Laporan Kasus SATU KASUS STAPHYLOCOCCAL

advertisement
Laporan Kasus
SATU KASUS
STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME
Ferra O. Mawu, Herry E. J. Pandaleke
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Manado
ABSTRAK
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan sindrom yang terjadi pada neonatus
dalam 3 bulan pertama kehidupan. Risiko meningkat pada usia < 5 tahun dan pada keadaan
imunokompromais. Sindrom ini disebabkan oleh Staphylococcus aureus grup A faga 2 yang
memproduksi eksotoksin sehingga menimbulkan kelainan berupa inflamasi kulit dengan derajat
keparahan bervariasi mulai bentuk impetigo bulosa, epidermolisis dan deskuamasi, hingga bentuk
abortif. Kejadian sindrom ini masih tergolong jarang sehingga data di beberapa daerah juga
masih kurang.
Dilaporkan satu kasus SSSS pada seorang bayi laki-laki berusia 17 hari dengan kulit merah
pada hampir seluruh tubuh dan terkelupas terutama di area fleksural. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan Gram, dan kultur bakteri. Perawatan khusus di
ruangan neonatal intensive care unit (NICU) disertai pemberian antibiotik sistemik, monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit, serta perawatan kulit yang benar memberikan perbaikan
klinis optimal.
Meskipun pada umumnya berprognosis baik, namun sindrom ini dapat mengancam nyawa
bila tidak mendapat penanganan segera dan tepat.(MDVI 2015; 42/2:79 - 83)
Kata kunci: staphylococcal scalded skin syndrome, eksotoksin, epidermolisis
ABSTRACT
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) is a syndrome occurs mainly in neonates
during first 3 months of life. Risk factors increase on the age of < 5 years and immunocompromised
condition. It is an infection caused by group A phage 2 Staphylococcus aureus. The bacteria
releases exotoxins, causing inflamed skin with severity ranges from bullous impetigo, extensive
epidermolysis and desquamation, to abortive form. The incidence of this syndrome still rarely
happens result in less likely reported cases in some regions.
A 17- days old baby boy with sloughing of the erythematous skin particularly on flexural
areas. Characteristic clinical feature, Gram stain, and bacterial culture supported the diagnosis.
Special management in neonatal intensive care unit with systemic antibiotic, fluid balance monitor,
and proper skin care had resulted in an optimal clinical improvement.
In most cases, SSSS has a good prognosis, however it becomes an important threatening
case when delayed and improper treatment occur.(MDVI 2015; 42/2:79 - 83)
Kata kunci: staphylococcal scalded skin syndrome, exotoxins, epidermolysis
Korespondensi :
GJl. Raya Tanawangko - Malalayang
Ma na do
Telp. 043 1-838287
Email: [email protected]
79
MDVI
PENDAHULUAN
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) yang
disebut juga penyakit Ritter von Ritterschein pada bayi
baru lahir atau penyakit Ritter atau staphylococcal epidermal
necrolysis atau pemfigus neonatorum adalah kelainan kulit
yang disebabkan eksotoksin galur stafilokokus.1,2
Kejadian SSSS lebih sering terjadi pada neonatus dan
anak-anak daripada orang dewasa, bila terjadi pada dewasa
biasanya berhubungan dengan keadaan imunokompromais.
Di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUP
Prof. dr. R. D. Kandou dalam dua tahun terakhir hanya ada
satu pasien yang didiagnosis dengan SSSS.3 Satu studi di
Inggris menemukan peningkatan kejadian penyakit
stafilokokal, termasuk SSSS pada pasien rawat inap maupun
rawat jalan.4 Secara global, insiden SSSS tinggi di negara
berkembang. Pada anak-anak tidak ada perbedaan jenis
kelamin, sedangkan pada dewasa terdapat rasio pria
berbanding wanita adalah 2:1.5
Toksin eksfoliatif yang dilepaskan oleh
Staphylococcus aureus yaitu exfoliatin type A dan B (ETA
dan ETB) adalah karakteristik toksin yang menyebabkan
terbentuknya vesikel, bula, dan terjadinya eksfoliasi kulit.
