POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME KEBANGSAAN (Studi

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS)
TAHUN ANGGARAN 2016
POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME KEBANGSAAN
(Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa
di Indonesia Pasca Orde Baru)
Tim Peneliti:
Suryani, M.Si
: Ketua
Ana Sabhana Azmy, M.IP
: Anggota
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN)
LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian yang berjudul Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan
(Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde
Baru) merupakan laporan akhir pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh
SURYANI, M.Si dan Ana Sabhana Azmy, M.IP, dan telah memenuhi ketentuan
dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh
Pusat Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN), LP2M UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 28 Oktober 2016
Peneliti,
SURYANI, M.Si.
NIP: 197704242007102003
ANA SABHANA AZMY, M.IP.
Mengetahui;
Kepala Pusat,
Ketua Lembaga,
Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN)
Masyarakat
Penelitian dan Pengabdian kepada
LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
WAHDI SAYUTI, MA.
M. ARSKAL SALIM, GP., MA., PhD
NIP. 19760422 200701 1 012
NIP. 19700901 199603 1 003
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini;
Nama
: Suryani, M.Si
Jabatan
: Lektor/Penata III/c
Unit Kerja
: FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat
: Jl. Kertamukti No. Ciputat.
dengan ini menyatakan bahwa:
1. Judul penelitian “Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi
Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde
Baru)” merupakan karya orisinal saya
2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian
darilaporan penelitian saya merupakan karya orang lain dan/atau plagiasi,
maka saya akan bertanggung jawab untuk mengembalikan 100% dana hibah
penelitian yang telah saya terima, dan siap mendapatkan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal
penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2
tahun berturut-turut.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 28 Oktober 2016
Yang Menyatakan,
SURYANI, M.Si
197704242007102003
ABSTRAK
Partisipasi politik masyarakat adalah unsur terkuat berjalannya mesin
demokrasi dalam sebuah bangsa yang sudah cukup panjang mengalami disorientasi
sistem bernegara seperti Indonesia. Setelah 32 tahun terkoptasi dalam intervensi
politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu
menunjukkan keingian politiknya saat keran demokrasi mulai dibuka pada tahun
1998. Pada alam reformasi, di mana keterbukaan dan partisipasi publik makin meluas
dan bebas, masalah baru bagi penguatan identitas politik pun hadir. Menguatnya
politik identitas bagi etnis Tionghoa di Indonesia justru semakin menjauhkan wajah
multikulturalisme yang menjadi pilar bergulirnya demokratisasi. Eksklusifitas dan
nilai ke “aku” an atas etnis Tionghoa makin terlihat dan merupakan ancaman bagi
nasionalisme kebangsaan yang menjadi pijakan atas kedaulatan Indonesia. Karena itu
paenelitian ini penting dilakukan. Dengan menggunakan metodologi kualitatif, data
data yang terkumpul pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori politik
identitas, teori nasionalisme, teori multikulturalisme, dan teori modal sosial.
Setelah mengkaji dan menganalisis data, maka penelitian ini berhasil
menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan politik identitas etnis
Tionghoa adi Indonesia setelah orde baru bahwa kontribusi beberapa pihak sangat
berpengaruh pada hal tersebut, yaitu kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh etnis
Tionghoa dan pola hubungan patron – klien dengan penguasa memberi mereka ruang
secara eksklusif untuk mendapatkan posisi yang strategis dalam politik baik secara
formal maupun secara non formal, hal lain yang berhasil ditemukan dalam penelitian
ini adalah adanya pergeseran orientasi politik di kalangan etnis Tionghoa untuk bisa
mengambil peran dalam dunia politik dengan memanfaatkan nilai-nilai
multikulturalisme di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Politik Identitas, Nasionalisme Kebangsaan dan Multikulturalisme
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, laporan penelitian tentang Politik Identitas dan Nasionalisme
Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde
Baru) telah rampung kami tulis. Penelitian ini sungguh menyenangkan untuk diteliti
karena pembahasan politik dentitas selalu mempunyai tempat tersendiri dalam
kehidupan pemerintahan Indonesia. Tim peneliti membutuhkan waktu sekitar lima
bulan untuk melakukan telaah terhadap data, menghubungi narasumber (meski pada
akhirnya belum berhasil untuk melakukan wawancara karena kondisi sosial politik
yang ada), mencari literature dan kemudian menyelesaikan laporan penelitian.
Temuan penelitian ini menarik untuk dicermati. Kami menemukan adanya
penguatan politik identitas dari etnis Tionghoa Indonesia pasca reformasi. Rasa sense
of belonging masyarakat etnis Tionghoa terhadap Indonesia direfleksikan dalam
keikutsertaan mereka pada kegiatan-kegiatan sosial politik yang ada di Indonesia.
Meski demikian, menjadi potret yang patut ditelaah lebih jauh. Antusiasme etnis
Tionghoa dalam dunia politik pasca orde baru adalah sebuah prestasi tersendiri,
namun, dengan jaringan ekonomi etnis Tionghoa yang sudah ajeg sejak masa pra
kemerdekaan hingga orde baru, berimplikasi pada menguatnya posisi mereka dalam
dunia ekonomi dan kemudian politik. Walaupun hal ini bisa saja memunculkan
persoalan baru yang berkaitan dengan stabilitas sosial masyarakat.
Saran dan harapan kami atas telaah penelitian ini adalah Negara sebagai aktor
utama dalam pemerintahan, perlu terus menjaga netralitas yang ada terhadap semua
etnis, khususnya etnis Tionghoa. Sikap netral ini akan membantu menjaga stabilitas
dan menguatkan potret multikulturalisme di Indonesia.
Pada akhirnya, kami ucapkan rasa terimakasih
mendalam kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini baik secara material maupun
non mataerial hingga penelitian ini berhasil diselesaikan.
Ciputat, 28 Oktober 2016
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
Latar belakang Masalah
Identifikasi masalah
Pembahasan masalah
Perumusan masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Sistimatika Pembahasan
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
1
6
14
15
15
15
16
BAB II : KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW
A. Kajian Teori
1.
2.
3.
4.
.................................................................................. 18
Politik Identitas
Multikulturalisme
Nasionalisme
Modal sosial
B. Literature Review
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
18
21
23
25
...................................................................... 29
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................
Metode Penelitian
.....................................................................
Teknik Pengumpulan Data
.........................................................
Prosedur Pengolahan Data
.........................................................
Teknik Analisis Data
.....................................................................
36
36
37
38
39
BAB VI : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Etnis Tionghoa Dalam Lintasan Sejarah di Indonesia
.....................
40
1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan .....................
2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama .................................
3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru .................................
a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis
.................................
b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik .................................
4. Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi .................................
40
45
50
52
55
59
a. Pengaruh Kebijakan Negara
.................................
b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan
.....................
61
64
B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru
1.
2.
3.
4.
Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial
..................... 66
Pergeseran Orientasi Politik
............................................. 73
Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan ..................... 78
Penguatan Civil Society ......................................................... 80
BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
................................................................................. 99
B. Implikasi ............................................................................................. 100
C. Rekomendasi
................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1.
: Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok
Suku Bangsa Berdasarkan Data Sensus Penduduk
Tahun 2010 .......................................................................... 3
Tabel 2.
: Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik
Tabel 3.
: Jadwal Penelitian
Tabel 4.
: Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam
Politik Pada Era Awal Kemerdekaan
Hingga Orde Lama (1946 – 1966) ...................................... 47
Tabel 5.
: Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat
Antara Etnis Tionghoa Indonesia Dengan
Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995
.............. 53
Tabel 6.
: Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus
Partai Politik Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat
.............. 28
.............................................................. 36
.. 63
Tabel 7.
: Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa
Setiap Periode Pemerintahan
...................................... 76
Tabel 8.
: Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia
Yang Berdiri Setelah Masa Orde Baru
.......................... 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penulisan sejarah Indonesia, peran aktif etnis Tionghoa hampir tidak
pernah disebutkan secara proporsional, meskipun banyak bukti sejarah yang
menunjukkan sumbangan mereka bagi perkembangan Indonesia, misalnya dalam
bidang agama, kesusasteraan, bahasa, kesenian, olah raga, dan lain lain. Bahkan
gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah
stigma bahwa mereka merupakan kelompok penguasa ekonomi yang bersifat
oportunis, tidak memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan
kepentingan dan keuntungannya sendiri. 1
Kalaupun masyarakat etnis Tionghoa disinggung dalam penulisan sejarah
biasanya banyak berkaitan dengan peranannya di bidang ekonomi
baik sebagai
pelaku utama atau sebagai penguasa jalur ekonomi yang banyak merugikan
masyarakat pribumi. Politik identitas yang dialami oleh etnis Tionghoa membuat
mereka menjadi kelompok marjinal secara politik yang mengakibatkan menguatnya
identitas etnis mereka secara inklusif.
Secara historis, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Indonesia
dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M).Pada masa itu, Tiongkok
telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara di sekitar kawasan Asia
Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa
(Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M) juga didapati orang-orang
Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Pada paruh kedua abad ke-9, ketika tentara
pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta
1
Didi Kwartanada, “Minoritas Tionghoadan FasismeJepang: Jawa, 1942-1945”, dalam Lembaga
Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan
Lembaga Studi Realino, 1996.
saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou
berbondong-bondong mengungsi ke Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming,
orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho
sebanyak tujuh kali ke Nusantara. 2Pada saat kedatangan Cheng Ho yang pertama,
sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.Pada
akhir masa dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), jumlah
imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah.Hal ini
disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga
banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan.
Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan,
seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan.Para perantau tidak berasal
dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang
berbeda-beda.Secara garis besar, orang Tionghoa di Indonesia sebagian berasal dari
empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota
Kanton. 3 Di Indonesia, suku Hokkien hidup dengan cara berdagang, orang Kanton di
samping mempunyai kepandaian berdagang juga mempunyai ketrampilan di bidang
pertukangan dan teknologi, orang Hakka bekerja di pertambangan sehingga mereka
banyak terdapat dan tinggal di daerah pertambangan seperti Bangka dan Belitung,
dan orang Tiu-Chiu banyak melakukan usaha di bidang perkebunan.
Pada tahun 1815 dari total jumlah penduduk di Jawa sebesar 4.615.270 jiwa,
terdapat 94.441 orang (2,04%) dari golongan Tionghoa. 4 Di Jakarta yang sebelumnya
bernama Batavia, pada tahun 1628 jumlah warga etnis Tionghoa baru berjumlah 3000
jiwa, pada tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. 5
2
Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), hlm.
23-25.
3
Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London: Oxford University, 1987), hlm. 52.
4
Lembaga S tudi Realino (ed.), PenguasaEkonomidanSiasatPengusahaTionghoa, (Yogyakarta:
Kanisiusdan Lembaga Studi Realino, 1996), hlm. 11.
5
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, (Jakarta:
PustakaPopuler Obor, 2005), hlm. Viii.
Berdasarkan data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun
2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan kurang lebih
1.300 suku. Etnis Tionghoa menempati urutan ke-18 dengan perolehan 1,22% dan
berjumlah sekitar 2.832.510 jiwa.
Tabel 1.
Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa
Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2010
No
Kelompok Suku
1
Jawa
2
Sunda
3
Batak
4
Suku asal Sulawesi
5
Madura
6
Betawi
7
Minangkabau
8
Bugis
9
Melayu
10
Suku asal Sumatera Selatan
11
Suku asal Banten
12
Suku Asal NTT
13
Banjar
14
Suku Asal Aceh
15
Bali
16
Sasak
17
Dayak
18
Cina/Tionghoa
19
Suku asal Papua
20
Makassar
Sumber: Badan Pusat Statistik
Jumlah
95.217.022
36.701.670
8.466.969
7.634.262
7.179.356
6.807.968
6.462.713
6.359.700
5.365.399
5.119.581
4.657.784
4.184.923
4.127.124
4.091.451
3.946.416
3.173.127
3.009.494
2.832.510
2.693.630
2.672.590
%
40.22
15,5
3,58
3,22
3,03
2,88
2,73
2,69
2,27
2,16
1,97
1,77
1,74
1,73
1,67
1,34
1,27
1,22
1,14
1,13
Etnis Tionghoa menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, namun
kawasan utama penyebaran orang Tionghoa di Indonesia ada di wilayah Jabodetabek,
Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung. 6
Di Indonesia, Istilah Tionghoa sendiri untuk pertama kalinya digunakan untuk
menjadi nama perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THKK) yang didirikan tahun
1900, dalam dokumen organisasi tersebut istilah Tjina juga banyak digunakan untuk
menyebutkan identitas mereka. Selanjutnya, istilah Tionghoa mulai populer beriring
bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Jawa pada dekade ke-2 pada abad ke-20 di
Hindia Belanda. Istilah ini digunakan untuk menyatakan solidaritas kaum Tionghoa
dan sebagai manifestasi peranakan Tionghoa terhadap posisi mereka yang dianggap
sebagai penduduk kelas dua di Hindia Belanda. 7 Kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda juga mengharuskan orang Tionghoa untuk tinggal di satu daerah tertentu
(wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area tersebut setelah mendapat kartu pass
izin keluar.
Diskriminasi dalam bentuk politisasi identitas terhadap etnis Tionghoa tidak
hanya terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terus dilanjutkan pada
masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada era demokrasi liberal, diterapkan sebuah
aturan yang disebut sistem benteng 8 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk melindungi para importir nasional yang notabene nya adalah
importir pribumi dari importir asing, dan para pengusaha Tionghoa tidak masuk
dalam kategori importir nasional tersebut. kebijakan lain yang makin meminggirkan
kaum Tionghoa adalah saat Presiden Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959
6
BPS, Sensus 2010 Tentang Data Sebaran Penduduk Indonesia Berdasarkan Etnis dan Suku, Etnis
Tionghoa adalah etnis yang berintegrasi dengan etnis lain, hingga seringkali mereka menyatakan
sebagai salah satu etnis asli Indonesia sebagai suku nya karena secara turun temurun sudah tinggal di
wilayah tersebut.
7
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 102.
Penduduk kelas pertama adalah orang EropadanBelanda, keduagolonganTimur Asing yang terdiri dari
Tionghoa, Jepang, dan Arab, lalup osisi ketigaditempati oleh orang pribumi.
8
Leo suryadinata, DilemaMinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135.
yang melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan,
peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran
kota.
Pada Masa Presiden Soeharto, Etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang
makin buruk yaitu saat muncul kampanye anti Guomindang (Kuomintang) dan
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, saat itu Beijing dianggap terlibat dalam
rencana kudeta tersebut sehingga pemerintah mengeluarkan beberapa aturan khusus
bagi masyarakat etnis Tionghoa, diantaranya, pelarangan terhadap penggunaan huruf
Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah
Tionghoa, pembatasan perayaan imlek dan cap go meh, pembatasan upacara di
klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina menggantikan Istilah Tionghoa
yang sebelumnya di gunakan. 9 Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No.
III/MPRS/1966 yang mengharuskan warga Tionghoa untuk mengindonesiakan nama
mereka dan tidak menggunakan nama Cina sebagai identitas.
Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998
yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh
Presiden BJ. Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia
untuk berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi.
Hal ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan
beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk
berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang
berskala lokal maupun yang nasional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa Orde Baru orang-orang Tionghoa
Indonesia telah diindonesiakan, walau sebagian besar di antara mereka belum
berasimilasi seutuhnya. Persamaan yang mereka miliki dengan etnis asli Indonesia
9
“Diskriminasi Etnis
http://homearticleimg.com.
Tionghoa”
artikel
diakses
pada
28
Maret
2014
dari
adalah status kewarganegaraan Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari. Secara formal, undang-undang kewarganegaraan pun belum
mendukung sepenuhnya upaya asimilasi yg seharusnya sudah final dilakukan. Salah
satu contoh adalah konsep pembedaan pribumi dan non-pribumi dilihat dari UndangUndang Dasar Indonesia. Naskah asli UUD 1945 secara jelas membagikan
warganegara Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu: pribumi dan non-pribumi.
Dalam Pasal 6 UUD yang belum diubah tertulis bahwa presiden adalah orang
Indonesia asli dan dalam Pasal 26 dikatakan bahwa warga negara Indonesia terdiri
dari bangsa Indonesia asli dan bangsa lain. UUD telah diubah sebanyak empat kali,
dan pada tanggal 10 Nopember 2001 Pasal 6 telah diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: presiden dan wakil presiden Indonesia harus warga negara Indonesia sejak
kelahirannya, sedangkan dalam Pasal 26, istilah bangsa Indonesia asli dipertahankan,
UU tersebut menjadi sangat ambigu ketika ditarik pada pemaknaan hak-hak
warganegara baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Tidak konsistennya upaya
mendorong perundangan ke arah yang dikehendaki oleh demokrasi pada masa
Reformasi memunculkan batu sandungan yang cukup besar terhadap termujudnya
wacana pluralisme dan multikulturalisme diantara bangsa Indonesia khususnya antara
etnis Tionghoa yang bukan dianggap asli dan etnis pribumi yang dianggap sebagai
orang Indonesia asli.
Pergeseran dari kebijakan asimilasi pada masa Orde Baru kearah
pembentukan
masyarakat
yang
multikultural
yang
diusung
oleh
gerakan
demokratisasi memunculkan permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih
dalam, yaitu bagaimana penguatan identitas politik yang secara otomatis muncul
sebagai akibat dibukanya peran partisipasi politik sejak reformasi memberikan
dampak bagi menguatnya nilai-nilai nasionalisme kebangsaan di Indonesia. Beberapa
kekhawatiran muncul akibat menguatnya politik identitas politik etnis Tionghoa di
Indonesia justru akan bersinggungan dengan makin menguatnya eksklusifitas etnis
tertentu dan menjadi ancaman bagi nilai nilai nasionalisme kebangsaan yang menjadi
pijakan dasar bagi terwujudnya NKRI yang kuat.
B. Identifikasi Masalah
Peran aktif etnis Tionghoa dalam dunia politik menjadi sangat penting sekali
untuk dibahas. Hal ini disebabkan adanya dinamika yang cukup menarik dari posisi
politikidentitas yang dimiliki baik secara historis maupun secara empiris.
Kedatangan leluhur suku Tionghoa (yang berasal dari negera China) untuk
bermigrasi ke Indonesia terjadi sejakratusan tahun yang lalu sekitar abad ke 16-19.
Kedatangan mereka ke nusantara sebagai salah satu implikasi ramainya interaksi
perdagangan di daerah pesisir tenggara China, hingga banyak orang yang tinggal di
daerah pesisir China ikut berlayar untuk berdagang dengan salah satu tujuan utama
mereka saat itu adalah Asia Tenggara. Indonesia (masih dikuasai peamerintahan
Hindia Belanda) menjadi salah satu pilihan wilayah di Asia Tenggara yang menjadi
tempat singgah.Sebagia dari para pedagang China memutuskan untuk menetap dan
menikah di Indonesia dengan warga pribumi, dan ada pula yang kembali ke China
untuk terus berdagang. Para pedagang China yang tinggal menetap dan menikah di
Indonesia hidup membaur dengan masyarakat asli Indonesia, dan akhirnya terjadi
asimilasi serta akulturasi budaya.
Sejak negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan
Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia,
sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.Orang-orang Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari bagian
Tenggara China (sekarang propinsi Fujian, Guangdong, Hainan, dan sekitarnya).
Sebagai kelompok pendatang di bumi nusantara, banyak penyesuaian dan
adaptasi yang harus dilakukan dengan masyarakat pribumi, hal ini bertambah sulit
karena masyarakat Tionghoa yang datang ke Indonesia bersifat masif dan membawa
budaya yang jauh berbeda dengan yang menjadi tradisi masyarakat lokal di
Indonesia. Disamping jumlah yang banyak, masyarakat Tionghoa memiliki
solidaritas etnis yang sangat kuat
Bahkan setelah berpuluh tahun menetap di Indonesia dan ikut menjadi bagian
sejarah nusantara, posisi sosial politik etnis Tionghoa tetap terpisah dan tidak bisa
melebur secara maksimal dengan masyarakat pribumi. Beberapa persoalan sosial
yang kerap kali berujung pada terjadinya konflik antar etnis pribumi dan etnis
Tionghoa di Indonesia. Hal tersebut menjadi agaenda sendiri bagi penguasa untuk
membuat kebijakan dan regulasi yang bersifat akomodatif dan kondusif, walau tak
jarang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru berkontribusi bagi makin
menguatnya konflik yang muncul ditengah masyarakat.
Bila ditelusuri secara historis, sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda
sudah diberlakukan kebijakan yang cukup mendiskriminasi peran aktif politik etnis
Tionghoa di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda mengharuskan orang Tionghoa
untuk tinggal di satu daerah tertentu (wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area
tersebut setelah mendapat kartu pass izin keluar. Pemerintah Orde Lama
memberlakukan sistem Benteng dan dikeluarkannya PP No.10 tahun 1959 yang
melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan,
peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran
kota.
Pada
masa
Presiden
Soeharto,
politik
identitas
dilakukan
dengan
diterapkannya politik dua dimensi terhadap etnis Tionghoa, yaitu dimensi budaya dan
dimensi ekonomi. 10 Pada dimensi budaya, Soeharto memberlakukan politik asimilasi
total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yaitu sekolah, organisasi,
dan media Tionghoa, sedangkan di sektor ekonomi Soeharto memberikan kesempatan
yang seluas luasnya bagi mereka untuk lebih mendominasi. Namun, bila mereka
10
PurnamaS. , Politik Pemerintahan Indonesia dan Etnik Tionghoa, artikel diaksespada 28 Maret
2014 dari http://www.secangkirteh.com.
sudah mendekati wilayah politik, akses mereka segera ditutup dengan berbagai aturan
yang kental dengan kecurigaan. Hal tersebut lah yang menjadi salah satu sebab
minimnya partisipasi kaum Tionghoa dalam percaturan politik Indonesia. Mereka
lebih memaksimalkan penguasaan sektor ekonomi, juga membangun jaringan sebagai
patron-klien secara lebih kuat tanpa langsung bersentuhan dengan politik praktis
namun dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut secara ekonomis.
Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1966 yang
mengharuskan warga Tionghoa untuk mengIndonesiakan nama mereka dan tidak
menggunakan nama asli mereka sebagai identitas.
Sebelum di amandemen, dalam UUD 1945 pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan
bahwa yang menjadi warga negara Indonesia ialah hanya orang-orang bangsa
Indonesia yang asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang
undang dasar sebagai warga negara. Pemahaman mengenai kalimat bangsa Indonesia
asli ini mengalami beberapa kali perubahan dari UU No.3 tahun 1946, lalu UU no.6,
UU No.8 tahun 1947 hingga UU No.11 tahun 1948. Akhirnya rumusan konsep istilah
bangsa Indonesia asli memiliki landasan konstitusional di dalam amandemen UUD
1945 pasal 26 :
1. Yang menjadi warga negara ialah orang orang Indonesia asli dan orang
orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang undang sebagai warga
negara.
2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
3. Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan Undang Undang.
Setelah amandemen tersebut, dibentuk Undang Undang Organik yaitu UU
no.12 tahun 2006, dimana pemahaman bangsa Indonesia asli sebagaimana di maksud
dari ketentuan pasal 2 UU No.12 tahun 2006 menentukan bahwa “yang menjadi
warga negara Indonesia adalah orang orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga Negara”. 11 Dalam
penjelasan pasal 2 tersebut ditegaskan bahwa yang disebut bangsa Indonesia asli
adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, dilanjutkan dengan ketentuan pasal 4
yang mengatakan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah negara Republik Indonesia
dianggap warga negara Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya
tidak jelas. Hal tersebut memberikan angin segar bagi etnis Tionghoa yang
mengalami persoalan status kewarganegaraan dalam waktu yang sangat panjang,
dimana penegasan tentang status kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran
dalam wilayah Indonesia.
Benturan masalah yang dialami oleh orang Tionghoa tidak hanya tentang
status kewarganegaraan mereka saja, masih banyak persoalan yang muncul dan
mendatangkan konflik yang cukup dalam antara orang Tionghoa dengan warga asli
Indonesia secara genetik, ditambah dengan fenomena bahwa mereka mendominasi
sektor ekonomi Indonesia dari hulu sampai hilir, secara makro maupun mikro, hingga
memunculkan kecemburuan sosial yang tinggi diantara masyarakat Indonesia.
