BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Rhizophora

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Rhizophora mucronata Lamk.
2.1.1. Klasifikasi
Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Plantae
: Magnoliopsida
: Mytales
: Rhizophoraceae
: Rizhophora
: Rizhophora mucronata Lamk.
Gambar 1. Daun Rhizophora mucronata Lamk
(Sumber: Dokumen Pribadi)
Gambar 1 merupakan contoh sampel daun Rhizophora mucronata Lamk.
yang berasal dari Kawasan Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Jakarta Utara.
Identifikasi mangrove ini berdasarkan pada buku Flora of Java (1963) dan buku
Panduan Mangrove di Indonesia (2003).
2.1.2. Karakteristik Biologi
Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau,
genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan
banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut.
6
7
Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau
memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam,
pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai
akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan
karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh
menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin
yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003).
Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap
dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga
berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai
kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April
sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang
umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al., 2003).
2.2. Tinjauan Umum Udang Windu (Penaeus monodon)
2.2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi
Secara internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger
shrimp, atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa
garis-garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan. Udang windu
menyandang nama ilmiah Penaeus monodon. Udang ini termasuk golongan
crustaceae (udang-udangan) dan dikelompokkan sebagai udang laut atau udang
penaeidae. Penggolongan udang windu secara lengkap berdasarkan ilmu
taksonomi hewan menurut Amri (2003) dipaparkan sebagai berikut :
Filum
Kelas
Famili
Genus
Spesies
: Arthropoda
: Crustacea
: Penaeidae
: Penaeus
: Penaeus monodon
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu terbagi menjadi dua
bagian, yakni bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut
dan ekor. Bagian kepala hingga dada disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin
yang tebal atau carapace. Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada
8
dengan 8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 ekor (telson)
(Murtidjo 2003).
Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang
memanjang dengan bagian pinggir bergerigi atau disebut juga dengan cucuk
(rostrum). Cucuk di kepala memiliki 7 buah gerigi di bagian atas dan 3 buah
gerigi di bagian bawah. Sementara itu, di bawah pangkal kepala terdapat sepasang
mata. Bagian cephalothorax memiliki beberapa anggota tubuh yang berpasangan,
yakni sungut mini (antenulla), sirip kepala (skopocherit), sungut besar (antenna),
rahang (mandibulla), dan alat pembantu rahang (maxilla) (Amri 2003).
Bagian dada Penaeus monodon memiliki tiga pasang maxilliped yang
berfungsi untuk berenang serta membantu mengonsumsi makanan. Bagian badan
memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta sepasang
uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun (Murtidjo
2003). Bagian tubuh udang windu dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 2. Bagian Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon)
(Sumber: Amri 2003)
Jenis kelamin udang windu mudah dibedakan dengan melihat ciri luarnya.
Alat kelamin udang windu betina disebut dengan thelcum. Letak thelcum di antara
kaki jalan (periopoda) keempat dan kelima. Thelcum ini membentuk garis tipis
dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi (perkawinan). Sementara itu, alat
kelamin jantan disebut dengan petasma. Alat kelamin ini berupa tonjolan di antara
kaki renang pertama. Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan
sehingga pada umur yang sama, tubuh udang betina lebih besar daripada udang
9
jantan. Panjang dan berat udang windu hasil tangkapan dari laut bisa mencapai 35
cm dan 260 gram/ekor. Jika dipelihara di tambak, panjang tubuh maksimum
udang windu bisa mencapai 20-25 cm dan berat rata-rata 140 gram/ekor (Amri
2003).
Warna udang windu alam sangat bervariasi, mulai dari merah sampai hijau
kecokelatan. Udang yang dipelihara dan dibesarkan dalam tambak memiliki
warna lebih cerah, yaitu hijau kebiruan. Warna tersebut berhubungan erat dengan
kandungan pigmen dalam makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pigmen
karotenoid atau axantin dalam makanannya, warna kulit udang akan semakin
gelap (Murtidjo 2003).