Toksin ini berikatan dengan desmoglein-1 sehingga fungsi
adhesi antar sel menjadi berkurang.6,7
Sindrom ini memiliki gambaran klinis mulai bentuk
makula eritem yang diikuti lepuhan dan atau eksfoliasi difus
di area kulit yang terbatas hingga luas. Area kulit yang sering
terlibat adalah area fleksural, sedangkan membran mukosa
tidak terlibat. Gejala lain ialah adanya rasa tidak nyaman,
nyeri kulit, dan demam. Pada kasus yang berat, dapat terjadi
gangguan sistemik.2,8
Penanganan paling utama adalah dengan perawatan
intensif, pemberian antibiotik sistemik, serta keseimbangan
cairan dan elektrolit. Prognosis cukup baik pada bayi dan
anak-anak dengan angka mortalitas sangat rendah (1-5%).2,5
Kasus ini dilaporkan karena kejadiannya sangat jarang
di Bagian IKKK RSUP Prof.dr. R.D. Kandou.
KASUS
Bayi laki-laki berusia 17 hari dikonsulkan dari Bagian
Ilmu Penyakit Anak dengan tersangka sindrom alergi obat.
Berdasarkan aloanamnesis, keluhan utama adalah kulit
kemerahan pada seluruh badan dan terkelupas di leher,
telinga, dan tungkai bawah kanan. Kulit kemerahan sejak 2
hari yang lalu, diawali di dada, perut, kemudian meluas ke
hampir seluruh tubuh. Sejak 1 hari yang lalu kulit di sekitar
leher dan telinga belakang mulai terkelupas. Beberapa jam
setelah itu, timbul lepuh di tungkai bawah sebelah kanan.
Luka-luka pada wajah dialami sejak 5 hari yang lalu, awalnya
di sekitar hidung berupa borok dan keropeng, kemudian
menyebar ke sekitar bibir, bawah mata, dan dahi (Gambar 1).
80
Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 80 - 84
Demam dialami pasien sebelum kulit menjadi kemerahan.
Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun dan mendapat ASI
sejak lahir. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat apapun
dalam dua bulan terakhir. Pasien anak pertama, lahir cukup
bulan melalui proses sectio Cesarea atas indikasi
oligohidramnion. Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga.
Hanya pasien yang mengalami sakit seperti ini dalam
keluarga.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum baik,
bayi aktif, refleks positif normal, dan akral hangat.
Pemeriksaan status dermatologis ditemukan lesi pada wajah
berupa skuama, krusta, dan erosi di sekitar mata, hidung,
dan mulut. Di bagian leher, badan, dan ekstremitas tampak
lesi eritematosa difus dengan sebagian kulit mengalami
eksfoliasi dan epidermolisis di bagian leher, sekitar telinga,
ketiak, dan tungkai bawah. Tanda Nikolsky positif, namun
tidak ditemukan lesi pada mukosa mulut dan kelamin.
Diagnosis banding kasus ini adalah nekrolisis epidermal
toksik (NET). Rencana pemeriksaan penunjang adalah darah
lengkap, pemulasan Gram, kultur bakteri, kultur darah, tes
Tzanck, dan histopatologi.
Penatalaksanaan meliputi nonmedikamentosa dengan
memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien
tentang kelainan yang mungkin diderita mulai dari penyebab
sampai pilihan penanganan. Medikamentosa diberikan
intravenous fluid drips (IVFD) dan keseimbangan cairan
sesuai tatalaksana bagian pediatri, dalam hal ini pasien
mendapat KAEN 4B® 16-17 tetes/menit. Antibiotik sistemik,
diberikan ampisilin 2x200 mg intravena (iv). Perawatan kulit
suportif berupa topikal asam hialuronat + perak sulfadiazin
(Ialuset Plus®) dioleskan 2 kali sehari pada luka & seluruh
badan.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis
(12.600/mm3), pemulasan Gram dengan sediaan hapusan
hidung dan sekitarnya ditemukan kokus Gram positif tersebar
di dalam leukosit polimorfonuklear. Kultur bakteri disarankan
dengan pengambilan sampel hapusan kulit hidung. Hasil
kultur diterima satu minggu kemudian, yaitu positif
pertumbuhan S. aureus. Tes Tzanck tidak dilakukan
mengingat lesi bula sudah tidak ada pada saat dikonsulkan.
