkan dan biasanya dilakukan oleh
orang terdekat korban yang memiliki kesempatan untuk melakukan
kekerasan verbal, yaitu dimana korban akhirnya mempercayai pelaku
bahwa ada sesuatu yang salah dari dirinya dan mulai merasa dirinya
tidak berharga dan dirinya merupakan sumber masalah.
b.
Kekerasan verbal mungkin terjadi dalam perilaku tak tampak (seperti:
komentar, cuci otak dengan pandangan-pandangan yang merendahkan
korban).
c.
Kekerasan verbal sangat manipulatif dan bertujuan untuk mengontrol
korban, yaitu merupakan agresi tersembunyi akan membuat korban
menjadi bingung dan akhirnya mudah untuk di kontrol dimana korban
akhirnya mempercayai pelaku bahwa ada sesuatu. Walaupun cara
melakukannya halus (komentar dan brain washing) namun tetap saja
tujuan utamanya adalah mengontrol dan memanipulasi.
d.
Kekerasan verbal membuat self esteem korban semakin menurun
tanpa disadari oleh korban, dan semakin menarik diri dari
lingkungannya sehingga korban akan mengubah perilakunya dan
pasrah pada perilaku entah hal itu disadari ataupun tidak.
7
e.
Kekerasan verbal tidak dapat diprediksi, dalam kenyataannya
terkadang pelaku memaki, bersikap kasar, mengeluarkan komentar
pedas, menjatuhkan atau membandingkan dengan orang lain yang
lebih baik.
f.
Kekerasan verbal mungkin akan semakin meningkat intensitas,
frekuensi, dan variasinya. Kekerasan verbal mungkin diselubungi
dengan gurauan sehingga tidak kentara namun melalui korban.
Kekerasan verbal mungkin juga dilanjutkan dengan kekerasan fisik
dimulai dengan kecelakaan kecil seperti mendorong atau melemparlempar barang.
2.1.5. Bentuk-bentuk Kekerasan Verbal
Terdapat berbagai bentuk kekerasan verbal (Tower, 2005), yaitu :
a.
b.
Membentak, yaitu memarahi dengan suara keras, antara lain :

menghardik, adalah mencaci dengan perkataan keras

menghakimi, adalah mengadili atau berlaku sebagai hakim

mengumpat, adalah mengeluarkan kata-kata kotor
Memaki, yaitu mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang baik
dalam menyatakan kemarahan atau kejengkelan, antara lain :

mencela, yaitu menghina dengan terang-terangan

menyembur, adalah menyemprotkan kata-kata dari dalam
mulut

menyumpahi, adalah mengeluarkan kata-kata kotor untuk
mengambil sumpah
c.
Memberi julukan negatif/melabel, yaitu memberi tanda identifikasi
melalui bentuk kata-kata, antara lain :
8

mengklasifikasi,
adalah
penggolongan,
pengelompokkan berdasarkan sesuatu yang sesuai
dengan kelasnya
d. Mengecilkan dan melecehkan kemampuan anak, yaitu
membuat jadi rendah keberadaan anak, antara lain :