2.2.2. Habitat dan Daerah Penyebaran
Habitat udang windu muda adalah air payau, misalnya muara sungai dan
pantai. Semakin dewasa, udang semakin menyukai hidup dasar laut. Udang windu
digolongkan jenis binatang euryhaline atau binatang air yang dapat hidup dalam
kisaran garam 3% - 45% (pertumbuhan optimal pada salinitas 15% - 30%).
Binatang ini aktif pada malam hari, sementara pada siang hari lebih suka
membenamkan diri di tempat teduh atau lumpur (Murtidjo 2003).
Faktor pembatas pertumbuhan udang windu adalah suhu dan oksigen
terlarut. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan udang windu adalah 26-32º C,
sementara kandungan oksigen terlarutnya sebanyak 4-7 ppm. Jika dipelihara di
tambak dari ukuran benih, udang windu akan mencapai ukuran panen setelah
dipelihara 4-6 bulan (Amri 2003).
2.2.3. Sifat Biologis
Setelah udang windu dewasa, dalam waktu 1-2 tahun kemudian akan mati.
Sifat umum udang windu sama dengan udang jenis lainnya, yakni pada periode
tertentu mengalami pergantian kulit (molting). Hal ini terjadi karena kulit udang
tidak elastis sehingga setiap terjadi perkembangan tubuh (bertambah ukuran),
udang harus mengganti kulit (carapace) atau cangkangnya yang sudah sempit
(Amri 2003).
10
Secara alami, pergantian kulit pada udang windu merupakan petunjuk
adanya pertumbuhan. Setelah kulit lama terlepas dari tubuh, udang dalam keadaan
lemah karena kulit baru belum mengeras (Murtidjo 2003).
Udang windu bersifat nocturnal, artinya aktif mencari makan dan
beraktivitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari
aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya dalam lumpur atau
pasir. Makanan udang windu bervariasi, baik jenis maupun komposisinya,
tergantung umurnya. Namun, umumnya udang bersifat karnivora (pemakan
hewan) (Amri 2003).
2.2.4. Perkembangbiakan
Pemijahan terjadi tatkala udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat
kelamin jantan (petasma) kemudian memasukkannya ke dalam alat kelamin betina
(telichum) udang betina. Setelah terjadi kontak langsung, induk betina akan
mengeluarkan sel telur sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang sudah menetas
akan menjadi larva yang bersifat planktonik (melayang) dan akan naik ke
permukaan air. Dalam satu kali musim pemijahan, seekor induk betina
menghasilkan telur sebanyak 200.000-500.000 butir (Amri 2003). Siklus udang
windu dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon)
(Sumber: Amri 2003)
11
Menurut (Amri 2003), setelah telur menetas, larva udang windu
mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini:
1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama
46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam
dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai substadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang
lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35‰ dengan temperatur
25ºC - 29ºC.
5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
menyukai perairan dengan salinitas 20-25‰.
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga
udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,
udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan.
Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20‰.
Pada usia 1,5 tahun di habitatnya, udang windu sudah dewasa kelamin.
Apabila musim kawin tiba, udang dewasa hijrah ke tengah laut yang dalam untuk
melakukan perkawinan pada malam hari. Saat bulan purnama merupakan waktu
terjadinya perkawinan massal (Murtidjo 2003).
2.2.5. Kualitas Air
Dalam budidaya udang, kualitas maupun kuantitas air memegang peranan
yang sangat penting. Untuk mempertahankan agar kualitas air tetap baik, air harus
selalu diganti dengan sistem pengaliran, aerasi, pemberian makanan yang tidak
berlebihan, serta pembersihan kotoran dengan penyifonan (Murtidjo 2003).
Beberapa parameter kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain
oksigen terlarut, salinitas, pH dan suhu (Amri 2003).
