pengaruh massage abdominal dalam upaya pencegahan konstipasi

advertisement
PENGARUH MASSAGE ABDOMINAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN
KONSTIPASI PADA PASIEN YANG MENJALANI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PANTI NUGROHO YOGYAKARTA
Siwi Ikaristi Maria Theresia1, Fransisca Anjar Rina Setyani2,
Arimbi Karunia Estri3
1,2,3
Akper Panti Rapih Yogyakarta
ABSTRACT
Constipation is one of defecation
disorder that can happen to in patients
who experience decline activities (bed
rest). It is caused by declining muscle
tonicity to execrate feces from rectum
and declining blood circulation of
digestive system which effects on the
declining of intestinal peristaltic. The
purpose of this research is to identify
abdominal massage effects in order to
avoid constipation to patients who are
hospitalized at Panti Nugroho Hospital.
This research used Quasi experimental
post-test only non-equivalent control
group design. As samples, there were
36 respondents which devided into 18
intervention respondents and 18 control
respondents.
Intervention
was
abdominal massage technique with
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu gangguan pola eliminasi
defekasi adalah konstipasi. Menurut
Djojoningrat (2006) dalam Sudoyo,
(2006)
mendefinisikan
konstipasi
adalah gangguan buang air besar berupa
berkurangnya
frekuensi
defekasi,
sensasi tidak puas atau tidak lampiasnya
buang air besar, terdapat rasa sakit,
perlu ekstra mengejan atau feses yang
keras, proses defekasi dapat terjadi
kurang dari 3 kali seminggu atau lebih
dari 3 hari tidak defekasi. Pada pasien
yang menjalani rawat inap di Rumah
effleurage technique for 15 minutes a
day and it was done continued for three
days. Instruments were defecation
assessment, Constipation Assessment
Scale (CAS) and assessment for
affecting defecation factors. The result
of t-independent test showed that there
was a significant differences on
constipation score between intervention
and control groups (p value = 0,015).
The result of this reseach can be used as
the source of information and
consideration for nurses when providing
nursing care to in patient to maintain
regularity of elimination defecation
patterns.
Key words: abdominal massage,
effleurage technique, constipation and
constipation score.
Sakit,
pasien
akan
mengalami
pembatasan aktivitas (bedrest) yang
disebabkan oleh penurunan kondisi
kesehatan, dimana hal ini akan
menurunkan aktivitas fisik. Penurunan
aktivitas fisik reguler akibat bedrest
dapat menurunkan tonusitas otot yang
diperlukan untuk mengeluarkan feces
dari dalam rectum, dimana hal ini akan
menyebabkan penurunan fungsi otot
abdominal dan otot pelvis sehingga
akan memperlama pasase feces (Folden,
et al., 2002).
17
Saat ini terapi laksativ merupakan
salah satu medical management untuk
mengatasi konstipasi. Menurut Sinclair,
(2010) penggunaan laksatif dalam
jangka waktu yang lama justru akan
menyebabkan masalah konstipasi dan
fecal impaction. Salah satu terapi
komplementer yang dapat dilakukan
untuk mencegah dan mengatasi masalah
konstipasi adalah dengan melakukan
massage
abdominal.
Massage
abdominal merupakan salah satu
management
keperawatan
untuk
mengatasi konstipasi yang sudah
dilakukan sejak tahun 1870 dan pada
perkembangannya, massage abdominal
merupakan intervensi yang efektif
untuk mengatasi konstipasi tanpa
menimbulkan efek samping.
Mekanisme massage abdominal
dapat menurunkan kejadian konstipasi
belum dapat dipahami sepenuhnya,
kemungkinan disebabkan oleh adanya
efek kombinasi dari stimulasi dan
relaksasi. Tekanan secara langsung pada
dinding abdomen secara berurutan dan
kemudian diselingi dengan waktu
relaksasi
dengan
cepat
dapat
meningkatkan reflek gastrokolik dan
meningkatkan kontraksi dari intertinal
dan rectum ( Brooks, et al., 2004, dalam
Sinclair, 2010). Massage abdominal
dapat menurunkan konstipasi melalui
beberapa mekanisme yang berbedabeda antara lain dengan: menstimulasi
sistem
persyarafan
parasimpatis
sehingga dapat menurunkan tegangan
pada otot abdomen, meningkatkan
motilitas pada sistem pencernaan,
meningkatkan sekresi pada sistem
intestinal serta memberikan efek pada
relaksasi sfingter (Lamas, 2009 dalam
Sinclair, 2010).
Penelitian
mengenai
massage
abdominal untuk menurunkan kejadian
konstipasi sudah banyak dilakukan,
intervensi ini juga tidak menimbulkan
efek samping, namun intervensi
massage abdominal belum dilaksanakan
di ruang rawat inap Rumah Sakit Panti
Nugroho. Oleh karena itu, penulis ingin
menerapkan
intervensi
massage
abdominal pada pasien yang mengalami
imobilisasi fisik dalam upaya menjaga
keteraturan pola eliminasi defekasi di
Rumah
Sakit
Panti
Nugroho
Yogyakarta.
Rumusan Masalah
Bagaimana dampak massage abdominal
dalam upaya pencegahan konstipasi
pada pasien rawat inap di Rumah Sakit
Panti Nugroho Yogyakarta?
