BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang awalnya berada di dalam wilayah budaya Cina dan migrasi ke Indonesia. Mereka secara khas disebut dengan masyarakat Tionghoa. Para imigran Tionghoa yang tersebar di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera Utara mulai abad ke 16 sampai kira–kira pertengahan abad ke 19, sebagian besar berasal dari suku bangsa Hokkien. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan masyarakat China. Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Di kota Medan kedatangan masyarakat Tionghoa pada awalnya adalah sebagai kuli kontrak perkebunan Belanda. Lambat laun mereka mulai menggeluti bidang perdagangan di Kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Medan hidup berdampingan dengan sukusuku lain ,termasuk suku asli maupun suku pendatang. Seiring dengan merantaunya orang China ke Indonesia maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup(Rahma Safitri, 2013). Universitas Sumatera Utara Sistem religi berasal dari kesadaran suatu suku bangsa akan adanya “suatu kekuatan” diluar manusia yang memiliki kekuatan tak terhingga bila dibandingkan dengan kekuatan manusia, juga untuk mencari jawaban atas berbagai peristiwa di lingkungan kehidupannya.Dari segi religi, masyarakat kuno China menganut tiga agama dari negara asal mereka yang disebut San Jiau/Sam Kauw, di Indonesia ajaran ini dikenal dengan Tridharma. Tiga agamayang banyak dianut masyarakat Cina yaitu Khong Hu Chu, Tao, dan Buddha. Religi tradisional dalam masyarakat Cina merupakan salah satu aspek kebudayaan yang tetap mereka pelihara. Sistem religi tradisonal yang dianut oleh orang-orang Tionghoa amat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dianut oleh bangsa Cina sebagai negeri leluhur mereka. Sistem religi tradisonal masyarakat Cina/Tionghoa diwarisi oleh tradisi kuat pada empat sumber, yaitu penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang (spiritisme, animisme, danpantheisme), dan agama-agama Taoisme, Confucianisme, dan Buddhisme. Masyarakat Tionghoa tidak hanya melakukan sembahyang pada klenteng ataupun pada vihara, tetapi juga pada altar yang terdapat di rumah. Altar adalah bangunan apapun di mana (hewan) kurban atau persembahan lainnya dipersembahkan untuk tujuan religius, atau tempat sakral di mana upacara keagamaan berlangsung. Altar biasanya ditemukan di dalam tempat pemujaan, biara, dan tempat-tempat suci lainnya. Altar ada di berbagai kebudayaan, terutama di dalam agama Katolik Roma, Agama Kristen, Agama Buddha, Hindu, Shinto, Tao, dan Neopaganisme. Universitas Sumatera Utara Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah, sembahyang pribadi, keluarga, maupun untuk tempat belajar Dharma. Untuk itu setiap umat Buddha Mahayana sudah seyogyanya memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im di rumah. Dalam penempatan altar sembahyang pada masyarakat Tionghoa ini pun menggunakan aturan-aturan. Pada masyarakat Tionghoa tata cara menentukan arah altar sembahyang pun ada aturanya, seperti: berdasarkan shio, berdasarkan unsur yang baik melalui metode bazi (seni ramalan Tiongkok), menggunakan kaidah-kaidah fengshui, dan kaidah-kaidah tertentu, seperti:terdapat kepercayaan bahwa Dewa Guan Gong (Guandi), altarnya tidak boleh menghadap timur, karena Guandi gugur di negeri Wu (Hokkian: Gouw) yang letaknya di sebelah timur. Altar boleh diletakan di mana saja, tapi lebih baik menghadap ke luar dan pantang menghadap toilet maupun dapur. Ukuran tinggi dan lebar altar yang paling baik adalah 68 cm, 88 cm, 108 cm, 128 cm, 133 cm, 153 cm, atau 176 cm dan harus disesuaikan dengan tinggi rendah pemilik altar serta keperluan dan kondisi ruangan (www.chingtu.net). Tradisi-tradisi Cina masih dipelihara dan dilaksanakan oleh kalangan orang Cina di Indonesia seperti pada agama Konghucu melaksanakan tradisi barongsai dan masih banyak tradisi atau kebudayaan Cina yang masih melekat didalam agama Buddha misalnya pada upacara, ritual yang dilakukan agama Buddha masih ada unsur tradisi Cina. Universitas Sumatera Utara Masyarakat Tionghoa juga mempunyai tradisi membersihkan altar. Tradisi membersihkan altar dapat dilakukan setiap saat, tapi tradisi membersihkan rupang (patung) biasanya dilakukan setiap tahun sekali ketika menjelang Imlek yaitu setelah tanggal 24 (sampai akhir bulan) bulan 12 imlek. Karena hal ini dipercaya bahwa pada saat tersebut, Dewa-dewi naik ke langit dan meninggalkan rupang (patung) dan altarnya pada Cap Jie Gwee 24 atau sehari sebelumnya untuk melaporkan apa yang telah dicatatnya selama setahun. Pada hakekatnya ketika orang bersembahyang, tentunya perlu tempat sembahyang yang bersih dan mulia. Selain di klenteng, kegiatan pembersihan ini juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa terhadap altar sembahyang untuk dewa dan arwah leluhur di rumah masing-masing.Pembersihan altar di rumah pribadi merupakan