DAFTAR ISI PIERRE BOURDIEU DAN GAGASANNYA MENGENAI AGAMA Andi Holilulloh....................................................................................................................................................... 99 SOSIOLOGI AGAMA BRYAN S. TURNER Mokhamad Azis Aji Abdilah................................................................................................................................. 107 CLIFFORD GEERTZ DAN PENELITIANYA TENTANG AGAMA DI INDONESIA (JAWA) Gunawan Laksono Aji ......................................................................................................................................... 115 ANTHONY GIDDENS DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA Lu’lu Un Nisai....................................................................................................................................................... 125 IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SOSIOLOGI Abdu Robbir Rosoul Kariim.................................................................................................................................. 137 PETER L. BERGER DAN GAGASANNYA MENGENAI KONSTRUKSI SOSIAL DAN AGAMA Ahmad Nur Mizan .............................................................................................................................................. 147 PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA Misbahul Munir................................................................................................................................................... 155 MAX WEBER DAN AGAMA Namirotul Qubaiyah............................................................................................................................................ 165 DALE CANNON DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA M. Nurul Huda..................................................................................................................................................... 173 GEORGE RITZER DAN AGAMA Abdullah Ridho.................................................................................................................................................... 179 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 PIERRE BOURDIEU DAN GAGASANNYA MENGENAI AGAMA Andi Holilulloh FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstrak Belakangan ini banyak bermunculan persoalan sosial termasuk di dalamnya adalah kekerasan simbolik yang sensitif. Salah satu penyebab persoalan sosial tersebut adalah akibat peranan agama dan sosial yang belum akur dan sejalan. Persoalan sosial justru banyak bermuara dari masyarakat agama baik karena internalisasi nilai agama yang kurang efektif maupun karena faktor kelas sosial yang ada. Melalui kajian pemikiran Pierre Bourdieu tulisan ini berupaya menemukan teori yang dapat mendamaikan oposisi absurd antara individu dan masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu bahwa struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas). Pierre Bourdieu menawarkan pendekatan strukturalisme genetik untuk menemukan faktor hubungan antara agama dan sosial yang masih terpisah. Pendekatan strukturalisme genetik, Pierre Bourdieu menyatakan bahwa struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur sosial itu sendiri. Sebagai contoh shalat yang hanya sebagai habitus, jika ritual itu hanya dilakukan tanpa memberikan efek bagi kehidupan kita. Konsep habitus, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka panjang, dan disebabkan oleh suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung, bahkan ketika kondisi tersebut sudah berubah. Di samping itu Pierre Bourdieu juga mengembangkan teori reproduksi kelas di mana satu generasi dari suatu kelas memastikan bahwa ia mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya. Kata Kunci: Pierre Bourdieu, Habitus dan Doxa. Abstract Lately, many emerging social issues including the sensitive symbolic violence. One of the causes of social problems are a result of religious and social role that has not been getting along and in line. Social issues just a lot comes down to religious communities either because of internalization of religion that is less effective or because of social classes. Through the study of Pierre Bourdieu thought this article aims to find a theory that could reconcile the absurd opposition between the individual and society. According to Pierre Bourdieu that the structure of objective and subjective representation, agents and actors are dialectically intertwined and affect each other reciprocally (duality). Pierre Bourdieu offers genetic structuralism approach to find common factors between religion and social relations which are still separated. Genetic structuralism approach by Pierre Bourdieu stated that the objective structures which can not be separated from the analysis of the mental origin structures in the biological individuals partly a product of the union of social structures and origins of the social structure itself. For example prayer that just as habitus, if it’s just a ritual done without giving effect to our lives. The habitus concept, those are the perception concept, thought and action that survive in the long term, and is caused by an objective circumstances, but still takes place, even when the conditions have changed. In addition, Pierre Bourdieu also developed the theory of class reproduction in which one generation of a class to make sure that it reproduces itself and leave its privileges to the next generation. Keywords: Pierre Bourdieu, habitus and Doxa 99 Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh Pendahuluan Agama merupakan satu istilah yang sangat sakral dan sensitif bagi semua umat manusia, terlebih dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang yang beragam. Ketika kita mendengar kata “agama”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkan kepada suatu keadaan sosial yang terjadi di masyarakat; bagaimana orang bersikap bagi lingkungannya; bagiamana orang berpakaian sehari-hari dan lain sebagainya. Seseorang tidak akan merendahkan orang lain jika ia memiliki pemahaman yang tinggi soal sosial. Bagiamana seseorang bisa menghormati orang lain jika ia tidak paham akan etika sosial. Banyak dari mereka yang paham agama namun belum tentu bisa mempraktekkan kegiatan sosial dengan baik. Keadaan masyarakat Indonesia yang beragam dan memiliki suku dan budaya yang begitu banyak, tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan sosial di negara yang besar ini begitu amat sakral, terlebih akan ragamnya agama dan hubungan sosial yang terjadi setiap saat. Peran sosial ini amat penting, begitu juga peran agama yang tidak bisa dilepaskan, maka dari situ kita bisa memadukan keduanya untuk memahami kehidupan dan menjalaninya ke arah yang lebih baik demi terciptanya kerukunan dalam beragama dan bermasyarakat. Bagi sebagian orang, Pierre Bourdieu dikenal dengan sosiolog. Sosiologi sebagian mempunyai objek yang sama dengan ilmu pengetahuan kemasyarakatan lainnya, tetapi ia memandang peristiwa sosial dengan caranya sendiri, hakikat kerja sama serta kehidupan bersama dalam arti kebendaan dan kebudayaan.1 Pierre Bourdieu adalah seorang yang berintelektual tinggi yang memiliki konsep-konsep yang sangat berpengaruh dalam hal sosial dan filsafat pada abad ke-21. Beliau pemuka dalam referensi intelektual bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan 1 P.J Bouman, Sosiologi Pengertian dan Masalah (Semarang: Yayasan Kanisius, t.t.), 49. 100 globalisasi yang berkembang di Perancis. Pierre Bourdieu sang penulis memiliki pandangan politiknya yang vokal dan kontribusi yang besar dalam isu-isu politik yang ada di hadapan publik, terlebih bagi semua yang menyadari akan hal ini. Pierre Bourdieu juga menggunakan metode-metode yang diserap dari berbagai disiplin ilmu mulai dari filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan antropologi. Beliau sangat dikenal karena bukunya yang berjudul Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Dalam buku tersebut ia berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial dan agama juga.2 Pierre Bordieu mengkombinasikan teori dan faktafakta yang bisa diverifikasi dalam usaha mendamaikan kesulitan-kesulitan, semacam bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Dalam proses itu, ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal latar belakang sosial dan “pilihan bebas”, terhadap individu. Pierre Bourdieu merintis kerangka investigatif dan terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field) atau lokasi, dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Karyanya menekankan peran praktik dan perwujudan atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial dan konstruksi pandangan-dunia yang sering bertentangan dengan tradisi filsafat Barat yang diuniversalkan. Dalam kehidupan sekarang ini, banyak sekali keragaman masalah-masalah kehidupan yang dialami oleh setiap manusia, terlebih lagi soal keadaan-keadaan sosial yang sangat sensitif untuk disentuh. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kerap sekali terjadi kekeliruan yang bisa menimbulkan keributan dan pertikaian baik sengaja maupun tidak; baik masalah itu besar maupun kecil. Oleh karenanya peranan agama dan sosial itu harus akur dan sejalan 2 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Jakarta: Kreasi wacana, 2004), 30. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 agar bisa menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dengan bijak. Pierre Bourdieu merupakan salah satu sosiolog yang pemikirannya cukup sulit untuk dipahami karena pemikirannya banyak diwarnai dengan konsepkonsep yang relatif baru, namun sebenarnya konsep yang digunakan Pierre Bourdieu ini memiliki makna yang hampir sama dengan konsep yang dikemukakan teoritikus lainnya. Selain itu juga, pemikirannya banyak sekali diwarnai dengan ide-ide yang sangat filosofis. Berikut ini dijelaskan beberapa konsep kunci untuk memahami pemikiran Bourdieu. Pada hakikatnya, konsep-konsep ini nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep-konsep kejadian sosial dan agama. Sosok Sosiolog yang sangat imajinatif dan bijaksana seperti Pierre Bourdieu ini menimbulkan ketertarikan yang amat mendalam dari diri saya untuk membahas lebih jauh dan lebih dekat akan kharismatik-kharismatik tokoh ilmuan dari Perancis ini, terlebih soal pemikiran-pemikirannya akan agama yang dekat sekali kaitannya dengan sosial. Pierre Bourdieu: Sosok, Ranah, Gagasan, dan Karya Nama Lengkap beliau adalah Pierre Felix Bourdieu di Denguin (Pyrenes-Atlantiques). Pierre Bourdieu terlahir dari keluarga kelas menengah ke bawah, tepatnya di desa Denguin (Distrik PyreneesAtlantiques), di selatan Perancis pada 1 Agustus 1930. Pada awal tahun 1950-an Bourdieu mengikuti kuliah dan mendapatkan ijazah dari Institut Keguruan di Perancis Ecole Normale Superieure. Ia menikah dengan Marie-Claire Brizard pada tahun 1962 dan memiliki tiga putra: Jerome, Emmanuel dan Laurent.3 3 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, t.t.), 28. Bourdieu belajar filsafat dengan Louis Althusser di Paris di Cole Normale Superieure. Setelah mendapatkan ijin mengajarnya, Bourdieu bekerja sebagai guru di Moulins Lyce 1955-1958. Kemudian pada 1956 Bourdieu mengikuti wajib militer untuk Perancis dan mengambil posisi sebagai dosen di Aljazair. Selama Perang Aljazair di 1958-1962, ia melakukan penelitian etnografi. Bourdieu dalam bentrokan itu melalui penelitian yang Kabyle masyarakat, dari Berber meletakkan dasar bagi reputasi antropologi-nya. Hasilnya adalah buku pertamanya, Sociologie de L’Algerie (The Aljazair) yang langsung sukses di Perancis dan diterbitkan di Amerika tahun 1962.4 Setelah dua tahun mengikuti wajib militer, Bourdieu kembali ke Perancis dan mengikuti kuliah Levi-Strauss di College de France, lalu bekerja sebagai asisten sosiolog Raymon Aron. Bourdieu pindah ke Universitas Lille selama tiga tahun dan kemudian memperoleh posisi kuat sebagai Direktur Studi di L’ecole Practique des Hautes pada 1964. Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi tokoh utama lingkaran intelektual di Paris, Perancis dan akhirnya di dunia. Karyanya mempengaruhi sejumlah bidang yang beragam termasuk pendidikan, antropologi dan sosiologi. Ia mengumpulkan satu kelompok pengikutnya pada tahun 1960-an, dan sejak saat itu pengikutnya berkolaborasi dengannya dan memberikan sumbangsih intelektual bagi dirinya sendiri. Pada tahun 1968 Centre de Sociologie Europeenne didirikan dan Bourdieu menjadi Direktur sampai ia wafat. Yang dikaitkan dengan pusat studi ini adalah proyek penerbitan unik, Actes de la Recherche en Sciences Sociales, yang menjadi pajangan penting bagi karya Bourdieu dan para pendukungnya. Pada 1981 jabatan prestisius di jurusan sosiologi College de France lowong karena Raymond Aron pensiun dan beberapa sosiolog penting Perancis seperti Raymond Bouddon dan Allain Touraine saling 4 Richard Jenkins, Membaca Pikiran, 26. 101 Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh berkompetisi untuk memperoleh jabatan itu. Namun jabatan tersebut dianugerahkan kepada Bourdieu sehingga reputasi Bordie semakin berkembang dari sebelumnya. Pada tahun 1975, dengan kelompok riset yang terbentuk di Centre de Sociologie Européenne, ia meluncurkan jurnal interdisipliner Actes de la halus en Sociales ilmu, yang ia berusaha untuk mengubah aturan yang berlaku sementara produksi sosiologis buttressing kekakuan ilmiah sosiologi. Pada tahun 1993 ia mendapat kehormatan dengan “Médaille d’atau du Centre National de la halus Scientifique” (CNRS). Pada tahun 1996, ia menerima hadiah Goffinan dari University of California, Berkeley dan pada tahun 2001 mendapatkan Medali Huxley dari antropologi Royal Institute Bourdieu.5 Karya-Karya Pierre Bourdieu Selama perang Al-Jazair 1958-1962, Bourdieu melakukan riset etnografis mengenai benturan dalam masyarakat, lewat studi mengenai masyarakat kabyle dari suku Berbers. Penelitian ini kemudian menjadi landasan bagi reputasinya di bidang antropologi. Hasilnya adalah buku karya pertamanya, Sociologie de L’Algerie (The Algerians) yang segera meraih sukses di Perancis dan diterbitkan di Amerika pada tahun 1962. Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris untuk mengajar sampai 1964. Pierre Bourdieu memegang jabatan direktur kajian di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya.6 Dalam salah satu karya Pierre Bourdieu dikatakan bahwa ranah produksi kebudayaan membawa kita kepada pemikiran dan sastra Pierre Bourdie yang menyediakan pengenalan utama akan tulisannya dan juga teori Bourdieu akan pokok kebudayaan yang menempatkan kinerja seni dalam kondisi sosial dan sirkulasi serta konsumsi mereka. Pierre Bourdieu mengembangkan pendekatan murni pada sebuah studi sastra dan kinerja artistik, menyempurnakan banyak kunci isu yang menjelaskan sastra, budaya dan kritik pada akhir abad ke-20, nilai seni yang tinggi. Pierre Bourdieu mengelaborasi sebuah teori pokok kebudayaan yang menempatkan kinerja artistik dalam kondisi sosial permulaan, sirkulasi dan konsumsi. Ia menguji setiap orang dan institusi yang terjalin dalam membuat produk kebudayaan atas apa yang mereka miliki. Karya dalam jumlahnya menguji seperti sebuah topik pembicaraannya pokok utama dari pandangamya Flaubert, perubahan yang mendalam dari kreasi sejarah atas hubungan antara seni dan kekuatan pandangan. Ranah produksi kebudayaan akan menjadi menyenangkan bagi siswa dan alumni dari seluruh ranah pendidikan, sosial dan teori sastra dan stusi kebudayaan mereka.7 Karya-karya Pierre Bourdieu itu pada hakikatnya sangat beragam dan banyak, namun yang pemakalah paparkan hanya sebagian saja karena untuk menjaga khasanah keilmuan saja. Berikut ini adalah karya-karya tulisan baik buku maupun artikel dari Pierre bourdieu : Language and Symbolic Power, The Field of Cultural Production (Essay on Art and Literature), Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, The algerians, Forms of Capital, Rules of Art, Outline of a Theory of Practice, On Television, In Other words: Essay towards a reflexive sociology, The Logic of Practice. Selain itu juga, banyak sekali buku-buku yang membahas dan menyajikan penelitian tentang sosok Pierre-Felix Bourdieu, salah satunya yaitu dijelaskan bahwa Pierre Bourdieu juga memaparkan dan membahas hasil penelitiannya tentang suatu kemampuan bahasa sebagai salah satu sistem simbol dalam mengkonstruksi realitas seperti pada pembacaan yang dilakukan Pierre Bourdieu terhadap relasi bahasa dan kekuasaan. Karena menurut Pierre Bourdieu, kita ini bisa mengkategorikan ataupun memasukkan suatu 5 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik, 30. Ibid., 29. 6 102 7 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural production (Cambridge : polity, 1993), 129. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 perbedaan ke dalam suatu kehendak untuk menguasai. Menurutnya juga, setiap simbol juga memiliki arti khusus dan keadaan sosial dan uraian mengenai bahasa. Pertarungan kekuasaan dan kekerasan simbolik dan juga paparan pandangan kritis Pierre Bourdieu terhadap tata wacana neoliberalisme.8 Gagasan Pierre Bourdieu Mengenai Agama Pemikiran maupun gagasan Pierre Bourdieu itu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam sosiologi, banyak yang bersifat nyata maupun tidak. Alih-alih jatuh pada salah satu dualisme di atas, Pierre Bourdieu memposisikan dirinya dalam upaya mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan masyarakat.” Agar pertentangan ini dapat teratasi, Pierre Bourdieu memilih menggunakan cara berpikir rasional bahwa struktur objektif dan representasi subjektif agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas). Keduanya tidak saling menafikan, tetapi saling berkaitan dalam sebuah praktik. Di samping model pendekatan Pierre Bourdieu yang pertama, berkembang individualisme-metodelogi Raymond Boudon. Dalam bukunya La Logique Du Social (1979), menurut sosiolog ini, fenomena sosial apa pun merupakan produk tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus dicari pada sisi rasionalitas pelaku-pelakunya. Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda dari model ekonomi klasik. Konsep habitus pada Pierre Bourdieu tidak akan menerima pemisahan ketat antara pelaku sosial dan menimbulkan struktur-struktur baru yang melingkupinya. Model kedua ialah aksionalisme Alain Touraine. Pendekatan ini mendasarkan pada analisis gerakangerakan sosial dan peran mereka dalam perubahan sosial. Dalam bukunya Le retour de l’acteur (1984) Alain 8 Fauzi Fahsri, Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol (Jakarta: Jalasutra, 2005), 147. Touraine menekankan bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan objek khas dan masalah sentral analisis sosiologi. Ia juga membedakan konsep gerakan sosial dari konsep perjuangan kelas dan dari perilaku kolektif. Perbedaan ini didasarkan pada pemahamannya, bahwasanya juga ada tiga tipe konflik. Kecenderungan ini berbeda dengan pendekatan Pierre Bourdieu yang memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati. Model selanjutnya yaitu model ketiga, yakni pendekatan strategis dari Michel Crozier, yang menekankan analisis hubungan-hubungan kekuasaan dan organisasi-organisasi. Para pelaku sosial yang sekaligus rasional dan rasionalitasnya sebatas mempunyai makna kebebasan yang menjadi dasar kekuasaan mereka. Dalam bukunya yang ditulis bersama Erhard Friedberg, L’acteur et le system (1977), Crozier mencoba menjelaskan dialetika antara pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih sangat kuat. Berbeda dengan Bourdieu, ada upaya penyatuan kedua unsur tersebut. Oleh karena itu pendekatannya disebut strukturalisme genetik. Analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur sosial itu sendiri. Pendekatan ini membuka cakrawala dalam menganalisis masyarakat sehingga memberi sumbangan khas. Kritik Dan Pemikiran Bourdieu Mengenai Agama dan Sosial Habitus Shalat menurut Pierre Bourdieu Contoh habitus shalat menurut pemikiran Pierre Bourdieu : 103 Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh “Sebagaimana kita lakukan sehari-hari, sebagai orang muslim kita bangun di pagi dini hari untuk melakukan shalat shubuh; di siang hari untuk melakukan shalat dhuhur; selepas itu di waktu sore hari; ketika adzan ashar berkumandang kita melakukan shalat ashar seperti biasanya; di waktu maghrib kita mengambil air wudhu untuk melakukan shalat maghrib dan begitu juga kita melakukan shalat isya di waktu malam. Begitu juga seterusnya setiap saat bagi kita. Hal itu bisa dikatakan sebagai habitus jika ritual itu hanya dilakukan tanpa memberikan efek bagi kehidupan kita. Tetapi sebagaimana yang kita tahu bahwa rutinitas tersebut memberikan efek yang sangat penting bagi kehidupan kita karena ibadah shalat merupakan kebutuhan bagi umat muslim di dunia.9 Habitus shalat itu bersifat teratur dan berpola pada konsepnya. Ia merupakan suatu aktifitas yang bagi kita sudah terkonsep untuk dilaksanakan setiap hari, yang memasukkan teori agensi, tentang shalat. Menurut Pandangan Pierre Bourdieu, ibadah shalat merupakan. Pertama, Structured structure. Kedua, Structuring structure. Ketiga, Transposable (dapat dialihkan) : boleh menjamak sholat ketika dalam perjalanan Pandangan Pierre Bourdieu mengenai Doxa Doxa adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam, yang telah dipelajari (learned), yang dianggap universal atau secara umum terbukti dengan sendirinya (self-evident), yang memberikan informasi-informasi akan tindakan dan pikiran seseorang dalam ranah (fields) tertentu.10 Menurut Pierre Bourdieu, dalam pemikirannya itu mengkritik pemikiran dari sejumlah Marxist yang mengatakan bahwa suatu masyarakat itu dapat dianalisis dan diteliti secara sederhana melalui kelaskelas dan ideologinya. Ia menggunakan suatu konsep yang disebut konsep field, yakni arena sosial di mana 9 Satrio Arismunandar, Pierre Bourdieu dan pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Simbolik (Jakarta: Universitas Indonesia, t.t.), 101. 10 Ibid., 6. 104 orang berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang dinginkan. Field juga dapat diartikan dan dimaknai sebagai sistem dari kedudukan sosial yang terstruktur secara internal dalam hubungan kekuasaan. Suatu field itu mempunyai otonomi. Semakin kompleks suatu masyarakat, maka semakin banyak field yang terdapat di dalamnya. Teori yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu juga adalah reproduksi kelas: di mana satu generasi dari suatu kelas memastikan bahwa ia mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya. Misalnya pendidikan. Agar dapat sukses dalam pendidikan, maka dibutuhkan keseluruhan rangkaian dari perilaku kultural (cultural behavior). Anak dari keluarga menengah ke atas telah mempelajari perilaku ini. Sementara temannya yang berasal dari kelas pekerja tidak. Oleh karena itu, anak tersebut dapat sukses dalam sistem pendidikan dan mereproduksi kedudukan sosialnya. Bourdieu melihat bahwa legitimasi dari cultural capital (modal kultural) sebagai sesuatu yang krusial terkait dengan efektivitasnya sebagai sumber kekuasaan. Hal tersebut juga dilihat sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang halus dan tak tampak, yang bersembunyi di balik pemaksaan dominasi. Yang dimaksud adalah, dominasi (ide, gagasan, kekuasaan) dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga ia tidak tampak sebagai sebuah pemaksaan dominasi. Kemudian akhirnya dominasi tersebut diakui secara salah. Meskipun demikian, hal itu dianggap sah atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Jadi dalam contoh kasus tadi, anak-anak yang berasal dari kelas pekerja menganggap itu sebagai sesuatu yang logis dan tidak perlu dipertanyakan lagi, bahwa teman mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas dapat sukses dalam sistem pendidikan, seperti halnya dengan apa yang terlihat. Unsur kunci dari proses ini adalah transformasi dari cultural habit atau kedudukan ekonomi ke dalam symbolic capital, yang diakui serta dikenal dan kemudian cenderung memperkuat Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 hubungan kekuasaan yang membentuk struktur dari ruang sosial. Other words : Essay towards a reflexive sociology, The Logic of practice. Kemudian Bourdieu mengenalkan konsep habitus, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka panjang dan disebabkan oleh suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung, bahkan ketika kondisi tersebut sudah berubah. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Habitus yang ada dalam setiap individu menggunakan berbagai macam bentuk dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap aspek dari interaksi manusia dengan dunia. Tidak hanya berupa ide atau pola dalam berbicara atau berpakaian, namun juga menunjuk kepada raga dan tingkah laku. Pierre Bourdieu merintis kerangka investigasi dan terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field) atau lokasi suatu tempat. Serta juga kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Karya-karya Pierre Bourdieu ini lebih menekankan peran praktik dan perwujudan atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial dan kontruksi pandangan dunia yang sering kali bertentangan dengan tradisi filsafat Barat yang diuniversalkan. Berdasarkan penjelasan diatas, Bourdieu berusaha untuk menunjukkan bahwa raga tidak hanya berada dalam dimensi sosial, namun juga dimensi sosial berada di dalam raga (In Other Words; p.190.). Dan semua ini termanifestasikan dalam bagaimana kita berdiri, berbicara, dan tentunya berpikir serta berperasaan. Kesimpulan Pierre-Felix Bourdieu lahir di Perancis selatan pada tanggal 1 Agustus 1930. Pierre Bourdieu terlahir dari keluarga kelas menengah ke bawah, tepatnya lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlantiques), di selatan Prancis. Dialah seorang sosiolog yang mencurahkan perhatian yang sangat besar pada masalah sosial, pendidikan, yang dikaitkan dengan masalah kelas dan budaya yang kemudian menyebabkan terjadinya reproduksi sosial. Berikut ini adalah karya-karya tulisan baik buku maupun artikel dari Pierre bourdieu : Language and Symbolic power, The Field of cultural production ( Essay on art and Literature ), Distinction : A social critique of the judgement of taste, The algerians, Forms of capital, Rules of art, Outline of a theory of practice, On Television, In Menurut Pierre Bourdieu, Doxa cenderung kepada suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam, yang telah dipelajari (learned), yang di anggap universal atau secara umum terbukti dengan sendirinya (self-evident), yang memberikan informasiinformasi akan tindakan dan pikiran seseorang dalam ranah (field) tertentu. Daftar Pustaka Arismunandar, Satrio. Pierre Bourdieu dan pemikiran nya tentang Habitus, Doxa dan Simbolik, Jakarta: Universitas Indonesia. Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production. Cambridge: Polity, 1993. Fauzi Fahsri. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Jakarta: Jalasutra. Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Jakarta: Kreasi wacana, 2004. P.J Bouman, Sosiologi Pengertian dan Masalah. Semarang: Yayasan Kanisiu. 105 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 SOSIOLOGI AGAMA BRYAN S. TURNER Mokhamad Azis Aji Abdilah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta [email protected] Abstrak Tulisan hendak mencari makna agama dalam arti secara sosiologis menurut Bryan S. Turner. Berdasarakan hasil kajian yang penulis lakukan, agama bagi Bryan S. Turner tidak dilihat berdasar apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Turner, sosiologi agama memiliki tiga kelemahan utama: Pertama, sosiologi agama tidak lagi mengambil peranan dalam sebagian besar perdebatan teoretis sosiologi agama, Dengan kata lain, sosiologi hanya menjadi “peran figuran” dalam perdebatan, misalnya, pemikiran Neo-Marxis tentang mode produksi dan ideologi. Sosiologi agama seringkali memandang basis atau superstuktur dalam Marxisme klasik sebagai satu-satunya penjelasan Marxian untuk persoalan ideologi, tempat di mana agama menjadi refleksi dari relasi produksi ekonomi. Kedua, sosiologi modern terlalu difokuskan pada subjektivitas pelaku sosial yang nampak dalam analisa mereka tentang keyakinan religius, pandangan hidup, dan pendefinisian realitas yang lain. Menurutnya, perhatian yang terpusat pada subjektivitas individual ini memiliki dampak-dampak tertentu dalam kaitan dengan kajian sosiologi agama. Agama hanya tercurah pada dimensi kognitif tindakan religius, dan karenanya ritual dan praktik religius diletakkan pada tempat kedua. Terakhir, sosiologi agama selama ini hanya memfokuskan pada fakta empiris yang sempit. Mereka hanya memberikan porsi yang tidak berimbang terhadap realitas yang lain. Dengan ungkapan yang lebih tegas, Turner mengatakan bahwa sosiologi agama adalah sosiologi Kristianitas. Ketiga, hal inilah yang sejatinya menjadi gugatannya dalam ranah sosiologi agama Kata Kunci: Bryan S. Turner, Sosiologi agama, Social institution, Marxisme, Neo-Marxis Abstract Posts about to search for the meaning of religion in the sense sociologically by Bryan S. Turner. Based on the results of studies conducted by the author, Bryan S. Turner’s religious views are not based on what and how the content of the teachings and doctrines of its faith, but how the teachings and religious beliefs that do and manifest in the behavior of their adherents in everyday life. According to Turner, the sociology of religion has three major flaws: First, the sociology of religion will no longer take part in most of the theoretical debates of sociology of religion, in other words, sociology just be “the role of extras” in the debate, for example,the Neo-Marxist thoughtof production mode and ideology. Sociology of religion often view basis or superstructure in classical Marxism as the only explanation for the problem of Marxian ideology, the place where religion is a reflection of the economic production relationship. Second, modern sociology too focused on the subjectivity of social actors which appear in their analysis of religious beliefs, worldview, and defining other realities. According to him, attention is focused on individual subjectivity has specific impacts in relation to the study of the religion sociology. Religion is only devoted to the cognitive dimension of religious action, and therefore religious rituals and practices put in second place. Lastly, the sociology of religion has been focused only on narrow empirical facts. They provide unbalanced portion for another reality. With more assertive expression, Turner said that the religion sociology is a sociology of Christianity. Thirdly, this is what actually becomes the lawsuit in the realm of sociology of religion. Keywords : Bryan S. Turner, Sosiology of Religion, Social institution, Marxisme, Neo-Marxis 107 Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah Pendahuluan Agama di dunia modern bertentangan dengan pemahaman konvensional modernisasi sebagai sekularisasi. Agama memainkan peran utama dalam politik, masyarakat dan kebudayaan. Peran tersebut justru meningkatkan eksistensi agama, sehingga pada tahun-tahun belakangan ini telah muncul kegairahan aktivitas akademis di seputar gagasan semisal agama politik, nasionalisme keagamaan, dan masyarakat pasca-sekuler. Sosiologi agama yang dituangkan oleh Bryan S. Turner dalam bukunya memberikan ulasan dan kajian tentang agama dalam lingkungan sosial. Tema-tema utama dalam sosiologi agama kontemporer meliputi sakralisasi ulang, fundamentalisme, dan kebangkitan agama seperti yang tidak hanya diperhatikan oleh Islam, namun juga oleh Pantekostalisme dan gerakangerakan karismatik. Sebagai akibatnya, studi agama, seperti halnya kajian tentang masyarakat secara lebih umum, telah mengabaikan gagasan tentang proses tunggal modernisasi dengan menerima gagasan tentang “modernitas bermacam-macam” dan dengan menekankan kelanggengan budaya-budaya lokal untuk melawan mesin globalisasi. Agama sebenarnya tempat di mana manusia mencari kedamaian hidup dan pemerdekaan dari segala persoalan hidup, namun di lingkungan masyarakat agama malah menjadi hantu. Berbeda dengan agama yang lebih didominasi oleh masyarakat, entah mungkin itu atas kebutuhan politik atau untuk memantapkan keimanan. Namun, yang jelas dalam agama juga ada aliran fundamentalisme yang tak bisa dihindari. Seperti halnya fundamental dalam agama tradisi Kristen, “fundamental” didefinisikan sebagai kepercayaan pada Trinitas, ketuhanan Kristus, rusaknya kodrat manusia akibat dosa asal. Dari luar tradisi Kristen, fundamental didefinisikan sebagai gerakan-gerakan yang berupaya kembali kepada 108 sistem nilai feodal dan ortodoks. Namun deskripsi tentang fundamentalisme ini dibatasi pada agamaagama monoteistik. Seperti tradisi-tradisi agama Islam, Kristen dan Yudaisme erat berkaitan dengan dengan tidak hanya secara historis namun juga secara teologis. Bryan S. Turner: Sosok, Ranah, Gagasan, dan Karya Bryan S. Turner adalah seorang dekan fakultas Seni dan Professor Sosiologi di Universitas Deakin, Australia. Buku ini merupakan kumpulan essay dari berbagai rangkaian kuliah yang di berikan di beberapa tempat khususnya di tempat dia mengabdikan dirinya sebagai seorang dosen di Universitas Deakin, Australia.1 Nama lengkapnya adalah Bryan Stanley Turner, dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1945 di Birmingham, Inggris. Birmingham adalah sebuah kota dan distrik metropolitan yang terletak di West Midlands, Inggris. Saat ini, Birmingham juga merupakan kota terbesar kedua di Britania Raya.2 Bryan S. Turner merupakan sosok intelektual yang mengarungi kehidupan intelektualnya sebagai bentuk kecintaannya akan ilmu pengetahuan. Ia memulai pendidikan formalnya di tempat kelahirannya, yaitu di sekolah Harborne Collegiate for Boys dan George Dixon Grammar School.3 Bryan S. Turner melanjutkan pendidikan tingginya di salah satu kota di Inggris, University of Leeds, Inggris, mengambil spesifikasi keilmuan di bidang sosiologi. Pada tahun 1970, ia juga dinobatkan sebagai Doctor of Philosophy. Gelar ini diraihnya dengan 1 https://id.web.wikipedia.org/wiki/Bryan_Turner_ sosiologi. Diakses pada 26/05/2016 21:11 2 Imam Turmudi, “Menimbang Gagasan Brayn S. Turner Tentang Islam” dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013, 63. 