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi dampak massage
abdominal dalam upaya pencegahan
konstipasi
pada
pasien
yang
menjalani rawat inap di Rumah Sakit
Panti Nugroho.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi
karakteristik
pasien yang menjalani rawat inap
di Rumah Sakit Panti Nugroho
berdasarkan usia, jenis kelamin,
asupan serat, asupan cairan, dan
pola eliminasi defekasi (frekuensi
dan konsistensi feces) selama
menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Panti Nugroho.
b. Menganalisis skor konstipasi pada
pasien rawat inap yang diberikan
intervensi standar dengan pasien
rawat inap yang diberikan
intervesi standar ditambah dengan
massage
abdominal
untuk
mencegah konstipasi.
c. Mengidentifikasi
hubungan
variabel konfonding (usia, asupan
cairan, asupan serat) dengan skor
konstipasi pasien yang menjalani
rawat inap yang diberikan
intervensi
standar
ditambah
dengan massage abdominal.
18
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain
Quasi eksperimental post test only non
equivalent control group, dimana dalam
penelitian
ini
membandingkan
perbedaan kejadian konstipasi pada
pasien rawat inap yang terdapat dalam
kelompok kontrol setelah pemberian
intervensi standar dan kelompok
intervensi setelah pemberian intervensi
standar ditambah dengan pemberian
terapi
komplementer
massage
abdominal.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien yang di rawat di Ruang
Perawatan Timur Rumah Sakit Panti
Nugroho Yogyakarta pada bulan
Agustus – Oktober 2014.
Sampel
Cara pemilihan sampel penelitian dalam
penelitian ini menggunakan nonprobability
sampling
dengan
menggunakan teknik
pengambilan
sampel consecutive sampling.
Sampel
yang
digunakan
dalam
penelitian adalah pasien yang menjalani
rawat inap di Ruang Rawat Inap Timur
Rumah
Sakit
Panti
Nugroho
Yogyakarta, yang memenuhi kriteria
inklusi:
1) Pasien mendapatkan diit yang
mengandung serat.
2) Pasien yang mulai hari pertama
sampai dengan hari berakhirnya
dilakukan intervensi dirawat di
Ruang Rawat Inap Timur.
3) Tidak
mengalami
penurunan
kesadaran.
Pasien yang menjadi kriteria eksklusi
adalah:
1) Pasien yang mendapatkan terapi
laksativ.
2) Pasien dengan tumor pada area
abdominal.
3) Pasien yang mengalami obstruksi
illeus.
4) Pasien yang mengalami netropenia.
5) Pasien yang mengalami perdarahan
pada intestinal.
6) Pasien yang mendapatkan terapi
radiasi pada area abdomen.
7) Pasien yang mengalami tindakan
pembedahan pada area abdomen.
Penghitungan besar sampel yang
digunakan dalam penelitian ini dihitung
dengan menggunakan rumus uji
hipotesis terhadap dua mean pada dua
kelompok independen (Sastroasmoro &
Ismael,
2010).
Berdasarkan
penghitungan besar sampel dengan
menggunakan rumus perbedaan dua
mean pada dua kelompok independen,
didapatkan besar sampel sebanyak 33
responden.
Untuk
mengantisipasi
kemungkinan drop out, maka besar
sampel ditambah sebanyak 4 orang,
sehingga besar sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebanyak 36
responden yang dibagi dalam 2
kelompok yaitu 18 pada kelompok
kontrol dan 18 pada kelompok
intervensi.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat
Inap Timur Rumah Sakit Panti Nugroho
Yogyakarta.
Waktu Penelitian
19
Pengambilan data penelitian dilakukan
pada tanggal 11 Agustus sampai dengan
30 Oktober 2014.
Instrumen Pengumpulan Data
1. Format pengkajian defekasi.
2. Format
CAS
(Constipation
Assessment Scale).
3. Format pengkajian faktor-faktor
yang mempengaruhi pola eliminasi
defekasi.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1. Mengajukan
perijinan untuk
melakukan penelitian di Rumah
Sakit Panti Nugroho Yogyakarta.
2. Peneliti melakukan demonstrasi
teknik massage abdominal kepada
perawat yang akan menjadi asisten
peneliti
dan
kepala
bidang
keperawatan. Selanjutnya, peneliti
meminta 1 perawat yang akan
menjadi asisten peneliti untuk
meredemonstrasikan teknik massage
abdominal yang sudah diajarkan oleh
peneliti.
3. Peneliti
melakukan
pemilihan
responden sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah
ditetapkan.
Peneliti
melakukan
pendekatan pada pasien, memberikan
informasi mengenai tujuan, manfaat
dan prosedur penelitian yang
dilakukan kemudian meminta pasien
untuk menjadi responden dalam
penelitian dengan menandatangani
informed consent.
4. Peneliti mengisi format pengkajian
defekasi pasien dengan melakukan
wawancara dengan responden sesuai
dengan pertanyaan yang terdapat
pada instrument penelitian.