mengabaikan, adalah melalaikan, menyia-nyiakan

menyampingkan, adalah menyingkirkan kea rah
pinggir

menyepelekan, adalah memandang remeh

meringankan, adalah mejadikan atau mengganggap
ringan

menggampangkan, adalah memudahkan, membuat
jadi mudah

menistakan, adalah hina, tercela
2.1.6. Kategori Kekerasan Verbal
Terdapat berbagai macam kategori kekerasan verbal (Tower, 2005), yaitu :
a.
Menolak untuk berbagi informasi
b.
Menyerang/menentang
c.
Menyangkal dan mengalihkan persepsi pasangannya dari kenyataan
situasi kekerasan verbal
d.
Kekerasan berbalut humor
e.
Membatasi dan mengalihkan
f.
Menuduh dan melempar kesalahan
g.
Men-judge dan mengkritik
9
2.2.
Orangtua
2.2.1. Pengertian Orangtua
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan “orangtua artinya
ayah dan ibu” (Poerwadarmita, 1987). Banyak dari kalangan para ahli yang
mengemukakan pendapatnya tentang pengertian orangtua, yaitu menurut
Miami yang dikutip oleh Kartono (1982), dikemukakan “orangtua adalah pria
dan wanita yang terkait dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul
tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya”.
Sementara istilah orangtua diartikan dengan: “ayah, ibu kandung,
orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), orang-orang
yang dihormati dan disegani”, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1989). Menurut Daradjat (1990) orangtua adalah
Pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak, kepribadian orangtua, sikap
dan cara hidup mereka merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung
dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak. Purwanto (1995)
mengatakan yang dimaksud orangtua yaitu “pendidik yang terutama dan
sudah semestinya merekalah pendidik asli yang menerima tugas sebagai
kodrat dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya”.
Nasution (1986) mengemukakan bahwa orangtua adalah setiap orang
yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang dalam
kehidupan sehari-hari disebut ibu dan bapak. Dari beberapa pendapat para
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orangtua adalah
pria dan wanita yang terkait dalam perkawinan dan siap sedia untuk
bertanggung jawab dalam keluarga atau rumah tangga dan menerima tugas
untuk mendidik anak-anak mereka.
10
2.2.2. Tugas dan Peran Orangtua
Dalam rangka pelaksanaan pendidikan, peranan orangtua semakin
jelas dan penting terutama dalam penanaman sikap dan nilai atau normanorma hidup bertetangga dan bermasyarakat, pengembangan bakat dan minat
serta pembinaan bakat dan kepribadian. Sebagimana dijelaskan oleh Singgih
(1995) yang mengatakan hubungan antar pribadi dalam keluarga sangat
dipengaruhi oleh orangtua (ayah dan ibu) dalam pandangan dan arah
pendidikan yang akan mewujudkan suasana keluarga.
Peran orangtua adalah andil orangtua dalam memberikan persiapan
yang baik untuk anak-anak mereka demi keberhasilan pendidikan yang
dijalani. Indikatornya peran orangtua adalah perhatian terhadap kegeiatan
pelajaran anak di sekolah dan menekankan pentingnya pencapaian prestasi
belajar (Prameswari, 1999).
Menurut Mahjuddin (1995), kewajiban orangtua terhadap anak
diantaranya adalah :
a.
Menyediakan kebutuhan sehari-hari anaknya.
b.
Selalu menjaga
anaknya
dari bahaya, termasuk memelihara
kesehatannya.
c.
Mendidik anaknya untuk berbuat baik, termasuk menanamkan akhlak
baik baginya.
d.
Menjaga pergaulan anaknya agar tidak terpengaruh oleh lingkungan
sosial yang tidak menguntungkan.
Dalam keluarga terutama sangat berperan dan berpengaruh dalam
perkembangan sosial anak secara umum adalah orangtua (Florencia, 2004).
Orangtua dalam keluarga berperan sebagai guru, penuntun, pengajar, serta
11
sebagai pemimpin pekerjaan dan pemberi contoh (Shochib, 1998). Peran
orangtua adalah andil orangtua dalam memberikan persiapan yang baik untuk
anak-anak mereka demi keberhasilan pendidikan yang dijalani. Indikator
peran orangtua adalah perhatian terhadap kegiatan pelajaran anak di sekolah
dan menekankan pentingnya pencapaian prestasi belajar (Prameswari, 1999).
2.2.3. Tanggung Jawab Orangtua
Setiap orangtua harus memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak.
Tanggung jawab pendidikan yang menjadi beban orangtua sekurangkurangnya harus dilaksanakan dalam upaya :
a.
Memelihara dan membesarkan anak, tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilakukan, karena anak memerlukan makan,
