Co1 - UNDIP E-Journal - Universitas Diponegoro

advertisement
BIOMA, Desember 2016
Vol. 18, No. 2, Hal. 114-122
ISSN: 1410-8801
Pelacakan Gen Sitokrom Oksidase Subunit 1 (Co1) DNA Mitokondria
Pada Itik Tegal (Anas sp.)
Annisa Rizky Rahayu, Hermin Pancasakti dan Anto Budiharjo
Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika,
Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Sudharto, Tembalang, Semarang.
Abstract
Itik Tegal adalah salah satu sumber plasma nutfah ternak Indonesia yang belum memiliki informasi asal usul
dan identitas genetik, sedangkan ini sangat diperlukan sebagai dasar dalam usaha persilangan dan pemuliaan untuk
menghasilkan itik hibrida unggul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas genetik itik Tegal
menggunakan gen sitokrom oksidase subunit 1 (CO1) dengan primer BirdF1 dan BirdR1. Penelitian dilakukan
dengan cara isolasi DNA dari otot paha itik, diikuti amplifikasi gen CO1, dan sekuensing. Sekuen gen CO1
digunakan untuk analisis hubungan kekerabatan dengan mengkonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode
neighbor-joining dengan analisis bootstrap 1.000 ulangan. Model Kimura 2-parameter digunakan untuk menghitung
jarak genetik dengan pairwise distance. Hasil penelitian memperoleh fragmen gen CO1 itik Tegal. Fragmen tersebut
homolog dengan sekuen gen CO1 Anas platyrhynchos voucher NHMO-BC400. Analisis filogenetik menunjukkan
itik Tegal memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan A. platyrhynchos yang terdistribusi di Skandinavia
dan Amerika Utara, A. poecilorhyncha yang terdistribusi di Asia tropis dan timur, serta Tadorna tadorna yang
terdistribusi di China.
Kata kunci: gen CO1, genetik, itik Tegal
PENDAHULUAN
Itik (Anas sp.) adalah salah satu jenis unggas
yang dikenal oleh masyarakat luas karena
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Jenis-jenis itik di Indonesia
telah memiliki nama yang disesuaikan dengan
nama
daerah
tempat
itik
tersebut
dikembangbiakkan. Salah satu rumpun itik lokal
asli Indonesia yang mempunyai ciri khas dan
merupakan kekayaan sumber daya ternak lokal
Indonesia adalah itik Tegal. Itik tersebut termasuk
bangsa Itik Indian Runner karena memiliki
kemampuan untuk menempuh jarak jauh bila
digembalakan dari satu tempat ke tempat lainnya
(Samosir, 1983; Dinakkeswan Jateng, 2014).
Itik Tegal mempunyai produksi telur tinggi
yaitu untuk 100 ekor itik dapat menghasilkan 6070 butir per hari dengan puncak produksi
70,5±2,51% (Kepmentan, 2011; Dinakkeswan
Jateng, 2014). Daging itik Tegal merupakan salah
satu komoditi unggulan yang digemari oleh
masyarakat dengan harga mencapai Rp
26.000,00/kg (Zulfahmi dkk., 2014). Itik Tegal
juga merupakan sumber plasma nutfah ternak yang
berguna baik secara ekonomi, ilmu pengetahuan
teknologi, dan budaya, baik pada masa kini
maupun yang akan datang (Setioko dkk., 2005).
Sampai saat ini belum diketahui ciri-ciri
baku masing-masing itik lokal, sedangkan ciri
tersebut dibutuhkan dalam pembentukan bangsa
itik murni maupun persilangan agar menghasilkan
itik hibrida yang unggul (Wulandari dkk., 2005).
Upaya pencarian pembeda utama masing-masing
itik lokal Indonesia, termasuk itik Tegal biasanya
dilakukan berdasarkan struktur morfologi saja.