Hampir pada setiap gejolak sosial ekonomi politik yang terjadi di Indonesia selalu
masyarakat Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan warga dan dianggap sebagai
penyebab munculnya konflik yang cukup besar, seperti saat terjadi kerusuhan yang
berujung pada pembantaian massal tahun 1740 di Batavia oleh VOC pimpinan
Gubernur Jendral Adrian Valckener, juga kerusuhan Mei 1998 yang meninggalkan
trauma luar biasa bagi etnis Tionghoa pada perlakuan pribumi yang membabi buta
terhadap mereka, yang tidak hanya menghancurkan sektor perekonomian dengan
penjarahan asset-asset ekonomi, tetapi juga mengancam jiwa mereka.
Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998
yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh
Presiden Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk
11
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm.
berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi. Hal
ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan
beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk
berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang
berskala lokal maupun yang nasional.
Partisipasi politik etnis Tionghoa perlahan menguat seiring dengan makin
menguatnya nilai nilai demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan beberapa hal,
seperti didirikannya beberapa partai politik berbasis masyarakat Tionghoa, banyaknya
etnis Tionghoa yang maju menjadi Calon legislatif dengan bergabung di partai-partai
politik yang plural, dan didirikan juga beberapa ORMAS dan LSM berbasis
Tionghoa.
Beberapa parpol Tiongoa yang didirikan yaitu; Partai Pembauran Indonesia,
Partai Warga Baru Indonesia, Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang
dipimpin oleh Lieus Sungkharisma alias Li Xuexiong, lalu didirikan pula Partai
Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) didirikan oleh Nurdin Purnomo alias Wu
Nengbing, 12
walaupun pada Pemilihan umum pertama setelah Orde Baru
dilaksanakan pada tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik namun hanya satu partai
politik Tionghoa yang menjadi peserta pemilu yaitu partai Bhineka Tunggal Ika yang
memperoleh suara 364.291 atau 0,34% dan memperoleh 1 kursi di DPRD Kalimantan
Barat. 13 Terdapat kurang lebih dari 50 caleg berasal dari Etnis Tionghoa.
Selain organisai politik berbentuk partai, didirikan juga organisasi non partai
yang berbasis kaum Tionghoa, seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia
(PSMTI) yang diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) Tedy Yusuf alias Him Tek Ie, ada
juga Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia (INTI) diketuai oleh Drs. Edy
Lembong alias Ong Joe San (Wang Yousan), 14 lalu berdiri LSM Gerakan Anti
12
Leo Suryadinata, Negara dan EtnisTionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 55. PBI
adalah satu satunya partai orang Tionghoa yang mengikuti pemilu 1999, dan mendapatkan 1 kursi dari
daerah pemilihan Kalimantan Barat.
13
Data diperoleh dari dokumentasi KPU
14
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa kasus Indonesia…, h. 56
Diskriminasi Indonesia (GANDI) yang dipelopori oleh Anton Supit dan Niko
Krisnanto. 15Pada tahun 2004 didirikan FORDEKA (Forum Demokrasi Kebangsaan).
Pada masa pemerintahan presiden BJ. Habibi dikeluarkan instruksi presiden
no.26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi,
terutama untuk membedakan penduduk keturunan Cina dengan penduduk asli
Indonesia, penggunaan pembedaan ras hanya digunakan untuk menunjukkan
keragaman etnis berdasarkan suku yang ada di Indonesia. 16 Inpres presiden tersebut
menjadi justifikasi kuat bagi kelompok etnis Tionghoa untuk mensejajarkan diri
dengan warga asli Indonesia dalam bidang politik. Selanjutnya pada masa presiden
Abdurrahman Wahid, dikeluarkan instruksi presiden No. 6 tahun 2000 yang isinya
mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis
Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan
pengek-spresian terhadap kebudayaannya di Indonesia.
Peningkatan partisipasi politik kaum Tionghoa makin membesar dalam
pemilu legislatif tahun 2004 dimana terdaftar calon anggota legislatif yang berasal
dari kaum Tionghoa berjumlah lebih dari 200 orang baik untuk DPR maupun DPRD,
walaupun yang lolos menjadi anggota legislatif hanya 3 orang dan itupun pada
tingkat DPRD. 17 lalu ada Christiandy Sanjaya dan Cornelis yang menjadi Gubernur
dan wakil Gubernur Kalimantan Barat, Yansen Akun Effendy sebagai Bupati
Sanggau, Fify Lety Indra sebagai Walikota Pangkal Pinang, Basuki Tjahaya Purnama
sebagai Bupati Belitung, dan Goh Tjong Ping sebagai Bupati Tuban. Pada Pemilu
tahun 2004,partisipasi elite politik Tionghoa disalurkan pada partai-partai seperti
Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKB dan PIB.
Pada Pemilu tahun 2009 yang disebut juga sebagai tahun politik bagi etnis
Tionghoa, ada sekitar 213 caleg dari etnis Tionghoa dan terpilih 28 orang untuk
15
Benny G.Setiono, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka, 2008, h. 1087
Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal HUMANITY, Vol. 6,
no. 1 September 2010, hal.41
17
Ibid., hal. 50
16
duduk di parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah. 18 Hal tersebut menjadi
fenomena baru bagi realitas partisipasi politik kaum Tionghoa di Indonesia, setelah
mereka mendapat tekanan, politisasi identitas, diskriminasi dan intimidasi dalam
waktu yang cukup panjang dalam sejarah polik di Indonesia. Namun demikian, gerak
politik masyarakat Tionghoa belum berani untuk mencapai posisi posisi strategis
pemerintahan pada tingkat pusat dalam skala nasional, para elite politik yang
bergerak didominasi oleh kalangan muda Tionghoa yang memiliki semangat dan
tingkat percaya diri yang tinggi untuk bersaing dalam ranah politik, sementara para
generasi senior mereka masih bersikap apatis dan hanya berposisi sebagai pemain
belakang layar dan motivator.
Baru pada kurun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para
elite politik kaum Tionghoa mulai mengincar posisi posisi strategis pemerintahan
dengan melakukan gebrakan yang cukup mencenangkan, diantaranya adalah dengan
keberanian Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mencalonkan diri menjadi wakil
Gubernur DKI Jakarta yang selanjutnya diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta
menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden di Pemilu tahun 2014,
menjelang pemilihan presiden tahun 2014, dilakukan deklarasi calon presiden dan
wakil presiden yang dilakukan oleh partai HANURA dengan menampilkan Bambang
Hary Iswanto Tanoesoedibjo yang merupakan CEO MNC Group sebagai calon wakil
presiden yang selanjutnya mendirikan PERINDO. Keberanian dua tokoh politik yang
berasal dari etnis Tionghoa tersebut menjadi fenomena baru bagi realitas politik di
Indonesia mengingat kaum Tionghoa masih dianggap sebagai kaum minoritas secara
politik19karena faktanya masyarakat Indonesia masih terkotak pada isu isu identitas
dan SARA terutama pada saat menjelang pemilihan kepala daerah, atau pemilihan
umum legislatif dan presiden.
18
Ibid., hal. 51
Menurut data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, jumlah etnis
Tionghoa berkisar kurang lebih 2,8 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan yang
berjumlah 237 juta lebih jiwa.
19
Menguatnya politik identitas etnis tionghoa tidak lepas dari bergesernya
orientasi politik mereka yang memang selalu mengalami perubahan pada setiap
periode pemerintahan di Indonesia. Posisi yang menguntungkan secara ekonomi
memberikan ruang yang besar bagi elit Tionghoa untuk memberikan pengaruh pada
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terlebih pada masa reformasi
ini dimana politik kepentingan lebih menonjol dan pentas politik membutuhkan
subsidi dan suntikan dana yang besar baik pada level nasional maupun pada level
lokal daerah.
Setelah berakhirnya masa Orde Baru, orientasi politik etnis Tionghoa tentang
politik Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan saat
Soeharto masih berkuasa, orientasi kognitif yang meliputi berbagai pengetahuan dan
keyakinan tentang sistem politik yang dimiliki oleh etnis Tionghoa memberikan
motivasi bagi menguatnya visi dan misi politik yang mereka miliki baik secara
individual maupun secara kolektif disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang
berkembang, Hal ini memberikan dorongan kuat agar akses menuju politik praktis
lebih terbuka, karena itu gencar dilakukan pendidikan politik oleh organisasiorganisasi tertentu sebagai upaya meningkatkan aspek pengetahuan etnis Tionghoa
tentang politik dan mengenai jalannya sistem politik. Karena itu menjadi menarik
untuk ditelaah lebih dalam bagaimana orientasi politik tersebut bergeser dan apa
kaitannya dengan penguatan politik yang kentara sekali dialami oleh masyarakat etnis
Tionghoa di Indonesia. Apakah implementasi dari orientasi tersebut sesuai dengan
cita cita berbangsa yang diyakini sebagai dasar kehidupan berbangsa bagi rakyat
Indonesia.
Penguatan politik etnis yang muncul tidak lepas dari kontribusi besar nilai
nilai multikulturalisme yang menjadi dasar dari kehidupan berdemokrasi. Akulturasi
yang terjadi antara etnis tionghoa dan etnis pribumi di Indonesia tidak terjadi tanpa
perjuangan yang panjang. setelah lebih dahulu diwarnai pertikaian dan konfilk etnis
yang berkepanjangan juga implikasi yang dimunculkan karena kabijakan-kebijakan
pemerintah yang secara tidak langsung memperkuat konflik di tengah masyarakat
yang kerapkali berujung terjadinya kekerasan.
Namun
demikian,
walau
sudah
mengusung
jargon
demokrasi
dan
mengumandangkan nilai nilai multikulturalisme, budaya politik eatnis yang
terbangun di tengah bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja hilang dan berasimilasi
atau membaur secara cair. Beberapa persoalan etnis masih muncul karena bekas yang
ditinggalkan dari konflik panjang Tionghoa VS pribumi yang justru belakangan
mengkristal, karena secara kasat mata, penguatan politik etnis Tionghoa memberikan
subsidi yang sangat besar bagi makin membesarnya penguasaan ekonomi yang
sebelumnya sudah erat dipegang oleh kalangan etnis Tionghoa. Hingga bisa
dikatakan bahwa penguatan politik yang terjdi pasca Orde Baru justru memberikan
ancaman bagi akar multikulturalisme yang sudah dibangun dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika.
Persoalan lain yang muncul dari fenomena menguatnya politik etnis Tionghoa
di Indonesia ini adalah makin berkembangnya kecemburuan diantara masyarakat
pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa yang semakin menunjukkan
penguasaannya dalam kehidupan sosial politik, sementara nilai-nilai nasionalisme
kebangsaan diantara mereka masih diragukan. Berpartisipasi saja dalam ruang politik
dan ruang sosial belum cukup dianggap
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terjadinya pelebaran fokus dari pembahasan dan analisis
materi dan data, maka penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup pokok masalah
tentang penguatan politik masyarakat Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru yang
berkaitan dengan orientasi politik yang pada saat ini dimiliki sebagai landasan visi
masyarakat Tionghoa dalam berperan aktif dalam dinamika politik praktis di
Indonesia.
Orientasi
yang dimiliki
akan
dikaitkan
dengan
nilai
– nilai
multikulturalisme yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural dan
memiliki aneka ragam faham dan keyakinan baik yang berbasiskan agama, etnis,
kesukuan maupun orientasi politik.
D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, muncul beberapa permasalahan yang dirumuskan
dalam beberapa pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Setelah Orde Baru?
2. Bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas etnis Tionghoa dan
perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca Orde Baru?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang berkaitan langsung dengan bagaimana
partisipasi politik yang ditunjukkan oleh masyarakat etnis tionghoa di
Indonesia yang secara spesifik dapat diuraikan:
a. Untuk mengetahui bagaimana perubahan dan pergeseran orientasi politik
etnis Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru
b. Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas
etnis Tionghoa danperkembanganb multikulturalisme di Indonesia Pasca
Orde Baru.
F. Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bermanfat untuk memperkaya kajian atau riset
mengenai masalah-masalah politik identitas khususnya yang berkaitan dengan
eksistensi politik satu etnis tertentu ditengah budaya multikulturalisme dan
kemajemukan bangsa Indonesia. Studi tentang etnis Tionghoa yang sedang banyak
dilakukan belakangan ini diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan teoriteori sosial politik terutama yang berkaitan dengan kajian tentang orientasi politik,
multikulturalisme dan resolusi konflik lokal.
Secara praktis, penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pihak pihak terkait
terutama pembuat kebijakan untuk bisa lebih memperhatikan fenomena sosial terkini
ditengah masyarakat, agar konflik SARA yang kerap kali terjadi tengah masyarakat
yang melebar pada aksi kekerasan akibat kesenjangan yang muncul dan makin tajam
diantara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa yang memang memiliki status sosial
yang lebih tinggi di tengah masyarakat sebagai pemilik modal dn penguasa ekonomi.
G. Sistimatika Pembahasan
Pembahasan dalam laporan penelitian ini dibagi menjadi beberapa identifikasi
yaitu:
Bab I: Pendahuluan sebagai bab pembuka
komponen
yang terdiri dari beberapa
yaitu: Latar belakang Masalah, Identifikasi masalah, pembahasan
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat peanelitian serta sistimatika
bagaimana peaanelitian ini dilaporkan
Bab II: Kajian Teori yang dibagi menjadi sub bab tentang kajian teori dan sub
bab mengenai literatur review. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
politik identitas, teori kewarganegaraan , teoari nasionalisme yang berkaitan langsung
dengan multikulturalisme dan teori modal sosial sebagai teori pendukung untuk
memperkuat data penelitian yang berhasil dikumpulkan
Bab III: Pada bab ini akan dibahas metodologi penelitian, yaitu yang berkaitan
langsung dengan tempat dan waktu penelitian, setting lokasi penelitian yang akan
menggambarkan sejarah Tionghoa di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai
masa Orde Baru dengan uraian Etnis Tionghoa masa Pra Kemerdekaan Etnis
Tionghoa Masa Orde Lama Etnis Tionghoa Masa Orde Baru (Penguasaan Ekonomi
dan Bisnis dan Asimilasi dan Diskriminasi Politik yang dialami), bab ini juga akan
secara spesifik menjelaskan bagaimana metodologi penelitian yang digunakan
berkaitan dengan teknik pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan teknik
analisa data.
Bab IV: adalah bab yang membahas hasil penelitian yang dibagi kedalam
beberapa sub bab yang akan menjelaskan hasil penelitian sesuai dengan data yang
berhasil dikumpulkan, diawali dengan gambaran tentang bagaimana etnis Tionghoa
mulai menunjukkan eksistensinya secara politik di Indonesia setelah kekuasaan Orde
Baru berakhir. Pembahasan akan dimulai dengan menelusuri sejarah secara singkat
bagaimana posisi etnis Tionghoa dalam politik praktis di Indonesia mulai pada masa
Pra Kemerdekaan yang dilanjutkan oleh periode Orde Lama, lalu bagaimana posisi
mereka pada masa Orde Baru dan apa kelanjutan dari reposisi yang dilakukan oleh
masa Reformasi terhadap etnis Tionghoa setelah mengalami banyak tekanan pada
periode-periode sebelumnya.
Selanjutnya akan dibahas bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis
Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru dilakukan dengan berbagai cara dan
menggunakan beberapa pola melihat akses dan peluang yang dimiliki untuk bisa
berperan aktif dalam dunia politik praktis di Indonesia, beberapa faktor yang
dianalisis dalam hal ini adalah; faktor Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial
Pergeseran Orientasi Politik
dan faktor Multikulturalisme Sebagai motivasi dan
Penguatan Civil Society berbasis etnis Tionghoa yng tumbuh subur sejak tahun
1998.
Bab V: Kesimpulan dan rekomendasi penelitian yang memuat jawaban dasar
dari pertanyaan penelitian dan bagaimana implikasi dari penelitian ini dalam
pengembangan dunia akademik berkaitan dengan teori dan analisis data dan akan
disajikan beberapa rekomendasi yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
penelitian sejenis selanjutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW
A. Kajian Teori
1. Politik Identitas
Ada beberapa pemahaman yang muncul mengenai pemahaman tentang politik
identitas sebagai sebuah teori dalam ilmu politik. Memaknai politik identitas harus
dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, yang oleh Suparlan disebut juga sebagai
jati diri. Masih menurut Suparlan, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap
seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dilekatkannya
rangkaian ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh
yang menandainya masuk dalam satu kelompok atau golongan tertentu. 20 Sementara
Buchari dengan mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas
secara umum dapat dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau
suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara
simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan
dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut. 21
Secara
tegas,
Cressida
Heyes
dalam
Stanford
Encyclopedia
of
Philosophymendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam
pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota- anggota dari kelompokkelompok sosial tertentu. 22Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang
lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan atas
pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi
(keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Politik identitas seakan20
Parsudi Suparlan, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004, hal. 25.
Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014, hal, 27
22
Cressida Heyes, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007, diaksesdari
Plato.Stanford.edu/entries/identity politics.
21
akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensial
tentang keberadaan
kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas.
Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut
yang melekat kepada seseorang secara kultural, 23 masyarakat Tionghoa di Indonesia
secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah
dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas
kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina
manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain lain, identifikasi tersebut tidak hanya
diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh komunitas mereka
sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan budaya nenek
moyang.
Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah
tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya
kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu 24 (disebut
pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap
Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: “Identities can also be
originated from dominant institutions, they become identities only when and if social
actors
internalize
them
and
construct
their
meaning
around
this
25
internalization” Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang
bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana
kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau
kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada
mereka.
23
24
Ibid., hal. 6
Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1994, hal.
26
25
Manuel Castells, The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural,
Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003 hal. 7
Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu
dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang
menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:
a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun
oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi
ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu
pada seseorang atau kelompok.
b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan
oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan
dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu
resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan
anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh
Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.
c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini
dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk
identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat,
hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah
struktur sosial secara keseluruhan. 26
Merujuk pada beberapa pemahaman diatas, politik identitas berakar pada
streotif yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti
konsep polity Aristoteles, Primordialisme berarti “berperang ke luar dan konsolidasi
ke dalam”.Karena itu, politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat
frontal maupun yang dialektik. Politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan
antara superioritas dan inferioritas, antara mayoritas dan minoritas. Dalam wacana
pluralisme, ketika demokratisasi digulirkan dan mendapatkan dukungan kuat dari
konsep multikulturalisme, politik identitas seolah menemukan kekuatannya, dimana
26
Ibid., , hal.8.
keberadaan minoritas berubah dari didiamkan menjadi dipertanyakan sekaligus
diperjuangkan baik dengan melakukan asimilasi maupun akulturasi yang bersifat
sistemik. Perjuangan politik identitas akan menemukan muaranya saat streotif yang
dilekatkan dapat disejajarkan dengan eksistensi kelompok dengan identitas lain dan
mendapatkan hak-hak yang sama dalam lingkup sosial, budaya dan politik, hal
tersebut bisa dilakukan dalam kultur demokrasi.
Dari beberapa pemahaman diatas, politik identitas dapat dipahami sebagai
tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggotaanggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik
berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan
rumusan lain dari politik perbedaan.
Penelitian ini akan melihat bagaimana politik identitas yang dialami oleh
masyarakat Tionghoa memberikan asupan energi bagi menguatnya orientasi politik
setelah Orde Baru. Konstruksi identitas seperti yang dikatakan oleh Castells secara
langsung memposisikan masyarakat Tionghoa sebagai komunitas yang eksklusif dan
memiliki ruang sosial yang lebih luas dibandingkan dengan masyarakat pribumi, hal
ini terjadi karena penguasaan mereka atas sektor ekonomi menjadi modal yang kuat
bagi agenda-agenda politik yang dimiliki setelah reformasi 1998. Walau kerap kali
menjadi sasaran kerusuhan dan konflik sosial, masyarakat Tionghoa selalu mampu
merehabilitasi posisi mereka di tengah masyarakat.
2. Multikulturalisme
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemen yang ditunjukkan dengan tatanan hidup saling berdampingan namun tetap
membaur dalam sebuah unit politik.27 Seperti dicontohkan bagaimana harmonisasi
yang terjadi antara masyarakat Cina, India, dan Melayu yang dekat secara geografis
namun memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya namun
27
446.
J.S Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New York, 1944, hal.
mampu bersinergi sebagai kekuatan etnoreligius tanpa menghilangkan identitas
kultural masing-masing.
Clifford Geertz berkomentar bahwa kemerdekaan nasional merangsang
sentimen-sentimen etno religious di negara-negara baru karena termotivasi oleh visi
dan misi tentang kemerdekaan yang memperebutkan kontrol atas negara. 28 Karena itu
dibutuhkan kekuatan yang lebih besar dari sekedar kekuatan negara yaitu kekuatan
masyarakat secara lebih kondusif yang dibangun diatas nilai nilai pluralisme dan
multikulturalisme.
Masyarakat menjadi ujung tombak dari kontrol yang harus dilakukan terhadap
berkembangnya konflik diantara kekuatan-kekuatan kelompok baik yang berbasis
etnis maupun agama, karena seiring berkembangnya kapitalisme modern, struktur
sosial secara langsung telah membuat kotak-kotak budaya yang ada didukung oleh
ekonomi pasar yang seharusnya mampu memperkuat cita-cita demokratis keselarasan
sipil dan kewarganegaraan. Hal tersebut penting untuk dilakukan untuk memperkuat
pembentukkan nation building dengan menggunakan kotak-kotak budaya yang sudah
ada atau dengan pembentukkan faksi-faksi baru yang akan muncul seiring dengan
berkembangnya kesadaran sosial dan politik masyarakat. 29
Secara sederhana, multikulturalisme dimaknai sebagai pengakuan dan
dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya
untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada
saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan
budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang. 30
Cashmore
menjelaskan
dalam
kaitannya
dengan
kebijakan
negara,
multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk memelihara keselarasan antara
kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2) untuk menstrukturkan hubungan
28
Clifford Geertz, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States, Basic, New
York, 1973, hal. 270.
29
Robert W. Hefner, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press,
Princenton, 2007, hal. 22.
30
D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart
Ltd. 1999, hal. 429
antara negara dan minoritas etnik. 31 Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu
dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku
dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu
merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan
kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep
bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih
berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bagsa adalah
komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki
wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. 32
3. Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu
konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat
menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara)
yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan
ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme
mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
James G Kellas memaknai nasionalisme sebagai:
“Nasionalism is both an ideology and a form of behaviour. The ideology of
nationalism builds on peoples awareness of nation (national self-consciousness)
to give a set of attitudes and programme of action, they may be cultural,
economic or political. Since ‘nation’ can be defined in ethnic, social, or official
sense, so nationalism can take these form also” 33 (Nasionalisme merupakan
sebuah ideologi dan bentuk perilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas
masyarakat yang memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang
ditunjukkan dengan sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi atau politik).
31
E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996, hal.
244)
32
Will Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995, hal. 11
James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998,
hal. 4
33
Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu
memberi
seperangkat
sikap
bangsa serta
dan program tindakan. Tingkah laku
seorang
nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.
Anthony D. Smith mengemukakan nasionalisme sebagai “sebuah ideologi,
nasionalisme memiliki sasaran untuk mencapai pemerintahan yang kolektif,
penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga kerapkali mempunyai program politik
dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.” 34 Pemahaman tersebut
berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu dicapainya otonomi nasional,
kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam sebuah pemahaman
mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial. 35
Komponen utama pembahasan mengenai nasionalisme adalah konsep
mengenai bangsa dan kelompok etnis yang menjadi subyek sekaligus obyek dari
nasionalisme itu sendiri. Pemahaman mengenai bangsa (nation), seperti yang
dikemukakan M.D La Ode dengan mengutip Hans Kohn bahwa: “Nationalism astate
of mind, in wich supreme loyality of the individual is felt to be due the nation-satate.
A deep attachment to one’s native soil, to local traditions and to established
territorial
authority
has
existed
in
varying
strenght
throughthout
history 36(Nasionalisme merupakan bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang
dirasakan oleh seorang individu atas sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah
perasaan yang mendalam terhadap tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi
lokal dan otoritas teritorial yang didirikan dan sepanjang sejarah)
34
Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003,
hal.26
35
Ibid., hal. 11
36
M D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan
Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan
Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hal.54-55
Nasionalisme dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai kelompok etnis
atau etnosentris (kesukuan) dipandang sebanding dengan pemaknaan tentang nation
atau bangsa. Bedanya adalah bahwa kelompok etnis nyaris dimaknai sama dengan
makna nation atau bangsa, sedangkan etnosentrisme lebih berakar dalam perspektif
psikologi sosial dari pada makna nasionalisme yang lebih berakar pada dimensi
psikologis, namun demikian kelompok lebih memiliki dimensi ideologis dan politis.
