IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Singkat Kedatangan Etnik Tionghoa di Indonesia Orang Cina yang pertama datang di Indonesia adalah seorang pendeta agama Budha. Pendeta ini bernama Fa Hien. Ia singgah di pulau Jawa pada tahun 413 SM. Pada saat singgah ini ia mengatakan tidak ada seorang Cina yang tinggal di pulau Jawa. Dalam sejarah Cina lama mengatakan bahwa pengetahuan orang Cina merantau ke Indonesia terjadi pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Hal ini karena sejak zaman Dinasti Tang (618-907), kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Cina pada masa itu juga merasa keluar berlayar untuk berdagang (Hidajat.Z.M, 1984). Daerah yang pertama kali didatangi adalah Palembang, yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian para perantau ini pergi 34 ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Kemudian mereka menetap di daerah pelabuhan pantai uatara pulau Jawa. Hubungan dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke-13. Selanjutnya pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah oleh Dinasti Ming (1368-1644). Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan Cheng Ho datang di pulau Bintan. Armada ini kemudian singgah di pulau Bangka, Bliton, Karimata, pulau Jawa di Semarang dan Madura (Hidajat.Z.M, 1984). Menurut mitologis Cina tujuan ekspedisi itu untuk mencari keponakan Kaisar Yung Lo (Kaisar ketiga Dinasti Ming), yang melarikan diri ketika Nanking jatuh ke tanganKaisar Yung Lo. Sumber lain menyatakan sebenarnya tujuan armada Cheng Ho dalam rangka mencari cap kerajaan yang hilang. Sebagai hasil ekspedisi ini selain sejak itu mulai ada hubungan dagang dan pembayaran upeti kepada Peking. Dengan kata lain, ekspedisi ini selain bersifat dan bertujuan dagang juga memiliki tujuan politik. Menurut Cheng Ho orang-orang yang tinggal di pulau Jawa, kebanyakan berpusat di kota-kota pantai seperti di sekitar Tuban, Surabaya dan Gresik. Pada abad ke 13, daerah-daerah tersebut telah merupakan tempat penting dalam perdagangan dengan orang-orang Cina. Di Jawa Barat orang Cina kebanyakan pada waktu itu bertempat tinggal di Banten dan Jayakarta. Objek perdagangan pada waktu itu adalah beras, lada dan gula. Disamping berniaga mereka juga mengerjakan tanah pertanian, menanam 35 merica dan bersawah. Pada umumnya orang Cina yang pertama datang ke Indonesia pada waktu hanya terdiri dari kaum laki-laki saja (Hidajat.Z.M, 1984). Keadaan ini berlangsung sampai perang dunia berakhir. Oleh karena itu sebelum waktu itu telah berlangsung perkawinan antara orang Cina laki-laki dengan wanita pribumi. Akan tetapi setelah perang dunia pertama imigran Cina membawa pula kaum wanita serta kaum kerabatnya. Sejak saat itulah banyak orang Cina yang datang ke Indonesia. (Hidajat.Z.M, 1984). Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Surabaya, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (http://www.orangTionghoa.com : 20 November 2008). B. Mulai Masuknya Muslim Etnik Tionghoa di Indonesia. Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara Negeri Cina dengan nusantara sudah 36 terjadi sebelum masehi (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di Negeri Cina, Melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada petengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada dibawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak saat itu mulai tersebarlah Islam di negara Cina (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afganistan, jalan ini terkenal dengan nama jalur Sutera. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigran Muslim asal Cina lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islan karena interaksi antar etnik 37 Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam. Kedatangan imigran muslim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman kerajan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara dari Negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif (rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di masa Kolonial (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). Kedatangan etnik Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara, tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal drai daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan propinsi Guangdong. Tapai di Zaman pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnik Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda (http://mencarijejakdakwah muslimtionghoa.com : 20 November 2008). Meski kedatangan etnik Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi muslim (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). 