Karakter morfologi seringkali memperlihatkan
fenomena species cryptic atau karakter spesies
yang samar, sehingga ini bersifat kualitatif, kurang
praktis, tidak seragam, dan mudah dipengaruhi
subjektivitas (Lahaye et al., 2008).
Persilangan dan pemuliaan itik-itik tersebut
membutuhkan
teknologi
penanda
genetik
molekuler atau yang dikenal dengan istilah
barcode DNA. Menurut Meier et al. (2006),
barcode DNAmerupakan sistem identifikasi
spesies menggunakan urutan pendek DNA yang
dapat dilakukan dalam waktu singkat dan akurat.
Salah satu barcode DNA yang sering digunakan
adalah gen sitokrom oksidase subunit 1 (CO1)
(Hebert et al., 2003). Gen CO1 adalah salah satu
gen dalam DNA mitokondria (mtDNA) yang
berperan penting dalam produksi energi, sehingga
urutan basanya bersifat lestari. Selain itu, mtDNA
hewan merupakan genom sitoplasmik yang
diwariskan secara uniparental dan tidak
mengalami rekombinasi, sehingga spesies yang
bersaudara (species sibling) akan memperlihatkan
kesamaan tinggi (Syafrina dkk., 2011). Penanda
gen CO1 telah digunakan untuk mengidentifikasi
hasil pemuliaan hampir semua hewan baik
intraspesies maupun interspesies (Hebert et al.,
2003; Ward et al., 2005).
Karakterisasi itik Tegal melalui gen CO1
menjadi diperlukan, karena penggunaan itik
tersebut secara luas oleh Dinas Peternakan sebagai
induk dalam persilangan dan pemuliaan itik
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui identitas genetik itik Tegal
berdasarkan hasil pelacakan gen CO1 dengan
menggunakan primer BirdF1 dan BirdR1.
BAHAN DAN METODE
Sampel Itik
Itik Tegal yang digunakan berjumlah dua
ekor, berumur tiga bulan, dan berjenis kelamin
betina. Itik berasal dari Balai Perbibitan Ternak
Unggas Banyubiru Kabupaten Semarang milik
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Jawa Tengah.
Pengamatan Karakteristik Kualitatif dan
Kuantitatif
Itik
Tegal
diamati
karakteristik
kualitatifnya, meliputi: warna bulu dominan, bulu
kepala, mata, paruh, bulu leher depan, bulu leher
belakang, bulu dada, bulu perut, bulu punggung,
bulu sayap, bulu ekor, dan kaki. Diamati pula
karakteristik kuantitatif itik Tegal, meliputi:
lingkar kepala, lingkar leher, lingkar dada, lingkar
perut, panjang paruh, panjang leher, panjang
tubuh, panjang sayang kanan, panjang sayap kiri,
panjang rentang sayap, lingkar paha kanan, lingkar
paha kiri, panjang kaki kanan tanpa cakar (shank),
panjang kaki kiri tanpa cakar (shank), panjang kaki
kanan dengancakar (shank), panjang kaki kiri
dengan cakar (shank), dan bobot badan.
Isolasi DNA
Isolasi DNA diambil dari otot paha itik
Tegal. Metode isolasi DNA menggunakan metode
fenol-kloroform menurut Ausubel et al. (1995).
Amplifikasi DNA
Sampel DNA diamplifikasi menggunakan
metode menurut Jin et al. (2012).
Elektroforesis Gel Agarosa
Produk
PCR
dilakukan
running
menggunakan elektroforesis horisontal dengan gel
agarosa 1% yang ditambah 8 μl Goodview dalam
bufer TAE 0,5x. Produk PCR ditambahkan
loading dye sebelum dimasukkan ke dalam
sumuran. Elektroforesis menggunakan marker
DNA ladder 100 bp. Hasil elektroforesis diamati
dengan
UV
transilluminator
lalu
didokumentasikan.
