Bab I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan
kematian. Kasus ini menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar
dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat
ini. SKA masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang bermakna di
negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara sedang
berkembang. Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap adalah kasus
SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak
stabil.
SKA merupakan PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya,
sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak
stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses
pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh
adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi,
trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Depkes, 2006).
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbesar di dunia, yaitu
48% dari total penyebab kematian akibat penyakit tidak menular. Data di
Indonesia menunjukkan penyakit kardiovaskular juga merupakan penyebab
kematian terbesar dari penyakit menular dan penyakit tidak menular, yaitu sebesar
1
2
30% (World Health Organization (WHO), 2011). Angka kematian di negara
maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30% terjadi pada 2 jam pertama
perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary Care Unit (CCU) mulai tahun
1960 angka kematian turun menjadi 20% dan selanjutnya dengan penggunaan
terapi trombolitik pada tahun 1980 angka kematian menurun menjadi 10% dan
kematian mendadak dapat merupakan manifestasi pertama dari Infark Miokard
Akut (IMA) (Sargowo, 2008).
Salah satu tanda dan gejala penyakit jantung yang khas adalah nyeri dada
(chest pain). Nyeri dada merupakan suatu gejala yang sering diistilahkan dengan
ketidaknyamanan di sekitar dada (Smeltzer, SC. dan Bare, BG, 2004). Setiap
tahunnya lebih dari 8 juta pasien datang dengan keluhan nyeri dada atau gejala
penyerta lainnya yang berhubungan dengan iskemik miokardial di departemen
emergensi yang ada di United States (Amsterdam et al., 2010). Manifestasi klinis
SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil (APTS), Non-ST elevation
myocardial infarction (NSTEMI), atau ST elevation myocardial infarction
(STEMI) (Depkes, 2006).
Pengenalan dini dari IMA serta pengobatan dalam fase pra rumah sakit
mempunyai peranan penting yaitu pengetahuan masyarakat akan keluhan nyeri
dada, usaha meminta pertolongan pada petugas ambulan atau petugas pelayanan
medik emergensi dengan peralatan defibrilator, trombolitik dan monitoring
elektrokardiogram (EKG) berlanjut berperan bahwa 50% dari kematian terjadi
pada jam pertama, sembilan puluh persen dari kematian disebabkan oleh Ventrikel
Fibrilasi.
3
Pengobatan pra rumah sakit dapat berupa pemasangan infus, pemberian
oksigen, monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita segera diangkut ke
rumah sakit. Selanjutnya perawatan di rumah sakit dilakukan tindakan-tindakan
untuk mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum enzim, bila
mungkin dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non invasif dan invasif seperti
Swan Ganz Kateter dan Balloon Flotation Kateter, dan mengobati komplikasikomplikasi berupa gagal jantung, aritmia, syok, dan tromboemboli.
Pada studi pendahuluan dilakukan wawancara kepada dokter dan perawat
di IGD RS PKU Muhammadiyah Bantul pada 2 November s/d 8 November 2013.
Dari wawancara tersebut diperoleh bahwa banyak pasien yang datang berobat
untuk kasus sindrom koroner akut ini, di IGD cukup sering menangani pasien
dengan APTS, NSTEMI, dan STEMI dimana pasien berhasil ditangani dan
dilanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif maupun yang tidak dapat
ditangani di RS tersebut selanjutnya segera dirujuk ke RS yang lebih kompeten
menangani kasus ini.
Untuk penanganan kasus kegawatdaruratan sindrom koroner akut ini tim
dokter dan perawat sudah dilatih dan pelatihannya dilakukan berkesinambungan
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Sementara itu, data masing-masing
kasus dari sindrom koroner akut ini belum dapat dipastikan. IGD RSU PKU
Muhammadiyah Bantul belum ada peraturan resmi tertulis yang baru sebagai
acuan standar penanganan pasien sindrom koroner akut, Standar Pelayanan Medik
(SPM) terakhir tahun 2007 yang belum diperbaharui hingga sekarang.
4
Keterlambatan dalam penanganan kasus SKA ini dapat mengakibatkan
kematian. Penelitian di Negara Eropa menemukan kematian akibat serangan
jantung digambarkan 10% untuk tiap jamnya dari keterlambatan antara waktu
pasien atau keluarga memanggil ambulans dan waktu pasien ditangani di rumah
sakit (JAMA, 2010). Secara spesifik, 64% dari delay saat penyerahan di rumah
sakit disebabkan oleh menunggu transportasi 26%, penundaan instalasi darurat
14%, dilema dalam mendiagnosis 9%, test awal negatif untuk serangan jantung 9,
kematian mendadak 6% (JAHA, 2011).