minum dan perawatan agar dapat hidup secara berkelanjutan.
b.
Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya
lingkungan yang dapat membahayakan dirinya.
c.
Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang berguna bagi kehidupannya kelak sehingga bila ia dewasa
mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain serta melaksanakan
kekhalifahan.
d.
Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya
pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Tuhan sebagai tujuan
akhir hidup. Tanggung jawab ini juga dikategorikan sebagai tanggung
jawab kepada Tuhan (Hasbullah, 2006).
12
2.3.
Motivasi Berprestasi
2.3.1. Pengertian Motivasi Berprestasi
Murray memakai istilah kebutuhan berprestasi (need for achievement)
untuk motivasi berprestasi, yang dideskripsikannya sebagai hasrat atau
tendensi untuk mengerjakan sesuatu yang sulit dengan secepat dan sebaik
mungkin (Purwanti, 1993). Menurut Murray (dalam Winkel, 1984) motivasi
berprestasi (achievement motivation) adalah daya penggerak untuk mencapai
taraf prestasi belajar yang setinggi mungkin demi pengharapan kepada
dirinya sendiri. Sedangkan menurut Santrock (2003), motivasi berprestasi
adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu usaha
dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan. Menurut beberapa ahli psikologi,
pada diri seseorang terdapat penentuan tingkah laku yang bekerja untuk
mempengaruhi tingkah laku itu. Faktor penentu tersebut adalah motivasi atau
daya penggerak tingkah laku manusia. Misalnya, seseorang berkemauan
keras atau kuat dalam belajar karena adanya harapan penghargaan atas
prestasinya (Uno, 2008).
McClelland yang merupakan prionir dalam studi motivasi berprestasi
dan mengembangkan metode pengukurannya, memberi batasan motivasi
berprestasi sebagai usaha untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil
dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan itu
dapat berupa prestasinya sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain
(Haditono, 1979). Selain itu McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001)
mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai motivasi yang mendorong
seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran
keunggulan (standard of excellence).
13
Dari uraian mengenai motivasi berprestasi di atas dapat disimpulkan
bahwa motivasi berprestasi adalah daya penggerak yang mendorong
seseorang untuk dapat mencapai sesuatu keberhasilan atau taraf prestasi
dengan tujuan mencapai kesuksesan dan keunggulan dalam bersaing. Ukuran
keunggulan dapat berupa prestasi diri sebelumnya atau dapat pula melihat
dari prestasi orang lain serta adanya harapan penghargaan atas prestasinya.
Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki lima
karakteristik (McClelland, 1985), yaitu :
1. Tanggung jawab pribadi
2. Kebutuhan akan umpan balik hasil
3. Keinovativan
4. Resiko dan kesulitan moderat
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001) mengatakan bahwa ada
beberapa faktor yang ikut mempengatuhi motivasi berprestasi seseorang,
antara lain :
a.
Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan
Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang
menyebabkan
terjadinya
variasi
terhadap
tinggi
rendahnya
kecenderungan untuk berprestasi pada diri seseorang.
b.
Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan
Bila dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya
keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang
selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara
14
mandiri tanpa dihantui perasaan takut gagal, maka dalam diri
seseorang akan berkembang hasrat berprestasi yang tinggi.
c.
Peniruan tingkah laku (modeling)
Melalui modeling, anak mengambil atau meniru banyak karakteristik
dari model, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi jika model
tersebut memiliki motivasi tersebut dalam derajat tertentu.
d.
Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung
Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, member
semangat dan sikap optimism bagi siswa dalam belajar, cenderung
akan mendorong seseorang untuk tertarik belajar, memiliki toleransi
terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan.
e.
Harapan orangtua terhadap anaknya
Orangtua yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang
untuk mencapai sukses akan mendorong anak tersebut untuk
bertingkahlaku yang mengarah kepada pencapaian prestasi.
2.3.3
Aspek-aspek Motivasi Berprestasi
Menurut Frendsen (dalam Subini, 2012) terdapat beberapa aspek
dalam motivasi berprestasi, yaitu :
a.
Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
Sifat ingin tahu mendorong seseorang untuk belajar, sehingga setelah
mereka mengetahui segala hal yang sebelumnya tidak diketahui maka
akan menimbulkan kepuasan tersendiri pada dirinya.
b.
Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk
selalu maju. Manusia terus menerus menciptakan sesuatu yang baru
15
karena adanya dorongan untuk lebih maju dan lebih baik dalam
kehidupannya.
c.
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru dan
teman-teman. Jika seseorang mendapatkan hasil yang baik dalam
belajar,
maka
orang-orang
disekelilingnya
akan
memberikan
penghargaan berupa pujian, hadiah dan bentuk-bentuk rasa simpati
yang lain.
d.
Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru baik dengan kooperasi atau kompetisi. Suatu
kegagalan dapat menjadikan seseorang merasa kecewa dan depresi
atau sebaliknya dapat menimbulkan motivasi baru agar berusaha lebih
baik lagi. Usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik tersebut dapat
diwujudkan dengan kerjasama bersama orang lain (kooperasi), atau
bersaing dengan orang lain (kompetisi).
e.
Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai
pelajaran. Apabila seseorang menguasai pelajaran dengan baik, maka
orang tersebut tidak akan merasa khawatir bila menghadapi ujian,
pertanyaan-pertanyaan dari guru dan lain-lain karena merasa yakin
akan
dapat
menghadapinya
dengan
baik.
Hal
inilah
yang
menimbulkan rasa aman pada individu.
f.
Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daripada belajar. Suatu
perbuatan yang dilakukan dengan baik pasti akan mendapatkan
ganjaran yang baik, dan sebaliknya. Bila dilakukan kurang sungguhsungguh maka hasilnya pun kurang baik bahkan mungkin berupa
hukuman.
16
2.4.
Remaja
Remaja memiliki nama lain dalam bahasa latin yaitu adolscene.
Adolscene memiliki arti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolscene
memiliki arti yang lebih luas lagi yang mencangkup kematangan mental
emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Masa remaja merujuk pada masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa yang merupakan waktu kematangan fisik, kognitif,
sosial dan emosional. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1997) secara
psikologis, masa remaja merupakan usia saat individu mulai berintegrasi
dengan masyarakat dewasa. Santrock (2003) mengatakan remaja adalah masa
perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Erikson (dalam
Hall & Lindzey, 1993) mengatakan tekanan khusus terdapat pada masa
adolscene karena pada masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting bagi
kepribadian dewasa, seperti identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan
identitas.
Pada usia kronologis, masa remaja terjadi ketika individu berusia
antara 12 tahun hingga 21 tahun (Gunarsa, 1986). Agustiani (2006)
mengatakan masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Masa Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak
dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan
tidak tergantung pada orangtua. Fokus pada tahap ini adalah
17
penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya
konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b.
Masa Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang
baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun
individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini
remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku. Belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal
yang berkaitan dengan tujuan vaksional yang ingin dicapai. Selain itu
penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c.
Masa Remaja Akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran
orang dewasa. Selana periode ini remaja berusaha memantapakan
tujuan vaksional dan mengembangkan sense of personal identity.
Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam
kelompok teman sebaya dan orang dewasa, jug menjadi cirri dari
tahap ini.
Dalam perkembangan afiliasinya, remaja memperlihatkan dua macam