5. Responden dikelompokkan menjadi
2, dimana kelompok 1 adalah
HASIL
kelompok intervensi yang mendapat
intervensi standar ditambah massage
abdominal selama 3 hari berturut,
sedangkan kelompok 2 adalah
kelompok kontrol. Teknik Massage
abdominal yang dilakukan pada
kelompok intervensi adalah tehnik
efflurage yaitu dengan melakukan
pemijatan dengan arah keatas pada
kolon accenden, pemijatan melintang
pada
kolon
tranversum
dan
pemijatan dengan arah kebawah pada
kolon decenden, selain itu pemijatan
juga dilakukan secara sirkular searah
dengan jarum jam pada area
intestinal.
Pemijatan
dilakukan
selama 15 – 20 menit setiap hari
selama lima hari berturut-turut.
Peneliti menggunakan coconut oil
untuk menghindari nyeri pada saat
dilakukan massage abdominal.
6. Melakukan evaluasi score konstipasi
pada
hari
ketiga
dengan
menggunakan format pengkajian
CAS
(Constipation
Assessment
Scale).
7. Selain mengobservasi pola eliminasi
defekasi pasien, peneliti juga
melakukan observasi asupan serat
dan asupan cairan.
Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk
mendiskripsikan
setiap
variabel
penelitian, yaitu dengan distribusi
frekuensi dan distribusi proporsi.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk
membuktikan hipotesis penelitian yaitu
melihat perbedaan skor konstipasi pada
responden kalompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah diberikan
intervensi dengan menggunkaan uji
Independen T-test.
20
Analisis Univariat
Tabel 1
Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Usia
Di Ruang Rawat Inap Timur RS Panti Nugroho Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok usia
Kelompok
intervensi
n
%
Kelompok
Kontrol
n
%
Total
n
%
Dewasa
9
50%
12
66,7%
21
58,3%
Lansia
9
50%
6
33,3%
15
41,6%
Total
18
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 18
responden
kelompok
kontrol,
prosentase usia dewasa lebih banyak
yaitu 66,7% (12 responden) bila
dibandingkan dengan usia lansia. Pada
kelompok intervensi, prosentase usia
100%
18
100%
36
100%
lansia dan dewasa adalah sama yaitu
50% (9 orang responden). Total
prosentase responden kategori usia
dewasa lebih banyak bila dibandingkan
dengan kategori usia lansia, yaitu
sebanyak 58,3% (21 responden).
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Usia Responden Kelompok Kontrol dan Intervensi
Di Ruang Rawat Inap Timur RS Panti Nugroho Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok
responden
Kontrol
n
Mean
SD
21,01
MinimumMaksimum
16 - 81
18
48,06
Intervensi
18
58,17
37,60 – 58,51
15,76
16 - 81
50,33 – 66,01
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari 18 responden kelompok kontrol,
rata-rata usia responden adalah 48,06.
Usia yang paling muda pada kelompok
kontrol adalah 16 tahun, sedangkan usia
yang paling tua adalah 81 tahun. Pada
kelompok kontrol, diyakini rata-rata
usia responden berada antara 37,60 –
95% CI
58,51 (α= 0,05). Pada kelompok
intervensi, rata-rata usia responden
adalah 58,17 tahun. Usia yang paling
muda adalah 16 tahun dan usia yang
paling tua adalah 81 tahun. Pada
kelompok intervensi, diyakini rata-rata
usia responden berada antara 50,33 –
66,01 (α= 0,05).
21
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Ruang Rawat Inap Timur RS Panti Nugroho Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Jenis Kelamin
Kelompok
intervensi
n
%
Kelompok
Kontrol
N
%
Total
n
%
Laki-laki
8
44,4% 8
44,4% 16
44,4%
Perempuan
10
55,6% 10
55,6% 20
55,6%
Total
18
100%
100%
100%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar proporsi jenis kelamin
pada
kelompok
intervensi
dan
kelompok adalah perempuan yaitu
18
36
sebesar 55,6% (10 responden). Total
prosentase responden yang paling
banyak berjenis kelamin perempuan,
yaitu sebesar 55,6% (20 responden).
Diagram 1
Distribusi Diagnosa Medis Responden Kelompok Kontrol dan Intervensi
Di Ruang Rawat Inap Timur RS Panti Nugroho Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diagnosa medis responden kelompok
kontrol dan intervensi adalah Stroke dan
Diabetes Mellitus (DM). Jumlah
responden kelompok kontrol dan
intervensi dengan diagnosa medis
stroke
sebanyak
11
responden,
sedangkan jumlah responden kelompok
kontrol dan intervensi dengan diagnosa
medis DM adalah sebanyak 7 responden.
22
Tabel 4
Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Asupan Serat Selama 24 Jam Inap
di Ruang Rawat Inap Timur RSPN
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok n
responden
Kontrol
18
Mean
MinimumMaksimum
228,22 37,673 108-325
209,71 – 252,29
Intervensi
215,22 215,22 108-300
184,81 – 234,52
18
SD
Hasil penelitian menunjukkan, 16
responden pada kelompok kontrol, ratarata asupan serat dalam 24 jam adalah
sebanyak 228,22 gr. Diyakini rata-rata
asupan serat responden pada kelompok
kontrol berada antara 209,71 – 252,29
(α= 0,005). Hasil penelitian dari 16
95% CI
responden pada kelompok intervensi
menunjukkan bahwa rata-rata asupan
serat dalam 24 jam sebanyak 215,22 gr.