James G. Kelles melihat korelasi makna nasionalisme dalam konteks kelompok etnis
sebagai: “the term ‘ethnic group’ is frequently used to describe a quasi-national kind
of ‘minority group’ within the state, wich has somehow not achived the status of
nation” 37(Istilah 'kelompok etnis' sering digunakan untuk menggambarkan jenis
kuasi-nasional 'kelompok minoritas dalam negara, yang tidak mencapai status
negara). Lebih lanjut Kellas mengatakan bahwa etnisitas bukanlah sesuatu yang
bersifat alamiah namun merupakan sebuh kontruksi yang dibuat oleh negara. 38
Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengklaim dan menuntut loyalitas dari
setiap individu untuk bangsa dan kepentingan nasional sedangkan politik etnis lebih
melihat
pada
komitmen
kelompok
dan
etnis
tertentu,
Kellas
mencoba
mengintegrasikan makna politik nasionalisme dan etnisitas sebagai sebuah kesatuan
yang bisa digunakan untuk melihat sebuah tatanan politik dari sebuah bangsa. Dalam
perkembangannya, nasionalisme ditentukan oleh interaksi politik, ekonomi dan
perkembangan budaya. Lebih lanjut Kellas mengemukakan bahwa ada dua aspek
yang saling berkaitan mengenai nasionalisme politik, yaitu: pentingnya identitas
nasional dan adanya keinginan untuk memperbaiki sistem sosial dan politik dari
dominasi seseorang atau kelompok tertentu. 39
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas
kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan
37
James G. Kellas , The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998,
hal. 5
38
Ibid., hal. 65
39
Ibid., hal 8
semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup
menjadi bangsa merdeka.
Semangat tersebut
oleh
para pejuang
kemerdekaan
dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan
masa mendatang.
La Ode melanjutkan bahwa dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia
(disebut sebagai etnis Cina), nasionalisme dibagun berdasarkan dua nilai substansi
fundamental dari makna nasionalisme itu sendiri yaitu nasionalisme kultural dan
nasionalisme politik, dimana nasionalisme kultural menjadi manifestasi nilai kultural
etnis Tionghoa sebagai asal leluhurnya dan nasionalisme politik merupakan
manifestasi nasionalisme sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan uniknya dua
substansi fundamental nasionalisme tersebut bisa digunakan secara simultan dan
menjadi nilai secara konsisten didalam diri individu atau bisa juga digunakan
bergantian tergantung dari kondisi dan perkembangan politik nasional. 40
4. Modal Sosial
Fenomena perubahan sosial dan politik memberikan ruang yang sangat luas
bagi berkembangnya varian varian analisis sosial politik yang saling berkaitan, tidak
hanya pada lingkup kajian keilmuan tertentu secara eksklusif, tetapi juga melihat pola
hubungan antara kepentingan satu keilmuan dengan bidang ilmu yang lainnya.
Pada awalnya, pembahasan mengenai konsep modal sosial hanya digunakan
dalam ranah ilmu ekonomi yang dimaknai sebagai “sejumlah uang yang diakumulasi
yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang
menguntungkan dimasa yang akan datang” 41 baru sekitar tahun 1960-an, masih
dengan menggunakan perspektif ekonomi, konsep modal sosial berkembang dengan
menggunakan manusia dan kapasitasnya seperti pendidikan, kesehatan, dan
keterampilan sebagai alat pelengkap yang bisa mengukur produktivitas dari investasi
modal fisik seperti alat produksi.
40
Ibid.,hal 57
Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19
41
Selanjutnya pada kurun waktu 1980-an berkembang diskursus tentang modal
sosial dengan cakupan analisis yang lebih luas lagi dengan mengaitkannya pada
konsep ilmu sosial yang diperdebatkan pengaruh dari tulisan tulisan Pierre Bourdieu,
James Coleman, dan Robert Putnam. 42 Modal sosial selalu membicarakan kualitas
hubungan antar manusia, terutama dalam melihat pesatnya perkembangan hubungan
asasiasional, Alexis de Tocqueville melihat bagaimana relasi sosial asasiasional yang
dibangun memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi dan
memberikan dukungan bagi kekuatan ekonomi di Amerika. 43 Yang menjadi fokus
utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi aset yang
sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kohesi atau kerekatan sosial
karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama
lain untuk saling memberikan manfaat. 44
Dengan mengutip Putnam (1993), Jhon field mendefinisikan modal sosial
sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang
dapat
memperbaiki
efisiensi
masyarakat
dengan
memfasilitasi
tindakan
terkoordinasi”. 45 Norman Uphoff mengaitkan definisi modal sosial dengan konsep
aset yang dimaknai sebagai:
“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses
produktif dimasa mendatang lebih efesien, efektif, inovatif dan dapat
diperluas/disebarkan dengan mudah, sedangkan modal sosial adalah
akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif,
kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan
kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama.” 46
Lebih jauh Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah
difahami dengan membaginya menjadi 2 kategori yaitu; struktural dan kognitif.
42
Ibid., hal.20
Ibid., hal. 8
44
Ibid., hal. 18
45
Ibid., hal. 6
46
Norman Uphoff, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of
participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World
Bank, 2000
43
“Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk
organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan
prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung
kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana
aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori
kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran
yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-nilai, sikap dan
keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.” 47
Dua kategori diatas tidak bisa dianalisis secara terpisah, karena keduanya
saling berkaitan dan menjadi faktor subjektif yang bisa menjelaskan fenomena sosial,
struktural ataupun kognitif menjadi faktor penting
yang mempengaruhi perilaku
individu maupun masyarakat walaupun bentuk dari keduanya berbeda. Yaitu kategori
struktural lebih bersifat eksternal dan kategori kognitif bersifat internal, sinergi kedua
kategori tersebut akan mampu menunjukkan bagaimana modal sosial yang dibentuk
dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma dapat membangun
dan membentuk struktur sosial.
Tabel 2.
Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik
Kategori
Struktural(hubungandan
Vertikal
(pemerintah dan
rakyat)
• DPRD
Horizontal
(antarwarga)
• Paguyuban
organisasi)
• Forumwarga
• Asosiasi
• Rakorbang
• Organisasi lokal
• Jaringan sosial
Kognitif(norma dan nilai)
47
Ibid.
• Kepercayaan
• Solidaritas
• Akuntabilitas
• Toleransi
• Kemitraan
• Kepercayaan
• Partisipasi
• Kerjasama
• Responsivitas
Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari beberapa sumber: Coleman (1988,
1990), Putnam (1993, 2000),Serageldin dan Grootaert (1997)
Dalam perspektif perilaku politik dan kaitannya dengan demokratisasi, modal
sosial menitikberatkan pada fungsi-fungsi jaringan yang menjadi bentukan dari
modal sosial yang oleh Putnam disebut sebagai civic community, jaringan tersebut
harus mampu bekerja efektif baik secara vertikal maupun horizontal agar bisa
membentuk civic engagement atau solidaritas sosial dan partisipasi massal yang
berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan
demokrasi. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen wargayang
luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi,
kerjasama, dan solidaritas.
B. Literature Review
Ada beberapa penelitian tentang Politik Etnis Tionghoa di Indonesia yang
sudah dilakukan, baik itu ditulis didalam jurnal ilmiah maupun hasil penelitian yang
sudah dicetak menjadi buku, diantaranya:
Pertama; penelitian disertasi yang dilakukan oleh M.D. LA Ode Yang secara
spesifik mencoba menggali penjelasan kenapa kelompok etnis Cina Indonesia pada
masa reformasi mau terlibat dalam politk sebagai pengurus partai politik, anggota
legislatif, dan kepala daerah, lalu bagaimana dampak politis yang dimunculkan dari
keterlibatan politik etnis Cina tersebut dan bagaimana respons dari kelompok etnis
lain (Melayu dan Dayak) atas keterlibatan politik etnis Cina dengan menggunakan
kasus antara tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat. 48
48
Penelitian Disertasi dengan judul Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi
Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota
Teori utama yang digunakan oleh La Ode untuk menganalisa data
penelitiannya adalah teori kelompok etnis yang dibagi lagi menjadi beberapa sub teori
yaitu teori kelompok etnis, teori politik identitas, dan teori multikulturalisme. Teori
kelompok etnis yang digunakan oleh La Ode adalah yang dikemukakan oleh
Handelman yang mengatakan adanya empat tingkat perkembangan yang dilakonkan
dalam komunitas budaya manusia yaitu jenis etnis, jaringan etnis, asosiasi etnis,
komunitas/masyarakat etnis yang menggambarkan jenis organisasi yang sesuai
dengan bentuk yang berbeda dari integrasi etnis. La Ode juga menggunakan teori
multikulturalisme yang dikemukakan oleh Will Kymlicka yang mengatakan bahwa
teori multikulturalisme mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda,
teori ini mengajukan tiga argumen tentang hak minoritas, yaitu: argumen kesetaraan,
argumen perjanjian yang ada dalam sejarah, dan argumen nilai dari keragaman
budaya.
Politik multikulturalisme dianggap sebagai politik tentang hak minoritas
dalam bentuk pengakuan dan pluralisme budaya yang menjunjung tinggi dan
berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya dan memfokuskan diri pada
hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas dari pemeliharaan kekayaan
budaya. Teori lain yang digunakan oleh La Ode adalah Teori tentang Integrasi dari
Myron Weiner yang mengatakan bahwa integrasi dapat mengacu pada pertemuan dua
budaya dan sosial kelompok yang terpisah dalam sebuah unit teritorial tunggal dan
pembentukkan sebuah identitas nasional. Pemahaman integrasi Weiner menurut La
Ode di kuatkan dengan dua pola asimilasi dan pola komitmen dari Milton M. Gordon
yang meneliti tentang kecendrungan ideologis yang sentral dan mendukung terjadinya
asimilasi di Amerika. La Ode mencoba menggunakan teori tersebut untuk
menjelaskan hasil asimilasi campuran biologis antara warga keturunan Cina dengan
kelompok etnis Dayak atau Melayu. La Ode jugamenggunakan pemahaman integrasi
Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta,
2011.
politik dari Jamaes
J. Coleman dan Carl G. Rosberg yang mengatakan bahwa
integrasi politik sebagai suatu bagian dari integrasi nasional yang memiliki dua
dimensi, yaitu yang vertikal (elite-massa) dan dimensi horizontal (territorial).
Dari penelitian tersebut La Ode berhasil mengungkap bagaimana corak dan
karakteristik rezim Orde Baru yang otoriter dan anti komunis memberikan pengaruh
yang sangat besar pada eksistensi serta peran kelompok Etnis Cina Indonesia di
Kalimantan Barat dalam kehidupan sosial dan budaya. Orde Baru telah menutup
peluang
partisipasi
politik
bagi
kelompok
etnis
Tionghoa,
kebebasan
mengembangkan kehidupan sosial dan budaya juga dibatasi, ruang-ruang publik yang
bersifat politis seperti birokrasi juga tidak dapat dimasuki oleh kelompok ini, hingga
secara tidak langsung perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintahan
Orde baru membuat kelompok etnis Tionghoa berkembang secara eksklusif pada
wilayah ekonomi dan perdagangan.
Menurut La Ode, Orde Reformasi sebagai pengganti Orde Baru telah memberi
ruang publik bagi keterlibatan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dalam bidang
politik, dimulai pada pemilu 1999 dimana banyak dari kelompok etnis Tionghoa yang
menjadi anggota partai politik dan mencoba menjadi calon anggota legislatif,
jumlahnya bertambah pada pemilu tahun 2004 dan makin berkembang pada pemilu
tahun 2009. Hal ini menurut La Ode telah membangkitkan kepercayaan diri etnis
Tionghoa untuk bisa membaur lebih erat dengan masyarakat lokal (Melayu dan
Dayak), hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada perubahan
peta politik lokal di Kalimantan Barat, terutama di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang. Namun demikian fenomena yang tejadi tersebut memunculkan beberapa
persoalan baru yang berpotensi menjadi konflik lokal antar etnis, diantaranya adalah
tumbuhnya kecurigaan bahwa etnis Tionghoa akan lebih leluasa menguasai sektor
ekonomi yang selama ini mereka dominasi dan akan merambah pada penguasaan
sektor lain, muncul juga kecurigaan bahwa kelompok etnis Tionghoa akan
memerankan sikap dual nation state loyalities dan sikap dual nation state ideology
antara NKRI dan RRC.
Penelitian ini memiliki perbedaan dalam beberapa aspek dari penelitian yang
dilakukan oleh La Ode, seperti yang dipaparkan diatas. Obyek penelitian La Ode
yang mencoba melihat etnis Tionghoa di kota Singkawang dan Pontianak dan
memposisikannya secara berhadapan dengan etnis Melayu dan Dayak sebagai 2 etnis
lokal yang lebih dominan dalam hal yang berkaitan dengan penguasaan wilayah,
budaya, kepercayaan dan pemahaman nasionalisme yang dianggap lebih baik dari
etnis Tionghoa. Sementara penelitian ini akan menyorot lebih dalam orientasi politik
yang ditekankan pada pemahaman mengenai kaidah-kaidah dasar berbangsa bagi
seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali dari etnis manapun yaitu dalam wujud
pemahaman mengenai empat pilar berbangsa sebagai pembentukkan karakter dasar
bangsa Indonesia.
Dengan mempertimbangkan tingkat kemajemukan etnis yang terjadi di
Indonesia, penelitian ini tidak akan menghadapkan secara antagonis etnis Tionghoa
dengan etnis lain seperti Jawa, sunda, melayu atau yang lain yang memiliki kuantitas
cukup besar. Penelitian ini mengidentifikasi semua hal yang berkaitan dengan
perubahan politik yang terjadi baik itu pengaruh yang bersifat internal maupun yang
bersifat eksternal. Pengaruh yang bersifat internal akan menggunakan variabel
identitas politik, modal sosial dan jaringan serta sikap nasionalisme yang dimiliki
oleh kelompok etnis Tionghoa, sedangkan faktor eksternal akan menggunakan
variabel pengaruh negara sebagai kekuatan politik yang bersifat struktural dan
institusional dalam hal manguatnya orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia.
Kedua; penelitian yang dilakukan oleh Ignatius Wibowo dengan judul Exit,
Voice, and Loyality: Indonesian Chinese After The Fall of Soeharto yang dimuat
dalam jurnal Sojurn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.16, no. 1(April
2001) hal. 125-146 diterbitkan oleh ISEAS. Penelitian ini dilakukan dengan melihat
fenomena respons masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia saat terjadinya gerakan
sosial politik yang dikenal dengan gerakan reformasi di Indonesia pada tahu 1998.
Dalam penelitian ini, Wibowo menggunakan teori tentang respon anggota sebuah
komunitas menghadapi perubahan dalam organisasi dari Albert O. Hirschman (1970).
Dikatakan bahwa ada 3 respons yang mungkin akan muncul dari anggota organsasi
dalam konteks ini adalah sebuah negara bila mengalami kemerosotan: 3 respon itu
pertama: “exit” atau keluar dari organisasi, yang bagi Hirschman merupakan respon
paling normal.
Respons kedua yang mungkin muncul adalah opt to voice yaitu memilih
untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka secara langsung atas apa yang terjadi
kepada pihak pengelola organisasi atau pihak yang dianggap memiliki otoritas dalam
pengambilan keputusan, aksi protes ini bisa dalam bentuk membuat petisi, menulis
surat, membuat banner dan pamflet, demonstrasi, dan bentuk lain. Tujuan utama dari
dilakukannya aksi tersebut adalah agar situasi cepat dirubah. Respons ketiga yang
akan muncul adalah “loyality” atau munculnya loyalitas. Bagi Hirschman, respons ini
adalah unik karena menjadi tampak kurang rasional. Wibowo menggunakan teori
tersebut untuk melihat bagaimana respons yang dimunculkan oleh etnis china di
Indonesia saat terjadi krisis politik lengsernya Soeharto pada tahun 1998.
Wibowo menemukan fakta dalam penelitiannya bahwa etnis Tionghoa
(Wibowo menggunakan istilah etnis Cina) memunculkan 3 respons seperti tersebut
diatas ketika kasus 1998 terjadi. Respons pertama yaitu ada kelompok etnis
Tionghboa yang exit atau keluar dari Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan
dipenuhinya bandara International oleh para ekspatriat yang ingin keluar dari ibukota
untuk menghindari kerusuhan yang terjadi. Kebanyakan orang Tionghoa yang
memiliki tingkat ekonomi tinggi bergegas menuju beberapa negara lain tempat
komunitas etnis tionghoa banyak ditemui seperti Singapura, Hongkong, Perth, dan
beberapa negara lain yang dianggap lebih aman. Namun demikian, Wibowo
menemukan data bahwa jumlah orang Tionghoa yang memutuskan keluar dari
Indonesia dengan membawa modal kapital dan harta kekayaan yg mereka miliki tidak
lebih banyak jumlahnya dari yang memutuskan untuk tetap tinggal lalu memilih
menyalurkan aspirasinya dalam konteks opt to voice seperti yang digambarkan
Hirschman dalam teorinya.
Langkah untuk melakukan protes tidak dilakukan dengan demonstrasi di jalan,
mereka melakukan konsolidasi dengan kalangan elit Tionghoa Indonesia dan para
intelektual Tionghoa yang memiliki akses dengan tokoh tokoh politik nasional.
Konsolidasi dilakukan dengan melakukan dialog, membuka forum diskusi, seminar,
forum debat dan lain lain yang bersifat persuasif. Lebih lanjut Wibowo menemukan
fakta dalam penelitiannya bagaimana langkah selanjutnya yang dilakukan oleh etnis
Tionghoa di Indonesia saat itu setelah berhasil membangun komunikasi interaktif
dengan para intelektual dan cendekiawan di Indonesia mereka menunjukkan loyalitas
kebangsaan mereka dengan ikut berpartisipasi secara terbuka dalam kompetisi politik
seperti pemilihan umum dan kegiatan politik lain baik yang bersifat lokal maupun
nasional, selain mendirikan partai politik berbasis orang tionghoa, mereka juga masuk
dalam partai politik yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik
komunitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia.
Bila Wibowo mengkaji secara komprehensif respon apa saja yang muncul
dikalangan etnis Tionghoa pasca terjadinya reformasi 1998 dengan melihat secara
umum apa yang mereka lakukan, penelitian ini bermaksud menelaah lebih tajam dan
spesifik respons kedua dan ketiga ( opt to voice dan loyality) yang ditunjukkan oleh
masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia setelah terjadi gerakan reformasi 1998. Dua
respons tersebut menjadi penting untuk dikaji lebih dalam karena bisa dijadikan
sebagai cara untuk menganalisis bagaimana terjadinya perubahan yang menunjukkan
menguatnya orientasi politik yang dilakukan oleh kalangan masyarakat etnis
Tionghoa di Indonesia. Upaya dialog dan usaha untuk menunjukkan loyalitas yang
tinggi terhadap Indonesia menjadi motivasi bagi kalangan etnis Tionghoa untuk
menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia baik dengan
berintegrasi langsung dengan partai-partai politik nasional maupun menguatkan
eksistensi mereka dengan mendirikan ormas-ormas berbasis Tionghoa.
Ketiga; penelitian disertasi yang dilakukan oleh Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si
dari Program Doktor Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Politik dari Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran Bandung yang sudah dicetak menjadi buku dengan judul
Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Pokok kajian penelitian ini adalah
bagaimana peneliti mampu meanemukan faktor-faktor penyebab munculnya politik
identitas etnis dayak dalam masyarakat multikultur di Kalimantan barat melalui
proses demokrasi dalam Pilkada Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2007.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan beberapa konsep dan teori
tentang politik identitas, multikulturalisme, Demokratisasi dan Desentralisasi,
Buchari menelaah secara dalam bagaimana diskriminasi, marjinalisasi dan politik
identitas yang dialami oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dalam kurun
waktu yang amat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat, hal ini
disebabkan karena adanya common cause, common goal, dan common interest hingga
menguatkan karakteristik etnis secara lebih eksklusif. Reformasi yang terjadi di tahun
1998 memberikan motivasi tersendiri bagi masyarakat Dayak untuk bangkit
menguatkan identitas politik mereka, dengan solidaritas yang tinggi yang oleh
Buchari disebut sebagai kesadaran atau semangat kolektif etnis Dayak dan dukungan
yang kuat dari upaya demokratisasi dan desentralisasi pada pilkada gubernur
Kalimantan Barat pada tahun 2007, komunitas Etnis Dayak bisa membuktikan bahwa
mereka merupakan komunitas politik yang solid ditunjukkan dengan terpilihnya
gubernur Kalimantan Barat untuk periode tahun 2008 - 2013 Drs. Cornelis, MH dan
Drs. Cristiandy Sanjaya MM.
Selain memiliki obyek penelitian dan setting lokasi penelitian yang berbeda,
penelitian ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Buchari. Dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan
penelitian Buchari, seperti di jelaskan diatas, bahwa Buchari menggunakan fenomena
kebangkitan kekuatan politik etnis Dayak di Kalimantan Barat dengan melihat
bagaimana konstalasi politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Kalimantan Barat
pada tahun 2007, penelitian ini ingin mengkaji secara dalam bagaimana menguatnya
politik identitas dari kelompok etnis Tionghoa di Indonesia dengan menganalisa
indikator-indikator perubahan orientasi politik etnis Tionghoa pada masa Orde Baru
dan perubahannya pasca Orde Baru.
III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian di lakukan secara global melihat berubahnya prilaku politik etnis
Tionghoa dn menguatnya orientasi politik mereka di Indonesia. Penelitian mengamati
dan menganalisis kecendrungan yang muncul dalam skala nasional dengan melihat
juga fenomena yang terjadi secara umum di beberapa daerah yang menjadi kantong
kantong kekuatan komunitas Tionghoa di Indonesia seperti di Jakarta, Singkawang,
dan Medan
Waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian mengikuti arahan dan
petunjuk yang diberikan oleh pihak yang dikoordinir oleh Pusat Penelitian dan
Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
dilakukan secara intensif dan konsisten di Indonesia tepatnya di Jakarta dan
sekitarnya dalam kurun waktu sekitar 6 bulan antara bulan April – Oktober 2016:
Tabel 3
Jadwal Penelitian
No
Uraian
1
Penyusunan proposal
2.
Pencarian data / wawancara
Mei
Juni
Juli
Agst
√
√
√
Sep
Okt
√
√
√
narasumber
3.
Penulisan hasil penelitian
4.
Pelaporan Hasil Penelitian
B. Metode Penelitian
√
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dimana penelitian akan dilakukan dengan meneliti kondisi obyek yang alamiah.
Dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti. Menurut Moleong seperti dikutip Haris Herdiansyah,
mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah, yang
bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks social secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti. 49Secara lebih detil Creswell menjelaskan “Qualitaive
research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological
traditions of inquiry that explore a social or human problem. The Mresearcher
builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of
information, and conducts the study in a natural setting”. 50
Dengan mengutip Creswell, Eriyanto menemukakan beberapa asumsi dalam
pendekatan kualitatif yaitu; pertama, peneliti kualitatif lebih memperhatikan proses
bagaimana penelitian dilakukan daripada hasil penelitian itu sendiri. Kedua, peneliti
kualitatif lebih memperhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat
utama dalam mengumpulkan data dan melakukan analisis data dimana peneliti harus
turun langsung ke lapangan penelitian. Keempat, peneliti kualitatif harus mampu
menggambarkan bahwa peneliti terlibat langsung dalam penelitian, interpretasi data,
dan pencapaian pemahaman hasil penelitian baik dengan menggunakan kata-kata
naratif atau gambar. 51
C. Teknik Pengumpulan Data
49
HarisHerdiansyah,
MetodologiPenelitianKualitatifUntukIlmu-IlmuSosial,
Jakarta:
SalembaHumanika, 2010, h. 9
50
Ibid., h. 8
51
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: Lkis, 2001, hal.
3
Pada awalnya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik
pengambilan dan pengumpulan data dengan melakukan wawancara, Focus Group
Discussion, dan analisa dokumentasi. Namun pada proses pelaksanaan penelitian
beberapa narasumber baik yang personal sebagai dihubungi untuk diwawancarai dan
beberapa organisasi Tionghoa yang pada awalnya sudah memastikan bersedia
diwawancarai dan menjadi peserta Forum Group Discussion membatalkan janji yang
sebelumnya sudah disepakati. Hal ini disebabkan kondisi perpolitikan nasional
terutama di DKI Jakarta dengan bergulirnya beberapa kasus yang berkaitan dengan
Basuki Tjahaja Purnama dalam posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta dan
pencalonannya sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada PILGUB 2017 dengan
banyak pro kontra dan konflik yang muncul karena identitasnya sebagai bagian dari
etnis Tionghoa. Beberapa hal tersebut menjadi dasar atas penolakan para calon
narasumber untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan eksistensi politik
masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Demi keberlangsungan proses penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dari
buku buku, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini media cetak,
dokumentasi organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain yang bisa
dijadikan sebagai sumber informasi dan data untuk bisa dianalisis dalam penelitian
ini.