12
a. Oksigen Terlarut
Oksigen dibutuhkan udang untuk bernapas. Ketersediaan oksigen di dalam
air sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Oksigen
yang bisa dimanfaatkan udang adalah oksigen terlarut dalam air. Kandungan
oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan udang adalah 4-8 ppm. Pengukuran
menggunakan DO meter (Dissolved Oxygen Meter) (Amri 2003).
b. Salinitas
Secara sederhana, salinitas disebut juga dengan kadar garam atau tingkat
keasinan air. Sementara itu, secara ilmiah, salinitas didefinisikan dengan total
padatan dalam air setelah semua karbonat dan senyawa organik dioksidasi, dan
bromida serta iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya salinitas dinyatakan
dalam permill (‰) atau ada juga yang menyebutnya dengan gram per kilogram.
Untuk mengukur salinitas air tambak secara praktis dapat digunakan salinometer
atau refraktometer (Amri 2003).
Udang windu menyukai air bersalinitas 10-35 ‰. Salinitas ini lebih rendah
daripada salinitas yang dikehendaki udang jenis lain. Salinitas untuk pertumbuhan
udang windu yang baik diperoleh pada kisaran 19-35 ‰. Penurunan salinitas air
tambak di bawah 10‰ sebaiknya dihindari karena kondisi udang menjadi lemah,
warna tubuhnya lebih biru, dan peka terhadap serangan penyakit (Amri 2003).
c. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman disebut juga dengan pH. Nilai pH normal untuk tambak
udang windu adalah 6-9. Nilai pH di atas 10 dapat membunuh udang, sementara
nilai pH di bawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat. Pengukuran
pH umumnya dilakukan dengan pH meter. Selain sulit diaplikasikan di lapangan
dan harga pH meter juga relatif mahal. Namun, jika tersedia dana dan tenaga
terlatih, penggunaan pH meter disarankan karena hasilnya cukup baik dan akurat
(Amri 2003).
13
d. Suhu
Suhu atau temperatur merupakan salah satu faktor penentu kehidupan
udang windu. Kisaran suhu air tambak yang baik bagi kehidupan udang windu
adalah 25-30º C. Perubahan suhu yang bisa ditoleransi tidak lebih dari 2º C.
Karena itu, harus dihindari perubahan suhu secara mendadak karena akan
berpengaruh langsung terhadap kehidupan udang (Amri 2003).
Jika suhu air tambak turun hingga di bawah 25º C, daya cerna udang
windu terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang. Sebaliknya, jika suhu naik
hingga lebih dari 30º C, udang windu akan mengalami stres karena kebutuhan
oksigennya semakin tinggi. Sementara itu, jika suhu air berada di bawah 14º C,
udang windu bisa mengalami kematian. Biasanya, suhu air tambak diukur dengan
thermometer (Amri 2003).
2.3. Tinjauan Umum Bakteri Vibrio harveyi
2.3.1. Klasifikasi
Dalam Bergey’s Manual edisi ke-9 (Holt et al., 1994), klasifikasi bakteri
Vibrio harveyi adalah sebagai berikut :
Kingdom
Divisi
Ordo
Family
Genus
Spesies
: Prokaryota
: Bacteria
: Eubacteriales
: Vibrionaceae
: Vibrio
: Vibrio harveyi
Gambar 4. Vibrio harveyi
(Sumber: http://web.mst.edu)
14
2.3.2. Karakteristik Biologi
Ciri bakteri Vibrio adalah bentuknya seperti batang pendek, tidak
membentuk spora, sumbu melengkung atau lurus, ukurannya 0,51 mm x 1-2 mm,
bersifat gram negatif, tumbuh baik pada kadar NaCl 1-1,5 %, terdapat tunggal
atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk s atau spiral. Vibrio harveyi umumnya
hidup di air laut dan payau, terutama air dangkal serta musim dimana temperatur
air menjadi tinggi (Kabata 1985 dalam Prajitno 2005), ditemukan di habitathabitat akuatik, sebagian pada air laut, lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan
hewan laut. Bakteri Vibrio spp termasuk jenis bakteri halofit. Dapat tumbuh
secara optimum pada salinitas 20 - 30 ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada
kondisi alkali, yaitu pH optimum berkisar antara 7,5 - 8,5 (Prajitno 2005).