Pemeriksaan histopatologis diperlukan untuk membedakan
SSSS dan NET, namun pemeriksaan tidak mendapat
persetujuan orang tua pasien.
Perawatan hari ke-3 tampak kulit terkelupas makin jelas
di area lipatan, meninggalkan kulit eritematosa yang tampak
sehat (Gambar 2). Pada hari ke-5 kelainan kulit sebagian
besar ke arah perbaikan. Pada hari ke-6 pemberian cairan
infus dihentikan, antibiotik ampisilin iv diganti dengan
ampisilin drops 4x0,4ml. Perawatan kulit dilanjutkan dengan
pemberian pelembab berupa biocream. Pasien dipulangkan
pada hari ke-8 dan diberi saran untuk memperhatikan dan
menjaga kebersihan pasien dan lingkungan, termasuk orangorang di sekitarnya terutama kebersihan tangan karena
bakteri stafilokokus sangat mudah ditularkan. Saat kontrol
FO Mawu & HEJ Pandaleke
Staphylococcal scalded skin syndrome
A
B
C
Gambar 1. Hari ke-1 tampak skuama, krusta, dan erosi di wajah terutama sekitar mata, hidung, dan mulut (A),
kulit eritematosa difus (B) dan sebagian kulit mengalami epidermolisis dan deskuamasi (C)
A
B
C
Gambar 2. Hari ke-3. Epidermolisis terutama di area lipatan, meninggalkan kulit eritematosa yang lembab “red
moist base skin” (A),(B),(C)
A
B
Gambar 3. Hari ke-13. Perbaikan optimal, kulit kembali normal (A, B)
81
MDVI
ulang hari ke-13, pasien tampak sehat tanpa kelainan kulit
(Gambar 3).
DISKUSI
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
merupakan penyakit kulit akibat toksin oleh galur tertentu
stafilokokus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
neonatus dan anak-anak. Pada neonatus umumnya terjadi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan pada anak-anak
biasanya terjadi di bawah usia 5 tahun. Usia anak merupakan
faktor predisposisi SSSS karena imunitas rendah dan
kemampuan renal masih imatur dalam pembersihan toksin
(toksin eksfoliatif S. aureus).2 Kasus ini adalah seorang bayi
laki-laki berusia 17 hari dengan awal kelainan kulit di sekitar
hidung dan mulut.
Infeksi disebabkan oleh S.aureus grup A faga 2 yang
menghasilkan ETA dan ETB. Toksin eksfoliatin ini bersifat
epidermolitik, menyebar melalui sirkulasi, dan beraksi pada
desmoglein.1 yang merupakan protein di epidermis
superfisial dengan fungsi mempertahankan integritas epitel.
Toksin menyebabkan pemecahan desmoglein sehingga
terjadi epidermolisis antara stratum spinosum dan
granulosum, akibatnya terbentuk lepuhan lunak berdinding
tipis yang mudah pecah dengan tanda Nikolsky positif.1,2,7
Tanda dan gejala SSSS meliputi gejala prodormal lokal
berupa infeksi S. aureus pada kulit, laring, hidung, mulut,
umbilikus dan traktus gastrointestinal. Ruam kemerahan
kemudian muncul pada wajah, badan dan ekstermitas
kemudian dalam waktu 24-48 jam berkembang menjadi bula
besar dan mudah ruptur. Ruam dapat juga mengelupas
setempat dan dapat diikuti dengan eksfoliasi luas pada
epidermal. Terlepasnya permukaan epidermal yang luas akan
meninggalkan permukaan eritematosa yang lembab.
