ix. kesimpulan dan implikasi kebijakan

advertisement
 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi ikan segar daripada ikan awetan maupun udang. Konsumsi ikan segar tertinggi adalah wilayah Sulawesi dan Maluku, terendah di Pulau Jawa, baik di perkotaan maupun perdesaan. Tingkat konsumsi ikan segar dan udang segar di perkotaan secara umum lebih tinggi daripada di perdesaan, sebaliknya tingkat konsumsi ikan awetan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan di semua wilayah, kecuali Maluku dan Papua. Tingkat konsumsi udang awetan di perkotaan hampir sama dengan di perdesaan, sedangkan di wilayah Maluku (perdesaan dan perkotaan) serta Papua (perdesaan) tingkat konsumsinya adalah nol. 2. Harga ikan segar di seluruh wilayah Indonesia relatif cukup seragam. Secara rata-rata, harga ikan segar dan ikan awetan lebih tinggi dibandingkan dengan harga udang segar dan udang awetan. Harga udang segar dan udang awetan terlihat tidak berbeda jauh, namun variasinya cukup tinggi. Harga termahal adalah di wilayah Kalimantan Tengah, kemudian Kalimantan Selatan, Bangka Belitung dan Aceh, sedangkan harga terendah adalah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Bali. 3. Total pengeluaran penduduk Indonesia yang dialokasikan untuk konsumsi makanan sebesar 50.17 persen, hampir sama dengan yang dialokasikan untuk konsumsi bukan makanan yaitu 49.83 persen; dari alokasi pengeluaran untuk makanan tersebut 7.9 persen diantaranya dialokasikan untuk konsumsi ikan. Alokasi anggaran untuk ikan di Indonesia paling
200 banyak digunakan untuk konsumsi ikan segar (55 persen) dan ikan awetan (40 persen). Alokasi anggaran yang digunakan untuk konsumsi udang segar hanya 4 persen, sedangkan untuk udang awetan hanya 1 persen. Pada kelompok ikan segar, udang/hewan air yang segar, dan udang/hewan air awetan terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar pangsa pengeluaran untuk ketiga komoditas tersebut. Sedangkan pada kelompok ikan awetan terjadi sebaliknya, semakin besar tinggi tingkat pendapatan semakin rendah pangsa pengeluarannya. 4. Pendugaan model permintaan dengan model QUAIDS terlihat cukup baik. Dari ketiga tahap pendugaan, faktor kuadratik semuanya berpengaruh signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran pangan/ikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear. Nilai dugaan koefisien sistem permintaan ikan (ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan) dari tahap ketiga menunjukkan bahwa semua peubah berpengaruh signifikan terhadap fungsi permintaan kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3%. Permintaan ikan segar, udang/hewan air lain yang segar dan udang awetan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan (dugaan koefisien bertanda positif), sedangkan permintaan udang/hewan air lain yang diawetkan sebaliknya. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif, demikian pula dengan dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif. 5. Nilai elastisitas pengeluaran ikan terhadap total pengeluaran pangan untuk semua kelompok pendapatan lebih besar dari dari satu (elastis) dengan kisaran 1.7 sampai 3.9; nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Elastisitas pengeluaran kelompok ikan segar bernilai 0.4 sampai 0.5 menunjukkan bahwa ikan segar merupakan barang
201 kebutuhan (neccesity goods) bagi rumahtangga di Indonesia. Elastisitas udang segar, ikan awetan dan udang awetan berkisar dari 1.1 sampai 2.9 menunjukkan bahwa ketiga kelompok ikan tersebut dikategorikan sebagai barang mewah bagi penduduk Indonesia. 6. Pada uncompensated own-price elasticity, kelompok ikan segar mempunyai nilai elastisitas berkisar dari -0.3 sampai -0.9; menunjukkan bahwa komoditas ikan segar tidak elastis terhadap perubahan harga. Udang/hewan air lain yang diawetkan nilai elastisitasnya adalah -1 yang artinya bahwa perubahan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh perubahan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama dengan arah yang berlawanan. Pada compensated own-price elasticity, kelompok ikan awetan mempunyai nilai elastisitas yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan harga. 7. Nilai elastisitas harga silang menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi; ikan segar dan udang segar bersifat komplemen, demikian juga dengan udang awetan dan ikan awetan. Pada golongan menengah ke atas secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan tidak saling berkaitan, namun ikan segar dan udang segar bersifat substitusi. 8. Total produksi sektor perikanan tahun 2008 sebesar 69.53 kilogram/kapita sangat berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang hanya sebesar 28 kilogram/kapita, namun terlihat bahwa produksi tersebut tidak merata di setiap propinsi di Indonesia. Wilayah Maluku, Papua, Sulawesi Tenggara, NTT, Kep. Riau dan Bangka Belitung sangat berlebihan, sementara wilayah Pulau Jawa kekurangan.
202 9. Nilai proyeksi permintaan berdasarkan kondisi riil dengan laju pertumbuhan pendapatan 5 persen dan laju pertumbuhan harga 3 persen menghasilkan persentase kesalahan relatif (MAPE), akar kuadrat tengah galat (RMSE) dan persentase akar kuadrat tengah galat (RMSPE) yang paling kecil, yaitu sekitar 1.24 persen, 0.50 dan 1.82 persen. Pada skenario ini terlihat tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika hasil proyeksi ini dikaitkan dikaitkan dengan program pemerintah yang mentargetkan tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai, karena nilai proyeksi berdasarkan skenario ini adalah 36.3 kg/kapita. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 dapat dicapai dengan upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun. 9.2. Implikasi Kebijakan 1. Besarnya peranan ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani di Indonesia dengan distribusi yang tidak merata mengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perikanan tetap diperlukan. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang berhubungan dengan pemasaran, pengembangan sarana/prasarana, dan regulasi pemasaran. Tujuannya antara lain adalah untuk memudahkan konsumen dan pelaku usaha dalam mendapatkan produk perikanan yang terjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. 2. Mengingat konsumsi ikan penduduk Indonesia didominasi oleh konsumsi ikan segar sedangkan berdasarkan nilai elastisitas diketahui bahwa
203 komoditas ikan segar tersebut tidak elastis terhadap harga maupun pendapatan, maka kebijakan untuk meningkatkan konsumsi ikan yang perlu dilakukan adalah kebijakan sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan melalui penyuluhan, pendidikan, dan iklan layanan masyarakat seperti yang selama ini dilakukan melalui program Gemarikan. 3. Untuk mencapai target peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2014 sebesar 38 kg/kapita, maka upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun akan lebih baik dibandingkan dengan upaya memacu pertumbuhan pendapatan menjadi 6 persen per tahun. 9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian selanjutnya mengenai pola konsumsi dan analisis permintaan ikan dapat dilakukan dengan data yang terbaru sehingga dapat mengungkap fakta yang lebih aktual dan menangkap perubahan pola konsumsi dan permintaan ikan di wilayah Indonesia secara lebih jelas. 2. Penelitian yang akan datang dapat mengunakan model analisis yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan rumahtangga nelayan yang bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen. 3. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan dengan penggolongan produk perikanan, wilayah, maupun kelompok pendapatan yang berbeda, serta memasukkan peubah jumlah anggota rumahtangga dengan mempertimbangkan komposisi umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan pada model permintaan sehingga akan memperkaya analisis terutama dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi protein hewani asal ikan.
Download