3 Ibid. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 menulis tesis yang judulnya The Decline of Methodism: an Analysis of Religious Commitment and Organisation.4 Pada tahun 1987 Bryan S. Turner juga dinobatkan sebagai Doctor of Letters di Flinders University. Kemudian pada tahun 1998, Bryan S. Turner dinobatkan sebagai profesor sosiologi pada University of Cambridge. Tahun 2002 ia meraih Master of Arts di University of Cambridge, dan di universitas yang sama, yaitu pada tahun 2009 Bryan S. Turner juga meraih gelar Doctor of Letters. Ia juga dinobatkan profesor pemikiran sosial dan politik di University of Western Sydney, Australia.5 Bryan S. Turner merupakan tokoh yang banyak diakui oleh berbagai kalangan. Karena keilmuan dan kepribadiannya yang sangat sederhana dan jujur. Bahkan sampai saat ini Bryan S. Turner dianggap sebagai sosok intelektual terkemuka. Dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki inilah ia dipercaya dan dikukuhkan menjadi guru besar sosiologi, pemikiran sosial dan politik. Ia juga ditunjuk sebagai Direktur Komite Agama di The City University of New York, dan sebagai Direktur Pusat Studi Masyarakat Islam Kontemporer (Centre for the Study of Contemporary Muslim Societies) di University of Western Sydney. Ia juga terdaftar sebagai anggota Asosiasi Penelitian Sosiologis Amerika (the American Sociological Research Assosiation).6 Pemikiran Bryan S. Turner dan karya-karyanya yang populer antara lain: Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas: Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Berisi tentang pandangan Bryan S. Turner tentang sosiologi. Menurutnya, sosiologi harus menjadi kajian yang terbuka dalam menilai masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Misalnya, pandangannya tentang orientalisme, karena orientalisme merupakan wacana yang dibingkai oleh orientalis yang membicarakan 4 Ibid. Ibid. 6 Ibid. 5 masyarakat Timur, sementara masyarakat Timur sendiri tidak dapat memahami dirinya sendiri dan tidak bisa berbicara balik tentang Barat.7 Buku ini merupakan kumpulan esai yang ditulisnya dari berbagai rangkaian kuliah yang diberikan di beberapa tempat khususnya di tempat dia mengabdikan dirinya sebagai seorang dosen di Universitas Deakin, Australia. Kedua, Religion and Social Theory (Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer). Turner memahami bahwa relasi agama dan sosiologi tidak hanya mencukupkan pada pola kehidupan subjektif orang per orang dalam menjalankan agamanya, tapi lebih dari itu juga ia mengurai tentang sejauh apa agama dengan ragam ajaran di dalamnya mempengaruhi tatanan sosial para pemeluknya.8 Turner berupaya menengahi relasi pelik antara agama dengan sosial. Hal ini bukan tanpa alasan, relasi keduanya acapkali masih menjadi penggalan pendek dari sejarah panjang peradaban manusia. misalnya, agama dalam perspektif sosiologis yang acapkali hanya dipahami sebagai fenomena dan fakta sosial yang dialami oleh banyak orang.9 Ketiga, Weber and Islam (Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber). Berisi kritik terhadap tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Weber tentang umat Islam berkaitan dengan kebangkitan kapitalisme yang didasari oleh etika protestan. Konklusi yang dihasilkan Max Weber tidak bisa ia relevansikan menuju kesimpulan sosiologis yang jelas. Werber, secara k asat mat a, hanya ingin menunjukkan bahwa hanya agama Kristen saja yang berguna dan bermanfaat dari semua agama Abrahamik. Kristen adalah ajaran yang paling sempurna dan 7 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas: Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, Terj. Sirojuddin Arif, dkk. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 55. 8 Lihat Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, Terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSod, 2012), 24. 9 Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 65. 109 Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah relevan bagi kehidupan umat manusia, sehingga tidak ada unsur kejanggalan politik dan kekuasaan sepihak saja. Keempat, Marx and the End of Orientalism, Revolusi Sosial Dunia Islam. Berisi tentang pandangan yang ambigu tentang orientalisme. Baginya, marxisme mempunyai daya tarik tersendiri, marxisme adalah kritiknya terhadap berbagai asumsi yang diterima tanpa kritik dalam ilmu-ilmu sosial liberal yang individualistik, karena semangat zaman yang muncul ketikaditerbitkannya buku ini, yaitu pada tahun 1970-an dan 1980-an, adalah munculnya berbagai perdebatan tentang apa yang disebutnya sebagai “Asiatic condition of despotism”. Buku ini merupakan risalah yang ditulis akan pandangan yang ambigu tentang orientalisme. Buku ini ditulis berbarengan dengan buku Orientalism yang ditulis oleh Edward W. Said. Dalam buku ini, ia memberikan sumbangan terhadap adanya pendekatan baru pembahasan tentang beberapa persoalan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial.10 Kelima, Kamus Sosiologi. Turner, Nicholas Abercrombie dan Stephen Hill menerbitkan kamus sosiologi yang tidak seperti kamus sosiologi pada umumnya. Kamus ini membahas tentang penyeimbangan isu-isu perdebatan intelektual kontemporer dari sebuah disiplin ilmu yang terus berubah serta tetap berpijak pada penerimaan nilai yang utama dari tradisi sosiologi klasik.11 Gagasan Bryan S. Turner mengenai Sosiologi Dalam konteks kajian sosiologis, agama tidak dilihat berdasar apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. Studi tentang perilaku keberagamaan manusia dalam dunia realitas seperti itulah yang kemudian dikenal dengan Sosiologi Agama.12 Berbeda dari dimensi teologis, dimensi sosiologis melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial, social institution. Karena posisinya sebagai subsistem, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat tidak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya, meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama dengan subsistem lainnya (seperti subsistem ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain) mendukung terhadap eksistensi masyarakat.13 Durkheim mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas masyarakat di bawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.14 Dalam sosiologi, titik perceraian dengan positivisme awal ini sering diletakkan pada pembedaan yang dibuat Durkheim antara yang sakral dan yang profan, yang kemudian mendominasi hampir seluruh pendekatan persoalan definisi agama itu. Dalam The Elementary Forms of Religious Life, yang diterbitkan tahun 1912, agama didefinisikan sebagai: “Seperangkat sistem keyakinan dan praktik yang diikatkan pada hal-hal yang sakral, atau bisa juga disebut, hal-hal yang disisihkan dan dilarang-keyakinan dan praktik-praktik yang menyatukan masyarakat ke dalam komunitas moral tunggal yang disebut Gereja.”15 Para pendiri agama, pemuka-pemukanya, dan para pemeluknya datang dari berbagai latar belakang sosial, dari semua ragam tingkatan strata, atau sejenisnya. Karena kelompok tersebut memiliki perbedaan fungsi 12 Turner, Runtuhnya, 241-242. Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 66. 14 Turner, Relasi Agama, 31. 15 Turner, Runtuhnya, 417. 13 10 11 110 Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 65. Ibid. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 dari masyarakat, maka mereka pun memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Karena itu keanekaragaman kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Akibatnya, bagi sosiologi agama terbentang lapangan studi yang luas khususnya menyangkut hubungan antara agama dan struktur sosial.16 Menurut pendekatan struktural-fungsional, setiap masyarakat akan selalu memiliki sistem nilai sebagai hasil konsensus bersama (collective consciousness) semua anggota masyarakat. Masyarakat itu selalu mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan untuk ini telah disediakan seperangkat cara pencapaiannya. Dalam keadaan seperti ini, sistem nilai itu bersifat fungsional dan mempunyai kekuatan integratif. Sistem nilai itu bersumber pada pola-pola budaya yang meliputi antara lain: believe system, system of expressive symbolism, dan system of value orientation standards.17 Kalau sistem sosial bisa diwarnai bahkan dibentuk oleh nilai agama, maka yang menarik dipertanyakan adalah mungkinkah agama menggantikan sistem sosial? Dengan kata lain, apakah sistem-sistem nonagamis (seperti kapitalisme, liberalisme, komunisme, atau sosialisme) yang selama ini hidup dan berkembang dengan segala dinamikanya dalam sistem sosial bisa digantikan dengan agama? Ada yang mengatakan bahwa agama tidak akan pernah bisa menggantikan sistem sosial, atau agama tidak akan bisa menjadi sistem sosial, apalagi sebaliknya. Sebab, masing-masing ada dan tercipta sesuai dengan tugasnya masingmasing; sistem sosial untuk mengatasi problematika keduniaan, sedangkan agama untuk mengatasi dunia misteri. Antara misteri dan materi jelas tidak sama.18 16 Thomas O‟dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 105. 17 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 262. Dalam Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 68. 18 Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 263. dalam Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 70. Sosiologi agama, bagi Turner, dapat dikatakan memiliki tiga kelemahan utama. Pertama, sosiologi agama tidak lagi mengambil peranan dalam sebagian besar perdebatan teoretis sosiologi agama. Dengan kata lain, sosiologi hanya menjadi “peran figuran” dalam perdebatan, misalnya, pemikiran Neo-Marxis tentang mode produksi dan ideologi. Sosiologi agama seringkali memandang basis atau superstuktur dalam Marxisme klasik sebagai satu-satunya penjelasan Marxian untuk persoalan ideologi, tempat di mana agama menjadi refleksi dari relasi produksi ekonomi.19 Kedua, sosiologi modern terlalu difokuskan pada subjektivitas pelaku sosial yang nampak dalam analisa mereka tentang keyakinan religius, pandangan hidup, dan pendefinisian realitas yang lain. Menurutnya, perhatian yang terpusat pada subjektivitas individual ini memiliki dampak-dampak tertentu dalam kaitan dengan kajian sosiologi agama. Agama hanya tercurah pada dimensi kognitif tindakan religius, dan karenanya ritual dan praktik religius diletakkan pada tempat kedua. Terakhir, sosiologi agama selama ini hanya memfokuskan pada fakta empiris yang sempit. Mereka hanya memberikan porsi yang tidak berimbang terhadap realitas yang lain. Dengan ungkapan yang lebih tegas, Turner mengatakan bahwa sosiologi agama adalah sosiologi Kristianitas. Ketiga, hal inilah yang sejatinya menjadi gugatannya dalam ranah sosiologi agama20. Kritik Bryan S. Turner terhadap Sosiologi Max Weber Max Weber adalah sosiolog kenamaan yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt, ia meninggal pada tahun 1920 pada usia 56 tahun. Riwayat pendidikannya dimulai di Gymnasium BerlinCharlottenburg (1882). Sedangkan karir intelektualnya 19 Br yan S. Turner, Sosiologi A gama terj. Dar yanto (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 17. 20 Ibid. 111 Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah diawali dengan menjadi mahasiswa di Universitas Heidelberg Strassburg Berlin dengan minat utama pada hukum, sejarah, dan teologi (1882-1886). Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak ada predestinasi ganda dalam Islam. Malahan, lebih lanjut Weber mengatakan, Islam memiliki keyakinan pada predeterminasi, bukan pada predestinasi. Hal ini berlaku pada nasib seorang Muslim di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Berbeda halnya dengan doktrin predestinasi yang diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja, di mana hal ini tidak terjadi pada masyarakat Islam. Malahan, lanjut Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya, Muslim bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.21 Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’.22 Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.23 Perintah-perintah religius hukum suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar 21 Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 70. Baca pengantar yang ditulis Taufik Abdullah, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, Terj. G.A. Ticoulu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984), ix-xv 23 Ibid., 87. upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.24 C a r a We b e r d a l a m m e n a f s i r k a n d a n memperlakukan Islam secara faktual sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya calvinisme, yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism. Pada umumnya pembahasan Weber tentang Islam yang menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun tidak dengan marxisme.25 Menurut pandangan Weber tentang Islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan suatu penentuan perkembangan motif-motif Islam. Menurutnya Islam sebelum berhijrah ke Madinah merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin akan mengakibatkan asketisme duniawi, tetapi Islam dibelokan dari etika transformatif ini.26 Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks dan kepastian yang mendalam dari para umat Islam tidak begitu penting dibandingkan dengan keanggotaan masyarakat. Dasar pendapat Max Weber menerangkan tentang feodalisme dalam Islam dibangun dengan mencari persamaan atau variable antara asketisme dengan semangat kapitalisme. Max Weber dengan jelas menyatakan bahwasannya asketisme menjadi bagian penting dari kapitalisme. Weber menemukan sebuah fakta di Cina, India, dan tanah Islam di Timur Tengah, bahwa prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam cenderung hidup hedonis dan penuh kemewahan, terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena ini mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat 22 112 24 Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), 165. 25 Turner, Sosiologi Islam, 264. 26 Ibid., 263. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 dihindari bahwa Islam kala itu dapat dikatakan sebagai institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme.27 Kemudian ketika Weber mulai menganalisa Islam ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada kondisi sosial Islam. Sepanjang Weber benar-benar menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa mode produksi Asia, ciri khasnya India, Cina dan Turki telah melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita, dan tidak selaras dengan kapitalisme. Menurut weber mengenai Islam, yang menjadi masalah pokok dalam perkembangan Islam adalah dominasi kendali patrimonial.28 Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani pada periode modern, peradaban Islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial (Abasyiah, Mamluk, Usmaniyah ). Dengan adanya bentuk kekuasaan yang ini, masyarakat Islam tidak dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada di Barat yang sangat berarti sekali bagi kebangkitan kapitalisme modern.29 Menurut Turner, inti kajian sosiologi Islam Weber terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan hukum irrasional”. Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari sebuah buku suci dan bersifat tegas dan baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qāḍī dan bersifat fleksibel. Biar bagaimanapun Weber yang orang Jerman mengunggulkan bahwa hukum rasional atas hukum irrasional, sebagaimana yang berlaku di Eropa untuk melegitimasi tindakan kapitalisme.30 Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad, gap di sana sini, terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial. Secara teori, syari’at bersifat kaku dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber, terjadi ketidakjelasan batas antara norma yang etis, agama dan hukum serta dibarengi dengan sistematisasi yang kacau. Sedang secara politik, para qāḍī juga merupakan pejabat kerajaan sehinggga dicurigai bahwa dedikasi mereka dipersembahkan untuk raja, bukan untuk sebuah prinsip keadilan. Jika demikian maka keadilan seorang qāḍī menjadi kebalikan dari stabilisasi pemerintah. Dengan demikian lebih tepat kalau syari’at dikatakan sebagai hukum para faqīh, bukan hukum Islam. Dalam perjalanannya kemudian hukum para faqīh tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum.31 Dalam mengkritik Weber, Turner mengatakan bahwa biar bagaimanapun jabatan menjadi seorang qāḍī bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Pasalnya membiarkan diri menjadi seorang qāḍī sama halnya dengan membiarkan diri menjadi pengganti Tuhan di muka bumi. Dan para qāḍī yang mencoba melawan kehendak penguasa pasti akan menuai berbagai kesulitan bahkan terancam hidupnya.32 Inti kritik Turner terletak pada dua hal, pertama; Weber tidak menjelaskan apakah dia hendak menekankan isi hukum atau konteks politiknya, kedua; Weber tidak menjelaskan pula apakah hukum rasional merupakan prasyarat penting bagi kapitalisme ataukah hanya sebuah prasyarat biasa. Dan ternyata dalam kasus lain Weber pun mengakui bahwa tidak ada sistem hukum yang tidak mempunyai gap dan ternyata adanya hal tersebut tidak menghambat perkembangan kapitalisme rasional. Bagi Turner, analisa sosiologis yang dihasilkan oleh Max Weber terdiri dari dua hal; Pertama, analisanya 27 Ibid., 13. Ibid., 147. 29 Ibid., 261. 30 Ibid., 208. 28 31 Ibid., 211. Ibid., 220. 32 113 Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah tentang etika Islam yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari analisanya dari struktur sosial ekonomi Islam. Kedua, argumennya tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisir sejarah yang ada dalam agama Islam.33 Penutup Pemikiran Bryan S. Turner banyak merekonstruksi teori yang telah dikembangkan oleh Max Weber dalam membaca dan memahami orientalisme. Namun lebih dari itu, dalam perkembangannya, terdapat banyak kritik tajam yang diarahkan pada kalangan akademisi Barat dalam memahami Timur secara subjektif. Pada dasar ini, mereka (Timur, Islam) dianggap sebagai kelompok sosial yang menafikan rasionalitas, bahkan antimodernitas. Masyarakat Timur hanya mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Menurut Turner, kritik yang dilakukan oleh Max Weber terhadap Islam tidak menemukan relevansinya. Dengan kata lain, bagi Turner, dapat disimpulkan bahwa kajian tentang Islam yang dilakukan oleh Max Weber tidak kompatibel dengan realitas yang ada dalam agama Islam. Hal ini berpijak pada pelbagai fakta yang disuguhkan Turner, di mana fakta tersebut membantah terhadap kesimpulan yang dihasilkan oleh Max Weber, walaupun tidak semua analisa Weber ditolak semua. 33 Ibid., 13-14. 114 Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. “Kata Pengantar”, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1984. Giddens, Anthony. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, terj. Maufur dan Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Turmudi, Imam “Menimbang Gaagasa Brayn S. Turner Tentang Islam” dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013. Turner, Bryan S. Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSod, 2012. Turner, Bryan S. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas: Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, terj. Sirojuddin Arif, dkk. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Turner, Bryan S. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984. Turner, Bryan S. Sosiologi Agama terj. Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribners, 1958. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 CLIFFORD GEERTZ DAN PENELITIANYA TENTANG AGAMA DI INDONESIA (JAWA) Gunawan Laksono Aji PPTI Al Falah Salatiga [email protected] Abstrak Tulisan ini berupaya melihat pemikiran Clifford Geertz tentang masyarakat agama di Jawa yang menjadi kajian yang sangat menarik dan unik karena dinamika hubungan antara Islam dan masyarakatnya sangat kental dengan simbolisme yang dihasilkan dari sinkretisme. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, di mana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Di mana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Clifford Geertz juga melihat agama sebagai fakta budaya–bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi meskipun hal-hal ini juga diperhatikan melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Dari sistem simbol yang dibangun oleh Geertz, ia kemudian membagi fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya. Kata kunci: Abangan, Santri, Priyayi, Agama, Budaya. Abstract This paper aims to understand Clifford Geertz perspective about religious community in Java, which became very interesting and unique because of the dynamic relationship between Islam and the people which are very thick with symbolism resulting from syncretism. It is visible in Javanese pattern action tend to not only believe in, things unseen by a set of rituals, but also their view that nature is governed in accordance with its laws in which human have always been involved in it. Religion for Geertzis as cultural values, in which he saw these values in a set of meanings. Where by the set of meanings, each individual interprets his experience and regulates his behavior. Clifford Geertz also see religion as a cultural fact-not merely as an expression of social needs, economic tension orhidden neurosis;though these things are also considered through symbols, ideas, rituals, and customs habit. From the symbol system built by Geertz, he then divides the Javanese religious phenomenon into three main variants: abangan, santri, and priyayi. This distinction he sees as well as a distinction of three different cores of Javanese social structures; villages, markets, and government bureaucracies. Abangan that emphasize their belief in local tradition elements, especially comprised a ritual ceremony called slametan, credence to the subtle beings, belief in witchcraft and magic; santri who emphasize their belief in Islam elements; and priyayi emphasize the elements of Hinduism, their smooth and rough concept. Keywords: Abangan, Santri, Priyayi, Religion, Culture 115 Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji Pendahuluan Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah yang kemudian hampir menjadi seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun di atas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitunganhitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa. Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar 116 biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukannya maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologisantropologis yang mengedepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya. Agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain karena sangat individual. Untuk itu, harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain.1 Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang dianggap baru pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of Culture, ia mencoba mendefinsikan kebudayaan yang beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak mempunyai standar yang baku dalam penentuannya. Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, di mana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit.2 Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, 1 Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam Clifford Geertz, After the Fact (Jogyakarta: LKiS, 1998), ix-xxi. 2 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius Press, 1992), 5. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam. Cliffordz Geertz : Setting Intelektual, Ranah, Gagasan dan Karya Clifford Geertz lahir di San Fransisco tanggal 23 Agustus 1926. Pada tahun 1950, ia memperoleh gelar B.A. dalam bidang fil­safat di Universitas Antioch College Ohio. Selanjutnya dia melanjutkan studi antrop­ologi di Harvard University. Pada waktu itu riset lapangan sudah mulai menjadi pijakan dasar dalam studi antropologi di Amerika maupun Inggris. Demikian juga dengan Geertz, dia melakukan penelitian untuk disertasinya di wilayah Jawa selama 2 tahun. Bersama isterinya Hildred yang juga seorang peneliti, dia meneliti wilayah Mojokuto tahun 1952– 1954. Sekembalin­ya ke Harvard, dia berhasil meraih gelar doktor di bidang antropologi dari Depart­ment of Social Relation pada tahun 1956. Riset berikutnya dilakukan di Bali dan di komunitas Muslim di Maroko. Pada tahun 1958, setelah menyelesaikan risetnya di Bali, Geertz bergabung de­ngan Universitas California di Berkeley, kemudian pindah ke Universitas Chicago selama 10 tahun (1960–1970).3 Karir Geertz diawali dari dunia militer, di mana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950. Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan 3 Vita Fitria, Interpretasi Budaya Clifford Geertz: Agama Sebagai System Budaya: UIN Sunan Kali Jaga. tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multi agama, multi ras yang kompleks di sebuah kota kecil, Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.4 Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study, sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis. Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsabangsa berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, teknologi dan agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain–pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.5 Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang 4 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2001) 397. 5 Ibid., 396. 117 Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji berkaitan dengan kajian penulis adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi). Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini. Myth, Symbol, and Culture (1974); Negara: the Theater State in Nineteenth-Century Bali (1980); Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (1983); Works and Lives: the Anthropologist as Author (1988); After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist (The Jerusalem-Harvard Lectures) (1995); Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics; The Fate of ‘Culture’: Geertz and Beyond (Representations Books); Geiger at Antioch (George Geiger, Professor at Antioch College): an Article from the Antioch Review; New Views of the Nature Man. Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain. Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting. Antara karya Geertz ialah:6 The Development of Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach (1956); The Religion of Java (1960). Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Indonesia oleh Aswab Mahasin dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981); Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns (Comparative Studies of New Nations) (1963); Agricultural Involution: the Processes of Ecological Change in Indonesia (1963). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (Indonesia) dengan judul, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta Barat; The Social History of an Indonesian/Javanese Town (1965); Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (1968); The Interpretation of Cultures (1973); Beliau turut menulis banyak artikel khususnya di dalam buku-buku dan jurnal jurnal antropologi seperti: Ethos, World-view and the Analysis of Sacred Symbols (1958); The Growth of Culture and the Evolution of Mind (1962); Ideology as a Cultural System (1964); Internal Conversion in Contemporary Bali (1964a). 6 Yusri Muhammad Ramli, International Journal of Islamic Thought: Agama dalam Tentukur antropologi Simbolik Clifford geertz. 118 Gagasan Mengenai Agama dan Budaya Geerts secara jelas mendefinisikan budaya, “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individuindividu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, m e n g a b a d i k a n ny a , d a n m e n m g e m b a n g k a n pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik.” Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.7 Untuk memahami pemikiran Clifford Geertz, sangat penting untuk melihat karya beliau yang berjudul Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Karya ini 7 Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University Press,1999), 89. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1968 serta dicetak ulang beberapa kali. Tulisan ini dianggap sebagai karya terpenting bagi beliau dan juga bagi bidang antropologi sehingga menjadi rujukan utama di universitas-universitas Eropa, Amerika dan Asia. Karya Geertz ini sebenarnya merupakan koleksi beliau yang disampaikan di bawah pembiayaan Dwight Harrington Terry Foundation pada tahun 1967 berdasarkan pada pengalaman dan kajian yang telah beliau jalankan di Maghribi dan Indonesia. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Perancis dan Indonesia.8 tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikapsikap terhadap kehidupan. Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutik. Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia semiotik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirasinya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetik dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne Langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/ keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan. 9 Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaianpenilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.10 Menurutnya, Abangan mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa 8 Ibid., 67. Ibid., 82. 9 10 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, 3. 