D. Prosedur Pengolahan data
Data yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber berupa buku-buku teks,
e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini di media cetak, dokumentasi
organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain dipisahkan dalam dua
klasifikasi, yaitu kelompok data primer dan kelompok data sekunder.
Yang masuk dalam kategori data primer yaitu data yang bersumber dari bukubuku teks, e-book, jurnal ilmiah dan hasil penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri
dari data yang diperoleh dari artikel dan opini media cetak, dokumentasi organisasi,
dan website.
Klasifikasi data dilakukan berdasarkan kebutuhan informasi dari sub-sub bab
yang sudah dibagi secara spesifik untuk bisa dianalisis dengan detil terutama pada
bab II tentang teori dan bab IV yang disesuaikan dengan materi pokok yang menjadi
tujuan penelitian.
E. Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan melakukan tiga prosedur yang biasa dilakukan
dalam penelitian kualitatif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang
berakhir pada penarikan kesimpulan
Setelah rangkaian data terkumpul, reduksi data dilakukan dengan melakukan
pemilahan dan penyusunan klasifikasi data, klasifikasi dilakukan tergantung jenis
data yang terkumpul dari catatan-catatan yang ada tentang obyek dan materi
penelitian, selanjutnya data yang sudah dipilah akan dirangkum dan difokuskan pada
persoalan yang akan dianalisis, data yang tidk terpakai akan disingkirkan agar tidak
mempengaruhi data pokok yang akan diuraikan dalam analisis. Selanjutnya dilakukan
penyajian data dengan melakukan penyunting data untuk membangun kinerja analisis
data, penyajian data dilakukan juga adengan membuat tabel- tabel yang berkaitan
dengan jenis data yang akan dianalisis.
Selanjutnya dilakukan konfirmasi data yang merupakan verifikasi data dan
pendalaman datauntuk selanjutnya dilakukan analisis data sesuai dengan konstruksi
pembahasan hasil penelitian yang diinginkan agar berhasil ditarik kesimpulan yaang
tepat dan mampu menjawab permasalahan peanelitian yang diajukan. Pada tahap ini,
pengolahan data dianggap optimal apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap
lengkap dan dapat merepresentasikan masalah yang dijadikan obyek penelitian.
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Etnis Tionghoa dalam Lintasan Sejarah di Indonesia
1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan
Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam
sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Bahkan, setelah
Indonesia terbentuk, maka suku bangsa Cina (Tiongkok) yang berkewarganegaraan
Indonesia, harus digolongkan secara otomatis sebagai warga Negara Indonesia yang
setingkat dengan suku bangsa lainnya. Orang-orang Indoensia Tionghoa merupakan
keturunan orang-orang tiongkok yang berhijrah dari Tiongkok secara berkala dan
bergelombang sejak ribuan tahun. 52 Di Indonesia, sejarah kemunculan etnis Tionghoa
merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Seiring berkembangnya Negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke8, para penghijrah Tiongkok pun mulai berdatangan. Orang-orang Tiongkok atau
China di Indonesia dipanggil “Tionghoa”, sebuah istilah yang diciptakan sendiri oleh
orang-orang yang berasal dari Tiongkok di Indonesia. Istilah “Tionghoa” dan
“Tiongkok” lahir di Indonesia. Term “Tionghoa” adalah istilah bahasa Indonesia
yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand. 53 Secara penggunaan
bahasa, istilah Cina dirasa mengarah pada bentuk hinaan dan masyarakat nya sendiri
lebih senang menggunakan istilah Tionghoa. Sebagai akar sejarah peran politik
Tionghoa di Indonesia, Leo Suryadinata menyebutnya sebagai sejarah yang cukup
panjang. Dalam buku “Dilema Minoritas”, sebagaimana yang dituliskan oleh Benny
52
Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,
2013, hal.50.
53
Ibid,
G Setiono dalam buku Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, Leo menyebutkan
bahwa terdapat pembagian peran warga Tionghoa ke dalam beberapa zaman politik.
Zaman pegerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan terbagi menjadi dua
tahapan penting: yaitu tahap pergerakan proto-nasionalis (1927-1942). Di mana saat
itu, hadir konsep tentang Negara bangsa, lambang, bendera, dan lagu kebangsaan.
Menurut Leo, pada masa itu, warga minoritas etnis Tionghoa sudah mulai tersisih
dari pergerakan. Penandaan akan ini, adalah kehadiran organisasi pertama mereka
dengan sebutan Tiong Hoa Hwee di tahun 1900, delapan tahun lebih awal dibanding
organisasi Budi Oetomo di tahun 1908. 54 Berikutnya adalah tahap kedua, menurut
Leo, tahap nasionalis sesungguhnya ditandai dengan munculnya Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) yang memberikan kesempatan bagi etnis Tionghoa peranakan
untuk bergabung sebagai anggota. Namun, muncul pro dan kontra terkait kebijakan
tersebut, terutama mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. 55
Sebagai masyarakat yang dipandang bukan bagian pribumi, etnis Tionghoa
dianggap suka berkelompok dan menjauhkan diri dari pergaulan sosial serta tinggal di
kawasan tersendiri. Stereotype terhadap orang Tionghoa bahkan hingga disebutkan
bahwa mereka tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada
cita-cita. Dinyatakan bahwa setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh
Belanda, orang Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan
terhadap masyarakat Indonesia serta menghalangi orang pribumi yang ingin menjadi
pengusaha. 56 Terkait sejarah pemusatan orang Tionghoa yang terbesar di pedesaan
terjadi di Sumatera (terutama di sepanjang pantai timur dan di pulau-pulau Bangka
dan Belitung) dan di Kalimantan Barat pemusatan itu sudah bertahan. Di Sumatera,
beribu orang Tionghoa telah didatangkan untuk bekerja sebagai kuli di perkebunanperkebunan tembakau dan di tambang-tambang timah. Di Kalimantan Barat banyak
54
Ibid, hal.53
Ibid, hal.54
56
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, PUSTAKA SINAR HARAPAN: Jakarta,
1994, hal. 26
55
orang Tionghoa bermigrasi secara spontan ke tambang emas lalu menetap sebagai
petani. 57
Selama masa penjajahan orang Tionghoa dengan jelas sekali lebih unggul
dibandingkan rakyat jelata Indonesia, baik dalam status hukum maupun dalam
kekuatan ekonomi, dan hampir dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang
Tionghoa ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Sekalipun kebudayaan orang
Tionghoa yang berakar setempat sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai
kelompok etnis Indonesia (khususnya dalam kasus Tionghoa peranakan), ini bukan
berarti mereka telah terasimilasi ke dalam masyarakat pribumi. Skinner melihat
bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang Tionghoa yang menyusut kembali leluhur
mereka di Indonesia sampai sebanyak dua belas generasi”. Hal ini berbeda dengan
Thailand, di mana kebanyakan orang Tionghoa telah bergabung dengan penduduk
Thailand hingga empat generasi”. 58
Menurut Onghokham, salah satu sejarawan Indonesia, masyarakat Tionghoa
bukanlah kelompok yang homogen, mereka beragam. Masyarakat Tionghoa di Jawa
datang sebagai perorangan atau kelompok kecil, mereka tiba sebelum kedatangan
bangsa Eropa. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa telah
menyatu dengan penduduk lokal sehingga tidak dapat lagi berbicara mandarin.
Sedangkan di wilayah Kalimantan Barat, pulau Kalimantan dan pesisir timur
Sumatera, masyarakat Tionghoa bermigrasi untuk bekerja di perkebunan dan di
tambang timah. Masyarakat Tionghoa di daerah ini masih mempertahankan bahasa
mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku, mereka berasimilasi dengan
masyarakat lokal. Selain daerah, mereka juga menganut agama yang berbeda, ada
Kristen, Katolik, Buddha, Kong Hu Cu dan Islam. Asal muasal masyarakat Tionghoa
pun jauh telah dimulai sebelum masa penjajahan Belanda. Namun persamaan
57
58
Ibid, hal.28.
Ibid, hal.36-37.
keduanya adalah datang ke Indonesia untuk berdagang. Bangsa Tionghoa adalah
mitra Belanda dalam berdagang sejak pertama berdirinya VOC. 59
Namun, Justian Suhandinata dalam bukunya juga menyebutkan bahwa
hubungan keduanya, bangsa Tionghoa dan Belanda tidak selamanya berjalan mulus.
Kejadian pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa terjadi pertama kalinya di
Batavia pada tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal
di Kota. Setelah kejadian tersebut, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras
secara resmi. Dengan kebijakan pemisahan tersebut, ras Tionghoa di satu kota harus
mempunyai surat izin jika melakukan perjalanan ke kota lain, di mana ras Tionghoa
lainnya tinggal. Sistem yang terkenal dengan istilah ghetto ini baru dicabut pada
tahun 1905. 60
Terkait peran etnis Tionghoa dalam perpolitikan, disebut dalam buku La Ode,
bahwa ECI (Etnis Cina Indonesia) sudah ikut dalam politik Indonesia sejak masa pra
kemerdekaan hingga sebelum tahun 1965 di masa orde baru. Pasca reformasi, barulah
mereka terlibat kembali dalam ranah politik Indonesia. Menurut Leo Suryadinata,
terdapat tiga aliran utama dalam dunia politik Tionghoa peranakan yang bekerja
saling berdampingan. Ketiga aliran politik Tionghoa itu adalah kelompok Sin Po,
Chung Hwa Hui (CHH), dan kelompok Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang
didirikan pada tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok dan
kaum peranakan lain di Surabaya, dengan disokong oleh Persatuan Bangsa Indonesia
dan kaum nasionalis Indonesia moderat lain, terutama dr.Soetomo dan Soeroso.61
Ketiga kelompok aliran politik Tionghoa tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama adalah kelompok Aliran Sin Po; aliran ini diwakili oleh Sin Po
sendiri. Setelah menolak UU tentang Kawula Negara Belanda, menghendaki agar
orang Tionghoa Hindia Belanda agar mempertahankan kebangsaan Cina dan
59
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia,
PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal. 10.
60
Ibid, hal.11
61
M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang
di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal. 7.
berusaha menarik golongan peranakan lebih dekat ke Cina dengan membuat mereka
lebih menyerupai golongan totok. Kedua, kelompok aliran Chung Hwa Hui.
Kelompok ini menginginkan agar orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan
identitas etnisnya di lingkungan Hindia Belanda. Mereka berjuang agar tetap hadirnya
kebudayaan Cina. Dalam hal ini mereka menerima UU tentang Kawula Belanda dan
bekerjasama dengan pemerintah koloni Belanda. Ketiga adalah Kelompok Aliran
Partai Tionghoa Indonesia. Kelompok ini adalah aliran kiri dan bersikap anti
kolonial. Mereka menginginkan orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan
identitas etnisnya, tetapi secara politik terasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia
pribumi. Mereka menganggap bahwa Indonesia sebagai tanah air dan menamakan diri
sebagai orang Indonesia serta menuntut persamaan hak dan kewajiban sebagai orang
Indonesia, berjuang untuk Indonesia. Liem Koen Hian sebagai pendiri PTI yang juga
anggota BPUPKI mengatakan bahwa alirannya pro Indonesia dan beragumen bahwa
kaum Tionghoa peranakan harus sadar untuk menjadi warga negara Indonesia. Ketika
ia berpidato di sidang paripurna BPUPKI, ia mendeklarasikan bahwa orang Tionghoa
yang lahir di Indonesia adalah sebagai warga negara Indonesia di dalam UUD
Indonesia yang akan datang, karena ia melihat Indonesia sebagai tanah air dan
mereka tinggal di dalamnya. 62
Dalam buku Anton Ramdan, kehadiran Cina di Indonesia juga dapat dilihat
pada bidang ekonomi. Orang Cina masuk ke Indonesia sejak berabad silam dan
melalui jalur perdagangan. Pada masa dinasti Han, rombongan Cina melakukan
aktifitasnya ke Asia Tenggara hingga pulau Jawa. Rombongan dagang ini dipimpin
oleh orang yang kuat, yaitu laksamana Cheng Ho. Sebenarnya para pedagang Cina
sudah mulai berdagang jauh sebelum kedatangan Cheng Ho. Ketika datang ke
Indonesia, orang-orang Cina termasuk sebagian dari pedagang membentuk suatu
62
Ibid, hal.8
koloni baru yang disebut kampung Cina. Kemudian menjelang abad ke 19, lebih
banyak lagi orang Cina yang hadir ke Indonesia. 63
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Indonesia dibagi menjadi
tiga kelas. Pertama, bangsa Eropa, khususnya Belanda yang memegang sebagian
besar kekuasaan di Indonesia. Kedua, orang-orang asing yang bukan berasal dari
Eropa, seperti orang Cina, Gujarat, Arab dan lainnya. Kemudian kelas terendah atau
kelas ke tiga adalah masyarakat pribumi. Diantara masyarakat kelas dua, orang Cina
memegang kendali lebih banyak dalam dunia ekonomi. Sebelum kedatangan Hindia
Belanda, Cina di Indonesia mengambil peranan penting sebagai pedagang perantara
yang menghubungkan pedagang besar Cina dengan masyarakat pribumi. Namun
setelah kedatangan Belanda, maka posisi mereka tergeser oleh pedagang-pedagang
besar lainnya dari Eropa dan Belanda. 64
2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama
Memasuki masa orde lama atau yang kita kenal dengan masa demokrasi
terpimpin, kehidupan etnis Tionghoa pun berubah dari fase sebelumnya, masa pra
kemerdekaan. Charles A Coppel dalam bukunya menyebutkan bahwa selama periode
antara tahun 1963 dan 1965, orang Tionghoa Indonesia mencapai akomodasi dengan
nasionalisme Indonesia yang cukup stabil pada saat itu. Keadaan tersebut tidak bisa
dipisahkan dari kondisi stabilitas politik di Indonesia berdasarkan kekuatan-kekuatan
politik yang ada. Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran
Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 yang revolusioner.
Kekuatan-kekuatan di luar parlemen menjadi semakin menonjol. Perdebatan untuk
tidak lagi menggunakan sistem demokrasi parlementer pun makin keras. Masa
transisi ke demokrasi terpimpin pada tahun-tahun awal merupakan masa pergolakan
dan tidak menentu bagi minoritas Tionghoa. Pertama adalah mengenai status
63
Anton Ramdan, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing, tanpa tahun dan tanpa
halaman.
64
Ibid, tanpa halaman.
kewarganegaraan mereka, dan ketidakpastian ini juga mempengaruhi kehidupan
lainnya, seperti pendidikan, undang-undang tanah dan hak ekonomi. Bahasan
mengenai kewarganegaraan ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1954, di mana ada
rancangan UU yang telah diajukan ke parlemen dan akan sangat membatasi jumlah
orang Tionghoa yang bisa menjadi warga negara Indonesia. 65
Sememntara masalah mengenai kewarganegaraan belum selesai, banyak
langkah yang diambil oleh pemerintah, militer dan parlemen yang memberi batasan
pada orang Tionghoa. Sebagai contoh pada aspek pendidikan, di mana pada tahun
1957 terdapat larangan yang menjadikan tidak sah bagi warga negara Indonesia untuk
memasuki sekolah asing kecuali dengan izin khusus. Akhirnya lebih dari seribu
sekolah di tutup dan beberapa ratus ribu WNI keturunan Tionghoa yang sebelumnya
masuk sekolah asing, menjadi terbatas hanya pada pendidikan di sekolah-sekolah
“nasional”. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi kenaikan mendadak dalam
nasionalisme ekonomi di kalangan orang Indonesia, yang mengambil bentuk yang
berbeda di antara kelompok-kelompok berlainan. Tahun 1956, gerakan kaum
pengusaha pribumi di bawah pimpinan Assaat menuntut agar pemerintah menerapkan
kebijakan diskriminatif terhadap orang Tionghoa (termasuk WNI keturunan
Tionghoa) demi kepentingan orang Indonesia pribumi. Terdapat alasan yang
dihadirkan, yaitu bahwa dulu pemerintah Belanda telah membuat golongan Tionghoa
kuat dibidang ekonomi, sementara pribumi lemah. Atas dasar tersebut, maka
pemerintah wajib menghilangkan sisa-sisa penjajahan ini. 66
Selama kurun waktu akhir demokrasi terpimpin, terjadi peningkatan dalam
derajat dimana WNI keturunan Tionghoa ikut serta dalam kancah politik Indonesia.
orang Tionghoa yang menjadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia) juga berjumlah lebih besar dibanding dengan
keanggotaan organisasi politik manapun dalam sejarah Indonesia, dan golongan WNI
65
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.
66
Ibid, hal. 80-81.
79
keturunan Tionghoa semakin di dorong untuk memasuki partai-partai poltiik. Dalam
hal ini Lea Williams memandang bahwa ada kecenderungan ke arah “asimilasi
politik”. 67 Sejarah juga mencatat bahwa di masa demokrasi parlementer dan
demokrasi terpimpin, besarnya peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang
mewakili warga Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga
Tionghoa, serta melawan tiap bentuk diskriminasi.
Dalam menyelesaikan “masalah minoritas Tionghoa”, Baperki di bawah
pimpinan Siauw Giok Thjan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan lainnya
mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang
ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial, menjunjung
kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asalusulnya dan mengintegrasikan warga Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa
Indonesia. 68 Sementara itu, sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan
berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin
integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Karenanya, tanggal 24 Maret 1960
di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa
masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala
lapangan secara aktif dan bebas. 69
Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga orde lama, banyak warga Etnis
Tionghoa yang terlibat dalam politik, seperti menjadi menteri atau anggota kabinet.
Beberapa menteri dari etnis Tionghoa dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.
67
Ibid, hal.100
Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,
2013, hal.85.
69
Ibid, hal.86.
68
Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam Politik Pada Era Awal
Kemerdekaan Hingg Orde Lama (1946 – 1966) 70
No
Nama Menteri
Nama Jabatan
Masa
Masa
Pemerintahan
Kabinet
Menteri
Kesehatan
Menteri
Kesehatan
Kabinet Syahrir
Kedua
Kabinet Syahir
Ketiga
12 Maret-2
Oktober 1946
2 Oktober
1946-27 Juni
1947
2 Oktober
1946-27 Juni
1947
3 Juli 1947-11
November
1947
11 November
1947-29
Januari 1948
11 November
1947-29
Januari 1948
1 Agustus
1953-12
Agustus 1955
9 Oktober
1953-12
Agustus 1955
13 November
1963-27 Juni
1964
1.
dr. Darma Setiawan
2.
dr.Darma Setiawan
3.
Mr.Tan Po Gwan
Menteri Negara
Kabinet Syahrir
Ketiga
4.
Siauw Giok Thjan
Menteri Negara
5.
dr. Ong Eng Die
Menteri Muda
Keuangan
6.
Siauw Giok Thjan
Menteri Urusan
Peternakan
7.
dr. Ong Eng Die
Menteri
Keuangan
8.
dr. Mohammad Ali alias
dr. Lie Kiap Peng
Menteri
Kesehatan
9.
Oei Tjoe Tat S.H
10.
Oei Tjoe Tat S.H
11.
David Gie Cheng
Menteri Negara
diperbantukan
pada Presidium
Kabinet Kerja
Menteri Negara
diperbantukan
pada Presidium
Kabinet Kerja
Menteri Cipta
Kabinet Amir
Syarifuddin
Kesatu
Kabinet Amir
Syarifuddin
Kedua
Kabinet Amir
Syarifuddin
Kedua
Kabinet Ali
Sastro Amidjojo
Kesatu
Kabinet Ali
Sastro Amidjojo
Kesatu
Kabinet Kerja
re-grouping
kedua
70
Kabinet
Dwikora
27 Agustus
1964-21
Februari 1966
Kabinet
27 Agustus
M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang
di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal 12-13.
12.
David Gie Cheng
Karya dan
Konstruksi
Menteri Cipta
Karya dan
Konstruksi
Dwikora
Kabinet
Dwikora yang
disempurnakan
1964-21
Februari 1966
21 Februari
1966-27
Maret 1966
Sumber Data: Satiarso T Taruna , Susunan Kabinet Republik Indonesia dari Tahun
1945-1973, diterbitkan oleh Yayasan Penelitian Masalah-masalah Asia (Institute of
Asian Studies), Jakarta, 1973.
Tabel di atas menunjukkan bahwa pemerintah orde lama turut serta
mengakomodasi etnis Tionghoa untuk masuk dalam pemerintahan, tanpa melakukan
diskriminasi antar pribumi dan etnis Tionghoa. Hal ini juga menunjukkan bahwa etnis
Tionghoa banyak yang mampu dan berkualifikasi dalam hal politik.
Meski demikian, pada era orde lama dan memasuki demokrasi terpimpin
dengan sistem presidensial, sejumlah diskriminasi politik identitas terhadap etnis
Tionghoa terjadi. Pada masa itu, diterapkan sebuah aturan yang disebut sistem
benteng 71 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi
para importir nasional yang notabene adalah importir pribumi dari importir asing.
Para pengusaha Tionghoa tidak masuk dalam kategori importir nasional tersebut.
Kebijakan lain yang makin meminggirkan kaum Tionghoa adalah saat Presiden
Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa
melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan, peraturan ini membuat eksodus
kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran kota. Dalam tulisannya, Charles A
Choppel mengurai bahwa akomodasi yang dibuat oleh orang Tionghoa pada tahuntahun terakhir Demokrasi Terpimpin tiba-tiba menjadi berantakan oleh percobaan
kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965. Perasaan anti Tionghoa berkembang dimanamana dan juga merupakan sebuah ungkapan permusuhan kepada Tiongkok yang
diproyeksikan secara agak tidak pandang bulu terhadap orang-orang Tionghoa
Indonesia.
71
Leo suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135.
Terdapat tiga keluhan yang disuarakan terhadap Republik Rakyat Tiongkok
pada minggu-minggu awal setelah percobaan kudeta. Pertama, dicatat di Jakarta
bahwa bendera di kedutaan besar Tiongkok tidak dikibarkan setengah tiang untuk
ikut berduka cita terhadap para Jenderal yang terbunuh. Kedua, paling kurang sejak
tanggal 12 Oktober, surat kabar Api milik Brigadir Jenderal Sukendro yang baru
terbit (yang berapi-api seperti namanya) melaporkan bahwa radio Peking terus
melakukan provokasi terhadap revolusi Indonesia. Ketiga, dilaporkan dalam pers
Indonesia bahwa granat tangan dan senapan ringan buatan Tiongkok telah ditemukan
di pelabuhan Tanjung Priok. Jakarta yang diselundupkan diantara material untuk
proyek CONEFO (tetapi laporan ini belakangan dibantah oleh Brigadir Jenderal
Soetjipto). 72
Terkait kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang terjadi pada masa percobaan
kudeta, beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota PKI atau organisasi
massanya atau yang dianggap sebagai simpatisan PKI dibunuh sebagai bagian dari
pembunuhan besar-besaran pada umumnya, tetapi pembunuhan orang Tionghoa
karena mereka mereka Tionghoa, lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis.
Sejumlah besar pemimpin Baperki dan organisasi-organisasi lain dengan citra kiri
dan keanggotaan yang pada hakikatnya Tionghoa, ditahan. Terdapat pertanyaan yang
ditulis oleh Charles dalam bukunya, yaitu mengapa pembunuhan besar-besaran
terhadap orang Tionghoa tidak terjadi saat itu? Pertama, pembunuhan besar-besaran
terjadi untuk sebagian besar di daerah pedesaan Jawa dan Bali, di mana golongan
Tionghoa kurang terwakili dalam jumlah penduduk secara keseluruhan, dan bukan di
pusat-pusat pertokoan utama, dimana mereka diwakili dalam jumlah yang lebih besar.
Kedua, orang Tionghoa yang terdapat di daerah-daerah, di mana pembunuhan biasa
terjadi, cenderung merupakan kelas pemilik toko yang relatif kaya. Diperkirakan
72
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,
hal.119-120.
beberapa dari mereka yang mengadakan pengaturan perlindungan dengan pejabat
militer dan sipil setempat. 73
3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru
Keberadaan etnis Tionghoa pasca kudeta yang terjadi, dimana hadir peralihan
kepemimpinan dari orde lama (Soekarno) ke orde baru (Soeharto) sangat miris.