Sebelum timbul ruam, sering terjadi kelemahan umum dan
demam. Bayi biasanya gelisah, yaitu merasa tidak nyaman
bila dipeluk ataupun ditidurkan.2,8 Pada kasus ini pasien
mengalami lesi awal di sekitar hidung dan mulut, tiga hari
kemudian pasien mengalami demam yang diikuti munculnya
lesi kemerahan di hampir seluruh tubuh. Dalam 24 jam kulit
pasien di sekitar telinga dan leher mengalami eksfoliasi dan
timbul bula di tungkai bawah. Pada perawatan hari ke-3 kulit
pasien mengalami eksfoliasi terutama di area fleksural.
Diagnosis banding untuk SSSS adalah NET. Gambaran
klinis keduanya hampir sama, hanya pada SSSS tidak ada
keterlibatan mukosa. Insidens SSSS jarang terjadi pada
orang dewasa dan sebaliknya NET sangat kecil
kemungkinannya terjadi pada neonatus. Pemeriksaan
lainnya untuk membedakan kedua kelainan tersebut adalah
tes Tzanck dan pemeriksaan histopatologis. Tes Tzanck
menunjukkan ada tidaknya sel yang mengalami akantolisis
pada SSSS, sedangkan pada NET tidak ditemukan. Secara
histopatologis pada SSSS ditemukan akantolisis subgranular
superfisial sementara pada NET terjadi nekrolisis epidermal
82
Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 80 - 84
full-thickness dan pemisahan dermal-epidermal junction.1
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan tes Tzanck karena
saat diperiksa tidak ditemukan lesi vesikel atau bula.
Pemeriksaan histopatologis juga tidak dilakukan karena
orang tua pasien tidak memberikan persetujuan untuk
tindakan tersebut.
Mayoritas kasus SSSS dapat didiagnosis secara klinik,
namun demikian pemeriksaan penunjang penting juga
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sederhana, misalnya
pemulasan Gram yang diambil dari lesi awal, akan
menunjukkan kumpulan kokus Gram positif. Kultur bakteri
yang diambil dari tempat infeksi awal, biasanya akan tumbuh
S. aureus8,9 Bakteremia jarang terjadi pada bayi atau anakanak, namun sering pada dewasa.2 Kedua pemeriksaan
tersebut dan diperoleh hasil yang menunjukkan suatu SSSS
dengan ditemukannya kokus Gram positif pada pewarnaan
Gram dan S. aureus pada pemeriksaan kultur bakteri hapusan
kulit hidung. Pada kultur darah tidak ditemukan kuman S.
aureus.
Terapi SSSS adalah penggunaan antibiotik yang tepat
dikombinasikan dengan perawatan kulit suportif,
mempertahankan keseimbangan cairan, dan inkubator untuk
mempertahankan kelembaban dan suhu tubuh. Kombinasi
ini sangat membantu mempercepat penyembuhan. Pilihan
terapi antibiotik intravena adalah penisilin, penisilinaseresisten penisilin, aminopenisilin, sefalosporin, eritromisin,
dan tetrasiklin. Topikal antibiotik dengan asam fusidat,
mupirosin, basitrasin, atau perak sulfadiazin.9 Penggunaan
dressing non-adheren, yaitu petrolatum-impregnated
gauze, terbukti efektif untuk mempercepat re-epitelisasi lesi
lepuh yang luas. 1 Pada kasus ini diberikan ampisilin
intravena selama 6 hari dan topikal krim Ialuset Plus®. Hasil
terapi cukup efektif, pada hari perawatan ke-5 pasien sudah
mengalami perbaikan. Ampisilin merupakan bagian dari grup
aminopenisilin yang merupakan antibiotik inhibitor betalaktamase. Ampisilin ekuivalen dengan amoksisilin yang
efektif untuk pengobatan infeksi bakteri tertentu, yaitu
bakteri Gram positif. Ialuset Plus® merupakan krim yang
mengandung asam hialuronat dan perak sulfadiazin. Asam
hialuronat adalah komponen matriks ekstraseluler yang
sangat berperan dalam beberapa proses penyembuhan luka
mulai migrasi sel basal hingga terjadi proses epitelisasi dan
tetap mempertahankan lingkungan yang lembab. Perak
sulfadiazin memiliki aktivitas bakterisidal berspektrum luas.