simbol tanda bakti etnis Tionghoa kepada leluhurnya juga pada dewa-dewi, yang dimaksudkan untuk menyiapkan tempat yang bersih untuk para dewa-dewi ketika mereka kembali turun pada hari keempat setelah Imlek dan untuk membersihkan diri supaya bila Imlek tiba semuanya dalam keadaan bersih. Masyarakat Tionghoa juga menempatkan berbagai ornamen pada altar sembahyang mereka. Biasanya mereka menempatkan rupang (patung) Buddha yang mereka sembah, bunga, lampu, buah-buahan dan lain sebagainya. Setiap ornamen-ornamen itu memiliki fungsi dan makna. Biasanya fungsi dari ornamen itu sebagai estetika (keindahan), religius, dan identitas budaya. Sedangkan makna dari ornamen itu biasanya sebagai simbolis, lambang rezeki, keberhasilan, lambang supranatural, dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara Masyarakat Tionghoa di Medan yang mempercayai ajaran Buddha salah satunya aliran Mahayana (pencapaian tertingginya menjadi Bodhisatva) biasanya mempunyai altar sembahyang di setiap rumahnya, salah satunya ialah altar sembahyang dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im Po Sat lebih dikenal oleh kalangan orang Cina, namun karena Agama Tridharma pernahberkembang di dataran Cina dan dewi Kwan Im Po Sat adalah seorang putri raja Miao Chuang yang ketiga dimana raja Miao mempunyai dua putri lagi sebelum dewi Kwan Im Po Satyang dulu lebih dikenal dengan sebutan putri Miao San, karena tidak ada yang mewarisi tahta raja Miao, pada saat itu Miao San mau dinikahkan oleh raja Miao tetapi Miao San menolaknya dan Miao San lebih memilih ingin mencarikesempurnaan hidup dengan bertapa di puncak Siangsan. Miao San atau dewi Kwan Im Po Satberharap kelak menjadi dewa agar dapat menolong umat manusia yang menderita dan membalas budi kebaikan ayah ibunya yang telah melahirkannya di dunia ini. Atas kegigihanya menuntut ilmu dewa selama sembilan tahun, kini sudah mencapai kesempurnaaan, kebaktian terhadap orang tua dengan mengorbankan kedua tangan dan mata. Akhirnya Miao San dianugrahi gelar Po Sat yang berarti murah hati dan welas asih atau yang lebih dikenal oleh umat Tridharma DewiKwan ImPo Satyang welas asih, karena pengabdian yang begitu besar kepada rakyat dan dewiKwan Im Po Sat merupakan titisan dewa Che Hang Tha Tse, maka sebagai wujud penghormatan kepada dewi Kwan Im Po Sat, banyak masyarakat Tionghoa yang mendirikan vihara, klenteng maupun membuat altar sembahyang dirumah, dimana dewi Kwan Im Po Sat menjadi tuan rumah. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian di atas, penulis membahas mengenai “Artefak, Aktivitas, dan Gagasan Altar Sembahyang Dewi Kwan Im pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan.” Alasan penulis menjadikan Kota Medan sebagai objek penelitian, karena Kota Medan merupakan daerah tempat tinggal penulis. Selain itu, penulis mengetahui karakteristik masyarakat Tionghoa di Kota Medan sehingga akan mempermudah dalam melakukan sebuahpenelitian. 1.2 Batasan Masalah Menghindari batasan masalah yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada “ Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, dan Gagasan.” 1.3 Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat dalam skripsi ini adalah: 1. Apa saja artefak yang terdapat pada altar sembahyangDewi Kwan Im dalam budaya masyarakat Tionghoa Buddha di Medan? 2. Apa kegiatan yang dilakukan pada altar sembahyang Dewi Kwan Imoleh masyarakat Tionghoa Buddha di Medan? 3. Apa gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan mengenai altar sembahyangDewi Kwan Im? Universitas Sumatera Utara 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikanartefak yang terdapat pada altar sembahyang Dewi Kwan Im. 2. Untuk mendeskripsikan kegiatan yang dilakukan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im. 3. Untuk mendeskripsikan gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat prkatis. Kedua manfaat ini berlandas kepada dua hal dasar yaitu manfaat keilmuan dan manfaat sosial budaya. Kedua manfaat ini diuraikan lebih jauh lagi seperti berikut ini. 1.5.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang artefak, aktivitas, dan gagasan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im serta diharapkan juga dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lainnya yang akan meneliti mengenai altar sembahyang Dewi Kwan Im. Manfaat teoritis ini dapat menambah khasanah keilmuan khususnya bahasa, sastra, dan budaya Cina di Indonesia, khususnya di Kota Medan. Kemungkinan lebih jauh penelitian ini dapat memperkaya keilmuan disiplin terkait seperti antropologi, arsitektur, sejarah, seni, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Tionghoa untuk lebih memahami bagaimana gagasan, kegiatan yang dilakukan, serta mengetahui apa saja artefak (benda) yang diletakkan pada altar, agar nantinya generasi yang lebih muda mengetahui dan mempertahankan kebudayaannya. Universitas Sumatera Utara