38 Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li, dan Ha San Shaban dan Pu He-ri. Ma Huan dan guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemeh. Ha San adalah seorang ulama masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidkalah aneh pula daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak yang beragama Islam. Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7 (tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1925 sampai tahun 1431 adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang, Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton, dan lain-lain (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008). Dari riwayat tersebut. Muslim Tionghoa di Nusantara terbaur dengan penduduk setempat. Tetapi ketika kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah (devide et impera) mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan etnik Tionghoa termasuk golongan Timur Asing dan pribumi (Inlander) yang mayoritas beragama Islam dberi Fasilitas tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini membuat etnik Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk muslimtionghoa.com : 20 November 2008). setempat (http://mencarijejakdakwah 39 Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat istiadat suatu golongan menjadi golongan tersebut. Islam mengatur etnik Tionghoa melebur dan manjadi bagian pribumi atau masyarakat setempat (http://mencarijejakdakwah muslimtionghoa.com : 20 November 2008). C. Muslim Etnik Tionghoa dan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Komunitas muslim etnik Tionghoa di Indonesia terkumpul dalam sebuah wadah organisasi bernama PITI adalah singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. PITI merupakan organisasi wadah komunitas muslim etnik Tionghoa dari seluruh nusantara, tidak terkecuali muslim etnik Tionghoa yang ada di Propinsi Lampung. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan pertama kali di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh almarhum H. Abdul Karim Oei Tjen Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin. PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tanggapan atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah yaitu almarhum KH. Ibrahim kepada almarhum H. Abdul Karim Oei bahwa untuk .menyampaikan agama Islam kepada etnik Tionghoa harus dilakukan oleh etnik Tionghoa itu sendiri yang beragama Islam. Organisasi ini memiliki tujuan untuk mempersatukan kaum muslimin Tionghoa di Indonesia dalam satu wadah, sehingga lebih berperan dalam proses persatuan bangsa. 40 Visi PITI adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam). Sedangkan misi PITI didirikan adalah untuk mempersatukan muslim Tionghoa dengan muslim Indonesia, muslim Tionghoa dengan etnik Tionghoa non muslim dan etnik Tionghoa dengan umat Islam. Program PITI adalah menyampaikan tentang dakwah Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya, serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya. Sampai dengan saat ini, agama Islam tidak dan belum menarik bagi masyarakat keturunan Tionghoa karena dalam pandangan mereka, agama Islam identik dengan kemunduran, kemalasan, kebodohan, kekumuhan, pemaksaan dan kekerasan (radikal dan teroris). a. Sejarah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Propinsi Lampung PITI hadir di Lampung pada tahun 1970-an, namun keberadaannya tidak diketahui banyak oleh masyarakat Lampung khususnua muslim etnik Tionghoa sendiri. Pada tahun 1987 atas dukungan, dorongan, dan koordinasi beberapa tokoh muslim yang simpati dengan PITI, diantaranya Hi. Muswardi Taher beliau adalah salah satu ketua Yayasan Pendidikan Al- Azhar dan beberapa mualaf 41 (orang yang baru masuk agama Islam) keturunan Tionghoa yang tersebar di beberapa daerah seperti Bandar Lampung, Metro, Pringsewu dan Talang Padang sepakat untuk membentuk Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PITI Lampung. Pada tanggal 19 Juli 1987 dilaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) PITI Lampung yang pertama bertempat di Wisma Pertiwi Pahoman Bandar Lampung yang menetapkan Hi. Muswardi Taher sebagai ketua umum. Setelah terpilihnya pengurus DPW PITI Lampung organisasi PITI berjalan. Langkah awal yang dilakukan diantaranya adalah pendataan warga muslim etnik Tionghoa