Diyakini
rata-rata
asupan
serat
responden pada kelompok intervensi
berada antara 184,81 – 234,52 (α=
0,005).
Tabel 5
Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Asupan Cairan
Selama Menjalani Rawat Inap di Ruang Ranap Timur RSPN
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok
Kategori asupan
intervensi
cairan
n
%
Kelompok
Kontrol
n
%
Total
n
%
< 1500 cc/24 jam
1
5,6%
0
0
1
5,6 %
≥ 1500 cc/24 jam
17
94,4% 18
100
35
94,6%
Total
18
100%
100%
36
100%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari 18 responden pada kelompok
kontrol,
didapatkan
proporsi
responden dengan asupan cairan ≥
1500 cc/ 24 jam lebih banyak yaitu
18
sebesar 100% (18 responden).
Demikian juga pada kelompok
intervensi,
proporsi
responden
dengan asupan cairan ≥ 1500 cc/ 24
23
jam lebih banyak yaitu sebesar
94,4% (17 responden).
Tabel 6
Distribusi Skor CAS (Constipation Assaement Scale) Responden
di Ruang Rawat Inap Timur RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok
responden
Kontrol
Intervensi
n
Mean
SD
Min - Max 95% CI
18 3,22
1,16
1-6
2,64 – 3,80
18 2,17
1,29
1-5
1,52 – 2,81
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 18 responden pada
kelompok kontrol, rata-rata skor
CAS responden adalah 3,22. Skor
yang paling sedikit adalah 1,
sedangkan skor yang paling
banyak adalah 6. Diyakini ratarata pola eliminasi menurut tabel
5.5,
selanjutnya skor pola
eliminasi defekasi dikategorikan
Mean
diff
1,056
menjadi 3 kelompok, yaitu:
kategori 1 bila jumlah skor 0,
artinya
pasien
mengalami
konstipasi; kategori 2 apabila
jumlah skor 1-3, artinya pasien
beresiko mengalami konstipasi;
kategori 3 apabila jumlah skor >3,
artinya pasien tidak mengalami
konstipasi.
Tabel 7
Rata-Rata Frekuensi Defekasi Responden Selama 3 hari Observasi
di Ruang Rawat Inap RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kelompok
responden
Kontrol
n
Mean
SD
18
0,28
0,461
MinimumMaksimum
0-1
Intervensi
18
0,67
0,485
0-1
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata
frekuensi
defekasi
responden
kelompok
intervensi
selama 3 hari perawatan adalah 0,67.
Mean Diff
0,389
Sedangkan
rata-rata
frekuensi
defekasi
responden
kelompok
kontrol selama 3 hari perawatan
adalah 0,28.
24
Diagram 2
Distribusi Konsistensi Feces Responden Kelompok Kontrol dan Intervensi
Di Ruang Rawat Inap Timur RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Konsistensi Feces
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
responden pada kelompok intervensi
dan kontrol yang mengalami
defekasi, sebagian besar konsistensi
fesesnya lembek, namun responden
dengan konsistensi feses lembek
jumlahnya pada kelompok kontrol
lebih sedikit bila dibandingkan
dengan kelompok intervensi.
Analisis Bivariat
Tabel 8
Analisis Perbedaan Skor Konstipasi Pada Responden Kelompok Kontrol
dan Intervensi di Ruang Rawat Inap Timur RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Variabel
Scor
Konstipasi
Kelompok
n
responden
Mean SD
SE
Mean
t
diff
Kontrol
18
3,22
1,166
0,275
Intervensi
18
2,17
1,295
0,305 1,056
p
value
2,570 0,015
25
Hasil analisa data perbedaan skor
konstipasi pada pasien kelompok
kontrol dan intervensi menunjukkan
p value = 0,015 < 0,05 artinya Ho
ditolak,
ada
perbedaan
skor
konstipasi
pada
pasien
yang
mendapatkan intervensi massage
abdominal dengan responden yang
tidak dilakukan massage abdominal
Tabel 9
Hubungan Usia Dengan Skor Konstipasi Responden
di Ruang Rawat Inap RSPN Yogyakrata
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kategori Usia
Dewasa
Lansia
9
Skor Defekasi
Mean
SD
2,22
1,641
Kontrol
12
3,17
1,33
Intervensi
9
2,11
0,928
Kontrol
6
3,33
0,816
Kelompok
Responden
Intervensi
Hasil analisis data menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kategori usia
dewasa dengan skor pola eliminasi
defekasi pada kelompok kontrol dan
intervensi (p value = 0,785 ; α =
0.05). Demikian pula pada kategori
usia lansia, didapatkan tidak ada
n
P
Value
0,785
0,862
perbedaan yang signifikan antara
usia lansia dengan skor pola
eliminasi defekasi pada kelompok
kontrol dan intervensi (p value =
0,862 ; α = 0.05). Artinya usia tidak
memiliki hubungan yang signifikan
dengan skor konstipasi.