Bakteri Vibrio spp termasuk bakteri kemoorganotropik dan berbiak dengan
cara aseksual. Bakteri dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang pada batasbatas suhu tertentu. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri Vibrio spp berkisar
antara 30-35ºC. sedangkan pada suhu 4ºC dan 45ºC bakteri tidak dapat tumbuh
dan pada suhu 55ºC akan mati (Prajitno 2005).
Bakteri Vibrio sp. merupakan bakteri patogen yang berbahaya bagi udang
windu. Bakteri patogen dapat dibedakan atas dua tipe yaitu patogen obligate dan
patogen non obligate. Patogen obligate yaitu patogen yang dapat menimbulkan
penyakit setiap kali kontak dengan inangnya atau dengan kata lain bakteri ini
dapat hidup dan berkembang jika mendapatkan inang, sedangkan pathogen non
obligate yaitu patogen yang dapat hidup dan berkembang biak di dalam inang
maupun bebas di luar inang, seperti Vibrio sp. Menurut Sukenda dan
Wakabayashi (2001), permukaan tubuh adalah tempat media masuknya bakteri ke
dalam tubuh inang dan daerah ini dapat menjadi gerbang utama untuk
menyebabkan infeksi. Pada saat kondisi kulit inang (kutikula) atau permukaan
tubuh lainnya mengalami luka, maka sangat memungkinkan bakteri patogen untuk
masuk (Naiborhu 2002).
15
2.4. Vibriosis pada Udang Windu (Penaeus monodon)
Penyakit udang berpendar yang disebabkan oleh Vibrio harveyi disebut
vibriosis. Vibriosis sering pula dikatakan sebagai penyakit udang menyala, karena
udang yang terinfeksi terlihat bercahaya pada malam hari (Seng 1994), dan
merupakan penyakit yang umum dijumpai dan merupakan masalah yang serius di
seluruh usaha budidaya ikan di laut dan air payau di dunia (Prajitno 2005).
Gambar 5. Post Larva Udang Penaeus yang Menderita Penyakit Vibriosis
(Sumber: Hidayat 2011)
Vibriosis bersifat akut dan ganas, karena dapat memusnahkan populasi
udang dalam tempo 1-3 hari sejak gejala awal tampak. Udang yang terserang
sangat sulit untuk diselamatkan sehingga seluruh udang yang ada terpaksa
dibuang atau dimusnahkan. Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak
langsung antar udang dan menyebar sangat cepat pada udang yang dipelihara pada
kepadatan tinggi (Prajitno 2005).
Widanarni (2000) menemukan bahwa pada tempat pembenihan udang,
spesies Vibrio telah mengkolonisasi larva udang hingga pasca larva, bahkan sejak
fase telur. Penyakit vibriosis pada stadia larva terdiri dari penyakit udang
berpendar dan udang bengkok. Udang yang terserang penyakit ini menunjukkan
perubahan pada fase post larva tubuh udang yang transparan menjadi putih pucat.
Kematian tertinggi biasanya terjadi pada saat stadia post larva dan juvenil.
16
A. Udang tampak normal
B. Udang berpendar pada cahaya gelap
Gambar 6. Vibriosis pada Udang Windu
(Sumber: Hidayat 2011)
Ciri-ciri lain udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh
lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merahmerah pada pleopoda dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Al
Rozi 2008).
2.5. Kandungan Metabolit Sekunder Sebagai Antibakteri
Metabolit sekunder didefinisikan sebagai senyawa non nutrisi yang
dihasilkan oleh suatu jenis organisme yang dapat memberikan dampak pada
pertumbuhan, kesehatan maupun perilaku pada organisme lain. Metabolit
sekunder mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, berfungsi melindungi untuk
meningkatkan kemampuan organisme bersaing dengan organisme lain dalam
suatu habitat atau berperan sebagai sarana untuk melindungi diri (Efni 1991
dalam Tania 2011).
Bakterisida alami juga merupakan produk metabolit sekunder yang dapat
berupa senyawa-senyawa kimia tunggal atau campuran senyawa kimia dalam
bentuk ekstrak atau fraksi ekstrak yang diperoleh dari tumbuhan dan atau
mikroorganisme yang bersifat toksik terhadap herbivora, mikroba atau bakteri
patogen (Yulian 2011).