Jaminan keamanan dan eksistensi mereka baik dalam bidang sosial, politik, budaya
dan lainnya terbentur dengan kebijakan negara yang anti terhadap keberadaan
mereka.
Setelah menerima penyerahan kekuasaan tanggal 11 Maret, Soeharto bergerak
cepat untuk memenuhi dua dari tuntutan-tuntutan yang telah disuarakan dengan
kuatnya oleh KAMI sejak bulan Januari. Pada tanggal 18 Maret, sekelompok orang
sebanyak 10.000 berkumpul di Makassar untuk menuntut diusirnya semua staff
diplomatik, konsuler dan wartawan Tiongkok dari Indonesia atas dasar ikut
campurnya mereka dalam urusan dalam negeri Indonesia. Setelah kejadian itu, pada
tanggal 25 Maret pemerintah Indonesia memberi tanggapan kepada perasaan yang
tersebar luas di Indonesia dengan mengumumkan penutupan “sementara” perwakilan
Kantor Berita Tiongkok baru di Jakarta, pembatalan kartu pers wartawanwartawannya, dan larangan atas kegiatannya di bidang pelaporan berita dan
penerbitan siaran pers. Namun, langkah ini tidak serta merta memberhentikan arus
demonstrasi anti Tionghoa. Konsulat di Medan yang baru saja diungsikan diserang
lagi pada tanggal 29 Maret dan pada 8 April Perhimpunan Umum Organisasiorganisasi Tionghoa Perantauan di Jakarta diduduki dengan paksa, bersama-sama
dengan sepuluh lembaga Tionghoa perantauan di Jakarta. Orang Tionghoa asing,
termasuk para pengurus mereka, diberitakan telah dipukuli dan diinterogasi. 74
73
Ibid, hal.125
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,
hal.133-134
74
Mely G Tan menulis dalam bukunya “Etnis Tionghoa di Indonesia”, bahwa
pada masa orde baru, gejala yang sangat menonjol adalah pada penggunaan bahasa
untuk pemerintah dan elite politik. Bagaimana wujud dari bahasa ditentukan oleh
pemerintah dan elite yang berkuasa, sehingga dapat dipertanyakan apakah bahasa
dalam keadaan demikian merupakan kekuatan integratif atau justru sebaliknya.
Di bawah pemerintahan yang amat berkuasa, memang bahasa menjadi salah
satu hal dapat menjadi indikasi dari penguasaan sebuah pemerintahan. Salah satu hal
yang dapat kita lihat pada masa orde baru adalah bagaimana pemerintahan Soeharto
menggunakan kata “wanita” dibanding kata “perempuan”. Dimana penggunaan kata
tersebut turut mengindikasikan pembagian kerja perempuan dan laki-laki serta
refleksi atas cara pandang terhadap perempuan. Mely juga dalam bukunya
menyatakan bahwa bahasa digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan
pemerintah dan elit berkuasa, sehingga terjadilah hegemoni makna kata.
Sejak awal masa orde baru, penggunaan bahasa dengan maksud tertentu dapat
dilihat dengan jelas. Dalam bahasan etnis Tionghoa, golongan minoritas ini disebut
oleh pemerintah orde baru sebagai Cina. Setelah orde baru berakhir dan kemudian
dipimpin oleh Habibie, maka penamaan ini pun berubah menjadi Tionghoa. Selain
itu, ada pula konsep bangsa dan kebangsaan. Apa yang dimaksud dengan bangsa?
Jika mengutip paparan Soekarno dalam pidatonya mengenai lahirnya Pancasila,
dimana Soekarno juga menyadur paparan filusuf Perancis Ernest Renan, dimana
persyaratan dari sebuah nation adalah keinginan untuk bersatu. Dimana pada
akhirnya, bangsa tidaklah hanya terdiri dari satu suku saja, melainkan banyak suku,
pun termasuk menetapkan hak warga yang merupakan keturunan asing, seperti
Tionghoa. 75 Terdapat dua hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam perspektif
keberadaan etnis Tionghoa ketika masa orde baru, yaitu pada aspek ekonomi dan
bisnis serta asimilasi politik orde baru terhadap etnis Tionghoa.
75
Mely G Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia:
Jakarta, 2008, hal.196-199.
a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis
Dalam mengurai bahasan tentang ekonomi dan bisnis yang dikuasai oleh etnis
Tionghoa, dapat kita lihat pada awal bagaimana budaya bisnis tersebut terbentuk.
Hingga tahun 1960-an, mungkin sekitar 40 persen orang Tionghoa di Jawa, termasuk
mereka kelahiran lokal, adalah kaum Totok. Karena kaum Totok tetap
mempertahankan bahasa Tionghoa mereka, identifikasi penutur kelompok merupakan
hal penting dalam komunitas totok, dan dimanapun kelompok bertutur dalam dialek
tertentu, menjadi penting dalam bisnis tertentu. Budaya totok tetap bertahan,
khususnya dikalangan pengusaha. Beberapa sumber memperkirakan bahwa sekitar
75-80 persen pengusaha terbesar berada di tangan etnis Tionghoa dan mayoritas
terbesar dari laki-laki.
Budaya usaha Tionghoa Indonesia tampaknya hampir dimonopoli oleh kaum
totok. Pembatasan ekonomi bagi orang asing dan dapat dipastikan etnis Tionghoa
dikategorikan dalam kata asing ini, “memaksa” orang Tionghoa untuk mencari sekutu
dengan pengusaha pribumi. Persekutuan yang telah terbentuk dari awal, tetap
berlanjut sampai sekarang. Sebagai contoh, di Jawa, kaum Hockia, dengan sejarah
perdagangan kecil di daerah pedesaan, nampaknya pas untuk membentuk hubungan
dengan militer. Sudono Salim (Liem Sioe Liong) menjadi mitra usaha Presiden
Soeharto ketika beliau masih menjadi komandan angkatan bersenjata di Jawa Tengah.
Hubungan ini terus berlanjut, ketika Soeharto menjadi Presiden. 76 Karenanya, dapat
dipahami jika mayoritas etnis Tionghoa Indonesia dapat memegang sektor bisnis di
Indonesia.
Sebagai contoh atas penguasaan bisnis dan ekonomi etnis Tionghoa di
Indonesia, dapat kita lihat pada usaha-usaha strategis yang didominasi oleh
pengusaha etnis China –Indonesia di Kalimantan Barat, yang sudah merambat pada
kepentingan khalayak banyak. Antara lain adalah pada sektor Hak Pengusahaan
76
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia,
PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal.121-122.
Hutan (HPH). Perusahaan HPH telah beroperasi sejak 1967 dan berlangsung sampai
sekarang.
Pada kenyataannya, sedikit sekali bangsa pribumi Kalimantan Barat (suku
bangsa Melayu dan Dayak) yang mendapat kesempatan untuk berada pada sektor ini
karena hampir seluruhnya dikuasai oleh etnis Tionghoa. Tidak hanya menguasai
sektor HPH, namun etnis Tionghoa Indonesia juga menguasai sektor HTI (Hutan
Tanaman Industri). Sejak beroperasi pada tahun 1990 an, kecil kemungkinan bagi
pribumi mendapatkan fasilitas seperti yang didapatkan oleh etnis Tionghoa dari
pemerintah. 77 Dalam bukunya, La Ode menyertakan tabel perbandingan pemilikan
HPH di Kalimantan Barat sebagai berikut:
Tabel 5.
Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat Antara Etnis Tionghoa
Indonesia Dengan Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995)
No.
Pemilik HPH
Luas Areal (ha)
Persentase (%)
1. Etnis Cina-Indonesia
3.955.700
26,944
2. Pribumi
1.438.100
9,796
120.000
0,818%
3.
Inhutani II (Persero)
Sumber: Diolah dari Data Kanwil Kehutanan Provinsi Kalbar dan berbagai sumber
1995.
Penguasaan ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia juga dijelaskan
oleh M.D La Ode dalam bukunya “Etnis Cina Indonesia dalam Politik”. Dalam
tulisannya, ia menuliskan bahwa satu-satunya bidang yang dapat dimasuki oleh etnis
Tionghoa hanya bidang ekonomi. Mereka menjadi pedagang, mendirikan pabrik,
77
M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf
Publishing, 1997, hal. 219.
mengelola lembaga keuangan dan lainnya, yang akhirnya menjadikan mereka matang
dalam berbisnis. Kalimantan Barat dapat menjadi contoh yang dilihat pada skup
nasional, bahwa memasuki masa pemerintahan orde baru, etnis Cina di Kalimantan
Barat tidak memiliki gerak dalam politik, sosial dan budaya. Mereka hanya dapat
menjadi petani dan menarik becak. Pada masa orde baru, kita tidak akan menemukan
etnis Tionghoa yang menjadi kepala daerah, anggota DPRD dan lainnya. Dalam
birokrasi masih bisa kita temukan etnis Tionghoa, namun pada posisi staff, tidak ada
representatif etnis Tionghoa dalam dunia Kepolisian dan TNI. Di Kalimantan Barat,
pusat produksi, home industry, hotel, restoran, kios dan lainnya hingga jasa
pengangkutan di darat, laut dan sungai, semuanya dimiliki oleh etnis Tionghoa yang
mempunyai modal besar. 78
Kesempatan yang terbuka bagi etnis Tionghoa dalam dunia ekonomi dan
bisnis mendapat banyak kritik, terutama oleh para pesaing pribumi dan surat kabar
tertentu. Kritik ini terutama dialamatkan pada pengusaha-pengusaha Tionghoa yang
bersekutu dengan pemegang kekuasaan Indonesia. Mereka mendapat perlakuan
istimewa untuk kontrak, kredit dan izin sebagai imbalan atas bagian keuntungan
untuk pejabat bersangkutan. Para Jenderal dan teknokrat pada umumnya ingin sekali
memantapkan perekonomian dan menarik bantuan serta penanaman modal asing yang
dalam pandangan mereka dapat dicapai paling baik dengan memberi kepastian pada
para pengusaha Tionghoa bahwa ada tempat cukup baik bagi mereka dalam
perekonomian orde baru, dengan demikian lebih bersifat mendahului daripada
mengikuti stabilisasi perekonomian. 79
Dalam rentang waktu 10 tahun, etnis Cina-Indonesia di daerah Kalimantan
Barat (kaum pengusaha dengan kaum politisinya) bergabung melakukan rekonstruksi
kekuasaan di dua sektor utama, yaitu sektor ekonomi dan sektor politik. Di sektor
ekonomi, etnis Cina-Indonesia pernah dieksekusi oleh Gerakan Mangkok Merah dari
78
M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang
di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.133.
79
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,
hal.293.
suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat. Pada sektor politik, dua kubu wadah sosiopolitiknya, yang menjadi sarang komunis telah dihancurkan oleh gelombang amukan
massa KAMI/KAPPI. Sedangkan pada periode tahun 1975-1985, etnis CinaIndonesia melakukan penggabungan kekuatan yang terbagi dalam empat golongan:
1. Golongan kekuatan pengusaha etnis Cina-Indonesia
2. Golongan kekuatan intelektual etnis Cina-Indonesia
3. Golongan politisi etnis Cina-Indonesia dan
4. Golongan suku bangsa pribumi yang bisa diperalat oleh etnis CinaIndonesia. 80
Setelah itu, pada periode tahun 1985-1995, etnis Cina-Indonesia melakukan
blockade
peluang
bisnis
suku
bangsa
pribumi
Dayak-Melayu,
sekaligus
mengalahkannya. Menurut pendapat sejumlah kalangan di Pontianak, tutupnya
perusahaan-perusahaan pribumi adalah realisasi dari serangkaian keganasan blokade
peluang bisnis tersebut. Dengan adanya praktek-praktek di atas, maka dapat dilihat
bahwa tujuan utama mereka adalah untuk membangun kesejahteraan pertumbuhan
ekonomi di lingkungannya sendiri, dengan cara menghambat pertumbuhan ekonomi
kaum pribumi.
b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik
Segala kebijakan dan aturan yang dibuat oleh orde baru adalah dengan tujuan
mempercepat pembauran dan menghilangkan sifat eksklusif etnis Tionghoa. Namun
bagi pemerintah orde baru, yang dimaksud dengan pembauran adalah hilangnya
kelompok etnis Tionghoa sebagai suatu golongan kebudayaan yang khas. Dalam
persepsi pemerintah dan masyarakat luas,”masalah Cina” adalah suatu keadaan di
mana sebuah kelompok yang hanya 3-4 % di Indonesia, dianggap bukan bagian dari
orang Indonesia, serta menguasai hampir 70% dari sektor swasta. Hal ini lah yang
80
M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf
Publishing, 1997, hal. 259.
sering diungkapkan, bahwa betapa etnis Tionghoa tidak patut, khususnya golongan
konglomerat etnis Tionghoa, dalam perekonomian Indonesia ini. Mely Tan mengurai
bahwa sebenarnya dari golongan etnis Tionghoa sendiri, mempunyai konsep atas
pembauran atau asimilasi. Pada tahun 1960, dimuat dalam majalah Star Weekly,
bahwa pernyataan “asimilasi yang wajar” dan ditandatangani oleh sepuluh kaum
intelektual peranakan Tionghoa. Judul dari penandatanganan ini adalah “Menuju
asimilasi yang wajar”, serta ditekankan sifat sukarela dari konsep pembauran ini dan
tidak membenarkan hambatan-hambatan yang dibuat-buat, juga tidak menyetujui
tindakan paksaan terhadap asimilasi tersebut. Konsep asimilasi ini berkembang dan
terbentuk lembaga yang bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). 81
Pembauran atau asimilasi ini dapat dilihat pada tiap wilayah yang terdapat
etnis Tionghoa di dalamnya. Misal etnis Tionghoa yang ada di daerah Jawa melebur
dengan masyarakat Jawa, lengkap dengan perubahan nama nya menjadi nama Jawa.
Etnis Tionghoa yang hidup di dalam masyarakat Sunda melebur bersama masyarakat
Sunda, Ambon dan sebagainya. LPKB dimasa Orde Baru menjadi Bakom-PKB
(Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa). Pemerintahan orde baru
melanjutkan konsep pembaurannya dan dan memunculkan konsep SARA (Suku,
Agama, Ras, Antar Golongan) yang ditujukan khusus ke media agar tidak
memberitakan hal terkait konsep ini. Akhirnya, pada kenyataannya, konsep asimilasi
dalam masa pemerintahan orde baru, bukan merujuk pada kerukunan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melainkan selama orde baru memimpin
telah terjadi suasana eskalasi polarisasi dalam hubungan antar etnis Tionghoa dan
masyarakat luas. Di mana hal ini secara sengaja atau tidak memupuk sentiment anti
Cina yang meledak pada kasus pertengahan Mei 1998, terutama di Jakarta, Solo, dan
beberapa tempat lain di Indonesia. 82
Kebijakan asimilasi orde baru menyebabkan etnis Tionghoa tidak dapat
belajar bahasa mandarin di sekolah, membaca terbitan berbahasa mandarin kecuali
81
82
Ibid, hal. 204
Ibid, hal. 206
Harian Indonesia, surat kabar yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan jarang
melihat kehadiran orang Tionghoa di program TV. Meski terdapat pembatasan
demikian, namun generasi pada masa ini mendapat akses ke rekaman video untuk
melihat video-video yang berbahasa mandarin, contohnya adalah program The
Legend of the Condor Heroes. 83 Hal ini tentunya merupakan anugerah tersendiri bagi
etnis Tionghoa karena dapat mengobati rindu mereka pada bahasa dan budaya yang
ada. sejumlah kebijakan yang hadir di masa orde baru agar berjalannya asimilasi ini
adalah ; 1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, 2) pelarangan praktik budaya Cina di
tempat umum, 3) himbauan untuk berganti nama, dan 4) penutupan sekolah-sekolah
Cina. Aimee Dawis juga menyimpulkan kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat
orang Indonesia Tionghoa untuk lebih berupaya menjadi orang Indonesia dengan
kadar jati diri ketionghoaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal,
keluarga dan agama. Meski demikian, orang Tionghoa masih saja menghadapi
perlakuan diskriminasi sehari-hari walau telah berusaha melakukan “pengindonesiaan
diri”. 84
Terkait penggantian nama, pada tanggal 1 Juni 1966, kira-kira 6.662 WNI
keturunan Tionghoa di Sukabumi mengganti nama mereka dalam suatu upacara
memperingati hari lahirnya Pancasila. Pada tanggal 29 Mei, mereka semua
dikumpulkan untuk hadir dalam briefing dari panitia yang terdiri dari LPKB
Sukabumi, pemimpin masyarakat WNI keturunan Tionghoa Sukabumi dan Panca
Tunggal Sukabumi. Setelah ganti nama secara de facto dilaksanakan dengan berhasil
sekali pada tanggal 1 Juni, maka hadir kesulitan-kesulitan bagi etnis Tionghoa.
Menurut UU yang berlaku saat itu, ganti nama secara de jure merupakan suatu proses
yang rumit dan memakan waktu. Berdasarkan UU Ganti Nama tahun 1961, perlu
sejumlah persyaratan lain, dan memberitahu maksudnya dalam berita negara, guna
memungkinkan pihak yang menentang mengajukan keberatan. Mekanisme ini tidak
83
Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2010, hal.3
84
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoa-mencari-identitas,
diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.
dipatuhi di Sukabumi, sehingga masyarakat Tionghoa di Sukabumi tidak dapat
melakukan transaksi dengan petugas bank, petugas pos dan telegram atau membuat
kartu penduduk dengan nama baru mereka. 85
Selain nama, agama juga menjadi hal yang bisa kita lihat dalam kebijakan
asimilasi orde baru. Terdapat dua agama yang diakui secara resmi; Buddha dan
Konghucu. Keduanya terkait dengan mayoritas etnis Tionghoa yang menganut agama
itu. Agama-agama minoritas seperti dua yang telah disebutkan di atas, harus
menyesuaikan diri di Indonesia. Tan Chee Beng berpendapat bahwa agama-agama
orang Tionghoa dapat dibagi menjadi “agama Tionghoa” dan agama Buddha
Tionghoa” karena keduanya mempunyai komponen yang berbeda. Menurut
pendapatnya, agama Tionghoa mempunyai konsep dewa yang banyak. Pada masa
orde baru, konsep mempunyai dewa yang banyak, tidak sejalan dengan interpretasi
orde baru tentang sila yang pertama dari Pancasila. Resim Soeharto beranggapan
bahwa agama Tionghoa, termasuk agama Konghucu dan Sam Kauw merupakan suatu
“rintangan” dari kebijakan asimilasi. Untuk mencapai tujuan asimilasinya,
pemerintahan orde baru menggunakan berbagai cara, mulai dari pembatasan aktifitas
agama Tionghoa, penggantian nama agama Tionghoa, mencabut pengakuan agama
Tionghoa, sampai larangan membangun tempat ibadat baru untuk agama Tionghoa. 86
Sejak kongres tahun 1967, agama Konghucu semakin terinstitusionalkan.
Organisasinya disusun mirip agama Kristen dan Islam. Ada rumah ibadah yang
disebut lithang, bukan klenteng. Rumah ibadat agama Konghucu beroperasi seperti
gereja
Kristen.
Agama
Konghucu
juga
mengenal
khotbah,
disamping
penyelenggaraan upacara perkawinan. Setelah merasa kuat secara kekuasaan politik,
rezim Soeharto merasa tidak membutuhkan dukungan penganut agama Konghucu.
Para Jenderal pun merasa bahwa agama Konghucu adalah penghambat bagi asimilasi
warga Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak tahun 1978, pemerintah mulai menjaga
85
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,
hal.166-167.
86
I. Wibowo dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat Tionghoa Pasca
Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010, hal.78-79.
jarak terhadap agama Konghucu. Pada akhir 1978, Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan surat edaran yang menyatakan hanya mengakui lima agama di
Indonesia, dan tidak termasuk Konghucu. Pada awal 1979 kabinet Soeharto juga
mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa agama Konghucu bukanlah
agama. Orang Tionghoa tidak lagi menyematkan agama Konghucu di kartu
penduduknya, melainkan agama Buddha. Agama Buddha diyakini lebih mencirikan
Indonesia, karena dulu terdapat kerajaan-kerajaan Buddha di Indonesia, seperti
Sriwijaya. 87 Tidak hanya agama, namun juga tempat peribadatan yang ada turut
diubah. Rezim Orde Baru berusaha mengubah klenteng menjadi wihara.
4.
Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi
Angin segar dapat dihirup etnis Tionghoa Indonesia ketika Indonesia
memasuki babak reformasi. Peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang diterima oleh
etnis Tionghoa perlahan hilang seiring kebijakan Indonesia yang mengedepankan
kebebasan berserikat, berbicara, beragama, berpolitik dan lainnya. Pasca peristiwa
kekerasan pada bulan Mei 1998 dan memasuki era reformasi, pemerintah lebih
memperhatikan aspek perlindungan politik, budaya, ekonomi dan lainnya bagi
seluruh warga negara Indonesia, tak terkecuali etnis Tionghoa Indonesia.
Para ilmuwan dan peneliti menilai bahwa reformasi politik membuka kran
bagi warga Tionghoa untuk terjun ke dunia politik. Pemilihan langsung yang telah
kita lakukan sejak tahun 2004, juga menguntungkan bagi warga Tionghoa untuk bisa
berjalan mulus dalam dunia politik, karena tidak ada lagi unsur subjektifitas, etnis dan
agama.
Pada awal reformasi, bermunculan berbagai partai politik ataupun kelompok
kepentingan dari warga Tionghoa, misal Partai Reformasi Tionghoa Indonesia
(PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo), dan Forum Masyarakat untuk
87
Ibid, hal.84-85.
Solidaritas Demokrasi Indonesia (Formasi). Pada tahun 1999, tercatat 150 an calon
anggota legislatif dari warga Tionghoa. Ketika itu, lima anggota DPR dan tujuh
anggota MPR yang terpilih dari warga Tionghoa. Pada pemilu 2004, jumlahnya
meningkat. Di pemerintahan lokal, sejumlah warga Tionghoa pun terpilih. Salah
satunya adalah Basuki Tjahaja Purnama yang terpilih sebagai Bupati Bangka. 88
Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang
Tionghoa, mengklasifikasi keterlibatan warga Tionghoa dalam poltik menjadi lima
kelompok cara pandang, yaitu
1. Kelompok warga Tionghoa yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis
mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya
dengan mendirikan partai Tionghoa.
2. Kelompok yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis
gerakan, melainkan melalui platform persamaan hak, misalnya dengan
mendirikan partai Bhineka Tunggal Ika.
3. Kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih
sebagai pressure group.
4. Kelompok yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan
senasib sepenanggungan.
5. Kelompok yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI
Perjuangan, PAN, PKB, dan sebagainya. 89
Keberadaan serta kesempatan yang luwes untuk etnis Tionghoa berpolitik dan
beraktifitas di masa reformasi, dapat kita lihat pada sejumlah kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pasca reformasi.
a. Pengaruh Kebijakan Negara
88
Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,
2013, hal. 167-168.
89
Ibid, hal.169.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berlangsung lama sejak masa pra
kemerdekaan, orde lama dan orde baru, tentu menyisakan kenangan pahit bagi warga
Tionghoa. Kebijakan negara yang saat itu diberlakukan untuk membatasi tindak
tanduk dan sikap politik etnis Tionghoa, dicabut pada masa reformasi dan diganti
dengan sejumlah kebijakan anti diskriminasi. Kebijakan pemerintah tersebut
diantaranya adalah;
1. Keppres No.56/1996 tentang SKBRI
2. Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No.14/1967
3. Inmendagri
No.25/1996
tentang
Petunjuk
Pelaksanaan
Keppres
No.56/1996
4. Inpres No.26/1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pri dan Non
pri
5. SE Mendagri No.471.2/1265/SJ tanggal 18 Juni 2002 tentang SKBRI
6. SE DIrjen Imigrasi Depkeh dan HAM No. P.U.M 01.100626 tanggal 14
April 2004 tentang SKBRI bagi Permohonan Paspor RI
7. SE Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan No.6 Tanggal 11 Juni
2004 tentang ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari
Nasional. 90
Dalam perayaan nasional Tahun Baru Imlek 2558, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meminta masyarakat tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dengan
bersikap diskiminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam konteks kehidupan bernegara,
tiga Presiden sebelumnya telah mempelopori lahirnya berbagai produk hukum yang
anti diskriminatif. Hal ini diawali pada tanggal 16 September 1998, dimana Presiden
BJ Habibie saat itu mengeluarkan Inpres 26.1998 yang menghapuskan penggunaan
istilah pribumi/non-pribumi. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang
90
Ibid, hal. 206
Penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan
diperbolehkannya pelajaran bahasa mandarin.