Tabel 10
Hubungan Asupan Cairan Dengan Skor Konstipasi Pada Responden
di Ruang Rawat Inap RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Kategori
Asupan Cairan
Dalam 24 jam
< 1500 cc
≥ 1500 cc
Skor Defekasi
Kelompok
Responden
n
Intervensi
Mean
SD
7
1,57
0,78
Kontrol
3
3,00
1,00
Intervensi
11
2,55
1,440
P
value
0,123
0,000
26
Kontrol
Hasil analisis data menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara asupan cairan
<1500 cc dengan skor pola eliminasi
defekasi antara kelompok kontrol
dan intervensi (p value = 0,123 ; α =
0.05). Sedangkan pada asupan cairan
≥1500cc didapatkan perbedaan yang
signifikan skor pola eliminasi
15
3,27
1,22
defekasi pada kelompok kontrol dan
intervensi (p value = 0,000 ; α =
0.05). Hasil analisis data ini
menunjukkan bahwa intake cairan
≥1500cc memiliki hubungan yang
signifikan dengan skor pola eliminasi
defekasi pada responden kelompok
kontrol dan intervensi.
Tabel 11
Hubungan Asupan Serat Dengan Skor Konstipasi Pada Responden
di Ruang Rawat Inap RSPN Yogyakarta
11 Agustus – 30 Oktober 2014 (n=36)
Variabel
Kelompok
Responden
Kontrol
r
p
value
0,16
0,951
0,365
0,136
Asupan serat
Intervensi
Hasil analisa data dari 18 responden
pada
kelompok
intervensi
menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara asupan serat
dengan
skor
konstipasi
pada
responden kelompok intervensi yang
diberikan
intervensi
standar
ditambah
dengan
massage
abdominal (p value = 0,136 ; α =
0.05). Hasil penelitian dari 18
responden pada kelompok kontrol
menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara
asupan serat dengan skor konstipasi
responden yang diberikan intervensi
standar (p value = 0,951 ; α = 0.05).
PEMBAHASAN
1. Karakteristik responden
Karakteristik
responden
berdasarkan usia didapatkan bahwa
total prosentase responden kategori
usia dewasa lebih banyak bila
dibandingkan dengan usia lansia
yaitu 58,3%. Kategori usia dewasa
pada penelitian ini adalah 25 – 60
27
tahun, rata-rata usia responden pada
kelompok kontrol adalah 48,06 tahun
sedangkan pada kelompok intervensi
adalah 58,17 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usia tidak
memiliki hubungan yang signifikan
dengan skor konstipasi, hal ini sesuai
dengan Lamas (2009) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa
usia tidak berpengaruh secara
signifikan dalam kejadian konstipasi
meskipun menurut Orozco (2012)
bahwa semakin meningkatnya usia
maka akan terjadi peningkatan
penumpukan kolagen di kolon
desenden
yang
mengakibatkan
penurunan motilitas usus (Orozco et
al, 2012).
Karakteristik
responden
berdasarkan pola eliminasi defekasi
didapatkan data hasil observasi
selama
3
hari
berturut-turut,
responden kelompok intervensi yang
bisa defekasi selama menjalani rawat
inap (3 hari) adalah sebanyak 12
responden dan 5 orang responden
tidak bisa defekasi selama menjalani
3 hari perawatan di RS. Sedangkan
pada kelompok kontrol, hanya 4
responden saja yang bisa defekasi
selama 3 hari observasi sebagian
besar responden (14 responden) tidak
bisa defekasi selama menjalani 3 hari
perawatan di RS. Karakteristik ratarata frekuensi defekasi responden
selama 3 hari observasi adalah 0,28
pada kelompok kontrol dan 0,67
pada kelompok intervensi. Hasil
analisa data menunjukkan bahwa
kelompok kontrol berisiko lebih
besar mengalami konstipasi, karena
selama menjalani perawatan 3 hari di
Rumah Sakit, responden tidak
mampu untuk defekasi. Semakin
lama feces berada di dalam rectum,
maka absorbsi air menjadi semakin
lebih banyak, sehingga feces menjadi
semakin keras dan semakin sulit
untuk dikeluarkan sehingga risiko
konstipasi menjadi lebih besar
(Black
&
Hawks,
2009).
Kemampuan
responden
untuk
defekasi juga akan berhubungan
dengan konsistensi feces (Sudoyo,
2006).
Data
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pada kelompok
intervensi, 11 responden yang
mampu
defekasi
menunjukkan
konsistensi feces lembek sedangkan
1 orang pasien menunjukkan
konsistensi feces yang keras.
Sehingga hal ini menunjukkan
kemampuan
responden
untuk
defekasi juga akan berhubungan
dengan konsistensi feces.
Karakteristik
responden
berdasarkan asupan serat selama 24
jam pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi didapatkan hasil
bahwa
rata-rata
serat
yang
dikonsumsi oleh kelompok kontrol
adalah sebanyak 228,22 gr/hr,
sedangkan pada kelompok intervensi
sebanyak 215,22 gr/hr. Menurut
Kyle (2014) bahwa asupan serat
yang kurang beresiko terjadinya
konstipasi karena fungsi dari serat
dalam proses pencernaan adalah
untuk membantu dalam stimulasi
peristaltik
usus
sehingga
mempercepat pengosongan isi usus.