Suatu senyawa antimikrobial yang terdapat pada tumbuhan mangrove
dapat bersifat bakteristatik dan bakterisidal, tergantung kepada mekanisme dan
konsentrasi obat. Obat dapat bersifat bakteristatik pada konsentrasi minimum
17
tertentu dan jika bahan antimikrobial dihilangkan, perkembangbiakan bakteri akan
berjalan kembali seperti semula (hanya berfungsi menghambat pertumbuhan
bakteri). Akan tetapi obat yang bersifat bakterisidal akan mempunyai kemampuan
untuk membunuh bakteri (Naiborhu 2002).
Beberapa bahan aktif yang berfungsi sebagai bahan antimikroba yang
terdapat dalam tumbuhan mangrove, seperti flavonoid, saponin, diterpenoid,
triterpenoid, fenolik, tanin. Mekanisme kerja bahan aktif dalam mematikan bakteri
dilakukan dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri
dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel. Senyawa ini
mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Kerusakan pada membran
sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik
yang diperlukan dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan kematian pada bakteri (Naiborhu 2002).
2.5.1. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang
merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya
tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan
(misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984 dalam Priyanto 2012).
Menurut Achmad (1985), hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam
mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula
yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai
tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu. Suatu cara untuk
mengklasifikasikan alkaloid ialah cara yang didasarkan pada jenis cincin
heterosiklik nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Menurut
klasifikasi ini, alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis, seperti alkaloid
pirolidin, alkaloid piperidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid indol, alkaloid kuinolin
dan sebagainya (Gambar 7).
18
Gambar 7. Struktur Senyawa-senyawa Alkaloid
(Sumber: Achmad 1985)
2.5.2. Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik di samping
fenol sederhana, fenilpropanoid dan kuinonfenolik (Harborne 1987). Dalam
tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk dan struktur.
Semuanya mengandung 15 atom C dalam inti dasarnya yang tersusun dalam
konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatic yang dihubungkan oleh tiga
macam bentuk struktur yaitu isoflavonoid, neoflavonoid dan flavonoid (Marpaung
2004). Berikut struktur umum flavonoid dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Struktur Umum Flavonoid
(Sumber: intermediary-blog.blogspot.com)
Flavonoid dalam tumbuhan terdapat sebagai campuran, seringkali terdiri
atas flavonoid yang berbeda golongan. Penggolongan jenis flavonoid didasarkan
pada sifat kelarutan dan reaksi warna. Flavonoid merupakan senyawa polar karena
memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubtitusi. Pelarut polar seperti
etanol, metanol, etil asetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan
untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Akbar 2010).
19
2.5.3. Steroid/Triterpenoid
Steroid/Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang
disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C 30
hidrokarbon asiklik. Triterpenoid mempunyai struktur siklik yang relatif
kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini
umumnya berbentuk kristalin dan mempunyai titik lebur tinggi. Steroid yang dites
dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidridat H2SO4 pekat), akan membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen
dan sterolnya (Sirait 2007). Gambar 9 merupakan struktur steroidnya.
Gambar 9. Struktur Umum Steroid
(Sumber: endiferrysblog.blogspot.com)
2.5.4. Saponin
Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna
akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau
genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,
diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan
glukoronat (Priyanto 2012). Gambar struktur saponin disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Struktur Saponin
(Sumber: Markham 1982)
20
2.5.5. Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan.
Senyawa tanin merupakan turunan polifenol dengan karakteristiknya yang dapat
membentuk senyawa kompleks dengan makromolekul lainnya. Umumnya
senyawa tanin larut dalam air (polar). Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu
tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi tersebar luas pada
tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1984).
Sumber tanin di Indonesia salah satunya diperoleh dari beberapa jenis
bakau. Senyawa tanin seringkali menyebabkan beberapa tumbuhan memiliki rasa
sepat sehingga dihindari oleh banyak hewan pemangsanya. Adanya senyawa tanin
di dalam rumen sapi menyebabkan populasi bakteri proteolitik Lotus corniculatus
mengalami penurunan. Senyawa tanin akan berikatan langsung dengan dinding
sel, membran dan protein ekstrakseluler pada bakteri (Priyanto 2012). Gambar 11
merupakan struktur dari senyawa tanin.