Purifikasi dan Sekuensing
Produk PCR dipurifikasi dan disekuensing
di PT Genetika Science Indonesia lalu digunakan
untuk karakterisasi filogenetik.
Analisis Data
Sekuen gen CO1 dianalisis menggunakan
metode BLASTN (BLAST, 2015). Pohon
filogenetik dikonstruksi menggunakan metode
neighbor-joining dengan analisis bootstrap 1.000
ulangan. Model Kimura 2-parameter digunakan
untuk menghitung jarak genetik dengan pairwise
distance.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan Karakteristik Kualitatif dan
Kuantitatif
Itik Tegal yang digunakan dalam penelitian
memiliki karakteristik khas. Warna bulu dominan
kedua itik adalah cokelat muda dengan totol-totol
cokelat tipis, yang merupakan ciri khas itik Tegal
lemahan (Gambar 1.). Ini sesuai dengan deskripsi
sifat kualitatif dalam keputusan Menteri Pertanian
tahun 2011 tentang penetapan rumpun itik Tegal.
Warna bulu dominan pada itik Tegal akan terlihat
lebih jelas ketika itik dewasa.
Berdasarkan
pengamatan
karakteristik
kualitatif dari kedua itik Tegal (Tabel L.1.)
menunjukkan bahwa itik Tegal II memiliki warna
dan corak bulu yang tampak lebih jelas pada
bagian-bagian tubuh tertentu, seperti warna bulu
kepala, punggung, sayap, dan ekor. Hal ini dapat
dikarenakan laju pertumbuhan bulu itik Tegal II
lebih cepat daripada itik Tegal I. Ini ditandai pula
dengan masih terdapatnya cukup banyak bulu
muda yang berwarna cokelat keputihan pada
bagian dada itik Tegal I.
Perbedaan warna bulu itik Tegal I dengan
itik Tegal II terutama dipengaruhi oleh faktor
genetik masing-masing individu. Warna bulu
tubuh, mata, paruh, dan kaki (shank) yang tampak
spesifik pada masing-masing itik hampir
sepenuhnya dikontrol oleh gen-gen tertentu, sesuai
dengan pernyataan Sopiyana dkk. (2006).
Gambar 1. Itik Tegal I (kiri) dan itik Tegal II (kanan)
Pengamatan karakteristik kuantitatif kedua
itik Tegal (Tabel 1.) menunjukkan bahwa itik
Tegal II memiliki ukuran tubuh lebih panjang pada
bagian-bagian tertentu, seperti lingkar perut,
panjang tubuh, panjang sayap, panjang rentang
sayap, lingkar paha (kiri), dan panjang kaki
dengan cakar (shank). Bobot badan itik Tegal II
juga lebih besar daripada itik Tegal I. Namun,
ukuran lingkar dada dan panjang leher itik Tegal I
lebih panjang.
Tabel 1. Karakteristik kuantitatif itik Tegal I dan II
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Karakteristik Kuantitatif
Lingkar Kepala (cm)
Lingkar Leher (cm)
Lingkar Dada (cm)
Lingkar Perut (cm)
Panjang Paruh (cm)
Panjang Leher (cm)
Panjang Tubuh (cm)
Panjang Sayap Kanan (cm)
Panjang Sayap Kiri (cm)
Panjang Rentang Sayap (cm)
Lingkar Paha Kanan (cm)
Lingkar Paha Kiri (cm)
Ukuran
Itik Tegal I Itik Tegal II
12,5
12,5
7
7
24
23,5
26
27
6
6
12
11
55
56
22
24,5
22
24
53
57
7
7
6
6,5
Rata-rata
Ukuran
12,5
7
23,75
26,5
6
11,5
55,5
23,25
23
55
7
6,25
13.
14.
15.
16.
17.