Menurut Fernandez & Banares
(2006), intake serat yang dianjurkan
untuk dikonsumsi sehari- hari adalah
sebanyak 25 gram per hari. Hasil
analisa data menunjukkan bahwa,
rata-rata
asupan
serat
yang
dikonsumsi pasien selama menjalani
rawat inap adalah sudah sesuai
28
dengan asupan serat yang di
rekomendasikan.
Karakteristik
responden
berdasarkan asupan cairan selama 24
jam pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi sebagian besar
adalah ≥ 1500 cc/24 jam, dimana
proporsi pada kelompok kontrol
adalah sebesar 100 %, sedangkan
pada kelompok intervensi adalah
sebesar 94,6 %. Ketidakdekuatan
intake
cairan
mengakibatkan
responden
berisiko
mengalami
konstipasi ditandai dengan distribusi
feces yang keluar sedikit disertai
dengan konsistensi feces yang keras.
Intake cairan yang dianjurkan adalah
sebanyak 1500 ml/ hari atau setara
dengan 30 ml/ Kg berat badan (Kyle,
2014). Dari hasil analisa data dapat
disimpulkan bahwa rata-rata asupan
cairan pasien selama menjalni rawat
inap adalah cukup (sesuai dengan
yang dianjurkan). Hasil uji statistik
lanjut menunjukkan bahwa rata-rata
asupan cairan antara kelompok
kontrol dan kelompok intervensi
memiliki homogenitas yang sama
(homogen).
Kesetaraan
asupan
cairan responden ini dikarenakan
responden kelompok kontrol dan
intervensi sebagian besar tidak
mendapatkan pembatasan cairan
selama rawat inap, hanya 3 orang
responden saja yang mengalami
pembetasan minum yaitu pasien
yang mengalami gagal jantung
(Congestif Heart Failure).
2. Skor konstipasi pada responden
kelompok
kontrol
dan
intervensi
Hasil statistik lebih lanjut
menyimpulkan ada perbedaan yang
signifikan skor konstipasi antara
kelompok kontrol dan kelompok
intervensi,
artinya
pelaksanaan
massage abdominal berdampak
terhadap pencegahan konstipasi pada
pasien yang menjalani rawat inap (p
value = 0,015; α = 0.05). Hasil
penelitian terkait dengan pengaruh
pelaksanaan massage abdominal
terhadap pencegahan konstipasi
adalah penelitian oleh Lamas (2009)
pada bulan Januari 2005 - Maret
2007 dengan metode randomised
controlled trial pada 60 responden
yang mengalami konstipasi, hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
responden yang mendapatkan terapi
laxativ ditambah dengan massage
abdominal mengalami peningkatan
frekuensi
defekasi,
hilangnya
ketidaknyamanan
di
abdomen,
distensi
abdomen
berkurang
dibandingkan pasien yang hanya
mendapatkan
terapi
laksatif.
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Lai et al (2010), menunjukkan bahwa
aroma massage abdominal yang
dilakukan pada pasien dengan kanker
terbukti efektif untuk mencegah
konstipasi hal ini ditunjukkan dengan
penurunan constipation assesment
scale (CAS) secara signifikan pada
kelompok intervensi yang dilakukan
massage abdominal dibandingan
dengan kelompok kontrol yang
hanya diberikan intervensi standar
pencegahan kontipasi.
Massage abdominal efektif
mencegah
konstipasi
karena
mekanisme
kerjanya
mampu
menstimulasi sistem persyarafan
parasimpatis
sehingga
dapat
menurunkan tegangan pada otot
abdomen, meningkatkan motilitas
pada
sistem
pencernaan,
meningkatkan sekresi pada sistem
intestinal serta memberikan efek
29
pada relaksasi sfingter (Lamas, 2009).
Teknik massage abdominal yang
digunakan pada penelitian ini adalah
teknik efflurage dan pada saat
pelaksanaan massage abdominal
dengan teknik efflurage pasien
merasa nyaman dan tidak ada
keluhan yang berarti dari pasien.
Menurut Sinclair (2010) terdapat
beberapa teknik yang digunakan saat
melakukan massage abdominal yaitu
dengan memberikan penekanan
secara perlahan pada dinding
abdomen, penekanan yang dilakukan
terdiri dari: stroking, effleurage,
kneading dan vibration. Beberapa
penelitian
tentang
massage
abdominal menggunakan beberapa
teknik yang berbeda yaitu seperti
Lamas et al (2009), menggunakan
teknik efflurage selama 7 menit
sedangkan
Emly
(
2006)
menggunakan moderate pressure
yaitu efflurage, kneading dan vibrasi
selama 15-20 menit. Massage
abdominal terbukti efektif sebagai
terapi
komplementer
untuk
mengatasi konstipasi, meskipun
terdapat beberapa teknik yang dapat
digunakan.
3. Hubungan
variable
konfounding
dengan
skor
konstipasi
a. Hubungan usia dengan skor
konstipasi responden
Hasil analisis data menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kategori usia
dewasa dengan skor pola eliminasi
defekasi pada kelompok kontrol dan
intervensi (p value = 0,785 ; α =
0.05). Demikian pula pada kategori
usia lansia, didapatkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara
usia lansia dengan skor pola
eliminasi defekasi pada kelompok
kontrol dan intervensi (p value =
0,862 ; α = 0.05). Artinya usia tidak
memiliki hubungan yang signifikan
dengan skor konstipasi. Hal ini tidak
sesuai dengan pendapat Smeltzer &
Bare (2007), dimana seiring dengan
peningkatan
usia
seseorang
menyebabkan penurunan pada fungsi
sistem tubuh seseorang, perubahan
fungsional dan struktural akibat
peningkatan usia dapat menghambat
eliminasi secara sempurna.