119 Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa. Agama Masyarakat Jawa Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilainilai budaya, di mana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Di mana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya.11 Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe varian kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama Jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah sinkritisme.12 Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai 11 Ibid., 51. Geertz, 1983, 6. 12 120 suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 (tiga) inti struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 (tiga) tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan.13 Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain: Pertama, agama sebagai fakta budaya Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa melihat agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi meskipun hal-hal ini juga diperhatikan melalui simbol, ide, ritual dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global. Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di 13 Geertz; 1983, 5-6. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.14 Kedua, trikotomi dalam agama di Jawa Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut. Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya. Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah kebudayaan yang berbeda.15 Ketiga, Hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang 14 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981). 15 Baca: Parsudi dalam Pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi. sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitunganhitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang Jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa. Tidak bisa disangkal, Clifford Geertz sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbolsimbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh budayabudaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann: Kebudayaan dibentuk oleh manusia; Manusia dibentuk oleh kebudayaan; Kebudayaan menjalani hidup sendiri. Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk 121 Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah.16 Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Kritik dan Pemikiran Idealnya sebuah teori, pasti memun­culkan kritik dan pembacaan dalam perspektif yang berbeda. Salah satu kon­sepsi Geertz dalam The Religion of Java adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas terse­but nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal ghaib dengan seperangkat ritual-ritualnya akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan 16 Lihat baca dalam, “Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/ forlog/lintas1corrie.htm 122 hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya.17 Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena 17 Vita Fitria, Interpretasi Budaya Clifford Geertz : Agama sebagai System Budaya: UIN Sunan Kali Jaga. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.18 Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula, kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, di mana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen. Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.” Penutup Geertz memang dianggap memiliki pengaruh teoretis dalam ilmu antopologi, di mana ia menulis dengan sangat mahir mengenai gagasan-gasan tertentu dari kebudayaan dan menggunakannya untuk menganalisis kasus-kasus tertentu. Dan dalam prosesnya, ia telah memberikan daya tarik bagi orang luas untuk membaca karya-karya antropolog. Dia meletakan suatu ide baru bagaimana kebudayaan bekerja. Penelitian Geertz tentang Religion of Jawa itu juga merupakan suatu deskripsi dari hasil permintaan dari the Committee on the New States. Di mana menjadi titik awal mereka pada rencana bahwa masyarakat tradisional telah menjadi tidak teratur karena adanya proses urbanisasi, spesialisasi ekonomi dan sekulerlisasi. Tujuan dari kebijakan di negara– negara baru tersebut diserahkan pada antropolog untuk menspesifikasikan masalah-masalah kebudayaan yang ada didalamnya, khususnya pada Llyoyd Fallers dan Geertz. Mereka diharapkan dapat menemukan kekontrasan tradisonal dan modernitas, suku bangsa dan negara, masyarakat yang suci dan duniawi, di mana kontradiksi-kontradiksi tersebut akan dapat membantu untuk menjelaskan kemampuan masyarakat di Asia yang sedang mengalami transisi penjajahan kolonial menuju ke kebebasan. Dalam konteks situasi seperti itulah, di mana Geertz mempunyai kepentingan di baliknya, ia menafsirkan agama Jawa. Dan tentu saja teori kebudayaan umumnya mengandung muatan politis yang membenarkan suatu tinjauan politiknya. Daftar Pustaka Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a _______, Tafsir Kebudayaan. Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a. _______, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981. Kuper, Adam. Culture, Harvard University Press. Cambridge, 1999 18 Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 16. 123 Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji Fitria, Vita. “Interpretasi Budaya Clifford Geertz : Agama sebagai system budaya” UIN Sunan Kali Jaga Ramli, Yusri Muhammad. International Journal of Islamic Thought: Agama dalam Tentukur Antropologi Simbolik Clifford geertz 124 Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 ANTHONY GIDDENS DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA Lu’lu Un Nisai Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo [email protected] Abstrak Tulisan ini berupaya melihat pemikiran Anthony Giddens tentang teori sosial terkait dengan tindakan sosial. Dari hasil kajian penulis tentang pemikirannya bahwa Menurut Giddens yang paling pokok dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut teori struktur. Dalam teori ini masyarakat memiliki kesadaran antara lain: Kesadaran diskursif (discursive consciousness), Kesadaran praktis (practical consciousness), Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives / cognition. Di samping itu, Dari hasil kajian penulis, bahwa Giddens juga memberikan kritikan terhadap fungsionalisme yang terangkum dalam tiga hal: Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial. Kata Kunci: Anthony Giddens, Strukturasi, Agensi, Dualitas struktur Abstract This paper aims to understand Anthony Giddens ideas about social theory related to social action. From the results of the author’s understanding about Giddens thoughts that according to him,the most staple in the social analysis is to find ‘hidden codes’ that lies behind the visible symptoms. The hidden code is called structure theory. In this theory the public have awareness such as:discursive awareness (discursive consciousness), Consciousness practical (practical consciousness), Motif or unconscious cognition (unconscious motives / cognition. In addition, from the results of the authors studying, that Giddens also provides a criticism of functionalism summarized in three points: First, functionalism suppress the fact that we are members of society are not fools. We know what is happening around us, and not a robot acting on a “script” (roles) that have been determined. Second, functionalism is a way to think which claim that the social system has needs that must be met. For Giddens, social systems do not have any needs, but we are the actors who have needs. Third, functionalism wasting time dimension (time) and space (space) in explaining social phenomena. Keywords: Anthony Giddens, Structuration, the Agency, Duality structure Pendahuluan Pemikiran filsafat dan sosiologi selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman dengan munculnya cendekiawan-cendekiawan baru. Di antara mereka ada yang mendukung teori-teori lama lalu menyempurnakannya dan di antaranya lagi menentang teori lama dengan segenap alasannya yang logis. Di antara mereka adalah Anthony Giddens, seorang sosiolog ternama asal Inggris. Ia dikenal dengan teori strukturasinya, di mana argumen utamanya adalah bahwa antara subjek dan objek, antara strukur dan agensi bukannya bersifat dualisme (pertentangan) melainkan bersifat dualistik. Giddens mencoba menolak dualisme yang selama ini di dengungkan oleh Descartes dan beberapa filsuf lain. Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha memotret pemikiran Anthony Giddens ini dengan sesederhana mungkin supaya lebih mudah dipahami, mengingat bahasan 125 Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai teori strukturasi dalam buku Giddens ini tergolong agak sulit dipahami. Makalah ini akan dimulai dengan membahas biografi Giddens, yang kemudian dilanjutkan dengan pemikiran strukturasinya dan beberapa poin penting lainnya. Anthony Giddens: Sosok, Ranah, Gagasan dan Karyanya. Anthony Giddens adalah salah seorang teoretisi sosiologi kontemporer terkemuka abad ini, yang dilahirkan pada tahun 1938 di Edmonton, London Utara, Inggris.1 Ia lulus dari Universitas Cambridge (1976) dan diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor sosiologi (1986). Selain itu, ia juga pendiri perusahaan penerbitan (Polity Press) dan penasehat bagi Partai Buruh Inggris. Dan, sejak tahun 1997, ia menjadi Direktur London School of Economics and Political Science (LSE). Hampir semua ilmuwan sosial dan politik sepakat bahwa Anthony Giddens terkenal karena karya tulisnya. Lebih dari 200 artikelnya tersebar di berbagai jurnal, majalah dan surat kabar. Sebagian kumpulan artikelnya bahkan sudah diterbitkan oleh penerbit Routledge dari London tahun 1997 menjadi empat jilid besar. Sementara jumlah buku yang ditulis oleh Giddens atau bersama dengan orang lain sampai 1999 sudah mencapai 32 buah. Buku-buku itu pun sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 35 bahasa.2 Tulisan-tulisannya mencakup tema-tema seperti teori sosial, sejarah pemikiran sosial, struktur kelas, elit dan kekuasaan, bangsa dan nasionalisme, identitas personal dan sosial, keluarga, relasi dan seksualitas. Sebagai seorang sosiolog, Giddens terkenal sangat piawai dalam meringkas, menggabungkan 1 David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology (New York: Harper Collins, 1991), 196. 2 Di antara buku-buku terkenalnya adalah: New Rules of Sociological Method (1976), The Constitution of Society (1984), The Consequences of Modernity (1990), The Transformation of Intimacy (1992) dan The Third Way (1998). 126 dan menyajikan perspektif-perspektif dan argumenargumen teoretis awal. Bukunya Modernity and SelfIdentity berisi konsep-konsep dan gagasan-gagasan dari Marx, Weber, Durkheim, Goffman, Simmel, Parsons, dan sosiolog lainnya. Dalam menyajikan argumennya, Giddens bergerak melampaui para teoretisi sebelumnya dan mengembangkan perspektifnya sendiri. Ia berupaya mencakup semua, menyediakan pandanganpandangan teoretis tentang tindakan dan interaksi sosial, analisis historis, sistem dan struktur, dan sosiologi politik. Dalam masing-masing ini, ia berupaya memecahkan sebagian teka-teki dan masalah-masalah sosiologis serta mengintegrasikan teori-teori dan perspektif-perspektif yang tampak memprihatinkan ke dalam satu teori sosiologis yang menyeluruh. Tahun 1992, Giddens kembali melakukan transformasi diri melalui bukunya, The Transformation of Intimacy. Buku itu adalah hasil tiga tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya yang kedua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah “hubungan murni” (antara lelaki dan perempuan) yang didasarkan pada hakekat kepuasan hubungan itu sendiri, yang pandangan ini membuat kaum feminis di Inggris menjadi sangat marah. Giddens menjadi kontroversial dan terkenal ketika ia menerbitkan The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Popularitas Giddens sebenarnya bisa dipahami, karena sejak tahun 1985, ia sudah memiliki dan bahkan menguasai Polity Press, yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar 400.000 buku ajar sosiologi karangan Giddens, Sociology, berhasil dijual. The Third Way juga tersebar luas karena Polity Press dan koneksi Giddens dalam lingkaran “para kroni Tony Blair”. Tentang sifat kontroversial dari Giddens dengan The Third Way-nya sampai saat ini memang masih menjadi perdebatan. Pelbagai sikap pro dan kontra Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 terhadapnya begitu beragam. Di satu sisi, teori olahan Giddens dinilai sebagai terobosan baru. Ada dualisme yang menggejala, akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat objek kajian ilmu sosial.5 Anthony Giddens , dan Aplikasi Teori Strukturasi Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya terangkum dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial.6 Konteks Kemunculan Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens pernah ditanya tentang tujuan seluruh proyek kerjanya selama dua puluh tahun terakhir ini. Ia menjawab, “Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga modern.”3 Apa yang diinginkan Giddens ternyata bukanlah mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu terobosan penting tidak hanya bagi sosiologi, namun juga bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Salah satu kontribusinya adalah teori strukturasi. Teori ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori tindakan dalam ilmu sosial. Ini bukan berarti bahwa para teoretisi tidak mempunyai teori tentang tindakan. Erving Goffman, misalnya, menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan Menteri Penerangan Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut petunjuk bapak.” Yang pertama cenderung menafikan bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan ini yang menguasai dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya. 4 3 Dikutip dalam B. Herry Priyono, “Sebuah Terobosan Teoretis,” Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000, 16. 4 Antony Giddens, Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis (London: MacMillan Press, 1979), 2. Kritik terhadap strukturalisme adalah pada poin pokoknya bahwa apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut struktur.7 Agensi Dalam teori strukturasi, individu memainkan peran yang penting. Dalam teori ini, agen dipahami sebagai “subjek yang berpengetahuan dan cakap.” Agen tahu apa yang ia lakukan dan mengapa ia 5 Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula ‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur dan bukan pelaku-perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu.” Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2, (Jakarta: KPG, 2003), 7-8. 6 Ibid.,10. 7 Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika internal kinerja modal. Antony Giddens, Central Problems in Social Theory, 18. 127 Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai melakukannya. Menurut Giddens, semua tindakan adalah “bertujuan.”8 Penekanan bahwa agen adalah berpengetahuan dan tindakan mereka mengandung maksud dan tujuan adalah salah satu dari fondasi pemikiran Giddens. Berkenaan dengan proses pembuatan keputusan, menurut Giddens, “pelaku mungkin mengkalkulasi resiko-resiko yang tercakup dalam melakukan tindakan sosial tertentu, berkaitan dengan kemungkinan sangsi-sangsi atau yang sebenarnya diterapkan, dan ia mungkin siap tunduk kepadanya sebagai harga yang mesti dibayar untuk mendapatkan tujuan tertentu.”9 Dalam teori ini, orang menggunakan analisis biayakeuntungan (cost-benefit analysis) agar bisa membuat sebuah keputusan. Jika keuntungan untuk melakukan suatu tindakan lebih besar daripada biaya-biayanya, maka tindakan tersebut akan dilakukan. Biaya di sini mencakup kemungkinan mengalami atau terkena sanksi-sanksi yang negatif. Jika keuntungan dari sebuah tindakan tersebut sama baik dari segi biaya-biaya dan sanksi-sanksinya, maka perbuatan itu dilakukan. Penting untuk diingat bahwa pelaku yang berpengetahuan itu menggunakan analisis biaya-keuntungan dengan menggunakan sekumpulan kriteria, tidak hanya masalah-masalah ekonomi saja. Karena tidak seorangpun pelaku yang memiliki “pengetahuan yang sempurna,” maka penting menentukan batasan-batasan kemampuan mengetahui dari manusia. Menurut Giddens, “kemampuan mengetahui pelaku selalu dibatasi di satu sisi oleh konsekuensi tindakan yang tidak sadar, dan di sisi lain, oleh konsekuensi tindakan yang tidak diketahui/ tidak dimaksudkan (unintended consequences).”10 Tindakantindakan tidak sadar mungkin tidak tampak rasional, namun mereka diatur oleh sebagian perilaku tidak sadar yang tidak bisa diatur seseorang. Tindakan- tindakan ini seringkali diabaikan jika sesuai dengan masyarakat atau salah ucap sementara. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari tindakan adalah lebih penting bagi teori Giddens. Konsekuensi-konsekuensi ini adalah hasil dari aktivitas-aktivitas yang memunculkan hasil yang berbeda dari yang diharapkan.11 Untuk memahami konsekuensi-konsekuensi ini, penting untuk melihat hasil-hasil dari tindakan ketimbang motifmotifnya. Giddens menggunakan contoh seorang pelaku yang menghidupkan lampu. Motif di balik menghidupkan lampu ini adalah untuk menerangi ruangan. Namun, konsekuensi lain dari tindakan ini adalah mengusir pencuri. Pengusiran pencuri adalah konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Dalam contoh ini, kesimpulan bahwa tindakan pelaku tidak relevan adalah benar. Namun, dalam situasi-situasi yang kompleks, konsekuensi-konsekuensi itu mungkin sangat berpengaruh. Karena tindakan adalah hasil dari seorang individu (agen), maka ia menjadi unsur yang penting dari pengaruh seorang individu terhadap masyarakat.12 Meskipun Giddens menekankan individu sebagai agen manusia, ia menempatkannya sebagai bagian dari proses pembuatan sejarah, ketimbang “pembuat sejarah.” Inilah yang memisahkan teori Giddens dari teori-teori sosial-humanistik, seperti humanisme dan posmodernisme. Teori-teori humanistik melihat pelaku sebagai “pembuat sejarah.” Dalam teori strukturasi, si agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran: Pertama, kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu 8 Ibid., 56. Ibid., 87. 10 Giddens, The Constitution of Society (Berkley: University of California Press, 1984), 282. 9 128 11 Ibid., 10. Ibid., 11. 12 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. exists in memory traces, the organic basis of human knowledgeablitiy, and as instantiated in action.”13 Kedua, kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis. Dengan kata lain, ia mencakup aturan-aturan (rules) yang mengatur masyarakat. Penggunaan istilah recursive menunjuk kepada suatu pengertian bahwa struktur bisa menjadi media dan sekaligus hasil dari praktik-praktik sosial yang membentuk sistem-sistem sosial. Ini menyiratkan bahwa struktur dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi perubahan sosial. Jadi, ia bersifat recursive (berulang). Masyarakat mempunyai aturan-aturan dan sumber-sumber yang mempengaruhi perubahan sosial. Dan juga, aturan-aturan dan sumber-sumber ini bisa dimodifikasi melalui proses restrukturasi masyarakat. Inilah dasar bagi dualitas struktur. Ketiga, motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/ cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu. Struktur Unsur kedua dalam teori strukturasi adalah peran struktur dalam perubahan sosial. Giddens mendefinisikan struktur sebagai “aturan-aturan dan sumber-sumber yang dilibatkan secara berulang-ulang dalam reproduksi sistem-sistem sosial. Struktur juga terbentuk karena adanya tradisi, institusi, aturan moral serta cara-cara mapan melakukan sesuatu dan hal ini semata-mata merupakan akibat yang ditimbulkan dari tindakan agen. Terbentuknya struktur juga membutuhkan waktu yang panjang, karena melewati satuan waktu dengan tidak membatasi pada ruangruang tertentu. Giddens juga menyatakan konsep rutinisasi. Rutin, hal apapun yang dikerjakan dengan kebiasaan, merupakan elemen paling dasar dari aktivitas sosial sehari-hari.” “rules and resources, recursively implicated in the reproduction of social systems. Structure only Giddens memandang struktur sosial sebagai ciri-ciri yang tidak dapat diraba. “structure only exists in memory traces, the organic basis of human knowledgeability, and as instantiated in action.” Seorang tidak bisa memandang aturan-aturan atau sumber-sumber sebuah masyarakat dengan sendirinya, hanya pengaruh-pengaruhnya saja yang bisa dipelajari. Karena struktur dilibatkan dalam perubahan sosial, maka keberadaannya sebagai entitas yang bisa diraba (dapat diukur) hanya bersifat temprorer. Dengan kata lain, struktur tidak pernah statis, ia selalu dimodifikasi.14 Unsur lain yang penting dari pemikiran Giddens adalah pembedaan antara struktur, sistem dan strukturasi. Sistem berbeda dengan struktur, yang diartikan Giddens sebagai “relasi-relasi yang direproduksi antara pelaku atau kelompok, yang diatur sebagai praktik sosial yang rutin.” 15 Dengan kata lain, 13 Giddens, Constitution, 377. Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, terj. Maufur & Daryanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010). 25. 15 Sistem menunjuk kepada relasi antara individu dan kelompok pelaku yang masing-masing menggunakan struktur masyarakat secara berbeda. Proses perubahan sosial dalam masyarakat disebut strukturasi, yang diartikan sebagai “conditions 14 129 Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai strukturasi menunjuk kepada metode-metode yang digunakan untuk mengubah masyarakat. Tiga faktor ini menggambarkan metode dan pola perubahan sosial yang dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi struktur masyarakat. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial. Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi obyek utama kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah. Praktik sosial itu bisa saja berbentuk penyebutan Idul Fitri dengan lebaran, fenomena mudik menjelang lebaran, memberikan zakat kepada fakir miskin, sholat ied di lapangan atau masjid dan seterusnya. Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai tempat. Sesuatu yang mirip ‘pedoman’ atau prinsip-prinsip ‘aturan’ itu merupakan sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens menyebut hal itu sebagai struktur. Dualitas Struktur Dalam teori ini, Giddens menegaskan bahwa agensi manusia dan struktur sosial berhubungan satu dengan lainnya, dalam satu cara, yang mana struktur merupakan dasar bagi segala tindakan individu, dan tindakan-tindakan individu mereproduksi struktur. Penyeimbangan ini disebut Giddens dengan dualitas struktur. Ini berarti bahwa struktur sosial ada dalam bentuk tindakan dan modalitas yang berhubungan dengan unsur-unsur struktural, bahkan juga berarti bahwa muatan-muatan unsur ini dapat diubah governing the continuity or transformation of structures, and therefore the reproduction of systems” [kondisi-kondisi yang mengatur kesinambungan atau transformasi struktur, dan ujungnya reproduksi sistem]. Giddens, Central Problems, 66. 130 ketika orang mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda. Struktur didefinisikan sebagai pola-pola tindakan dan tatanan virtual dari tindakan dan modalitas. Tindakan-tindakan berlangsung dalam wilayah-wilayah struktural, yang secara formal digambarkan sebagai: signification (pemaknaan), domination (dominasi) dan legitimation (legitimasi). Wilayah-wilayah ini memiliki modalitas, yang seorang dapat gambarkan sebagai media interaksi. Struktur sosial dan interaksi manusia dipecah ke dalam tiga dimensi dan karakter berulang dari tiga dimensi ini diilustrasikan dengan modalitas (sarana-sarana) penghubung. Maka, ketika manusia berkomunikasi, mereka menggunakan kerangka penafsiran (interpretive scheme) untuk membantu memahami interaksi. Pada saat yang sama, interaksiinteraksi tersebut mereproduksi dan memodifikasi kerangka-kerangka penafsiran tersebut yang melekat dalam struktur sosial sebagai pemaknaan (signification). Begitu pula, fasilitas untuk mengalokasi sumber daya dibangun dalam kendali kekuasaan, dan menghasilkan serta mereproduksi struktur dominasi, dan aturanaturan moral membantu menentukan apa yang bisa diberikan sanksi dalam interaksi manusia, yang memunculkan struktur-struktur legitimasi. Dimensi-dimensi dari dualitas struktur dapat diberikan dalam diagram yang terkenal berikut ini: Struktur Modalitas Interaksi Pemaknaan - Dominasi - Legitimasi I I I Kerangka penafsiran Fasilitas Norma I I I Komunikasi - kekuasaan - Sangsi Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Ilustrasi dari bagan ini akan diuraikan sebagai berikut. Menurut Giddens, setiap interaksi atau tindakan yang berulang dan terpola akan menghasilkan struktur. Kualitas dari struktur ini akan ditentukan oleh modalitas. Yang disebut struktur di sini adalah hukum, aturan dan kebiasaan hidup. Di dalam masyarakat, ada tiga interaksi sosial yang sangat dominan yaitu, komunikasi, kekuasaan dan sanksi. Dalam hal komunikasi, modalitas adalah kerangka penafsiran (intepretive scheme) yang akan menghasilkan pemaknaan sebagai langkah berikutnya. Sebagai contoh, saya belum kenal yang namanya Bambang, sementara besok saya akan berjumpa dengannya. Lalu saya tanya kepada teman saya yang kebetulan sudah kenal dengan Bambang tentang siapa Bambang itu sebenarnya? Teman saya itu kemudian menjawab bahwa Bambang adalah seorang pencuri. Teman saya telah memberikan kerangka penafsiran bahwa “Bambang adalah pencuri”. Keesokan harinya, sebelum Bambang datang, saya mengunci seluruh lemari, dan bahkan Bambang saya terima di luar rumah. Namun kemudian, Bambang mengajak saya makan dan bahkan membayari saya ongkos taksi sekaligus ketika saya mau pulang. Pemaknaan saya pun kemudian berubah, ternyata Bambang orang baik. Keesokan harinya, ketika Bambang datang ke rumah, saya mempersilahkan dengan penuh hangat. Perjumpaan di sini bisa mengubah kerangka penafsiran, dan kemudian kepada pemaknaan. Bahkan sebaliknya, bisa memperburuk kerangka penafsiran, jika pengalaman perjumpaan pertamanya buruk. Tindakan yang kedua adalah kekuasaan (power). Interaksi akan mengantarkan kepada dominasi, namun dominasi ditentukan oleh modalitas, yaitu dalam bentuk fasilitas yang bisa mencakup fisik, ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Semakin ada akumulasi fasilitas, dominasi itu akan semakin kuat. Seorang yang memiliki fasilitas ekonomi, misalnya, akan sangat mudah untuk mendominasi yang miskin ekonomi. Seorang kyai bisa dengan mudah mendominasi santri-santrinya karena mempunyai fasilitas budaya dalam bentuk simbol-simbol agama. Bentuk dominasi ini juga akan memberikan pengaruh dalam interaksi relasi antara santri-kyai. Tindakan ketiga sanksi atau terkait dengan moralitas. Yang dituntut adalah legitimasi (dasar pembenaran suatu tindakan), entah dari hukum, norma, agama, atau kebiasaan. Setiap tindakan membutuhkan pembenaran atau legitimasi. Semua tindakan membutuhkan legitimasi, apa lagi kekuasaan. Kekuasaan membutuhkan legitimasi dari hukum, agama atau lainnya. Agama bisa menjadi sumber legitimasi, sementara semua tindakan membutuhkan legitimasi. Di sinilah awal dari konflik dan pertentangan, pada saat legitimasi di dapat dari agama. Legitimasi mendukung kekuasaan, dan pemaknaan memberikan masukan bagi kekuasaan. Sebagai contoh, Menyebut ‘Idul Fitri sebagai lebaran’ merupakan struktur penandaan/ signifikasi. Penentuan hari H lebaran oleh Kementerian Agama merupakan struktur dominasi dalam pengertian kebijakan politik. Pengaturan lalu lintas para pemudik oleh aparat polisi maupun Departemen Perhubungan merupakan praktik struktur legitimasi. Pada saat tertentu, gugus struktur di atas bisa saling terkait. Dalam bahasa lain, struktur dalam pengertian Giddens ini menyangkut simbol / wacana, tata ekonomi, tata politik dan tata hukum. Dalam berbagai ‘tata’ di atas, dualitas antara pelaku dan struktur berlangsung setiap saat, dan struktur akan menjadi sarana praktik sosial. Ucapan ‘minal aizin wal faizin’ itu adalah ungkapan penandaan (signifikasi) seseorang/ kelompok untuk meminta maaf kepada seseorang/ kelompok yang akan bisa dipahami oleh seseorang/ kelompok dalam masyarakat tertentu. Demikian pula untuk menentukan kapan berakhirnya puasa dan lebaran dimulai, setiap jam 7 atau jam 8 malam sebagian besar masyarakat menunggu hasil sidang isbath (pemerintah dan masyarakat) untuk menjadi keputusan pemerintah tentang penentuan 131 Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai hari lebaran. Hal yang sama juga pada saat aparat menyatakan akan menerjunkan para penembak gelap (sniper) untuk mengamankan lebaran, mengatur lalu lintas para pemudik, dan menghukum para pencopet terminal yang tertangkap saat menjalankan aksinya memanfaatkan momentum lebaran yang berdesakan. Bila status pelaku (agent) dalam fungsionalisme Parsons atau materialisme historis Althusser adalah seperti halnya wayang di tangan dalang dan melakoni peranperan yang sudah ditentukan, muncul pertanyaan lanjutan, apakah pelaku dalam dualitas struktur khas Giddens ini tahu dan sadar akan tindakannya? Apakah para pemudik itu tahu bahwa yang ia lakukan adalah sebuah proses ‘mudik’ atau sekedar rutinitas tak sadar pelaku bahwa setiap lebaran ia harus pulang kampung naik kereta berdesak-desakan? Giddens menyatakan bahwa setiap pelaku atas strukturnya tahu, walaupun tak selalu harus menyadari (conscious). Relasi Waktu dan Ruang Dalam teori sosialnya, Giddens menekankan bahwa waktu dan ruang memberikan pengaruhpengaruh yang penting terhadap struktur masyarakat, dan konsentrasi terhadap pelintasan-silang wakturuang adalah tema yang mendasar dari teorinya.16 Manusia tidak hanya membuat proses-proses sejarah tetapi juga geografis. Relasi waktu-ruang bukanlah terjadi secara kebetulan bagi pembentukan masyarakat dan perilaku kehidupan sosial. Pembentukan atau perkembangan masyarakat terikat tidak hanya kepada orang dan struktur masyarakat, namun juga dipengaruhi oleh proses-proses historis dan geografis yang mempengaruhi masyarakat. Daya konstitutif waktu dan ruang ini tampak jelas dalam gejala bahwa waktu-ruang menentukan makna tindakan kita maupun perbedaan nama yang satu dari tindakan yang lain. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan 16 Giddens, Constitution, 54. 132 itu sendiri. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Menonton film di bioskop bersama keluarga umumnya tidak disebut “bekerja,” sebagaimana berada di samping mesin mengerjakan sesuatu dari jam 8 pagi hingga 5 sore tidak disebut “berlibur.” Semua tindakan hanya berlangsung dalam (bukan melalui) waktu dan ruang. Tetapi persoalan bagaimana hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik sosial merupakan faktor yang membedakan masyarakat modern dari masyarakat sebelumnya. When [kapan] dicabut dari where [di mana]. Giddens menyebut gejala ini sebagai “perentangan waktu-ruang” [time-space distanciation] yang sebenarnya berisi “pencabutan” waktu dari ruang. Pencabutan waktu dari ruang inilah lokus perbedaan antara masyarakat modern dan bukan modern. Melalui proses pencabutan waktu dari ruang dalam skala global, kita juga akan mendapati globalisasi. Tanpa pencabutan waktu dari ruang, tidak akan ada globalisasi. Namun, yang perlu dicatat adalah bahwa perentangan sekaligus pemadatan waktu dan ruang hanya mungkin terjadi karena inovasi teknologi. Itulah mengapa orang sekarang untuk beridul fitri cukup dengan menulis status di Facebook atau sekedar mengirim SMS. Hal yang sama tidak akan kita jumpai tahun 1970an, saat mana orang beridul fitri harus berjumpa dengan saudara atau kerabatnya. Begitulah ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama yang dilakukan pelaku dan menghasilkan praktik sosial yang berbeda. Di zaman internet ini, kini waktu dan ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit ditembus. Ruang-waktu menjadi sesuatu yang bisa diatur. Kritik Terhadap Teori Strukturasi GIDDENS Karya Giddens menyiratkan bahwa jika orang ingin mulai bertindak secara berbeda esok hari, maka semua struktur masyarakat akan segera berubah. Menurut Archer, ini tidaklah begitu. Kemungkinankemungkinan untuk mengubah struktur sosial dan Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 jangkauan manusia mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan dunia sosial, bergantung pada watak struktur sosial. Secara epistemologis teori ini memberikan sebuah cara pandang baru di dalam melihat realitas, yaitu antara pelaku (agency) dan strukur (structure). Tidak ada struktur tanpa pelaku, sebaliknya tidak ada tindakan tanpa struktur, kemudian pikiran pokok itu diformulasikan ke dalam apa yang disebut teori strukturasi. Kaitan antara pelaku dan struktur bersifat fungsional. Di mata Giddens, kaitan bagian-bagian dengan keseluruhan tidak terjadi karena kebutuhan sistem kapitalis. Kaitan itu timbul karena proses strukturasi dalam bentuk reproduksi praktek sosial dan struktur kapitalisme yang terjadi dari perulangan interaksi antara para pelaku kongkrit dalam ruang dan waktu tertentu seperti interaksi para pemodal, mandor, buruh, agen iklan. Melalui perangkat ini Giddens mencoba menerangkan berbagai gejala dan permasalahan yang timbul, yang merupakan bagian dari hidup kita. Titik tolak Giddens adalah praktik atau tindakan manusia, namun tindakan manusia itu dapat dilihat sebagai pengulangan. Artinya, aktivitas bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan ulang melalui suatu cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas ini berlangsung. Dengan demikian, aktivitas tidak dihasilkan melalui kesadaran, melalui konstruksional tentang realitas atau tidak diciptakan oleh struktur sosial, dalam menyatakan diri mereka sendiri sebagai act, orang terlibat dalam praktik sosial itulah kesadaran maupun struktur diciptakan. Agen terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam upaya mereka mencari perasaan aman, aktor merasionalisasikan kehidupan mereka yakni mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efesien. Aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong tindakan. Jadi sementara rasionalisasi dan refleksivitas terus menerus terlibat dalam tindakan, motivasi dapat dibayangkan sebagai potensi untuk bertindak. Walaupun menurut Giddens sebagian besar tindakan kita tidak dimotivasi secara langsung. Akan tetapi motivasi memainkan peran penting dalam tindakan manusia. Kritik Yang dilakukan Giddens Terhadap Materialisme Historis Giddens berniat melakukan rekonstruksi kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren dalam konstitusi kehidupan sosial. Anthony Giddens mengajukan teori sosial baru yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap teori sosial klasik. Tendensi subjektivisme dan objektivisme dengan berbagai variannya, diwacanakan Giddens dengan teori strukturasi. Rekonsiderasi terhadap karya Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber, merupakan awal revisi radikal Giddens dalam membangun teori strukturasi. Teori strukturasi merupakan salah satu usaha monumental dalam membedah agensi dan struktur sebagai dualitas. Ia memperkenalkan teorinya sejak 1970, terutama dalam tulisannya bertajuk, Capitalism and Modern Social Theory: An Analysis of the Writings of Marx, Durkheim, and Max Weber (1971). Giddens juga menerbitkan trilogi: A Contemporary Critique of Historical Materialism (1981); The NationState and Violence (1985) dan Beyond Left and Rigth: The Future of Radical Politics (1994). Kesemuanya merepresentasikan usaha Giddens dalam menjustifikasi teori kritis tentang modernitas. Menurut Giddens, teori kritis harus memiliki tiga pendirian. 133 Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai Pertama, secara metodologis harus memadai sekaitan dengan isu dasar agensi, struktur dan interpretasi sejarah. Kedua, harus dilengkapi analisis institusional terhadap modernitas. Ketiga, harus bergulat dengan apa arti kritik dan bagaimana dijustifikasikan. Dalam The Consequences of Modernity (1990), Giddens menggunakan istilah modernitas “radikal”, “tinggi” atau “terakhir”, untuk mendiskripsikan masyarakat saat ini. Menurut Giddens, masyarakat saat ini, merupakan kontinuasi maupun diskontinuasi masyarakat sebelumnya. Bahkan Giddens memandang modernitas sebagai “juggernaut”, sebuah kereta raksasa yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalannya. Modernitas, menurut Giddens, sekurang-kurangnya pada tingkat tertentu tidak terkontrol. Kritik Giddens Terhadap Perkembangan Masyarakat Sejarah Giddens meneropong tiga asumsi skema evolusioner dalam konsep Karl Marx. Pertama, masyarakat cenderung berkembang dari bentuk organisasi yang relatif simpleks ke bentuk organisasi yang relatif kompleks. Kedua, sumber perubahan sosial pada dasarnya endogen karakternya. Ketiga, perbandingan antara tipe masyarakat harus dibuat antar tipe-tipe masyarakat yang saling berdekatan atas dasar skala evolusioner. Selanjutnya, Giddens berupaya melakukan dekonstruksi atas asumsi sejarah evolusioner. Sekaligus ia melakukan rekonstruksi kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren dalam konstitusi kehidupan sosial. Dalam konteks ini, ia mengemukakan empat area tegangan utama dalam skema sejarah evolusioner Karl Marx. Pertama, kapitalisme sebagai puncak sejarah dunia. Tema kapitalisme sebagai puncak sejarah dunia, dielaborasi Marx secara ambigu. Sejatinya, kapitalisme 134 memaksimalkan kontradiksi dalam perkembangan kekuatan produksi, sekaligus menyiapkan dasar untuk revolusi. Kapitalisme adalah masyarakat klas yang mengakhiri masyarakat klas dan memaksimalkan alienasi diri. Namun membuka jalan untuk tatanan sosial baru yang mentransendensikan alienasi diri. Kedua , e vo l u si se bag ai ko nt inu it as da n diskontinuitas. Perkembangan kapitalisme menjadi tanda dari rangkaian dis-kuntinuitas fundamental dengan sejarah sebelumnya. Kapitalisme lebih berada dari setiap tipe masyarakat lain yang dibedakan oleh Marx, daripada masyarakat itu berbeda satu dari yang lainnya. Padahal kapitalisme secara distinktif merupakan “masyarakat klas”: relasi kapital/ pekerja vs upahan diprediksikan pada runtuhnya ikatan antara alam, komunitas dan karakteristik individual dari bentuk-bentuk masyarakat lain. Ketiga, kapitalisme sebagai ‘Barat’. Analisis Marx mengenai keterpilahan masyarakat Timur dari tipe masyarakat lain dan interpulasinya sebagai zaman progesif pertama dalam skema evolusioner, mengandung bias Eropa. Sesungguhnya, Marx mengikuti gagasan Montesquieu tentang karakter despotik masyarakat Timur dan gagasan Hegelian tentang karakter stagnan masyarakat Timur. Para pemikir Eropa menganggap masyarakat Timur sebagai barbarian, karena tidak menghargai hak milik privat dan kebebasan individu. Dengan demikian, konsepsi bahwa masyarakat Timur mengalami kebuntuan historis dalam gerakan progresif kemanusiaan, niscaya mengandung bias Eropa. Keempat, kekuatan dan relasi produksi. Dalam skema sejarah evolusioner, Marx menegaskan bahwa pertumbuhan kekuatan produksi mengarah pada meningkatnya tegangan dengan relasi produksi yang ada, akhirnya berpuncak pada transformasi revolusioner masyarakat. Terdapat dua argumen di balik argumen Marx. Pertama, keunggulan produksi atas elemen hidup Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 sosial yang lain. Kedua, produksi merupakan daya penggerak perubahan sosial. Dengan demikian, evolusionerisme Marx merupakan ‘world growth story’ dan menunjukan adanya pemampatan unilinier dan distorsi temporal. apa yang disebut Giddens “hermeneutika ganda,” keterlibatan ganda dari individu dan lembaga. Secara lebih jelas, “kita menciptakan masyarakat dan pada saat yang sama kita diciptakan olehnya.” Daftar Pustaka Kesimpulan Sebagai kesimpulan, teori strukturasi pada umumnya didasari pada poin-poin pokok sebagai berikut: Pertama, fokus mendasar dari teori sosial bukanlah tindakan individu dan pengalaman pelaku, namun praktik sosial. Praktik sosial inilah yang berada pada akar pembentukan individu dan masyarakat. Kedua, praktik sosial dilakukan oleh agen-agen manusia yang berpengetahuan dengan kekuatan sebabakibat, yaitu kekuatan untuk membuat perbedaan. Para pelaku bukanlah orang-orang yang dungu dan bukan pula produk dari kekuatan-kekuatan sosial. Mereka mempunyai kapasitas untuk refleksi-diri dalam interaksi sehari-hari, sebuah kesadaran praktis tentang apa yang mereka lakukan dan dalam keadaankeadaan tertentu juga mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bagaimanapun juga, praktik-praktik sosial ini tidaklah berantakan dan tidak murni voluntaristik, namun teratur dan stabil dalam ruang dan waktu. Singkatnya, mereka dirutinisasi dan dilakukan berulang-ulang. Dalam menghasilkan praktik-praktik sosial, yang merupakan pola-pola jelas yang membentuk masyarakat, para pelaku menggunakan “structural properties” (aturanaturan dan sumber-sumber daya) yang mereka sendiri merupakan ciri-ciri institusional dari masyarakat. Keempat, struktur karenanya bergantung pada aktivitas. Ia merupakan sarana dan sekaligus hasil dari sebuah proses strukturasi produksi dan reproduksi praktikpraktik dalam ruang dan waktu. Proses ini adalah Conway, Dennis dan Jeffery H. Cohen, “Consequences of Migration and Remittances for Mexican Transnational Communities,” Economic Geography 74 (1), 1998. Dunlop, John. “Will the Russians Return from the Near Abroad?” Post-Soviet Geography 35 (4), 1994. Giddens, Antony. Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: MacMillan Press, 1979. _______. New Rules of Sociological Method. London: MacMillan Press, 1976. _______. The Constitution of Society. Berkley: University of California Press, 1984. _______. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press, 1990. _______. The Transformation of Intimacy. Cambridge: Polity Press, 1992. _______. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998. Haralambos dan Holborn. Sociology: Themes and Perspectives, Cet. ke-5. London: Hapercollins, 2000. Jary, David dan Julia Jary. The Harper Collins Dictionary of Sociology. New York: Harper Collins, 1991. Priyono, B. Herry. “Sebuah Terobosan Teoretis,” Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000 _______. Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2. Jakarta: KPG, 2003. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2005. 135 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SOSIOLOGI Abdu Robbir Rosoul Kariim Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga [email protected] Abstrak Tulisan ini berupaya mengeksplor pemikiran Ibn Khaldun yang merupakan filsuf yang masih orisinil karena dialah satusatunya penulis Islam abad pertengahan yang tulisannya tentang masalah politik dan sosial bebas dari orientasi yang idealistik. Dengan menggunakan metode experimental, Ibnu Khaldun berhasil mengananlisis kategori sosial masyarakat Arab menjadi tiga tingkatan: Pertama, masyarakat primitif (waḥsy), di mana mereka belum mengenal peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua, masyarakat pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu: petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta. Sedangkan yang ketiga, masyarakat kota. Masyarakat ini menurutnya sebagai masyarakat berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian. Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok, melainkan juga kebutuhan sekunder dan mewah. Menurutnya, akar sosiologi Arab dapat ditelusuri dari tiga fase dan struktur sosial yang merupakan bentangan sejarah Arab klasik, sebelum masa kenabian. Pertama, struktur rohaniawan, yaitu kelompok yang hidup dan berkembang di daerah gurun. Kedua, struktur feodalisme. Ketiga, Struktur Borjuisme. Di antara indikasi yang dipandang representatif untuk menggambarkan kehidupan kaum borjuis Arab saat itu antara lain, lukisan yang tertera pada mata uang. Lukisan tersebut meliputi nama-nama raja, kota dan lambang kebesaran. Kata kunci: sosiologi, agama, masyarakat, Arab. Abstract This paper aims to explore the Ibn Khaldun idealization who is the original philosopher because he is the only author of medieval Islamic writings about political and social issues free from idealistic orientation. By using the experimental method, Ibn Khaldun successfully analyze social category of Arab society into three levels: First, primitive society (waḥ sy), where they had not known civilizations, nomadic and live wildly. Second, rural communities, sedentary although still modest. Their livelihood from agriculture and livestock. In economy class they are divided into three, namely: farmers, herders of cattle and goat and camel herders. While the third is urban community. This society thinks as a civilized society, in which their livelihood are trade and industry. Their economic and cultural level is quite high, able to meet the needs not only a necessity, but also secondary needs and luxury. According to him, the Arabic sociologycalroots can be traced from the three phases and the social structure that is a stretch of the history of classical Arabic, before the prophet era. First, clergy stucture, the group that live and thrive in desert areas. Second,feudalism structure. Third, bourgeois structure. Among the indications are deemed representative to describe the life of the Arab bourgeoisie that time, among others, the painting shown on the currency. The painting includes the names of kings, city and coat of arms. Keywords: sociology, religion, society, Arab 137 Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim Pendahuluan Induk ilmu pengetahuan adalah filsafat. Banyak pemikiran Ibnu Khaldun yang menyangkut Filsafat karena pemikirannya untuk mencari kebenaran logika sesuai dengan akal pikiran manusia. Dengan tegas Ibnu Khaldun mengakui adanya keterbatasan akal pikiran manusia dalam menjangkau berbagai fenomena yang ada di dunia. Namun beliau juga meyakini bahwa fenomena yang tidak terjangkau akal pikiran manusia ada dalam realitas dunia, misalnya soal ketuhanan, eskatologi, kerohanian, wahyu dan kenabian. Hendaknya disadari bahwa setiap orang dengan persepsinya hanya mampu menangkap fenomesa terbatas pada kadar luas persepsinya sendiri saja, sehingga setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri tentang fenomena. Ibnu Khaldun sering membuat kritik terhadap filsafat dan para filsuf yang hendak mendalami keimanan dengan filsafat. Kadang kritiknya sangat filosofis sehingga sebagai menjadi pemikiran filsafat tersendiri. Dengan menyingkirkan pengaruh-pengaruh Aristoteles dan Neoplatonesma, Ibnu Khaldun adalah orang yang bebas dan orisinil dalan filsafat Islam. Orisinalitas pemikiran Ibnu Khaldun terletak pada fakta bahwa dialah satu-satunya penulis Islam abad pertengahan yang menulis tentang masalah politik dan sosial bebas dari orientasi yang idealistik. Tidak sebagaimana Al-Farabi yang mengutuk kehidupan kota, Ibnu Khaldun dengan serius dan realistis menganalisa kehidupan kota untuk memahami dan beradaptasi dengannya. Akan tetapi, karena kadang begitu tajam membuat kritik terhadap beberapa tokoh fisafat, ia sering dikatakan memusuhi filasafat, walaupun sebenarnya dia sendiri adalah seorang filsuf, malah sering disebut “the great muslim philosopher.”1 1 Hakimul Ikhwan Affadi, Akar Konflik Sepanjang Zaman (Elaborasi pemikiran Ibn Khaldun) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 41. 138 Penulis mencoba untuk mngemukakan gagasangagasan Ibnu Khaldun mengenai Sosiologi dari kitab al-Muqaddimah dan al-‘Ibar agar mendapatkan informasi mengenai kehidupan Ibnu Khaldun baik secara sosial, politik maupun sejarah. Ibnu Khaldun : Sosok, Ranah, Gagasan dan Karya Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyuddīn ‘Abd al-Rahmān ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abī Bakr Muhammad ibn al-Ḥasan ibn Khaldūn. Beliau lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332. Beliau wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406 M.2 Ibnu Khaldun mempelajari Ilmu Agama dari Ayahnya sendiri kemudian mempelajari Bahasa pada sejumlah guru, yang terpenting ialah Abu Abdillah Muhammad ibn al-Arabi al-Hashayiri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Bahr, ia mempelajari Fiqh, dan ilmu ilmu lainnya seperti filsafat, teologi, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi.3 Ibnu Khaldun dilahirkan dan menjalani masa kanak-kanak dalam kondisi masyarakat yang mengalami perubahan besar-besaran sebagai akibat dari kemunduran dan disintegrasi umat Islam dan pertikaian kerajaan-kerajaan Islam sehingga jatuh ke tangan pasukan Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk, maka Khaldun kecil sudah harus terombangambing dalam pergolakan politik dunia. Di samping itu, ketika dia berusia 18 tahun sebagian besar Afrika Utara diserang wabah penyakit yang dahsyat yang menimpa hampir seluruh umat Islam sampai ke Italia dan Negara Eropa lainnya. Peristiwa ini mengakibatkan orang tua dan guru-gurunya meninggal termasuk sebagian penduduk Tunisia. Ibnu Khaldun sendiri terhindar dari wabah dan berkeinginan pindah ke 2 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 139. 3 Ahmad Yarí, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 104. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Maroko bersama-sama guru dan teman-temannya, tapi dicegah oleh kakaknya. Sehingga dia mendapat kesempatan untuk bekerja di kerajaan dengan Raja Abu Muhammad Ibn Tafrakin.4 Setelah berusia 20 tahun ia beralih ke dalam kencah politik, yang penuh pergolakan yang mewarnai Maghrib ketika itu, dan diangkat menjadi anggota majlis ilmu pengetahuan dan menjabat “kitabah” di Maghrib oleh Abu Inan yang menjadi raja pada waktu itu, karena kedekatan antara keduanya. Lalu ia pindah ke kota kairo dan mengajar di masjid Al-Azhar. Karena kepandaiannya dalam mendekati penguasa, ia diangkat menjadi pengajar di perguruan al-Qamhiah, dan kemudian diangkat menjadi hakim agung mahzab malikiyyah. Ia memangku jabatan ini sebanyak tiga kali sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di kairo. Ibnu Khaldun meninggal dunia pada usia tujuh puluh empat tahun, selama 24 tahun di Mesir ia merivisi karya besarnya Al-‘Ibar, dan memperluas penjelasannya. Jika diklasifikasikan, fase kehidupan Ibnu Khaldun terbagi dalam empat fase yaitu: Pertama, fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran hingga berusia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunis. Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghrib dan Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M. Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibn Salamah milik Banu Arif, yaitu sejak 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M. Keempat, fase dalam mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.5 Ibnu Khaldun tidak hanya seorang yang disiplin menuntut ilmu dan mengamalkannya. Dia juga produktif di dalam menuliskan pengetahuan di atas kertas. Maka dari itu muncullah karya-karya yang monumental yaitu: Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan. Buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya. Bagian ini berisi enam bab dan dari setiap bab tersebut memiliki bagianbagian tersendiri. Pokok pembahasannya berkisar pada permasalahan sosial kemasyarakatan. Misalnya pemerintahan, keadaan politik suatu negara, keadaan suku yang mendiami suatu tempat (suku pedalaman baduwi), masyarakat perkotaan, serta masih banyak lagi.6 Kitab al-‘Ibār, wa Dīwān al-Mubtada’ wa alKhabar, fi Ayyām al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min żawi al-Sulṭān al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka 4 A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan asal usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), 9-11. 5 Ibid., 140. 6 Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), 97-98. 139 Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim (orang-orang Eropa). Buku ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negaranegara Maghribi (Afrika Utara). Kitab al-Ta’rīf bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhū Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.7 Ibnu Khaldun dikenal baik di dunia timur maupun di dunia barat karena karyanya yaitu kitab al-‘Ibār terutama pada bagian muqaddimahnya. Ibnu Khaldun menerangkan dalam muqaddimahnya tentang gejalagejala sosial yang ada di masyarakat. Dalam bagian ini pula pembaca akan mendapatkan definisi yang mengagumkan tentang sejarah, bahwa ia: ”pada sisi eksternalnya (ẓāhir) tidak lebih dari penginformasian mengenai peperangan, negara-negara dan masyarakat pada masa silam, tetapi pada sisi internalnya (bāṭin) merupakan observasi, analisis dan kajian secara cermat terhadap prinsip-prinsip semesta dan sebab-sebab yang mendasarinya. Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya secara mendalam.8 Ibnu Khaldun dikenal pula sebagai tokoh pertama penggagas filsafat sejarah. Beliau menyatakan bahwa di dalam karya-karya sejarah itu banyak sekali terdapat kekeliruan, ketergelinciran dan kesalahan. Dalam muqaddimahnya pula Ibnu Khaldun memaparkan syarat-syarat seorang sejarawan serta sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah oleh para sejarawan 7 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 144. 8 Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 65-66 140 terdahulu. Ibnu Khaldun membagi sejarah ke dalam dua aspek: aspek lahir dan aspek batin. Secara lahir, sejarah tidak lebih daripada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara dan kejadiankejadian pada abad-abad yang silam. Dari pernyataan tersebut Zaynab al-Kuhadhayri menyatakan, kalau aspek lahir adalah sejarah dalam pengertian umum, maka aspek batinnya adalah salah satu cabang dari hikmah atau filsafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang mengendalikannya.9 Konsepsi tentang asal-usul suatu negara tidak terlepas dari yang namanya tabiat khusus manusia. Dari proses berfikir tentang pertahanan suatu kelompok terhadap serangan kelompok lain, memuculkan sosok yang mempunyai kekuatan dan wibawa. Sehingga kelompok lain tidak dapat menyerang kelompok tersebut. Inilah yang dinamakan kekuasaan otoritas. Para filosof berusaha memberikan dalil yang logis tentang adanya nubuwwah (satu watak khusus dari manusia). Akan tetapi penetapan para filosof ini terlihat tidak logis karena wujud (existensi) dan penghidupan manusia itu dapat juga tanpa adanya nubuwwah, yaitu melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh seseorang yang berkuasa sesukanya atau dengan bantuan dari suatu ras golongan.10 Gagasan Ibnu Khaldun terhadap Sosiologi Ibnu Khaldun menjadi kiblat penelitian sosial bagi para peneliti sosial Barat. Hal ini terjadi karena ditemukannya muqaddimah pada abad ke-19 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, yang ketika itu sedang menggandrungi sosiologi, maka perhatian sejumlah ilmuan Barat terarah kepada segi-segi yang sama antara masalah yang diutarakan dan dibahas mereka dan masalah yang dikemukakan Ibnu Khaldun. 9 Badri Yatim, Historiografi Islam, 144-152. Osma Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), 140-142. 10 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Sebagaimana diketahui ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam Muqaddimah-nya yang terdiri dari enam bab, ia mengkaji “realitas-realitas al-‘Umrān al-Basyarī” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomena fenomena sosial,” dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi.11 Sebagaimana perkataannya dalam Muqaddimah bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan dunia tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti keprimitifan, keramahtamahan dan solidaritas kelompok; tentang revolusi-revolusi dan pemberontakan-pemberontakan oleh sekelompok masyarakat melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan-kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam-macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri. Adapun metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial adalah metode yang ilmiah karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak experimental.12 Dan yang lebih fenomenal adalah perkataan N.Schmidt, dalam karyanya Ibnu Khaldun : Historian, Sosiologist, and Philosopher, “ia adalah seorang pemikir seperti halnya Comte, Thomas Mann, dan Spencer, ia mengemukakan sosiologi yang lebih maju sampai ke batas yang tidak dapat dicapai Comte sendiri pada penggal pertama ke-19. Andaikata para pemikir yang telah menyusun kembali sosiologi menelaah 11 Thawil Akhyar Dasoeki. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, 98. Yusri Abdul Ghani Abdullah. Historiografi Islam, 67. 12 Muqaddimah Ibnu Khaldun dan menimba kenyataankenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan yang telah ditemukan si jenius Arab itu pada masa jauh sebelum mereka, niscaya mereka akan mampu mengemukakan ilmu baru ini lebih cepat.13 Dalam konteks sosiologi, Ibnu Khaldun membagi masyarakat menjadi tiga tingkatan: pertama, masyarakat primitif (waḥsy), di mana mereka belum mengenal peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua, masyarakat pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu: petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta. Sedangkan yang ketiga, masyarakat kota. Masyarakat ini menurutnya merupakan masyarakat berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian. Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok, melainkan juga kebutuhan sekunder dan mewah.14 Ibn Khaldun menyebutkan moral badui dan berperadaban terbagi ke dalam dua macam; datang secara alami dan muncul dengan direkayasa. Menurutnya, masyarakat badui lebih memiliki sifat pemberani ketimbang kalangan masyarakat kota. Sebab utamanya, masyarakat kota banyak menikmati ketenangan, beristirahat, tenggelam dalam kenikmatan dan bermewah-mewahan. Generasi demi generasi telah lahir dari kedua orang tuanya, baik lelaki atau wanita. Anak lelaki mengikuti kebiasaan bapaknya, sedangkan yang wanita mengikuti ibunya. Sementara masyarakat badui kurang mengadakan perkumpulan dalam sebuah komunitas. Mereka melakukan pertahanan terhadap 13 Luthfi Yansyah El-Sanusy, Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan) Lihat, http://www.scribd. com/doc/12831325/Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-KarlMarx-Sebuah-Per-Banding-An. 14 Abdurrahman Ibnu Khaldun al-Maghriby, Muqaddimah, cet ke-5 (Beirut Libanon: Dar al-Qalam, 1983), 120. 141 Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim diri mereka sendiri, tidak mengandalkan orang lain, dan condong menggunakan senjata. Ibn Khaldun menganalisa juga tentang pengaruh iklim terhadap moral manusia. Wilayah yang diduduki oleh orang-orang dengan udara panas seperti Sudan dan negara Arab, biasanya mereka kurang berhati-hati dan banyak bergembira. Begitu juga dengan masyarakat yang berasal dari teluk. Sedangkan penduduk yang wilayahnya kering biasanya mereka mempunyai tabiat selalu merasakan kesedihan. Sebab utamanya, kemungkinan masih menurut pandangannya karena mereka tinggal di wilayah dan daerah yang iklimnya bisa mempengaruhi moral mereka. Ketika menganalisa struktur masyarakat, ia membaginya dalam tiga format, yaitu: bangsa Arab, Barbar dan ‘Ajam. Dari tiga struktur tersebut, ia menempatkan bangsa Arab pada masyarakat pedesaan yang primitif, karena mereka hidup sebagai penggembala unta yang harus berpindah-pindah.15 Maksud Arab ini konotasinya lebih dekat ke pemaknaan badui. Mereka terbiasa mempertahankan diri dari musuh dan tantangan yang setiap saat menghantui. Begitu juga dengan alam yang tidak bersahabat. Mereka tidak pernah melepaskan senjatanya, karena setiap saat bahaya akan mengancam. Dengan pengalaman ini, bangsa Arab menurut Ibnu Khaldun mampu merebut kekuasaan dari pihak lain dengan ‘aṣābiyah-nya. Namun, kekuasaan ini cepat lepas karena kondisi mereka yang berpindah-pindah. Padahal, kekuasaan itu bisa dipertahankan melalui dukungan solidaritas dari golongannya yang terus membantu dan membelanya dalam setiap waktu. Hal ini sulit diperoleh karena setiap waktu, sebagai penggembala, mereka dituntut untuk berkelana. Kondisi di atas, menurut Ibnu Khaldun semakin lama mengalami pergeseran seiring dengan bergantinya waktu. Struktur masyarakat Arab juga mengalami perubahan berdasarkan perubahan orientasi dan 15 Ibid., 121. 142 sosiologi, sebagaimana yang dianalisa oleh Mahmūd Isma’īl, dalam bukunya Sosiologiy al-Fikr al-Islāmy. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat bukanlah merupakan pengaruh dari luar melainkan merupakan reaksi yang timbul dalam intern masyarakat yang menjadi tabiatnya. Menurutnya, akar sosiologi Arab dapat ditelusuri dari tiga fase dan struktur sosial yang merupakan bentangan sejarah Arab klasik, sebelum masa kenabian. Ketiga struktur ini nantinya akan mempengaruhi wacana pemikiran sesudahnya.16 Ketiga struktur tersebut adalah : Pertama, struktur rohaniawan. Kelompok ini hidup dan berkembang di daerah gurun. Mereka sangat fasih melantunkan syair-syair Arab. Kedua, struktur feodalisme. Dimulai sejak 1300527 SM. Dari tinjauan sejarah, struktur ini merupakan generasi pertama yang telah mengalami perubahan. Perubahan dari rohaniawan ke feodalisme ditandai dengan tumbuhnya solidaritas Arab, seperti negeri Qitban, Muayan, Saba’ dan negeri Hamir. Namun pengaruh dari perubahan ini menjadikan negeri-negeri yang pada mulanya bekerja sama dalam hal pengairan. Selanjutnya berangsur menjadi kekerasan. Kelompok yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin dan sejak saat itulah mereka terbagi dalam kasta. Tanah-tanah pertanian dibagikan kepada para pemimpin sektor/wilayah. Ketiga, struktur borjuisme. Di antara indikasi yang dipandang representatif untuk menggambarkan kehidupan kaum borjuis Arab saat itu, antara lain, lukisan yang tertera pada mata uang. Lukisan tersebut meliputi nama-nama raja, kota dan lambang kebesaran. Menurut para sosiolog, lukisan namanama raja menunjukkan bahwa masyarakat Arab prakenabian dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu: kelompok yang berpegang pada agama, tetapi cenderung berperilaku sekuler dan kelompok yang 16 Mahmūd Isma’il, Sosiolojia al-Fikr al-Islāmy; Muhāwalah Tanẓīr (Cairo, Dār al-Ṡaqāfah, 1988), 46-77. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 cenderung sekuler an sich.17 Contoh formulasi yang kedua ini adalah negeri Saba’. Sosiologi Pasca Ibnu Khaldun Setelah Ibnu Khaldun wafat, banyak para pakar sosial mulai mengkaji kembali pemikiran-pemikiran yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun seperti: Aguste Comte (1798 - 1857).18 Pada tahun 1824 ia menulis buku Sistem Politik Positif. Dan mengembangkan sistem filsafat positif. Positivisme adalah dasar menyusun masyarakat baru. Positivisme adalah paham yang membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan (science atau sains). Hal poisitif (positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk menilainya. Hal ini bertentangan dengan kejadiankejadian yang kita khayalkan, suka dengarkan dan parcayai. Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji melandasi pengetahuan sah. Herbert Spencer. (1820-1903)19 Dalam bukunya Social Statics, masyarakat disamakan dengan suatu organisme. Perlu dicatat yang dimaksud dengan ‘organisme sosial’ menurut Spencer adalah positivistis dan deterministis. Masyarakat adalah organisme. Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang berlaku di pertumbuhan fisik juga berlaku di evolusi sosial. Jadi biologi dan sosiologi adalah sama. Masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tangung jawab anggotanya dan dibawa kuasa suatu hukum. Fungsi 17 An sich adalah sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti: “pada dirinya sendiri”, “pada hakekatnya” atau “harfiah”. Konsep filsafat “Ding an sich” diperkenalkan oleh sang filsuf Prusia Immanuel Kant. 18 Bambang Harjono, Bahan Ajar Sosiologi: suatu Pengantar (Bandung: STT-INTI, 2012), 13. 