Setelah itu, ketika tampuk kekuasaan beralih ke Presiden Abdurrahman
Wahid, maka juga hadir Keppres 6/2000 tentang Pencabutan Inpres 14/1967 yang
mengatur penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,
tanpa memerlukan izin khusus. Presiden Megawati menerbitkan Keppres 19/2002
yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Puncak dari langkah
yang hebat ini adalah lahirnya UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang
disahkan di DPR pada 11 Juli 2016. Dengan adanya pengesahan UU tersebut, maka
menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada lagi produk hukum
yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. 91
Choirul Mahfud dalam bukunya menulis bahwa pada saat ini, telah
diberlakukan UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menggantikan
posisi UU No.62 tahun 1958. UU Kewarganegaraan 2006 yang ini mengelompokkan
warga negara dalam dua kelompok, yaitu (1) Warga Negara Indonesia asli yaitu
orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri dan (2) orang-orang
bangsa lainyang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia
melalui proses kewarganegaraan. Jadi, hanya ada dua jenis penggolongan
kewarganegaraan di Indonesia, yaitu warga negara Indonesia dan warga negara asing.
Melalui pengertian ini, maka warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia
sejak lahir dan bertahun-tahun lamanya bertempat tinggal di Indonesia secara turun
temurun adalah warga negara Indonesia secara sosiologis. UU tahun 2006 ini secara
tegas menganut asas non diskriminatif serta asas persamaan di dalam hukum dan
pemerintahan. UU ini juga menentang adanya penggolongan penduduk warisan
91
Ibid, hal. 209-211
kolonial dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang selama
ini telah mendiskriminasikan warga Tionghoa. 92
Dalam tulisan M.D La Ode terkait pengalaman nyata di Kalimantan Barat
pasca reformasi, maka dapat ditemukan bahwa warga kelompok etnis Cina Indonesia
baik ditingkat provinsi Kalimantan Barat, di kota Pontianak maupun di kota
Singkawang, banyak yang menjadi pengurus partai politik. La Ode mendapatkan data
siapa saja dari etnis Tionghoa (La Ode menyebutnya sebagai Etnis Cina Indonesia
atau ECI) yang menjadi pengurus partai politik, seperti yang terlihat pada tabel di
bawah ini 93:
Tabel 6.
Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus Partai Politik
Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat
No.
92
Nama
Partai Politik
Jabatan
1.
Michael Yan Sriwidodo
DPD Golkar Kalbar
Wakil Ketua
2.
Setiawan Lim, SH
DPW PKB Kalbar
Wakil Ketua
3.
Apheng
DPD Hanura Kalbar Pengurus
4.
Setiyo Gunawan, SE
DPC Demokrat ptk
Ketua DPC
5.
Ajas Hartono, MBA
DPC Demokrat ptk
Ketua DPC
6.
Wiseno Sudarmo
DPC Demokrat ptk
Pengurus DPC
7.
Bong Wui Khong
DPC PIB skw
Ketua DPC
8.
Hasan Karman
DPW PIB Kalbar
Ketua DPW
9.
Bong Cin Nen
DPC Golkar skw
Pengurus
10.
Bong Min Jam
DPC PIB skw
Pengurus
Ibid, hal. 211-212.
M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang
di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.174.
93
Sumber: Data diolah dari hasil wawancara dengan informan penelitian,
2009.
Data di atas menggambarkan sebuah refleksi atas kebijakan negara pasca
reformasi yang memperbolehkan partisipasi etnis Tionghoa Indonesia dalam kancah
perpolitikan Indonesia. Hal ini tentu merupakan kemajuan dalam konteks
kewarganegaraan dan cermin akomodasi atas multikulturalisme yang ada di
Indonesia.
b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan
Dalam melakukan partisipasi politik pasca reformasi, tentu etnis Tionghoa
Indonesia mempunyai komunikasi dan konsolidasi antar kelompok kepentingan yang
ada. Terdapat sejumlah kelompok kepentingan Tionghoa yang hadir setelah Indonesia
masuk pada alam reformasi. Diantaranya ada yang berbentuk LSM seperti Solidaritas
Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi). Selain partai politik,
ada juga organisas massa yang dibentuk oleh campuran golongan peranakan dan
totok seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (Inti). Organisasi-organisasi tersebut di atas, ada yang masih
bertahan, ada yang mengendur dan ada yang nyaris mati. Terjadi perkembangan yang
cukup menggembirakan akhir-akhir ini, yaitu bahwa organisasi-organisasi tersebut,
seperti Inti, Marga Huang, Meizhou, Guangzhou dan Teochew kadang melakukan
kegiatan sosial membantu korban bencana alam atau pengobatan gratis, disamping
baksos-baksos yang dilakukan Buddha Tsu His dan Walubi. Pun ketika terjadi
bencana tsunami di Aceh, berbagai organisasi Tionghoa ini memberikan bantuan
dana dan logistik untuk para korban. 94
94
Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,
2013, hal. 283.
Hal-hal tersebut di atas dijalankan untuk semakin menguatkan konsolidasi
yang ada antar kelompok kepentingan Tionghoa dan mencoba untuk dapat
memberikan sumbangsih bagi negara Indonesia. Salah satu perhimpunan Tionghoa
yang sering kita dengar adalah Inti. Perhimpunan ini terus aktif mengaspirasikan
kepentingan sosial politik warga Tionghoa yang selama ini tersumbat. Tidak hanya
dibidang politik, namun mereka juga mengembangkan peran dalam dunia pendidikan,
sosial, ekonomi dan kesehatan. Sama dengan Inti, PSMTI juga mempunyai banyak
cabang daerah di tiap provinsi di Indonesia yang menjadi konsentrasi suku Tionghoa.
Paguyuban ini didirikan pada tahun 1998, dilator belakangi karena peristiwa
penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Fokus perjuangan PSMTI adalah
pada sosialisasi kewajiban orang Indonesia sebagai warga negara, yaitu membayar
pajak, ikut partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, kepedulian terhadap
lingkungan, serta mengambil posisi sebagai birokrat, politisi, pegawai negeri, anggota
TNI dan Polri. Selain PSMTI terdapat pula Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
(PITI). PITI lebih berperan pada ranah kaum santri dibanding kaum abangan dan
priayi. PITI meyakini bahwa upaya menyelesaikan masalah Tionghoa bisa dengan
cara merangkul “saudara lama”, yakni kaum santri muslim Indonesia yang mayoritas
turut berjuang dalam kemerdekaan RI bersama warga lintas agama lainnya. 95
Selain tiga organisasi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula lembaga
swadaya masyarakat (LSM), yaitu Yayasan Nabil (Nation Building Foundation),
Buddhist Education Cemtre (BEC) Surabaya, Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (Matakin), Paguyuban Umat TAO Indonesia (PUTI), Komunitas Tionghoa
di Dunia Maya seperti milis Tionghoa-net dan forum diskusi budaya Tionghoa.
Kelompok-kelompok ini saling berkerjasama satu sama lain dalam membangun
upaya warga negara etnis Tionghoa Indonesia agar lebih berperan dan turut serta
berkontribusi untuk kepentingan negara dan bangsa.
95
Ibid, hal. 285-292.
Kelemahan-kelemahan organisasi peranakan adalah dibidang keuangan. Pada
umumnya, para pengurusnya adalah professional atau pekerja dan bukan pengusaha.
Kalaupun ada pengusaha yang sukses dari kalangan peranakan, umumnya mereka
tidak mau lagi terlibat dalam organisasi Tiongohoa. Mayoritas mereka juga sudah
tidak bisa lagi berbahasa mandarin. Sebaliknya, untuk organisasi-organisasi di
kalangan totok, sangat kuat dibidang keuangan, karena pemimpin organisasi ini
dikuasasi oleh para pengusaha sukses. Sayangnya, organisasi yang ada, digunakan
sebagai kendaraan para pemimpinnya untuk kepentingan mereka sendiri agar bisa
menjadi selebritis atau masuk pada bursa tokoh Tionghoa di masyarakat totok.
Menurut mereka, dengan menjadi pemimpin dalam organisasi Tionghoa di Indonesia,
akan mendapatkan penghargaan yang tinggi dari pejabat di Tiongkok dan
memudahkan mereka dalam berbisnis dengan Tiongkok atau demi keamanan
investasi. Kelemahan organisasi totok adalah pada bidang SDM yang benar-benar
berpengalaman dalam menjalankan roda organisasi. Kebanyakan organisasi mereka
didominasi oleh orang-orang tua yang pada umumnya adalah pengusaha. 96
B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru
1. Patron-Klien dan Kekuatan Modal Sosial
Dominasi ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde
baru, sedikit banyak memberikan kontribusi bermakna pada kehidupan etnis
Tionghoa pasca orde baru. Memasuki masa reformasi, maka jaringan sosial etnis
Tionghoa dengan pengusaha lokal atau penguasa dari unsur pemerintah, masih
membekas dan terus berkelanjutan hingga hari ini. Maka tidak heran, ketika
masyarakat mendengar kata etnis Tionghoa, maka hal pertama yang terbersit di
96
http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasitionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.
fikiran adalah kekuatan ekonomi etnis Tionghoa. Itulah identitas yang melekat pada
diri etnis Tionghoa.
Jika pada masa orde baru hubungan yang dibangun antara pemerintah dan
kalangan pengusaha etnis Tionghoa bersifat kasat mata, maka pada masa reformasi
kita dapat melihat hubungan patron-klien tersebut dalam sejumlah hal, terutama
dalam dunia politik. Benih-benih yang ditanam pada masa orde baru, semakin
dikuatkan pada masa reformasi, bahwa hubungan penguasa dengan penguasa
bukanlah menjadi hal yang tabu atau aneh, namun sudah menjadi rahasia umum.
Sebagai contoh adalah dukungan yang diberikan oleh pengusaha etnis Tionghoa
dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dukungan ketika Pemilu Legislatif
terjadi di Indonesia dan bahkan ketika etnis Tionghoa seperti Harry Tanoe S
berpasangan dengan Wiranto dan menggunakan kendaraaan partai Hanura jelang
pencalonan Pilpres 2014.
Hubungan pengusaha Tionghoa dan penguasa atau pemerintah pun semakin
terlihat ketika pengusaha etnis Tionghoa mempunyai bisnis media dan mendirikan
partai politik, seperti Harry Tanoe yang pada akhirnya mendirikan Perindo.
Kontribusi pemerintah yang dapat kita telaah adalah pada implementasi regulasi
penyiaran, apakah iklan dengan durasi lama yang ditayangkan oleh MNC group
dengan menggadang-gadang Ketua Umumnya, yaitu Harry dalam iklannya adalah
sesuatu yang dianggap lumrah tidak. Inilah bagian dari hubungan patron-klien yang
dapat kita lihat dalam konteks penguatan politik identitas etnis Tionghoa.
Penguatan identitas tersebut bukan tanpa kekuatan modal sosial. Jaringan
yang dimiliki oleh etnis Tionghoa,terutama kalangan pengusaha Tionghoa di banyak
wilayah di Indonesia, adalah potret modal sosial yang sangat kuat. Sebagaimana
pendapat Putnam (1993) yang dikutip oleh Jhon Field, mendefinisikan modal sosial
sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang
dapat
memperbaiki
efisiensi
masyarakat
dengan
memfasilitasi
tindakan
terkoordinasi. 97 Koordinasi antar satu wilayah dengan wilayah lain, pusat dengan
daerah menjadi mudah bagi kalangan pengusaha etnis Tionghoa karena mereka
mempunyai jaringan dan kepercayaan yang dibangun antar mereka. Karena itulah
pemerintah (sebagai patron) dan pengusaha Tiongho (sebagai klien) ibarat dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini relevan dengan apa yang dinyatakan
oleh Field bahwa yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana
jaringan sosial menjadi asset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya
kerekatan sosial, karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling
terikat satu sama lain, guna saling memberikan manfaat. Potret dari pernyataan Field
ini dapat kita temukan pada konteks hubungan yang dibangun dalam kalangan etnis
Tionghoa sendiri, bukan hanya hubungan antar pengusaha etnis Tionghoa. Namun
hubungan yang dibangun juga melalui kelompok kepentingan etnis Tionghoa yang
tumbuh subur pasca orde baru, dimana sejumlah pengusaha Tionghoa menjadi ketua
umum dalam organisasi yang ada (sejumlah penamaan organisasi tersebut dapat
dilihat pada point B dalam bab ini).
Dalam buku Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, dijelaskan
bahwa di Indonesia, posisi para kapitalis pribumi lebih penting, tetapi mereka jauh
kurang berarti dibandingkan dengan kapitalis Tionghoa. Sebagai contoh, dari
kesepuluh bank swasta terbesar, hanya satu bank yang dikendalikan pribumi (Bank
Niaga), dan diantara perusahaan-perusahaan manufaktur yang besar, Bakrie adalah
satu-satunya kelompok utama, meskipun ada beberapa perusahaan manufaktur milik
pribumi lainnya yang kurang dikenal. Akan tetapi, pribumi lebih penting dalam
industri konstruksi dan jasa minyak-industri-industri yang dikaitkan dengan
pemerintah. 98
Modal juga merupakan masalah lain bagi orang pribumi, tidak seperti bagi
orang Tionghoa, yang mempunyai jaringan melalui mana ia akan mendapatkan orang
97
Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19
98
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.74
yang bersedia membantunya memulai bisnis. Di Malaya dan Indonesia sebelum
perang misalnya, tak ada bank yang dapat didatangi pribumi untuk memperoleh
bantuan. Orang pribumi tidak dapat mendatangi bank Tionghoa karena bank tersebut
hanya melakukan bisnis di kalangan mereka sendiri. Serta, sulit bagi pribumi untuk
memperoleh suplai dengan kredit, karena orang Tionghoa lah yang memonopoli
jaringan distribusi dan mereka tidak mempercayai pedagang pribumi. 99
Sesudah pemerintahan Soeharto, modal kalangan etnis Tionghoa menjadi
bagian daripada modal dalam negeri, dan diskriminasi pun berakhir. Sebagai
hasilnya, mereka kembali menjadi unsur dinamis dari perekonomian Indonesia, yang
berekspansi ke berbagai lapangan yang dibuka oleh kebijaksanaan ekonomi yang
baru itu. Etnis Tionghoa sangat berhasil dalam periode ini,sehingga perasaan anti
Tionghoa kembali memuncak di kalangan pribumi. 100
Hubungan patron-klien adalah hubungan yang bersifat tatap muka, artinya
bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka,
saling mengenal pribadinya dan saling mempercayai. Lande ( dalam Scott 1972)
menyebut hubungan patron-klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan
patron-klien menurut Scott 101 adalah (1) terdapat suatu ketimpangan dalam
pertukaran, (2) bersifat tatap muka dan (3) bersifat luwes dan meluas. Hubungan
patron-klien ini yang terjadi antara pemerintah/penguasa dan pengusaha etnis
Tionghoa.
Ketimpangan dalam pertukaran tentu akan menyebabkan hutang balas budi
yang berkelanjutan. Meski demikian, ketika telah terjadi pertukaran, maka
mekanisme tersebut juga akan terus belanjut dan sulit untuk berhenti. Modal sosial
yang dimiliki oleh etnis Tionghoa sulit untuk dibantah dan dibandingkan dengan
modal sosial masyarakat Indonesia lainnya. Karenanya, tidak heran jika pada masa
orde baru, Soeharto telah menanam benih kedekatan dengan pengusaha-pengusaha
99
Ibid, hal.77.
Ibid, hal.88
101
Scott James, Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972
100
etnis Tionghoa dan kemudian terus terjadi hingga pasca orde baru. Hubungan ini pada
akhirnya semakin menguatkan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dan
meneguhkan identitas mereka.
Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah dipahami dengan
membaginya menjadi dua kategori, yaitu sktruktural dan kognitif. “Kategori
struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya
peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringanjaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari
tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial.
Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan
gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilainilai, sikap dan keyakinan
yang berkontribusi pada terciptanya perilaku
kerjasama.” 102
Kategori
struktural
vertikal
lebih
pada
hubungan
dengan
pemerintah/suprastruktur politik pemerintahan. Sedangkan pada tataran struktural
horizontal, lebih pada hubungan dengan organisasi, paguyuban dan lainnya. Pada
aspek kognitif, aspek vertikal nya ada pada tataran kemitraan, partisipasi,
kepercayaan dan sebagainya. Pada aspek horizontal ada solidaritas, toleransi dan
kerjasama. Baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal, etnis Tionghoa
memiliki dua kekuatan tersebut, sehingga sangat sulit dibantah peran mereka dalam
dunia sosial politik dan ekonomi di Indonesia.
Jika hubungan patron-klien merefleksikan pola dari adanya kerjasama kedua
pihak, antara penguasa/pemerintah dengan pengusaha, maka idealnya negara dalam
hal ini pemerintah mempunyai kekuatan dan kemandirian. Francis Fukuyama dalam
buku “Memperkuat Negara” menjelaskan bahwa pemerintahan yang lemah
meruntuhkan prinsip kedaulatan yang menjadi dasar tatanan internasional. Hal
102
Norman Uphoff, UnderstandingSocial Capital: Learning From The Analysis and Experience of
participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World
Bank, 2000.
tersebut terjadi karena persoalan-persoalan yang dimunculkan negara-negara lemah
bagi diri mereka sendiri dan bagi negara-negara lain semakin meningkatkan
kemungkinan bahwa negara lain dalam sistem internasional akan berusaha campur
tangan dalam masalah mereka demi menyelesaikan persoalan tersebut. Lemah disini
mengacu pada kekuatan negara dan bukan lingkup-untuk menggunakan istilah yang
telah dipergunakan sebelumnya-yang berarti kurangnya kemampuan kelembagaan
untuk menerapkan dan menjalankan berbagai kebijakan, yang seringkali disebabkan
oleh kurang nya legitimasi yang mendasari sistem politik secara keseluruhan. 103
Pasca orde baru, kemandirian negara belum terbukti adanya, karena kekuatan modal
sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebar dalam organisasi-organisasi dan
berfungsi dengan tepat pasca orde baru/iklim reformasi. Suasana yang ada, tepat
dengan penjelasan Fukuyama bahwa individu-individu yang bekerja dalam organisasi
yang mempunyai berbagai fungsi kegunaan yang sangat kompleks yang mencakup
kepentingan-kepentingan ekonomi individu, serta komitmen pada tujuan-tujuan dan
nilai-nilai kelompok.
Para pengusaha etnis Tionghoa masuk dalam organisasi etnis Tionghoa yang
terbentuk pasca orde baru dan beberapa diantaranya menempati posisi penting dalam
organisasi tersebut. Selain itu, Fukuyama menjelaskan bahwa contoh paling ekstrem
tentang bagaimana badan-badan negara dapat menggunakan norma-norma dan modal
sosial adalah dalam organisasi militer. 104 Sebagaimana yang diketahui bahwa
organisasi militer di masa orde baru, juga mempunyai kedekatan dengan pengusaha
etnis Tionghoa.
Kedekatan Soeharto dengan pengusaha etnis Tionghoa juga dimulai ketika
dirinya masih aktif di militer. Karenanya, hubungan antara militer dengan penguasa
dan pengusaha tidaklah dapat dipisahkan. Pasca orde baru, purnawirawan yang aktif
dalam dunia politik, masih menggunakan jaringan, modal sosial mereka untuk
103
Francis Fukuyama, Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005, hal.124.
104
Ibid, hal. 83.
mendapat dukungan dari pengusaha etnis Tionghoa. Purnawirawan yang kemudian
masuk dalam unsur pemerintahan, tidak hanya dalam partai politik, juga
menggunakan jaringan tersebut untuk meneguhkan posisi politik nya. Pun sebaliknya,
para
pengusaha
etnis
Tionghoa
juga
membutuhkan
kedekatan
dengan
pemerintah/penguasa untuk meneguhkan posisinya dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi
keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente karena pada pokoknya mereka
mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah
berikan
dengan
menyerahkan
sumberdayanya,
menawarkan
proteksi,
atau
memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di
sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati”
pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah dan/atau
secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan. 105
Sebagai contoh potret patron-klien di masa orde baru yang kemudian pada
periode pasca orde baru menjadi multiaktor, adalah keluarga Presiden Soeharto.
Dikabarkan bahwa Presiden Soeharto melakukan investasi di bisnis, khususnya pada
perusahaan-perusahaan milik Liem Sioe Liong, namun hal ini tidak bisa dicek
kebenarannya karena Soeharto tidak melakukan atas namanya sendiri. Keluarganya
secara luas terlibat bisnis. Adik tiri Soeharto, Probosutedjo memimpin kelompok
perusahaan Mertju Buana. Ia berbagi hak monopoli impor cengkeh dengan Liem Sioe
Liong yang merupakan kontraktor utama untuk proyek-proyek pemerintah, serta
menjadi pemasok utama bagi perusahaan minyak Indonesia. 106 Tidak hanya adik tiri
Soeharto, bahkan saudara angkat hingga anak-anak Soeharto pun ikut berbisnis dan
mempunyai perusahaan yang terbilang penting di Indonesia.
Pasca orde baru, hubungan patron-klien tersebut menjadi lebih sulit diprediksi
karena dilakukan oleh multi aktor. Meski demikian, pola hubungan yang ada tetaplah
sama. Terdapat penguasa/pemerintah, pengusaha lokal yang bisa datang dari unsur
105
106
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.93.
Ibid, hal. 95.
publik atau purnawirawan militer, dan pengusaha etnis Tionghoa. I Wibowo dalam
bukunya “Negara Centeng” menuliskan pola peran negara dalam ekonomi, yaitu; (1)
Negara sebagai pemilik; negara mempunyai dampak dalam ekonomi tentu tidak dapat
dilepaskan dari fakta bahwa negara memiliki baik tanah maupun modal, (2) Negara
sebagai pemilik dan produsen; yang dimaksud di sini adalah perusahaan-perusahaan
milik negara.
Indonesia termasuk dalam kelompok kedua ini, memiliki sejumlah perusahaan
negara yang disebut BUMN. Sebelum reformasi. Negara menguasai sekitar 160
BUMN. Setelah reformasi, ada gerakan kuat untuk mengadakan privatisasi BUMN,
(3) Negara sebagai majikan; meningkatnya jumlah perusahaan negara dengan
sendirinya juga meningkatkan peranan negara sebagai majikan. Indonesia di tahun
2000 memperkerjakan kurang lebih 3,9 juta orang yang disebut “pegawai negeri”,(4)
Negara sebagai Regulator; negara tidak hanya diam dan berbuat apa-apa dibidang
ekonomi. Ia di beri kekuasaan untuk mengadakan intervensi secara administratif atau
secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar, (5) Negara sebagai
redistributor; kekayaan memang tidak dibagi rata dalam masyarakat. Maka negara
mempunyai tugas untuk menjalankan tugas memeratakan kekayaan itu dengan cara
penarikan pajak.
Dalam negara modern, dikenal dengan sebutan “pajak progresif”; semakin
tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi ia harus membayar pajak, (6) Negara
sebagai pembuat kebijakan ekonomi; setelah perang dunia II banyak negara, Barat
maupun non Barat, menetapkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada prilaku
ekonomi. Pertama, negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi, misalnya
pertumbuhan ekonomi. Kedua, negara menetapkan kebijakan moneter. Ketiga, negara
menetapkan kebijakan dibidang pendapatan (income). Keempat, kebijakan negara
yang disebut industrial policy yang mempunyai pengaruh langsung kepada
industry. 107
2. Pergeseran Orientasi Politik
Selain persoalan politik identitas, dan status kewarganegaraan, masalah
orientasi politik juga menjadi hal yang serius dikalangan etnis Tionghoa di Indonesia
yang selalu berubah-ubah. Menurut Leo Suryadinata, catatan sejarah mengenai
orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai
dengan periodesasi kekuasaan politik di Indonesia. 108
Pembentukkan orientasi politik baik yang bersifat sistemik maupun individual
sangat bergantung pada budaya politik yang berkembang pada masyarakat setempat.
Sebagai sebuah komponen dalam sistem politik yang diinternasilasikan ke dalam
kesadaran, perasaan dan evaluasi penduduknya. Budaya politik dapat dipandang
sebagai landasan sistem politik yang memberi pengaruh secara signifikan pada
sistem politik dan sekaligus memberikan arah pada peran-peran politik yang
dilakukan oleh struktur politik baik secara legal institusional maupun secara nonformal sesuai dengan struktur sosial yang berlaku ditengah masyarakat.