Rata-rata usia responden pada
kelompok kontrol adalah 48,06 pada
kelompok kontrol dan 58,17 pada
kelompok intervensi. Berdasarkan
rata-rata usia responden pada
kelompok kontrol dan intervensi,
menunjukkan bahwa rata-rata usia
responden adalah usia dewasa yang
hampir memasuki masa lansia,
namun frekuensi defekasi dan
konsistensi feces selama dirawat di
Rumah
Sakit
menunjukkan
karakteristik yang normal, yaitu
selama 3 hari observasi, responden
mampu defekasi dengan konsistensi
feces lembek. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa factor yang dapat
menjaga peristaltic usus selama
dirawat di Rumah Sakit, antara lain
pasien mendapatkan asupan serat
yang cukup, asupan cairan dan
ditambah dengan massage adominal
yang dilakukan secara kontinu dapat
mencegah
pasien
mengalami
konstipasi selama menjalani rawat
inap.
b. Hubungan
asupan
cairan
dengan
skor
konstipasi
responden
Asupan cairan selama 24 jam pada
kelompok kontrol dan kelompok
intervensi sebagian besar adalah ≥
30
1500 cc/24 jam, dimana proporsi
pada kelompok kontrol adalah
sebesar 100 %, sedangkan pada
kelompok intervensi adalah sebesar
94,6 %, hal ini disebabkan responden
tidak mengalami pembatasan cairan,
hanya responden yang mengalami
gagal jantung saja yang mendapatkan
pembatasan cairan minum. Hasil
analisis data lebih lanjut menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara asupan cairan
<1500 cc dengan skor pola eliminasi
defekasi antara kelompok kontrol
dan intervensi (p value = 0,123 ; α =
0.05). Sedangkan pada asupan cairan
≥1500cc didapatkan perbedaan yang
signifikan skor pola eliminasi
defekasi pada kelompok kontrol dan
intervensi (p value = 0,000 ; α =
0.05). Hasil analisis data ini
menunjukkan bahwa intake cairan
≥1500 cc memiliki hubungan yang
signifikan dengan skor pola eliminasi
defekasi pada responden kelompok
kontrol dan intervensi. Kyle (2014)
menyatakan bahwa, intake cairan
yang dianjurkan setiap hari adalah
sebanyak 1500 ml setara dengan 30
ml/ Kg berat badan. Kebutuhan
cairan yang cukup diperlukan untuk
menjaga konsistensi feces.
c. Hubungan asupan serat dengan
skor konstipasi responden
Rata-rata
asupan
serat
yang
dikonsumsi oleh respoden kelompok
kontrol adalah sebanyak 228,22 gr/hr,
sedangkan pada kelompok intervensi
sebanyak 215,22 gr/hr.
Hasil analisa data lebih lanjut
menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara asupan serat
dengan
skor
konstipasi
pada
responden kelompok intervensi yang
diberikan
intervensi
standar
ditambah
dengan
massage
abdominal (p value = 0,136 ; α =
0.05) demikian juga pada kelompok
kontrol menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara
asupan serat dengan skor konstipasi
responden yang diberikan intervensi
standar (p value = 0,951 ; α = 0.05).
Menurut analisis statistik, asupan
serat tidak berhubungan dengan skor
konstipasi,
namun
dari
hasil
pengamatan
selama
3
hari
menunjukkan bahwa konsumsi serat
berhubungan dengan score konstipasi.
Pada proses pengumpulan data
menunjukkan bahwa responden yang
menghabiskan
serat
yang
dihidangkan dalam makanan yang
disajikan dan ditambah dengan
asupan serat yang dibawa dari rumah
seperti buah pisang, apel, jeruk, pear
dan pepaya ternyata frekuensi
defekasinya lebih baik dibadingkan
yang tidak menghabiskan asupan
serat
dalam
makanan
yang
dihidangkan atau tidak menambah
asupan serat dari rumah. Menurut
Kyle (2014) bahwa asupan serat
yang
kurang
berisiko
terjadi
konstipasi karena fungsi dari serat
dalam proses pencernaan adalah
untuk membantu dalam stimulasi
peristaltik
usus
sehingga
mempercepat pengosongan isi usus.
KESIMPULAN
1. Karakteristik responden
Karakteristik
responden
penelitian
berdasarkan
usia,
mayoritas berusia dewasa ( 16 – 60
tahun ) yaitu sebanyak 21 responden
(58,3%). Berdasarkan jenis kelamin,
mayoritas
responden
berjenis
kelamin perempuan yaitu sebesar 20
orang responden (55,6%).
31
Berdasarkan asupan serat yang
dikonsumsi oleh responden dalam 24
jam, rata-rata asupan serat responden
pada kelompok control adalah
sebanyak 228,22 gr/hr dan pada
kelompok
intervensi
sebanyak
215,22gr/hr.