gerakan, yaitu gerakan memisahkan diri dari orangtuanya dan mendekatkan
diri pada teman sebaya (Monks, Knoers, & Haditono, 2001). Dengan
demikian, secara emosional sangat wajar jika remaja menjadi lebih dekat
dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Menurut Hurlock
(1997), pengaruh teman sebaya bagi remaja tampak dalam sikap, penampilan,
minat, topik pembicaraan, dan perilaku.
18
Havigust (dalam Mubin & Cahyadi, 2006) mengemukakan beberapa
tugas remaja yang harus diselesaikan, yaitu:
a.
Menjalin hubungan baru dengan teman-teman sebaya sesama jenis
kelamin ataupun yang berlainan jenis kelamin.
b.
Menerima keadaan fisiknya, dan menerima perannya sebagai pria atau
wanita.
c.
Memiliki keinginan untuk dapat berperilaku yang diterima oleh sosial.
d.
Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala
tindakan dan pandangan.
Erikson (dalam Papalia, 2008) mengidentifikasikan perkembangan
sosial anak, yaitu :
a.
Tahap 1: Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga)
Usia 0 - 2 tahun, dalam tahap ini bila dalam merespon rangsangan
anak mendapat pengalaman yang menyenangkan akan tumbuh rasa
percaya diri, sebaliknya pengalaman yang kurang menyenangkan
akan menimbulkan rasa curiga.
b.
Tahap 2: Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu)
Usia 2 – 3 tahun, anak sudah mampu menguasai kegiatan meregang
atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Anak pada masa ini bila
sudah
merasa
mampu
menguasai
anggota
tubuhnya
dapat
menimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak
19
memberi kepercayaan atay terlalu banyak bertindak untuk anak akan
menimbulkan rasa malu dan ragu-ragu.
c.
Tahap 3: Intiative vs Guilt (berinisiatif vs bersalah)
Usia 4 – 5 tahun, pada masa ini anak dapat menunjukkan sikap mulai
lepas dari ikatan orangtua, anak dapat bergerak bebas dan berinteraksi
dengan
llingkungannya.
Kondisi
lepas
dari
ikatan
orangtua
menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya dapat menimbulkan
rasa bersalah.
d.
Tahap 4: Industry vs Inferiority (percaya diri vs rasa rendah diri)
Usia 6 – 11 tahun, anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas
perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu
memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai
suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil dan
percaya diri, sebaliknya bila tidak menguasai dapat menimbulkan rasa
rendah diri.
e.
Tahap 5: Indentity vs Role Confusion
Usia 12 – 20 tahun, dimasa ini remaja harus memutuskan siapa
dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak diraihnya.
Remaja bereksperiman dengan berbagai peran dan kepribadian, dan
harus menentukan pemahaman akan diri sendiri atau merasakan
kekacauan atas perannya. Remaja yang berhasil mengatasi konflik
identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang
menyegarkan dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak
20
berhasil mengatasi krisis identitas akan mengalami kebingungan
identitas. Kebingungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk
yaitu menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga,
atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia teman sebaya dan
kehilangan identitasnya.
f.
Tahap 6: Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi)
Usia 21 – 40 tahun, Dalam tahap ini, orang-orang dewasa awal (young
adults) siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang-orang
lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim atau
akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang
dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun
mereka mungkin harus berkorban. Agar memiliki arti sosial yang
bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk
dicintai dan diajak melakukan hubungan-hubungan seksual, dan
dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan
kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yakni
kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau
melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat
sementara memang perlu membuat pilihan-pilihan, tetapi tentu saja
juga dapat menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat.
g.
Tahap 7: Generativity vs Stagnation
Usia 41 – 65 tahun, individu telah mencapai puncak dari
perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas,
kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat
21