Dua obat ini sangat sesuai untuk kelainan kulit akibat infeksi
terutama kelainan kulit dengan risiko re-infeksi.10
Prognosis SSSS pada neonatus dan anak-anak
umumnya baik apabila tidak terjadi komplikasi berat.
Komplikasi biasanya meliputi pneumonia, sepsis, dan
dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit. Angka
kematian sangat rendah pada bayi dan anak-anak yaitu
sekitar 3%.2 Kasus ini memiliki prognosis baik karena tidak
terjadi komplikasi dan mendapat penanganan yang cepat
dan tepat.
FO Mawu & HEJ Pandaleke
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus SSSS pada seorang bayi
laki-laki berusia 17 hari. Etiologi diketahui berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri, yaitu bakteri Gram positif
Staphylococcus aureus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, dan
pemeriksaan kultur bakteri. Pasien dirawat di unit perawatan
intensif Neonatal intensive care unit (NICU), dengan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
antibiotik intravena, dan perawatan suportif kulit. Pada
perawatan hari ke-5 telah menunjukkan perbaikan. Pasien
dipulangkan pada hari ke-8 dengan kondisi yang cukup baik
dan lesi kulit mengalami perbaikan nyata. Prognosis pasien
ini untuk kelangsungan hidup, fungsi kulit, dan
kekambuhan adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive infections
associated with toxin production. Dalam: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw Hill; 2012. h. 2148 - 59.
Staphylococcal scalded skin syndrome
2. Millett CR, Heymann WR, Manders SM. Pyodermas and
toxin-mediated syndromes. Dalam: Irvine AD, Hoeger PH,
Yan AC. Harper's textbook of pediatric dermatology. Edisi
ke-3. England: Blackwell Publishing Ltd; 2011. h. 54 1 - 8.
3. Data pasien rawat jalan penyakit anak dengan infeksi di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. dr. R. D. Kandou,
Manado, periode Januari 2012 - Januari 2013. (Data tidak
dipublikasikan).
4. Hayward A, Knott F, Petersen I, Livermore DM, Duckworth
G, Islam A. Increasing hospitalizations and general practice
prescriptions for community-onset staphylococcal disease,
England. Emerg Infect Dis. 2008; 14(5): 720-6.
5. King R. Staphylococcal scalded skin syndrome, An overview.
Medscape
[Serial dalam internet]. 2014. [Disitasi
20
Februari
2014].
Tersedia
di:
http://
emedicine.medscape.com/article/788199-overview
6. Hanakawa Y, Stanley JR. Mechanisms of blister formation
by staphylococcal toxins. J Biochem. 2004; 136(6): 747-50.
7. Ladhani S. Understanding the mechanism of action of the
exfoliative toxins of Staphylococcus aureus. FEMS Immunol
Med Microbiol. 2003; 39(2): 181-9.
8. Bacterial, mycobacterial, and protozoal infection of the skin.
Dalam: Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz clinical pediatric
dermatology. Edisi ke-4. USA: Elk Group Village; 2011. h.
331 - 4.
9. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's color atlas and synopsis
of clinical dermatology. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill;
2009. h. 626 - 8.
10. Voinchet V, Vasseur P, Kern J. Efficacy and safety of hyaluronic
acid in the management of acute wounds. Am J Clin Dermatol.
2006; 7(6): 353 - 7.
83
Download