Panjang Kaki Kanan Tanpa Cakar/
(cm)
Panjang Kaki Kiri Tanpa Cakar/
(cm)
Panjang Kaki Kanan dengan Cakar/
(cm)
Panjang Kaki Kiri dengan Cakar/
(cm)
Bobot Badan (g)
Shank
6
6
6
Shank
6
6
6
Shank
14
16
15
Shank
14
16
15
833
1009
921
Ukuran lingkar perut dan bobot badan itik
Tegal II yang lebih besar dimungkinkan dapat
berhubungan
dengan
potensinya
dalam
memproduksi telur, sedangkan ukuran lingkar
dada itik Tegal I yang lebih besar dapat
berhubungan
dengan
potensinya
untuk
memproduksi daging. Sebagaimana menurut
Ismoyowati dkk. (2006), bahwa terdapat korelasi
positif antara bobot badan, lingkar perut, dan
lebar pubis dengan produksi telur, sedangkan
terdapat korelasi negatif antara lingkar dada
dengan produksi telur. Ini dikarenakan lingkar
dada merupakan salah satu karakteristik yang
berhubungan erat dengan produksi daging,
sehingga untuk itik tipe petelur mempunyai
lingkar dada yang relatif lebih kecil.
Hasil Amplifikasi DNA
Hasil amplifikasi pada Gambar 2.
memperlihatkan terbentuknya 2 pita. Pita
pertama berukuran sekitar 700 bp, merupakan
pita gen target. Ini menunjukkan bahwa primer
mampu menempel pada sekuen gen CO1 itik
Tegal, sesuai dengan kisaran ukuran produk
amplifikasi gen CO1 yaitu 600-800 bp. Pita
tersebut terlihat jelas dan tidak smear, tetapi pita
yang terbentuk tipis. Hal ini terjadi karena
konsentrasi DNA template yang terlalu rendah.
Pita kedua yang berukuran sekitar 100 bp juga
merupakan produk PCR, tetapi bukan sekuen
target. Pita kedua dimungkinkan adalah primerdimer, merupakan sisa primer yang membentuk
struktur
sekunder
karena
disebabkan
menempelnya sesama primer sejenis ataupun
yang tidak sejenis, seperti antara primer forward
dengan komplemen primer reverse (Ponchel et
al., 2003). Ini dapat terjadi karena konsentrasi
primer yang terlalu tinggi.
3000 bp
1000 bp
500 bp
Pita 1
Pita 2
100 bp
Gambar 2. Hasil amplifikasi DNA itik Tegal; M:
marker, 1&2: fragmen DNA itik Tegal
Pengoptimalan hasil amplifikasi agar lebih
spesifik dapat dilakukan dengan mengusahakan
beberapa set primer untuk diaplikasikan dalam
proses PCR. Apabila diperlukan dapat pula
dilakukan perancangan primer tertentu yang
spesifik. Optimasi konsentrasi primer juga perlu
diperhatikan agar PCR dapat berjalan dengan
efisien.
Hasil Sekuensing dan Analisis Gen CO1
Sekuensing fragmen DNA itik Tegal dari
sekuen primer forward dan hasil BLASTN
memperoleh sekuen gen CO1 itik Tegal sekitar
700 pb. Hasil BLASTN menampilkan
penyejajaran sekuen gen CO1 itik Tegal dengan
data serupa yang telah dipublikasikan
sebelumnya di GenBank. Penyejajaran bertujuan
untuk mencocokkan karakter-karakter homolog
dari masing-masing sekuen, yaitu karakter yang
mempunyai nenek moyang sama. Nilai dari
semua sekuen diwakili oleh garis-garis merah
yang menunjukkan bahwa sekuen gen CO1 itik
Tegal memiliki kemiripan urutan basa dengan
data serupa yang ada di GenBank yaitu lebih dari
200 nukleotida.
Hasil penyejajaran sekuen gen CO1 itik
Tegal dengan salah satu sekuen menunjukkan
bahwa sekuen gen CO1 itik Tegal dengan
sekuen gen CO1 A. platyrhynchos voucher
NHMO-BC400 memiliki homologi lebih dari
99% dari 713 basa serta gaps atau nilai
kesenjangan mendekati 0%. Gaps terjadi karena
masing-masing sekuen terdapat satu basa yang
mengalami delesi dan dua basa yang berbeda
urutannya.