pesat. Pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai adalah dapat
mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan berbuat apa-apa (stagnasi).
h.
Tahap 8: Ego Integrity vs Despair (integritas vs keputusan)
Usia + 65 tahun, masa ini ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan
atau integritas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah
menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak
digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Dalam situasi ini
individu bisa merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi
masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali
mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan seringkali
menghantuinya.
2.5.
Kerangka Berpikir
Peneliti melihat dari data yang telah didapat salah satunya data dari
Komisi Nasional Perlindungan Anak dari tahun 2011 sampai 2013 terjadi
peningkatan kekerasan pada anak, salah satunya adalah kekerasan
psikis/emosional. Kekerasan psikis/emosional yang termasuk didalamnya
adalah kekerasan verbal.
Kekerasan verbal adalah bentuk perilaku komunikasi yang menyakiti
orang lain yang berisi ancaman, perkataan kasar, celaan, makian, ejekan,
fitnah, menyalahkan, memberi label, dan menghina kemampuan seseorang
melalui kata-kata yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat.
22
Kekerasan verbal sering juga disebut dengan kekerasan mental emosional
atau psikis.
Lingkungan keluarga menduduki porsi besar dalam kasus kekerasan
yang menimpa anak-anak. Anak-anak tumbuh dewasa dalam keluarga yang
beragam. Beberapa keluarga mengasuh dan mendukung anak-anak mereka,
sedangkan keluarga lain memperlakukan mereka dengan kasar atau
mengabaikan mereka. Keadaan yang berbeda-beda ini mempengaruhi
perkembangan anak-anak dan mempengaruhi di dalam dan di luar kelas.
Kurang tepatnya orangtua dalam mendidik anak mereka dengan
sering memarahi menggunakan kata-kata kasar, memaki, dan membentak
anak-anak dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas dan bersifat
mengancam ini akan membentuk suatu perilaku yang dilihat dari
orangtuanya, sehingga perilaku anak yang tidak diharapkan dapat terjadi.
Dalam hal ini sikap orangtua kepada anak harus diperhatikan, karena
orangtua mempunyai peranan penting dalam tumbuh kembang anak termasuk
mendorong anak-anak mereka untuk dapat berprestasi disekolah sebagaimana
seharusnya yang dilakukan oleh sewajarnya orangtua.
Prestasi tinggi merupakan dambaan setiap orang karena suatu
keberhasilan meraih prestasi akan menumbuhkan rasa bangga bagi individu
dalam hidupnya baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Orangtua
sangat berperan dalam menciptakan suasana yang dapat mendorong anak agar
senang dalam belajar sehingga prestasi anak dapat meningkat. Orangtua
merupakan salah satu motivasi anak dalam mencapai prestasi. Memiliki
motivasi berprestasi akan memunculkan kesadaran bahwa dorongan untuk
23
selalu mencapai kesuksesan dapat menjadi sikap dan perilaku permanen pada
diri seseorang.
Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu
untuk mencapai suatu usaha dengan tujuan mencapai kesuksesan dengan
dukungan dari beberapa faktor. Dalam perkembangan prestasinya, remaja
memposisikan secara istimewa jika prestasi tersebut memberikan kepuasan
terhadap dirinya dan ketenarannya, yaitu perasaan berharga dalam pandangan
seseorang atau kelompok. Untuk mencapai kesuksesan setiap orang
mempunyai hambatan-hambatan yang berbeda-beda, dengan memiliki
motivasi yang tinggi diharapkan hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk selalu
berusaha mencapai apa yang diinginkan walaupun mengalami hambatan dan
kesulitan dalam meraihnya. Pada kenyataannya motivasi berprestasi yang
dimiliki oleh seseorang cenderung sering mengalami penurunan dan di waktu
lain mengalami peningkatan.
Adanya kekerasan verbal yang dilakukan oleh orangtua dalam
berkomunikasi dengan anaknya dalam mengasuh, melindungi, membimbing
dan serta mendidik anaknya agar dapat meraih prestasi di sekolah, apakah
anak akan tetap mendapatkan motivasi atau dorongan dari orangtua untuk
berprestasi di sekolahnya, sementara lingkungan keluarga merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi motivasi untuk mencapai prestasi belajar.
24
Kekerasan Verbal
Orangtua
Motivasi Berprestasi
Motivasi Berprestasi
meningkat atau
menurun
25
Download