bekerjasama dengan camat dan lurah se Bandar Lampung, pembentukan DPD PITI Lampung Tengah dan Lampung Selatan (sebelum pemekaran), dan silaturahmi ke pengurus DPP PITI di Jakarta. Selain itu juga dilakukan pengajian rutin, terlibat aktif dalam rehabilitasi gempa Liwa, memberi bantuan modal usaha, membentu program pengislaman bagi non Islam yang berkeinginan masuk Islam, dan aktif dalam menyikapi kondisi sosial kemasyarakatan. Awal kepengurusan yang bergairah tersebut ternyata belum bisa menunjukkan keteraturan berorganisasi. Selama rentan tahun 1987 -2002 tidak terjadi pergantian kepengurusan layaknya regenerasi di sebuah organisasi. Sekalipun dari awal pengurus berupaya maksimal di tengah-tengah kesibukan masing- 42 masing untuk menggerakkan roda organisasi. Sampai dilakukannya Muktamar PITI II di Jakarta pada tahun 2000 yang disebut sebagai Muktamar Milenium. Atas permintaan dan dorongan dari Dewan Pimpinan Pusat PITI yang terbentuk dari hasil Muktamar Milenium melalui Sekretaris Jendral DPP PITI Hi. Eddy Sulaeman kepada pengurus DPW PITI Lampung untuk menyelenggarakan Musyawarah Koordinator Wilayah (Muskorwil) II PITI Lampung. Maka pada tanggal 9 Juni 2002 diselenggarakan Muskorwil PITI Lampung bertempat di Aula Kanwil Departemen Agama Propinsi Lampung. Muskorwil menunjuk Mu’min Shiddiq Lie Kie Liong sebagai ketua umum DPW PITI Lampung periode 2002-2005. b. Asas, Tujuan dan Kegiatan PITI Sebagai organisasi Islam, PITI berasaskan Islam dan bertujuan membentuk kepribadian yang Islami di mana tergambar sosok pribadi yang taat, tunduk, dan patuh kepada Allah SWT. Untuk mencapai tujuan tersebut, PITI melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Memberi bimbingan ajaran agama Islam bagi anggotanya, 2. Menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kasih sayang kepada umat manusia, 3. Mengadakan hubungan serta kerjasama dengan organisasi Islam lainnya untuk bersama-sama mewujudkan Ukhuwah Islamiyah, 43 4. Mendorong dan menggalakkan usaha di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa manfaat bagi umat manusia. D. Jumlah Muslim Etnik Tionghoa di Propinsi Lampung Berdasarkan pendataan dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Propinsi Lampung tahun 2005, jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa adalah sebanyak 186 orang. Jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa ini terbagi berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Berikut merupakan jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa berdasarkan jenis kelamin. Tabel 1. Data jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa berdasarkan jenis kelamin DATA JUMLAH PENDUDUK MUSLIM ETNIK TIONGHOA BERDASARKAN JENIS KELAMIN No. Jenis Kelamin Jumlah 1. Laki-laki 126 2. Perempuan 60 Jumlah Penduduk 186 Sumber : PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Propinsi Lampung tahun 2005. Berdasarkan tabel di atas jumlah jenis kelamin laki-laki muslim etnik Tionghoa yang terdata pada PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tahun 2005 adalah sebanyak 126 orang, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis kelamin perempuan muslim etnik Tionghoa yang hanya berjumlah 60 orang. 44 Berdasarkan pendataan dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tahun 2005, jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa di Propinsi Lampung sebanyak 186 orang tersebut tersebar di beberapa kecamatan dan daerah-daerah yang ada di Propinsi Lampung. Berdasarkan data PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tersebut tercatat jumlah muslim etnik Tionghoa pada Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung lebih banyak dibandingkan di Kecamatan atau daerah-daerah lainnya yang ada di Propinsi Lampung. Tabel 2. Data Jumlah muslim etnik Tionghoa berdasarkan daerah atau kecamatan di Propinsi Lampung No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. DATA JUMLAH PENDUDUK MUSLIM ETNIK TIONGHOA BERDASARKAN DAERAH ATAU KECAMATAN DI PROPINSI LAMPUNG Daerah atau Kecamatan Jumlah Sukarame Telukbetung Selatan Telukbetung Utara Tanjungkarang (Pusat, Timur dan Barat) Rajabasa Telukbetung Barat Kedaton Pringsewu Metro Way Halim Kemiling Talang Padang Gedong Tataan Kotabumi Lampung Timur dan Lampung Tengah Lampung Selatan Jumlah Sumber : PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Propinsi Lampung tahun 2005. 