Berdasarkan asupan
cairannya, mayoritas responden
(94,6%)
mengkonsumsi
cairan
sebanyak ≥ 1500 cc. Berdasarkan
frekuensi defekasi responden, ratarata frekuensi defekasi selama 3 hari
observasi adalah 0,67 pada kelompok
intervensi dan 0,28 pada kelompok
control. Pada kelompok control, 4
responden mampu defekasi selama
menjalani rawat inap, sedangkan
pada kelompok intervensi, 12
responden mampu defekasi selama
menjalani rawat inap. Berdasarkan
konsistensi
feces
responden,
mayoritas
responden
kelompok
control dan intervensi menunjukkan
konsistensi feces yang lembek.
yang menjalani rawat inap di RSPN
Yogyakarta.
2. Perbedaan Skor Konstipasi
Responden Kelompok control
dan intervensi
1. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini dapat
sebagai salah
satu
keperawatan
dalam
konstipasi pasien yang
rawat inap.
Berdasarkan hasil analisis data
skor konstipasi menunjukkan bahwa
kelompok control, rata-rata skor
konstipasi (CAS) adalah 3,22
sedangkan pada kelompok intervensi
rata-rata skor konstipasi (CAS)
adalah 2,17. Hasil analsis data
perbedaan skor konstipasi pada
pasien kelompok control dan
intervensi menunjukkan p value =
0,015. Hal ini menunjukkan ada
perbedaan skor konstipasi pada
kelompok control dan intervensi,
yang berarti bahwa massage
abdominal berdampak terhadap
pencegahan konstipasi pada pasien
3. Hubungan
confounding
konstipasi
variable
dengan skor
Usia tidak memiliki hubungan
yang
signifikan
dengan
skor
konstipasi responden (p value =
0,785).
Hasil
analisis
data
menunjukkan bahwa asupan serat
tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan skor konstipasi (p
value=0,951),
namun
secara
observasi asupan serat memiliki
hubungan dengan skor konstipasi.
Hasil analisis data menunjukkan
bahwa asupan cairan ≥ 1500 cc per
hari memiliki hubungan yang
signifikan dengan skor konstipasi (p
value= 0,000).
SARAN
digunakan
intervensi
mengatasi
menjalani
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai sumber informasi bagi calon
perawat
dalam
memberikan
intervensi
keperawatan
saat
memberikan asuhan keperawatan
pada pasien yang menjalani rawat
inap sebagai salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya konstipasi.
3. Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai sumber informasi khususnya
32
bagi perawat di Ruang Rawat Inap
Timur RSPN Yogyakarta dalam
memberikan tindakan keperawatan
pada pasien yang menjalani rawat
inap untuk mencegah masalah
konstipasi, selain itu perawat juga
dapat memberikan edukasi pada
pasien dan keluarga tentang massage
abdominal sebagai upaya untuk
menjaga keteraturan defekasi saat di
rumah.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Melakukan penelitian dengan sampel
yang lebih besar dan homogen, serta
waktu untuk melakukan massage
abdominal lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Emly, M. (2006). A new look at
constipation management in
the community. British Journal
of Community Nursing, vol 11
(8), 328-332.
Fernadez and Baranes. (2005).
Treatment
Of
Obstructed
defecation. Clinics in colon
and rectal surgery, vol 18(2),
85–95
Folden, Susan L., et al. (2002).
Practice Guidelines: For The
Management of Constipation
in
Adults.
Article
of
Rehabilitation
Nursing
Foundation. Di unduh dari
http://www.rehabnurse.org/pdf/
BowelGuidefor.pdf.
Kyle.G. (2014). Constipation: review
of management and treatment.
Journal of Community Nursing,
vol 23,issue 6, 30-38.
Lai, T.K.T., Cheung, M.C., Lo, C.K.,
Ng, K.L., Fung, Y.H., Tong,
M.,
Yau,
C.C.
(2010).
Effectiveness
of
aroma
massage on advanced cancer
patients with constipations:
Apilot study. ELSEVIER, 1-7.
Lamas, K., Lindholm, L., Stenlund,
H., Engstro, B., Jacobsson, C.
(2009). Efects of abdominal
massage in management of
constipations. International
Journal of Nursing Studies, 46
(2009) 759–767.
Orozco, J. F.G., Orenstein, A.E. F.,
Sterler, S.M., Stoa, M. (2012).
Chronic Constipation in the
Elderly:
Clinical
And
Systematic
Reviews.
The
American
Journal
of
Gastroenterology, vol 107, 1825.CAL AND
Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2010).
Dasar-dasar
Metodologi
Penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung Seto.
Sinclair, Marybetts L.M.T. (2010).
The Use of Abdominal
Massage to Treat Chronic
Constipation.
Journal
of
Bodywork
&
Movement
Therapies,
20,
1-10.
www.elsevier.com. Diakses 12
Oktober 2012.
Smeltzer, S.C& Bare, B.G. (2007).
Burnner
&
Suddarth’s
Textbook of Medical – Surgica
Nursing (Vols. 3). Philadelphia:
Lippincott-Reven Publisher.
33
Sudoyo, A.W., dkk. (2006). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
YSTEMATIC REVIEWS
34
Download