Struktur politik sangat berpengaruh pada pembentukkan budaya dan orientasi
politik para anggotanya, hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana kontribusi
individu ataupun kelompok sebagai aktor pada proses input dan output dalam sebuah
sistem. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lepas bagaimana perlakuan pemerintah
terhadap eksistensi komunitas Etnis Tionghoa di Indonesia, kontribusi individu
maupun kelompok Tionghoa secara global memberikan pengaruh bagi pembentukkan
dan penguatan sistem dan produk kebijakan pemerintah, walaupun secara faktual,
sikap situasi politik nasional dan sikap pemerintah Indonesia yang berbeda
107
I Wobowo, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius:
Yogyakarta, 2010, hal. 33-37.
108
Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185
menghadapi masyarakat etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi pembentukkan, pergeseran bahkan perubahan orientasi politik etnis Tionghoa
yang cenderung tidak stabil.
Dalam kehidupan politik, terdapat dua tingkat orientasi politik, yaitu tingkat
individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdapat sistem politik dapat
dilihat dari tiga jenis orientasi, yaitu :
a. Orientasi Kognitif : Cara pandang yang meliputi berbagai pengetahuan dan
keyakinan tentang sistem politik dan segala hal yang berhubungan dengan
input dan outputnya. Hal ini berkaitan dengan aspek pengetahuan seseorang
mengenai jalannya sistem politik.
b. Orientasi Afektif : Suatu orientasi yang menunjuk kepada aspek perasaan atau
ikatan emosional seorang individu terhadap sistem politik yang meliputi
peranannya, para aktor dan penampilannya
c. Orientasi Evaluatif : Suatu orientasi yang berkaitan dengan penilaian moral
seseorang terhadap sistem politik dengan melibatkan kombinasi standar nilai
dan kriteria dengan informasi dan perasaan, selain itu juga menunjukkan pada
komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik tentang
kinerja sistem politik. 109
Selanjutnya Almond dan Verba mengemukakan bahwa orientasi politik dapat
dibuka secara sistematis jika memperhatikan beberapa hal pokok:
1. Adanya pengetahuan tentang negara dan sistem politiknya secara umum
seperti sejarah, lokasi, ukuran, kekuasaan, sifat-sifat konstitusionalnya dan hal
lainyang berkaitan dengan wawasan global sebuah kekuasaan politik.
109
Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal:16
2. Adanya pemahaman tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan
pengajuan pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan ke dalam arus
pembuatan kebijakan yang bersifat upward.
3. Pemahaman yang dimiliki yang berkaitan dengan implementasi kebijakan
yang bersifat downward.
4. Bagaimana perasaan pribadi sebagai anggota dari sebuah sistem politik
berkaitan dengan bagaimana pemahamannya tentang hak-hak politik,
kewajiban, dan strateginya untuk bisa masuk dalam kelompok-kelompok yang
berpengaruh dalam politik. 110
Aspek individu dalam orientasi politik memiliki peran sebagai pengakuan
pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang akan mempengaruhi aksi dan
prilaku individu dalam realitas sosial, baik orientasi tersebut bersifat kognitif, afektif
maupun evaluatif. Hal ini semakin mempertegas bahwa masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu yang akan mengkristal secara
kolektif dengan orientasi individu lain dalam sebuah komunitas sosial.
Pembentukkan budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku
individu/ masyarakat terhadap sistem politik tertentu. Bila kita hubungan dengan
budaya politik di Indonesia menunjukkan bahwa budaya bangsa Indonesia sangat
majemuk, tetapi tekad untuk tetap bersatu dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika,
artinya secara kultur kita majemuk, tetapi secara politik ingin bersatu, karena di
dalam persatuan dapat memberikan tempat kepada kemajemukan itu.
Secara sederhana, budaya politik bila dikaitkan dengan orientasi politik
difahami sebagai pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan
politik yang dijalani oleh para anggota suatu sistem politik akan mampu menciptakan
cara pandang tersendiri anggota masyarakat terhadap struktur politik. Bila menelah
lebih dalam budaya politik yang lebih difokuskan pada analisis mengenai orientasi
politik memiliki dua manfaat yaitu:
110
Ibid., hal.19 - 20
1. Mengetahui sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik yang akan
mempengaruhi
tuntutan-tuntutan,
tanggapannya,
dukungannya
serta
orientasinya terhadap sistem politik hingga dengan jelas akan kaelihatan
bagaimana proses sebuah sistem yang melibatkan alur input dan output
bisa kelihatan.
2. Memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksudmaksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau faktorfaktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi, minat,
dukungan serta pembentukkan faksi faksi dalam sebuah sistem politik.
Hubungan sebab akibat dan saling maempengaruhi antara sistem politik dan
orientasi politik seperti dijelaskan diatas menciptakan situasi yang tidak kondusif
dalam menganalisis bagaimana komitmen nasionalisme kebangsaan yang dimiliki
oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini nampak jelas dari catatan tentang
bagaimana orientasi politik etnis Tionghoa selalu mengalami perubahan pada setiap
pergantian rezim pemerintah yang berkuasa di Indonesia, berikut tabel yang
menjelaskan bagaimana perubahan orientasi itu terjadi: 111
Tabel 7.
Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa Setiap Periode Pemerintahan
No
1
111
187
Periode
Orientasi Politik
Masa Kolonial Belanda
Terdapat tiga orientasi sosio-politis, yaitu:
1. Berorientasi ke Tiongkok (kelompok Sin
Po) yang percaya bahwa orang
Tionghoa lokal adalah anggota bangsa
Tiongkok,
kelompok
ini
adalah
Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185-
Tionghoa totok
2. Berorientasi ke Hindia Belanda (Chung
Hua Hui) yang memahami posisi mereka
sebagai
kawula
Belanda
sambil
melanjutkan
kehidupan
sebagai
Tionghoa peranakan.
3. Berorientasi sebagai bangsa Indonesia
yang akan datang tergabung dalam Parta
Tionghoa Indonesia dan merupakan
Tionghoa peranakan.
Masa
Kemerdekaan Pada masa ini etnis Tionghoa terbagi ke dalam 2
(Orde Lama)
kelompok:
1. Berorientasi pada Tiongkok
2. Berorientasi ke Indonesia namun terbagi
lagi menjadi dua kelompo, yaitu:
a. Kelompok integrasionis: yang tetap
menginginkan identitasnya sebagai
Tionghoa peranakan 112
b. Kelompok
Asimilasionis:
yang
menginginkan
peleburan
etnis
Tionghoa ke dalam masyarakat
pribumi Indonesia.
Masa Orde Baru
Sebagian besar orang Tionghoa dikondisikan
mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan
oleh penguasa dan membuat etnis Tionghoa
menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik
Masa Setelah Orde Semangat berpolitik etnis Tionghoa kembali
Baru
muncul dan membentuk partai-partai politik
Tionghoa, namun sebagian besar tokoh
Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan
asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi
dengan tujuan agar identitas Tionghoa masih
berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa
secara umum
Sumber: Leo suryadinata (2010)
2
3
4
Selain perlakuan pemerintah, perubahan orientasi politik etnis Tionghoa di
Indonesia disebabkan penerimaan oleh masyarakat asli pribumi yang masih setengah
112
Kelompok ini berpendapat bahwa asimilasi total bisa dilakukan apabila Indonesia berubah
menjadi negara sosialis, dan kalau hal itu tidak bisa terwujud maka lebih baik mereka berintegrasi ke
dalam partai-partai politik yang revolusioner serta organisasi massa.
setengah tas keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia, bahkan sebagian
besar masih menganggap etnis Tionghoa adalah outsiders dan diperlakukan sebagai
orang asing yang harus dicurigai 113
Arus reformasi yang dijadikan sebagai
pijakan dari komitmen etnis
Tionghoa untuk menunjukkan eksistensinya dalam dinamika politik di Indonesia
ditunjukkan dengan beberapa cara, seperti pembentukkan partai politik, berasimilasi
dengan partai nasionalis, masuk dalam struktur eksekutif sebagai pembuat kebijakan,
terlibat secara langsung dan terang-terangan dalam tender-tender pembangunan infra
struktur, dan yang paling kentara adalah dengan terlibat dalam kompetisi-kompetisi
dalam pemilihan pemilihan wakil rakyat baik pada Pemilu maupun dalam Pilkada di
semua level dari yang tingkat kabupaten –Kota sampai pada level nasional.
3. Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan
Setelah disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
No. 12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA,
dan tidak ada lagi istilah “pribumi” dan “non pribumi“. Undang-Undang
tentang Administrasi Kependudukan No 23/ 2006, yang membatalkan seluruh UU
dan Staatsblad diskriminatif peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang telah
membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia, telah melengkapi
penghapusan hampir seluruh peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis
Tionghoa. Namun, kemajuan pesat pertumbuhan ekonomi dunia dan
globalisasi
ditambah berkembangnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sebuah
kekuatan ekonomi, politik, dan militer menuju negara adikuasa baru, dan semakin
eratnya persahabatan Pemerintah RI dan RRT, menjadi permasalahan tersendiri bagi
identifikasi tingkat loyalitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Apakah mereka
benar-benar telah menguatkan komitmen menjadi bagian dari warga negara yang
113
Ibid., hal 185
menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan menjadi bagian integral bangsa
Indonesia, atau masih mempunyai loyalitas ganda dengan masih menjadikan
nasionalisme Cina sebagai acuan orientasi politiknya.
Nilai-nilai multikulturalisme yang dibangun sebagai pondasi bagi kehidupan
berdemokrasi di Indonesia memberikan keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa
untuk berkontribusi dalam dinamika pembangunan politik yang berkelanjutan di
Indonesia. Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep
konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau
penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada
fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan.
Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang
bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada
hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah,
yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu
atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. 114
Multikulturalisme yang dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap
pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi
keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang
bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya
mayoritas yang seringkali tidak seimbang. 115 Cashmore menjelaskan dalam kaitannya
dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk
memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2)
untuk menstrukturkan hubungan antara negara dan minoritas etnik. 116
114
W. Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995,
hal. 11
115
D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester:
Bookmart Ltd. 1999, hal. 429
116
E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge,
1996, hal. 244)
Kaitan antara multikulturalisme sebagai konsep dasar bagaimana seharusnya
keberagaman dihargai dengan menguatnya identitas politik Etnis Tionghoa dalam
ranah politik adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan
masyarakat umum (pribumi) yang ditunjukkan kepada etnis Tionghoa walau tentunya
tetap masih saja ada gesekan-gesekan yang cukup keras namun itu biasanya terjadi
saat terjadi konflik konflik yang disebabkan oleh prilaku personal dan bukan
bentrokan komunal.
Selain semakin terbukanya masyarakat terhadap kemajemukan dan pluralitas
yang ada, penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran
yang meningkat diantara mereka untuk merubah kondisi dan posisi mereka secara
politis dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan dan tidak hanya
berperan sebagai objek politik.
4. Penguatan Civil Society
Kekuatan masyarakat sebagai penyeimbang dalam demokrasi dikuatkan
dengan munculnya konsep civil society atau masyarakat sipil atau masyarakat madani
yang dianggap efektif dan compatibel sebagai bagian terpenting dari kekuatan
demokrasi. Dalam kajian mengenai civil society di Indonesia sejak masa pra
kemerdekaan sampai masa Orde Baru, sangat sulit menemukan literatur mengenai
organisasi-organisasi berbasis etnis Tionghoa baik sebagai organisasi yang bersifat
cultural maupun spiritual apalagi yang berorientasi pada politik Indonesia.
Secara teoritis, keberadaan organisasi-organisasi non pemerintah atau civil
society adalah sebuah keharusan dalam kultur demokrasi, karena bagian dari sirkulasi
operasionalisasi sistem sebagai kelompok kepentingan yang berfungsi melakukan
pressure dan evaluasi kepada penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal
ini sudah ditegaskan sejak berabad-abad lalu bahkan sebelum konsep demokrasi
berkembang sebagai sebagai sebuah sistem yang solid dan mampu menjamin
keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan politik.
Secara etimologis, civil society berasal dari istilah Latin, civilis societas, mulamula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator dan pujangga Roma. Beliau
memberikan defenisi yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan
masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political
society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum
yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban suatu jenis
masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu di zaman dahulu adalah masyarakat
yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan
hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan
yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses
pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat
kota.
Di Indonesia, konsep civil society yang diidentikkan dengan konsep masyarakat
madani diadopsi oleh Dawam Rahardjo dengan memadukan pemikiran civil society
seperti dijelaskan oleh Tecqueville dengan pemikiran Jurgen Habbermas dan Hannah
Arrendt tentang free public sphere atau ruang publik yang bebas. 117 Pemikiran ini
menjelaskan bahwa dengan adanya ruang publik yang bebas, maka setiap individu
dapat dan berhak melakukan kegiatan secara bebas dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul, serta berekspresi merespons kerja negara dan pemerintahan
yang perlu dikritisi dan juga didukung.
Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang penganut civil society dengan
merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial
(Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting),
117
Ibid.
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. 118
Berdasarkan penjabaran konsep civil society diatas, dapat ditarik benang merah
bahwa civil society adalah suatu konsep bermasyarakat dan bernegara yang memberi
kebebasan individual kepada setiap orang dengan batasan yang berkeseimbangan
berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa mengorbankan
hak-hak dan kepentingan individual yang asasi dalam bingkai mekanisme aturan yang
berkeadaban dan berkeadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Secara sederhana dapat digambarkan unsur-unsur civil society yang meliputi:
1. Adanya kehidupan pribadi yang bebas tetapi tidak sewenang-wenang
terhadap suatu kelompok masyarakat lainnya.
2. Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan individual tidak terkekang
secara wajar khususnya berkaitan dengan hak asasi perorangan.
3. Proses itu berjalan diikat dengan aturan-aturan yang lues tetapi tegas.
4. Tidak terjadi pemaksaan dan keterikatan yang berlebihan tetapi
kesejajaran, persamaan dalam hak-hak dan kewajiban asasi.
5. Menyangkut aspek sosial ekonomi politik.
6. Negara sebagai manager, mediator dan pelayan yang terkendali.
Secara sederhana, Civil Society dimaksudkan sebagai keterlibatan warga
negara yang bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan dan masyarakat sipil
yang memusatkan perhatiannya untuk kepentingan publik tetapi tidak dalam agenda
berusaha untuk merebut kekuasaan atau melakukan kudeta. Habermas seorang tokoh
madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang
bebas, menegaskan posisi masyarakat di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses
atas setiap kegiatan publik.
Setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi
dengan syarat harus kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak melangkahi
118
Hikam, AS. Muhammad., Demokrasi dan Civil Society, hal. 3
kebebasan
orang
lain.
Pandangan
Habermas
ini,
menjadi
ideal
untuk
diimplementasikan di Indonesia yang sedang terus berusaha menegakkan nilai-nilai
demokrasi tidak hanya dalam lingkup kekuasaan tetapi juga dalam kehidupan sehari
hari.
Sejak dikenalkan oleh Anwar Ibrahim (waktu itu sebagai wakil perdana
menteri Malaysia), konsep civil society dalam konteks Islam Indonesia lebih lekat
pada istilah masyarakat madani, walaupun secara historis, konsep masyarakat madani
tidak memiliki dasar filosofis yang kuat dan cenderung kontra produktif dengan
sejarah pemaknaan civil society sebagai akar konsepnya yang justru memiliki
kronologi sejarah dari tradisi Eropa non Islam dan cenderung bersifat sekularistik.
Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur
berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan Individu
dengan kestabilan masyarakat. Ciri khas yang melekat pada konsep masyarakat
madani adalah
kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik
(reprocity), dan sikap saling maenghargai dan memahami (toleransi) dengan
mengunakan
demokrasi.
prinsip-prinsip
moral,
keadilan,
kesamaan,
musyawarah,
dan
119
Secara historis, Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa
sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari
dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama
saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai
dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang
diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi
kapitalisme yang liberalistik.
119
UbaedillahA. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010, hal.176.
AS Hikam mengatakan bahwa civil society sebagai gagasan adalah anak
kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya
sekularisme sebagai weltanschaung yang menggantikan agama, dan sistem politik
demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.
120
Dengan demikian, civil society
sebenarnya mengandung sifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama
dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari
kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi,
liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme.
Organisasi etnis Tionghoa yang berorientasi politik sebelum masa reformasi
adalah BAPERKI ( Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia)
yang
Berdiri di di Jakarta pada13 Maret 1954, pembentukkan organisasi ini dimulai pada
pertemuan para elit Tionghoa yang dihadiri oleh 44 orang peserta, kebanyakan dari
mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT
(Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa, PERWANIT (Persatuan Warga
Indonesia Tionghoa) yang berdiri dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan).
Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan
Tionghoa di seluruh Indonesia, namun kemudian Siauw Giok Tjhan, salah seorang
tokoh organisasi ini menyadari bahwa masyarakat luas akan menganggap organisasi
ini hanya memperjuangkan kepentingan masyarakat Tionghoa semata-mata. Karena
itu, ketika Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954, Siauw mendorong
sahabat dekatnya, Sudarjo Tjokrosisworo untuk menjadi ketuanya.
Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan
Tionghoa di seluruh Indonesia, Mereka mewakili semua spektrum politik di
Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen
Sioe, Tan Po Goan, Auw Jong Peng Koen, Tan Siang Lian, tokoh-tokoh
golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Yan Goan, dan
120
Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2
mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam
Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng. Ketua Baperki yang
terpilih saat rapat pembentukannya adalah Siauw Giok Tjhan, seorang wartawan dan
aktivis politik pada masa itu, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe
Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong.
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 sept
1955) dan anggota Konstituante (15 Des 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki
memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara
dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil
memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai
wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe
Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave
dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk
golongan Indo. Setelah tragedi 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh
pemerintah Orba karena dituduh sebagai onderbouw PKI Sejumlah aktivisnya, seperti
Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Di dunia pendidikan. Beberapa cabang Baperki sudah menyelenggarakan
program pendidikan dasar sejak akhir tahun 1956. Pada 8 Feb 1958 Baperki
mendirikan Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan yang diketuai oleh Siauw Giok
Tjhan. Baperki berhasil memiliki gedung-gedung sekolah Tionghoa yang banyak
ditutup sejak 1957. Karena itu, pada 1960, Baperki telah memiliki 96 gedung sekolah,
sebagian besar sekolah dasar dan menengah. Pada tahun 1961, jumlah sekolah
Baperki telah mencapai 107 buah, yaitu 27 buah di Jakarta, 17 di Jawa Barat (dan
Banten), 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatera Selatan (dan
Lampung), 10 di Sumatera Utara, 1 di Bali, dan 2 di Sulawesi.
Pada tahun 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan
utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959,
dibuka
pula
Kedokteran
Gigi
(September),
dan
Teknik
(November).
Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas
Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi
menteri dalam beberapa kabinet pada masa demokrasi parlementer. Pada1962, nama
Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica (URECA) di berbagai
kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G 30S, Universitas Res Publica ditutup,
dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta dan Surabaya
kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan namaUniversitas
Trisakti dan Universitas Surabaya.
Setelah Presiden ke-empat RI KH Abdurrahman Wahid mencabut seluruh
larangan yang memojokkan etnis Tionghoa, termasuk larangan bahasa dan aksara
Tionghoa dan berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, bermunculanlah
berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah, seperti
Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily, Qian Dao Re Bao
(Harian Nusantara), dan lain-lain.
Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran
di sebagian kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka terutama di bidang
sosial dan politik, sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran itu pada ujungnya
membangkitkan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa
diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warga negara Republik Indonesia.
Dengan segera berbagai organisasi baik partai politik, ormas maupun LSM
dideklarasikan. Di antaranya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai
Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik,
Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian,
tabloid,
dan
majalah
antara
lain Naga
Pos, Glodok
Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru, bermunculan walau banyak juga dari
organisasi tersebut yang tidak berumur panjang lalu mati suri dan perlahan dilupakan.
Seperti umumnya perkumpulan yang bersifat primordial, organisasi-organisasi itu
bersifat
sangat paternalistik,
dimana
berdasarkan senioritas dan keberhasilan dalam bisnis.
pemimpinnya
diangkat
Kebangkitan politik etnis Tionghoa ditandai pula dengan didirikannya
beberapa organisasi masyarakat (ormas) yang berbasis etnis Tionghoa, hal ini
menjadi indikator menguatnya orientasi politik mereka setelah pada masa Orde Baru
tidak satu pun ormas Tionghoa yang dibolehkan berdiri dan menjadi bagian dari
kelompok kepentingan di Indonesia, hal ini disebabkan Orde Baru memiliki
kecurigaan yang besar bila ormas Tionghoa dibiarkan tumbuh dan berkembang maka
akan
dipengaruhi
oleh
kepentingan-kepentingan
komunisme
seperti
yang
disangkakan terjadi pada masa Orde Lama.
Ormas Tionghoa didirikan dengan beragam visi dan misi sebagai respon yang
ditunjukkan oleh etnis Tionghoa atas dibukanya kran partisipasi politik pasca Orde
Baru yang menandai proses demokratisasi di Indonesia. Berikut beberapa organisasi
Tionghoa yang didirikan setelah masa Orde Baru, yaitu:
Tabel 8.
Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia Yang Berdiri
Setelah Masa Orde Baru
No
Nama
Nama Lengkap
Pendiri
Tahun
Pendirian
1
GANDI
2
Perhimpunan
INTI
3
INSPIRASI
4
KADI
5
PSMTI
Gerakan Perjuangan Anti
Diskriminasi
Perhimpunan Indonesia
Tionghoa
Institut Pengkajian Masalah
Ras dan Etnik Indonesia
Komite Anti Diskriminasi di
Indonesia
Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa Indonesia
Anton Supit dan
Niko Krisnanto
Drs. Edy
Lembong alias
Ong Joe San
(Wang Yousan)
1998
Brigjen TNI
(Purn) Tedy
Yusuf alias Him
Tek Ie,
1998
1999
6
SIMPATIK
7
SNB
8
FORDEKA
Solidaritas Pemuda
Tionghoa Untuk Keadilan
Solidaritas Nusa Bangsa
Ester Yusuf
Forum Demokrasi
Kebangsaan
ASPERTINA Asosiasi Peranakan
Tionghoa Indonesia
9
1998
2004
Felix Ali
2011
Chendra, Tjandra
Ghozalli, Edison
Jingga
Sumber: data diolah dari berbagai sumber
GANDI (Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi)
Diresmikan pendiriannya oleh oleh Gus Dur pada tanggal 6 November 1998 sebagai
reaksi dan konsolidasi yang dilakukan oleh elite Tionghoa atas kejadian kerusuhan
Mei 1998 yang bagi etnis Tionghoa dirasakan sebagai tragedi kemanusiaan yang
bersifat rasial dan diskriminatif. Organisasi ini memiliki visi untuk melihat ke depan
untuk masa depan, persatuan nasional perlu memperkuat oleh semua dan setiap
konstituen. Sebuah bangsa yang multi-budaya, multi-etnis, dan multi-agama tidak
akan
membiarkan
perilaku
diskriminatif
dan
tindakan,
karena
ini
akan
mempromosikan kebencian, konflik, kekerasan dan akhirnya, disintegrasi di negara
itu. Visi tersebut diperkuat dengan misi untuk Misi kami mendukung persatuan
nasional, dan mempromosikan harmoni dalam hubungan sosial dan komunal,
sehubungan dengan kesetaraan dalam martabat manusia dan hak asasi manusia. 121
Sebagai organisasi yang muncul saat gerakan reformasi baru dimulai, GANDI
memiliki tujuan organisasi yang seiring dengan perjuangan reformasi, yaitu:
1. Penghapusan (reformasi) Kewarganegaraan diskriminatif, Pencatatan Sipil, dan
undang-undang terkait dengan undang-undang hukum baru;
2. Pembentukan kerangka hukum dalam menjamin kesetaraan bagi kaum
minoritas seperti undang-undang Penghapusan hukum Diskriminasi Rasial;
121
http://www.gandingo.org
3. resolusi Hukum untuk 13-14 Mei 1998;
4. kesadaran politik dan sosial dari prinsip anti-diskriminasi;
5. Reformasi semua kebijakan pemerintah c.q kebijakan yang telah berhubungan
dengan Kewarganegaraan, Pencatatan Sipil, dan terkait sektor terkait;
6. Pembentukan kerangka hukum dan mekanisme dalam menjamin kesetaraan
bagi semua orang di semua sektor hidup, seperti di bidang pendidikan,
pekerjaan, dll;
7. Kesadaran Publik anti-diskriminasi prinsip untuk semua orang di Indonesia;
8. Minimatization rasisme dan diskriminasi rasial dalam masyarakat.
9. Harmony dan toleransi antar kelompok, etnis, agama dan semua orang di
Indonesia. 122
Untuk mencapai tujuan organisasi diupayakan dengan menetapkan beberapa
program:
1. Mengidentifikasi dan meninjau semua kebijakan (formal dan informal), yang
diskriminatif, dan memberikan rekomendasi dan resolusi kepada pemerintah
dan instansi terkait untuk menghapuskan kebijakan tersebut;
2. Mengidentifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi, dan bekerjasama dengan LSM lain untuk mendukung ratifikasi
konvensi tersebut;
3. Mereformasi semua peraturan diskriminatif dan untuk mengatur dan
mengusulkan beberapa peraturan baru untuk menjamin anti-diskriminasi dan
toleransi;
4. Mendidik masyarakat tentang Policie non-diskriminatif;
5. Mendidik masyarakat tentang norma-norma dan nilai-nilai dari etnis yang
berbeda, agama, dan masyarakat, untuk mendorong dialog terbuka dan
pemahaman yang lebih baik;
122
Ibid.
6. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan LSM lain, dalam negeri dan luar
negeri, mempromosikan anti-diskriminasi, hak asasi manusia, dan demokrasi;
7. Memantau implemantion reformasi hukum dan peraturan yang diskriminatif
baru dan praktik yang di seluruh wilayah Indonesia. 123
Sebagai bentuk penghargaan atas nilai-nilai multikulturalisme yang sudah
melekat bagi bangsa Indonesisa, GANDI membangun kerjasama dengan banyak
mitra organisasi lain dalam program-program kegiatan yang dilaksanakan, beberapa
diantara yang menjadi mitra yaitu: Indonesia: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Departemen Luar Negeri Resmi Pemberdayaan, Komisi Nasional Hukum,
Perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bantuan Hukum Indonesia
foundation, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum, Pusat Kajian Strategis Internasional
(CSIS), Lembaga Studi Lembaga Sosial (ISIS), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), Kesatuan Mahasiswa Catolic Indonesia (PMKRI), Indonesian Christian
Gerakan Mahasiswa (GMKI), Islam Student Union (HMI), Gerakan Nahdlatul Ulama
Youth (GP Ansor), Komunitas Studi dan Advokasi Lembaga (ELSAM), Uni
Indonesia Tionghoa (INTI), Pemuda Cina Association (PPT), Nahdlatul Ulama (NU),
Inter-iman Dialoque Komunitas ( MADIA), Confusism Tinggi Council (Matakin), dll
Internasional: PBB Anak Dana (UNICEF)), Gerakan Internasional Melawan
Discrminarion dan Rasisme (IMADR), Plan International, The Asia Foundation,
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), Asia Pacific Jaringan
Hak Asasi Manusia (APHRN), Asia Selatan Hak Asasi Manusia Pusat Dokumentasi
(SAHRDC), Kelompok Hak minoritas, 92nd Street Y, Ford motor Foundation, dll
Perhimpunan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa)
123
Ibid.
Didirikan pada tanggal 5 Februari 1999 di Jakarta, oleh 17 orang tokoh
Tionghoa Indonesia, organisasi ini
berkeyakinan bahwa pengikutsertaan seluruh
WNI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak
penyelesaian Masalah Tionghoa di Indonesia. Saat ini INTI dipimpin oleh Rachman
Hakim dan Budi S. Tanuwibowo selaku Ketua Umum dan Sekjend. Perhimpunan
INTI
adalah
organisasi sosial
kemasyarakatan
bersifat
kebangsaan,
bebas,
mandiri, nirlaba, dan non-partisan. Walaupun sebagian besar anggotanya adalah WNI
keturunan Tionghoa, namun Perhimpunan INTI bukan merupakan organisasi ekslusif,
namun terbuka untuk semua Warga Negara Republik Indonesia yang setuju kepada
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Tujuan Perhimpunan INTI. Dalam
upaya menjalankan programnya. 124
INTI bergerak dengan visi menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra
internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi
manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan sedangkan misi yang
dimiliki adalah berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa, antara
lain penuntasan masalah Tionghoa di Indonesia, menuju terwujudnya bangsa
Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling
menghargai dan saling percaya. 125
Dasar Pemikiran didirikannya Perhimpunan INTI adalah:
1. Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan,
melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
2. Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabadabad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam
berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial
budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.
124
125
Website resmi Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID
Ibid.
3. Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh
rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa
adalah bagian integral bangsa Indonesia.
4. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan
dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian
setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.
5. Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih
bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia
menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera. 126
Motivasi pembentukkan organisasi ini adalah karena kesadaran sepenuhnya
bahwa “Masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang
telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, Perhimpunan INTI
didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra
internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi
manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif
dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain
menyelesaikan “Masalah Tionghoa” di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan
Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling
menghargai, dan saling percaya. 127
Perhimpunan INTI berkeyakinan usaha penyelesaian “Masalah Tionghoa” di
Indonesia harus diletakkan di atas landasan usaha penyelesaian seluruh permasalahan
nasional yang tengah dihadapi Bangsa dan Negara Indonesia; dan bahwa
pengikutsertaan seluruh WNRI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan
utuh adalah syarat mutlak penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia.
PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)
126
127
Ibid.
Ibid.
Didirikan pada tanggal 28 September 1998 oleh 14 orang tokoh Tionghoa,
PSMTI didirikan dengan kondisi yang sama
yang melatarbelakangi kebanyakan
didirikannya organisasi Tionghoa lain, yaitu kerusuhan dan penjarahan Mei 1998 di
Jakata dan ditempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia, para
tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan
diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Karena itu
dianggap perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi
serta didialogkan dengan Pemerintah, legislatif dan golongan masyarakat untuk
menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik – baiknya. 128
PSMTI memiliki visi : Suku Tionghoa Warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia bersama komponen Bangsa Indonesia seluruhnya mempunyai hak dan
kewajiban membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat adil
dan makmur.
Visi tersebut dijabarkan dengan rangkaian misi
1. Meningkatkan terus kesadaran ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara.
2. Masuk dalam Arus Besar Bangsa Indonesia dengan turut serta secara aktif
dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam segala aspek
kehidupan.
3. Memantapkan jati diri sebagai salah satu suku dalam Keluarga Besar Bangsa
Indonesia.
4. Memperhatikan lingkungan dimana ia bekerja dan berdomisili.
Hingga saat ini, PSMTI memiliki 28 perwakilan cabang tingkat provinsi dan
puluhan anak cabang yang tersebar diseluruh kota besar di Indonesia.Sebagai
organisasi primordial yang solid, PSMTI mengkoordinasi sedikitnya 56 organisasi
marga Tionghoa dan 23 yayasan afiliasi dari 7 provinsi di Indonesia.
128
www.psmti.org/yayasantbti
Program kerja organisasi dibagi menjadi 12 bidang tugas, yaitu:
1. Bidang Organisasi dan Kaderisasi
a. Koordinasi ke bawah untuk membentuk kepengurusan PSMTI Daerah yang
baru.
b. Kunjungan kerja dan sosialisasi PSMTI Pusat ke setiap Provinsi dan
Kotamadya/Kabupaten.
c. Data pembuatan KTA (Kartu Tanda Anggota) untuk seluruh Pengurus dan
Anggota PSMTI dengan Nomor Induk KTA dari Pusat.
d. Bekerjasama dengan PSMTI Provinsi/Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan
dalam hal kaderisasi.
e. Adakan pendidikan dasar manajemen PSMTI di Daerah.
2. Bidang Koordinasi Marga dan Lembaga
a. Tingkatkan kerjasama antar Lembaga dan Asosiasi baik dalam maupun luar
negeri.
b. Sosialisasi ke seluruh Perkumpulan Marga-marga daerah agar berpartisipasi di
Konferensi Marga-marga baik tingkat Nasional, ASEAN maupun
Internasional.
c. Pendataan jumlah marga-marga di Indonesia.
d. Pengurus PSMTI Pusat bersama PSMTI Daerah mengunjungi Marga-marga
di wilayahnya.
e. Jalin komunikasi dengan suku-suku lain seperti Pasundan, Jawa, Batak, Bali
dan lain-lain.
f. Terbitkan sertifikat Marga/Nama Tionghoa bagi yang membutuhkan.
g. Bina hubungan dengan semua marga.
3. Bidang Pendidikan
a. Dorong terselenggaranya sekolah/kursus Bahasa Mandarin di daerah-daerah.
b. Kembangkan pendidikan Bahasa Mandarin dalam kegiatan kurikuler dan
ekstrakurikuler.
c. Upayakan/menyalurkan beasiswa/bantuan pendidikan bagi warga anggota
PSMTI yang berprestasi namun kurang mampu.
d. Upayakan pengadaan perpustakaan di sekretariat PSMTI Pusat dan Daerah.
e. Menjalankan Program beasiswa ke Tiongkok.
f. Mengadakan ceramah/seminar/bedah buku/pelatihan.
4. Bidang Seni dan Budaya
a. Kembangkan kesenian daerah bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan
Kesenian lokal.
b. Lestarikan seni dan budaya Tionghoa dengan mengadakan Festival dan Pekan
Budaya.
c. Fasilitasi pertukaran Kesenian dan Kebudayaan Indonesia dan Tionghoa.
5. Bidang Usaha
a. Himpun Dana Sponsor, Iuran Anggota dan Usaha, jadikan Dana Reksa
sejenisnya.
b. Kembangkan Real Business untuk mencari income.
c. Kembangkan potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia (mineral,
minyak and gas, kehutanan, pertanian, kelautan dll).
d. Kembangkan bidang-bidang seperti keagenan, investasi, pembimbingan
teknis dan menjamin pasar, membantu ekspor dan distribusi dll.
e. Salurkan proposal kerjasama dengan merchant kepada Pengurus Daerah.
6. Bidang Sosial
a. Aksi Donor Darah bersama (bekerjasama dengan Daerah).
b. Anjangsana ke Panti Asuhan dan Panti Wreda.
c. Bentuk team siaga bencana alam ditingkat Pusat maupun daerah.
d. Dukung dan Sosialisasikan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS).
7. Bidang Humas dan Media
a. Kembangkan buletin PSMTI bekerjasama dengan PSMTI Daerah.
b. Sebarkan informasi mengenai PSMTI seluas mungkin (media cetak maupun
media elektronik).
c. Meliput setiap kegiatan PSMTI baik Pusat maupun Daerah.
d. Adakan seminar untuk meningkatkan SDM.
e. Sosialisasi kegiatan dari PSMTI.
f. Jalin hubungan antara PSMTI dengan Pemerintah dan Masyarakat.
8. Bidang Informatika dan Teknologi (IT)
a. Buat jaringan atau network dan operator website.
b. Kembangkan website PSMTI dan sosial media lainnya.
c. PSMTI Pusat membuat format silsilah marga dan program database anggota
yang dapat diakses oleh seluruh PSMTI Daerah dengan mudah.
9. Bidang Hukum, HAM dan Advokasi
a. Sosialisasi untuk pemahaman peraturan-peraturan yang melindungi warga
suku Tionghoa seperti UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis.
b. Mediasi atau bantuan hukum apabila terjadi sengketa antara sesama anggota
PSMTI atau dengan pihak lain.
c. Komunikasi dengan para penegak hukum di daerah-daerah.
d. Himpun sukarelawan untuk dapat membantu tim advokasi dengan
membentuk LBH PSMTI.
e. Monitor peraturan dan kebijakan terkait adanya tindak yang bersifat
diskriminasi.
10. Bidang Peranan Perempuan
a. Adakan tabungan wisata untuk mempererat persaudaraan.
b. Pada hari anak mengunjungi Yayasan Yatim Piatu dan pada hari Kartini
memperingati hari Kartini di daerah masing-masing.
c. Bentuk Koor/Paduan Suara di daerah masing-masing.
d. Ikut berperan dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perlindungan
anak.
11. Bidang Pemuda dan Olah Raga
a. Kegiatan sosial kepemudaan untuk recruitmen.
b. Kaderisasi melalui diskusi, pendidikan dan pelatihan.
c. Kegiatan olahraga di tingkat pusat dan daerah.
d. Bentuk dan kembangkan kegiatan Koko Cici di Provinsi dan tingkat Nasional.
12. Bidang Hubungan Luar Negeri
a. Jalin komunikasi dan kerjasama yang baik dengan marga-marga dan
organisasi di luar negeri terkait dengan PSMTI.
b. Adakan seminar/pertemuan terkait dengan globalisasi dan perkembangan
Negara baik di ASEAN maupun Internasional. 129
ASPERTINA (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia)
Organisasi ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 2011 sebagai sebuah
lembaga nirlaba yang bergerak di bidang seni dan budaya yang berbasis di Jakarta.
Saat ini dipimpin oleh Endrew A. Susanto sebagai ketua umum dan Ferdinand
sebagai sekertaris.
ASPERTINA bergerak dengan visi Pelestarian Seni dan Budaya Peranakan
Tionghoa di Indonesia. Visi tersebut diuraikan dalam misi organisasi:
1. Meningkatkan kesadaran pelestarian seni dan budaya Peranakan Tionghoa.
2. Menggali budaya Peranakan Tionghoa masa lalu yang luhur dan bermartabat.
129
ibid
3. Menyusun kembali, memelihara dan melestarikan budaya Peranakan
Tionghoa dalam bingkai budaya Nasional .
4. Mensosialisasikan budaya Peranakan Tionghoa kepada generasi muda
Tionghoa.
5. Memasyarakatkan budaya peranakan Tionghoa untuk mendorong terjadinya
saling pengertian dan mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama anak
bangsa.
6. Menyelenggarakan pertemuan, penyuluhan, pembinaan dan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memelihara dan melestarikan seni dan budaya
Peranakan Tionghoa.
7. Membina kerjasama dalam kemitraan dengan organisasi, lembaga, institusi
lain untuk mencapai visi ASPERTINA .
Beberapa program kerja yang diagendakan antara lain:
1. Bidang Organisasi, Humas dan Hubungan Antar Lembaga
2. Bidang Kajian, Pelestarian dan Penelitian
3. Bidang Komunikasi dan Informasi
4. Bidang Hubungan Luar Negeri
5. Bidang Hukum
6. Bidang Kegiatan Publik
ASPERTINA tidak membatasi keanggotaan organisasi dari warga non
Tionghoa, namun seluruh anggota harus memiliki minat dan perhatian terhadap
budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi nirlaba,
organisasi ini memiliki jaringan yang cukup luas, saat ini terdaftar dalam
keanggotaan Federation of Peranakan Associations yang beranggotakan dari negaranegara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand dan Australia.
Dari gambaran mengenai beberapa organisasi etnis Tionghoa diatas, nampak
dengan jelas bagaimana jalinan kekerabatan etnis yang dibangun di kalangan etnis
Tionghoa sangatlah kuat, era reformasi menjadi wadah yaang sangat kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan organisasi civil society berbasis etnis tionghoa yang
memiliki orientasi politik yang cukup kuat.
Selain empat organisasi etnis Tionghoa diatas, masih banyak lagi organisasi
lain yang didirikan sebagai sarana untuk komunikasi interaktif masyarakat etnis
Tionghoa dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan
eksistensi mereka sebagai warga negara RI yang dilindungi Undang-Undang dan
memiliki hak yang sama dengan warga negara lain yang di klaim sebagai orang asli
Indonesia atau pribumi.
Organisasi-organisasi civil society Tionghoa yang tumbuh subur juga
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat etnis Tionghoa,
secara berkala dilakukan pertemuan-pertemuan seperti workshop, seminar, dan
pelatihan bagi calon-calon legislatif yang berasal dari etnis Tionghoa. Salah satu
pertemuan yang dilakukan adalah silaturrahi caleg Tionghoa menjelang Pemilu 2014
di sebuah restoran di daerah Ancol yang diinisiasi oleh FORDEKA (Forum
Demokrasi Kebangsaan) yang dihadiri oleh sekitar 20 orang calon legislatif dari etnis
Tionghoa yang secara bergantian memaparkan visi misi serta program kerja bila
terpilih sebagai anggota legislatif. 130
130
www.indonesiamedia.com. Artikel diakses pada Jum,at, 16 September 2016
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
D. Kesimpulan
Dalam melihat bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di
Indonesia Pasca Orde Baru, terdapat dua hal penting yang dapat di telaah. Hal
pertama yang dapat dilihat adalah orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia setelah
orde baru karena menurut Leo Suryadinata catatan sejarah mengenai orientasi politik
etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan periodisasi
kekuasaan politik di Indonesia. Struktur politik sangat berpengaruh pada
pembentukkan budaya dan orientasi politik para anggotanya, hal ini berkaitan
langsung dengan bagaimana kontribusi individu ataupun kelompok sebagai aktor
pada proses input dan output dalam sebuah sistem. Terdapat dua tingkat orientasi
politik, yaitu individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdiri dari orientasi
kognitif, efektif dan evaluatif.
Pasca orde baru, orientasi politik etnis Tionghoa berada pada tataran bahwa
semangat berpolitik etnis ini kembali muncul dan membentuk partai-partai politik
Tionghoa. Namun sebagian besar tokoh Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan
asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi dengan tujuan agar identitas etnis
Tionghoa masih berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa secara umum. Orientasi
ini berbeda ketika masa orde baru, dimana sebagian besar orang Tionghoa
dikondisikan mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh penguasa dan
membuat etnis Tionghoa menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik. Arus reformasi
dijadikan momentum oleh etnis Tionghoa untuk mendirikan partai politik,
berpartisipasi politik dan masuk dalam struktur pemerintahan serta terlibat langsung
dalam pembuatan kebijakan.
Selain orientasi politik, telaah terhadap kaitan antara penguatan politik
identitas etnis Tionghoa dan perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca
orde
baru
menjadi
penting
untuk
diamati.
Titik
tolak
perkembangan
multikulturalisme dan penguatan politik identitas etnis Tionghoa pasca orde baru
dapat dilihat dari pengesahan UU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia No.
12 tahun 2006. Istilah pribumi dan non pribumi dihapuskan, diganti dengan
klasifikasi WNI dan WNA. Terbersit pertanyaan pada aspek nasionalisme etnis
Tionghoa, yaitu apakah etnis Tionghoa sudah menguatkan komitmen nya pada nilainilai nasionalisme Indonesia, atau menjadikan nasionalisme Cina sebagai orientasi
politiknya. Namun, nilai multikulturalisme yang dibangun dalam kehidupan
demokrasi Indonesia, memberi kepercayaan bahwa etnis Tionghoa sama dengan etnis
lainnya di Indonesia, mengabdi pada kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Kymlica menjelaskan bahwa konsep kebangsaan berawal dari konsep bangsa
yang bersifat sosial-budaya politik, sementara konsep negara lebih pada ranah
hukum. Ia juga mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah, yang kurang
lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air
yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. Pada telaah konsep multikulturalisme,
dapat dilihat bahwa menguatnya identitas politik etnis Tionghoa dalam ranah politik
adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan masyarakat umum
yang ditunjukkan pada etnis Tionghoa. Meski masih ada gesekan, namun biasanya
gesekan tersebut terjadi karena konflik yang disebabkan oleh prilaku personal, bukan
komunal.
Masyarakat semakin terbuka terhadap kemajemukan dan pluralitas yang ada.
Penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran yang
meningkat antar mereka untuk mengubah kondisi dan posisi mereka secara politis
dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan, bukan hanya sebagai objek
politik.
E. Implikasi
Penelitian ini melihat secara obyektif fenomena sosial yang terjadi di tengah
masyarakat akibat menguatnya orientasi politik etnis tionghoa di Indonesia. Modal
sosial berupa kemampuan finansial, jaringan, kekuatan primordial dan dukungan
pemerintah yang saat ini dimiliki oleh kalangan etnis Tionghoa bisa menjadi sebab
dari kemungkinan akan munculnya konflik etnis yang lebih besar antara kelompok
etnis Tionghoa dan etnis asli Indonesia.
Sebagai sebuah penelitian sosial, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan dan
rujukan bagi masyarakat etnis Tionghoa secara individu maupun kelompok untuk
bisa lebih arif membaca situasi masyaraakat di Indonesia yang majemuk dan sarat
dengan kebinekaan. Karena yang paling diharapkan dari sebuah perubahan sosial
adalah kondisi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya
perubahan yang bisa menguntungkan satu kelompok tertentu dan memunculkan
masalah sosial baru dengan tingkat resiko yang lebih besar.
F. Rekomendasi
Penting bagi sebuah penelitian memberikan saran dan masukan bagi pihakpihak yang bisa mempengaruhi kebijakan agar lebih tercipta budaya bermasyarakat
yang lebih kondusif. Beberapa saran dan rekomendasi dari penelitian ini ditujukan
kepada beberapa pihak terkait:
a. Untuk pihak pembuat kebijakan
Perlu kiranya lebih diperhatikan untuk dibuatnya aturan-aturan dan kebijakan
yang lebih detil agar bisa mengatur lebih intensif suasana berdemokrasi dan
berpolitik di tengah masyarakat. undang undang kewarganegaraan yang saat
ini sudah ada bisa lebih dijelaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat
luas agar pemahaman mengenai pribumi dan non pribumi bisa lebih difahami
dengan baik. Hal ini penting dilakukan demi mengantisipasi munculnya
konflik sosial dan konflik etnis akibat asumsi yang masih keliru tentang siapa
yang pantas disebut sebagai orang asli Indonesia dan orang pendatang
(Tionghoa) yang masih memiliki streotype yang kurang baik di mata mata
masyarakat
b. Untuk pemerintah
Penting bagi pemerintah untuk bisa lebih mengawasi perkembangan kondisi
sosial di tengah masyarakat, karena penguatan politing etnis Tionghoa secara
tidak langsung memunculkan potensi konflik etnis di tengah masyarakat.
pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kedamaian
komunal di antara seluruh masyarakat multi etnis di Indonesia tidak boleh
berat sebelah dan berpihak pada satu kelompok tertentu tanpa memperhatikan
kepentingan kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Almond, Gabriel A., dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984.
Buchari, Sri Astuti, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014,
hal, 27.
Cashomore, E., Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge,
1996.
Castells, Manuel., The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society
and Cultural, Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003.
Coppel, Charles A., Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar
harapan, 1994.
Dawis, Aimee Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 2010.
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta:
Lkis, 2001.
Field, Jhon, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014.
Fukuyama, Francis Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad
21, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005.
Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New
York, 1944.
Geertz, Clifford, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States,
Basic, New York, 1973.
Hefner, Robert W., Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton
University Press, Princenton, 2007.
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial,
Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Heyes, Cressida, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007,
diaksesdari Plato.Stanford.edu/entries/identity politics.
Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2
James, Scott. Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972
Jarry D, dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester:
Bookmart Ltd. 1999.
Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal
HUMANITY, Vol. 6, no. 1 September 2010.
Kellas, James G, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press,
Inc, 1998.
Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990.
Kwartanada,Didi, Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942-1945,
dalam Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha
Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996.
Kymlica, Will., Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press,
1995.
La Ode, M.D., Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus
Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan
Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012.
La Ode, M.D., Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat,
Bigraf Publishing, 1997.
Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa,
Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996.
Mahfud, Choirul, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR:
Yogyakarta, 2013.
Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University, 1987.
Ramdan, Anton, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing,
Setiono, Benny G, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka,
2008.
Smith, Anthony D Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2003.
Suhandinata, Justian, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009.
Suparlan, Parsudi, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004.
Suryadinata, Leo, Dilema MinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984.
Suryadinata, Leo, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas,
2010, hal. 185- 187
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES,
2002.
Tan, Mely G, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia: Jakarta, 2008.
Ubaedillah A. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010.
Uphoff, Norman, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and
Experience of participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A
Multifaced Perspective, The World Bank, 2000
Wibowo, Ignatius dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat
Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010.
Ignatius, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit
Kanisius: Yogyakarta, 2010.
Wijayakusuma, Hembing, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke,
Jakarta: PustakaPopuler Obor, 2005
Yuanzhi, Kong, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2005.
Jurnal:
Jurnal ADMINISTRATIO, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan,
Vol.2 No. 5 Desember 2008, ISSN: 1410-8429
Jurnal An-Nida Vol.3 Nomor:1 Juni 2010
Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, NO.71, 2003
Jurnal Humanity, Volume 6, Nomor 1 September 2010
Website:
http://homearticleimg.com.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm.
http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasiorganisasi-tionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/,
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoamencari-identitas
http://www.gandingo.org
http://www.secangkirteh.com.
Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID
www.indonesiamedia.com.
www.psmti.org/yayasantbti
Download