Kejadian STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan
yang membutuhkan tindakan medis
secepatnya. Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera
yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous
Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat
dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas
infark. Keterlambatan pasien datang ke rumah sakit antara lain disebabkan pasien
menunda segera datang ke rumah sakit, faktor geografis rumah yang jauh dari
rumah sakit, atau pasien datang atas rujukan rumah sakit lain yang tidak tersedia
terapi reperfusi.
Rumah sakit adalah institusi perawatan kesehatan profesional dimana
terdapat komponen pelayanan kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat dan
tenaga ahli kesehatan lainnya (Utama, 2006). Keselamatan pasien adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut
5
meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan pasien koma, pelaporan dan analisis accident, kemampuan belajar dari
accident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko (Depkes RI, 2006).
Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita SKA berubah
dan mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai
patogenesis SKA dan petunjuk-petunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat
dalam terapi medis tersebut mencakup terapi untuk mengendalikan faktor risiko
(terpenting statin untuk dislipidemia, obat antihipertensi terutama obat ACE-I,
obat penghambat reseptor A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung, dan
aritmia.
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan
penderita SKA. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan
pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan
pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu
sistem dan/atau mekanisme yang secara terus menerus memonitor dan memantau
terapi obat yang diterima pasien.
Beberapa tahun sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang diperkirakan
menyebabkan kematian pada pasien yang masuk rumah sakit dengan infark
miokard. Faktor utama tersebut adalah usia, riwayat penyakit terdahulu (diabetes,
infark sebelumnya) ukuran infark yang luas, termasuk lokasi infark (anterior vs
inferior), tekanan darah yang rendah, adanya kongestif pulmonal dan perluasan
iskemia sebagaimana diekspresikan dengan elevasi dan atau depresi segmen ST
6
pada elektrokardiogram. Faktor-faktor tersebut masih tetap berperanan sampai
saat ini (Maynard et al, 1993).
Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan, seringkali kesalahan dan
penyebabnya dikarenakan faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat
yang terlalu jauh, tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan
sebagainya. Faktor persepsi atau konsep masyarakat itu tentang sakit sering kali
terabaikan, pada kenyataannya dalam masyarakat sendiri terdapat beraneka ragam
konsep sehat-sakit yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep
sehat sakit yang diberikan oleh pihak provider atau penyelenggara pelayanan
kesehatan. Timbulnya perbedaan konsep sehat sakit yang dialami masyarakat
dengan konsep sehat-sakit yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan karena adanya persepsi sakit yang berbeda antara masyarakat dan
praktisi kesehatan. Perbedaan persepsi ini berkisar antara penyakit (disease)
dengan illness (rasa sakit) (Notoatmodjo, 1993).
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian evaluasi
kepatuhan dalam penatalaksanaan pasien SKA di IGD RSU PKU Muhammadiyah
Bantul.
B. PERUMUSAN MASALAH
Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah
dalam
penelitian
ini
adalah
”Bagaimana
evaluasi
kepatuhan
penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut terhadap pasien di IGD RSU PKU
Muhammadiyah Bantul?”
7
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi kepatuhan penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut terhadap
pasien di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis kesiapan tim dalam penatalaksanaan Sindrom Koroner
Akut terhadap pasien di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
b.
Menganlisis
kelengkapan
status
rekam
medis
pasien
pada
penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut terhadap pasien di IGD RSU
PKU Muhammadiyah Bantul.
c. Menganalisis standar penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut terhadap
pasien di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
d. Menganalisis masalah dalam penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
terhadap pasien di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
e. Menganalisis rekomendasi penyelesaian masalah penatalaksanaan
Sindrom Koroner Akut terhadap pasien di IGD RSU PKU
Muhammadiyah Bantul.
f. Menganalisis keselamatan pasien dalam penatalaksanaan Sindrom
Koroner Akut terhadap pasien di IGD RSU PKU Muhammadiyah
Bantul.
8
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dalam menganalisa
evaluasi penatalaksanaan sindrom koroner akut terhadap pasien di IGD
RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
2. Sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam lingkup RSU
PKU
Muhammadiyah
Bantul
untuk
melakukan
perencanaan,
pengembangan, pendidikan, dan pelatihan dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan praktik keperawatan.
3. Sebagai bahan informasi dan pegembangan keilmuan yang berkelanjutan
di lembaga pendidikan khususnya penelitian sejenis.
Download