Gambar 11. Struktur Tanin
(Sumber: Oladoja et al. 2010)
2.6. Metode Isolasi Metabolit Sekunder
2.6.1. Ekstraksi
Tumbuhan sudah dikenal sejak lama mengandung komponen metabolit
sekunder yang umumnya terdapat dalam daun, bunga, akar, buah dan biji.
Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan komponen metabolit sekunder, salah
satunya dengan menggunakan ekstraksi. Menurut Harborne (1987), ekstraksi
21
merupakan proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan
menggunakan pelarut tertentu.
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari
bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Pembagian jenis ekstraksi
dapat juga dilakukan menurut pelarut yang digunakan. Pada pembagian ini,
ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi
tunggal adalah teknik ekstraksi pada bahan secara langsung menggunakan satu
jenis pelarut, sedangkan ekstraksi bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa
pelarut organik yang tingkat kepolarannya berbeda-beda (Malthaputri 2007).
Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan
diekstrak dikontakkan dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga
komponen yang akan diekstrak akan terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari
ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih
terkonsentrasi dan memiliki aroma yang hampir sama dengan bahan alami awal
(Malthaputri 2007).
Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi ke dalam material padat
dan berdifusi kepada komponen yang memiliki kepolaran yang sama. Hal yang
perlu dilakukan dalam menentukan pelarut yang akan digunakan dalam proses
ekstrasi antara lain: pelarut memiliki toksisitas rendah, mudah untuk dievaporasi
dalam suhu rendah, serta cepat dalam menyerap ekstrak (Priyanto 2012).
Pemilihan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah
rendemen yang didapatkan dari suatu bahan. Metode ekstraksi menurut Harborne
(1984) salah satunya adalah maserasi. Maserasi adalah metode ekstraksi dengan
cara merendam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan.
Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan secara berturut-turut menggunakan
pelarut n-heksan sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar
dan butanol sebagai pelarut polar. Ekstraksi dengan kepolaran berbeda biasanya
menggunakan sampel yang telah dikeringkan. Pengeringan merupakan metode
pengawetan yang penting untuk bahan baku tumbuhan karena dapat menghambat
degradasi enzimatik dan limit pertumbuhan mikroba saat ekstraksi (Harborne et
al. 2009 dalam Rumiantin 2011).
22
2.7. Uji Sensitivitas Bakteri (In Vitro)
Uji aktivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan (1)
potensi zat antibakteri dalam larutan, (2) konsentrasinya dalam cairan tubuh dan
jaringan dan (3) kepekaan mikroorganisme terhadap obat atau antibiotik pada
konsentrasi tertentu. Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan
metode difusi agar (Tania 2011).
Metode yang paling banyak direkomendasikan dan digunakan secara luas
dalam praktek di laboratorium ialah metode Kirby-Bauer. Dalam metode ini,
bakteri uji diinokulasikan secara keseluruhan ke dalam sebuah media agar dan
sebuah kertas cakram (paper disk) berukuran 4-6 mm yang mengandung
konsentrasi tertentu dari antibiotik yang akan diujikan dan ditempatkan di
permukaan agar cawan kemudian diinkubasi. Setelah inkubasi pada suhu dan
waktu tertentu, tergantung pada jenis mikroba uji diamati adanya zona hambat.
Diameter penghambatan diukur dan jika cukup lebar berarti bakteri cukup sensitif
terhadap senyawa antibakteri tersebut. Apabila antibakteri pada kadar rendah
dapat memberikan diameter zona hambatan yang lebar dan bening di sekitar
bahan antibakteri, maka hal ini menunjukkan bahwa senyawa antibakteri tersebut
potensial untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan (Yulian
2011).
Paper disk
Zona hambat
Biakan bakteri uji
Cawan Petri
Gambar 12. Bentuk Zona Hambat
(Sumber: Modul Mikrobiologi)
Download