LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS) TAHUN ANGGARAN 2016 POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME KEBANGSAAN (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru) Tim Peneliti: Suryani, M.Si : Ketua Ana Sabhana Azmy, M.IP : Anggota PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN) LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 LEMBAR PENGESAHAN Laporan penelitian yang berjudul Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru) merupakan laporan akhir pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh SURYANI, M.Si dan Ana Sabhana Azmy, M.IP, dan telah memenuhi ketentuan dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN), LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 28 Oktober 2016 Peneliti, SURYANI, M.Si. NIP: 197704242007102003 ANA SABHANA AZMY, M.IP. Mengetahui; Kepala Pusat, Ketua Lembaga, Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN) Masyarakat Penelitian dan Pengabdian kepada LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta WAHDI SAYUTI, MA. M. ARSKAL SALIM, GP., MA., PhD NIP. 19760422 200701 1 012 NIP. 19700901 199603 1 003 PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI Yang bertanda tangan di bawah ini; Nama : Suryani, M.Si Jabatan : Lektor/Penata III/c Unit Kerja : FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Alamat : Jl. Kertamukti No. Ciputat. dengan ini menyatakan bahwa: 1. Judul penelitian “Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru)” merupakan karya orisinal saya 2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian darilaporan penelitian saya merupakan karya orang lain dan/atau plagiasi, maka saya akan bertanggung jawab untuk mengembalikan 100% dana hibah penelitian yang telah saya terima, dan siap mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 tahun berturut-turut. Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, 28 Oktober 2016 Yang Menyatakan, SURYANI, M.Si 197704242007102003 ABSTRAK Partisipasi politik masyarakat adalah unsur terkuat berjalannya mesin demokrasi dalam sebuah bangsa yang sudah cukup panjang mengalami disorientasi sistem bernegara seperti Indonesia. Setelah 32 tahun terkoptasi dalam intervensi politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu menunjukkan keingian politiknya saat keran demokrasi mulai dibuka pada tahun 1998. Pada alam reformasi, di mana keterbukaan dan partisipasi publik makin meluas dan bebas, masalah baru bagi penguatan identitas politik pun hadir. Menguatnya politik identitas bagi etnis Tionghoa di Indonesia justru semakin menjauhkan wajah multikulturalisme yang menjadi pilar bergulirnya demokratisasi. Eksklusifitas dan nilai ke “aku” an atas etnis Tionghoa makin terlihat dan merupakan ancaman bagi nasionalisme kebangsaan yang menjadi pijakan atas kedaulatan Indonesia. Karena itu paenelitian ini penting dilakukan. Dengan menggunakan metodologi kualitatif, data data yang terkumpul pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori politik identitas, teori nasionalisme, teori multikulturalisme, dan teori modal sosial. Setelah mengkaji dan menganalisis data, maka penelitian ini berhasil menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan politik identitas etnis Tionghoa adi Indonesia setelah orde baru bahwa kontribusi beberapa pihak sangat berpengaruh pada hal tersebut, yaitu kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dan pola hubungan patron – klien dengan penguasa memberi mereka ruang secara eksklusif untuk mendapatkan posisi yang strategis dalam politik baik secara formal maupun secara non formal, hal lain yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya pergeseran orientasi politik di kalangan etnis Tionghoa untuk bisa mengambil peran dalam dunia politik dengan memanfaatkan nilai-nilai multikulturalisme di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Kata Kunci: Politik Identitas, Nasionalisme Kebangsaan dan Multikulturalisme KATA PENGANTAR Alhamdulillah, laporan penelitian tentang Politik Identitas dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru) telah rampung kami tulis. Penelitian ini sungguh menyenangkan untuk diteliti karena pembahasan politik dentitas selalu mempunyai tempat tersendiri dalam kehidupan pemerintahan Indonesia. Tim peneliti membutuhkan waktu sekitar lima bulan untuk melakukan telaah terhadap data, menghubungi narasumber (meski pada akhirnya belum berhasil untuk melakukan wawancara karena kondisi sosial politik yang ada), mencari literature dan kemudian menyelesaikan laporan penelitian. Temuan penelitian ini menarik untuk dicermati. Kami menemukan adanya penguatan politik identitas dari etnis Tionghoa Indonesia pasca reformasi. Rasa sense of belonging masyarakat etnis Tionghoa terhadap Indonesia direfleksikan dalam keikutsertaan mereka pada kegiatan-kegiatan sosial politik yang ada di Indonesia. Meski demikian, menjadi potret yang patut ditelaah lebih jauh. Antusiasme etnis Tionghoa dalam dunia politik pasca orde baru adalah sebuah prestasi tersendiri, namun, dengan jaringan ekonomi etnis Tionghoa yang sudah ajeg sejak masa pra kemerdekaan hingga orde baru, berimplikasi pada menguatnya posisi mereka dalam dunia ekonomi dan kemudian politik. Walaupun hal ini bisa saja memunculkan persoalan baru yang berkaitan dengan stabilitas sosial masyarakat. Saran dan harapan kami atas telaah penelitian ini adalah Negara sebagai aktor utama dalam pemerintahan, perlu terus menjaga netralitas yang ada terhadap semua etnis, khususnya etnis Tionghoa. Sikap netral ini akan membantu menjaga stabilitas dan menguatkan potret multikulturalisme di Indonesia. Pada akhirnya, kami ucapkan rasa terimakasih mendalam kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini baik secara material maupun non mataerial hingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Ciputat, 28 Oktober 2016 Tim Peneliti DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. Latar belakang Masalah Identifikasi masalah Pembahasan masalah Perumusan masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistimatika Pembahasan ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... 1 6 14 15 15 15 16 BAB II : KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW A. Kajian Teori 1. 2. 3. 4. .................................................................................. 18 Politik Identitas Multikulturalisme Nasionalisme Modal sosial B. Literature Review ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... ...................................................................... 18 21 23 25 ...................................................................... 29 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. B. C. D. E. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... Metode Penelitian ..................................................................... Teknik Pengumpulan Data ......................................................... Prosedur Pengolahan Data ......................................................... Teknik Analisis Data ..................................................................... 36 36 37 38 39 BAB VI : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Etnis Tionghoa Dalam Lintasan Sejarah di Indonesia ..................... 40 1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan ..................... 2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama ................................. 3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru ................................. a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis ................................. b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik ................................. 4. Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi ................................. 40 45 50 52 55 59 a. Pengaruh Kebijakan Negara ................................. b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan ..................... 61 64 B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru 1. 2. 3. 4. Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial ..................... 66 Pergeseran Orientasi Politik ............................................. 73 Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan ..................... 78 Penguatan Civil Society ......................................................... 80 BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ................................................................................. 99 B. Implikasi ............................................................................................. 100 C. Rekomendasi ................................................................................. 101 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. : Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2010 .......................................................................... 3 Tabel 2. : Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik Tabel 3. : Jadwal Penelitian Tabel 4. : Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam Politik Pada Era Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama (1946 – 1966) ...................................... 47 Tabel 5. : Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat Antara Etnis Tionghoa Indonesia Dengan Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995 .............. 53 Tabel 6. : Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus Partai Politik Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat .............. 28 .............................................................. 36 .. 63 Tabel 7. : Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa Setiap Periode Pemerintahan ...................................... 76 Tabel 8. : Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia Yang Berdiri Setelah Masa Orde Baru .......................... 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penulisan sejarah Indonesia, peran aktif etnis Tionghoa hampir tidak pernah disebutkan secara proporsional, meskipun banyak bukti sejarah yang menunjukkan sumbangan mereka bagi perkembangan Indonesia, misalnya dalam bidang agama, kesusasteraan, bahasa, kesenian, olah raga, dan lain lain. Bahkan gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa mereka merupakan kelompok penguasa ekonomi yang bersifat oportunis, tidak memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan kepentingan dan keuntungannya sendiri. 1 Kalaupun masyarakat etnis Tionghoa disinggung dalam penulisan sejarah biasanya banyak berkaitan dengan peranannya di bidang ekonomi baik sebagai pelaku utama atau sebagai penguasa jalur ekonomi yang banyak merugikan masyarakat pribumi. Politik identitas yang dialami oleh etnis Tionghoa membuat mereka menjadi kelompok marjinal secara politik yang mengakibatkan menguatnya identitas etnis mereka secara inklusif. Secara historis, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M).Pada masa itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara di sekitar kawasan Asia Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa (Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M) juga didapati orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Pada paruh kedua abad ke-9, ketika tentara pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta 1 Didi Kwartanada, “Minoritas Tionghoadan FasismeJepang: Jawa, 1942-1945”, dalam Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996. saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong mengungsi ke Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke Nusantara. 2Pada saat kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.Pada akhir masa dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah.Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan. Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan, seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan.Para perantau tidak berasal dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda.Secara garis besar, orang Tionghoa di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton. 3 Di Indonesia, suku Hokkien hidup dengan cara berdagang, orang Kanton di samping mempunyai kepandaian berdagang juga mempunyai ketrampilan di bidang pertukangan dan teknologi, orang Hakka bekerja di pertambangan sehingga mereka banyak terdapat dan tinggal di daerah pertambangan seperti Bangka dan Belitung, dan orang Tiu-Chiu banyak melakukan usaha di bidang perkebunan. Pada tahun 1815 dari total jumlah penduduk di Jawa sebesar 4.615.270 jiwa, terdapat 94.441 orang (2,04%) dari golongan Tionghoa. 4 Di Jakarta yang sebelumnya bernama Batavia, pada tahun 1628 jumlah warga etnis Tionghoa baru berjumlah 3000 jiwa, pada tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. 5 2 Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), hlm. 23-25. 3 Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London: Oxford University, 1987), hlm. 52. 4 Lembaga S tudi Realino (ed.), PenguasaEkonomidanSiasatPengusahaTionghoa, (Yogyakarta: Kanisiusdan Lembaga Studi Realino, 1996), hlm. 11. 5 Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, (Jakarta: PustakaPopuler Obor, 2005), hlm. Viii. Berdasarkan data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan kurang lebih 1.300 suku. Etnis Tionghoa menempati urutan ke-18 dengan perolehan 1,22% dan berjumlah sekitar 2.832.510 jiwa. Tabel 1. Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2010 No Kelompok Suku 1 Jawa 2 Sunda 3 Batak 4 Suku asal Sulawesi 5 Madura 6 Betawi 7 Minangkabau 8 Bugis 9 Melayu 10 Suku asal Sumatera Selatan 11 Suku asal Banten 12 Suku Asal NTT 13 Banjar 14 Suku Asal Aceh 15 Bali 16 Sasak 17 Dayak 18 Cina/Tionghoa 19 Suku asal Papua 20 Makassar Sumber: Badan Pusat Statistik Jumlah 95.217.022 36.701.670 8.466.969 7.634.262 7.179.356 6.807.968 6.462.713 6.359.700 5.365.399 5.119.581 4.657.784 4.184.923 4.127.124 4.091.451 3.946.416 3.173.127 3.009.494 2.832.510 2.693.630 2.672.590 % 40.22 15,5 3,58 3,22 3,03 2,88 2,73 2,69 2,27 2,16 1,97 1,77 1,74 1,73 1,67 1,34 1,27 1,22 1,14 1,13 Etnis Tionghoa menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, namun kawasan utama penyebaran orang Tionghoa di Indonesia ada di wilayah Jabodetabek, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung. 6 Di Indonesia, Istilah Tionghoa sendiri untuk pertama kalinya digunakan untuk menjadi nama perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THKK) yang didirikan tahun 1900, dalam dokumen organisasi tersebut istilah Tjina juga banyak digunakan untuk menyebutkan identitas mereka. Selanjutnya, istilah Tionghoa mulai populer beriring bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Jawa pada dekade ke-2 pada abad ke-20 di Hindia Belanda. Istilah ini digunakan untuk menyatakan solidaritas kaum Tionghoa dan sebagai manifestasi peranakan Tionghoa terhadap posisi mereka yang dianggap sebagai penduduk kelas dua di Hindia Belanda. 7 Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda juga mengharuskan orang Tionghoa untuk tinggal di satu daerah tertentu (wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area tersebut setelah mendapat kartu pass izin keluar. Diskriminasi dalam bentuk politisasi identitas terhadap etnis Tionghoa tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terus dilanjutkan pada masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada era demokrasi liberal, diterapkan sebuah aturan yang disebut sistem benteng 8 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi para importir nasional yang notabene nya adalah importir pribumi dari importir asing, dan para pengusaha Tionghoa tidak masuk dalam kategori importir nasional tersebut. kebijakan lain yang makin meminggirkan kaum Tionghoa adalah saat Presiden Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959 6 BPS, Sensus 2010 Tentang Data Sebaran Penduduk Indonesia Berdasarkan Etnis dan Suku, Etnis Tionghoa adalah etnis yang berintegrasi dengan etnis lain, hingga seringkali mereka menyatakan sebagai salah satu etnis asli Indonesia sebagai suku nya karena secara turun temurun sudah tinggal di wilayah tersebut. 7 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 102. Penduduk kelas pertama adalah orang EropadanBelanda, keduagolonganTimur Asing yang terdiri dari Tionghoa, Jepang, dan Arab, lalup osisi ketigaditempati oleh orang pribumi. 8 Leo suryadinata, DilemaMinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135. yang melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan, peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran kota. Pada Masa Presiden Soeharto, Etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang makin buruk yaitu saat muncul kampanye anti Guomindang (Kuomintang) dan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, saat itu Beijing dianggap terlibat dalam rencana kudeta tersebut sehingga pemerintah mengeluarkan beberapa aturan khusus bagi masyarakat etnis Tionghoa, diantaranya, pelarangan terhadap penggunaan huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, pembatasan perayaan imlek dan cap go meh, pembatasan upacara di klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina menggantikan Istilah Tionghoa yang sebelumnya di gunakan. 9 Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1966 yang mengharuskan warga Tionghoa untuk mengindonesiakan nama mereka dan tidak menggunakan nama Cina sebagai identitas. Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998 yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh Presiden BJ. Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang berskala lokal maupun yang nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa Orde Baru orang-orang Tionghoa Indonesia telah diindonesiakan, walau sebagian besar di antara mereka belum berasimilasi seutuhnya. Persamaan yang mereka miliki dengan etnis asli Indonesia 9 “Diskriminasi Etnis http://homearticleimg.com. Tionghoa” artikel diakses pada 28 Maret 2014 dari adalah status kewarganegaraan Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Secara formal, undang-undang kewarganegaraan pun belum mendukung sepenuhnya upaya asimilasi yg seharusnya sudah final dilakukan. Salah satu contoh adalah konsep pembedaan pribumi dan non-pribumi dilihat dari UndangUndang Dasar Indonesia. Naskah asli UUD 1945 secara jelas membagikan warganegara Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu: pribumi dan non-pribumi. Dalam Pasal 6 UUD yang belum diubah tertulis bahwa presiden adalah orang Indonesia asli dan dalam Pasal 26 dikatakan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari bangsa Indonesia asli dan bangsa lain. UUD telah diubah sebanyak empat kali, dan pada tanggal 10 Nopember 2001 Pasal 6 telah diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: presiden dan wakil presiden Indonesia harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya, sedangkan dalam Pasal 26, istilah bangsa Indonesia asli dipertahankan, UU tersebut menjadi sangat ambigu ketika ditarik pada pemaknaan hak-hak warganegara baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Tidak konsistennya upaya mendorong perundangan ke arah yang dikehendaki oleh demokrasi pada masa Reformasi memunculkan batu sandungan yang cukup besar terhadap termujudnya wacana pluralisme dan multikulturalisme diantara bangsa Indonesia khususnya antara etnis Tionghoa yang bukan dianggap asli dan etnis pribumi yang dianggap sebagai orang Indonesia asli. Pergeseran dari kebijakan asimilasi pada masa Orde Baru kearah pembentukan masyarakat yang multikultural yang diusung oleh gerakan demokratisasi memunculkan permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih dalam, yaitu bagaimana penguatan identitas politik yang secara otomatis muncul sebagai akibat dibukanya peran partisipasi politik sejak reformasi memberikan dampak bagi menguatnya nilai-nilai nasionalisme kebangsaan di Indonesia. Beberapa kekhawatiran muncul akibat menguatnya politik identitas politik etnis Tionghoa di Indonesia justru akan bersinggungan dengan makin menguatnya eksklusifitas etnis tertentu dan menjadi ancaman bagi nilai nilai nasionalisme kebangsaan yang menjadi pijakan dasar bagi terwujudnya NKRI yang kuat. B. Identifikasi Masalah Peran aktif etnis Tionghoa dalam dunia politik menjadi sangat penting sekali untuk dibahas. Hal ini disebabkan adanya dinamika yang cukup menarik dari posisi politikidentitas yang dimiliki baik secara historis maupun secara empiris. Kedatangan leluhur suku Tionghoa (yang berasal dari negera China) untuk bermigrasi ke Indonesia terjadi sejakratusan tahun yang lalu sekitar abad ke 16-19. Kedatangan mereka ke nusantara sebagai salah satu implikasi ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara China, hingga banyak orang yang tinggal di daerah pesisir China ikut berlayar untuk berdagang dengan salah satu tujuan utama mereka saat itu adalah Asia Tenggara. Indonesia (masih dikuasai peamerintahan Hindia Belanda) menjadi salah satu pilihan wilayah di Asia Tenggara yang menjadi tempat singgah.Sebagia dari para pedagang China memutuskan untuk menetap dan menikah di Indonesia dengan warga pribumi, dan ada pula yang kembali ke China untuk terus berdagang. Para pedagang China yang tinggal menetap dan menikah di Indonesia hidup membaur dengan masyarakat asli Indonesia, dan akhirnya terjadi asimilasi serta akulturasi budaya. Sejak negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.Orang-orang Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari bagian Tenggara China (sekarang propinsi Fujian, Guangdong, Hainan, dan sekitarnya). Sebagai kelompok pendatang di bumi nusantara, banyak penyesuaian dan adaptasi yang harus dilakukan dengan masyarakat pribumi, hal ini bertambah sulit karena masyarakat Tionghoa yang datang ke Indonesia bersifat masif dan membawa budaya yang jauh berbeda dengan yang menjadi tradisi masyarakat lokal di Indonesia. Disamping jumlah yang banyak, masyarakat Tionghoa memiliki solidaritas etnis yang sangat kuat Bahkan setelah berpuluh tahun menetap di Indonesia dan ikut menjadi bagian sejarah nusantara, posisi sosial politik etnis Tionghoa tetap terpisah dan tidak bisa melebur secara maksimal dengan masyarakat pribumi. Beberapa persoalan sosial yang kerap kali berujung pada terjadinya konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa di Indonesia. Hal tersebut menjadi agaenda sendiri bagi penguasa untuk membuat kebijakan dan regulasi yang bersifat akomodatif dan kondusif, walau tak jarang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru berkontribusi bagi makin menguatnya konflik yang muncul ditengah masyarakat. Bila ditelusuri secara historis, sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sudah diberlakukan kebijakan yang cukup mendiskriminasi peran aktif politik etnis Tionghoa di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda mengharuskan orang Tionghoa untuk tinggal di satu daerah tertentu (wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area tersebut setelah mendapat kartu pass izin keluar. Pemerintah Orde Lama memberlakukan sistem Benteng dan dikeluarkannya PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan, peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran kota. Pada masa Presiden Soeharto, politik identitas dilakukan dengan diterapkannya politik dua dimensi terhadap etnis Tionghoa, yaitu dimensi budaya dan dimensi ekonomi. 10 Pada dimensi budaya, Soeharto memberlakukan politik asimilasi total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yaitu sekolah, organisasi, dan media Tionghoa, sedangkan di sektor ekonomi Soeharto memberikan kesempatan yang seluas luasnya bagi mereka untuk lebih mendominasi. Namun, bila mereka 10 PurnamaS. , Politik Pemerintahan Indonesia dan Etnik Tionghoa, artikel diaksespada 28 Maret 2014 dari http://www.secangkirteh.com. sudah mendekati wilayah politik, akses mereka segera ditutup dengan berbagai aturan yang kental dengan kecurigaan. Hal tersebut lah yang menjadi salah satu sebab minimnya partisipasi kaum Tionghoa dalam percaturan politik Indonesia. Mereka lebih memaksimalkan penguasaan sektor ekonomi, juga membangun jaringan sebagai patron-klien secara lebih kuat tanpa langsung bersentuhan dengan politik praktis namun dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut secara ekonomis. Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1966 yang mengharuskan warga Tionghoa untuk mengIndonesiakan nama mereka dan tidak menggunakan nama asli mereka sebagai identitas. Sebelum di amandemen, dalam UUD 1945 pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia ialah hanya orang-orang bangsa Indonesia yang asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang dasar sebagai warga negara. Pemahaman mengenai kalimat bangsa Indonesia asli ini mengalami beberapa kali perubahan dari UU No.3 tahun 1946, lalu UU no.6, UU No.8 tahun 1947 hingga UU No.11 tahun 1948. Akhirnya rumusan konsep istilah bangsa Indonesia asli memiliki landasan konstitusional di dalam amandemen UUD 1945 pasal 26 : 1. Yang menjadi warga negara ialah orang orang Indonesia asli dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang undang sebagai warga negara. 2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 3. Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan Undang Undang. Setelah amandemen tersebut, dibentuk Undang Undang Organik yaitu UU no.12 tahun 2006, dimana pemahaman bangsa Indonesia asli sebagaimana di maksud dari ketentuan pasal 2 UU No.12 tahun 2006 menentukan bahwa “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga Negara”. 11 Dalam penjelasan pasal 2 tersebut ditegaskan bahwa yang disebut bangsa Indonesia asli adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, dilanjutkan dengan ketentuan pasal 4 yang mengatakan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah negara Republik Indonesia dianggap warga negara Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas. Hal tersebut memberikan angin segar bagi etnis Tionghoa yang mengalami persoalan status kewarganegaraan dalam waktu yang sangat panjang, dimana penegasan tentang status kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran dalam wilayah Indonesia. Benturan masalah yang dialami oleh orang Tionghoa tidak hanya tentang status kewarganegaraan mereka saja, masih banyak persoalan yang muncul dan mendatangkan konflik yang cukup dalam antara orang Tionghoa dengan warga asli Indonesia secara genetik, ditambah dengan fenomena bahwa mereka mendominasi sektor ekonomi Indonesia dari hulu sampai hilir, secara makro maupun mikro, hingga memunculkan kecemburuan sosial yang tinggi diantara masyarakat Indonesia. Hampir pada setiap gejolak sosial ekonomi politik yang terjadi di Indonesia selalu masyarakat Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan warga dan dianggap sebagai penyebab munculnya konflik yang cukup besar, seperti saat terjadi kerusuhan yang berujung pada pembantaian massal tahun 1740 di Batavia oleh VOC pimpinan Gubernur Jendral Adrian Valckener, juga kerusuhan Mei 1998 yang meninggalkan trauma luar biasa bagi etnis Tionghoa pada perlakuan pribumi yang membabi buta terhadap mereka, yang tidak hanya menghancurkan sektor perekonomian dengan penjarahan asset-asset ekonomi, tetapi juga mengancam jiwa mereka. Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998 yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh Presiden Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk 11 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm. berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang berskala lokal maupun yang nasional. Partisipasi politik etnis Tionghoa perlahan menguat seiring dengan makin menguatnya nilai nilai demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan beberapa hal, seperti didirikannya beberapa partai politik berbasis masyarakat Tionghoa, banyaknya etnis Tionghoa yang maju menjadi Calon legislatif dengan bergabung di partai-partai politik yang plural, dan didirikan juga beberapa ORMAS dan LSM berbasis Tionghoa. Beberapa parpol Tiongoa yang didirikan yaitu; Partai Pembauran Indonesia, Partai Warga Baru Indonesia, Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang dipimpin oleh Lieus Sungkharisma alias Li Xuexiong, lalu didirikan pula Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) didirikan oleh Nurdin Purnomo alias Wu Nengbing, 12 walaupun pada Pemilihan umum pertama setelah Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik namun hanya satu partai politik Tionghoa yang menjadi peserta pemilu yaitu partai Bhineka Tunggal Ika yang memperoleh suara 364.291 atau 0,34% dan memperoleh 1 kursi di DPRD Kalimantan Barat. 13 Terdapat kurang lebih dari 50 caleg berasal dari Etnis Tionghoa. Selain organisai politik berbentuk partai, didirikan juga organisasi non partai yang berbasis kaum Tionghoa, seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) yang diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) Tedy Yusuf alias Him Tek Ie, ada juga Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia (INTI) diketuai oleh Drs. Edy Lembong alias Ong Joe San (Wang Yousan), 14 lalu berdiri LSM Gerakan Anti 12 Leo Suryadinata, Negara dan EtnisTionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 55. PBI adalah satu satunya partai orang Tionghoa yang mengikuti pemilu 1999, dan mendapatkan 1 kursi dari daerah pemilihan Kalimantan Barat. 13 Data diperoleh dari dokumentasi KPU 14 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa kasus Indonesia…, h. 56 Diskriminasi Indonesia (GANDI) yang dipelopori oleh Anton Supit dan Niko Krisnanto. 15Pada tahun 2004 didirikan FORDEKA (Forum Demokrasi Kebangsaan). Pada masa pemerintahan presiden BJ. Habibi dikeluarkan instruksi presiden no.26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, terutama untuk membedakan penduduk keturunan Cina dengan penduduk asli Indonesia, penggunaan pembedaan ras hanya digunakan untuk menunjukkan keragaman etnis berdasarkan suku yang ada di Indonesia. 16 Inpres presiden tersebut menjadi justifikasi kuat bagi kelompok etnis Tionghoa untuk mensejajarkan diri dengan warga asli Indonesia dalam bidang politik. Selanjutnya pada masa presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan instruksi presiden No. 6 tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengek-spresian terhadap kebudayaannya di Indonesia. Peningkatan partisipasi politik kaum Tionghoa makin membesar dalam pemilu legislatif tahun 2004 dimana terdaftar calon anggota legislatif yang berasal dari kaum Tionghoa berjumlah lebih dari 200 orang baik untuk DPR maupun DPRD, walaupun yang lolos menjadi anggota legislatif hanya 3 orang dan itupun pada tingkat DPRD. 17 lalu ada Christiandy Sanjaya dan Cornelis yang menjadi Gubernur dan wakil Gubernur Kalimantan Barat, Yansen Akun Effendy sebagai Bupati Sanggau, Fify Lety Indra sebagai Walikota Pangkal Pinang, Basuki Tjahaya Purnama sebagai Bupati Belitung, dan Goh Tjong Ping sebagai Bupati Tuban. Pada Pemilu tahun 2004,partisipasi elite politik Tionghoa disalurkan pada partai-partai seperti Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKB dan PIB. Pada Pemilu tahun 2009 yang disebut juga sebagai tahun politik bagi etnis Tionghoa, ada sekitar 213 caleg dari etnis Tionghoa dan terpilih 28 orang untuk 15 Benny G.Setiono, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka, 2008, h. 1087 Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal HUMANITY, Vol. 6, no. 1 September 2010, hal.41 17 Ibid., hal. 50 16 duduk di parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah. 18 Hal tersebut menjadi fenomena baru bagi realitas partisipasi politik kaum Tionghoa di Indonesia, setelah mereka mendapat tekanan, politisasi identitas, diskriminasi dan intimidasi dalam waktu yang cukup panjang dalam sejarah polik di Indonesia. Namun demikian, gerak politik masyarakat Tionghoa belum berani untuk mencapai posisi posisi strategis pemerintahan pada tingkat pusat dalam skala nasional, para elite politik yang bergerak didominasi oleh kalangan muda Tionghoa yang memiliki semangat dan tingkat percaya diri yang tinggi untuk bersaing dalam ranah politik, sementara para generasi senior mereka masih bersikap apatis dan hanya berposisi sebagai pemain belakang layar dan motivator. Baru pada kurun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para elite politik kaum Tionghoa mulai mengincar posisi posisi strategis pemerintahan dengan melakukan gebrakan yang cukup mencenangkan, diantaranya adalah dengan keberanian Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mencalonkan diri menjadi wakil Gubernur DKI Jakarta yang selanjutnya diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden di Pemilu tahun 2014, menjelang pemilihan presiden tahun 2014, dilakukan deklarasi calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh partai HANURA dengan menampilkan Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo yang merupakan CEO MNC Group sebagai calon wakil presiden yang selanjutnya mendirikan PERINDO. Keberanian dua tokoh politik yang berasal dari etnis Tionghoa tersebut menjadi fenomena baru bagi realitas politik di Indonesia mengingat kaum Tionghoa masih dianggap sebagai kaum minoritas secara politik19karena faktanya masyarakat Indonesia masih terkotak pada isu isu identitas dan SARA terutama pada saat menjelang pemilihan kepala daerah, atau pemilihan umum legislatif dan presiden. 18 Ibid., hal. 51 Menurut data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, jumlah etnis Tionghoa berkisar kurang lebih 2,8 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan yang berjumlah 237 juta lebih jiwa. 19 Menguatnya politik identitas etnis tionghoa tidak lepas dari bergesernya orientasi politik mereka yang memang selalu mengalami perubahan pada setiap periode pemerintahan di Indonesia. Posisi yang menguntungkan secara ekonomi memberikan ruang yang besar bagi elit Tionghoa untuk memberikan pengaruh pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terlebih pada masa reformasi ini dimana politik kepentingan lebih menonjol dan pentas politik membutuhkan subsidi dan suntikan dana yang besar baik pada level nasional maupun pada level lokal daerah. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, orientasi politik etnis Tionghoa tentang politik Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan saat Soeharto masih berkuasa, orientasi kognitif yang meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik yang dimiliki oleh etnis Tionghoa memberikan motivasi bagi menguatnya visi dan misi politik yang mereka miliki baik secara individual maupun secara kolektif disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang berkembang, Hal ini memberikan dorongan kuat agar akses menuju politik praktis lebih terbuka, karena itu gencar dilakukan pendidikan politik oleh organisasiorganisasi tertentu sebagai upaya meningkatkan aspek pengetahuan etnis Tionghoa tentang politik dan mengenai jalannya sistem politik. Karena itu menjadi menarik untuk ditelaah lebih dalam bagaimana orientasi politik tersebut bergeser dan apa kaitannya dengan penguatan politik yang kentara sekali dialami oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Apakah implementasi dari orientasi tersebut sesuai dengan cita cita berbangsa yang diyakini sebagai dasar kehidupan berbangsa bagi rakyat Indonesia. Penguatan politik etnis yang muncul tidak lepas dari kontribusi besar nilai nilai multikulturalisme yang menjadi dasar dari kehidupan berdemokrasi. Akulturasi yang terjadi antara etnis tionghoa dan etnis pribumi di Indonesia tidak terjadi tanpa perjuangan yang panjang. setelah lebih dahulu diwarnai pertikaian dan konfilk etnis yang berkepanjangan juga implikasi yang dimunculkan karena kabijakan-kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung memperkuat konflik di tengah masyarakat yang kerapkali berujung terjadinya kekerasan. Namun demikian, walau sudah mengusung jargon demokrasi dan mengumandangkan nilai nilai multikulturalisme, budaya politik eatnis yang terbangun di tengah bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja hilang dan berasimilasi atau membaur secara cair. Beberapa persoalan etnis masih muncul karena bekas yang ditinggalkan dari konflik panjang Tionghoa VS pribumi yang justru belakangan mengkristal, karena secara kasat mata, penguatan politik etnis Tionghoa memberikan subsidi yang sangat besar bagi makin membesarnya penguasaan ekonomi yang sebelumnya sudah erat dipegang oleh kalangan etnis Tionghoa. Hingga bisa dikatakan bahwa penguatan politik yang terjdi pasca Orde Baru justru memberikan ancaman bagi akar multikulturalisme yang sudah dibangun dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Persoalan lain yang muncul dari fenomena menguatnya politik etnis Tionghoa di Indonesia ini adalah makin berkembangnya kecemburuan diantara masyarakat pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa yang semakin menunjukkan penguasaannya dalam kehidupan sosial politik, sementara nilai-nilai nasionalisme kebangsaan diantara mereka masih diragukan. Berpartisipasi saja dalam ruang politik dan ruang sosial belum cukup dianggap C. Pembatasan Masalah Untuk menghindari terjadinya pelebaran fokus dari pembahasan dan analisis materi dan data, maka penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup pokok masalah tentang penguatan politik masyarakat Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru yang berkaitan dengan orientasi politik yang pada saat ini dimiliki sebagai landasan visi masyarakat Tionghoa dalam berperan aktif dalam dinamika politik praktis di Indonesia. Orientasi yang dimiliki akan dikaitkan dengan nilai – nilai multikulturalisme yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural dan memiliki aneka ragam faham dan keyakinan baik yang berbasiskan agama, etnis, kesukuan maupun orientasi politik. D. Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas, muncul beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Setelah Orde Baru? 2. Bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas etnis Tionghoa dan perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca Orde Baru? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan yang berkaitan langsung dengan bagaimana partisipasi politik yang ditunjukkan oleh masyarakat etnis tionghoa di Indonesia yang secara spesifik dapat diuraikan: a. Untuk mengetahui bagaimana perubahan dan pergeseran orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru b. Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas etnis Tionghoa danperkembanganb multikulturalisme di Indonesia Pasca Orde Baru. F. Manfaat Penelitian Secara akademis, penelitian ini bermanfat untuk memperkaya kajian atau riset mengenai masalah-masalah politik identitas khususnya yang berkaitan dengan eksistensi politik satu etnis tertentu ditengah budaya multikulturalisme dan kemajemukan bangsa Indonesia. Studi tentang etnis Tionghoa yang sedang banyak dilakukan belakangan ini diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan teoriteori sosial politik terutama yang berkaitan dengan kajian tentang orientasi politik, multikulturalisme dan resolusi konflik lokal. Secara praktis, penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pihak pihak terkait terutama pembuat kebijakan untuk bisa lebih memperhatikan fenomena sosial terkini ditengah masyarakat, agar konflik SARA yang kerap kali terjadi tengah masyarakat yang melebar pada aksi kekerasan akibat kesenjangan yang muncul dan makin tajam diantara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa yang memang memiliki status sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat sebagai pemilik modal dn penguasa ekonomi. G. Sistimatika Pembahasan Pembahasan dalam laporan penelitian ini dibagi menjadi beberapa identifikasi yaitu: Bab I: Pendahuluan sebagai bab pembuka komponen yang terdiri dari beberapa yaitu: Latar belakang Masalah, Identifikasi masalah, pembahasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat peanelitian serta sistimatika bagaimana peaanelitian ini dilaporkan Bab II: Kajian Teori yang dibagi menjadi sub bab tentang kajian teori dan sub bab mengenai literatur review. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori politik identitas, teori kewarganegaraan , teoari nasionalisme yang berkaitan langsung dengan multikulturalisme dan teori modal sosial sebagai teori pendukung untuk memperkuat data penelitian yang berhasil dikumpulkan Bab III: Pada bab ini akan dibahas metodologi penelitian, yaitu yang berkaitan langsung dengan tempat dan waktu penelitian, setting lokasi penelitian yang akan menggambarkan sejarah Tionghoa di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai masa Orde Baru dengan uraian Etnis Tionghoa masa Pra Kemerdekaan Etnis Tionghoa Masa Orde Lama Etnis Tionghoa Masa Orde Baru (Penguasaan Ekonomi dan Bisnis dan Asimilasi dan Diskriminasi Politik yang dialami), bab ini juga akan secara spesifik menjelaskan bagaimana metodologi penelitian yang digunakan berkaitan dengan teknik pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan teknik analisa data. Bab IV: adalah bab yang membahas hasil penelitian yang dibagi kedalam beberapa sub bab yang akan menjelaskan hasil penelitian sesuai dengan data yang berhasil dikumpulkan, diawali dengan gambaran tentang bagaimana etnis Tionghoa mulai menunjukkan eksistensinya secara politik di Indonesia setelah kekuasaan Orde Baru berakhir. Pembahasan akan dimulai dengan menelusuri sejarah secara singkat bagaimana posisi etnis Tionghoa dalam politik praktis di Indonesia mulai pada masa Pra Kemerdekaan yang dilanjutkan oleh periode Orde Lama, lalu bagaimana posisi mereka pada masa Orde Baru dan apa kelanjutan dari reposisi yang dilakukan oleh masa Reformasi terhadap etnis Tionghoa setelah mengalami banyak tekanan pada periode-periode sebelumnya. Selanjutnya akan dibahas bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru dilakukan dengan berbagai cara dan menggunakan beberapa pola melihat akses dan peluang yang dimiliki untuk bisa berperan aktif dalam dunia politik praktis di Indonesia, beberapa faktor yang dianalisis dalam hal ini adalah; faktor Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial Pergeseran Orientasi Politik dan faktor Multikulturalisme Sebagai motivasi dan Penguatan Civil Society berbasis etnis Tionghoa yng tumbuh subur sejak tahun 1998. Bab V: Kesimpulan dan rekomendasi penelitian yang memuat jawaban dasar dari pertanyaan penelitian dan bagaimana implikasi dari penelitian ini dalam pengembangan dunia akademik berkaitan dengan teori dan analisis data dan akan disajikan beberapa rekomendasi yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan penelitian sejenis selanjutnya. BAB II KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW A. Kajian Teori 1. Politik Identitas Ada beberapa pemahaman yang muncul mengenai pemahaman tentang politik identitas sebagai sebuah teori dalam ilmu politik. Memaknai politik identitas harus dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, yang oleh Suparlan disebut juga sebagai jati diri. Masih menurut Suparlan, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dilekatkannya rangkaian ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang menandainya masuk dalam satu kelompok atau golongan tertentu. 20 Sementara Buchari dengan mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas secara umum dapat dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut. 21 Secara tegas, Cressida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of Philosophymendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota- anggota dari kelompokkelompok sosial tertentu. 22Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan atas pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Politik identitas seakan20 Parsudi Suparlan, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004, hal. 25. Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014, hal, 27 22 Cressida Heyes, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007, diaksesdari Plato.Stanford.edu/entries/identity politics. 21 akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensial tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut yang melekat kepada seseorang secara kultural, 23 masyarakat Tionghoa di Indonesia secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain lain, identifikasi tersebut tidak hanya diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh komunitas mereka sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan budaya nenek moyang. Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu 24 (disebut pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: “Identities can also be originated from dominant institutions, they become identities only when and if social actors internalize them and construct their meaning around this 25 internalization” Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada mereka. 23 24 Ibid., hal. 6 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1994, hal. 26 25 Manuel Castells, The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural, Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003 hal. 7 Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu: a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada seseorang atau kelompok. b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas. c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara keseluruhan. 26 Merujuk pada beberapa pemahaman diatas, politik identitas berakar pada streotif yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti konsep polity Aristoteles, Primordialisme berarti “berperang ke luar dan konsolidasi ke dalam”.Karena itu, politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun yang dialektik. Politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan antara superioritas dan inferioritas, antara mayoritas dan minoritas. Dalam wacana pluralisme, ketika demokratisasi digulirkan dan mendapatkan dukungan kuat dari konsep multikulturalisme, politik identitas seolah menemukan kekuatannya, dimana 26 Ibid., , hal.8. keberadaan minoritas berubah dari didiamkan menjadi dipertanyakan sekaligus diperjuangkan baik dengan melakukan asimilasi maupun akulturasi yang bersifat sistemik. Perjuangan politik identitas akan menemukan muaranya saat streotif yang dilekatkan dapat disejajarkan dengan eksistensi kelompok dengan identitas lain dan mendapatkan hak-hak yang sama dalam lingkup sosial, budaya dan politik, hal tersebut bisa dilakukan dalam kultur demokrasi. Dari beberapa pemahaman diatas, politik identitas dapat dipahami sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggotaanggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Penelitian ini akan melihat bagaimana politik identitas yang dialami oleh masyarakat Tionghoa memberikan asupan energi bagi menguatnya orientasi politik setelah Orde Baru. Konstruksi identitas seperti yang dikatakan oleh Castells secara langsung memposisikan masyarakat Tionghoa sebagai komunitas yang eksklusif dan memiliki ruang sosial yang lebih luas dibandingkan dengan masyarakat pribumi, hal ini terjadi karena penguasaan mereka atas sektor ekonomi menjadi modal yang kuat bagi agenda-agenda politik yang dimiliki setelah reformasi 1998. Walau kerap kali menjadi sasaran kerusuhan dan konflik sosial, masyarakat Tionghoa selalu mampu merehabilitasi posisi mereka di tengah masyarakat. 2. Multikulturalisme Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang ditunjukkan dengan tatanan hidup saling berdampingan namun tetap membaur dalam sebuah unit politik.27 Seperti dicontohkan bagaimana harmonisasi yang terjadi antara masyarakat Cina, India, dan Melayu yang dekat secara geografis namun memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya namun 27 446. J.S Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New York, 1944, hal. mampu bersinergi sebagai kekuatan etnoreligius tanpa menghilangkan identitas kultural masing-masing. Clifford Geertz berkomentar bahwa kemerdekaan nasional merangsang sentimen-sentimen etno religious di negara-negara baru karena termotivasi oleh visi dan misi tentang kemerdekaan yang memperebutkan kontrol atas negara. 