Homologi tersebut menunjukkan bahwa
keduanya memiliki banyak sekuen basa yang
mirip hingga lebih dari 99%. Sekuen basa
tersebut
apabila
diekspresikan
akan
menghasilkan struktur dan fungsi protein yang
serupa, sehingga kemudian dapat memunculkan
kemiripan tertentu.
A. platyrhynchos voucher NHMO-BC400
adalah salah satu spesies burung yang diteliti
oleh Johnsen et al. (2010). Spesies ini
berkembang biak di Skandinavia dan Amerika
Utara, tetapi lebih banyak di Amerika Utara.
Habitat pembiakan dari spesies ini yaitu di
pedalaman atau di laut.
Warna bulu dominan A. platyrhynchos
betina di Skandinavia (Campbell, 2015; Michael,
2015) dan Amerika Utara (Maslowski, 2015)
memiliki kemiripan dengan itik Tegal yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu cokelat
dengan totol-totol cokelat gelap atau kehitaman
(untuk yang mulai dewasa). Kemiripan lain
adalah pada bagian bulu sayap, yaitu terdapatnya
corak putih dan hitam yang dimiliki oleh itik
Tegal juga itik di Skandinavia serta Amerika
Utara (A. platyrhynchos), meskipun terdapat
sedikit warna kebiruan pada itik di Skandinavia
serta Amerika Utara.
Walaupun memiliki kemiripan, ternyata
terdapat sedikit perbedaan pada warna paruh dan
kaki (shank) itik. Pada itik Tegal warna paruh
dan kaki dominasi hitam, sedangkan pada itik di
Skandinavia serta Amerika Utara terdapat
dominasi warna jingga, meskipun terdapat corak
hitam pada bagian ujung dan tengah paruh serta
selaput kaki kecokelatan. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh gen-gen tertentu yang spesifik
dimiliki masing-masing itik.
Hasil Analisis Hubungan Kekerabatan
Pohon filogenetik itik Tegal diperlihatkan
pada Gambar 3. dengan beberapa spesies yang
memiliki kemiripan karakter. Pohon filogenetik
tersebut menunjukkan hubungan evolusi antara
organisme berdasarkan sekuen gen CO1 masingmasing organisme. Konstruksi metode neighborjoining menghasilkan pohon filogenetik yang
dapat mempresentasikan hubungan kekerabatan
itik Tegal dengan beberapa spesies atau
organisme hingga yang paling dekat, yaitu
berdasarkan perbedaan terkecil antara masingmasing sekuen gen CO1.
Gambar 3. Pohon filogenetik itik Tegal dan beberapa spesies yang memiliki hubungan kekerabatan berdasarkan
sekuen gen CO1, menggunakan metode neighbor-joining dengan analisis bootstrap 1.000 ulangan
dan model Kimura 2-parameter
Pohon filogenetik memperlihatkan itik
Tegal berada pada satu klade dengan A.
platyrhynchos, A. poecilorhyncha, dan Tadorna
tadorna, artinya itik Tegal berada pada suatu
kelompok taksonomi yang sama dengan ketiga
spesies tersebut serta memiliki satu nenek
moyang
bersama,
termasuk
semua
keturunannya. Ini juga menunjukkan bahwa itik
Tegal memiliki hubungan kekerabatan paling
dekat
dengan
A.
platyrhynchos,
A.
poecilorhyncha, dan T. tadorna dikarenakan
mereka memiliki kemiripan genetik atau tingkat
evolusi gen CO1-nya sama. Hal ini diperkuat
dengan nilai bootstrap 88%, yang menunjukkan
kestabilan pengelompokkan pada pohon
filogenetik tersebut. Menurut Campbell & Reece
(2008), suatu takson dianggap setara dengan
clade jika takson tersebut monofiletik yaitu
terdiri atas spesies nenek moyang dan
keturunannya.
