Micronutrient as a Food or Pharmaceutical Suplementation: Which One is Better? DR. Ir. Sugiyono, M.AppSc. M ikronutrien dapat diperoleh melalui makanan, makanan yang telah difortifikasi dan suplemen. Seperti yang telah diketahui makanan tidak hanya mensuplai zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin) tapi juga zat non-gizi yang juga penting dalam hidup seperti serat, antioksidan, anti kanker, anti kolestrol dan lain-lain. Tidak ada satu jenis makanan manapun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan tubuh oleh karena itu kita harus makan beranekaragam atau yang disebut istilah “B3” (bergizi, bervariasi, berimbang). Cara yang paling baik untuk mendapat mikronutrien adalah melalui intake makanan sehari-hari. Tapi perlu diingat, satu jenis makanan saja tidak cukup, jadi harus makan beranekaragam. Dari segi bioavailabilitas, mikronutrien dari hewan lebih besar dibanding dari nabati. Namun, pada beberapa makanan dari nabati mengandung zat anti gizi seperti tannin, polifenol, asam oksalat, phytate. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi zat anti gizi seperti proses pemanasan dapat meningkatkan nilai gizi dengan meningkatkan daya cerna, menghilangkan zat anti gizi, memungkinkan beberapa bahan pangan jadi available tapi ada beberapa zat gizi yang rusak dengan pemanasan. Proses mekanik/penggilingan beras juga dapat menghilangkan phytate dan beberapa vitamin serta mineral. Fermentasi mampu menghidrolisis zat anti gizi dan meningkatkan daya cerna sehingga lebih baik mengkonsumsi tempe dibanding mengkonsumsi kedelai. Beberapa cara untuk meningkatkan zat gizi antara lain dengan melakukan diversifikasi (meningkatkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi). Untuk melakukan diversifikasi, kita perlu mengubah pola makan dan pola 15 pendidikan dimana sebagian masyarakat banyak yang belum memahami pentingnya nutrisi. Kedua, dengan fortifikasi makanan yaitu upaya menambahkan satu atau lebih mikronutrien pada makanan yang bertujuan untuk meningkatkan intake mikronutrien dalam sebuah populasi. Penelitian menunjukkan adanya hasil positif pada populasi yang mengalami defisiensi mikronutrien tertentu dengan memberikan makanan yang telah difortifikasi. Ada 5 syarat bahan makanan dapat difortifikasi antara lain bahan pangan tersebut dikonsumsi oleh sebagian besar populasi, harus dikonsumsi secara teratur dalam jumlah yang adekuat, sebaiknya diproduksi secara sentral atau produsen tidak banyak, memungkinkan penambahan mikronutrien ke bahan pangan tersebut dengan teknologi yang biaya murah, dan sedapat mungkin dikonsumsi dalam waktu yang tidak lama setelah produksi. Beberapa makanan yang difortifikasi di Indonesia seperti garam dan tepung. Pilihan fortifikan yang ditambahkan juga harus tidak boleh mengganggu sensoris makanan, harus diperhatikan interaksi dengan zat gizi lain, harganya harus terjangkau, dan bioavailabilitasnya baik. Untuk populasi yang memiliki akses baik untuk mendapatkan aneka ragam makanan, sumber untuk memenuhi mikronutrien yang baik adalah makanan alami yang beraneka ragam dan seimbang. Sementara untuk populasi yang berisiko mengalami defisiensi, dapat diberikan makanan yang telah difortifikasi dan untuk populasi yang telah mengalami defisiensi dapat ditambah dengan pemberian suplemen. Namun, penggunaan suplemen berlebihan dapat menyebabkan toksisitas, oleh karena itu suplemen tidak boleh dijadikan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan utama mikronutrien. Ref: 1. Allen L, de Benoist B, Dary O, Hurrell R (Eds.). 2006. Guidelines on Food Fortification with Micronutrients. World Health Organization and Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2. Hotz C, Gibson RS. 2007. Traditional food-processing and preparation practices to enhance the bioavailability of micronutrients in plant-based diets. J. Nutr. 137: 10971100. 16