28 Karena itu dibutuhkan kekuatan yang lebih besar dari sekedar kekuatan negara yaitu kekuatan masyarakat secara lebih kondusif yang dibangun diatas nilai nilai pluralisme dan multikulturalisme. Masyarakat menjadi ujung tombak dari kontrol yang harus dilakukan terhadap berkembangnya konflik diantara kekuatan-kekuatan kelompok baik yang berbasis etnis maupun agama, karena seiring berkembangnya kapitalisme modern, struktur sosial secara langsung telah membuat kotak-kotak budaya yang ada didukung oleh ekonomi pasar yang seharusnya mampu memperkuat cita-cita demokratis keselarasan sipil dan kewarganegaraan. Hal tersebut penting untuk dilakukan untuk memperkuat pembentukkan nation building dengan menggunakan kotak-kotak budaya yang sudah ada atau dengan pembentukkan faksi-faksi baru yang akan muncul seiring dengan berkembangnya kesadaran sosial dan politik masyarakat. 29 Secara sederhana, multikulturalisme dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang. 30 Cashmore menjelaskan dalam kaitannya dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2) untuk menstrukturkan hubungan 28 Clifford Geertz, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States, Basic, New York, 1973, hal. 270. 29 Robert W. Hefner, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press, Princenton, 2007, hal. 22. 30 D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart Ltd. 1999, hal. 429 antara negara dan minoritas etnik. 31 Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bagsa adalah komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. 32 3. Nasionalisme Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. James G Kellas memaknai nasionalisme sebagai: “Nasionalism is both an ideology and a form of behaviour. The ideology of nationalism builds on peoples awareness of nation (national self-consciousness) to give a set of attitudes and programme of action, they may be cultural, economic or political. Since ‘nation’ can be defined in ethnic, social, or official sense, so nationalism can take these form also” 33 (Nasionalisme merupakan sebuah ideologi dan bentuk perilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukkan dengan sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi atau politik). 31 E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996, hal. 244) 32 Will Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995, hal. 11 James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998, hal. 4 33 Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu memberi seperangkat sikap bangsa serta dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Anthony D. Smith mengemukakan nasionalisme sebagai “sebuah ideologi, nasionalisme memiliki sasaran untuk mencapai pemerintahan yang kolektif, penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga kerapkali mempunyai program politik dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.” 34 Pemahaman tersebut berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu dicapainya otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam sebuah pemahaman mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial. 35 Komponen utama pembahasan mengenai nasionalisme adalah konsep mengenai bangsa dan kelompok etnis yang menjadi subyek sekaligus obyek dari nasionalisme itu sendiri. Pemahaman mengenai bangsa (nation), seperti yang dikemukakan M.D La Ode dengan mengutip Hans Kohn bahwa: “Nationalism astate of mind, in wich supreme loyality of the individual is felt to be due the nation-satate. A deep attachment to one’s native soil, to local traditions and to established territorial authority has existed in varying strenght throughthout history 36(Nasionalisme merupakan bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang dirasakan oleh seorang individu atas sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah perasaan yang mendalam terhadap tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi lokal dan otoritas teritorial yang didirikan dan sepanjang sejarah) 34 Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003, hal.26 35 Ibid., hal. 11 36 M D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hal.54-55 Nasionalisme dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai kelompok etnis atau etnosentris (kesukuan) dipandang sebanding dengan pemaknaan tentang nation atau bangsa. Bedanya adalah bahwa kelompok etnis nyaris dimaknai sama dengan makna nation atau bangsa, sedangkan etnosentrisme lebih berakar dalam perspektif psikologi sosial dari pada makna nasionalisme yang lebih berakar pada dimensi psikologis, namun demikian kelompok lebih memiliki dimensi ideologis dan politis. James G. Kelles melihat korelasi makna nasionalisme dalam konteks kelompok etnis sebagai: “the term ‘ethnic group’ is frequently used to describe a quasi-national kind of ‘minority group’ within the state, wich has somehow not achived the status of nation” 37(Istilah 'kelompok etnis' sering digunakan untuk menggambarkan jenis kuasi-nasional 'kelompok minoritas dalam negara, yang tidak mencapai status negara). Lebih lanjut Kellas mengatakan bahwa etnisitas bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah namun merupakan sebuh kontruksi yang dibuat oleh negara. 38 Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengklaim dan menuntut loyalitas dari setiap individu untuk bangsa dan kepentingan nasional sedangkan politik etnis lebih melihat pada komitmen kelompok dan etnis tertentu, Kellas mencoba mengintegrasikan makna politik nasionalisme dan etnisitas sebagai sebuah kesatuan yang bisa digunakan untuk melihat sebuah tatanan politik dari sebuah bangsa. Dalam perkembangannya, nasionalisme ditentukan oleh interaksi politik, ekonomi dan perkembangan budaya. Lebih lanjut Kellas mengemukakan bahwa ada dua aspek yang saling berkaitan mengenai nasionalisme politik, yaitu: pentingnya identitas nasional dan adanya keinginan untuk memperbaiki sistem sosial dan politik dari dominasi seseorang atau kelompok tertentu. 39 Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan 37 James G. Kellas , The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998, hal. 5 38 Ibid., hal. 65 39 Ibid., hal 8 semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. La Ode melanjutkan bahwa dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia (disebut sebagai etnis Cina), nasionalisme dibagun berdasarkan dua nilai substansi fundamental dari makna nasionalisme itu sendiri yaitu nasionalisme kultural dan nasionalisme politik, dimana nasionalisme kultural menjadi manifestasi nilai kultural etnis Tionghoa sebagai asal leluhurnya dan nasionalisme politik merupakan manifestasi nasionalisme sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan uniknya dua substansi fundamental nasionalisme tersebut bisa digunakan secara simultan dan menjadi nilai secara konsisten didalam diri individu atau bisa juga digunakan bergantian tergantung dari kondisi dan perkembangan politik nasional. 40 4. Modal Sosial Fenomena perubahan sosial dan politik memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya varian varian analisis sosial politik yang saling berkaitan, tidak hanya pada lingkup kajian keilmuan tertentu secara eksklusif, tetapi juga melihat pola hubungan antara kepentingan satu keilmuan dengan bidang ilmu yang lainnya. Pada awalnya, pembahasan mengenai konsep modal sosial hanya digunakan dalam ranah ilmu ekonomi yang dimaknai sebagai “sejumlah uang yang diakumulasi yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang menguntungkan dimasa yang akan datang” 41 baru sekitar tahun 1960-an, masih dengan menggunakan perspektif ekonomi, konsep modal sosial berkembang dengan menggunakan manusia dan kapasitasnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keterampilan sebagai alat pelengkap yang bisa mengukur produktivitas dari investasi modal fisik seperti alat produksi. 40 Ibid.,hal 57 Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19 41 Selanjutnya pada kurun waktu 1980-an berkembang diskursus tentang modal sosial dengan cakupan analisis yang lebih luas lagi dengan mengaitkannya pada konsep ilmu sosial yang diperdebatkan pengaruh dari tulisan tulisan Pierre Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam. 42 Modal sosial selalu membicarakan kualitas hubungan antar manusia, terutama dalam melihat pesatnya perkembangan hubungan asasiasional, Alexis de Tocqueville melihat bagaimana relasi sosial asasiasional yang dibangun memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi dan memberikan dukungan bagi kekuatan ekonomi di Amerika. 43 Yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi aset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kohesi atau kerekatan sosial karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama lain untuk saling memberikan manfaat. 44 Dengan mengutip Putnam (1993), Jhon field mendefinisikan modal sosial sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”. 45 Norman Uphoff mengaitkan definisi modal sosial dengan konsep aset yang dimaknai sebagai: “Segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif dimasa mendatang lebih efesien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah, sedangkan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama.” 46 Lebih jauh Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah difahami dengan membaginya menjadi 2 kategori yaitu; struktural dan kognitif. 42 Ibid., hal.20 Ibid., hal. 8 44 Ibid., hal. 18 45 Ibid., hal. 6 46 Norman Uphoff, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000 43 “Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.” 47 Dua kategori diatas tidak bisa dianalisis secara terpisah, karena keduanya saling berkaitan dan menjadi faktor subjektif yang bisa menjelaskan fenomena sosial, struktural ataupun kognitif menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu maupun masyarakat walaupun bentuk dari keduanya berbeda. Yaitu kategori struktural lebih bersifat eksternal dan kategori kognitif bersifat internal, sinergi kedua kategori tersebut akan mampu menunjukkan bagaimana modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma dapat membangun dan membentuk struktur sosial. Tabel 2. Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik Kategori Struktural(hubungandan Vertikal (pemerintah dan rakyat) • DPRD Horizontal (antarwarga) • Paguyuban organisasi) • Forumwarga • Asosiasi • Rakorbang • Organisasi lokal • Jaringan sosial Kognitif(norma dan nilai) 47 Ibid. • Kepercayaan • Solidaritas • Akuntabilitas • Toleransi • Kemitraan • Kepercayaan • Partisipasi • Kerjasama • Responsivitas Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari beberapa sumber: Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000),Serageldin dan Grootaert (1997) Dalam perspektif perilaku politik dan kaitannya dengan demokratisasi, modal sosial menitikberatkan pada fungsi-fungsi jaringan yang menjadi bentukan dari modal sosial yang oleh Putnam disebut sebagai civic community, jaringan tersebut harus mampu bekerja efektif baik secara vertikal maupun horizontal agar bisa membentuk civic engagement atau solidaritas sosial dan partisipasi massal yang berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen wargayang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas. B. Literature Review Ada beberapa penelitian tentang Politik Etnis Tionghoa di Indonesia yang sudah dilakukan, baik itu ditulis didalam jurnal ilmiah maupun hasil penelitian yang sudah dicetak menjadi buku, diantaranya: Pertama; penelitian disertasi yang dilakukan oleh M.D. LA Ode Yang secara spesifik mencoba menggali penjelasan kenapa kelompok etnis Cina Indonesia pada masa reformasi mau terlibat dalam politk sebagai pengurus partai politik, anggota legislatif, dan kepala daerah, lalu bagaimana dampak politis yang dimunculkan dari keterlibatan politik etnis Cina tersebut dan bagaimana respons dari kelompok etnis lain (Melayu dan Dayak) atas keterlibatan politik etnis Cina dengan menggunakan kasus antara tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat. 48 48 Penelitian Disertasi dengan judul Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Teori utama yang digunakan oleh La Ode untuk menganalisa data penelitiannya adalah teori kelompok etnis yang dibagi lagi menjadi beberapa sub teori yaitu teori kelompok etnis, teori politik identitas, dan teori multikulturalisme. Teori kelompok etnis yang digunakan oleh La Ode adalah yang dikemukakan oleh Handelman yang mengatakan adanya empat tingkat perkembangan yang dilakonkan dalam komunitas budaya manusia yaitu jenis etnis, jaringan etnis, asosiasi etnis, komunitas/masyarakat etnis yang menggambarkan jenis organisasi yang sesuai dengan bentuk yang berbeda dari integrasi etnis. La Ode juga menggunakan teori multikulturalisme yang dikemukakan oleh Will Kymlicka yang mengatakan bahwa teori multikulturalisme mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda, teori ini mengajukan tiga argumen tentang hak minoritas, yaitu: argumen kesetaraan, argumen perjanjian yang ada dalam sejarah, dan argumen nilai dari keragaman budaya. Politik multikulturalisme dianggap sebagai politik tentang hak minoritas dalam bentuk pengakuan dan pluralisme budaya yang menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya dan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas dari pemeliharaan kekayaan budaya. Teori lain yang digunakan oleh La Ode adalah Teori tentang Integrasi dari Myron Weiner yang mengatakan bahwa integrasi dapat mengacu pada pertemuan dua budaya dan sosial kelompok yang terpisah dalam sebuah unit teritorial tunggal dan pembentukkan sebuah identitas nasional. Pemahaman integrasi Weiner menurut La Ode di kuatkan dengan dua pola asimilasi dan pola komitmen dari Milton M. Gordon yang meneliti tentang kecendrungan ideologis yang sentral dan mendukung terjadinya asimilasi di Amerika. La Ode mencoba menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan hasil asimilasi campuran biologis antara warga keturunan Cina dengan kelompok etnis Dayak atau Melayu. La Ode jugamenggunakan pemahaman integrasi Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011. politik dari Jamaes J. Coleman dan Carl G. Rosberg yang mengatakan bahwa integrasi politik sebagai suatu bagian dari integrasi nasional yang memiliki dua dimensi, yaitu yang vertikal (elite-massa) dan dimensi horizontal (territorial). Dari penelitian tersebut La Ode berhasil mengungkap bagaimana corak dan karakteristik rezim Orde Baru yang otoriter dan anti komunis memberikan pengaruh yang sangat besar pada eksistensi serta peran kelompok Etnis Cina Indonesia di Kalimantan Barat dalam kehidupan sosial dan budaya. Orde Baru telah menutup peluang partisipasi politik bagi kelompok etnis Tionghoa, kebebasan mengembangkan kehidupan sosial dan budaya juga dibatasi, ruang-ruang publik yang bersifat politis seperti birokrasi juga tidak dapat dimasuki oleh kelompok ini, hingga secara tidak langsung perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintahan Orde baru membuat kelompok etnis Tionghoa berkembang secara eksklusif pada wilayah ekonomi dan perdagangan. Menurut La Ode, Orde Reformasi sebagai pengganti Orde Baru telah memberi ruang publik bagi keterlibatan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dalam bidang politik, dimulai pada pemilu 1999 dimana banyak dari kelompok etnis Tionghoa yang menjadi anggota partai politik dan mencoba menjadi calon anggota legislatif, jumlahnya bertambah pada pemilu tahun 2004 dan makin berkembang pada pemilu tahun 2009. Hal ini menurut La Ode telah membangkitkan kepercayaan diri etnis Tionghoa untuk bisa membaur lebih erat dengan masyarakat lokal (Melayu dan Dayak), hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada perubahan peta politik lokal di Kalimantan Barat, terutama di Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Namun demikian fenomena yang tejadi tersebut memunculkan beberapa persoalan baru yang berpotensi menjadi konflik lokal antar etnis, diantaranya adalah tumbuhnya kecurigaan bahwa etnis Tionghoa akan lebih leluasa menguasai sektor ekonomi yang selama ini mereka dominasi dan akan merambah pada penguasaan sektor lain, muncul juga kecurigaan bahwa kelompok etnis Tionghoa akan memerankan sikap dual nation state loyalities dan sikap dual nation state ideology antara NKRI dan RRC. Penelitian ini memiliki perbedaan dalam beberapa aspek dari penelitian yang dilakukan oleh La Ode, seperti yang dipaparkan diatas. Obyek penelitian La Ode yang mencoba melihat etnis Tionghoa di kota Singkawang dan Pontianak dan memposisikannya secara berhadapan dengan etnis Melayu dan Dayak sebagai 2 etnis lokal yang lebih dominan dalam hal yang berkaitan dengan penguasaan wilayah, budaya, kepercayaan dan pemahaman nasionalisme yang dianggap lebih baik dari etnis Tionghoa. Sementara penelitian ini akan menyorot lebih dalam orientasi politik yang ditekankan pada pemahaman mengenai kaidah-kaidah dasar berbangsa bagi seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali dari etnis manapun yaitu dalam wujud pemahaman mengenai empat pilar berbangsa sebagai pembentukkan karakter dasar bangsa Indonesia. Dengan mempertimbangkan tingkat kemajemukan etnis yang terjadi di Indonesia, penelitian ini tidak akan menghadapkan secara antagonis etnis Tionghoa dengan etnis lain seperti Jawa, sunda, melayu atau yang lain yang memiliki kuantitas cukup besar. Penelitian ini mengidentifikasi semua hal yang berkaitan dengan perubahan politik yang terjadi baik itu pengaruh yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pengaruh yang bersifat internal akan menggunakan variabel identitas politik, modal sosial dan jaringan serta sikap nasionalisme yang dimiliki oleh kelompok etnis Tionghoa, sedangkan faktor eksternal akan menggunakan variabel pengaruh negara sebagai kekuatan politik yang bersifat struktural dan institusional dalam hal manguatnya orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua; penelitian yang dilakukan oleh Ignatius Wibowo dengan judul Exit, Voice, and Loyality: Indonesian Chinese After The Fall of Soeharto yang dimuat dalam jurnal Sojurn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.16, no. 1(April 2001) hal. 125-146 diterbitkan oleh ISEAS. Penelitian ini dilakukan dengan melihat fenomena respons masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia saat terjadinya gerakan sosial politik yang dikenal dengan gerakan reformasi di Indonesia pada tahu 1998. Dalam penelitian ini, Wibowo menggunakan teori tentang respon anggota sebuah komunitas menghadapi perubahan dalam organisasi dari Albert O. Hirschman (1970). Dikatakan bahwa ada 3 respons yang mungkin akan muncul dari anggota organsasi dalam konteks ini adalah sebuah negara bila mengalami kemerosotan: 3 respon itu pertama: “exit” atau keluar dari organisasi, yang bagi Hirschman merupakan respon paling normal. Respons kedua yang mungkin muncul adalah opt to voice yaitu memilih untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka secara langsung atas apa yang terjadi kepada pihak pengelola organisasi atau pihak yang dianggap memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan, aksi protes ini bisa dalam bentuk membuat petisi, menulis surat, membuat banner dan pamflet, demonstrasi, dan bentuk lain. Tujuan utama dari dilakukannya aksi tersebut adalah agar situasi cepat dirubah. Respons ketiga yang akan muncul adalah “loyality” atau munculnya loyalitas. Bagi Hirschman, respons ini adalah unik karena menjadi tampak kurang rasional. Wibowo menggunakan teori tersebut untuk melihat bagaimana respons yang dimunculkan oleh etnis china di Indonesia saat terjadi krisis politik lengsernya Soeharto pada tahun 1998. Wibowo menemukan fakta dalam penelitiannya bahwa etnis Tionghoa (Wibowo menggunakan istilah etnis Cina) memunculkan 3 respons seperti tersebut diatas ketika kasus 1998 terjadi. Respons pertama yaitu ada kelompok etnis Tionghboa yang exit atau keluar dari Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan dipenuhinya bandara International oleh para ekspatriat yang ingin keluar dari ibukota untuk menghindari kerusuhan yang terjadi. Kebanyakan orang Tionghoa yang memiliki tingkat ekonomi tinggi bergegas menuju beberapa negara lain tempat komunitas etnis tionghoa banyak ditemui seperti Singapura, Hongkong, Perth, dan beberapa negara lain yang dianggap lebih aman. Namun demikian, Wibowo menemukan data bahwa jumlah orang Tionghoa yang memutuskan keluar dari Indonesia dengan membawa modal kapital dan harta kekayaan yg mereka miliki tidak lebih banyak jumlahnya dari yang memutuskan untuk tetap tinggal lalu memilih menyalurkan aspirasinya dalam konteks opt to voice seperti yang digambarkan Hirschman dalam teorinya. Langkah untuk melakukan protes tidak dilakukan dengan demonstrasi di jalan, mereka melakukan konsolidasi dengan kalangan elit Tionghoa Indonesia dan para intelektual Tionghoa yang memiliki akses dengan tokoh tokoh politik nasional. Konsolidasi dilakukan dengan melakukan dialog, membuka forum diskusi, seminar, forum debat dan lain lain yang bersifat persuasif. Lebih lanjut Wibowo menemukan fakta dalam penelitiannya bagaimana langkah selanjutnya yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di Indonesia saat itu setelah berhasil membangun komunikasi interaktif dengan para intelektual dan cendekiawan di Indonesia mereka menunjukkan loyalitas kebangsaan mereka dengan ikut berpartisipasi secara terbuka dalam kompetisi politik seperti pemilihan umum dan kegiatan politik lain baik yang bersifat lokal maupun nasional, selain mendirikan partai politik berbasis orang tionghoa, mereka juga masuk dalam partai politik yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik komunitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Bila Wibowo mengkaji secara komprehensif respon apa saja yang muncul dikalangan etnis Tionghoa pasca terjadinya reformasi 1998 dengan melihat secara umum apa yang mereka lakukan, penelitian ini bermaksud menelaah lebih tajam dan spesifik respons kedua dan ketiga ( opt to voice dan loyality) yang ditunjukkan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia setelah terjadi gerakan reformasi 1998. Dua respons tersebut menjadi penting untuk dikaji lebih dalam karena bisa dijadikan sebagai cara untuk menganalisis bagaimana terjadinya perubahan yang menunjukkan menguatnya orientasi politik yang dilakukan oleh kalangan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Upaya dialog dan usaha untuk menunjukkan loyalitas yang tinggi terhadap Indonesia menjadi motivasi bagi kalangan etnis Tionghoa untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia baik dengan berintegrasi langsung dengan partai-partai politik nasional maupun menguatkan eksistensi mereka dengan mendirikan ormas-ormas berbasis Tionghoa. Ketiga; penelitian disertasi yang dilakukan oleh Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si dari Program Doktor Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Politik dari Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung yang sudah dicetak menjadi buku dengan judul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Pokok kajian penelitian ini adalah bagaimana peneliti mampu meanemukan faktor-faktor penyebab munculnya politik identitas etnis dayak dalam masyarakat multikultur di Kalimantan barat melalui proses demokrasi dalam Pilkada Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2007. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan beberapa konsep dan teori tentang politik identitas, multikulturalisme, Demokratisasi dan Desentralisasi, Buchari menelaah secara dalam bagaimana diskriminasi, marjinalisasi dan politik identitas yang dialami oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dalam kurun waktu yang amat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat, hal ini disebabkan karena adanya common cause, common goal, dan common interest hingga menguatkan karakteristik etnis secara lebih eksklusif. Reformasi yang terjadi di tahun 1998 memberikan motivasi tersendiri bagi masyarakat Dayak untuk bangkit menguatkan identitas politik mereka, dengan solidaritas yang tinggi yang oleh Buchari disebut sebagai kesadaran atau semangat kolektif etnis Dayak dan dukungan yang kuat dari upaya demokratisasi dan desentralisasi pada pilkada gubernur Kalimantan Barat pada tahun 2007, komunitas Etnis Dayak bisa membuktikan bahwa mereka merupakan komunitas politik yang solid ditunjukkan dengan terpilihnya gubernur Kalimantan Barat untuk periode tahun 2008 - 2013 Drs. Cornelis, MH dan Drs. Cristiandy Sanjaya MM. Selain memiliki obyek penelitian dan setting lokasi penelitian yang berbeda, penelitian ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Buchari. Dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan penelitian Buchari, seperti di jelaskan diatas, bahwa Buchari menggunakan fenomena kebangkitan kekuatan politik etnis Dayak di Kalimantan Barat dengan melihat bagaimana konstalasi politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Kalimantan Barat pada tahun 2007, penelitian ini ingin mengkaji secara dalam bagaimana menguatnya politik identitas dari kelompok etnis Tionghoa di Indonesia dengan menganalisa indikator-indikator perubahan orientasi politik etnis Tionghoa pada masa Orde Baru dan perubahannya pasca Orde Baru. III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan secara global melihat berubahnya prilaku politik etnis Tionghoa dn menguatnya orientasi politik mereka di Indonesia. Penelitian mengamati dan menganalisis kecendrungan yang muncul dalam skala nasional dengan melihat juga fenomena yang terjadi secara umum di beberapa daerah yang menjadi kantong kantong kekuatan komunitas Tionghoa di Indonesia seperti di Jakarta, Singkawang, dan Medan Waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian mengikuti arahan dan petunjuk yang diberikan oleh pihak yang dikoordinir oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan secara intensif dan konsisten di Indonesia tepatnya di Jakarta dan sekitarnya dalam kurun waktu sekitar 6 bulan antara bulan April – Oktober 2016: Tabel 3 Jadwal Penelitian No Uraian 1 Penyusunan proposal 2. Pencarian data / wawancara Mei Juni Juli Agst √ √ √ Sep Okt √ √ √ narasumber 3. Penulisan hasil penelitian 4. Pelaporan Hasil Penelitian B. Metode Penelitian √ Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana penelitian akan dilakukan dengan meneliti kondisi obyek yang alamiah. Dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Menurut Moleong seperti dikutip Haris Herdiansyah, mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah, yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks social secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. 49Secara lebih detil Creswell menjelaskan “Qualitaive research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The Mresearcher builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of information, and conducts the study in a natural setting”. 50 Dengan mengutip Creswell, Eriyanto menemukakan beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu; pertama, peneliti kualitatif lebih memperhatikan proses bagaimana penelitian dilakukan daripada hasil penelitian itu sendiri. Kedua, peneliti kualitatif lebih memperhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan melakukan analisis data dimana peneliti harus turun langsung ke lapangan penelitian. Keempat, peneliti kualitatif harus mampu menggambarkan bahwa peneliti terlibat langsung dalam penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman hasil penelitian baik dengan menggunakan kata-kata naratif atau gambar. 51 C. Teknik Pengumpulan Data 49 HarisHerdiansyah, MetodologiPenelitianKualitatifUntukIlmu-IlmuSosial, Jakarta: SalembaHumanika, 2010, h. 9 50 Ibid., h. 8 51 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: Lkis, 2001, hal. 3 Pada awalnya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan dan pengumpulan data dengan melakukan wawancara, Focus Group Discussion, dan analisa dokumentasi. Namun pada proses pelaksanaan penelitian beberapa narasumber baik yang personal sebagai dihubungi untuk diwawancarai dan beberapa organisasi Tionghoa yang pada awalnya sudah memastikan bersedia diwawancarai dan menjadi peserta Forum Group Discussion membatalkan janji yang sebelumnya sudah disepakati. Hal ini disebabkan kondisi perpolitikan nasional terutama di DKI Jakarta dengan bergulirnya beberapa kasus yang berkaitan dengan Basuki Tjahaja Purnama dalam posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta dan pencalonannya sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada PILGUB 2017 dengan banyak pro kontra dan konflik yang muncul karena identitasnya sebagai bagian dari etnis Tionghoa. Beberapa hal tersebut menjadi dasar atas penolakan para calon narasumber untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan eksistensi politik masyarakat Tionghoa di Indonesia. Demi keberlangsungan proses penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dari buku buku, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini media cetak, dokumentasi organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi dan data untuk bisa dianalisis dalam penelitian ini. D. Prosedur Pengolahan data Data yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber berupa buku-buku teks, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini di media cetak, dokumentasi organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain dipisahkan dalam dua klasifikasi, yaitu kelompok data primer dan kelompok data sekunder. Yang masuk dalam kategori data primer yaitu data yang bersumber dari bukubuku teks, e-book, jurnal ilmiah dan hasil penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri dari data yang diperoleh dari artikel dan opini media cetak, dokumentasi organisasi, dan website. Klasifikasi data dilakukan berdasarkan kebutuhan informasi dari sub-sub bab yang sudah dibagi secara spesifik untuk bisa dianalisis dengan detil terutama pada bab II tentang teori dan bab IV yang disesuaikan dengan materi pokok yang menjadi tujuan penelitian. E. Teknik Analisa Data Analisis data dilakukan dengan melakukan tiga prosedur yang biasa dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang berakhir pada penarikan kesimpulan Setelah rangkaian data terkumpul, reduksi data dilakukan dengan melakukan pemilahan dan penyusunan klasifikasi data, klasifikasi dilakukan tergantung jenis data yang terkumpul dari catatan-catatan yang ada tentang obyek dan materi penelitian, selanjutnya data yang sudah dipilah akan dirangkum dan difokuskan pada persoalan yang akan dianalisis, data yang tidk terpakai akan disingkirkan agar tidak mempengaruhi data pokok yang akan diuraikan dalam analisis. Selanjutnya dilakukan penyajian data dengan melakukan penyunting data untuk membangun kinerja analisis data, penyajian data dilakukan juga adengan membuat tabel- tabel yang berkaitan dengan jenis data yang akan dianalisis. Selanjutnya dilakukan konfirmasi data yang merupakan verifikasi data dan pendalaman datauntuk selanjutnya dilakukan analisis data sesuai dengan konstruksi pembahasan hasil penelitian yang diinginkan agar berhasil ditarik kesimpulan yaang tepat dan mampu menjawab permasalahan peanelitian yang diajukan. Pada tahap ini, pengolahan data dianggap optimal apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap lengkap dan dapat merepresentasikan masalah yang dijadikan obyek penelitian. BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Etnis Tionghoa dalam Lintasan Sejarah di Indonesia 1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Bahkan, setelah Indonesia terbentuk, maka suku bangsa Cina (Tiongkok) yang berkewarganegaraan Indonesia, harus digolongkan secara otomatis sebagai warga Negara Indonesia yang setingkat dengan suku bangsa lainnya. Orang-orang Indoensia Tionghoa merupakan keturunan orang-orang tiongkok yang berhijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun. 52 Di Indonesia, sejarah kemunculan etnis Tionghoa merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Seiring berkembangnya Negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke8, para penghijrah Tiongkok pun mulai berdatangan. Orang-orang Tiongkok atau China di Indonesia dipanggil “Tionghoa”, sebuah istilah yang diciptakan sendiri oleh orang-orang yang berasal dari Tiongkok di Indonesia. Istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” lahir di Indonesia. Term “Tionghoa” adalah istilah bahasa Indonesia yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand. 53 Secara penggunaan bahasa, istilah Cina dirasa mengarah pada bentuk hinaan dan masyarakat nya sendiri lebih senang menggunakan istilah Tionghoa. Sebagai akar sejarah peran politik Tionghoa di Indonesia, Leo Suryadinata menyebutnya sebagai sejarah yang cukup panjang. Dalam buku “Dilema Minoritas”, sebagaimana yang dituliskan oleh Benny 52 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013, hal.50. 53 Ibid, G Setiono dalam buku Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, Leo menyebutkan bahwa terdapat pembagian peran warga Tionghoa ke dalam beberapa zaman politik. Zaman pegerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan terbagi menjadi dua tahapan penting: yaitu tahap pergerakan proto-nasionalis (1927-1942). Di mana saat itu, hadir konsep tentang Negara bangsa, lambang, bendera, dan lagu kebangsaan. Menurut Leo, pada masa itu, warga minoritas etnis Tionghoa sudah mulai tersisih dari pergerakan. Penandaan akan ini, adalah kehadiran organisasi pertama mereka dengan sebutan Tiong Hoa Hwee di tahun 1900, delapan tahun lebih awal dibanding organisasi Budi Oetomo di tahun 1908. 54 Berikutnya adalah tahap kedua, menurut Leo, tahap nasionalis sesungguhnya ditandai dengan munculnya Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang memberikan kesempatan bagi etnis Tionghoa peranakan untuk bergabung sebagai anggota. Namun, muncul pro dan kontra terkait kebijakan tersebut, terutama mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. 55 Sebagai masyarakat yang dipandang bukan bagian pribumi, etnis Tionghoa dianggap suka berkelompok dan menjauhkan diri dari pergaulan sosial serta tinggal di kawasan tersendiri. Stereotype terhadap orang Tionghoa bahkan hingga disebutkan bahwa mereka tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita. Dinyatakan bahwa setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh Belanda, orang Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan terhadap masyarakat Indonesia serta menghalangi orang pribumi yang ingin menjadi pengusaha. 56 Terkait sejarah pemusatan orang Tionghoa yang terbesar di pedesaan terjadi di Sumatera (terutama di sepanjang pantai timur dan di pulau-pulau Bangka dan Belitung) dan di Kalimantan Barat pemusatan itu sudah bertahan. Di Sumatera, beribu orang Tionghoa telah didatangkan untuk bekerja sebagai kuli di perkebunanperkebunan tembakau dan di tambang-tambang timah. Di Kalimantan Barat banyak 54 Ibid, hal.53 Ibid, hal.54 56 Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, PUSTAKA SINAR HARAPAN: Jakarta, 1994, hal. 26 55 orang Tionghoa bermigrasi secara spontan ke tambang emas lalu menetap sebagai petani. 57 Selama masa penjajahan orang Tionghoa dengan jelas sekali lebih unggul dibandingkan rakyat jelata Indonesia, baik dalam status hukum maupun dalam kekuatan ekonomi, dan hampir dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang Tionghoa ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar setempat sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia (khususnya dalam kasus Tionghoa peranakan), ini bukan berarti mereka telah terasimilasi ke dalam masyarakat pribumi. Skinner melihat bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang Tionghoa yang menyusut kembali leluhur mereka di Indonesia sampai sebanyak dua belas generasi”. Hal ini berbeda dengan Thailand, di mana kebanyakan orang Tionghoa telah bergabung dengan penduduk Thailand hingga empat generasi”. 58 Menurut Onghokham, salah satu sejarawan Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen, mereka beragam. Masyarakat Tionghoa di Jawa datang sebagai perorangan atau kelompok kecil, mereka tiba sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa telah menyatu dengan penduduk lokal sehingga tidak dapat lagi berbicara mandarin. Sedangkan di wilayah Kalimantan Barat, pulau Kalimantan dan pesisir timur Sumatera, masyarakat Tionghoa bermigrasi untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat Tionghoa di daerah ini masih mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku, mereka berasimilasi dengan masyarakat lokal. Selain daerah, mereka juga menganut agama yang berbeda, ada Kristen, Katolik, Buddha, Kong Hu Cu dan Islam. Asal muasal masyarakat Tionghoa pun jauh telah dimulai sebelum masa penjajahan Belanda. Namun persamaan 57 58 Ibid, hal.28. Ibid, hal.36-37. keduanya adalah datang ke Indonesia untuk berdagang. Bangsa Tionghoa adalah mitra Belanda dalam berdagang sejak pertama berdirinya VOC. 59 Namun, Justian Suhandinata dalam bukunya juga menyebutkan bahwa hubungan keduanya, bangsa Tionghoa dan Belanda tidak selamanya berjalan mulus. Kejadian pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa terjadi pertama kalinya di Batavia pada tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di Kota. Setelah kejadian tersebut, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras secara resmi. Dengan kebijakan pemisahan tersebut, ras Tionghoa di satu kota harus mempunyai surat izin jika melakukan perjalanan ke kota lain, di mana ras Tionghoa lainnya tinggal. Sistem yang terkenal dengan istilah ghetto ini baru dicabut pada tahun 1905. 60 Terkait peran etnis Tionghoa dalam perpolitikan, disebut dalam buku La Ode, bahwa ECI (Etnis Cina Indonesia) sudah ikut dalam politik Indonesia sejak masa pra kemerdekaan hingga sebelum tahun 1965 di masa orde baru. Pasca reformasi, barulah mereka terlibat kembali dalam ranah politik Indonesia. Menurut Leo Suryadinata, terdapat tiga aliran utama dalam dunia politik Tionghoa peranakan yang bekerja saling berdampingan. Ketiga aliran politik Tionghoa itu adalah kelompok Sin Po, Chung Hwa Hui (CHH), dan kelompok Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan pada tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok dan kaum peranakan lain di Surabaya, dengan disokong oleh Persatuan Bangsa Indonesia dan kaum nasionalis Indonesia moderat lain, terutama dr.Soetomo dan Soeroso.61 Ketiga kelompok aliran politik Tionghoa tersebut adalah sebagai berikut: Pertama adalah kelompok Aliran Sin Po; aliran ini diwakili oleh Sin Po sendiri. Setelah menolak UU tentang Kawula Negara Belanda, menghendaki agar orang Tionghoa Hindia Belanda agar mempertahankan kebangsaan Cina dan 59 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal. 10. 60 Ibid, hal.11 61 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal. 7. berusaha menarik golongan peranakan lebih dekat ke Cina dengan membuat mereka lebih menyerupai golongan totok. Kedua, kelompok aliran Chung Hwa Hui. Kelompok ini menginginkan agar orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan identitas etnisnya di lingkungan Hindia Belanda. Mereka berjuang agar tetap hadirnya kebudayaan Cina. Dalam hal ini mereka menerima UU tentang Kawula Belanda dan bekerjasama dengan pemerintah koloni Belanda. Ketiga adalah Kelompok Aliran Partai Tionghoa Indonesia. Kelompok ini adalah aliran kiri dan bersikap anti kolonial. Mereka menginginkan orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan identitas etnisnya, tetapi secara politik terasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia pribumi. Mereka menganggap bahwa Indonesia sebagai tanah air dan menamakan diri sebagai orang Indonesia serta menuntut persamaan hak dan kewajiban sebagai orang Indonesia, berjuang untuk Indonesia. Liem Koen Hian sebagai pendiri PTI yang juga anggota BPUPKI mengatakan bahwa alirannya pro Indonesia dan beragumen bahwa kaum Tionghoa peranakan harus sadar untuk menjadi warga negara Indonesia. Ketika ia berpidato di sidang paripurna BPUPKI, ia mendeklarasikan bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah sebagai warga negara Indonesia di dalam UUD Indonesia yang akan datang, karena ia melihat Indonesia sebagai tanah air dan mereka tinggal di dalamnya. 62 Dalam buku Anton Ramdan, kehadiran Cina di Indonesia juga dapat dilihat pada bidang ekonomi. Orang Cina masuk ke Indonesia sejak berabad silam dan melalui jalur perdagangan. Pada masa dinasti Han, rombongan Cina melakukan aktifitasnya ke Asia Tenggara hingga pulau Jawa. Rombongan dagang ini dipimpin oleh orang yang kuat, yaitu laksamana Cheng Ho. Sebenarnya para pedagang Cina sudah mulai berdagang jauh sebelum kedatangan Cheng Ho. Ketika datang ke Indonesia, orang-orang Cina termasuk sebagian dari pedagang membentuk suatu 62 Ibid, hal.8 koloni baru yang disebut kampung Cina. Kemudian menjelang abad ke 19, lebih banyak lagi orang Cina yang hadir ke Indonesia. 63 Pada masa penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Indonesia dibagi menjadi tiga kelas. Pertama, bangsa Eropa, khususnya Belanda yang memegang sebagian besar kekuasaan di Indonesia. Kedua, orang-orang asing yang bukan berasal dari Eropa, seperti orang Cina, Gujarat, Arab dan lainnya. Kemudian kelas terendah atau kelas ke tiga adalah masyarakat pribumi. Diantara masyarakat kelas dua, orang Cina memegang kendali lebih banyak dalam dunia ekonomi. Sebelum kedatangan Hindia Belanda, Cina di Indonesia mengambil peranan penting sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pedagang besar Cina dengan masyarakat pribumi. Namun setelah kedatangan Belanda, maka posisi mereka tergeser oleh pedagang-pedagang besar lainnya dari Eropa dan Belanda. 64 2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama Memasuki masa orde lama atau yang kita kenal dengan masa demokrasi terpimpin, kehidupan etnis Tionghoa pun berubah dari fase sebelumnya, masa pra kemerdekaan. Charles A Coppel dalam bukunya menyebutkan bahwa selama periode antara tahun 1963 dan 1965, orang Tionghoa Indonesia mencapai akomodasi dengan nasionalisme Indonesia yang cukup stabil pada saat itu. Keadaan tersebut tidak bisa dipisahkan dari kondisi stabilitas politik di Indonesia berdasarkan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 yang revolusioner. Kekuatan-kekuatan di luar parlemen menjadi semakin menonjol. Perdebatan untuk tidak lagi menggunakan sistem demokrasi parlementer pun makin keras. Masa transisi ke demokrasi terpimpin pada tahun-tahun awal merupakan masa pergolakan dan tidak menentu bagi minoritas Tionghoa. Pertama adalah mengenai status 63 Anton Ramdan, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing, tanpa tahun dan tanpa halaman. 64 Ibid, tanpa halaman. kewarganegaraan mereka, dan ketidakpastian ini juga mempengaruhi kehidupan lainnya, seperti pendidikan, undang-undang tanah dan hak ekonomi. Bahasan mengenai kewarganegaraan ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1954, di mana ada rancangan UU yang telah diajukan ke parlemen dan akan sangat membatasi jumlah orang Tionghoa yang bisa menjadi warga negara Indonesia. 65 Sememntara masalah mengenai kewarganegaraan belum selesai, banyak langkah yang diambil oleh pemerintah, militer dan parlemen yang memberi batasan pada orang Tionghoa. Sebagai contoh pada aspek pendidikan, di mana pada tahun 1957 terdapat larangan yang menjadikan tidak sah bagi warga negara Indonesia untuk memasuki sekolah asing kecuali dengan izin khusus. Akhirnya lebih dari seribu sekolah di tutup dan beberapa ratus ribu WNI keturunan Tionghoa yang sebelumnya masuk sekolah asing, menjadi terbatas hanya pada pendidikan di sekolah-sekolah “nasional”. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi kenaikan mendadak dalam nasionalisme ekonomi di kalangan orang Indonesia, yang mengambil bentuk yang berbeda di antara kelompok-kelompok berlainan. Tahun 1956, gerakan kaum pengusaha pribumi di bawah pimpinan Assaat menuntut agar pemerintah menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap orang Tionghoa (termasuk WNI keturunan Tionghoa) demi kepentingan orang Indonesia pribumi. Terdapat alasan yang dihadirkan, yaitu bahwa dulu pemerintah Belanda telah membuat golongan Tionghoa kuat dibidang ekonomi, sementara pribumi lemah. Atas dasar tersebut, maka pemerintah wajib menghilangkan sisa-sisa penjajahan ini. 66 Selama kurun waktu akhir demokrasi terpimpin, terjadi peningkatan dalam derajat dimana WNI keturunan Tionghoa ikut serta dalam kancah politik Indonesia. orang Tionghoa yang menjadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) juga berjumlah lebih besar dibanding dengan keanggotaan organisasi politik manapun dalam sejarah Indonesia, dan golongan WNI 65 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal. 66 Ibid, hal. 80-81. 79 keturunan Tionghoa semakin di dorong untuk memasuki partai-partai poltiik. Dalam hal ini Lea Williams memandang bahwa ada kecenderungan ke arah “asimilasi politik”. 67 Sejarah juga mencatat bahwa di masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, besarnya peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili warga Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga Tionghoa, serta melawan tiap bentuk diskriminasi. Dalam menyelesaikan “masalah minoritas Tionghoa”, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Thjan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan lainnya mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial, menjunjung kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asalusulnya dan mengintegrasikan warga Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa Indonesia. 68 Sementara itu, sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Karenanya, tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. 69 Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga orde lama, banyak warga Etnis Tionghoa yang terlibat dalam politik, seperti menjadi menteri atau anggota kabinet. Beberapa menteri dari etnis Tionghoa dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4. 67 Ibid, hal.100 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013, hal.85. 69 Ibid, hal.86. 68 Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam Politik Pada Era Awal Kemerdekaan Hingg Orde Lama (1946 – 1966) 70 No Nama Menteri Nama Jabatan Masa Masa Pemerintahan Kabinet Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan Kabinet Syahrir Kedua Kabinet Syahir Ketiga 12 Maret-2 Oktober 1946 2 Oktober 1946-27 Juni 1947 2 Oktober 1946-27 Juni 1947 3 Juli 1947-11 November 1947 11 November 1947-29 Januari 1948 11 November 1947-29 Januari 1948 1 Agustus 1953-12 Agustus 1955 9 Oktober 1953-12 Agustus 1955 13 November 1963-27 Juni 1964 1. dr. Darma Setiawan 2. dr.Darma Setiawan 3. Mr.Tan Po Gwan Menteri Negara Kabinet Syahrir Ketiga 4. Siauw Giok Thjan Menteri Negara 5. dr. Ong Eng Die Menteri Muda Keuangan 6. Siauw Giok Thjan Menteri Urusan Peternakan 7. dr. Ong Eng Die Menteri Keuangan 8. dr. Mohammad Ali alias dr. Lie Kiap Peng Menteri Kesehatan 9. Oei Tjoe Tat S.H 10. Oei Tjoe Tat S.H 11. David Gie Cheng Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet Kerja Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet Kerja Menteri Cipta Kabinet Amir Syarifuddin Kesatu Kabinet Amir Syarifuddin Kedua Kabinet Amir Syarifuddin Kedua Kabinet Ali Sastro Amidjojo Kesatu Kabinet Ali Sastro Amidjojo Kesatu Kabinet Kerja re-grouping kedua 70 Kabinet Dwikora 27 Agustus 1964-21 Februari 1966 Kabinet 27 Agustus M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal 12-13. 12. David Gie Cheng Karya dan Konstruksi Menteri Cipta Karya dan Konstruksi Dwikora Kabinet Dwikora yang disempurnakan 1964-21 Februari 1966 21 Februari 1966-27 Maret 1966 Sumber Data: Satiarso T Taruna , Susunan Kabinet Republik Indonesia dari Tahun 1945-1973, diterbitkan oleh Yayasan Penelitian Masalah-masalah Asia (Institute of Asian Studies), Jakarta, 1973. Tabel di atas menunjukkan bahwa pemerintah orde lama turut serta mengakomodasi etnis Tionghoa untuk masuk dalam pemerintahan, tanpa melakukan diskriminasi antar pribumi dan etnis Tionghoa. Hal ini juga menunjukkan bahwa etnis Tionghoa banyak yang mampu dan berkualifikasi dalam hal politik. Meski demikian, pada era orde lama dan memasuki demokrasi terpimpin dengan sistem presidensial, sejumlah diskriminasi politik identitas terhadap etnis Tionghoa terjadi. Pada masa itu, diterapkan sebuah aturan yang disebut sistem benteng 71 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi para importir nasional yang notabene adalah importir pribumi dari importir asing. Para pengusaha Tionghoa tidak masuk dalam kategori importir nasional tersebut. Kebijakan lain yang makin meminggirkan kaum Tionghoa adalah saat Presiden Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan, peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran kota. Dalam tulisannya, Charles A Choppel mengurai bahwa akomodasi yang dibuat oleh orang Tionghoa pada tahuntahun terakhir Demokrasi Terpimpin tiba-tiba menjadi berantakan oleh percobaan kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965. Perasaan anti Tionghoa berkembang dimanamana dan juga merupakan sebuah ungkapan permusuhan kepada Tiongkok yang diproyeksikan secara agak tidak pandang bulu terhadap orang-orang Tionghoa Indonesia. 