Hasil penghitungan jarak genetik (Tabel
L.2.) menunjukkan bahwa antara itik Tegal
dengan ketiga organisme tersebut tidak terdapat
perbedaan genetik atau nilai jarak genetik
minimum 0. Ini berarti antara itik Tegal dengan
ketiga organisme tersebut memiliki struktur
genetik identik pada lokus gen CO1. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Finkeldey (2005)
bahwa jarak genetik merupakan salah satu
parameter yang dapat digunakan untuk
mengukur keragaman genetik antar populasi,
yaitu dengan mengukur perbedaan struktur
genetiknya pada suatu lokus gen tertentu.
Apabila diamati secara fenotip, antara itik
Tegal dengan A. platyrhynchos dan A.
poecilorhyncha (Mistry, 2009; Sengupta, 2014)
memiliki beberapa persamaan, meskipun
terdapat pula beberapa perbedaan yang menjadi
ciri khas masing-masing. Persamaan dan
perbedaan tersebut diantaranya warna bulu
dominan itik Tegal memiliki kemiripan dengan
A. platyrhynchos di Skandinavia dan Amerika
Utara, yaitu cokelat dengan totol-totol cokelat
gelap atau kehitaman, tetapi terdapat sedikit
warna kebiruan pada bagian sayap itik di
Skandinavia serta Amerika Utara. Berbeda
dengan A. poecilorhyncha yang memiliki bulu
dominan putih keabuan dengan totol-totol hitam
kecokelatan serta terdapatnya spekulum
kehijauan pada bagian sayap. Untuk paruh dan
kaki (shank) itik Tegal berwarna dominasi
hitam, sedangkan A. platyrhynchos di
Skandinavia dan Amerika Utara dominasi warna
jingga dengan corak hitam pada bagian ujung
dan tengah paruh serta kecokelatan pada selaput
kaki. Berbeda lagi dengan A. poecilorhyncha
yang berkembang biak di Asia tropis dan timur,
itik ini memiliki warna paruh dominasi hitam
dengan bagian depan kuning dan ujungnya hitam
serta bagian pangkal paruh terdapat corak jingga
yang serupa dengan warna kakinya.
Perbedaan fenotip warna bulu juga terlihat
pada T. tadorna (Arco, 2006) yang terdistribusi
di China. Itik ini memiliki warna bulu dominan
putih dengan bagian kepala hingga leher atas dan
sayap luar berwarna hitam mengkilap kehijauan,
serta bulu berwarna coklat yang melingkar pada
bagian dada bawah, sedangkan paruhnya
berwarna merah dan kaki kemerahan. Untuk
warna bulu, paruh, dan kaki T. tadorna relatif
berbeda dengan itik Tegal, A. platyrhynchos, dan
A. poecilorhyncha. Namun, untuk bentuk tubuh
dari kepala hingga kaki, keempat itik relatif
sama.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada
fenotip warna bulu, paruh, dan kaki keempat itik
dapat dipengaruhi oleh tingkah laku itik yang
cenderung bermigrasi atau berpindah-pindah
untuk mencari makan atau demi mendapatkan
daerah aman untuk berkembang biak saat musim
kawin. Itik yang berada pada daerah tertentu
selama periode waktu tertentu kemudian dapat
mengalami perubahan genetis yang dapat
berpengaruh pada fenotip atau pun tidak.
Berdasarkan analisis tersebut dapat
diketahui bahwa itik yang memiliki fenotip
berbeda (seperti warna bulu, paruh, kaki) atau
hidup di habitat yang berbeda tidak selalu berarti
itik tersebut tidak memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat, karena fenotip dapat
berubah apabila dipengaruhi faktor lingkungan
yang berbeda. Selain itu, tidak setiap aspek
fenotip selalu diwariskan kepada keturunannya.