19 Ibid., 14-15. koordinasi dan pemersatu yang dilakukan oleh sistem syaraf di tubuh dilakukan oleh sistem pemerintahan di badan sosial. Sama seperti tubuh menghasilkan metabolisme untuk kebutuhan dan pemeliharaan dan ketahanan badannya. Demikian juga masyarakat mempunyai sistem ekonomi demi kelangsungan dan perkembangannya. Sama seperti distribusi di tubuh: ada pembuluh darah di masyarakat; ada infrastruktur dan jaringan transpotasi; jembatan; saluran telepon dsb. Emile Durkheim. (1857 - 1917) 20 Sebetulnya berangkat dari keberbedaan dua sudut pandang yaitu organisisme yang menekankan kepada masyarakat lebih dari individu dan mekanisme yang mendahulukan individu dari masyarakat yang dirasakan memiliki banyak kekurangan di dalam menjelaskan realitas yang sesungguhnya, diteruskan dengan menyatukan kedua unsur tadi di dalam kesatuan yang ternyata tidak menyajikan kejelasan yang diinginkan. Muncul pendapat berikutnya bahwa di dalam diri manusia sudah tertanam dua unsur tadi. Jadi keberadaan kedua unsur (individualitas dan sosialitas manusia) tidak di sangkali tetapi disadari dan diterima untuk kemudian dikembangkan menjadi teori sosiologi yang mencoba menjelaskan realitas sosialnya. Jadi sifat serba dua dari manusia disandingkan dengan kenyataan masyarakat dan individu yang satu adanya. Serba dua ini bisa dicontohkan seperti jiwa dan badan manusia yang membentuk kodrat manusia. Jadi dalam alam penginderaan dan kenafsuan manusia mengalami diri sebagai individu; dalam alam pengertian umum dan moralitas ia menghadapi suatu realitas yang supra individu. Sehingga manusia disebut homo duplex. Bagaimana manusia merasakan fisik biologis dan sekaligus spiritual budaya? Apakah benar badan mendasari alam pertama dan jiwa mendasari alam kedua? Durkheim tidak meyakini jiwa sebagai alam kedua, dia menempatkan masyarakat sebagai yang 20 Ibid., 22-23. 143 Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim terpisah dari individu, menghasilkan kesan seolah-olah di atas dan di luar individu masih ada alam nilai-nilai yang tidak berakar di dalam individu. Jika analoginya masyarakat sama dengan jiwa, maka masyarakat itu sebetulnya tidak di luar individu, melainkan di dalam individu sehingga ada kesatuan di dalam individu dan menjadi bagian di dalam individu. Dalam diri manusia pengaruh orang lain dan predisposisi bertemu dan menjadi satu. Jadi tetap ada pengaruh individual dan sosial di dalam diri manusia dan dalam hal ini Durkheim memilih pengaruh sosial lebih menentukan. Masih banyak lagi para tokoh-tokoh sosiologi yang lain yang menambah kekayaan ilmu Sosial seperti Max Weber, Antoni Gidden serta para tokoh lain yang nota bene kemunculan teori mereka antara Abad ke 18 sampai abad ke 19. Hal ini menguatkan bahwa Ibnu Khaldun merupakan tokoh peletak dasar Ilmuilmu sosioal karena dia hidup antara abad ke 13 dan abad ke 14. Kajian Ilmu dari seorang Ibnu Khaldun masih subur hingga hari ini. Yang menarik adalah perhatian seorang Mark Zuckenberg kepada karya fenomenal yang berjudul al-Muqaddimah. Dalam Bussinessinsider diterangkan bahwa tahun baru 2015 Mark seperti biasa mulai mendiskusikan satu topik setiap dua minggu sekali. Nah, pada kesempatan itu dia memilih karya Ibnu Khaldun sebagai trending topic untuk diskusi dalam tema “Sosial dan Bisnis”, dia juga menjelaskan bahwa : “It’s a history of the world written by an intellectual who lived in the 1300s. It focuses on how society and culture flow, including the creation of cities, politics, commerce and science”. “While much of what was believed then is now disproven after 700 more years of progress, it’s still very interesting to see what was understood at this time and the overall worldview when it’s all considered together”.21 Dia menerangkan bahwa buku fenomenal itu merupakan sejarah dunia yang ditulis seorang intelektual yang hidup pada tahun 1300. Buku tersebut menerangkan tentang aliran budaya, peradaban sebuah kota, politik, perdagangan dan ilmu pengetahuan. Sementara kepercayaan yang ada sekarang bisa dibantah setelah buku ini memberikan progress selama 700 tahun, hal ini sangat menarik untuk mengetahui apa yang dipahami sekarang ini dan pandangan di seluruh dunia ketika semunya dipahami bersama. Menurut Syafii Maarif, salah satu tesis Ibnu Khaldun yang sering dikutip adalah “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi al-Muqaddimah menjadi tiga bagian, di antaranya:22 Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, al-Muqaddimah mengupas soal Ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke 14. Daftar Pustaka Affadi, Hakimul Ikhwan. Akar Konflik Sepanjang Zaman (Elaborasi pemikiran Ibn Khaldun). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Ali, A. Mukti. Ibn Chaldun dan Asal Usul Sosiologi. Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970. 21 Tulisan ini dirilis pada laman http://www.businessinsider. co.id/mark-zuckerberg-the-muqaddimah-2015-6/?r=US&IR=T#. VzZkGtJ9602 yang diunduhpadahariJumat 14 Mei 2016, berita ini juga dirilis di beberapa media Nasional seperti Detik.com dan Republika.co.id 22 Yesmil Anwar, Sosiologi untuk Universitas (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), 114. 144 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Anwar. Sosiologi untuk Universitas. PT Refika Aditama: Bandung, 2013. Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama Semarang, 1993. Ghani, Yusri Abdul, Abdullah. Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Luthfi Yansyah El, Sanusy. Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan). dalam http://www.scribd.com/doc/12831325/ Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-Karl-MarxSebuah-Per-Banding-An. Raliby, Osma. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1962. Harjono, Bambang. Bahan Ajar Sosiologi : Suatu Pengantar. STT-INTI: Bandung, 2012. Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Ismā’īl, Mahmūd. Sosiolojia al-Fikr al-Islāmy; Muhawalah Tanẓīr. Cairo: Dār al-Ṡaqāfah, 1988. Yarí, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Khaldun, Abdurrahmān Ibnu. Muqaddimah, Dār alQalam, Beirut Libanon, cet ke-5, 1983. 145 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 PETER L. BERGER DAN GAGASANNYA MENGENAI KONSTRUKSI SOSIAL DAN AGAMA Ahmad Nur Mizan Yayasan Pondok Pesantren Madania Yogyakarta [email protected] Abstrak Artikel ini berupaya mencari awal mula sistem masyarakat agama terbentuk oleh masyarakatnya. Apakah sistem masyarakat agama terjadi atas penegtahuan dan pengaruh individu atau bahkan sebaliknya. Hal inilah yang menjadi fokus kajian artikel ini. Melalui kajian terhadap pemikiran Peter L. Berger, bahwa sistem sosial masyarakat agama terbentuk atas dialektika antara diri manusia dengan dunia sosio-kulturnya. Masyarakat adalah produk manusia, dan manusia adalah produk masyarakat. Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tahap pertama adalah eksternalisasi, yakni suatu proses dimana manusia menuangkan diri dan kemanusiaannya ke dalam dunia (lingkungannya), sehingga lambat laun dunianya itu menjadi dan nampak sebagai dunia manusia. Apabila dunia yang sudah terbentuk oleh eksternalisasi ini semakin mengukuhkan diri dan kembali menghapai manusia sebagai suatu faktisitas yang berdiri sendiri, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivitasi. Agar dunia obyektif ini tidak menjadi asing bagi manusia yang telah menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subyektivitas manusia, menjadi bagian dari struktur subyektif kesadaran. Inilah tahapan ketiga dari proses ini, yakni internalisasi. Kata kunci:Peter L. Berger, konstruksi sosial, Eksternalisasi, Objektivasi Abstract The article attempts to look for the beginning of the religious community systems formed by society. Does the system of religious communities occur on the knowledge and influence of individuals or even vice versa. This is the focus of study of this article. Through the study of Peter L. Berger though, that the social system of religious communities formed on the dialectic between the human self with his socio-culture world. Society is a human product, and man is a product of society. Berger and Luckmann said that the dialectic between the individual and community create a society and society creates individuals. This occurs through the dialectical process of externalization, objectivities and internalization. The first step is theexternalizationthat is a process by which human beings pour themselves and their humanity into the world (environment), so that gradually it became his world and the world appears as a human being. If the world which has been formed by externalizing this reinforces the human face and returned as a stand-alone facticity, then at that time the process enters the step of objectivities. So that the objective world is not alien to human beings who have created it, it must be cultivated again become a part of human subjectivity, becomes part of the structure of subjective consciousness. This is the third step of this process, namely internalization. Keywords: Peter L. Berger, social construction, externalization, objectivities 147 Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan Pendahuluan Peter L. Berger adalah sosiolog Amerika yang selama dua dasawarsa terakhir ini dikenal secara luas sebagai ahli sosiologi kontemporer. Ia bersama Lukcmann menggagas teori konstruksi sosial (social construction) yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Di dalamnya terkandung pemahaman bahwa sebuah kenyataan itu dibangun secara sosial, yang mana keduanya menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Dengan tujuan untuk menjelaskan adanya dialetika antara diri manusia dengan dunia sosio-kulturnya. Dalam waktu relatif singkat, Berger telah dicatat sebagai ahli sosiologi yang sangat berarti, khususnya dalam tradisi sosiologi humanistik. Memang Berger tidak pernah membangun teori besar (grand theory), namun berbagai karya Berger telah ikut memperkaya wawasan sosiologi kontemporer.1 Dalam permasalahan tentang agama, Berger mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Dengan maksud bahwa agama sesungguhnya juga dibentuk secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi agama bergantung pula pada faktor sosial, historis, dan kulturalnya.2 Sehingga Berger memahami bahwa agama merupakan bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat eksternalisasi dan sebagai sebuah realitas sosial. Untuk itu, di dalam makalah ini akan lebih membahas bagaimana gagasan Berger dalam teori konstruksi sosialnya dan bagaimana pula gagasan Berger mengenai agama itu sendiri. Peter L. Berger: Sosok, Ranah, Gagasan dan Karya Berger L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria, pada tanggal 17 Maret 1929, kemudian dibesarkan di 1 Robert Wuthow, Cultural Analysis (London: Routledge & Kegal Paul, 1984), 8-11. 2 Syamsul Arifin, “Agama Sebagai Realitas Sosial” Jurnal Kajian Islam, Volume 1 No.1, April 2009, Universitas Muhammadiyah Malang, 2. 148 Wina. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Inggris pada tahun 1946 dan berimigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II dan belajar di State Island dengan mengambil filsafat sebagai bidang utamanya. Pada tahun 1949, ia lulus dari Wagner Collage dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).3 Ia juga pernah menjadi guru besar sosiologi di Graduate School of Rudgers University dan Douglass College, serta beberapa tahun menjadi President of the Society of the Scientific Study of Religion.4 Ia menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar MA dan Ph.D pada tahun 1954 dan menulis disertasi yang berjudul “A Sosiology of the Bahai Movement.” Setelah menyelesaikan studinya, Berger mengikuti wajib militer angkatan darat Amerika selama dua tahun dan ia diberikan tugas sebagai seorang penerjemah dan juga sebagai pekerja sosial di sebuah klinik penyakit jiwa. Kemudian Berger bekerja selama satu tahun pada Evangelicial Academiy di Boll, Jerman. 5 Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi profesor sosiologi dan teologi di Universias Boston dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi yang beberapa tahun lalu 3 Selama di sinilah Berger bergabung dengan para tokoh seperti Alfred Schutz, Carl Mayer dan Albert Salomon yang mana mereka semua adalah guru-guru Berger. Di samping itu juga, Berger menjalin persahabatan dengan Thomas Luckmann, seorang mahasiswa New School fer Research, yang kemudian menjadi rekan yang banyak mempengaruhi karier intelektual Berger. 4 M. Sastrapratedja, dalam Pengantar dari buku Kabar Angin Dari Langit-Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (Jakarta: LP3ES, 1992), Xiv. 5 Eko Benny Subianto, “Agama sebagai sebuah realitas sosial” Skripsi mahasiswa UI, 1986, 2. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia.6 Karya-karya tulisan Berger yang berpengaruh antara lain adalah: Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective (1963) (bahasa Indonesia: Humanisme Sosiologi, Inti Sarana Aksara, Jakarta, 1985); The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966, dengan Thomas Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990); The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967) (bahasa Indonesia: Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991); A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural, 1970 (bahasa Indonesia: Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, LP3ES, Jakarta, 1991). Kini ia menulis tentang sosiologi agama dan kapitalisme: The Capitalist Spirit: Toward a Religious Ethic of Wealth Creation (editor, 1990); Peter Berger and the Study of Religion, 2001; Homeless Mind : Modernization and Consciousness, 1974; Redeeming Laughter: The Comic Dimension of Human Experience, 1997; Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, 1974 with Samuel P. Huntington; The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. et al. 1999; Questions of Faith: A Skeptical Affirmation of Christianity (Religion and the Modern World), 2003; A Far Glory: The Quest for Faith in an Age of Credibility, 1992; Heretical Imperative: Contemporary Possibilities of Religious Affirmation; The Limits of Social Cohesion: Conflict and Mediation in Pluralist Societies : A Report of theBertelsmann Foundation to the Club of Rome; Other Side of God, 1981. Berger mendapatkan penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Loyola, Wagner College, Universitas Notre Dame, Universitas Jenewa 6 https://annisanurlaila.wordpress.com/2013/10/05/ makalah-peter-l-berger/ dan Universitas Munchen. Ia juga menjadi anggota kehormatan dari berbagai perhimpunan ilmiah.7 Gagasan Konstruksi Sosial Peter L. Berger Teori konstruksi sosial (social construction) di kemukakan oleh Berger dan Lukmann yang merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Di dalamnya terkandung pemahaman bahwa sebuah kenyataan itu dibangun secara sosial serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.8 Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman, kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.9 Tujuan pokok sosiologi adalah menjelaskan adanya dialetika antara diri manusia dengan dunia sosio-kulturnya. Inilah sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektis, bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia adalah produk masyarakat.10 Berger dan Luckmann mengatakan bahwa terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.11 7 https://annisanurlaila.wordpress.com/2013/10/05/ makalah-peter-l-berger/ 8 I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, 221. 9 Peter L. Berger & Thomas Lukhmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan (Jakarta: LP3ES, 1190), 1. 10 Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial, dalam Agama dan Tantangan Zaman”, Pilihan Artikel Prisma 1975-1984 (Jakarta: LP3ES, 1985), 216. 11 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Jakarta: Kencana, 2008), 14-15. 149 Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan Tahap pertama adalah eksternalisasi, yakni suatu proses di mana manusia menuangkan diri dan kemanusiaannya ke dalam dunia (lingkungannya) sehingga lambat laun dunianya itu menjadi dan nampak sebagai dunia manusia. Apabila dunia yang sudah terbentuk oleh eksternalisasi ini semakin mengukuhkan diri dan kembali menggapai manusia sebagai suatu faktisitas yang berdiri sendiri, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivasi. Agar dunia obyektif ini tidak menjadi asing bagi manusia yang telah menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subyektivitas manusia, menjadi bagian dari struktur subyektif kesadaran. Inilah tahapan ketiga dari proses ini, yakni internalisasi. 12 Masyarakat merupakan produk manusia melalui eksternalisasi. Melalui objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas sui genesis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.13 Ini berarti ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan berada di luar (objektivasi) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar seakan berada di dalam. Masyarakat adalah produk individu sehingga menjadi kenyataan obyektif melalui proses eksternalisasi dan individu juga produk masyarakat melalui proses internalisasi.14 Setelah hal itu terjadi dan berjalan, maka terbentuklah suatu pembenaran (justifikasi) nilai. Nilai-nilai yang dipahami dan diamalkan dalam masyarakat manusia sangatlah beragam dengan sumber yang beragam pula. Ada yang bersumber dari agama, adat istiadat, hukum, norma, budaya, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, di antara banyak nilai yang menjadi acuan manusia dalam berperilaku, ada 12 Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono (Jakarta: Lp3ES, 1991), hlm. 4-31. 13 Ibid., 4-5. 14 Edi Susanto, “Pemikiran Nurcholish Majid Tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik,” Ringkasan Disertasi (IAIN Sunan Ampel: Surabaya, 2011), 20. 150 beberapa nilai yang mempunyai kerapatan, ketegasan dan sekaligus harapan yang pasti dalam memberikan orientasi kehidupan. Nilai-nilai itu memberikan sesuatu kepada manusia yang tidak ditemukan dalam nilai-nilai yang lainnya. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Peter L. Berger, nilai yang dapat memberikan orientasi lebih jika dibandingkan dengan sistem nilai lainnya adalah agama. Menurut Berger, agama mampu memberikan jawaban dan harapan kedamaian pada saat manusia menemui peristiwaperistiwa yang ekstrem. Orientasi “dalam” –inner orientation, yang berada dalam sistem nilai agama tidak ditemukan di dalam sistem lainnya. Oleh karena itu, agama memberikan acuan sosiologis sekaligus teologis dalam tindakan dan perilaku manusia.15 Gagasan Peter L Berger mengenai Agama Mengenai permasalahan tentang agama tidak akan tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Sosiologi sebagai disiplin ilmu empiris mempunyai sudut pandang yang mendasar dibanding dengan teologi. Seorang teolog mengawali kajiannya dengan kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan berusaha melaksanakan berbagai implikasi dari keyakinannya ini terhadap kehidupan manusia. Sebaliknya, sosiolog berangkat dari pengalaman empiris manusia untuk membantu pemahaman akan hakekat Tuhan.16 Pe r m a s a l a h a n k e a g a m a a n m e r u p a k a n kecenderungan seseorang mengapresiakan diri yang memiliki karakteristik universal. Sehingga ekspresi ini menurut Joachim Wach terbagi menjadi tiga bentuk; pemikiran keagamaan, perbuatan keagamaan, dan persekutuan keagamaan. Pemikiran keagamaan merupakan ekspresi dalam bentuk konsep-konsep atau 15 Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial Budaya Banyu Panguripan dalam Agama Katolik,” Religi Jurnal Studi Agamaagama”, Jurnal Vol. IX, No. 1, Januari 2013, 81. 16 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995), 2. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 ajaran teoretis dan intelektual; perbuatan keagamaan merupakan ekspresi implementasi atau implikasi dari konsep-konsep atau ujaran yang bersifat teoretis dan intelektualis tadi; sementara persekutuan keagamaan merupakan ekspresi dalam bentuk masyarakat atau himpunan orang-orang yang memiliki pemikiran dan perbuatan keagamaan yang sama.17 Agama yang merupakan acuan utama perilaku dan tindakan manusia termanifestasikan dalam bentuk “actuating action” dengan berbagai artikulasi simbolik yang melingkupinya. Seluruh artikulasi dari tindakan manusia memiliki perbedaan dari tindakan yang dilandaskan kepada keyakinan agama dengan yang tidak berlandaskan keyakinan agama. Tindakan manusia yang merupakan artikulasi pengalaman keagamaan secara mendasar dilandasi oleh unsur “belief ” (kepercayaan) kepada The Absolute Being dan “meaning” (makna) dari tindakannya tersebut. Dua hal tersebut tidak ditemukan pada tindakan sosial dan budaya manusia lainnya. Unsur belief akan mengendalikan seluruh tindakan manusia dan akan memberikan makna dari tindakan yang dilakukan. Makna tersebut merupakan acuan-acuan perilaku untuk mencapai orientasi-orientasi sosialnya.18 Peter L. Berger berpendapat bahwa apa yang disebut dengan agama sesungguhnya juga dibentuk secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi agama bergantung pula pada faktor sosial, historis, dan kulturalnya.19 Berger memahami bahwa agama sebagai bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat eksternalisasi.20 Secara historis agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif karena agama itu menghubungkan konstruksi realitas yang sulit (precarious reality) dari masyarakat empiris dengan realitas akhir (ultimate reality).21 Agama merupakan semesta simbolik yang memberikan makna kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan tentang realitas seperti kematian, penderitaan ataupun ketidak adilan. Agama telah berfungsi secara sosial menjaga masyarakat dari situasi chaos (kekacauan). Agama melegitimasi institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sakral dan kosmik.22 Maka oleh sebab itu lah, agama disebut dengan langit suci (sacred canopy). 23 Berger berpendapat bahwa agama tidaklah sematamata “efek” atau “refleksi” kehidupan sosial (empiris) saja, melainkan merupakan realitas agama yang dapat mengatasi fenomena manusiawi.24 Sehingga ia berusaha mendefinisikan agama tidak hanya dipahami sebagai suatu “produk manusia” yang dibuat dari bahan yang manusiawi saja, tetapi juga non-manusiawi, karena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak sekadar melindungi, tapi juga “sakral”. Namun, sakral menurut Berger itu tidak hanya berkaitan dengan gambaran sosial saja tetapi juga suatu kepercayaan terhadap wilayah supranatural.25 Namun dalam hal rasionalitas, Berger melihat kehancuran rasionalitas yang dialami agama dalam situasi kontemporer ini. Sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus kekristenan (yang diyakini sebagai tipe awal dari agama-agama dunia), di mana kekristenan sejak lama telah menggali kubur bagi dirinya sendiri. Proses panjang sejarah kekristenan pada akhirnya justru membawa pada proses sekularisasi. Sekularisasi di sini dimengerti sebagai berubahnya pemahaman atau definisi atas kenyataan dari kerangka sakral 17 Sufariyanto, “Metode Fenomenologis Dalam Sosiologi Pengetahuan Peter L. Berger”, Skripsi Mahasiswa Fakultas Sastra, (Universitas Indonesia, 1987), 8. 18 Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial,” 82. 19 Syamsul Arifin, “Agama sebagai Realitas Sosial” Jurnal Kajian Islam, Volume 1 No.1, (Universitas Muhammadiyah Malang: April 2009), 2. 20 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 180. 21 Ibid., 32. Berger, Langit Suci, 128. 23 Berger, The Sacred Canopy, 59. Disebut sacred canopy karena agama melindungi masyarakat dari situasi meaningless, chaos, dan chauvinistic 24 Ibid., 47. 25 Ibid., 177. 22 151 Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan kepada kerangka rasional. 26 Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam bukunya The Sacred Canopy (1990) dan A Rumor of Angels (1970), Peter L. Berger berusaha menjelaskan bagaimana agama diposisikan dalam kehidupan modern. Kedua buku awal Berger itu cenderung menempatkan agama sebagai respon terhadap sekularisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de-birokratisasi. Didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat sekuler lebih berorientasi pada relasi antara agama dan masyarakat dalam konteks state dan bukan pada wilayah individu-individu. Agama tetap menjadi acuan perilaku para taraf individu meskipun hidup dalam konteks masyarakat yang membuat ajaran antara kehidupan agama dengan kehidupan bernegara. Untuk inilah, Peter L. Berger mengungkapkan bahwa agama akan tetap menjadi sacred canopy bagi masyarakat dan agama akan selalu menjadi acuan tindakan manusia.27 Berger dalam bukunya The Sacred Canopy membicarakan agama dari kerangka ilmu sosialnya. Hal ini ditulis dengan judul ‘Protestantism and the Quest for Certainty’ dipublikasikan dalam The Christian Century 26 Agustus - 2 September 1998, halaman 782-796. Berger menjelaskan bahwa tindakan manusia harus mengacu pada agama. Karena agama memberikan unsur kepastian yang memberikan kepastian akan janji keselamatan, kepastian akan datangnya mesias, sampai kepastian akan kebenaran agama itu sendiri. Namun, hal itu menimbulkan terjadinya dinamika pemikiran agama itu sendiri, sehingga klaim-klaim absolutisme yang dibawa agama mulai kehilangan legitimasinya tatkala situasi pluralistik menjamin kebebasan klaim-klaim tersebut yang disorot dari berbagai dimensi dan perspektif. Sebagaimana hal nya di Amerika Serikat yang juga mengalami hal tersebut. Sehingga Peter L. Berger mengklasifikasikannya menjadi tiga jalan untuk memperoleh kepastian tersebut.28 Pertama, dapat diperoleh melalui institusi keagamaan, yaitu gereja. Kita dapat mendapatkannya di lingkungan gereja-gereja timur (gereja ortodoks) dan dalam komunitas Anglikan, Lutheran (khususnya di wilayah Skandinavia). Bentuk yang paling sempurna dari dimensi ini tentu saja Katolik roma dengan sentralitas kekuasaan ilahiah di Vatikan. Kedua, untuk medapatkan basis akan kepastian dan absolutisme, dapat ditemukan dalam lingkungan yang mendasarkan diri, yaitu basis biblikal kitab suci. Semua fenomena akan diterjemahkan selaras dengan pemahaman biblikal yang juga dilematis karena sifat teks itu sendiri yang multitafsir. Dasar rasionalitas dan metode berpikir yang ketat ini menjadi corak dominan kalangan protestan di AS. Ketiga, kepastian bisa ditemukan lewat pengalaman religius itu sendiri. Kondisi pengalaman religius ini seringkali dimediasi oleh para tokoh agama kharismatik, yaitu: para santo dan santa serta perangkat agama lain yang dianggap merepresentasikan kuasa keilahian. Dan seperti yang diungkap Berger, tiga basis kepastian tersebut, saling menegasi satu sama lain dengan dialektika yang menarik. Absolutisasi dari institusi keagamaan dilemahkan legitimasinya oleh prinsip ecclesia semper reformanda. Kekokohan basis teks dari kitab suci dibelokkan oleh metode eksegis yang dikembangkan Luther. Nasib serupa dialami oleh mereka yang mengagungkan pengalaman personal ketika arus utama Lutheran, Calvinis dan para teolog Anglikan menyerang mengecilkan arti ‘enthusiasme’. Belum lagi jika kita memasukkan proses deligitimasi dari luar. Sumber utamanya adalah kemajuan ilmu 26 27 152 Berger, Langit Suci, 128. Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial,” 82. 28 http://www.pustakalewi.com/?mod=catrindetail&id=301 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 pengetahuan dari peradaban manusia. Menariknya, Berger berusaha mendamaikan jurang tak terkira di antara dua kutub relativisme dan absolutisme ini dengan merujuk pemahaman Protestan terhadap Lord’s Supper. Protestanisme klasik menurutnya di satu sisi menolak pemahaman ‘kiri’ bahwa sakramen tersebut murni pengalaman manusia dan simbolik tanpa ada unsur supranatural di dalamnya. Dan di sisi lain, protestanisme menolak doktrin transubstansiasi. Kehadiran kristus dalam sakramen memang diakui, dalam pemahaman Lutheran: in, with, and under, tapi tanpa menghadirkan transformasi metafisis dari realitas.29 Kesimpulan Berger dan Luckmann mengatakan bahwa terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Sehingga masyarakat merupakan produk manusia melalui eksternalisasi. Melalui objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas sui genesis, unik. Melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat. Peter L. Berger berpendapat bahwa apa yang disebut dengan agama sesungguhnya juga dibentuk secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi agama bergantung pula pada faktor sosial, historis dan kulturalnya. Berger memahami bahwa agama sebagai bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat eksternalisasi. Sehingga ia berusaha mendefinisikan agama tidak hanya dipahami sebagai suatu “produk manusia” yang dibuat dari bahan yang manusiawi saja, tetapi juga non-manusiawi, karena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak sekadar melindungi, tapi juga “sakral. Daftar Pustaka Arifin, Syamsul. “Agama Sebagai Realitas Sosial”, dalam Jurnal Kajian Islam, Volume 1 No.1, April, Universitas Muhammadiyah Malang, 2009. Berger, Peter L.. 1967. “The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion”. New York: Anchor Books. Berger, Peter L.& Thomas Lukhmann. “Tafsir Sosial atas Kenyataan”, Jakarta: LP3ES. 1990. Berger, Peter L., “Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial”, Jakarta: Lp3ES, 1991. Bungin, Burhan. “Konstruksi Sosial Media Massa:Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann”, Jakarta: Kencana. 2008. Hamsah, Ustadi. “Konstruksi Sosial Budaya Banyu Panguripan Dalam Agama Katolik”, dalam Religi Jurnal Studi Agama-agama”, Jurnal Vol. IX, No. 1, Januari, 2013. Kleden, Ignas. “Agama dalam Perubahan Sosial, dalam Agama dan Tantangan Zaman”, Pilihan Artikel Prisma 1975-1984, Jakarta: LP3ES, 1985. Manuaba, I. B. Putera. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Sastrapratedja, M. Dalam Pengantar dari buku Kabar Angin Dari Langit-Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: LP3ES, 1992. Subianto, Eko Benny. “Agama sebagai sebuah realitas sosial”, Skripsi mahasiswa UI, 1986. Scharf, Betty R. “Kajian Sosiologi Agama”, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995. Sufariyanto. “Metode Fenomenologis Dalam Sosiologi Pengetahuan Peter L. Berger”, Skripsi Mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1987. Susanto, Edi. “Pemikiran Nurcholish Majid Tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik”, Ringkasan DisertasiIAIN Sunan Ampel: Surabaya, 2011. Wuthow, Robert. “Cultural Analysis”, London, Routledge & Kegal Paul, 1984. 