71 Leo suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135. Terdapat tiga keluhan yang disuarakan terhadap Republik Rakyat Tiongkok pada minggu-minggu awal setelah percobaan kudeta. Pertama, dicatat di Jakarta bahwa bendera di kedutaan besar Tiongkok tidak dikibarkan setengah tiang untuk ikut berduka cita terhadap para Jenderal yang terbunuh. Kedua, paling kurang sejak tanggal 12 Oktober, surat kabar Api milik Brigadir Jenderal Sukendro yang baru terbit (yang berapi-api seperti namanya) melaporkan bahwa radio Peking terus melakukan provokasi terhadap revolusi Indonesia. Ketiga, dilaporkan dalam pers Indonesia bahwa granat tangan dan senapan ringan buatan Tiongkok telah ditemukan di pelabuhan Tanjung Priok. Jakarta yang diselundupkan diantara material untuk proyek CONEFO (tetapi laporan ini belakangan dibantah oleh Brigadir Jenderal Soetjipto). 72 Terkait kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang terjadi pada masa percobaan kudeta, beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota PKI atau organisasi massanya atau yang dianggap sebagai simpatisan PKI dibunuh sebagai bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, tetapi pembunuhan orang Tionghoa karena mereka mereka Tionghoa, lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis. Sejumlah besar pemimpin Baperki dan organisasi-organisasi lain dengan citra kiri dan keanggotaan yang pada hakikatnya Tionghoa, ditahan. Terdapat pertanyaan yang ditulis oleh Charles dalam bukunya, yaitu mengapa pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa tidak terjadi saat itu? Pertama, pembunuhan besar-besaran terjadi untuk sebagian besar di daerah pedesaan Jawa dan Bali, di mana golongan Tionghoa kurang terwakili dalam jumlah penduduk secara keseluruhan, dan bukan di pusat-pusat pertokoan utama, dimana mereka diwakili dalam jumlah yang lebih besar. Kedua, orang Tionghoa yang terdapat di daerah-daerah, di mana pembunuhan biasa terjadi, cenderung merupakan kelas pemilik toko yang relatif kaya. Diperkirakan 72 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.119-120. beberapa dari mereka yang mengadakan pengaturan perlindungan dengan pejabat militer dan sipil setempat. 73 3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru Keberadaan etnis Tionghoa pasca kudeta yang terjadi, dimana hadir peralihan kepemimpinan dari orde lama (Soekarno) ke orde baru (Soeharto) sangat miris. Jaminan keamanan dan eksistensi mereka baik dalam bidang sosial, politik, budaya dan lainnya terbentur dengan kebijakan negara yang anti terhadap keberadaan mereka. Setelah menerima penyerahan kekuasaan tanggal 11 Maret, Soeharto bergerak cepat untuk memenuhi dua dari tuntutan-tuntutan yang telah disuarakan dengan kuatnya oleh KAMI sejak bulan Januari. Pada tanggal 18 Maret, sekelompok orang sebanyak 10.000 berkumpul di Makassar untuk menuntut diusirnya semua staff diplomatik, konsuler dan wartawan Tiongkok dari Indonesia atas dasar ikut campurnya mereka dalam urusan dalam negeri Indonesia. Setelah kejadian itu, pada tanggal 25 Maret pemerintah Indonesia memberi tanggapan kepada perasaan yang tersebar luas di Indonesia dengan mengumumkan penutupan “sementara” perwakilan Kantor Berita Tiongkok baru di Jakarta, pembatalan kartu pers wartawanwartawannya, dan larangan atas kegiatannya di bidang pelaporan berita dan penerbitan siaran pers. Namun, langkah ini tidak serta merta memberhentikan arus demonstrasi anti Tionghoa. Konsulat di Medan yang baru saja diungsikan diserang lagi pada tanggal 29 Maret dan pada 8 April Perhimpunan Umum Organisasiorganisasi Tionghoa Perantauan di Jakarta diduduki dengan paksa, bersama-sama dengan sepuluh lembaga Tionghoa perantauan di Jakarta. Orang Tionghoa asing, termasuk para pengurus mereka, diberitakan telah dipukuli dan diinterogasi. 74 73 Ibid, hal.125 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.133-134 74 Mely G Tan menulis dalam bukunya “Etnis Tionghoa di Indonesia”, bahwa pada masa orde baru, gejala yang sangat menonjol adalah pada penggunaan bahasa untuk pemerintah dan elite politik. Bagaimana wujud dari bahasa ditentukan oleh pemerintah dan elite yang berkuasa, sehingga dapat dipertanyakan apakah bahasa dalam keadaan demikian merupakan kekuatan integratif atau justru sebaliknya. Di bawah pemerintahan yang amat berkuasa, memang bahasa menjadi salah satu hal dapat menjadi indikasi dari penguasaan sebuah pemerintahan. Salah satu hal yang dapat kita lihat pada masa orde baru adalah bagaimana pemerintahan Soeharto menggunakan kata “wanita” dibanding kata “perempuan”. Dimana penggunaan kata tersebut turut mengindikasikan pembagian kerja perempuan dan laki-laki serta refleksi atas cara pandang terhadap perempuan. Mely juga dalam bukunya menyatakan bahwa bahasa digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elit berkuasa, sehingga terjadilah hegemoni makna kata. Sejak awal masa orde baru, penggunaan bahasa dengan maksud tertentu dapat dilihat dengan jelas. Dalam bahasan etnis Tionghoa, golongan minoritas ini disebut oleh pemerintah orde baru sebagai Cina. Setelah orde baru berakhir dan kemudian dipimpin oleh Habibie, maka penamaan ini pun berubah menjadi Tionghoa. Selain itu, ada pula konsep bangsa dan kebangsaan. Apa yang dimaksud dengan bangsa? Jika mengutip paparan Soekarno dalam pidatonya mengenai lahirnya Pancasila, dimana Soekarno juga menyadur paparan filusuf Perancis Ernest Renan, dimana persyaratan dari sebuah nation adalah keinginan untuk bersatu. Dimana pada akhirnya, bangsa tidaklah hanya terdiri dari satu suku saja, melainkan banyak suku, pun termasuk menetapkan hak warga yang merupakan keturunan asing, seperti Tionghoa. 75 Terdapat dua hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam perspektif keberadaan etnis Tionghoa ketika masa orde baru, yaitu pada aspek ekonomi dan bisnis serta asimilasi politik orde baru terhadap etnis Tionghoa. 75 Mely G Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2008, hal.196-199. a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis Dalam mengurai bahasan tentang ekonomi dan bisnis yang dikuasai oleh etnis Tionghoa, dapat kita lihat pada awal bagaimana budaya bisnis tersebut terbentuk. Hingga tahun 1960-an, mungkin sekitar 40 persen orang Tionghoa di Jawa, termasuk mereka kelahiran lokal, adalah kaum Totok. Karena kaum Totok tetap mempertahankan bahasa Tionghoa mereka, identifikasi penutur kelompok merupakan hal penting dalam komunitas totok, dan dimanapun kelompok bertutur dalam dialek tertentu, menjadi penting dalam bisnis tertentu. Budaya totok tetap bertahan, khususnya dikalangan pengusaha. Beberapa sumber memperkirakan bahwa sekitar 75-80 persen pengusaha terbesar berada di tangan etnis Tionghoa dan mayoritas terbesar dari laki-laki. Budaya usaha Tionghoa Indonesia tampaknya hampir dimonopoli oleh kaum totok. Pembatasan ekonomi bagi orang asing dan dapat dipastikan etnis Tionghoa dikategorikan dalam kata asing ini, “memaksa” orang Tionghoa untuk mencari sekutu dengan pengusaha pribumi. Persekutuan yang telah terbentuk dari awal, tetap berlanjut sampai sekarang. Sebagai contoh, di Jawa, kaum Hockia, dengan sejarah perdagangan kecil di daerah pedesaan, nampaknya pas untuk membentuk hubungan dengan militer. Sudono Salim (Liem Sioe Liong) menjadi mitra usaha Presiden Soeharto ketika beliau masih menjadi komandan angkatan bersenjata di Jawa Tengah. Hubungan ini terus berlanjut, ketika Soeharto menjadi Presiden. 76 Karenanya, dapat dipahami jika mayoritas etnis Tionghoa Indonesia dapat memegang sektor bisnis di Indonesia. Sebagai contoh atas penguasaan bisnis dan ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia, dapat kita lihat pada usaha-usaha strategis yang didominasi oleh pengusaha etnis China –Indonesia di Kalimantan Barat, yang sudah merambat pada kepentingan khalayak banyak. Antara lain adalah pada sektor Hak Pengusahaan 76 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal.121-122. Hutan (HPH). Perusahaan HPH telah beroperasi sejak 1967 dan berlangsung sampai sekarang. Pada kenyataannya, sedikit sekali bangsa pribumi Kalimantan Barat (suku bangsa Melayu dan Dayak) yang mendapat kesempatan untuk berada pada sektor ini karena hampir seluruhnya dikuasai oleh etnis Tionghoa. Tidak hanya menguasai sektor HPH, namun etnis Tionghoa Indonesia juga menguasai sektor HTI (Hutan Tanaman Industri). Sejak beroperasi pada tahun 1990 an, kecil kemungkinan bagi pribumi mendapatkan fasilitas seperti yang didapatkan oleh etnis Tionghoa dari pemerintah. 77 Dalam bukunya, La Ode menyertakan tabel perbandingan pemilikan HPH di Kalimantan Barat sebagai berikut: Tabel 5. Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat Antara Etnis Tionghoa Indonesia Dengan Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995) No. Pemilik HPH Luas Areal (ha) Persentase (%) 1. Etnis Cina-Indonesia 3.955.700 26,944 2. Pribumi 1.438.100 9,796 120.000 0,818% 3. Inhutani II (Persero) Sumber: Diolah dari Data Kanwil Kehutanan Provinsi Kalbar dan berbagai sumber 1995. Penguasaan ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia juga dijelaskan oleh M.D La Ode dalam bukunya “Etnis Cina Indonesia dalam Politik”. Dalam tulisannya, ia menuliskan bahwa satu-satunya bidang yang dapat dimasuki oleh etnis Tionghoa hanya bidang ekonomi. Mereka menjadi pedagang, mendirikan pabrik, 77 M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf Publishing, 1997, hal. 219. mengelola lembaga keuangan dan lainnya, yang akhirnya menjadikan mereka matang dalam berbisnis. Kalimantan Barat dapat menjadi contoh yang dilihat pada skup nasional, bahwa memasuki masa pemerintahan orde baru, etnis Cina di Kalimantan Barat tidak memiliki gerak dalam politik, sosial dan budaya. Mereka hanya dapat menjadi petani dan menarik becak. Pada masa orde baru, kita tidak akan menemukan etnis Tionghoa yang menjadi kepala daerah, anggota DPRD dan lainnya. Dalam birokrasi masih bisa kita temukan etnis Tionghoa, namun pada posisi staff, tidak ada representatif etnis Tionghoa dalam dunia Kepolisian dan TNI. Di Kalimantan Barat, pusat produksi, home industry, hotel, restoran, kios dan lainnya hingga jasa pengangkutan di darat, laut dan sungai, semuanya dimiliki oleh etnis Tionghoa yang mempunyai modal besar. 78 Kesempatan yang terbuka bagi etnis Tionghoa dalam dunia ekonomi dan bisnis mendapat banyak kritik, terutama oleh para pesaing pribumi dan surat kabar tertentu. Kritik ini terutama dialamatkan pada pengusaha-pengusaha Tionghoa yang bersekutu dengan pemegang kekuasaan Indonesia. Mereka mendapat perlakuan istimewa untuk kontrak, kredit dan izin sebagai imbalan atas bagian keuntungan untuk pejabat bersangkutan. Para Jenderal dan teknokrat pada umumnya ingin sekali memantapkan perekonomian dan menarik bantuan serta penanaman modal asing yang dalam pandangan mereka dapat dicapai paling baik dengan memberi kepastian pada para pengusaha Tionghoa bahwa ada tempat cukup baik bagi mereka dalam perekonomian orde baru, dengan demikian lebih bersifat mendahului daripada mengikuti stabilisasi perekonomian. 79 Dalam rentang waktu 10 tahun, etnis Cina-Indonesia di daerah Kalimantan Barat (kaum pengusaha dengan kaum politisinya) bergabung melakukan rekonstruksi kekuasaan di dua sektor utama, yaitu sektor ekonomi dan sektor politik. Di sektor ekonomi, etnis Cina-Indonesia pernah dieksekusi oleh Gerakan Mangkok Merah dari 78 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.133. 79 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.293. suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat. Pada sektor politik, dua kubu wadah sosiopolitiknya, yang menjadi sarang komunis telah dihancurkan oleh gelombang amukan massa KAMI/KAPPI. Sedangkan pada periode tahun 1975-1985, etnis CinaIndonesia melakukan penggabungan kekuatan yang terbagi dalam empat golongan: 1. Golongan kekuatan pengusaha etnis Cina-Indonesia 2. Golongan kekuatan intelektual etnis Cina-Indonesia 3. Golongan politisi etnis Cina-Indonesia dan 4. Golongan suku bangsa pribumi yang bisa diperalat oleh etnis CinaIndonesia. 80 Setelah itu, pada periode tahun 1985-1995, etnis Cina-Indonesia melakukan blockade peluang bisnis suku bangsa pribumi Dayak-Melayu, sekaligus mengalahkannya. Menurut pendapat sejumlah kalangan di Pontianak, tutupnya perusahaan-perusahaan pribumi adalah realisasi dari serangkaian keganasan blokade peluang bisnis tersebut. Dengan adanya praktek-praktek di atas, maka dapat dilihat bahwa tujuan utama mereka adalah untuk membangun kesejahteraan pertumbuhan ekonomi di lingkungannya sendiri, dengan cara menghambat pertumbuhan ekonomi kaum pribumi. b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik Segala kebijakan dan aturan yang dibuat oleh orde baru adalah dengan tujuan mempercepat pembauran dan menghilangkan sifat eksklusif etnis Tionghoa. Namun bagi pemerintah orde baru, yang dimaksud dengan pembauran adalah hilangnya kelompok etnis Tionghoa sebagai suatu golongan kebudayaan yang khas. Dalam persepsi pemerintah dan masyarakat luas,”masalah Cina” adalah suatu keadaan di mana sebuah kelompok yang hanya 3-4 % di Indonesia, dianggap bukan bagian dari orang Indonesia, serta menguasai hampir 70% dari sektor swasta. Hal ini lah yang 80 M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf Publishing, 1997, hal. 259. sering diungkapkan, bahwa betapa etnis Tionghoa tidak patut, khususnya golongan konglomerat etnis Tionghoa, dalam perekonomian Indonesia ini. Mely Tan mengurai bahwa sebenarnya dari golongan etnis Tionghoa sendiri, mempunyai konsep atas pembauran atau asimilasi. Pada tahun 1960, dimuat dalam majalah Star Weekly, bahwa pernyataan “asimilasi yang wajar” dan ditandatangani oleh sepuluh kaum intelektual peranakan Tionghoa. Judul dari penandatanganan ini adalah “Menuju asimilasi yang wajar”, serta ditekankan sifat sukarela dari konsep pembauran ini dan tidak membenarkan hambatan-hambatan yang dibuat-buat, juga tidak menyetujui tindakan paksaan terhadap asimilasi tersebut. Konsep asimilasi ini berkembang dan terbentuk lembaga yang bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). 81 Pembauran atau asimilasi ini dapat dilihat pada tiap wilayah yang terdapat etnis Tionghoa di dalamnya. Misal etnis Tionghoa yang ada di daerah Jawa melebur dengan masyarakat Jawa, lengkap dengan perubahan nama nya menjadi nama Jawa. Etnis Tionghoa yang hidup di dalam masyarakat Sunda melebur bersama masyarakat Sunda, Ambon dan sebagainya. LPKB dimasa Orde Baru menjadi Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa). Pemerintahan orde baru melanjutkan konsep pembaurannya dan dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) yang ditujukan khusus ke media agar tidak memberitakan hal terkait konsep ini. Akhirnya, pada kenyataannya, konsep asimilasi dalam masa pemerintahan orde baru, bukan merujuk pada kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melainkan selama orde baru memimpin telah terjadi suasana eskalasi polarisasi dalam hubungan antar etnis Tionghoa dan masyarakat luas. Di mana hal ini secara sengaja atau tidak memupuk sentiment anti Cina yang meledak pada kasus pertengahan Mei 1998, terutama di Jakarta, Solo, dan beberapa tempat lain di Indonesia. 82 Kebijakan asimilasi orde baru menyebabkan etnis Tionghoa tidak dapat belajar bahasa mandarin di sekolah, membaca terbitan berbahasa mandarin kecuali 81 82 Ibid, hal. 204 Ibid, hal. 206 Harian Indonesia, surat kabar yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan jarang melihat kehadiran orang Tionghoa di program TV. Meski terdapat pembatasan demikian, namun generasi pada masa ini mendapat akses ke rekaman video untuk melihat video-video yang berbahasa mandarin, contohnya adalah program The Legend of the Condor Heroes. 83 Hal ini tentunya merupakan anugerah tersendiri bagi etnis Tionghoa karena dapat mengobati rindu mereka pada bahasa dan budaya yang ada. sejumlah kebijakan yang hadir di masa orde baru agar berjalannya asimilasi ini adalah ; 1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, 2) pelarangan praktik budaya Cina di tempat umum, 3) himbauan untuk berganti nama, dan 4) penutupan sekolah-sekolah Cina. Aimee Dawis juga menyimpulkan kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat orang Indonesia Tionghoa untuk lebih berupaya menjadi orang Indonesia dengan kadar jati diri ketionghoaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal, keluarga dan agama. Meski demikian, orang Tionghoa masih saja menghadapi perlakuan diskriminasi sehari-hari walau telah berusaha melakukan “pengindonesiaan diri”. 84 Terkait penggantian nama, pada tanggal 1 Juni 1966, kira-kira 6.662 WNI keturunan Tionghoa di Sukabumi mengganti nama mereka dalam suatu upacara memperingati hari lahirnya Pancasila. Pada tanggal 29 Mei, mereka semua dikumpulkan untuk hadir dalam briefing dari panitia yang terdiri dari LPKB Sukabumi, pemimpin masyarakat WNI keturunan Tionghoa Sukabumi dan Panca Tunggal Sukabumi. Setelah ganti nama secara de facto dilaksanakan dengan berhasil sekali pada tanggal 1 Juni, maka hadir kesulitan-kesulitan bagi etnis Tionghoa. Menurut UU yang berlaku saat itu, ganti nama secara de jure merupakan suatu proses yang rumit dan memakan waktu. Berdasarkan UU Ganti Nama tahun 1961, perlu sejumlah persyaratan lain, dan memberitahu maksudnya dalam berita negara, guna memungkinkan pihak yang menentang mengajukan keberatan. Mekanisme ini tidak 83 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010, hal.3 84 http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoa-mencari-identitas, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016. dipatuhi di Sukabumi, sehingga masyarakat Tionghoa di Sukabumi tidak dapat melakukan transaksi dengan petugas bank, petugas pos dan telegram atau membuat kartu penduduk dengan nama baru mereka. 85 Selain nama, agama juga menjadi hal yang bisa kita lihat dalam kebijakan asimilasi orde baru. Terdapat dua agama yang diakui secara resmi; Buddha dan Konghucu. Keduanya terkait dengan mayoritas etnis Tionghoa yang menganut agama itu. Agama-agama minoritas seperti dua yang telah disebutkan di atas, harus menyesuaikan diri di Indonesia. Tan Chee Beng berpendapat bahwa agama-agama orang Tionghoa dapat dibagi menjadi “agama Tionghoa” dan agama Buddha Tionghoa” karena keduanya mempunyai komponen yang berbeda. Menurut pendapatnya, agama Tionghoa mempunyai konsep dewa yang banyak. Pada masa orde baru, konsep mempunyai dewa yang banyak, tidak sejalan dengan interpretasi orde baru tentang sila yang pertama dari Pancasila. Resim Soeharto beranggapan bahwa agama Tionghoa, termasuk agama Konghucu dan Sam Kauw merupakan suatu “rintangan” dari kebijakan asimilasi. Untuk mencapai tujuan asimilasinya, pemerintahan orde baru menggunakan berbagai cara, mulai dari pembatasan aktifitas agama Tionghoa, penggantian nama agama Tionghoa, mencabut pengakuan agama Tionghoa, sampai larangan membangun tempat ibadat baru untuk agama Tionghoa. 86 Sejak kongres tahun 1967, agama Konghucu semakin terinstitusionalkan. Organisasinya disusun mirip agama Kristen dan Islam. Ada rumah ibadah yang disebut lithang, bukan klenteng. Rumah ibadat agama Konghucu beroperasi seperti gereja Kristen. Agama Konghucu juga mengenal khotbah, disamping penyelenggaraan upacara perkawinan. Setelah merasa kuat secara kekuasaan politik, rezim Soeharto merasa tidak membutuhkan dukungan penganut agama Konghucu. Para Jenderal pun merasa bahwa agama Konghucu adalah penghambat bagi asimilasi warga Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak tahun 1978, pemerintah mulai menjaga 85 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.166-167. 86 I. Wibowo dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010, hal.78-79. jarak terhadap agama Konghucu. Pada akhir 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran yang menyatakan hanya mengakui lima agama di Indonesia, dan tidak termasuk Konghucu. Pada awal 1979 kabinet Soeharto juga mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa agama Konghucu bukanlah agama. Orang Tionghoa tidak lagi menyematkan agama Konghucu di kartu penduduknya, melainkan agama Buddha. Agama Buddha diyakini lebih mencirikan Indonesia, karena dulu terdapat kerajaan-kerajaan Buddha di Indonesia, seperti Sriwijaya. 87 Tidak hanya agama, namun juga tempat peribadatan yang ada turut diubah. Rezim Orde Baru berusaha mengubah klenteng menjadi wihara. 4. Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi Angin segar dapat dihirup etnis Tionghoa Indonesia ketika Indonesia memasuki babak reformasi. Peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang diterima oleh etnis Tionghoa perlahan hilang seiring kebijakan Indonesia yang mengedepankan kebebasan berserikat, berbicara, beragama, berpolitik dan lainnya. Pasca peristiwa kekerasan pada bulan Mei 1998 dan memasuki era reformasi, pemerintah lebih memperhatikan aspek perlindungan politik, budaya, ekonomi dan lainnya bagi seluruh warga negara Indonesia, tak terkecuali etnis Tionghoa Indonesia. Para ilmuwan dan peneliti menilai bahwa reformasi politik membuka kran bagi warga Tionghoa untuk terjun ke dunia politik. Pemilihan langsung yang telah kita lakukan sejak tahun 2004, juga menguntungkan bagi warga Tionghoa untuk bisa berjalan mulus dalam dunia politik, karena tidak ada lagi unsur subjektifitas, etnis dan agama. Pada awal reformasi, bermunculan berbagai partai politik ataupun kelompok kepentingan dari warga Tionghoa, misal Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo), dan Forum Masyarakat untuk 87 Ibid, hal.84-85. Solidaritas Demokrasi Indonesia (Formasi). Pada tahun 1999, tercatat 150 an calon anggota legislatif dari warga Tionghoa. Ketika itu, lima anggota DPR dan tujuh anggota MPR yang terpilih dari warga Tionghoa. Pada pemilu 2004, jumlahnya meningkat. Di pemerintahan lokal, sejumlah warga Tionghoa pun terpilih. Salah satunya adalah Basuki Tjahaja Purnama yang terpilih sebagai Bupati Bangka. 88 Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang Tionghoa, mengklasifikasi keterlibatan warga Tionghoa dalam poltik menjadi lima kelompok cara pandang, yaitu 1. Kelompok warga Tionghoa yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan partai Tionghoa. 2. Kelompok yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalui platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan partai Bhineka Tunggal Ika. 3. Kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group. 4. Kelompok yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggungan. 5. Kelompok yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN, PKB, dan sebagainya. 89 Keberadaan serta kesempatan yang luwes untuk etnis Tionghoa berpolitik dan beraktifitas di masa reformasi, dapat kita lihat pada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca reformasi. a. Pengaruh Kebijakan Negara 88 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013, hal. 167-168. 89 Ibid, hal.169. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berlangsung lama sejak masa pra kemerdekaan, orde lama dan orde baru, tentu menyisakan kenangan pahit bagi warga Tionghoa. Kebijakan negara yang saat itu diberlakukan untuk membatasi tindak tanduk dan sikap politik etnis Tionghoa, dicabut pada masa reformasi dan diganti dengan sejumlah kebijakan anti diskriminasi. Kebijakan pemerintah tersebut diantaranya adalah; 1. Keppres No.56/1996 tentang SKBRI 2. Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No.14/1967 3. Inmendagri No.25/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres No.56/1996 4. Inpres No.26/1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pri dan Non pri 5. SE Mendagri No.471.2/1265/SJ tanggal 18 Juni 2002 tentang SKBRI 6. SE DIrjen Imigrasi Depkeh dan HAM No. P.U.M 01.100626 tanggal 14 April 2004 tentang SKBRI bagi Permohonan Paspor RI 7. SE Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan No.6 Tanggal 11 Juni 2004 tentang ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional. 