Berbeda dengan genotip atau struktur genetik
yang akan selalu diwariskan ke keturunannya
dan memiliki pengaruh yang relatif lebih
dominan. Salah satu genotip pada itik adalah
sekuens gen CO1, yang dapat dijadikan sebagai
dasar dalam menentukan kekerabatan di antara
itik, termasuk itik Tegal.
KESIMPULAN
Pelacakan gen CO1 pada itik Tegal
dengan menggunakan primer BirdF1 dan BirdR1
memperoleh fragmen gen CO1 yang homolog
dengan sekuen gen CO1 Anas platyrhynchos
voucher NHMO-BC400. Analisis filogenetik
menunjukkan Itik Tegal memiliki hubungan
kekerabatan
paling
dekat
dengan
A.
platyrhynchos yang terdistribusi di Skandinavia
dan Amerika Utara, A. poecilorhyncha yang
terdistribusi di Asia tropis dan timur, serta
Tadorna tadorna yang terdistribusi di China.
DAFTAR PUSTAKA
Arco. 2006. Shelduck Female (Tadorna
tadorna).
http://www.agefotostock.com/age/en/Stoc
k-Images/Rights-Managed/RDCad_134856. 25 Nopember 2015.
Ausubel, F. M., Brent, R., Kingston, R. E.,
Moore, D. D., Seidman, J. G., Smith, J. A.,
and Struhl, K. 1995. Short Protocols in
Molecular Biology. Third Edition. John
Wiley & Sons, Inc., Canada.
Basic Local Alignment Search Tool. 2015.
BLAST.
http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. 31
Desember 2015.
Campbell,
L.
2015.
Mallard
(Anas
platyrhynchos).
http://www.arkive.org/mallard/anasplatyrhynchos/image-A6773.html.
14
September 2015.
Campbell, N. A. dan Reece, J. B. 2008. Biologi.
Edisi Kedelapan Jilid 2. Alih bahasa:
Wulandari, D. T. Erlangga, Jakarta.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa
Tengah.
2014.
Itik
Tegal.
http://www.pertanian.go.id/dinakkeswan_j
ateng/play-159-itik-tegal-.html. 13
Desember 2014.
Finkeldey, R. 2005. An Introduction to Tropical
Forest Genetics. Institute of Forest
Genetics and Forest Tree Breeding GeorgAugust-University-Gottingen, Gottingen.
Hebert, P. D. N., Ratnasingham, S., and de
Waard, J. R. 2003. Barcoding Animal
Life: Cytochrome C Oxidase Subunit 1
Divergences among Closely Related
Species. Proceedings of The Royal Society
270: 96-99.
Ismoyowati, Yuwanta, T., Sidadolog, J. P. H.,
dan Keman, S. 2006. Hubungan antara
Karakteristik Morfologi dan Performans
Reproduksi Itik Tegal sebagai Dasar
Seleksi. Journal of The Indonesian
Tropical Animal Agriculture 31(3): 152156.
Jin, S. D., Hoque, M. R., Seo, D. W., Kim, I. K.,
Jo, C., Paek, W. K., and Lee, J. H. 2012.
Phylogenetic
Relationships
among
Dabbling Duck Species in Korea using
COI Gene Variations in mtDNA. Journal
of Poultry Science 49(3): 163-170.
Johnsen, A., Rindal, E., Ericson, P. G. P.,
Zuccon, D., Kerr, K. C. R., Stoeckle, M.
Y., and Lifjeld, J. T. 2010. DNA
Barcoding of Scandinavian Birds Reveals
Divergent Lineages in Trans-Atlantic
Species. J. Ornithol. 151: 565-578.
Keputusan Menteri Pertanian. 2011. Keputusan
Menteri Pertanian tentang Penetapan
Rumpun
Itik
Tegal.
http://bibit.ditjennak.deptan.go.id/upload/d
ata/19_-_Itik_Tegal.pdf. 9
Desember
2014.