17 26 19 43 10 9 11 15 10 3 3 4 1 1 4 10 186 45 E. Gambaran Umum Kecamatan Telukbetung Selatan 1. Sejarah Singkat Kecamatan Telukbetung Selatan Kecamatan Telukbetung Selatan adalah salah satu Kecamatan yang tertua dalam wilayah Kota Bandar Lampung, yang pada saat itu Pemerintah Kota Bandar lampung masih bernama Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung, dengan 4 (empat) Wilayah Pemerintahan Kecamatan, yaitu : Kecamatan Telukbetung Utara, Kecamatan Tanjungkarang Timur, Kecamatan Tanjungkarang Barat dan Kecamatan Telukbetung Selatan Kecamatan Telukbetung Selatan pada waktu itu membawahi 6 (enam) Pemerintahan Kelurahan diantaranya : Kelurahan Sukaraja, Kelurahan Bumi Waras, Kelurahan Teluk Betung, Kelurahan Kangkung, Kelurahan Pesawahan dan Kelurahan Gedong Pakuon Talang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1982 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1983 Tentang Perubahan Nama Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung menjadi Kotamadya Bandar Lampung. Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II (dua) Bandar Lampung dimekarkan menjadi 9 (sembilan) Pemerintahan Kecamatan yaitu Kecamatan : Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Barat, Tanjungkarang Timur, Telukbetung Barat, Telukbetung Utara, Telukbetung Selatan, Panjang, 46 Kedaton dan Sukarame. Sedangkan Kecamatan Telukbetung Selatan dari 6 (enam) Kelurahan dimekarkan menjadi 9 (sembilan) Kelurahan, dengan pemecahan Kelurahan yang ada di Wilayah Telukbetung Selatan yaitu : 1.Kelurahan Gedong Pakuon Talang dipecahkan menjadi 2 (dua) Kelurahan yaitu : Kelurahan Talang dan Kelurahan Gedong Pakuon. 2.Kelurahan Bumi Waras dipecah menjadi 2 (dua) Kelurahan yaitu : Kelurahan Bumi Waras dan Kelurahan Pecoh Raya. 3.Kelurahan Sukaraja dibagi menjadi 2 (dua) Keluraha yaitu : Kelurahan Sukaraja dan Kelurahan Garuntang. Pada akhir tahun 2001 kembali ada pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Derah Kota Bandar Lampung No.4 Tahun 2001. Telukbetung Selatan memiliki tambahan 2 (dua) Kelurahan sehingga menjadi 11 (sebelas) Kelurahan (Kelurahan Way Lunik dan Kelurahan Ketapang yang merupakan panambahan dari Wilayah Kecamatan Panjang ). 2. Kondisi Geografis 1. Letak Geografis Kecamatan Teluk Betung Selatan adalah merupakan sebagian wilayah Kota Bandar Lampung, dengan luas wilayah 1.063 Ha, dan berbatasan dengan : 47 1.Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Utara dan Kecamatan Tanjung Karang Timur 2.Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung 3.Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Panjang 4.Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat Kecamatan Teluk Betung Selatan secara geografis merupakan wilayah pantai yang membujur dari Timur kearah barat Pantai Teluk Lampung. 2. Keadaan Topografi Kecamatan Telukbetung Selatan secara Topografis mempunyai wilayah yang relatif datar, terutama bagian yang menyusuri pantai dan sebagian kecil mempunyai wilayah perbukitan atau bergelombang, terutama dibagian utara wilayah Kecamatan Telukbetung Selatan. Kecamatan Telukbetung Selatan mempunyai struktur tanah berwarna merah kehitaman dan sedikit jenis padsilik serta latosol berkatagori sedang. 3. Penduduk dan Mata Pencaharian Berdasarkan Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan, angka proyeksi tahun 2009 jumlah penduduk Kecamatan Telukbetung Selatan mencapai 86.188 jiwa. Jumlah penduduk ini terbagi berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Telukbetung Selatan ini lebih besar dibandingkan 48 dengan jumlah penduduk perempuan. Berikut merupakan jumlah penduduk Kecamatan Telukbetung Selatan berdasarkan klasifikasi jenis kelamin. Tabel 3. Jumlah penduduk di Kecamatan Telukbetung Selatan berdasarkan Jenis Kelamin DATA JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN No. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah Penduduk Jumlah 43.128 43.060 86.188 Sumber : Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan tahun 2009 Berdasarkan tabel di atas jumlah jenis kelamin laki-laki di Kecamatan Telukbetung Selatan adalah 43.128 jiwa, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang hanya berjumlah 43.060 jiwa. Selain memiliki penduduk yang cukup ramai, Kecamatan Telukbetung Selatan pun memiliki beberapa potensi yang dapat dikembangkan, seperti adanya areal perbukitan dan pabrik, sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah buruh (Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan). Berikut ini merupakan tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dari masyarakat Kecamatan Telukbetung Selatan :