90 Dalam perayaan nasional Tahun Baru Imlek 2558, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dengan bersikap diskiminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam konteks kehidupan bernegara, tiga Presiden sebelumnya telah mempelopori lahirnya berbagai produk hukum yang anti diskriminatif. Hal ini diawali pada tanggal 16 September 1998, dimana Presiden BJ Habibie saat itu mengeluarkan Inpres 26.1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi/non-pribumi. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang 90 Ibid, hal. 206 Penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan diperbolehkannya pelajaran bahasa mandarin. Setelah itu, ketika tampuk kekuasaan beralih ke Presiden Abdurrahman Wahid, maka juga hadir Keppres 6/2000 tentang Pencabutan Inpres 14/1967 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, tanpa memerlukan izin khusus. Presiden Megawati menerbitkan Keppres 19/2002 yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Puncak dari langkah yang hebat ini adalah lahirnya UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang disahkan di DPR pada 11 Juli 2016. Dengan adanya pengesahan UU tersebut, maka menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada lagi produk hukum yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. 91 Choirul Mahfud dalam bukunya menulis bahwa pada saat ini, telah diberlakukan UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menggantikan posisi UU No.62 tahun 1958. UU Kewarganegaraan 2006 yang ini mengelompokkan warga negara dalam dua kelompok, yaitu (1) Warga Negara Indonesia asli yaitu orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri dan (2) orang-orang bangsa lainyang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia melalui proses kewarganegaraan. Jadi, hanya ada dua jenis penggolongan kewarganegaraan di Indonesia, yaitu warga negara Indonesia dan warga negara asing. Melalui pengertian ini, maka warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia sejak lahir dan bertahun-tahun lamanya bertempat tinggal di Indonesia secara turun temurun adalah warga negara Indonesia secara sosiologis. UU tahun 2006 ini secara tegas menganut asas non diskriminatif serta asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan. UU ini juga menentang adanya penggolongan penduduk warisan 91 Ibid, hal. 209-211 kolonial dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang selama ini telah mendiskriminasikan warga Tionghoa. 92 Dalam tulisan M.D La Ode terkait pengalaman nyata di Kalimantan Barat pasca reformasi, maka dapat ditemukan bahwa warga kelompok etnis Cina Indonesia baik ditingkat provinsi Kalimantan Barat, di kota Pontianak maupun di kota Singkawang, banyak yang menjadi pengurus partai politik. La Ode mendapatkan data siapa saja dari etnis Tionghoa (La Ode menyebutnya sebagai Etnis Cina Indonesia atau ECI) yang menjadi pengurus partai politik, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini 93: Tabel 6. Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus Partai Politik Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat No. 92 Nama Partai Politik Jabatan 1. Michael Yan Sriwidodo DPD Golkar Kalbar Wakil Ketua 2. Setiawan Lim, SH DPW PKB Kalbar Wakil Ketua 3. Apheng DPD Hanura Kalbar Pengurus 4. Setiyo Gunawan, SE DPC Demokrat ptk Ketua DPC 5. Ajas Hartono, MBA DPC Demokrat ptk Ketua DPC 6. Wiseno Sudarmo DPC Demokrat ptk Pengurus DPC 7. Bong Wui Khong DPC PIB skw Ketua DPC 8. Hasan Karman DPW PIB Kalbar Ketua DPW 9. Bong Cin Nen DPC Golkar skw Pengurus 10. Bong Min Jam DPC PIB skw Pengurus Ibid, hal. 211-212. M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.174. 93 Sumber: Data diolah dari hasil wawancara dengan informan penelitian, 2009. Data di atas menggambarkan sebuah refleksi atas kebijakan negara pasca reformasi yang memperbolehkan partisipasi etnis Tionghoa Indonesia dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hal ini tentu merupakan kemajuan dalam konteks kewarganegaraan dan cermin akomodasi atas multikulturalisme yang ada di Indonesia. b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan Dalam melakukan partisipasi politik pasca reformasi, tentu etnis Tionghoa Indonesia mempunyai komunikasi dan konsolidasi antar kelompok kepentingan yang ada. Terdapat sejumlah kelompok kepentingan Tionghoa yang hadir setelah Indonesia masuk pada alam reformasi. Diantaranya ada yang berbentuk LSM seperti Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi). Selain partai politik, ada juga organisas massa yang dibentuk oleh campuran golongan peranakan dan totok seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti). Organisasi-organisasi tersebut di atas, ada yang masih bertahan, ada yang mengendur dan ada yang nyaris mati. Terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan akhir-akhir ini, yaitu bahwa organisasi-organisasi tersebut, seperti Inti, Marga Huang, Meizhou, Guangzhou dan Teochew kadang melakukan kegiatan sosial membantu korban bencana alam atau pengobatan gratis, disamping baksos-baksos yang dilakukan Buddha Tsu His dan Walubi. Pun ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, berbagai organisasi Tionghoa ini memberikan bantuan dana dan logistik untuk para korban. 94 94 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013, hal. 283. Hal-hal tersebut di atas dijalankan untuk semakin menguatkan konsolidasi yang ada antar kelompok kepentingan Tionghoa dan mencoba untuk dapat memberikan sumbangsih bagi negara Indonesia. Salah satu perhimpunan Tionghoa yang sering kita dengar adalah Inti. Perhimpunan ini terus aktif mengaspirasikan kepentingan sosial politik warga Tionghoa yang selama ini tersumbat. Tidak hanya dibidang politik, namun mereka juga mengembangkan peran dalam dunia pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan. Sama dengan Inti, PSMTI juga mempunyai banyak cabang daerah di tiap provinsi di Indonesia yang menjadi konsentrasi suku Tionghoa. Paguyuban ini didirikan pada tahun 1998, dilator belakangi karena peristiwa penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Fokus perjuangan PSMTI adalah pada sosialisasi kewajiban orang Indonesia sebagai warga negara, yaitu membayar pajak, ikut partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, kepedulian terhadap lingkungan, serta mengambil posisi sebagai birokrat, politisi, pegawai negeri, anggota TNI dan Polri. Selain PSMTI terdapat pula Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). PITI lebih berperan pada ranah kaum santri dibanding kaum abangan dan priayi. PITI meyakini bahwa upaya menyelesaikan masalah Tionghoa bisa dengan cara merangkul “saudara lama”, yakni kaum santri muslim Indonesia yang mayoritas turut berjuang dalam kemerdekaan RI bersama warga lintas agama lainnya. 95 Selain tiga organisasi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu Yayasan Nabil (Nation Building Foundation), Buddhist Education Cemtre (BEC) Surabaya, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Paguyuban Umat TAO Indonesia (PUTI), Komunitas Tionghoa di Dunia Maya seperti milis Tionghoa-net dan forum diskusi budaya Tionghoa. Kelompok-kelompok ini saling berkerjasama satu sama lain dalam membangun upaya warga negara etnis Tionghoa Indonesia agar lebih berperan dan turut serta berkontribusi untuk kepentingan negara dan bangsa. 95 Ibid, hal. 285-292. Kelemahan-kelemahan organisasi peranakan adalah dibidang keuangan. Pada umumnya, para pengurusnya adalah professional atau pekerja dan bukan pengusaha. Kalaupun ada pengusaha yang sukses dari kalangan peranakan, umumnya mereka tidak mau lagi terlibat dalam organisasi Tiongohoa. Mayoritas mereka juga sudah tidak bisa lagi berbahasa mandarin. Sebaliknya, untuk organisasi-organisasi di kalangan totok, sangat kuat dibidang keuangan, karena pemimpin organisasi ini dikuasasi oleh para pengusaha sukses. Sayangnya, organisasi yang ada, digunakan sebagai kendaraan para pemimpinnya untuk kepentingan mereka sendiri agar bisa menjadi selebritis atau masuk pada bursa tokoh Tionghoa di masyarakat totok. Menurut mereka, dengan menjadi pemimpin dalam organisasi Tionghoa di Indonesia, akan mendapatkan penghargaan yang tinggi dari pejabat di Tiongkok dan memudahkan mereka dalam berbisnis dengan Tiongkok atau demi keamanan investasi. Kelemahan organisasi totok adalah pada bidang SDM yang benar-benar berpengalaman dalam menjalankan roda organisasi. Kebanyakan organisasi mereka didominasi oleh orang-orang tua yang pada umumnya adalah pengusaha. 96 B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru 1. Patron-Klien dan Kekuatan Modal Sosial Dominasi ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde baru, sedikit banyak memberikan kontribusi bermakna pada kehidupan etnis Tionghoa pasca orde baru. Memasuki masa reformasi, maka jaringan sosial etnis Tionghoa dengan pengusaha lokal atau penguasa dari unsur pemerintah, masih membekas dan terus berkelanjutan hingga hari ini. Maka tidak heran, ketika masyarakat mendengar kata etnis Tionghoa, maka hal pertama yang terbersit di 96 http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasitionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016. fikiran adalah kekuatan ekonomi etnis Tionghoa. Itulah identitas yang melekat pada diri etnis Tionghoa. Jika pada masa orde baru hubungan yang dibangun antara pemerintah dan kalangan pengusaha etnis Tionghoa bersifat kasat mata, maka pada masa reformasi kita dapat melihat hubungan patron-klien tersebut dalam sejumlah hal, terutama dalam dunia politik. Benih-benih yang ditanam pada masa orde baru, semakin dikuatkan pada masa reformasi, bahwa hubungan penguasa dengan penguasa bukanlah menjadi hal yang tabu atau aneh, namun sudah menjadi rahasia umum. Sebagai contoh adalah dukungan yang diberikan oleh pengusaha etnis Tionghoa dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dukungan ketika Pemilu Legislatif terjadi di Indonesia dan bahkan ketika etnis Tionghoa seperti Harry Tanoe S berpasangan dengan Wiranto dan menggunakan kendaraaan partai Hanura jelang pencalonan Pilpres 2014. Hubungan pengusaha Tionghoa dan penguasa atau pemerintah pun semakin terlihat ketika pengusaha etnis Tionghoa mempunyai bisnis media dan mendirikan partai politik, seperti Harry Tanoe yang pada akhirnya mendirikan Perindo. Kontribusi pemerintah yang dapat kita telaah adalah pada implementasi regulasi penyiaran, apakah iklan dengan durasi lama yang ditayangkan oleh MNC group dengan menggadang-gadang Ketua Umumnya, yaitu Harry dalam iklannya adalah sesuatu yang dianggap lumrah tidak. Inilah bagian dari hubungan patron-klien yang dapat kita lihat dalam konteks penguatan politik identitas etnis Tionghoa. Penguatan identitas tersebut bukan tanpa kekuatan modal sosial. Jaringan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa,terutama kalangan pengusaha Tionghoa di banyak wilayah di Indonesia, adalah potret modal sosial yang sangat kuat. Sebagaimana pendapat Putnam (1993) yang dikutip oleh Jhon Field, mendefinisikan modal sosial sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. 97 Koordinasi antar satu wilayah dengan wilayah lain, pusat dengan daerah menjadi mudah bagi kalangan pengusaha etnis Tionghoa karena mereka mempunyai jaringan dan kepercayaan yang dibangun antar mereka. Karena itulah pemerintah (sebagai patron) dan pengusaha Tiongho (sebagai klien) ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini relevan dengan apa yang dinyatakan oleh Field bahwa yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi asset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kerekatan sosial, karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama lain, guna saling memberikan manfaat. Potret dari pernyataan Field ini dapat kita temukan pada konteks hubungan yang dibangun dalam kalangan etnis Tionghoa sendiri, bukan hanya hubungan antar pengusaha etnis Tionghoa. Namun hubungan yang dibangun juga melalui kelompok kepentingan etnis Tionghoa yang tumbuh subur pasca orde baru, dimana sejumlah pengusaha Tionghoa menjadi ketua umum dalam organisasi yang ada (sejumlah penamaan organisasi tersebut dapat dilihat pada point B dalam bab ini). Dalam buku Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, dijelaskan bahwa di Indonesia, posisi para kapitalis pribumi lebih penting, tetapi mereka jauh kurang berarti dibandingkan dengan kapitalis Tionghoa. Sebagai contoh, dari kesepuluh bank swasta terbesar, hanya satu bank yang dikendalikan pribumi (Bank Niaga), dan diantara perusahaan-perusahaan manufaktur yang besar, Bakrie adalah satu-satunya kelompok utama, meskipun ada beberapa perusahaan manufaktur milik pribumi lainnya yang kurang dikenal. Akan tetapi, pribumi lebih penting dalam industri konstruksi dan jasa minyak-industri-industri yang dikaitkan dengan pemerintah. 98 Modal juga merupakan masalah lain bagi orang pribumi, tidak seperti bagi orang Tionghoa, yang mempunyai jaringan melalui mana ia akan mendapatkan orang 97 Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19 98 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.74 yang bersedia membantunya memulai bisnis. Di Malaya dan Indonesia sebelum perang misalnya, tak ada bank yang dapat didatangi pribumi untuk memperoleh bantuan. Orang pribumi tidak dapat mendatangi bank Tionghoa karena bank tersebut hanya melakukan bisnis di kalangan mereka sendiri. Serta, sulit bagi pribumi untuk memperoleh suplai dengan kredit, karena orang Tionghoa lah yang memonopoli jaringan distribusi dan mereka tidak mempercayai pedagang pribumi. 99 Sesudah pemerintahan Soeharto, modal kalangan etnis Tionghoa menjadi bagian daripada modal dalam negeri, dan diskriminasi pun berakhir. Sebagai hasilnya, mereka kembali menjadi unsur dinamis dari perekonomian Indonesia, yang berekspansi ke berbagai lapangan yang dibuka oleh kebijaksanaan ekonomi yang baru itu. Etnis Tionghoa sangat berhasil dalam periode ini,sehingga perasaan anti Tionghoa kembali memuncak di kalangan pribumi. 100 Hubungan patron-klien adalah hubungan yang bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya dan saling mempercayai. Lande ( dalam Scott 1972) menyebut hubungan patron-klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott 101 adalah (1) terdapat suatu ketimpangan dalam pertukaran, (2) bersifat tatap muka dan (3) bersifat luwes dan meluas. Hubungan patron-klien ini yang terjadi antara pemerintah/penguasa dan pengusaha etnis Tionghoa. Ketimpangan dalam pertukaran tentu akan menyebabkan hutang balas budi yang berkelanjutan. Meski demikian, ketika telah terjadi pertukaran, maka mekanisme tersebut juga akan terus belanjut dan sulit untuk berhenti. Modal sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa sulit untuk dibantah dan dibandingkan dengan modal sosial masyarakat Indonesia lainnya. Karenanya, tidak heran jika pada masa orde baru, Soeharto telah menanam benih kedekatan dengan pengusaha-pengusaha 99 Ibid, hal.77. Ibid, hal.88 101 Scott James, Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972 100 etnis Tionghoa dan kemudian terus terjadi hingga pasca orde baru. Hubungan ini pada akhirnya semakin menguatkan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dan meneguhkan identitas mereka. Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah dipahami dengan membaginya menjadi dua kategori, yaitu sktruktural dan kognitif. “Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringanjaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilainilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.” 102 Kategori struktural vertikal lebih pada hubungan dengan pemerintah/suprastruktur politik pemerintahan. Sedangkan pada tataran struktural horizontal, lebih pada hubungan dengan organisasi, paguyuban dan lainnya. Pada aspek kognitif, aspek vertikal nya ada pada tataran kemitraan, partisipasi, kepercayaan dan sebagainya. Pada aspek horizontal ada solidaritas, toleransi dan kerjasama. Baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal, etnis Tionghoa memiliki dua kekuatan tersebut, sehingga sangat sulit dibantah peran mereka dalam dunia sosial politik dan ekonomi di Indonesia. Jika hubungan patron-klien merefleksikan pola dari adanya kerjasama kedua pihak, antara penguasa/pemerintah dengan pengusaha, maka idealnya negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kekuatan dan kemandirian. Francis Fukuyama dalam buku “Memperkuat Negara” menjelaskan bahwa pemerintahan yang lemah meruntuhkan prinsip kedaulatan yang menjadi dasar tatanan internasional. Hal 102 Norman Uphoff, UnderstandingSocial Capital: Learning From The Analysis and Experience of participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000. tersebut terjadi karena persoalan-persoalan yang dimunculkan negara-negara lemah bagi diri mereka sendiri dan bagi negara-negara lain semakin meningkatkan kemungkinan bahwa negara lain dalam sistem internasional akan berusaha campur tangan dalam masalah mereka demi menyelesaikan persoalan tersebut. Lemah disini mengacu pada kekuatan negara dan bukan lingkup-untuk menggunakan istilah yang telah dipergunakan sebelumnya-yang berarti kurangnya kemampuan kelembagaan untuk menerapkan dan menjalankan berbagai kebijakan, yang seringkali disebabkan oleh kurang nya legitimasi yang mendasari sistem politik secara keseluruhan. 103 Pasca orde baru, kemandirian negara belum terbukti adanya, karena kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebar dalam organisasi-organisasi dan berfungsi dengan tepat pasca orde baru/iklim reformasi. Suasana yang ada, tepat dengan penjelasan Fukuyama bahwa individu-individu yang bekerja dalam organisasi yang mempunyai berbagai fungsi kegunaan yang sangat kompleks yang mencakup kepentingan-kepentingan ekonomi individu, serta komitmen pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai kelompok. Para pengusaha etnis Tionghoa masuk dalam organisasi etnis Tionghoa yang terbentuk pasca orde baru dan beberapa diantaranya menempati posisi penting dalam organisasi tersebut. Selain itu, Fukuyama menjelaskan bahwa contoh paling ekstrem tentang bagaimana badan-badan negara dapat menggunakan norma-norma dan modal sosial adalah dalam organisasi militer. 104 Sebagaimana yang diketahui bahwa organisasi militer di masa orde baru, juga mempunyai kedekatan dengan pengusaha etnis Tionghoa. Kedekatan Soeharto dengan pengusaha etnis Tionghoa juga dimulai ketika dirinya masih aktif di militer. Karenanya, hubungan antara militer dengan penguasa dan pengusaha tidaklah dapat dipisahkan. Pasca orde baru, purnawirawan yang aktif dalam dunia politik, masih menggunakan jaringan, modal sosial mereka untuk 103 Francis Fukuyama, Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005, hal.124. 104 Ibid, hal. 83. mendapat dukungan dari pengusaha etnis Tionghoa. Purnawirawan yang kemudian masuk dalam unsur pemerintahan, tidak hanya dalam partai politik, juga menggunakan jaringan tersebut untuk meneguhkan posisi politik nya. Pun sebaliknya, para pengusaha etnis Tionghoa juga membutuhkan kedekatan dengan pemerintah/penguasa untuk meneguhkan posisinya dalam bidang ekonomi dan bisnis. Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente karena pada pokoknya mereka mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah dan/atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan. 105 Sebagai contoh potret patron-klien di masa orde baru yang kemudian pada periode pasca orde baru menjadi multiaktor, adalah keluarga Presiden Soeharto. Dikabarkan bahwa Presiden Soeharto melakukan investasi di bisnis, khususnya pada perusahaan-perusahaan milik Liem Sioe Liong, namun hal ini tidak bisa dicek kebenarannya karena Soeharto tidak melakukan atas namanya sendiri. Keluarganya secara luas terlibat bisnis. Adik tiri Soeharto, Probosutedjo memimpin kelompok perusahaan Mertju Buana. Ia berbagi hak monopoli impor cengkeh dengan Liem Sioe Liong yang merupakan kontraktor utama untuk proyek-proyek pemerintah, serta menjadi pemasok utama bagi perusahaan minyak Indonesia. 106 Tidak hanya adik tiri Soeharto, bahkan saudara angkat hingga anak-anak Soeharto pun ikut berbisnis dan mempunyai perusahaan yang terbilang penting di Indonesia. Pasca orde baru, hubungan patron-klien tersebut menjadi lebih sulit diprediksi karena dilakukan oleh multi aktor. Meski demikian, pola hubungan yang ada tetaplah sama. Terdapat penguasa/pemerintah, pengusaha lokal yang bisa datang dari unsur 105 106 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.93. Ibid, hal. 95. publik atau purnawirawan militer, dan pengusaha etnis Tionghoa. I Wibowo dalam bukunya “Negara Centeng” menuliskan pola peran negara dalam ekonomi, yaitu; (1) Negara sebagai pemilik; negara mempunyai dampak dalam ekonomi tentu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa negara memiliki baik tanah maupun modal, (2) Negara sebagai pemilik dan produsen; yang dimaksud di sini adalah perusahaan-perusahaan milik negara. Indonesia termasuk dalam kelompok kedua ini, memiliki sejumlah perusahaan negara yang disebut BUMN. Sebelum reformasi. Negara menguasai sekitar 160 BUMN. Setelah reformasi, ada gerakan kuat untuk mengadakan privatisasi BUMN, (3) Negara sebagai majikan; meningkatnya jumlah perusahaan negara dengan sendirinya juga meningkatkan peranan negara sebagai majikan. Indonesia di tahun 2000 memperkerjakan kurang lebih 3,9 juta orang yang disebut “pegawai negeri”,(4) Negara sebagai Regulator; negara tidak hanya diam dan berbuat apa-apa dibidang ekonomi. Ia di beri kekuasaan untuk mengadakan intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar, (5) Negara sebagai redistributor; kekayaan memang tidak dibagi rata dalam masyarakat. Maka negara mempunyai tugas untuk menjalankan tugas memeratakan kekayaan itu dengan cara penarikan pajak. Dalam negara modern, dikenal dengan sebutan “pajak progresif”; semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi ia harus membayar pajak, (6) Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; setelah perang dunia II banyak negara, Barat maupun non Barat, menetapkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada prilaku ekonomi. Pertama, negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi, misalnya pertumbuhan ekonomi. Kedua, negara menetapkan kebijakan moneter. Ketiga, negara menetapkan kebijakan dibidang pendapatan (income). Keempat, kebijakan negara yang disebut industrial policy yang mempunyai pengaruh langsung kepada industry. 107 2. Pergeseran Orientasi Politik Selain persoalan politik identitas, dan status kewarganegaraan, masalah orientasi politik juga menjadi hal yang serius dikalangan etnis Tionghoa di Indonesia yang selalu berubah-ubah. Menurut Leo Suryadinata, catatan sejarah mengenai orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan periodesasi kekuasaan politik di Indonesia. 108 Pembentukkan orientasi politik baik yang bersifat sistemik maupun individual sangat bergantung pada budaya politik yang berkembang pada masyarakat setempat. Sebagai sebuah komponen dalam sistem politik yang diinternasilasikan ke dalam kesadaran, perasaan dan evaluasi penduduknya. Budaya politik dapat dipandang sebagai landasan sistem politik yang memberi pengaruh secara signifikan pada sistem politik dan sekaligus memberikan arah pada peran-peran politik yang dilakukan oleh struktur politik baik secara legal institusional maupun secara nonformal sesuai dengan struktur sosial yang berlaku ditengah masyarakat. Struktur politik sangat berpengaruh pada pembentukkan budaya dan orientasi politik para anggotanya, hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana kontribusi individu ataupun kelompok sebagai aktor pada proses input dan output dalam sebuah sistem. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lepas bagaimana perlakuan pemerintah terhadap eksistensi komunitas Etnis Tionghoa di Indonesia, kontribusi individu maupun kelompok Tionghoa secara global memberikan pengaruh bagi pembentukkan dan penguatan sistem dan produk kebijakan pemerintah, walaupun secara faktual, sikap situasi politik nasional dan sikap pemerintah Indonesia yang berbeda 107 I Wobowo, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2010, hal. 33-37. 