Lahaye, R., van der Bank, M., Bogarin, D.,
Warner, J., Pupulin, F., Gigot, G., Maurin,
O., Duthoit, S., Barraclough, T. G., and
Savolainen, V. 2008. DNA Barcoding The
Floras
of
Biodiversity
Hotspots.
Proceedings of The National Academy of
Sciences 105(8): 2923-2928.
Maslowski, S. 2015. Female Mallard Duck
(Anas platyrhynchos), North America.
Note
The
Webbed
Feet.
http://www.allposters.com/-sp/FemaleMallard-Duck-Anas-Platyrhynchos-NorthAmerica-Note-the-Webbed-FeetPosters_i6011993_.htm. 14 September
2015.
Meier, R., Shiyang, K., Vaidya, G., and Peter.
2006. DNA Barcoding and Taxonomy in
Diptera: A Tale of High Intraspecific
Variability and Low Identification
Success. Systematic Biology 55(5): 715728.
Michael,
L.
2015.
Mallard
(Anas
platyrhynchos).
http://www.arkive.org/mallard/anasplatyrhynchos/image-A7328.html.
14
September 2015.
Mistry, N. V. 2009. Spot-billed Duck Anas
poecilorhyncha poecilorhyncha – Female.
http://orientalbirdimages.org/search.php?B
ird_ID=183&Bird_Image_ID=40413&p=1
20. 20 September 2015.
Ponchel, F., Toomes, C., Bransfield, K., Fong,
T. L., Douglas, S. H., Field, S. L., Bell, S.
M., Combaret, V., Puisieux, A., Mighell,
A. J., Robinson, P. A., Inglehearn, C. F.,
Isaacs, J. D., and Markham, A. F. 2003.
Real-Time PCR Based on SYBR-Green I
Fluorescence: An Alternative to The
TaqMan
Assay
for
A
Relative
Quantification of Gene Rearrangements,
Gene Amplifications and Micro Gene
Deletions. BMC Biotechnology 3(18): 113.
Samosir, J. D. 1983. Ilmu Ternak Itik. PT
Gramedia, Jakarta.
Sengupta, S. 2014. Spot-billed Duck Anas
poecilorhyncha poecilorhyncha – Female.
http://orientalbirdimages.org/search.php?B
ird_ID=183&Bird_Image_ID=98669&p=2
9. 20 September 2015.
Setioko, A. R., Sopiyana, S. dan Sunandar, T.
2005. Identifikasi Sifat-sifat Kualitatif dan
Ukuran Tubuh pada Itik Tegal, Itik
Cirebon, dan Itik Turi. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.
Sopiyana, S., Setioko, A. R., dan Yusnandar, M.
E. 2006. Identifikasi Sifat-sifat Kualitatif
dan Ukuran Tubuh pada Itik Tegal, Itik
Magelang, dan Itik Damiaking. Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Syafrina, R. A., Farajallah, A. dan Wardiatno, Y.
2011. Pengembangan DNA Barcode untuk
Konservasi Populasi Udang Mantis.
Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor.
Ward, R.D., Zemlak, T.S., Innes, B., and Last, P.
2005. DNA Barcoding Australia’s Fish
Species. Philosophical Transactions of
The Royal Society
360: 1847-1857.
Wulandari, W. A., Hardjosworo, P. S. dan
Gunawan. 2005. Kajian Karakteristik
Biologis Itik Cihateup dari Kabupaten
Tasikmalaya dan Garut. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.
Zulfahmi, M., Pramono, Y. B., dan Hintono, A.
2014. Pengaruh Marinasi Ekstrak Kulit
Nenas pada Daging Itik Tegal Betina
Afkir terhadap Aktivitas Antioksidan dan
Kualitas Kimia. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan 3(2): 46-48.
Download