108 Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185 menghadapi masyarakat etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pembentukkan, pergeseran bahkan perubahan orientasi politik etnis Tionghoa yang cenderung tidak stabil. Dalam kehidupan politik, terdapat dua tingkat orientasi politik, yaitu tingkat individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdapat sistem politik dapat dilihat dari tiga jenis orientasi, yaitu : a. Orientasi Kognitif : Cara pandang yang meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik dan segala hal yang berhubungan dengan input dan outputnya. Hal ini berkaitan dengan aspek pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik. b. Orientasi Afektif : Suatu orientasi yang menunjuk kepada aspek perasaan atau ikatan emosional seorang individu terhadap sistem politik yang meliputi peranannya, para aktor dan penampilannya c. Orientasi Evaluatif : Suatu orientasi yang berkaitan dengan penilaian moral seseorang terhadap sistem politik dengan melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan, selain itu juga menunjukkan pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik tentang kinerja sistem politik. 109 Selanjutnya Almond dan Verba mengemukakan bahwa orientasi politik dapat dibuka secara sistematis jika memperhatikan beberapa hal pokok: 1. Adanya pengetahuan tentang negara dan sistem politiknya secara umum seperti sejarah, lokasi, ukuran, kekuasaan, sifat-sifat konstitusionalnya dan hal lainyang berkaitan dengan wawasan global sebuah kekuasaan politik. 109 Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal:16 2. Adanya pemahaman tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan pengajuan pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan ke dalam arus pembuatan kebijakan yang bersifat upward. 3. Pemahaman yang dimiliki yang berkaitan dengan implementasi kebijakan yang bersifat downward. 4. Bagaimana perasaan pribadi sebagai anggota dari sebuah sistem politik berkaitan dengan bagaimana pemahamannya tentang hak-hak politik, kewajiban, dan strateginya untuk bisa masuk dalam kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam politik. 110 Aspek individu dalam orientasi politik memiliki peran sebagai pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang akan mempengaruhi aksi dan prilaku individu dalam realitas sosial, baik orientasi tersebut bersifat kognitif, afektif maupun evaluatif. Hal ini semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu yang akan mengkristal secara kolektif dengan orientasi individu lain dalam sebuah komunitas sosial. Pembentukkan budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku individu/ masyarakat terhadap sistem politik tertentu. Bila kita hubungan dengan budaya politik di Indonesia menunjukkan bahwa budaya bangsa Indonesia sangat majemuk, tetapi tekad untuk tetap bersatu dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika, artinya secara kultur kita majemuk, tetapi secara politik ingin bersatu, karena di dalam persatuan dapat memberikan tempat kepada kemajemukan itu. Secara sederhana, budaya politik bila dikaitkan dengan orientasi politik difahami sebagai pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dijalani oleh para anggota suatu sistem politik akan mampu menciptakan cara pandang tersendiri anggota masyarakat terhadap struktur politik. Bila menelah lebih dalam budaya politik yang lebih difokuskan pada analisis mengenai orientasi politik memiliki dua manfaat yaitu: 110 Ibid., hal.19 - 20 1. Mengetahui sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik yang akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik hingga dengan jelas akan kaelihatan bagaimana proses sebuah sistem yang melibatkan alur input dan output bisa kelihatan. 2. Memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksudmaksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau faktorfaktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi, minat, dukungan serta pembentukkan faksi faksi dalam sebuah sistem politik. Hubungan sebab akibat dan saling maempengaruhi antara sistem politik dan orientasi politik seperti dijelaskan diatas menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam menganalisis bagaimana komitmen nasionalisme kebangsaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini nampak jelas dari catatan tentang bagaimana orientasi politik etnis Tionghoa selalu mengalami perubahan pada setiap pergantian rezim pemerintah yang berkuasa di Indonesia, berikut tabel yang menjelaskan bagaimana perubahan orientasi itu terjadi: 111 Tabel 7. Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa Setiap Periode Pemerintahan No 1 111 187 Periode Orientasi Politik Masa Kolonial Belanda Terdapat tiga orientasi sosio-politis, yaitu: 1. Berorientasi ke Tiongkok (kelompok Sin Po) yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal adalah anggota bangsa Tiongkok, kelompok ini adalah Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185- Tionghoa totok 2. Berorientasi ke Hindia Belanda (Chung Hua Hui) yang memahami posisi mereka sebagai kawula Belanda sambil melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan. 3. Berorientasi sebagai bangsa Indonesia yang akan datang tergabung dalam Parta Tionghoa Indonesia dan merupakan Tionghoa peranakan. Masa Kemerdekaan Pada masa ini etnis Tionghoa terbagi ke dalam 2 (Orde Lama) kelompok: 1. Berorientasi pada Tiongkok 2. Berorientasi ke Indonesia namun terbagi lagi menjadi dua kelompo, yaitu: a. Kelompok integrasionis: yang tetap menginginkan identitasnya sebagai Tionghoa peranakan 112 b. Kelompok Asimilasionis: yang menginginkan peleburan etnis Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi Indonesia. Masa Orde Baru Sebagian besar orang Tionghoa dikondisikan mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh penguasa dan membuat etnis Tionghoa menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik Masa Setelah Orde Semangat berpolitik etnis Tionghoa kembali Baru muncul dan membentuk partai-partai politik Tionghoa, namun sebagian besar tokoh Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi dengan tujuan agar identitas Tionghoa masih berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa secara umum Sumber: Leo suryadinata (2010) 2 3 4 Selain perlakuan pemerintah, perubahan orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia disebabkan penerimaan oleh masyarakat asli pribumi yang masih setengah 112 Kelompok ini berpendapat bahwa asimilasi total bisa dilakukan apabila Indonesia berubah menjadi negara sosialis, dan kalau hal itu tidak bisa terwujud maka lebih baik mereka berintegrasi ke dalam partai-partai politik yang revolusioner serta organisasi massa. setengah tas keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia, bahkan sebagian besar masih menganggap etnis Tionghoa adalah outsiders dan diperlakukan sebagai orang asing yang harus dicurigai 113 Arus reformasi yang dijadikan sebagai pijakan dari komitmen etnis Tionghoa untuk menunjukkan eksistensinya dalam dinamika politik di Indonesia ditunjukkan dengan beberapa cara, seperti pembentukkan partai politik, berasimilasi dengan partai nasionalis, masuk dalam struktur eksekutif sebagai pembuat kebijakan, terlibat secara langsung dan terang-terangan dalam tender-tender pembangunan infra struktur, dan yang paling kentara adalah dengan terlibat dalam kompetisi-kompetisi dalam pemilihan pemilihan wakil rakyat baik pada Pemilu maupun dalam Pilkada di semua level dari yang tingkat kabupaten –Kota sampai pada level nasional. 3. Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan Setelah disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA, dan tidak ada lagi istilah “pribumi” dan “non pribumi“. Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan No 23/ 2006, yang membatalkan seluruh UU dan Staatsblad diskriminatif peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia, telah melengkapi penghapusan hampir seluruh peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa. Namun, kemajuan pesat pertumbuhan ekonomi dunia dan globalisasi ditambah berkembangnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sebuah kekuatan ekonomi, politik, dan militer menuju negara adikuasa baru, dan semakin eratnya persahabatan Pemerintah RI dan RRT, menjadi permasalahan tersendiri bagi identifikasi tingkat loyalitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Apakah mereka benar-benar telah menguatkan komitmen menjadi bagian dari warga negara yang 113 Ibid., hal 185 menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia, atau masih mempunyai loyalitas ganda dengan masih menjadikan nasionalisme Cina sebagai acuan orientasi politiknya. Nilai-nilai multikulturalisme yang dibangun sebagai pondasi bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia memberikan keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam dinamika pembangunan politik yang berkelanjutan di Indonesia. Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. 114 Multikulturalisme yang dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang. 115 Cashmore menjelaskan dalam kaitannya dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2) untuk menstrukturkan hubungan antara negara dan minoritas etnik. 116 114 W. Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995, hal. 11 115 D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart Ltd. 1999, hal. 429 116 E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996, hal. 244) Kaitan antara multikulturalisme sebagai konsep dasar bagaimana seharusnya keberagaman dihargai dengan menguatnya identitas politik Etnis Tionghoa dalam ranah politik adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan masyarakat umum (pribumi) yang ditunjukkan kepada etnis Tionghoa walau tentunya tetap masih saja ada gesekan-gesekan yang cukup keras namun itu biasanya terjadi saat terjadi konflik konflik yang disebabkan oleh prilaku personal dan bukan bentrokan komunal. Selain semakin terbukanya masyarakat terhadap kemajemukan dan pluralitas yang ada, penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran yang meningkat diantara mereka untuk merubah kondisi dan posisi mereka secara politis dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan dan tidak hanya berperan sebagai objek politik. 4. Penguatan Civil Society Kekuatan masyarakat sebagai penyeimbang dalam demokrasi dikuatkan dengan munculnya konsep civil society atau masyarakat sipil atau masyarakat madani yang dianggap efektif dan compatibel sebagai bagian terpenting dari kekuatan demokrasi. Dalam kajian mengenai civil society di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai masa Orde Baru, sangat sulit menemukan literatur mengenai organisasi-organisasi berbasis etnis Tionghoa baik sebagai organisasi yang bersifat cultural maupun spiritual apalagi yang berorientasi pada politik Indonesia. Secara teoritis, keberadaan organisasi-organisasi non pemerintah atau civil society adalah sebuah keharusan dalam kultur demokrasi, karena bagian dari sirkulasi operasionalisasi sistem sebagai kelompok kepentingan yang berfungsi melakukan pressure dan evaluasi kepada penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini sudah ditegaskan sejak berabad-abad lalu bahkan sebelum konsep demokrasi berkembang sebagai sebagai sebuah sistem yang solid dan mampu menjamin keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan politik. Secara etimologis, civil society berasal dari istilah Latin, civilis societas, mulamula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator dan pujangga Roma. Beliau memberikan defenisi yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota. Di Indonesia, konsep civil society yang diidentikkan dengan konsep masyarakat madani diadopsi oleh Dawam Rahardjo dengan memadukan pemikiran civil society seperti dijelaskan oleh Tecqueville dengan pemikiran Jurgen Habbermas dan Hannah Arrendt tentang free public sphere atau ruang publik yang bebas. 117 Pemikiran ini menjelaskan bahwa dengan adanya ruang publik yang bebas, maka setiap individu dapat dan berhak melakukan kegiatan secara bebas dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta berekspresi merespons kerja negara dan pemerintahan yang perlu dikritisi dan juga didukung. Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang penganut civil society dengan merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting), 117 Ibid. kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. 118 Berdasarkan penjabaran konsep civil society diatas, dapat ditarik benang merah bahwa civil society adalah suatu konsep bermasyarakat dan bernegara yang memberi kebebasan individual kepada setiap orang dengan batasan yang berkeseimbangan berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa mengorbankan hak-hak dan kepentingan individual yang asasi dalam bingkai mekanisme aturan yang berkeadaban dan berkeadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Secara sederhana dapat digambarkan unsur-unsur civil society yang meliputi: 1. Adanya kehidupan pribadi yang bebas tetapi tidak sewenang-wenang terhadap suatu kelompok masyarakat lainnya. 2. Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan individual tidak terkekang secara wajar khususnya berkaitan dengan hak asasi perorangan. 3. Proses itu berjalan diikat dengan aturan-aturan yang lues tetapi tegas. 4. Tidak terjadi pemaksaan dan keterikatan yang berlebihan tetapi kesejajaran, persamaan dalam hak-hak dan kewajiban asasi. 5. Menyangkut aspek sosial ekonomi politik. 6. Negara sebagai manager, mediator dan pelayan yang terkendali. Secara sederhana, Civil Society dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan dan masyarakat sipil yang memusatkan perhatiannya untuk kepentingan publik tetapi tidak dalam agenda berusaha untuk merebut kekuasaan atau melakukan kudeta. Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, menegaskan posisi masyarakat di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik. Setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi dengan syarat harus kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak melangkahi 118 Hikam, AS. Muhammad., Demokrasi dan Civil Society, hal. 3 kebebasan orang lain. Pandangan Habermas ini, menjadi ideal untuk diimplementasikan di Indonesia yang sedang terus berusaha menegakkan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dalam lingkup kekuasaan tetapi juga dalam kehidupan sehari hari. Sejak dikenalkan oleh Anwar Ibrahim (waktu itu sebagai wakil perdana menteri Malaysia), konsep civil society dalam konteks Islam Indonesia lebih lekat pada istilah masyarakat madani, walaupun secara historis, konsep masyarakat madani tidak memiliki dasar filosofis yang kuat dan cenderung kontra produktif dengan sejarah pemaknaan civil society sebagai akar konsepnya yang justru memiliki kronologi sejarah dari tradisi Eropa non Islam dan cenderung bersifat sekularistik. Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan Individu dengan kestabilan masyarakat. Ciri khas yang melekat pada konsep masyarakat madani adalah kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling maenghargai dan memahami (toleransi) dengan mengunakan demokrasi. prinsip-prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan 119 Secara historis, Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. 119 UbaedillahA. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010, hal.176. AS Hikam mengatakan bahwa civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschaung yang menggantikan agama, dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi. 120 Dengan demikian, civil society sebenarnya mengandung sifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Organisasi etnis Tionghoa yang berorientasi politik sebelum masa reformasi adalah BAPERKI ( Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang Berdiri di di Jakarta pada13 Maret 1954, pembentukkan organisasi ini dimulai pada pertemuan para elit Tionghoa yang dihadiri oleh 44 orang peserta, kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan). Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan Tionghoa di seluruh Indonesia, namun kemudian Siauw Giok Tjhan, salah seorang tokoh organisasi ini menyadari bahwa masyarakat luas akan menganggap organisasi ini hanya memperjuangkan kepentingan masyarakat Tionghoa semata-mata. Karena itu, ketika Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954, Siauw mendorong sahabat dekatnya, Sudarjo Tjokrosisworo untuk menjadi ketuanya. Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan Tionghoa di seluruh Indonesia, Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auw Jong Peng Koen, Tan Siang Lian, tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Yan Goan, dan 120 Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2 mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng. Ketua Baperki yang terpilih saat rapat pembentukannya adalah Siauw Giok Tjhan, seorang wartawan dan aktivis politik pada masa itu, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 sept 1955) dan anggota Konstituante (15 Des 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo. Setelah tragedi 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orba karena dituduh sebagai onderbouw PKI Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili. Di dunia pendidikan. Beberapa cabang Baperki sudah menyelenggarakan program pendidikan dasar sejak akhir tahun 1956. Pada 8 Feb 1958 Baperki mendirikan Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Baperki berhasil memiliki gedung-gedung sekolah Tionghoa yang banyak ditutup sejak 1957. Karena itu, pada 1960, Baperki telah memiliki 96 gedung sekolah, sebagian besar sekolah dasar dan menengah. Pada tahun 1961, jumlah sekolah Baperki telah mencapai 107 buah, yaitu 27 buah di Jakarta, 17 di Jawa Barat (dan Banten), 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatera Selatan (dan Lampung), 10 di Sumatera Utara, 1 di Bali, dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik (November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet pada masa demokrasi parlementer. Pada1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica (URECA) di berbagai kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G 30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta dan Surabaya kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan namaUniversitas Trisakti dan Universitas Surabaya. Setelah Presiden ke-empat RI KH Abdurrahman Wahid mencabut seluruh larangan yang memojokkan etnis Tionghoa, termasuk larangan bahasa dan aksara Tionghoa dan berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, bermunculanlah berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah, seperti Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily, Qian Dao Re Bao (Harian Nusantara), dan lain-lain. Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran di sebagian kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka terutama di bidang sosial dan politik, sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran itu pada ujungnya membangkitkan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warga negara Republik Indonesia. Dengan segera berbagai organisasi baik partai politik, ormas maupun LSM dideklarasikan. Di antaranya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid, dan majalah antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru, bermunculan walau banyak juga dari organisasi tersebut yang tidak berumur panjang lalu mati suri dan perlahan dilupakan. Seperti umumnya perkumpulan yang bersifat primordial, organisasi-organisasi itu bersifat sangat paternalistik, dimana berdasarkan senioritas dan keberhasilan dalam bisnis. pemimpinnya diangkat Kebangkitan politik etnis Tionghoa ditandai pula dengan didirikannya beberapa organisasi masyarakat (ormas) yang berbasis etnis Tionghoa, hal ini menjadi indikator menguatnya orientasi politik mereka setelah pada masa Orde Baru tidak satu pun ormas Tionghoa yang dibolehkan berdiri dan menjadi bagian dari kelompok kepentingan di Indonesia, hal ini disebabkan Orde Baru memiliki kecurigaan yang besar bila ormas Tionghoa dibiarkan tumbuh dan berkembang maka akan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan komunisme seperti yang disangkakan terjadi pada masa Orde Lama. Ormas Tionghoa didirikan dengan beragam visi dan misi sebagai respon yang ditunjukkan oleh etnis Tionghoa atas dibukanya kran partisipasi politik pasca Orde Baru yang menandai proses demokratisasi di Indonesia. Berikut beberapa organisasi Tionghoa yang didirikan setelah masa Orde Baru, yaitu: Tabel 8. Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia Yang Berdiri Setelah Masa Orde Baru No Nama Nama Lengkap Pendiri Tahun Pendirian 1 GANDI 2 Perhimpunan INTI 3 INSPIRASI 4 KADI 5 PSMTI Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi Perhimpunan Indonesia Tionghoa Institut Pengkajian Masalah Ras dan Etnik Indonesia Komite Anti Diskriminasi di Indonesia Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Anton Supit dan Niko Krisnanto Drs. Edy Lembong alias Ong Joe San (Wang Yousan) 1998 Brigjen TNI (Purn) Tedy Yusuf alias Him Tek Ie, 1998 1999 6 SIMPATIK 7 SNB 8 FORDEKA Solidaritas Pemuda Tionghoa Untuk Keadilan Solidaritas Nusa Bangsa Ester Yusuf Forum Demokrasi Kebangsaan ASPERTINA Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia 9 1998 2004 Felix Ali 2011 Chendra, Tjandra Ghozalli, Edison Jingga Sumber: data diolah dari berbagai sumber GANDI (Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi) Diresmikan pendiriannya oleh oleh Gus Dur pada tanggal 6 November 1998 sebagai reaksi dan konsolidasi yang dilakukan oleh elite Tionghoa atas kejadian kerusuhan Mei 1998 yang bagi etnis Tionghoa dirasakan sebagai tragedi kemanusiaan yang bersifat rasial dan diskriminatif. Organisasi ini memiliki visi untuk melihat ke depan untuk masa depan, persatuan nasional perlu memperkuat oleh semua dan setiap konstituen. Sebuah bangsa yang multi-budaya, multi-etnis, dan multi-agama tidak akan membiarkan perilaku diskriminatif dan tindakan, karena ini akan mempromosikan kebencian, konflik, kekerasan dan akhirnya, disintegrasi di negara itu. Visi tersebut diperkuat dengan misi untuk Misi kami mendukung persatuan nasional, dan mempromosikan harmoni dalam hubungan sosial dan komunal, sehubungan dengan kesetaraan dalam martabat manusia dan hak asasi manusia. 121 Sebagai organisasi yang muncul saat gerakan reformasi baru dimulai, GANDI memiliki tujuan organisasi yang seiring dengan perjuangan reformasi, yaitu: 1. Penghapusan (reformasi) Kewarganegaraan diskriminatif, Pencatatan Sipil, dan undang-undang terkait dengan undang-undang hukum baru; 2. Pembentukan kerangka hukum dalam menjamin kesetaraan bagi kaum minoritas seperti undang-undang Penghapusan hukum Diskriminasi Rasial; 121 http://www.gandingo.org 3. resolusi Hukum untuk 13-14 Mei 1998; 4. kesadaran politik dan sosial dari prinsip anti-diskriminasi; 5. Reformasi semua kebijakan pemerintah c.q kebijakan yang telah berhubungan dengan Kewarganegaraan, Pencatatan Sipil, dan terkait sektor terkait; 6. Pembentukan kerangka hukum dan mekanisme dalam menjamin kesetaraan bagi semua orang di semua sektor hidup, seperti di bidang pendidikan, pekerjaan, dll; 7. Kesadaran Publik anti-diskriminasi prinsip untuk semua orang di Indonesia; 8. Minimatization rasisme dan diskriminasi rasial dalam masyarakat. 9. Harmony dan toleransi antar kelompok, etnis, agama dan semua orang di Indonesia. 122 Untuk mencapai tujuan organisasi diupayakan dengan menetapkan beberapa program: 1. Mengidentifikasi dan meninjau semua kebijakan (formal dan informal), yang diskriminatif, dan memberikan rekomendasi dan resolusi kepada pemerintah dan instansi terkait untuk menghapuskan kebijakan tersebut; 2. Mengidentifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi, dan bekerjasama dengan LSM lain untuk mendukung ratifikasi konvensi tersebut; 3. Mereformasi semua peraturan diskriminatif dan untuk mengatur dan mengusulkan beberapa peraturan baru untuk menjamin anti-diskriminasi dan toleransi; 4. Mendidik masyarakat tentang Policie non-diskriminatif; 5. Mendidik masyarakat tentang norma-norma dan nilai-nilai dari etnis yang berbeda, agama, dan masyarakat, untuk mendorong dialog terbuka dan pemahaman yang lebih baik; 122 Ibid. 6. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan LSM lain, dalam negeri dan luar negeri, mempromosikan anti-diskriminasi, hak asasi manusia, dan demokrasi; 7. Memantau implemantion reformasi hukum dan peraturan yang diskriminatif baru dan praktik yang di seluruh wilayah Indonesia. 123 Sebagai bentuk penghargaan atas nilai-nilai multikulturalisme yang sudah melekat bagi bangsa Indonesisa, GANDI membangun kerjasama dengan banyak mitra organisasi lain dalam program-program kegiatan yang dilaksanakan, beberapa diantara yang menjadi mitra yaitu: Indonesia: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Luar Negeri Resmi Pemberdayaan, Komisi Nasional Hukum, Perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bantuan Hukum Indonesia foundation, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum, Pusat Kajian Strategis Internasional (CSIS), Lembaga Studi Lembaga Sosial (ISIS), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Mahasiswa Catolic Indonesia (PMKRI), Indonesian Christian Gerakan Mahasiswa (GMKI), Islam Student Union (HMI), Gerakan Nahdlatul Ulama Youth (GP Ansor), Komunitas Studi dan Advokasi Lembaga (ELSAM), Uni Indonesia Tionghoa (INTI), Pemuda Cina Association (PPT), Nahdlatul Ulama (NU), Inter-iman Dialoque Komunitas ( MADIA), Confusism Tinggi Council (Matakin), dll Internasional: PBB Anak Dana (UNICEF)), Gerakan Internasional Melawan Discrminarion dan Rasisme (IMADR), Plan International, The Asia Foundation, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), Asia Pacific Jaringan Hak Asasi Manusia (APHRN), Asia Selatan Hak Asasi Manusia Pusat Dokumentasi (SAHRDC), Kelompok Hak minoritas, 92nd Street Y, Ford motor Foundation, dll Perhimpunan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa) 123 Ibid. Didirikan pada tanggal 5 Februari 1999 di Jakarta, oleh 17 orang tokoh Tionghoa Indonesia, organisasi ini berkeyakinan bahwa pengikutsertaan seluruh WNI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak penyelesaian Masalah Tionghoa di Indonesia. Saat ini INTI dipimpin oleh Rachman Hakim dan Budi S. Tanuwibowo selaku Ketua Umum dan Sekjend. Perhimpunan INTI adalah organisasi sosial kemasyarakatan bersifat kebangsaan, bebas, mandiri, nirlaba, dan non-partisan. Walaupun sebagian besar anggotanya adalah WNI keturunan Tionghoa, namun Perhimpunan INTI bukan merupakan organisasi ekslusif, namun terbuka untuk semua Warga Negara Republik Indonesia yang setuju kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Tujuan Perhimpunan INTI. Dalam upaya menjalankan programnya. 124 INTI bergerak dengan visi menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan sedangkan misi yang dimiliki adalah berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa, antara lain penuntasan masalah Tionghoa di Indonesia, menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai dan saling percaya. 125 Dasar Pemikiran didirikannya Perhimpunan INTI adalah: 1. Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan, melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. 2. Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabadabad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan perdagangan. 124 125 Website resmi Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID Ibid. 3. Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia. 4. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan. 5. Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera. 126 Motivasi pembentukkan organisasi ini adalah karena kesadaran sepenuhnya bahwa “Masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, Perhimpunan INTI didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain menyelesaikan “Masalah Tionghoa” di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai, dan saling percaya. 127 Perhimpunan INTI berkeyakinan usaha penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia harus diletakkan di atas landasan usaha penyelesaian seluruh permasalahan nasional yang tengah dihadapi Bangsa dan Negara Indonesia; dan bahwa pengikutsertaan seluruh WNRI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia. PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) 126 127 Ibid. Ibid. Didirikan pada tanggal 28 September 1998 oleh 14 orang tokoh Tionghoa, PSMTI didirikan dengan kondisi yang sama yang melatarbelakangi kebanyakan didirikannya organisasi Tionghoa lain, yaitu kerusuhan dan penjarahan Mei 1998 di Jakata dan ditempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia, para tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Karena itu dianggap perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta didialogkan dengan Pemerintah, legislatif dan golongan masyarakat untuk menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik – baiknya. 128 PSMTI memiliki visi : Suku Tionghoa Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama komponen Bangsa Indonesia seluruhnya mempunyai hak dan kewajiban membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Visi tersebut dijabarkan dengan rangkaian misi 1. Meningkatkan terus kesadaran ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara. 2. Masuk dalam Arus Besar Bangsa Indonesia dengan turut serta secara aktif dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam segala aspek kehidupan. 3. Memantapkan jati diri sebagai salah satu suku dalam Keluarga Besar Bangsa Indonesia. 4. Memperhatikan lingkungan dimana ia bekerja dan berdomisili. Hingga saat ini, PSMTI memiliki 28 perwakilan cabang tingkat provinsi dan puluhan anak cabang yang tersebar diseluruh kota besar di Indonesia.Sebagai organisasi primordial yang solid, PSMTI mengkoordinasi sedikitnya 56 organisasi marga Tionghoa dan 23 yayasan afiliasi dari 7 provinsi di Indonesia. 128 www.psmti.org/yayasantbti Program kerja organisasi dibagi menjadi 12 bidang tugas, yaitu: 1. Bidang Organisasi dan Kaderisasi a. Koordinasi ke bawah untuk membentuk kepengurusan PSMTI Daerah yang baru. b. Kunjungan kerja dan sosialisasi PSMTI Pusat ke setiap Provinsi dan Kotamadya/Kabupaten. c. Data pembuatan KTA (Kartu Tanda Anggota) untuk seluruh Pengurus dan Anggota PSMTI dengan Nomor Induk KTA dari Pusat. d. Bekerjasama dengan PSMTI Provinsi/Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan dalam hal kaderisasi. e. Adakan pendidikan dasar manajemen PSMTI di Daerah. 2. Bidang Koordinasi Marga dan Lembaga a. Tingkatkan kerjasama antar Lembaga dan Asosiasi baik dalam maupun luar negeri. b. Sosialisasi ke seluruh Perkumpulan Marga-marga daerah agar berpartisipasi di Konferensi Marga-marga baik tingkat Nasional, ASEAN maupun Internasional. c. Pendataan jumlah marga-marga di Indonesia. d. Pengurus PSMTI Pusat bersama PSMTI Daerah mengunjungi Marga-marga di wilayahnya. e. Jalin komunikasi dengan suku-suku lain seperti Pasundan, Jawa, Batak, Bali dan lain-lain. f. Terbitkan sertifikat Marga/Nama Tionghoa bagi yang membutuhkan. g. Bina hubungan dengan semua marga. 3. Bidang Pendidikan a. Dorong terselenggaranya sekolah/kursus Bahasa Mandarin di daerah-daerah. b. Kembangkan pendidikan Bahasa Mandarin dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. c. Upayakan/menyalurkan beasiswa/bantuan pendidikan bagi warga anggota PSMTI yang berprestasi namun kurang mampu. d. Upayakan pengadaan perpustakaan di sekretariat PSMTI Pusat dan Daerah. e. Menjalankan Program beasiswa ke Tiongkok. f. Mengadakan ceramah/seminar/bedah buku/pelatihan. 4. Bidang Seni dan Budaya a. Kembangkan kesenian daerah bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Kesenian lokal. b. Lestarikan seni dan budaya Tionghoa dengan mengadakan Festival dan Pekan Budaya. c. Fasilitasi pertukaran Kesenian dan Kebudayaan Indonesia dan Tionghoa. 5. Bidang Usaha a. Himpun Dana Sponsor, Iuran Anggota dan Usaha, jadikan Dana Reksa sejenisnya. b. Kembangkan Real Business untuk mencari income. c. Kembangkan potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia (mineral, minyak and gas, kehutanan, pertanian, kelautan dll). d. Kembangkan bidang-bidang seperti keagenan, investasi, pembimbingan teknis dan menjamin pasar, membantu ekspor dan distribusi dll. e. Salurkan proposal kerjasama dengan merchant kepada Pengurus Daerah. 6. Bidang Sosial a. Aksi Donor Darah bersama (bekerjasama dengan Daerah). b. Anjangsana ke Panti Asuhan dan Panti Wreda. c. Bentuk team siaga bencana alam ditingkat Pusat maupun daerah. d. Dukung dan Sosialisasikan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). 7. Bidang Humas dan Media a. Kembangkan buletin PSMTI bekerjasama dengan PSMTI Daerah. b. Sebarkan informasi mengenai PSMTI seluas mungkin (media cetak maupun media elektronik). c. Meliput setiap kegiatan PSMTI baik Pusat maupun Daerah. d. Adakan seminar untuk meningkatkan SDM. e. Sosialisasi kegiatan dari PSMTI. f. Jalin hubungan antara PSMTI dengan Pemerintah dan Masyarakat. 8. Bidang Informatika dan Teknologi (IT) a. Buat jaringan atau network dan operator website. b. Kembangkan website PSMTI dan sosial media lainnya. c. PSMTI Pusat membuat format silsilah marga dan program database anggota yang dapat diakses oleh seluruh PSMTI Daerah dengan mudah. 9. Bidang Hukum, HAM dan Advokasi a. Sosialisasi untuk pemahaman peraturan-peraturan yang melindungi warga suku Tionghoa seperti UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. b. Mediasi atau bantuan hukum apabila terjadi sengketa antara sesama anggota PSMTI atau dengan pihak lain. c. Komunikasi dengan para penegak hukum di daerah-daerah. d. Himpun sukarelawan untuk dapat membantu tim advokasi dengan membentuk LBH PSMTI. e. Monitor peraturan dan kebijakan terkait adanya tindak yang bersifat diskriminasi. 10. Bidang Peranan Perempuan a. Adakan tabungan wisata untuk mempererat persaudaraan. b. Pada hari anak mengunjungi Yayasan Yatim Piatu dan pada hari Kartini memperingati hari Kartini di daerah masing-masing. c. Bentuk Koor/Paduan Suara di daerah masing-masing. d. Ikut berperan dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perlindungan anak. 11. Bidang Pemuda dan Olah Raga a. Kegiatan sosial kepemudaan untuk recruitmen. b. Kaderisasi melalui diskusi, pendidikan dan pelatihan. c. Kegiatan olahraga di tingkat pusat dan daerah. d. Bentuk dan kembangkan kegiatan Koko Cici di Provinsi dan tingkat Nasional. 12. Bidang Hubungan Luar Negeri a. Jalin komunikasi dan kerjasama yang baik dengan marga-marga dan organisasi di luar negeri terkait dengan PSMTI. b. Adakan seminar/pertemuan terkait dengan globalisasi dan perkembangan Negara baik di ASEAN maupun Internasional. 129 ASPERTINA (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia) Organisasi ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 2011 sebagai sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang seni dan budaya yang berbasis di Jakarta. Saat ini dipimpin oleh Endrew A. Susanto sebagai ketua umum dan Ferdinand sebagai sekertaris. ASPERTINA bergerak dengan visi Pelestarian Seni dan Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Visi tersebut diuraikan dalam misi organisasi: 1. Meningkatkan kesadaran pelestarian seni dan budaya Peranakan Tionghoa. 2. Menggali budaya Peranakan Tionghoa masa lalu yang luhur dan bermartabat. 129 ibid 3. Menyusun kembali, memelihara dan melestarikan budaya Peranakan Tionghoa dalam bingkai budaya Nasional . 4. Mensosialisasikan budaya Peranakan Tionghoa kepada generasi muda Tionghoa. 5. Memasyarakatkan budaya peranakan Tionghoa untuk mendorong terjadinya saling pengertian dan mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. 6. Menyelenggarakan pertemuan, penyuluhan, pembinaan dan bantuan yang diperlukan dalam rangka memelihara dan melestarikan seni dan budaya Peranakan Tionghoa. 7. Membina kerjasama dalam kemitraan dengan organisasi, lembaga, institusi lain untuk mencapai visi ASPERTINA . Beberapa program kerja yang diagendakan antara lain: 1. Bidang Organisasi, Humas dan Hubungan Antar Lembaga 2. Bidang Kajian, Pelestarian dan Penelitian 3. Bidang Komunikasi dan Informasi 4. Bidang Hubungan Luar Negeri 5. Bidang Hukum 6. Bidang Kegiatan Publik ASPERTINA tidak membatasi keanggotaan organisasi dari warga non Tionghoa, namun seluruh anggota harus memiliki minat dan perhatian terhadap budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi nirlaba, organisasi ini memiliki jaringan yang cukup luas, saat ini terdaftar dalam keanggotaan Federation of Peranakan Associations yang beranggotakan dari negaranegara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand dan Australia. Dari gambaran mengenai beberapa organisasi etnis Tionghoa diatas, nampak dengan jelas bagaimana jalinan kekerabatan etnis yang dibangun di kalangan etnis Tionghoa sangatlah kuat, era reformasi menjadi wadah yaang sangat kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi civil society berbasis etnis tionghoa yang memiliki orientasi politik yang cukup kuat. Selain empat organisasi etnis Tionghoa diatas, masih banyak lagi organisasi lain yang didirikan sebagai sarana untuk komunikasi interaktif masyarakat etnis Tionghoa dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan eksistensi mereka sebagai warga negara RI yang dilindungi Undang-Undang dan memiliki hak yang sama dengan warga negara lain yang di klaim sebagai orang asli Indonesia atau pribumi. Organisasi-organisasi civil society Tionghoa yang tumbuh subur juga dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat etnis Tionghoa, secara berkala dilakukan pertemuan-pertemuan seperti workshop, seminar, dan pelatihan bagi calon-calon legislatif yang berasal dari etnis Tionghoa. Salah satu pertemuan yang dilakukan adalah silaturrahi caleg Tionghoa menjelang Pemilu 2014 di sebuah restoran di daerah Ancol yang diinisiasi oleh FORDEKA (Forum Demokrasi Kebangsaan) yang dihadiri oleh sekitar 20 orang calon legislatif dari etnis Tionghoa yang secara bergantian memaparkan visi misi serta program kerja bila terpilih sebagai anggota legislatif. 130 130 www.indonesiamedia.com. Artikel diakses pada Jum,at, 16 September 2016 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI D. Kesimpulan Dalam melihat bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru, terdapat dua hal penting yang dapat di telaah. Hal pertama yang dapat dilihat adalah orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia setelah orde baru karena menurut Leo Suryadinata catatan sejarah mengenai orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan periodisasi kekuasaan politik di Indonesia. Struktur politik sangat berpengaruh pada pembentukkan budaya dan orientasi politik para anggotanya, hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana kontribusi individu ataupun kelompok sebagai aktor pada proses input dan output dalam sebuah sistem. Terdapat dua tingkat orientasi politik, yaitu individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdiri dari orientasi kognitif, efektif dan evaluatif. Pasca orde baru, orientasi politik etnis Tionghoa berada pada tataran bahwa semangat berpolitik etnis ini kembali muncul dan membentuk partai-partai politik Tionghoa. Namun sebagian besar tokoh Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi dengan tujuan agar identitas etnis Tionghoa masih berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa secara umum. Orientasi ini berbeda ketika masa orde baru, dimana sebagian besar orang Tionghoa dikondisikan mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh penguasa dan membuat etnis Tionghoa menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik. Arus reformasi dijadikan momentum oleh etnis Tionghoa untuk mendirikan partai politik, berpartisipasi politik dan masuk dalam struktur pemerintahan serta terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Selain orientasi politik, telaah terhadap kaitan antara penguatan politik identitas etnis Tionghoa dan perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca orde baru menjadi penting untuk diamati. Titik tolak perkembangan multikulturalisme dan penguatan politik identitas etnis Tionghoa pasca orde baru dapat dilihat dari pengesahan UU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 12 tahun 2006. Istilah pribumi dan non pribumi dihapuskan, diganti dengan klasifikasi WNI dan WNA. Terbersit pertanyaan pada aspek nasionalisme etnis Tionghoa, yaitu apakah etnis Tionghoa sudah menguatkan komitmen nya pada nilainilai nasionalisme Indonesia, atau menjadikan nasionalisme Cina sebagai orientasi politiknya. Namun, nilai multikulturalisme yang dibangun dalam kehidupan demokrasi Indonesia, memberi kepercayaan bahwa etnis Tionghoa sama dengan etnis lainnya di Indonesia, mengabdi pada kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Kymlica menjelaskan bahwa konsep kebangsaan berawal dari konsep bangsa yang bersifat sosial-budaya politik, sementara konsep negara lebih pada ranah hukum. Ia juga mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. Pada telaah konsep multikulturalisme, dapat dilihat bahwa menguatnya identitas politik etnis Tionghoa dalam ranah politik adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan masyarakat umum yang ditunjukkan pada etnis Tionghoa. Meski masih ada gesekan, namun biasanya gesekan tersebut terjadi karena konflik yang disebabkan oleh prilaku personal, bukan komunal. Masyarakat semakin terbuka terhadap kemajemukan dan pluralitas yang ada. Penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran yang meningkat antar mereka untuk mengubah kondisi dan posisi mereka secara politis dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan, bukan hanya sebagai objek politik. E. Implikasi Penelitian ini melihat secara obyektif fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat akibat menguatnya orientasi politik etnis tionghoa di Indonesia. Modal sosial berupa kemampuan finansial, jaringan, kekuatan primordial dan dukungan pemerintah yang saat ini dimiliki oleh kalangan etnis Tionghoa bisa menjadi sebab dari kemungkinan akan munculnya konflik etnis yang lebih besar antara kelompok etnis Tionghoa dan etnis asli Indonesia. Sebagai sebuah penelitian sosial, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan dan rujukan bagi masyarakat etnis Tionghoa secara individu maupun kelompok untuk bisa lebih arif membaca situasi masyaraakat di Indonesia yang majemuk dan sarat dengan kebinekaan. Karena yang paling diharapkan dari sebuah perubahan sosial adalah kondisi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya perubahan yang bisa menguntungkan satu kelompok tertentu dan memunculkan masalah sosial baru dengan tingkat resiko yang lebih besar. F. Rekomendasi Penting bagi sebuah penelitian memberikan saran dan masukan bagi pihakpihak yang bisa mempengaruhi kebijakan agar lebih tercipta budaya bermasyarakat yang lebih kondusif. Beberapa saran dan rekomendasi dari penelitian ini ditujukan kepada beberapa pihak terkait: a. Untuk pihak pembuat kebijakan Perlu kiranya lebih diperhatikan untuk dibuatnya aturan-aturan dan kebijakan yang lebih detil agar bisa mengatur lebih intensif suasana berdemokrasi dan berpolitik di tengah masyarakat. undang undang kewarganegaraan yang saat ini sudah ada bisa lebih dijelaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas agar pemahaman mengenai pribumi dan non pribumi bisa lebih difahami dengan baik. Hal ini penting dilakukan demi mengantisipasi munculnya konflik sosial dan konflik etnis akibat asumsi yang masih keliru tentang siapa yang pantas disebut sebagai orang asli Indonesia dan orang pendatang (Tionghoa) yang masih memiliki streotype yang kurang baik di mata mata masyarakat b. Untuk pemerintah Penting bagi pemerintah untuk bisa lebih mengawasi perkembangan kondisi sosial di tengah masyarakat, karena penguatan politing etnis Tionghoa secara tidak langsung memunculkan potensi konflik etnis di tengah masyarakat. pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kedamaian komunal di antara seluruh masyarakat multi etnis di Indonesia tidak boleh berat sebelah dan berpihak pada satu kelompok tertentu tanpa memperhatikan kepentingan kelompok lain. DAFTAR PUSTAKA Buku: Almond, Gabriel A., dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984. Buchari, Sri Astuti, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014, hal, 27. Cashomore, E., Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996. Castells, Manuel., The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural, Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003. Coppel, Charles A., Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1994. Dawis, Aimee Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010. Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: Lkis, 2001. Field, Jhon, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014. Fukuyama, Francis Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005. Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New York, 1944. Geertz, Clifford, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States, Basic, New York, 1973. Hefner, Robert W., Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press, Princenton, 2007. Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Heyes, Cressida, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007, diaksesdari Plato.Stanford.edu/entries/identity politics. Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2 James, Scott. Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972 Jarry D, dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart Ltd. 1999. Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal HUMANITY, Vol. 6, no. 1 September 2010. Kellas, James G, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998. Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990. Kwartanada,Didi, Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942-1945, dalam Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996. Kymlica, Will., Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995. La Ode, M.D., Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012. La Ode, M.D., Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf Publishing, 1997. Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996. Mahfud, Choirul, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013. Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University, 1987. Ramdan, Anton, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing, Setiono, Benny G, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka, 2008. Smith, Anthony D Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003. Suhandinata, Justian, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009. Suparlan, Parsudi, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004. Suryadinata, Leo, Dilema MinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984. Suryadinata, Leo, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185- 187 Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002. Tan, Mely G, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2008. Ubaedillah A. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010. Uphoff, Norman, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000 Wibowo, Ignatius dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010. Ignatius, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2010. Wijayakusuma, Hembing, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, Jakarta: PustakaPopuler Obor, 2005 Yuanzhi, Kong, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005. Jurnal: Jurnal ADMINISTRATIO, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2 No. 5 Desember 2008, ISSN: 1410-8429 Jurnal An-Nida Vol.3 Nomor:1 Juni 2010 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, NO.71, 2003 Jurnal Humanity, Volume 6, Nomor 1 September 2010 Website: http://homearticleimg.com. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm. http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasiorganisasi-tionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/, http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoamencari-identitas http://www.gandingo.org http://www.secangkirteh.com. Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID www.indonesiamedia.com. www.psmti.org/yayasantbti