29 http://www.pustakalewi.com/?mod=catrindetail&id=301 153 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA Misbahul Munir Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia [email protected] Abstrak Pemikiran Karl Marx tentang agama memang sangat dalam dan jauh jangkauannya. Ia berpendapat bahwa agama dapat mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Ia juga menyatakan bahwa agama hanya menjadi lompatan perasaan-perasaan semu, pelarian yang menjadi obat penenang atau candu masyarakat. Bagaimana sebetulya pandangan spesifik terkait pemikiran Karl Marx tentang agama tersebut yang menjadi fokus penulis. Berdasarkan pengakajian penulis, pernyataan Marx bahwa agama - seperti candu –merupakan refleksi sesuatu kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama. Karl Marx juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak kehadiran agama, melainkan menolak sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama. Jika dilihat secara komprehensif dan melihat latar belakang serta metodologi dan kerangka berpikirnya, Karl Marx tidak bermaksud menjustifikasi semua agama negatif. Ia pun mengkritik bukan pada agamanya, melainkan manusia atau penganutnya. Memang, tidak semua agama dianggap seperti itu oleh Karl Marx, meskipun kebanyakan orang menganggapnya sebagai paham dan pemikiran untuk semua agama. Agama yang dianggap candu oleh Karl Marx adalah agama yang tidak bisa dirasionalisasikan. Semuanya berbau mistik dan khayalan saja. Tidak membawa kemajuan terhadap dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan rakyat, kemakmuran, sopan santun, dan lain sebagainya yang menyangkut dengan aspek materi. Kata kunci: Agama, Realitas, Candu dan kapitalis Abstract Karl Marx thought about religion is very deep and far-reaching. He argues that religion can alienate man from himself. He also states that religion only become apparent leap feelings, escape becomes tranquillizer or opium of the people. How to actually related specific view Karl Marx thought about the religion that became the focus of the author. Based on the assessment of the author, Marx’s statement of religion - such as opium reflection -is something truth but in reverse. Because people cannot see that the hardship and oppression were created by the capitalist system, then they are given a form of religion. Karl Marx also explained that he did not reject the presence of religion, but rejected the system containing illusions of religion. When viewed comprehensively and look at the background and methodology and frame of mind, Karl Marx did not intend to justify all as the negative religion. He also criticized not on religion, but a man or adherents. Indeed, not all religions are considered as such by Karl Marx, although most people regard it as ideas and thoughts to all religions. Religion is considered an opiate by Karl Marx is a religion that cannot be rationalized. Everything is mystical and imaginary. Do not bring progress to the real world such as the economy, social welfare, prosperity, good manners, and others involved with the material aspect. Keywords: Religion, Reality, Opium and capitalist 155 Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir Pendahuluan Karl Marx adalah sosok yang sering diperbincangkan. Ia mengguncangkan peradaban umat manusia. Pemikirannya dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan banyak orang. Sampai saat ini, pengaruhnya masih menempel kuat dalam pikiran dan tindakan umat manusia di dunia.1 Di satu sisi, Karl Marx adalah seorang filosof fundamental yang tidak hanya berteori saja, ia—dengan pemikirannya—mampu menggerakkan manusia dan mempengaruhi hampir semua disiplin ilmu pengetahuan dewasa saat ini.2 Karl Marx juga dikenal sebagai Generalis Ekstrem karena karya-karyanya yang sangat luas dan ekstensif.3 Karya-karyanya masuk ke dalam banyak disiplin ilmu secara simultan.4 Sosiolog Amerika, Neil J. Smelser, berpendapat bahwa pemikiran Karl Marx, melalui karya-karyanya, merupakan salah satu teori yang paling komprehensif tentang manusia dan masyarakat yang pernah dikenal dunia pengetahuan. Teori itu menjelaskan hampir semua aspek kehidupan sosial dan individual-hakekat manusia, ekonomi, politik, filsafat, stratifikasi sosial, dan bahkan agama.5 Dari sekian banyak teori Karl Marx terhadap aspek kehidupan manusia, adalah teorinya tentang agama yang begitu kontroversial. Pemikiran Karl Marx tentang agama memang sangat dalam dan jauh jangkauannya. Ia berpendapat bahwa agama dapat mengasingkan manusia dari dirinya sendiri,6 pendapatnya ini dapat membuat 1 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, cet. XX (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), 34. 2 Ibid., 90. 3 Karya-karya Karl Marx telah disusun secara kronologis dalam karya Jon Elster, Marxisme: Analisis Kritis, terj. Sudarmaji dan Grup Hermes (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 1986), 8-15. 4 Neil J. Smelser (ed.), Karl Marx on Society and Social Change (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), vii-viii. 5 Ibid., vii-viii. 6 Franz Magniz-Suzeno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 68-70. 156 manusia lupa akan jati dirinya sehingga menjadi pasif yang hanya mengharapkan berkah dari-Nya, tidak dapat merealisasikan dirinya ke dalam dunia nyata dan hanya masuk pada bayang-bayang agama. Agama, bagi Karl Marx, tidak mempunyai kenyataan dalam dirinya sendiri (tidak konkrit) melainkan sekedar gambaran yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa agama hanyalah proyeksi manusia.7 Lebih lanjut, ia mengemukakan pendapatnya bahwa agama hanyalah salah satu dari sekian hal yang menjadikan manusia melompat ke dalam perasaan-perasaan semu serta medan pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Jadi, baginya agama itu sebuah obat penenang, ia (agama) adalah candu masyarakat.8 Lebih parah lagi, agama dianggapnya sebagai ilusi murni yaitu ilusi dengan konsekuensi-konsekuensi jahat. Ia (agama) adalah sesuatu yang paling ekstrim dari ideologi, dari sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah melegitimasi keputusan-keputusan politik para penguasa dan melegalisasi status quo yang ada dalam masyarakat.9 Atas pemikiran-pemikirannya itu, Karl Marx menjadi salah seorang pemimpin ideologi komunis yang terang-terangan akan ketidakpercayaannya terhadap agama secara universal. 10 Dari itu juga, pemikiran yang diciptakannya melahirkan aliran Marxisme sebagai aliran ideologi komunis yang baginya dapat menjadi resolusi atas konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang bermasyarakat.11 Hal inilah yang membuat Karl Marx dibenci para pemeluk agama. 7 Ibid., 6. Ibid., 73. 9 Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions: Religion as Alienation (New York: Oxford University Press, 1996), 138. 10 Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions : dari Animisme E. B. Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noerjaman (Yogyakarta: Qalam, 2001), 242. 11 Penjelasannya, masyarakat menurut Karl Marx dibagi menjadi lima. Pertama, masyarakat tradisional (komunisme primitif) sebagai bentuk masyarakat awal yang sederhana, yang 8 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Pada bahasan kali ini, kami tertarik untuk mengkaji secara spesifik terkait pemikiran Karl Marx tentang agama yang begitu kontroversial tersebut. Apa yang dimaksud dengan agama dalam pemikirannya Karl Marx? Sekiranya, paparan singkat ini dapat menjadi diskusi dari kajian tokoh yang satu ini. Tentunya, hal ini bertujuan untuk memahami pemikiran Karl Marx tentang agama. Karl Marx: Sosok, Ranah, Gagasan dan Karya Karl Marx memiliki postur tubuh yang gempal dan pendek serta berkulit hitam dan mempunyai mata yang cekung tetapi tajam sehingga teman-teman sebayanya - sewaktu kecil - sering menyapanya dengan si Maroko, sebuah nama bagi bangsa Afrika Barat Laut, tempat Aljabiri hidup.12 Membaca sosok Karl Marx sangat begitu kontradiktif. Disebutkan bahwa Karl Marx tidak memiliki celah untuk bisa dikritik. Ia seperti seorang nabi yang dipuji oleh para pengikutnya sebagai pejuang sejati dan membela kaum tertindas. Bahkan, ketekunan dan ketelitiannya terhadap suatu pengetahuan membuatnya menjadi sosok orang yang banyak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.13 Namun, pandangan sebaliknya terpapar dalam buku mana untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan cara berburu dan nomaden. Kedua, masyarakat feodal yaitu suatu kondisi masyarakat yang sudah mengenal kepemilikan pribadi sebagai modal untuk mendapatkan keuntungan besar dari kepemilikannya itu sehingga pada bentuk masyarakat ini mengalami eksploitasi oleh pemilik modal. Ketiga, masyarakat kapitalisme yang memperkenalkan aktivitas komersial atau motif mencari keuntungan dalam skala besar oleh kaum Borjuis atas perolehan usaha dari kaum Proletar. Keempat, masyarakat sosialis yang mencoba untuk menghapus eksploitasi oleh kaum Borjuis melalui revolusi sosial melalui pengorganisasian dan gerakan buruh. Kelima, masyarakat komunis modern, dalam sistem sosialisasi ini hanya merupakan transisi karena masih menyembunyikan kepentingan antara penguasa dan masyarakat yang humanis. T. Z. Lavine, Konflik Kelas dan Orang yang Terasing (Yogyakarta: Jendela, 2003), 17. 12 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (Yogyakarta: LKiS, 2000), 34. 13 Joseph A. Schumpeter, Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi, terj. Teguh Wahyu Utomo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 7-12. The Intelectual karya Paul Johnson. Dalam buku itu, Karl Marx ditampilkan sebagai sosok pemarah yang tidak mampu mengatur kehidupannya dan pengangguran bahkan digambarkan sebagai sosok tempramental: pemabuk, perokok berat dan suka menyiksa istirnya. Sifat dan gaya hidupnya juga susah untuk diatur selayaknya preman jalanan yang jorok dan tidak rapi. Nama lengkapnya yaitu Karl Heinrich Marx, ia lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, suatu daerah yang termasuk wilayah Rheinland Jerman atau biasa dikenal dengan Prussia. Masa hidupnya berakhir di London, Inggris, tanggal 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun.14 Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif yang secara genealogis berasal dari kalangan elite agama Yahudi. Ayah dan Ibunya merupakan keturunan seorang rabi (pendeta) yang berkebangsaan Yahudi. Pada tahun 1824, Ayahnya bernama Herschel - cenderung menjadi deis (teolog) yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prussia, yaitu Kristen Protestan beraliran Lutheran yang relatif liberal. Beralih agamanya itu disebabkan struktur pemerintahan di Prussia yang didominasi agama Kristen Protestan. Ini dilakukannya dalam rangka untuk menjadi pegawai negeri, tepatnya menjadi notaris di negara kerajaan tersebut yang memang berhaluan Kristen Protestan, yang mana sebelumnya ia adalah seorang pengacara di Trier. Peristiwa ini terjadi saat Karl Marx berusia enam tahun dan mengakibatkan, selain mengganti namanya Herschel menjadi Heinrich, ibunya (Jeny Van Westphaen) ikut beralih juga ke agama Katolik setelah delapan tahun berlangsung. Jadi, bisa dibilang bahwa keluarga Karl Marx itu amat liberal.15 Pertama kali, Karl Marx menjalani pendidikan di lingkungan tempat tinggalnya sendiri hingga 14 David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought (New York: Harper Colophon, 1973), 34-65. 15 Jonathan H. Turner, The Emergence of Sociological Theory (Illonis: The Dorsey Press, 1981), 165-190. 157 Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir mencapai umur 17 tahun. Setelah lulus dari sekolah menengahnya di Gymnasium Trier, Karl Marx diminta untuk melanjutkan pendidikan tingkat tingginya di Universitas Borndan mengambil jurusan Hukum. Permintaan ini berasal dari ayahnya agar di kemudian hari dapat menggantikannya sebagai pengacara dan notaris. Di perguruan tinggi ini, Karl Marx tidak serius menjalani perkuliahannya. Ia hanya menghabiskan uang kiriman untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Ini terjadi sebab ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan nilai perkuliahannya menjadi buruk. Di sini, Karl Marx hanya bertahan satu semester.16 Setelah peristiwa itu terjadi dan diketahui sang ayah, akhirnya ia dipindah ke Universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universitat di Berlin, Jerman. Di Universitas ini, ia belajar filsafat dan sejarah, bukan belajar hukum sebagaimana kehendak ayahnya. Sebab, ia sendiri tidak berminat untuk belajar hukum. Saat kuliah di Berlin, ia sering menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa teologi yang ia warisi dari ayahnya. Ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian (Hegelian muda) yang terkenal di Berlin, hingga akhirnya ia mempelajari filsafat Hegel.17 Filsafat Hegel menjadi tren hampir di seluruh lapisan Jerman, terutama konsepnya tentang politik dan ajarannya-pun menjadi semacam Pancasila, yakni sebagai sumber ideologi negara. Oleh karena itu, minat Karl Marx beralih ke filsafat dan ingin bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai pemuda Hegelian. Pemuda Hegelian pecah jadi dua, yaitu Hegelian kiri dan kanan. Karl Marx termasuk Hegelian kiri. Hegelian kiri dikenal sebagai 16 David McLellan, Karl Marx, 34-65. Ibid., 34-65. 17 158 kelompok yang menggunakan metode dialektika18 Hegel yang dipisahkan dari isi teologisnya.19 Bagi Karl Marx, filsafat Hegel menjadi inspirasi dasarnya yang dijadikan sebagai analisis dan kritik, serta diartikulasikan sebagai suatu pemikiran yang bersifat ateistik. Karl Marx menggunakan filsafat Hegel tidak sekedar mengkritik anti liberalisme negara, melainkan sangat tajam mengkritik serta menolak dominasi, bahkan digunakan untuk mengkampanyekan pembangkangan terhadap agama Protestan yang sudah mapan di Prussia. Sikap radikalnya ini menjadi lawan/ oposisi dari interpretasi resmi yang diakui dan dianut oleh negara serta sebagian besar para elite penguasa. Jadi, tokoh yang mempengaruhi pemikiran Karl Marx adalah filsafat Hegel dan para Hegelian muda, terutama Hegelian kiri.20 Pada tanggal 5 April 1841, Karl Marx dipromosikan menjadi doktor filsafat oleh Universitas Jena dengan judul disertasinyaThe Difference Between the Natural Philosophy of Democritos and Natural Philosophy of Epicurus, dari disertasinya ini dapat diketahui betapa besar pengaruh pemikiran Hegel terhadap Karl Marx.21 Di sisi lain, desertasi ini secara langsung menunjukkan Karl Mark sangat Hegelian dan antiagama. Hal ini juga membuatnya dicap sesat dan mulai dijauhi rekanrekannya. Karl Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun ia memperjungkan kelas orang-orang tertindas sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya.22 18 Istilah dialektika, yaitu The Theory of the Union of Opposites (menyatunya hal-hal yang bertentangan) lihat R. N. Carew Hunt Theory and Practice of Communism, dikutip dari Andi Muawiyah Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx: Sebuah Bahasan Materialisme Dialiktis dan Materialisme, 53. 19 David McLellan, Karl Marx, 34-65. 20 Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting dalam Sejarah, terj. Abdillah Halim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 412-414. 21 Ibid., 34-65. 22 Michael H. Hart, Seratus Tokoh, 34. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Setelah dianugerahkan gelar doktor lantaran desertasinya itu – namun, sebab tak bisa menjadi dosen – dia menjadi wartawan untuk mencari nafkah untuk kepentingan rumah tangganya. Awalnya dia menulis dan mengedit Rheinische Zeitung, sebuah koran liberal demokrat, namun setelah koran ini dibredel oleh pemerintah Prussia pada tahun 1843 akhirnya dia pindah ke Paris untuk menulis buat DeutschFranszosische Jahrbucher. Di paris, dia menjelajahi ideide ekonomi, politik, sejarah, dan filsafat serta mulai bersahabat dengan Friedrich Engels (anak seorang pengusaha tekstil kaya) yang juga tertarik pada filsafat Hegel. Pada suatu waktu, Karl Marx dan Engels menulis Die Heilige Familie (1845, terj. The Holy Family, Selected Writings, hlm. 131-155), telaah kritis terhadap filsafat Bauer, sebelum Karl Marx dan keluarganya dipaksa pindah dari Berlin ke Brussels.23 Menghadapi kehendak para penguasa di Brussels, Karl Marx membentuk organisasi untuk menghubungkan orang-orang komunis di seluruh dunia (Communist Correspondence Committee) dan menulis bersama Engels sejumlah karya di dalamnya mengkritik filsafat Jerman dan Perancis populer serta ide-ide sosialis (lihat Die Deutsche Ideologie, terj. dan ringkasan The German Ideology, Selected Writings, hlm. 159-191 dan La Misere de la Philosophie, 1847, terj. The Poverty of Philosophy, Collected Works, vol. 6, hlm. 105-212). Pada tahun 1847, Karl Marx berpartisipasi dalam kongres kedua Liga Komunis di London. Liga tersebut menerima dengan antusias ide-ide Karl Marx dan Engels dan menyuruh Karl Marx untuk menulis tentang keyakinan dan tujuannya. Hasilnya adalah Das Communistische Manifest (1848, terj. The Communist Manifesto), diterbitkan di era ketidakstabilan politik Eropa.24 Harapan Karl Marx akan kehidupan masyarakat yang bebas dan adil mendorong dia dan keluarganya pindah ke Paris, ke Jerman lalu balik lagi ke Paris dan akhirnya ke London, tempatnya menghabiskan sisa umurnya. Dari sinilah, dia banyak menulis artikel rutin buat New York Tribune, di antaranya artikel yang diterbitkannya : Zur Kritik der Politischen Okonomie (1859, terj. A Critique of Political Economy, Collected Works, vol. 16, hlm. 465-477), Das Kapital (1867, terj. Capital), Der Franzosische Burgerkrieg (1871, terj. dan ringkasan The Civil War in France, Selected Writings, hlm. 539-558), Das Achtzehnte Brumaire des Louis Bonaparte (1851, terj. dan The Eighteenth Brumaire of Napoleon Bonaparte, Selected Writings, hlm. 300-325), Kritik des Gothaer Programms (1861, terj. dan ringkasan Critique of The Gotha Programme, Selected Writings, hlm. 564-570). Selain menerbitkan artikel, ia juga ikut berpartisipasi dalam gerakan-gerakan pembaruan politik dan berselisih paham dengan anggota komunis dan sosialis lain. Dia juga mengerjakan jilid 2 dan jilid 3 Capital, namun kedua jilid ini terbit atas usaha Engels setelah Karl Marx meninggal pada 1880. Setelah itu, beragam manuskripnya yang lain diterbitkan.25 Dari filsafat Hegel inilah, Karl Mar x mengembangkan orientasi filsafatnya sendiri yaitu materialisme dialektika yang menekankan pada hubungan dialektika dalam kehidupan material. Secara garis besar, Karl Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Ia yakin bahwa masyarakat pada dasarnya itu produktif. Produktivitas mereka bersifat alamiah. Hal ini memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dalam perjalanan sejarahnya, proses alamiah ini dihancurkan oleh kapitalisme. Oleh karena itu, Karl Marx memiliki gagasan pokoknya bahwa untuk terciptanya masyarakat yang sosialis adalah dengan menghancurkan kapitalisme. Karl Marx yakin dengan tindakan bersama kaum proletariat (kaum buruh) yang mempunyai kesadaran kelas, dapat menghancurkan kapitalisme yang menurutnya didalangi oleh kaum borjuis (pemilik sumber daya), 23 24 Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting, 411. Ibid., 411-412. 25 Ibid., 412. 159 Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir mengingat dengan sumber daya yang mereka miliki dapat menghambat sosialisme. Sosialisme menurut pandangan mendasar ialah suatu masyarakat di mana mula-mula orang akan mendekati citra ideal Karl Marx tentang produkivitas. Adanya bantuan teknologi modern orang dapat berinteraksi dengan alam dan orang lain secara selaras untuk menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk hidup. Artinya, dalam masyarakat sosialis manusia tidak lagi teralienasi dari apa yang mereka hasilkan yang selama ini dikuasai kaum kapitalis dengan mengeksploitasi kaum buruh.26 mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realisasi memaksa manusia untuk melarikan diri. Agama adalah realisasi hakekat manusia dalam angan-angan karena hakekat manusia tidak punya realitas yang sungguh-sungguh.” 28 Jadi, “Agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguhsungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu masyarakat.”29 Sebelum Karl Marx meninggal, beragamnya penafsiran terhadap pemikirannya membuat Karl Max sendiri menegaskan bahwa dia yakin kalau dia bukan seorang Marxis. Sejumlah Marxis awal mengaku anti-intelektual dan menegaskan bahwa Karl Marx menuntut solusi praktis atas masalah-masalah yang dia nyatakan. Sebagian Marxis lainnya juga menyatakan bahwa tulisan-tulisan Karl Marx kurang memiliki landasan filosofis yang kuat dan menimba dari para pemikir lain untuk menopang ide-idenya.27 Namun yang perlu dikritik, menurut Karl Marx, bukanlah agama melainkan apa yang melahirkan agama itu yaitu masyarakat. “Kritik agama sekarang harus menjadi kritik masyarakat.” “Kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik.”30 Pemikiran Karl Marx Terhadap Agama Karl Marx berfikir bahwa agama itu sebagai penghambat perubahan sosial. Pemikiran ini tercermin pada pernyataannya sendiri bahwa agama adalah candu masyarakat. Pernyataan ini, sering diartikan bahwa Karl Marx menuduh agama itu menyesatkan dan menipu masyarakat. Selain itu, pernyataannya ini juga dipakai dalam arti tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan, membuat orang tertindas atau miskin menerima nasib mereka tanpa ada tindakan untuk mengubah keadaan tersebut. Berikut pernyataan Karl Marx: “Agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih 26 27 160 Ibid., 413-422. Ibid., 422. Pernyataan di atas, agama dianggap licik. Seakanakan diciptakan hanya milik kelas-kelas atas untuk menenangkan rakyat tertindas dan miskin. Akan tetapi, bukan itu yang dimaksud oleh Karl Marx. Ia tidak membicarakan apakah fungsi agama dalam masyarakat adalah positif atau negatif. Melainkan pernyataannya ini menanggapi kritik agama Feurbach. Menurut Karl Marx, Feurbach berhenti di tengah jalan dalam pemikirannya terhadap agama. Feurbach tidak bertanya dalam dirinya sendiri, mengapa manusia melarikan diri (alienasi) ke agama yang dianggap sebagai khayalan belaka dari pada mewujudkannya diri dalam kehidupan nyata. Jawaban Karl Marx adalah karena kehidupan itu nyata dan itu berarti bahwa struktur kekuasaan dalam tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan hakekatnya. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata telah menindasnya.31 Dari fakta dan pemikiran Karl 28 Karl Marx, Introduction to Critigur of Hegel’s Philosophy of Right, 1884, 378. 29 Ibid., 378. 30 Ibid., 379. 31 Frans Magnis dan Suseno, Pemikiran Karl Marx, 46. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Marx ini dapat diketahui bahwa yang menjadi objek kritik Karl Marx terhadap Feurbach adalah orang yang menjalankan agama bukan agama itu sendiri. ‘Agama adalah candu’ semakin banyak dikonsumsi maka semakin menggerogoti jiwa pecandunya. Bagi pecandunya selalu ada keinginan yang kuat dan hasrat tak tertahankan untuk selalu mengkonsumsi candu. Agama ibarat narkotika yang menghilangkan rasa sakit yang diderita orang yang dieksploitasi dan mengenai dunia supranatural di masa segala kesedihan berakhir, secara penderitaan menghilang. Agama menghilangkan pandangan terhadap Tuhan, padahal semestinya diarahkan pada ketidakadilan fisik dan materi mereka, yang pada akhirnya agama adalah tempat pelarian kaum tertindas. Agama seperti halnya sebuah ideologi, merefleksikan sesuatu kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama. Karl Marx menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak kehadiran agama, melainkan menolak sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama. Seperti inilah agama menurut Karl Marx.32 Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita, tentu tentang kebenaran teori Karl Marx ini sebagai refleksi kegundahan hatinya melihat keadaan sekitarnya. Benarkah bahwa manusia agar ia dapat mengembangkan diri sebagai makhluk yang sosial dan politik harus berhenti tunduk terhadap agamaTuhannya? Jika pemikiran Karl Marx ini dipandang sebelah mata, tentu sudah jelas bahwa dua peryataan Karl Marx ini tidak benar, harus kelihatan dari praxis agama. Agama bukan pelarian, agama justru memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang solider dengan mereka yang miskin dan lemah, masyarakat yang positif, damai saling menghormati, 32 Louis Leahy, Aliran-Aliran Besar Atheisme: Tinjauan Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 99. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 24. serta melawan ketidakadilan dan penindasan mereka yang tidak berdaya. Otomatis, profil para agamawan harus memperlihatkan bahwa mencari Tuhannya bukan hanya tidak mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, melainkan justru akan mengembangkan identitas dan hakekatnya yang positif. Namun, jika dilihat secara komprehensif dan melihat latar belakang serta metodologi dan kerangka berpikirnya, Karl Marx tidak bermaksud menjustifikasi semua agama negatif. Ia pun mengkritik bukan pada agamanya, melainkan manusia atau penganutnya. Memang, tidak semua agama dianggap seperti itu oleh Karl Marx, meskipun kebanyakan orang menganggapnya sebagai paham dan pemikiran untuk semua agama. Berdasarkan hal diatas, agama yang dianggap candu oleh Karl Marx adalah agama yang tidak bisa dirasionalisasikan. Semuanya berbau mistik dan khayalan saja. Tidak membawa kemajuan terhadap dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan rakyat, kemakmuran, sopan santun, dan lain sebagainya yang menyangkut dengan aspek materi. Pernyataan Karl Marx diibaratkan seperti ini, semakin manusia mengkonsumsi agama, maka ia akan semakin gila atau bahkan sudah gila sebelumnya. Itulah yang selama ini diungkapkan oleh Karl Marx. Manusia tidak memperdulikan hal-hal materi yang sudah tentu ada di kehidupan nyata. Manusia hanya terlena dengan khayalan-khayalan mereka tentang agama dan kehidupan akhirat, hikmah-hikmah dan mistik. Agama - seperti candu - dapat menghancurkan, menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan manusia di muka bumi ini dengan janji-janji yang tidak rasional. Selain itu, menurut Karl Marx, agama sebagai candu merupakan refleksi dari keadaan manusia yang tidak menjadi diri sendiri, bahkan tidak memiliki otonomi terhadap diri sendiri tetapi malah menggantungkan dirinya pada agama yang justru diciptakan oleh mausia. Ia tunduk terhadap agama, 161 Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir ia kehilangan dirinya, tidak bisa menguasai diri untuk meraih apa yang diinginkannya. Manusia terasing dari diri sendiri, tidak memiliki otonomi terhadap dirinya. Ia bekerja di luar dirinya dan tidak menjadi dirinya. Doktrin agama sebagai pengasingan ini merupakan bentuk protes Karl Marx terhadap agama dan keinginannya untuk mendekonstruksi agama. Manusia-manusia yang putus asa dari kiprahnya di kehidupan nyata memalingkan dirinya dari dunia kepada agama. Menurut Karl Marx, fenomena ini tidak layak dilakukan oleh manusia. Oleh karena itulah, keadaan yang seperti itu secara terus-menerus akan menjadi candu yang mengasingkan manusia itu sendiri dari kemestian dirinya sebagai manusia. Bentuk agama sebagai candu yang dikemukakan oleh Karl Marx (1) tercermin dalam realitas kehidupan manusia sendiri, yakni memproyeksikan dirinya kepada Tuhan dan tidak pernah melihat hakikat dirinya. (2) mengungkapkan bahwa penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Tuhan. Paham ini mendobrak paham manusia tentang otonom agama yang mengekang kebebasan diri dan menghindari agama serta tetap dalam aturan diri sendiri sebagai fitrah manusia untuk berkiprah. (3) Agama hanya untuk diikuti, tidak untuk diprotes. Manusia hanya boleh tunduk kepada agama, tidak boleh membantah. Hal inilah yang menjadi keresahan Karl Marx karena di sini manusia tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri dalam kehidupan nyata. Manusia selalu dikekang oleh agama, tetapi manusia selalu bergantung padanya sehingga menimbulkan kekacauan, kehancuran dan kerusakan tatanan kehidupan. Kesimpulan Agama sebagai candu memiliki arti bahwa dalam agama manusia tidak menjadi diri sendiri, melainkan ia menjadi objek Tuhan. Manusia tidak mengobjektifkan diri sendiri dalam kehidupan nyata ini. Teori Karl Marx 162 ini dilatar belakangi oleh prinsip-prinsip ekonomi dan politik yang dihubungkan dengan agama. Teori ini juga mengindikasikan bahwa manusia tidak menjadi diri sendiri, tidak mampu merealisasikan kehendak diri, dan tidak memiliki otonomi terhadap dirinya. Manusia terasing dari diri sendiri disebabkan doktrin agama. Namun, ia tetap selalu terlibat dalam agama. Teori ini mengindikasikan bahwa manusia memproyeksikan dirinya kepada Tuhan, tetapi ia tidak pernah melihat hakikat dirinya sendiri. Sehingga dalam hal ini, Karl Marx ingin menghilangkan agama dari kehidupan manusia. Karl Marx mengungkapkan teori agama sebagai candu itu sebagai penderitaan manusia yang merupakan tempat kehadiran Tuhan. Karl Marx menghindarkan agama dari kehidupan dan tetap ada dalam aturan diri. Ia juga tidak mengkritik agama itu sendiri, melainkan manusianya atau penganutnya. Agama yang dikritik Karl Marx pun tidaklah semua agama, melainkan agama yang tidak bisa dirasionalisasikan. Daftar Pustaka A. Schumpeter, Joseph. Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi, terj. Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Elster, Jon. Marxisme: Analisis Kritis, terj. Sudarmaji dan Grup Hermes. Jakarta: Prestasi Pustakarya, 1986. Goodman, J. Douglas. Dan George Ritzer. Goodman, Teori Sosiologi, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009. Hart, Michael H. Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, cet. XX. Jakarta: Pustaka Jaya, 2002. Hughes-Warrington, Marnie. 50 Tokoh Penting dalam Sejarah, terj. Abdillah Halim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 J. Smelser, Neil (ed.). Karl Marx on Society and Social Change. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973. Leahy, Louis. Aliran-Aliran Besar Atheisme: Tinjauan Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Magnis, Frans dan Suseno. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialism Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Marx, Karl. Toward the Critique of Hegel’s Philosophy of Right dalam Louis S. Feuer (ed.), Marx and Engels: Basic Writings on Politics and Philosophy. London: Collins/Fontana, 1969. McLellan, David. Karl Marx: His Life and Thought. New York: Harper Colophon, 1973. Lavine, T. Z. Konflik Kelas dan Orang yang Terasing. Yogyakarta: Jendela, 2003. Pals, Daniel L. Seven Theoris of Religions : dari Animisme E. B. Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noerjaman. Yogyakarta: Qalam, 2001. _______. Seven Theoris of Religions : Religion as Alienation. New York: Oxford University Press, 1996. Ramli, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialiktis dan Materialisme Historis. Yogyakarta: LKiS, 2000. Turner, Jonathan H. The Emergence of Sociological Theory. Illonis: The Dorsey Press, 1981. 163 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 MAX WEBER DAN AGAMA Namirotul Qubaiyah Yayasan Lentera Qur’ani Surakarta [email protected] Abstrak Tulisan ini akan melihat etika ekonomi agam-agama di dunia. Weber membahas masalah antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, dikalangan masyarakat barat sejak abad ke-16 hingga sekarang, persoalan ini dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap agama yahudi kuno, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian, seluruhnya terkait dengan masalah tersebut. Menurut Pandangan Weber mengenai etika ekonomi agama-agama dunia memiliki karaktersitik nonhistoris, karena merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik yang tidak mengetahui pembangunan. Dalam semua ketegasannya terlihat kemampuan Weber untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensikonsekuensi praktis dan teoritis melalui mana suatu agama. Di sini kebudayaan memiliki karakter bentuk-bentuk geometris yang terisolir dan nyaris tidak bisa ditembus yang dibangun dengan koherensi dan rasionalitas sesuai dengan formula yang berbeda-beda. Kata Kunci: Max Weber, Tindakan Social, Calvinis, Ekonomi Abstract This article will look at the religion economic ethics in the world. Weber discussed the issue among various religious beliefs and practical ethics, in particular ethics in economic activity, among the people of the West since the 16th century until now, these issues within the context of religions and civilizations different, remains the main concern, and study of the ancient Jewish religion, and the various religions in India and China, as well as Greco-Roman religion and sectarianChristian, all associated with the issue. According to Weber’s view of economic ethics of the world religions have the characteristics of non-historical, because it is an attempt to classify the various religious ethics into unitary and systematic framework that does not know construction. In all his firmness seen Weber’s ability to reduce logical transitions, practical consequences and theoretical through a religion. Here the culture has geometric character forms were isolated and almost impenetrable built with coherence and rationality in accordance with the different formula. Keywords: Max Weber, Social Actions, Calvinist, Economy Pendahuluan Sangat banyak tokoh-tokoh yang memberi paradigma definisi sosial. Salah satu tokoh yang sangat popular dalam paradigma definisi sosial adalah Max Weber. Dalam analisisnya tentang tindakan sosial (social action), Weber diklasifikasikan sebagai salah satu tokoh yang menghasilkan teori yang dapat dikategorikan ke dalam paradigma definisi sosial. Sosiolog ini dilahirkan di Jerman, tepatnya di kota Erfurt pada tanggal 21 april 1864. Max weber sangat banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan teori sosial modern, seperti teori tindakan sosial (social action), teori interaksi, teori konflik neo-Weberian, teori etika protestan. Orang tua Weber barasal dari kalangan menengah. Ayahnya bekerja sebagai birokrat dan Ibunya sebagai penganut Calvinisme yang setia. Meskipun pada awalnya ia dekat pada ayahnya tetapi akhirnya ia lebih dekat dengan ibunya dan hal ini membawa pengaruh pada keyakinan agama sebagaimana yang diyakini 165 Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah ibunya. Pada umur belasan tahun ia sudah masuk Universitas Heidelberg hingga menjadi ahli hukum seperti ayahnya. Pada umur 1884, seusai wajib militer ia kembali ke Berlin dan kuliah di universitas Berlin selama delapan tahun hingga meraih gelar doktor. Meskipun ia seorang ahli hukum, tetapi ia masih juga tertarik pada sosiologi, ekonomi, dan sejarah. Weber mempelajari sejarah hukum dan ekonomi tetapi kemudian mengembangkan ketertarikan terhadap sosiologi. Akhirnya, ia menjadi professor di berbagai Universitas di Jerman. Weber mengajarkan kepada muridnya agar mereka mempraktekkan verstehen.1 Max Weber: Sosok, Ranah, Gagasan, dan Karya Max Weber lahir di Erfurt, Jerman 21 April 1864. Ia berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan idialisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam system. Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang taat. Wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada kehidupan akhirat. Ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapatkan keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektualnya tetapi ketika masuk Universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa Ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan teman-temannya. Lagi pula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.2 Setelah kuliah tiga semester, Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D, menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih digantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan anti patinya terhadap ayahnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jamjam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal.”3 1 Diucapkan Fair-Shtay-en, kata dalam bahasa Jerman yang berarti "pemahaman" atau "wawasan,” dalam setiap kegiatan intelektual mereka, diambil dari buku Sosiologi Sociology penulis Richard T. Schaefer (edisi 12, buku 1 hlm. 10.) 166 2 George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2004), 38. 3 Ibid., 39. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 Sementara itu, Max meneruskan kegiatannya untuk memenuhi persyaratan menjadi dosen ilmu hukum pada Universitas Berlin. Kegiatan itu menghasilkan analisa terhadap sejarah agraris masyarakat Romawi yang dilihatnya dari sudut perkembangan politik, ekonomi dan sosial, yang kemudian disajikan dalam sebuah buku yang terbit dalam tahun 1891. Ketika dia sedang melakukan kegiatan untuk memenuhi kualifikasi sebagai dosen pada Universitas Berlin, Max menjadi anggota “Verein fur Sozial politik”. Organisasi itu bertujuan memperbaiki kondisi ketenaga kerjaan, aturan perbankan dan praktek bisnis maupun penanggulangan masalah-masalah sosial lainnya. Anggota-anggota organisasi itu dikenal dengan nama ‘Katheder Sozialisten’ yang sebenarnya merupakan versi Jerman Masyarakat ‘Fabian’ Inggris. Sebagai anggota organisasi itu, Weber menemukan penyaluran keinginannya untuk menggabungkan penemuan, teoretis dengan penerapannya. Keterlibatannya dalam pelbagai kegiatan meningkatkan kepekaannya terhadap masalah-masalah sosial-politik pada masa itu. Max Weber juga terkenal dengan teori ideal typus yaitu suatu kontruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat. Ajaran-ajaran Max Weber amat menyumbang pada perkembangan sosiologi, misalnya analisisnya tentang wewenang, birokrasi, sosiologi agama, organisasi-organisasi ekonomi dan seterusnya. Tidak lama kemudian Weber diangkat menjadi guru-besar ekonomi pada Universitas Heidelberg, tempat dia menikmati kehidupan intelektualnya dengan penuh gairah. Namun, Weber mengalami kemerosotan mental yang sangat serius, sehingga semua kegiatannya terhenti. Selama hampir empat tahun dia mengalami keadaan demikian, sehingga tak ada satu pun yang dihasilkannya. Keadannya mulai pulih dalam tahun 1903 dan semenjak itu dia menekuni masalah metode ilmu-ilmu sosial. Dia diangkat menjadi editor Archiv fur Sozial Wissen Shaften yang kemudian menjadi majalah ilmu-ilmu sosial yang berpengaruh di Jerman hingga awal pemerintahan Hitler. Di tahun 1892 Weber menikah dengan Marianne Schnitger dan semenjak itu dia mulai memberikan kuliah-kuliah secara formal pada Universitas Berlin. Dua tahun kemudian Max menerima tawaran menjadi guru besar tetap pada Universitas Freiburg. Pidato pengukuhannya (dalam bahasa Inggris berjudul The National State and Germanic Policy) merupakan suatu proyeksi pemikirannya di bidang politik di kemudian hari. Masalah pokok yang dikemukakannya adalah pertanyaan apakah kalangan borjuis Jerman cukup matang untuk menerapkan kepemimpinan politik negara Jerman pada masa itu. Weber meragukan adanya kemampuan tersebut, namun dia berpendapat nahwa saatnya belum terlambat untuk menanggulangi kelemahan tersebut, yakni dengan pendidikan politik untuk seluruh bangsa, pendidikan politik tujuan ilmu politik.4 Pada tahun 1904 untuk pertama kalinya Weber mengunjungi Amerika Serikat guna mengikuti suatu kongres ilmu pengetahuan sedunia di kota St. Louis. Selama berada di Amerika Serikat, Max mulai memahami arti abad ke duapuluh dengan adanya masa serta kebutuhan adanya birokrasi mantap untuk menguasai massa tersebut. Dalam tahun yang sama Weber menerbitkan buku berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya itu, Weber menganalisa awal timbulnya kapitalisme dengan maksud agar diperoleh pemahaman mengenai pentingnya kapitalisme ekonomi maupun akibatakibatnya pada tahap kontemporer.5 Dan Weber menyatakan, di Amerika Serikat sama sekali tidak ada landasan keagamaan atau etis untuk mengejar kekayaan material, sehingga dia mengkhawatirkan 4 Soerjono Soekanto, Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), 6. 5 Soerjono Suekanto, Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), 5-7. 167 Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah mengejar kekayaan hanya dianggap sebagai suatu kegiatan mekanis belaka.6 Karya yang ditulisnya antara lain adalah: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh agama ibunya ditingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tidak religious. Buku ini menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin; Economy and Society (menjelang kematiannya, 14 juni 1920). Meski buku ini diterbitkan dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum selesai;7 Collected essay on Sociology of religion (3 jilid, 1921); Collected essay on Sociology and Social Problems (1924), From Max Weber: Essay in Sociology (diterjemahkan dan diedit oleh H.H Gerth dan C. Wright Mills, 1946; The theory of social and economic organization(diterjemahkan oleh Talcott Parsons, 1947), Alex Weber on the methodology of social science (diterjemahkan oleh E.A Shils dan H.A Finch, 1949).8 Gagasan Max Weber mengenai Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti tradisi.9 6 Ibid., 5-7. George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, 7 39. 8 Soerjano Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995), 446. 9 Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri agama: a traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work 168 Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan atau perintah dari kehidupan. 10 Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.11 Peradilan India mengambangkan berbagai prosedur yang akan dapat melayani tujuan-tujuan kapitalistik semudah dan sebaik lembaga-lembaga serupa dalam hukum abad pertengahan kita. Otonomi legislatif kelas saudagar paling tidak adalah seluas otonomi saudagar-saudagar abad pertengahan kita. Kerajinan-kerajinan India dan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan sangat berkembang. Semangat memperoleh kekayaan orang India dari semua lapisan tidak akan ditemui sedemikian sedikitnya kecaman dan anything handed down and fixed by tradition (as the reading of a text or a record, title deed, &c.) 10 The Everything World's Religions Book: Explore the Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient and Modern Religions, page 1 Kenneth Shouler - 2010 11 Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed)., Agama: dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: CV Rajawali, 1988), v-xvi. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 sedemikian tingginya penghargaan bagi harta kekayaan. Tetapi tidak ada kapitalisme modern pribumi yang berkembang sebelum ataupun sesudah kekuasaan Inggris. Kapitalisme itu diambil alih sebagai suatu barang yang sudah jadi tanpa penelusuran asal-usulnya. Kita harus bertanya di sini bagaimana agama India mungkin telah menghalangi perkembangan kapitalis sebagai salah satu faktor diantara banyak faktor.12 kalangan kelompok Puritan di Inggris, dan lebih dari itu juga di kalangan penganut cabang Puritanisme Inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England. Pandangan Weber mengenai hal ini adalah bahwa penolakan terhadap tradisi atau perubahan sangat cepat dalam metode dan evaluasi terhadap kegiatan ekonomik seperti itu tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama.13 Weber membahas masalah antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang, persoalan ini dalam konteks agama-agama dan peradabanperadaban yang berbeda-beda tetap menjadi perhatian utamanya. Kajiannya terhadap agama yahudi kuno dan terhadap berbagai agama di India dan Cina serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian seluruhnya terkait dengan masalah tersebut. Namun demikian, meskipun masalah etika ekonomi ini merupakan pusat perhatiannya, lingkup kajiannya luas sekali menjangkau seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat dan agama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah menganalisis argumen yang dikemukakannya dalam bukunya mengenai etika protestan tersebut kemudian memperhatikan bagaimana hal ini bisa mengantarkannya kepada kajian komperatif terhadap agama-agama dan berbagai struktur sosial yang lain. Dalam pembahasanya mengenai agama dan etika praktis, dia mempergunakan kata ‘rasional’ dalam pengertian wertrational. Karena itu dia berpendapat bahwa dalam kehidupan Kristen Katholik hanya pendeta yang bersifat rasional karena kehidupannya ditata dengan suatu aturan di mana setiap kegiatan membantu tercapainya tujuan yang tertinggi. Sedangkan dalam agama Kristen Protestan hanya para penganut Calvinismelah yang mengikuti pola kehidupan metodik serupa.14 Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangannya yang sangat cepat menuju kapitalisme. Dan mengemukakan contoh contoh terkenal di negera Belanda pada abad-abad ke-16 dan 17 mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan keluarga Huguenots dan orangorang Katolik di Perancis pada abad-abad ke- 17, di Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin. Saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan 13 12 Stanislav Andresk, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1989), 82. Betty R. Sechart, Kajian Sodiologi Agama (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1995), 177-178. 14 Ibid., 195. 169 Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan ’aminan’ masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi ‘jaminan’ pula bagi individu itu masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan ‘mengumpulkan’ harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguhsungguh dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat di sana. Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.15 Akan tetapi tidak semua kelompok Protestan mempunyai pengarh kuat yang sama di dalam arah ini.16 Pandangan Weber mengenai etika ekonomi agamaagama dunia memiliki karaktersitik non-historis karena merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik yang tidak mengetahui pembangunan. Dalam semua ketegasannya terlihat kemampuan Weber 15 Max Weber, 1958a. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 119-124. 16 Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 14. 170 untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensikonsekuensi praktis dan teoretis melalui mana suatu agama. Di sini kebudayaan memiliki karakter bentukbentuk geometris yang terisolir dan nyaris tidak bisa ditembus yang dibangun dengan koherensi dan rasionalitas sesuai dengan formula yang berbeda-beda. Akan tetapi bagi Weber, studi tentang agamaagama asketis adalah Agama Budha, yang paling radikal di antara agama-agama ini, membebaskan manusia dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui kontemplasi dan kehancuran kehendak individu. Akibatnya, ia mempresentasikan tipe asketisme yang secara diametral bertentangan dengan tipe Calvinis. Orang mungkin berpendapat bahwa melalui penyelidikan tentang tradisi inilah tentang asalusul semangat kapitalisme dalam kebutuhan psikologis untuk konfirmasi terbukti tidak valid. Kritik atas Pemikiran Max Weber mengenai Agama Max Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan, logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi. Dan Max Weber pandangannya terlalu terpaku pada budaya Barat dengan agama Protestan sebagai kajian utamanya. Apabila pendapat Max Weber tersebut diterapkan terhadap agama Islam, kami kurang sependapat karenanya kita hidup tidak hanya untuk bekerja mencari atau mengejar dunia supaya kaya dan banyak harta, namun kita hidup perlu ibadah dan berinteraksi dengan Allah Sang Kholiq, sebagai hamba Allah, dan Islam agama kita. Semua mengetahui bahwa kehidupan dunia adalah sementara. Kehidupan selamanya hanya di akhirat Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 kelak, mengenai dimasukannya surga ataupun neraka itu urusan Allah SWT, bukan dilihat dari kerja keras di dunia, oleh sebab itu dengan pemahaman Max Weber mengenai hal tersebut yaitu sangat memiliki implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. posisi politik yang relatif penting. Ia jelas merupakan bagian dari kemapanan politik dan akibatnya ia abstain dari aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau mengancam posisinya dari dalam sistem. Selain itu, Weber senior adalah seseorang yang menikmati dunia dan dalam banyak hal ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang sangat religious, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan ‘jaminan’ masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi ‘jaminan’ pula bagi individu itu masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan mengumpulkan harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Penulis tidak sependapat dan sangat bertentangan dengan agama penulis. Daftar Pustaka Kesimpulan Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Perbedaan antara orang tuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki Betty R., Sechart. Kajian Sodiologi Agama. PT. Tiara Wacana Yogya:Yogyakarta. 1995. Goodman, Douglas J George Ritzer. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. 2004 Kenneth Shouler. The Everything World’s Religions Book: Explore the Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient and Modern Religions Shouler. 2010 Soekanto, Soerjano. Sosiologi Suatu Pengantar. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1995. Soekanto, Soerjono. Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi. PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2011 Suparlan, Parsudi dalam Robertson, Roland (ed). Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis: Jakarta: CV Rajawali. 1988. Weber, Max. Stanislav Andresk. Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. PT.Tiara Wacana Yogya:Yogyakarta. 1989. ______. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 ______. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Sons. 1958 171 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 DALE CANNON DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA M. Nurul Huda Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia al_huda27yahoo.co.id Abstrak Setiap agama memiliki praktik cara keagamaan untuk mendekatkan diri pada tuhannya yang terkadang fenomena keagamaan tersebut menurut sebagian orang merupakan suatu hal ‘aneh.’ Fenomena itu bisa berupa benda-benda maupun suatu aktifitas. Fenomena keagamaan seperti ini memerlukan pemahaman yang tidak mudah. Tulisan ini membahas pemikiran Dale Cannon mengenai cara beragama dan manfaatnya bagi pemahaman cara beragama dalam Islam. Dari hasil kajian penulis Dale Cannon menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama yang ada di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara tersebut sebagai berikut: Cara Ritus Suci (The Way of Sacred Rite), Cara Perbuatan Benar (The Way of Right Action), Cara Ketaatan (The Way of Devotion), Cara Mediasi Samanik (The Way of Shamanic Meditation), Cara Mediasi Samanik (The Way of Shamanic Meditation), Cara Pencarian Mistik (The Way of Mystical Quest), Cara Penelitian Akal (The Way of Reasoned Inquiry), Cara Penelitian Akal (The Way of Reasoned Inquiry). Manfaat pemikiran Dale Cannon mengenai cara beragama adalah sangat besar bagi pemahaman kita tentang perbedaan dan keanekaragaman cara berislam di kalangan umat Islam dan menjadi bahan perbandingan pula dengan cara beragama non-Muslim dalam kerangka dialog antar agama. Kata Kunci: Dale Canon, Ultimate Reality, Tasawuf Abstract Every religion has the practice of a religious way to get closer to god that sometimes the religious phenomenon, according to some people is something ‘weird.’ That phenomenon include objects or an activity. This religious phenomena requires an understanding that is not easy. This paper discusses Dale Cannon ideas about how religion and the benefits to understanding how religious in Islam. From the author studying results Dale Cannon describes six ways religion that can be found in almost all religions that exist in the world, including Islam. Six ways are as follows: The Way of Sacred Rite, The Way of Right Action, The Way of Devotion, The Way of Shamanic Meditation, The way of Shamanic Meditation, The way of Mystical Quest, The way of Reasoned Inquiry, The way of Reasoned Inquiry). The benefits of Dale Cannon thinking about how to do religion is very big for our understanding of the differences and diversity of ways to be Islam among Muslims and become a point of comparison to the way non-Muslim religion within the framework of inter-religious dialogue. Keywords: Dale Canon, Ultimate Reality, Mysticism Pendahuluan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Dari definisi ini, kita tahu bahwa agama bisa mengorganisir perilaku seseorang. Seseorang yang beragama, perilakunya akan terkontrol, beretika dan berakhlak. Setiap agama memiliki praktik keagamaan. Kita biasa menjumpai banyak fenomena keagamaan yang menurut sebagian orang hal tersebut merupakan suatu hal ‘aneh.’ Fenomena itu bisa berupa bendabenda maupun suatu aktifitas. Di dalam agama Islam dijumpai fenomena keagamaan dalam bentuk 173 Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda benda-benda yang dianggap suci atau keramat seperti rajah, suwuk, jimat dan lain-lain. Dalam bentuk aktifitas misalnya ṭarīqah, mauludan, rejeban, tahlilan, puputan, ziarah ke tempat orang-orang sholeh dan lain sebagainya. Agama selain Islam juga demikian, dalam aktifitas misalnya, orang Kristen mendendangkan nyanyian kebaktian, pemberian tzedekah (sumbangan kedermawanan) oleh orang Yahudi untuk orang yang membutuhkan; orang Hindu memberikan sesaji berupa mentega murni dalam rumah api (dalam agama Hindu dipandang sebagai ‘mulut para dewa’); dalam keyakinan misalnya, orang Kristen meyakini bahwa Kristus akan bangkit lagi untuk menghakimi orang hidup dan mati; orang Syiah meyakini bahwa Ali adalah penerus sah Muhammad dan pewaris sebenarnya wilaya (ketajaman spiritual) Muhammad. Fenomena keagamaan seperti ini memerlukan pemahaman yang tidak mudah. Semua itu menurut Dale Cannon (pakar studi agama dari Amerika Serikat dalam Six Ways of Being Religious; A Framework for Comparative Studies of Religion) merupakan macammacam sarana atau jalan menuju Tuhan.1 Tulisan ini membahas pemikiran Dale Cannon mengenai agama. Gagasan Dale Cannon Tentang Agama Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju Tuhan. Cara-cara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembaraannya menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain, sesuai dengan pemahaman, penghayatan dan pengalamannya masingmasing. Setiap orang membutuhkan cara beragama (being religious) atau bentuk penghayatan yang selaras dengan kepribadiannya dan situasi dalam kehidupan. Dale Cannon dalam bukunya, Six Ways of Being Religious menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama 1 Dale Cannon, Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron, dkk. (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002), 5. 174 yang ada di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara beragama itu adalah sebagai berikut:2 Pertama, cara ritus suci (The Way of Sacred Rite) Cara ritus suci berpusat pada pemakaian ritual. Peneliti yang belum mengenali bentuk-bentuk ritus suci yang berbeda-beda perlu mengembangkan imajinasinya dan memasukkan ke dalam pemikirannya tentang ritual, bukan saja sebagai pengulangan secara cermat kata-kata dan isyarat-isyarat suci tetapi juga banyak hal lainnya, termasuk benda-benda yang secara spesifik digunakan dalam ritual: patung-patung suci, benda-benda, suara (musik dan ritme), dupa, jubah, arsitektur, dan ornamen; peranan kelembagaan dan lembaga-lembaga kependetaan; tempat-tempat suci, dan lingkungan ziarah; waktu-waktu suci dan keberuntungan dalam hari, bulan, tahun, dan siklussiklus tahunan; upacara daur hidup (kelahiran, pemberian nama, pubertas, dewasa, perkawinan, tua, dan kematian); peneguhan dan pembatalan perjanjian (perkawinan, perceraian, adopsi); dan lain sebagainya. Cara ini menekankan pada ritual formal dalam ibadah, penggunaan simbol dan arsitektur tempat ibadah, mengembangkan rasa estetika, dan teologi (liturgikal-sakramental). Fungsi dari the way of sacred rite ini ialah partisipasi dalam pola-pola dasar yang sakral, yang melaluinya ‘realitas mutlak’ (ultimate reality) hadir. Ritual dimaknai sebagai presentasi (kehadiran) ataupun representasi (kehadiran kembali) dari ultimate reality, dengan cara pengundangan atau presentasi ritual simbolik yang memungkinkan para peserta berulang kali masuk dalam kehadiran tesebut, sehingga peserta bersama menyatu dengan ultimate reality, dan dengan demikian membangun dan memperbaharui sense ketertiban, identitas dan kepatutan yang bermakna. Motivasi the way of sacred rite dikarenakan manusia merasakan prospek hidup 2 Dale Cannon, Enam Cara Beragama, 48-74. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 ketika menghadapi peristiwa-peristiwa penting tanpa arketipe (pola dasar) yang diikuti, tanpa rasa ketetapan yang mendasar dan mutlak. Ritual dapat ditemukan dalam setiap tradisi dan sebenarnya juga dalam setiap subtradisi. Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Alquran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil yang jelas, baik dalam Alquran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah shalat dan haji; sedangkan contoh ritual kedua seperti peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW (mauludan), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya meninggal atau menunaikan ibadah haji. Kaum Yahudi memiliki hari khusus untuk melakukan peribadatan atau ritual yaitu hari Sabbath (Sabtu). Pada hari Sabbath kaum Yahudi dilarang bekerja sebagaimana namanya, Sabbath berasal dari bahasa Ibrani yang artinya ‘berhenti bekerja. Hari Sabbath dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu. Pada hari Sabbath, orang Yahudi menyajikan makanan yang berlimpah sebanyak tiga kali setelah kebaktian di sinagoga selesai; pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabbath berakhir. Lebih banyak orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di Sinagoga pada hari Sabbath, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya.3 Ritual keagamaan memiliki banyak fungsi, antara lain yaitu: pertama, pemberikan tatacara dan ketertiban bagi kegiatan-kegiatan agama. Kedua, memungkinkan banyak orang bekerja sama dalam melakukan kegiatankegiatan yang kompleks yang jika tidak demikian tidak akan mungkin dilaksanakan dengan baik. Ketiga, menyiapkan suatu konteks simbol-simbol penuh makna yang memusatkan dan megorientasikan pikiran 3 https://id.wikipedia.org/wiki/Sabat diakses pada tanggal 22 April 2016. sesuai dengan tradisi. Keempat, memenuhi kebutuhan akan adanya pola kebiasaan sehingga tingkah laku yang tepat menjadi sifat kedua dan pikiran bebas mengunjungi makna yang lebih mendalam. Kedua, Cara Perbuatan Benar (The Way of Right Action) Cara perbuatan benar sesuai yang dimaksudkan oleh namanya, cara ini memusatkan perhatian pada perbuatan atau tingkah laku yang benar, baik perorangan maupun masyarakat. Semua kehidupan agama menghendaki perhatian pada tingkah laku yang tepat baik menyangkut masalah ketentuan-ketentuan disiplin yang bebas dilakukan, petunjuk guru spiritual, aturan-aturan kelembagaan, prinsip-prinsip moral yang mendasar, kewajiban-kewajiban khusus ataupun keharusan-keharusan yang bersifat mutlak. Pada dasarnya, cara perbuatan benar berusaha merealisasikan ‘keinginan Tuhan’ dengan ikhlas, tanpa pamrih, bukan untuk tujuan mencapai berbagai kebaikan yang tersembunyi, baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan mendatang, sekalipun banyak yang berusaha melakukannya untuk tujuan kebaikan tersebut. Cara perbuatan benar juga tidak untuk menghindari berbagai akibat buruk atau ancaman hukuman, sekalipun banyak juga yang melakukannya untuk menghindari akibat-akibat seperti itu. Ketiga, Cara Ketaatan (The Way of Devotion) Cara ketaatan dipusatkan pada ketaatan, tetapi bukan sembarang ketaatan. Dalam hal tertentu, semua agama menghendaki ketaatan, apa pun caranya beragama. Akan tetapi, hal-hal yang umumnya dipandang sebagai ketaatan beragama adalah lebih luas dari hal-hal yang diidentifikasikan di sini sebagai cara ketaatan. Taat dapat diartikan patuh. Dengan kata lain, taat adalah upaya untuk selalu mengikuti 175 Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda petunjuk Tuhan dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan seseorang kepada Tuhan sangat bergantung kepada keimanannya. Semakin kuat imannya maka semakin taat kepada Allah. Ketaatan dalam Islam bisa ditunjukkan dengan melaksanakan rukun Islam. Keempat, Cara Mediasi Samanik (The Way of Shamanic Meditation) Cara mediasi samanik secara eksistensial menaruh perhatian pada usaha menghadapi tantangantantangan berat yang disebabkan oleh kehidupan, seperti penyakit atau luka serius, bahasa besar atau ketiadaan suplai makanan. Cara ini bekerja berdasarkan keyakinan bahwa sumber-sumber ‘supernatural’ untuk mengatasi tantangan-tantangan itu benar-benar ada. Orang-orang yang menempuh cara ini yakin bahwa sumber-sumber ‘supernatural’ dunia spirit dapat digunakan dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan melalui praktik-praktik tertentu yang menjadi penghubung dunia spirit dan dunia biasa. Tokoh yang mampu memainkan peranan perantara seperti itu adalah saman, baik laki-laki maupun perempuan. Di antara enam cara beragama, mediasi samanik merupakan cara yang paling kurang sesuai dengan pandangan dunia modern. Pandangan ilmiah dunia modern menghendaki penjelasan semua fenomena dilihat dari sebab-sebab alamiah dan materiil yaitu sebab-sebab yang jelas, tidak ‘supernatural.’ Kesan yang mungkin timbul adalah bahwa cara mediasi samanik merupakan semacam teknologi spiritual yakni hanya merupakan persoalan penggunaan sumber-sumber ‘supernatural’ untuk memecahkan masalah-masalah duniawi. Kesan ini tidak benar karena suatu cara beragama merupakan cara mendekat kepada dan berada dalam hubungan yang benar dengan ‘realitas-mutlak’ dan tujuannya adalah penyembuhan, kesejahteraan hidup dan pemenuhan dunia. Sumber-sumber spirit 176 ‘supernatural’ yang digunakan oleh mediasi samanik dimaksudkan bukan sekedar untuk kepentingan eksploitasi. Sumber-sumber ini dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk tetapi dengan kemungkinan adanya konsekuensi-konsekuensi yang merugikan bagi orang-orang yang menyalahgunakannya. Cara mediasi samanik berkembang dengan batas tertentu tergantung tempat munculnya, lebih banyak peranan spesialis saman, seperti pembuat hal-hal ajaib, nabi, peramal, perantara, pekerja ajaib, penyembuh spiritual, geomancer (orang yang mencarikan baik buruknya lokasi untuk melakukan kegiatan manusia dilihat dari arus energi spiritual yang ada di tempat tersebut, necromancer (orang yang berkomunikasi dengan ruh orang-orang yang telah meninggal) dan lain sebagainya. Dalam konteks Islam, kita bisa menyaksikan bagaimana sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci (saman: wali, mursyid, dukun, guru) untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawassul. Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan ‘supranatural’ (melalui mantra, aji-aji, jimat, doa-doa tertentu) untuk meraih tujuan-tujuan yang sifatnya natural. Kelima, Cara Pencarian Mistik (The Way of Mystical Quest) Cara pencarian mistik merupakan usaha secara sadar dengan menggunakan disiplin asketik 4 dan meditatif,5 untuk mengatasi batas-batas pengalaman 4 Asketisme adalah ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani. Ajaran ini sudah berkembang di seluruh dunia. Kata asketisme berasal dari bahasa Yunani yang berarti latihan dan praktik. Contohnya, atlet Yunani yang selalu melatih dirinya secara sistematis untuk mencapai fisik yang sehat. Namun kemudian dengan berkembangnya pemikiran, maka istilah ini diartikan secara filosofis, rohani dan etis. Awalnya kata ‘asketisme’ juga digunakan dalam filsafat untuk menunjukkan praktik-praktik dalam memerangi kejahatan dan mengejar keadilan. 5 Meditasi ialah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 kesadaran biasa–terutama ketidaksadarannya tentang realitas mutlak–demi kesatuan kesadaran dengan ‘realitas-mutlak.’ Cara ini lebih menekankan pada ‘usaha secara sadar’ dan ‘menggunakan disiplin asketik dan meditatif,’ bukan pada pandangan-pandangan supernatural, fenomena fisik, atau kejadian-kejadian misterius. Cara ini tidak berfokus pada hasil akhir (misalnya, pada puncak pencarian, atau pada ‘mistikusmistikus’ yang telah mencapai puncak tersebut, baik melalui usaha yang disengaja; rahmat ajaib yang diminta; atau apa pun) tetapi pada jalan, pada kesengajaan, usaha panjang pada makna hidup pencarian. Definisi ini mencakup semua orang yang telah menempuh jalan ini, bukan orang-orang yang telah mencapai tujuan. Singkatnya, cara pencarian mistik ini adalah jalan itu sendiri dan tentang praktikpraktik yang membentuk jalan tersebut. Cara pencarian mistik dapat ditemukan dalam dalam semua tradisi agama besar, sekalipun tidak selalu dalam ungkapan-ungkapan pokok. Dalam Islam, cara pencarian mistik dikenal tradisi tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak, Allah Swt. Untuk mencapai ini, para pencari (sālik) biasanya membutuhkan bimbingan spiritual dari guru, wali, mursyid atau qutub. Yahudi memiliki Kabbala, Katholik Roma dan Kristen Ortodoks Timur memiliki tempat yang dimuliakan untuk monotisisme kontemplatif. Hakekat orang beragama terutama bukan melalui pendekatan pada orang/ guru tertentu (mediasi) atau ritus tertentu dan sebagainya, tetapi melalui hubungan (batin) lansung dengan ultimate reality. Melalui aktifitas asketis dan disiplin meditatif yang disengaja untuk menyela, memperlambat atau menerobos dan menjadi bebas dari dorongan hidup biasa (penyembuhan, kesejahteraan, dan pemenuhan duniawi) dalam rangka mencapai kesadaran langsung dengan ultimate reality, seluruhnya menyatu dengan ultimate reality. Kalaupun melalui orang/ guru, tetapi bukan sebagai mediasi. Motivasinya adalah karena adanya kegelisahan kebaikan yang tidak riil dan tidak subtansial. Cara ini menitik beratkan pada pencarian sebuah pengalaman yang irasional atau mengaitkan sesuatu dengan apa yang menjadi pemikirannya terhadap ultimate reality. Keenam, Cara Penelitian Akal (The Way of Reasoned Inquiry) Cara penelitian akal diarahkan pada usaha memahami benda-benda, memahami bagaimana benda-benda itu bersesuaian satu sama lain, untuk kepentingan diri sendiri, juga untuk kepentingan pemahaman orang lain. Cara ini merupakan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia mencapai perspektif dan pengetahuan ‘akal absolut.’ Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian individu dan kelompok muslim yang mementingkan upaya pencarian petunjuk-petunjuk untuk memahami masalah-masalah kognitif kehidupan, bayang-bayang argumentasi rasional dan pandangan dunia yang komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju Tuhan. Individu maupun kelompok semacam ini dalam lintasan sejarah Islam dikenal dengan kelompok Jabbariyah, Qaddariyah dan Mu’tazilah. Juga para filosof yang mengedepankan penelitian intelektual untuk memahami fenomena kehidupan.6 Manfaat Gagasan Dale Cannon Enam cara beragama yang dikemukakan Dale Cannon di atas, dalam komunitas Islam dapat menjadi objek kajian Studi Islam. Ada kemungkinan melalui penelitian dan kajian lebih lanjut dan serius akan dijumpai cara beragama lain yang belum disebutkan dalam kajian Dale Cannon di atas. Ini 6 Masyharudin, Aplikasi Konsep Qadariyah dan Jabariyah dalam Kehidupan, dalam Teologi Islam Terapan. Tiga Serangkai. 177 Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda Daftar Pustaka tentu saja memberikan manfaat besar bagi pemahaman kita tentang perbedaan dan keanekaragaman cara berislam di kalangan umat Islam dan menjadi bahan perbandingan pula dengan cara beragama non-Muslim dalam kerangka dialog antar agama. Agus, Bustanuddin. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gema Insani Press. 1991. Penutup Baso, Ahmad. NU Studies. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006. Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa diharapkan dengan enam cara bergama dan wawasan tentang perbedaan di pelbagai tradisi keagamaan, seseorang akan dapat terhindar dari rasa kealpaan dan berada pada posisi nyaman dalam mengapresiasi cara pengalaman beragama antara persamaan dan perbedaan yang mungkin terdapat berbagai praktik penghayatan keagamaan. Kesiapan menemukan persamaan atau perbedaan dalam berkeyakinan agama serta kesiapan mempelajari arti penting ini dari sudut persamaan yang diakui dalam cara-cara beragama akan membuat kemungkinan-kemungkinan dialog konstruktif antar berbagai tradisi keagamaan.7 Dengan demikian, orang-orang yang berasal dari latar belakang iman yang berbeda dapat belajar satu sama lain apa yang serupa atau apa yang merasa dimiliki bersama dan yang tidak, tanpa kekhawatiran terjebak pada praktik penyampur adukan iman atau mengingkari agama orang lain. Ini dapat menolong untuk mengembangkan dialog konstruktif antar subtradisi di satu tradisi keagamaan yang sama. 7 Dale Cannon, Enam Cara Beragama, 11. 178 Baidhawy, Zakiyyudin. Islamic Studies: Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan Madani. 2011. Cannon, Dale. Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron, dkk.; editor Suka-Press. Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002. Cannon, Dale. Six Ways of Being Religious. New York: Wadsworth Publising Company, 1996. Hidayat, Komarudin. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia. 2003. Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002. https://id.wikipedia.org. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 GEORGE RITZER DAN AGAMA Abdullah Ridho FDAIB UIN Sunan Kalijaga Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia [email protected] Abstrak Analisis sosiologis dalam konteks agama tidak hanya dipahami sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang berlaku mutlak, tetapi agama dipahami sebagi bagian dari kebudayaan yang paling mendala. Melalui kajian pemikiran George inilah penulis berupaya mengeskplor pemikirannya tentang pemahamn sebuah analisis sosial masyarakat agama. Menurut George, masyarakat agama tidak lepas dengan relasi kekusaan dan yang dikuasai dalam kehidupan masyarakat agama. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur, karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Hal inilah yang menurut George memuncukan konflik dalam masyarakat agama. Namun demikian menurutnya konflik masyarakat agam juga memiliki fungsi di antaranya: Sebagai alat untuk memelihara solidaritas, membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain, mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi dan fungsi komunikasi. Kata Kunci: George Ritzer, Teori Konflik, Fungsionalisme Abstract Sociological analysis in religion context is not only understood as a set of teachings of God’s absolute, but religion is understood as a deepest part of the culture. Through the study of George ideas the author try to explore his thought on understanding a social religious analysis. According to George, the religious community cannot be separated with relation authorization and controlled in the life of religious communities. The power and authority always put the individual at the top and bottom positions in each structure, because it is the legitimate authority, there will be consequences for any individual who is not subject to the authority. This is according to George brings up conflict within religious communities. However, according to him religion conflict also has the function such as: As a tool for solidarity, helps to create a bond alliances with other groups, to enable previously isolated individual role and function of communication Keywords: George Ritzer, Conflict Theory, Fungsionalisme Pendahuluan Agama tidak hanya dipahami sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang berlaku mutlak di dalam konteks analisis sosiologis, tetapi agama dipahami sebagai bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Agama adalah sebuah system kebudayaan yang berpusat pada pikiran dan perasaan manusia, yang selanjutnya dijadikan acuan di dalam melakukan tindakan. Agama juga dijadikan pedoman dalam menghadapi dan menafsirkan realitas yang dihadipanya. Te r l i h a t a d a d u a a s p e k d i k e h i d u p a n kemasyarakatan, agama sebagai sebuah sistem kebudayaan, yaitu; pertama, fungsinya sebagai pandangan hidup masyarakat dan kedua, agama bersifat operasional. Sebagai pandangan hidup masyarakat, agama sebagai penjelas keberadaan manusia, asal dan tujuan hidupnya. sedangkan sifat operasional agama bersangkut paut dengan dimensi horizontalnya, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga keberadaan agama berkaitan erat dengan 179 George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho nilai-nilai lainnya dalam masyarakat, misalnya: nilainilai sosial, politik dan ekonomi. tidak pernah meraih gelar di bidang sosiologi, ia hanya dilatih dalam ilmu psikologi dan bisnis.2 Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di dalamnya memiliki peran penting dalam mendorong terjadinya konflik dan integrasi dalam hubungan-hubungan sosial masyarakat. Sebagai contoh adalah bagaimana pergerakan paham islam Wahhabi sebagai paham trans nasional masuk ke berbagai wilayah Indonesia untuk menyebarkan ajarannya. Hal tersebut secara tidak langsung menjadi konflik, karena mayoritas penduduk indonesia adalah muslim penganut paham inklusif, moderat dan wasaṭiyyah, kemudian dibenturkan dengan paham Islam Wahhabi yang radikal dan puritan. Di Universitas Maryland, Ritzer adalah seorang Distinguished University, minat utamanya adalah teori sosiologi dan sosiologi konsumsi. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua American Sosiological Association’s Section on Theoritycal Sociology and Organization and Occupation. Seorang Distinguished Scholar-Teacher di Maryland dan menerima Teaching Exellence Award. Dia juga menjabat sebagai UNESCO Chair in Social Theory di Akadeni Sains Rusia, Fulbright-Hays Chair di Universitas York di Kanada, dan Fulbright-Hays Award Belanda dan Seorang Scholar-in-Residence di Netherland Institute for Advanced Studies and Swedish Colegium for Advanced Studies in the Social Scienses.3 Oleh karena itu, dengan melihat realitas tersebut, penulis akan mencoba mengulasnya dengan menggunakan teorinya George Ritzer, yaitu teori konflik, karena melihat pada realitas tersebut ada sistem dan struktur keagamaan yang beragam dan teori Mc Donaldisasi, karena melihat proses penanaman ajaran dan paham itu sarat dengan prinsip teknologisasi, kuantifikasi, terprediksi dan efisiensi. Biografi George Ritzer : Sosok, ranah, gagasan dan karyanya George Ritzer lahir pada tahun 1940 di Born, Amerika Serikat. Dia adalah seorang sosiolog Amerika.1 Meskipun dikenal seorang sosiolog, Ritzer Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975) adalah karya metateoretis pertama Ritzer. Ia tidak hanya berusaha menyusun paradigma sosiologi yang terpisah-pisah dan sering bentrok -konflik- satu sama lain tetapi juga mencoba membahas kemungkinan untuk menghubungkan, menjembatani, menyatukan dan menggunakan paradigma sosiologi yang beragam itu. Merasa tak nyaman dengan konflik paradigmatis itu, Ritzer ingin melihat suasana yang lebih harmonis dan rukun dalam sosiologi. Hasrat itulah yang mendorong Ritzer menerbitkan buku Toward an Integrated Sociological Paradigm (1981); didalamnya Ritzer lebih memusatkan perhatian sepenuhnya kepada sebuah paradigma yang terintegrasi. Di tahun belakangan ini, minat terhadap penyelesaian konflik teoretis mendorong Ritzer memusatkan pada integrasi mikro-makro (1990) dan integrasi keagenan-struktur (1994) dengan bekerja sama dengan seorang ilmuan bernama Gindoff. Minat Ritzer 2 1 Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 13. 180 Dandaneau, Steve P; Dodsworth, Robin M., Being (George Ritzer) and Nothingness: An Interview (PDF), di ambil pada tanggal 5/6/2016 3 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terj (Jakarta: Kencana, 2004), ii. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 terhadap karya metateoretis dijelaskan oleh hasrat dia untuk memahami teori dengan lebih baik dan untuk menyelesaikan konflik dalam teori sosiologi. Dalam buku Metatheorizing (1992), Ritzer mengemukakan perlunya studi sistematis atas teori sosiologi. Ritzer percaya bahwa dengan banyak melakukan studi itu untuk memahami teori dengan lebih baik dapat menghasilkan teori baru dan perspektif teoretis yang lebih luas jangkauannya. Studi metateoretis juga berorientasi untuk menjernihkan masalah yang dipertengkarkan, menyelesaikan perselisihan pendapat dan untuk menemukan peluang lebih besar dalam mencapai sintesis dan integrasi. Setelah bertahuntahun berusaha menerangkan sifat teori sosiologi, pada awal 1990-an Ritzer cemas terhadap abstraksi karya metateoretis sehingga dia berusaha mengaplikasikan berbagai teori yang telah dia pelajari kepada aspekaspek konkret dari dunia sosial. Pada tahun 1980-an, Ritzer pernah sedikit melakukannya untuk menerapkan teori Max Weber pada rasionalisasi restoran fast-food (1983) dan profesi medis. Dan buku The McDonaldization Of Society (1993,1996, 2000), adalah hasil revisi esai rasionalisasi restoran fast-food tersebut. Ia menyatakan bahwa sementara birokrasi menjadi paradigma rasionalisasi formal di era Weber yang menjadi model paradigma birokrasi dalam masyarakat modern adalah restoran cepat saji. Dalam Expressing America: A Critique of the Global Credit Card Society (1995) Ritzer mengalihkan perhatian pada fenomena ekonomi sehari-hari manusia yang analisanya bukan dari perspektif teori rasionalisasi tetapi dari perspektif lain, termasuk ide teoretis tentang uang dari George Simmel. Karya tentang restoran fastfood dan kartu kredit telah membawa kesadaran pada diri Ritzer bahwa apa yang sesungguhnya menjadi minat dia adalah sosiologi konsumsi yang belum banyak dikembangkan di Amerika Serikat setidaknya jika dibandingkan dengan Great Britain dan negara Eropa lainnya. Hal ini menghasilkan Enchanting a Disenchanted World: Revolutionizing the Means of Consumption (1999),4 di mana Ritzer menggunakan teori Weberian-Marxian, dan teori post-modern untuk menganalisa alat-alat konsumsi baru –superston, megamall, cybermall, televisi home shopping, kasino, taman hiburan, kapal pesiar dan juga restoran fastfood dan wara laba lainnya- yang menjadi cara orang Amerika dan belahan dunia lain mengkonsumsi barang dan jasa. Capaian global dari McDonald dan McDonaldisasi, kartu kredit dan alat-alat konsumsi baru membawa Ritzer minat pada globalisasi dan menghasilkan buku Globalization Of Nothing (2004). Sementara dia tidak bisa mengesampingkan isu metateoretis sehingga baru-baru ini dia membahasnya. Rrencana Ritzer sekarang adalah melanjutkan penggunaan teori untuk memikirkan dunia kontemporer, khususnya konsumsi dan globalisasi.5 Jenjang Pendidikan Ritzer Lulus dari Bronx High School of Science pada tahun 1958; progam B.A., di City College of New York, pada tahun 1962; progam M.B.A., di Uneversity of Michigan, pada tahun 1964; progam Ph.D., di Cornell University, pada tahun 19686 Karir Akademik Setelah lulus dari Cornell University pada tahun 1968, Ritzer telah menerima berbagai kontrak akademik sepanjang karirnya di universitas-universitas di seluruh Amerika dan dunia:7 4 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, A-11. Ibid., A-11. 6 Ritzer, George (2008), Vita: George Ritzer (PDF), diambil pada tanggal 5/6/2016 7 Ritzer, George (2008), Vita: George Ritzer (PDF), diambil pada tanggal 5/6/2016 5 181 George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho Pada 1968-1970: Assistant Professor, Tulane University; 1970-1974: Associate Professor, University of Kansas; 1974-2001: Professor, University of Maryland; 1984: Visiting Exchange Professor, University of Surrey, England; 1988: Visiting Professor, Shanghai University, China; Peking University, Beijing, China; 1990: Visiting Exchange Professor, University of Surrey, England; 1996: Visiting Professor, University of Tampere, Finland; 2001: Visiting Professor, University of Bremen, Germany; 2001–present: Distinguished University Professor, University of Maryland, College Park; 2002, 2004-2008: Visiting Professor, Associazione per l’Istituzione della Libera Università Nuorese, Sardinia, Italy; 2012: Visiting Professor, University of Salzburg, Austria; 2013: Visiting Scholar, Center for Advanced Study, University of Munich, Germany. Pemikirannya tentang Agama Teori Konflik: Sistem dan Struktur Keagamaan yang Beragam Analisis sosiologis dalam konteks agama tidak hanya dipahami sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang berlaku mutlak, tetapi agama dipahami sebagi bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Bahwa agama adalah sebuah sistem kebudayaan,8 yang berpusat pada pikiran dan perasaan manusia, yang selanjutnya dijadikan acuan di dalam melakukan tindakan. Agama juga dijadikan pedoman dalam menghadapi dan menafsirkan realitas yang dihadapinya. Di kehidupan kemasyarakatan, agama sebagai sebuah sistem kebudayaan terlihat dua aspek, yaitu; pertama, fungsinya sebagai pandangan hidup masyarakat dan kedua, agama bersifat operasional. Sebagai pandangan hidup masyarakat, agama sebagai penjelas keberadaan manusia, asal dan tujuan hidupnya, sifat operasionalnya agama bersangkut paut dengan dimensi horizontalnya yang mengatur 8 Cliffird Geertz, The Intepretation of Culture (New York: Basic Book Inc. Publicer, 1973), 101. 182 hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga keberadaan agama berkaitan erat dengan nilai-nilai lainnya dalam masyarakat, misalnya, nilai-nilai sosial, politik dan ekonomi. Pemahaman sosiologis terhadap agama menjadi sangat penting dalam rangka upaya menemukan keterkaitan agama dengan kebudayaan di dalam masyarak at sehingga ak an dapat ditemuk an dinamikanya dalam mewujudkan keteraturan (integrasi) dalam masyarakat. Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di dalamnya memiliki peran penting dalam mendorong terjadinya konflik dan integrasi dalam hubunganhubungan sosial masyarakat. Integrasi dan konflik adalah dua istilah yang biasanya dirangkai secara bersamaan karena adanya yang pertama (integrasi) berarti tidak adanya yang kedua (konflik), keberadaan yang satu berarti ketiadaan bagi yang lain, dan begitu sebaliknya. Di dalam hubungan antara individu dan kelompok senantiasa diwarnai dan dalam kerangka persaingan untuk saling mendominasi antara keduanya. Namun demikian, secara konseptual, kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda bahkan berlawanan.9 Integrasi menunjuk adanya penyatuan antara individu atau kelompok yang sebelumnya terpisah-pisah ke dalam satu komunitas dengan menyembunyikan perbedaan-perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya. Dalam konteks hubungan antar agama dan internal aliran agama, konsep integrasi lebih menunjuk kepada makna kerukunan, yaitu hidup dalam suasana 9 Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), 304. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda agama dan antar aliran dalam satu agama. Integrasi yang berlangsung antar penganut aliran yang berbeda dalam satu agama tidak hanya berupa integrasi kelompok tetapi juga melibatkan integrasi kebudayaannya,10 sehingga keserasian fungsi tidak hanya pada pola tingkah laku kelompok tetapi juga unsur-unsur kebudayaannya. Akan tetapi, pencapaian integrasi tidak akan sampai pada tingkatan yang maksimum dan sempurna tetapi mengikuti dinamika sistem sosialnya masing-masing.11 Konflik adalah kondisi di mana individu-individu atau kelompok saling berupaya menggagalkan pencapaian tujuan masing-masing pihak karena perbedaan nilai-nilai dan kepentingan masingmasing. Konflik atau pertentangan antar kelompokkelompok sosial dapat mengambil bentuk berupa usaha untuk memantapkan identitas kelompoknya untuk menghadapi kelompok lainnya yang pada gilirannya akan dapat mengancam dan menyebabkan rusaknya sistem sosial yang ada. Namun demikian, konflik tidak selalu bermakan negatif, tetapi juga positif, terutama dalam kemampuannya mendorong ke arah terwujudnya persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat.12 Dalam konteks hubungan antar aliran dalam satu agama, konflik dapat timbul karena perbedaan dalam pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama. Konflik dapat timbul karena kepentingan ekonomi dan perlombaan kekuasaan.13 Konflik juga dapat muncul karena adanya curiga yang disebabkan adanya stereotype negatif yang sering mendarah daging. Perbedaan ajaran yang menjadi pegangan masing-masing kelompok 10 Koentjaningrat et.al., kamus Istilah Antropologi (Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984), 70. 11 Nasikun, Sebuah Pendekatan untuk Memahami Sistem Sosial di Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Sosial UGM, 1974), 16. 12 Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, 305. 13 Mayor Polak, Pengantar Ringkas Sosiologi (Jakarta: Ikhtiar, 1979), 70. dalam menghadapi lingkungannya juga menjadi pemicu konflik sebagaimana dikemukakan oleh Parsudi Suparlan bahwa manusia dengan pengetahuan kebudayaan yang dimilikinya mengaktifkan bagianbagian tertentu dari ajaran aliran paham keagamaan yang dianutnya dan yang dianggap dapat menjelaskan keberadaannya dalam kehidupan dan dalam menghadapi lingkungan yang diambil sebagai dasar pembenaran.14 Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah tanda adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi dan wewenang diantara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflikkonflik harus diperhatikan dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur karena weweang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi.15 Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan yang masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara subtansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Yang berkuasa berusaha mempertahankan statusquo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan 14 Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, 305. George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan, 25-26f 15 183 George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan yang anti status-quo. Sebagai contoh adalah yang oleh sejarawan menuliskan kemunculan gerakan paham Wahhabi tidak terlepas dari sisa-sisa situasi keteganganketegangan antara Islam ortodoks dan sufisme akhir zaman pertengahan. Puncaknya adalah ketika kaum ortodoks bangkit di provinsi Kerajaan Utsmani karena krisis yang dihadapi Islam di masa itu. Bahwa krisis saat itu paling baik dihadapi dengan kembali secara fundamental kepada Alquran dan Sunnah. Saat itulah, sebuah sekte baru Islam telah lahir yang menyatakan bahwa mereka kembali kepada ‘semangat sejati’ Nabi Muhammad. Dengan itu Wahhabi ingin menanggalkan semua kumpulan-ajaran yang datang kemudian, khususnya yang dikenalkan oleh kaum sufi, kaum mistik Islam serta mengembalikan Islam kepada kecemerlangankemurniannya yang telah dinikmati di Madinah pada abad ketujuh. Di Indonesia, Wahhabi pun mengutuk kepercayaan populer pada kekuatan para wali sebagai wasīlah (perantara) dan mengutuk pemujaan kaum Syiah terhadap makam para Imam. Mereka menolak otoritas apapun dari mazhab-mazhab klasik dalam syariat Islam serta menyatakan bahwa gerbang ijtihad (penalaran bebas) telah dibuka kembali. Khususnya pada penentangan secara paksa di wilayah Minangkabau terhadap bid’ah, penggunaan tembakau dan pemakaian baju sutra. Melalui kepulangan tiga orang yang baru pulang ibadah haji pada tahun 1803 yang bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahhabi, yang kemudian menghasilkan pergerakan Paderi. Dalam kasus wilayah Melayu-Indonesia, gagasan-gasasan pembaharuan yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan ekspresi yang radikal dalam gerakan Paderi. Kemudian 184 tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Akibatnya, perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau, atas campur tangan kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.16 Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik. Pertama, sebagai alat untuk memelihara solidaritas. Bagi kelompok masyarakat yang tidak sepaham dan yang menerima ajaran Wahhabi akan membentuk aliansi massa untuk bersama-sama menolak dan mempertahankan paham mereka. Kedua, membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain. Secara tidak langsung antar kelompok masyarakat yang sepaham dan yang tidak sepaham akan mencari aliansinya dalam rangka untuk menentang dan mempertahankan paham mereka masing-masing. Ketiga, mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi. Dalam hal ini adalah individu atau kelompok yang tidak beragama Islam dan pemerintah. Mereka yang akan melihat dan memposisikan peranannya terhadap adanya paham Wahhabi tersebut. Keempat, fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri 16 h t t p : / / w w w. b b c . c o m / i n d o n e s i a / b e r i t a _ indonesia/2016/05/160506_indonesia_radikalisasi_wahabi, di akses pada tanggal 16/06/2016. Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih tepat.17 Meskipun begitu, teorti konf lik juga tidak lepas dari kritikan dengan berbagai alasan. Teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas sedangkan fungsionalisme struktural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan.18 Teori konflik dikritik juga karena berideologi radikal sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konserfatifnya dan ahistoris tak mampu menerangkan konflik dan perubahan serta terlalu sibuk dengan persoalan pemaksaan masyarakat terhadap aktor dan mmendukung legitimasi.19 McDonaldisasi: Prinsip Teknologisasi, Kuantifikasi, Terprediksi dan Efisiensi Menurut Ritzer prinsip franchise dari Mcdonald’s berdasarkan kepada empat prinsip: Pertama, prinsip efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam dunia bisnis. Berdasarkan kepada prinsip Fordism (assembly line), scientifis management dan prinsip birokrasi, maka restoran Mcdonald’s dikelola secara sangat efisien. Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip uniformitas, menu standart, porsi yang sama, dengan harga yang sama dan kualitas yang sama di dalam setiap restoran McDonald’s. Kedua, kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung untung ruginya. Apabila tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan agar bisnis tetap memberi keuntungan, sebagai contoh misalnya, pola franchising McDonald’s tidak menarik fee dasar yang besar tetapi setiap pembelian dikenakan 1,9 % kepada franchisee. Jadi yang dipentingkan ialah keuntungan dari pada franchisee. Demikian pula uniformitas tidak menghalangi adanya inovasi. Oleh 17 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan, 26-29. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,157. 19 Ibid., 167. 18 sebab itu McDonald’s Indonesia mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan nasi di samping french fries atau kentang goreng. Ketiga, prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang di peroleh oleh outlet McDonald’s. Setiap outlet telah memprediksikan tempat-tempat yang strategis di mana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di lingkungandilingkungan perkantoran di mana orang tergesa-gesa untuk makan dan berkerja kembali. Demkian pula di highway-highway di mana orang mencari makan di tengah paerjalanannya secara cepat. Keempat, kontrol. Dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang mekanistik. Bisnis McDonald’s mempunyai manual yang sangat tepat yang sudah diterbitkan sejak tahun 1958. Bahkan pada tahun 1961 ia mendirikan suatu pusat pelatihan, sejenis “hamburger university” dengan gelar “hamburologi.” Demikianlah cara-cara memberikan servis yang cepat yang dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat mempertahankan kualitas makanan secara cepat dan menyenangkan banyak orang.20 Wahabisasi dengan prinsip McDonaldisasi Efisiensi: Strategi Dakwah Para aktivis wahhabisme cukup agresif dalam mengkampanyekan pikiran-pikiran dan ideologi para imamnya. Mereka bukan hanya memekikkan khotbah wahhabisme dari dalam masjid-masjid mewah di kotakota besar seperti Jakarta melainkan juga blusukan ke pedalaman dan dusun-dusun di Indonesia. Dengan melihat fungsi dan peran masjid, mereka menganggap bahwa masjid adalah tempat yang paling efisien sebagai tempat untuk menyebarkan dan mengajarkan pahamnya sekaligus sebagai basis pengakaderan keanggotaan mereka. 20 George Ritzer, McDonaldization, The Reader (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2000), 15. 185 George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho Kedua, Kalkulabilitas dan Prediktabilita: Awalnya wahhabisme berdiri untuk merampingkan Islam yang sarat beban kesejarahan. Ia ingin membersihkan Islam dari beban historisnya yang kelam, yaitu dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Alquran dan alSunnah. Seruan ini mestinya sangat positif bagi kerja perampingan dan pembersihan (purifikasi) itu. Tapi, ternyata wahhabisme tidaklah seindah yang dibayangkan. Di tangan para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab yang fanatik dan militan, implementasi ideologi wahhabisme kemudian terjatuh pada tindakan kontra produktif. Di mana-mana mereka menyebarkan tuduhan bid’ah kepada umat Islam yang tidak seideologi dengan mereka. Bahkan, tidak jarang mereka mengkafirkan dan memusyrikkan umat Islam lain.21 Mereka di Indonesia melakukan wahhabisasi di pelbagai daerah. Mereka mencicil ajaran-ajarannya untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia. Ada beberapa ciri cukup menonjol yang penting diketahui dari gerakan wahhabisasi itu. Pertama, mereka mempersoalkan dasar negara Indonesia dan UUD 1945. Mereka tidak setuju Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini dipandu oleh sebuah pakem sekular, hasil reka cipta manusia yang relatif bernama Pancasila. Menurut mereka, Pancasila adalah ijtihad manusia dan bukan ijtihad Tuhan. Semboyan mereka cukup gamblang bahwa hanya dengan mengubah dasar negara, dari Pancasila ke Islam, Indonesia akan terbebas dari murka Allah. Mereka lupa bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang sangat islami. Tak tampak di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Kedua, mereka menolak demokrasi karena demokrasi dianggap sebagai sistem kafir. Ini misalnya dapat kita ketahui dari buah karya Abdul Qadir 21 http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016 186 Zallum, tokoh yang sangat berpengaruh di lingkungan gerakan fundamentalis Islam, yang berjudul alDimuqrathiyah Nizham Kufr. Bukan hanya itu, mereka pun menolak dasar-dasar hak asasi manusia (HAM) yang sesungguhnya berpondasikan ajaran Islam yang kukuh. Mereka mengajukan keberatan terhadap konsep kebebasan beragama (hifẓ al-dīn), kebebasan berpikir (hifẓ al-‘aql), dan sebagainya. Menurut mereka tidak ada hak asasi manusia (HAM) karena yang ada adalah hak asasi Allah (HAA). Ketiga, merek a berusaha bagi tegaknnya partikular-partikular syari’at dan biasanya agak abai terhadap syari’at universal, seperti pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme dan sebagainya. Ini misalnya tampak dari sikap tidak kritis kelompok wahhabi terhadap ketidakberesan yang telah lama berlangsung di lingkungan kerajaan Saudi sendiri, sistem pemerintahan yang disokong demikian kuat oleh kelompok Wahhabi. Kelompok Wahhabi cukup puas ketika salat berjemaah diformalisasikan. Sementara, bersamaan dengan itu, kejahatan terhadap kemanusiaan terus berlangsung tanpa interupsi dari mereka. Keempat, mereka juga intensif menggelorakan semangat penyangkalan atas segala sesuatu yang berbau tradisi. Kreasi-kreasi kebudayaan lokal dipandang bid’ah, takhayul dan khurafat yang mesti diberantas. Pakaian yang lazim dikenakan oleh perempuan IslamJawa hendak diarabkan. Dahulu orang-orang NU mendapat serangan bertubi-tubi dari para pengikut wahhabisme itu.22 Empat hal itu adalah refrain yang kini rajin diulang-ulang oleh kelompok Wahhabi Indonesia. Pokok-pokok tersebut adalah sebagian dari juklak wahhabisme yang telah lama disusun di Saudi dan kemudian dipaketkan secara berangsur dan satu arah ke Indonesia. Ke depan jika semuanya sudah berhasil diwahhabikan, maka sangat boleh jadi Indonesia akan 22 http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016 Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016 menjadi repetisi Saudi Arabia; di mana kreasi-kreasi lokal dibid’ahkan.23 Ketiga, Kontrol: Mekanisme Dakwah Dengan berkembangnya teknologi sekarang ini, untuk mempermudah dalam penyebarannya ke masyarakat secara langsung, mereka menggunakan media penyiaran dan internet (media sosial, web, dll.), untuk mengantarkan ajaran-ajarannya. Kesimpulan Pemahaman sosiologis terhadap agama menjadi sangat penting dalam rangka upaya menemukan keterkaitan agama dengan kebudayaan di dalam masyarakat sehingga dapat ditemukan dinamikanya dalam mewujudkan keteraturan (integrasi) dalam masyarakat. Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di dalamnya memiliki peran penting dalam mendorong terjadinya konflik dan integrasi dalam hubunganhubungan sosial masyarakat. Daftar Pustaka Anwar, Yesmil dan Adang. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika Aditama, 2003. Dandaneau, Steve P; Dodsworth, Robin M. Being (George Ritzer) and Nothingness: An Interview (PDF), 2006. Geertz, Clifford. The Intepretation of Culture. New York: Basic Book Inc. Publicer, 1973. Koentjaningrat et.al. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984. Nasikun. Sebuah Pendekatan untuk Memahami Sistem Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sosial UGM, 1974. Nugroho, Heru (ed). McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Polak, Mayor. Pengantar Ringkas Sosiologi. Jakarta: Ikhtiar Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, terj. Jakarta: Kencana, 1979. ______, Vita: George Ritzer (PDF), 2008. ­­­­­­­______, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan- Ed. 1. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. 23 http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016 187 PEDOMAN PENULISAN JURNAL CITRA ILMU 1. Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa arab dalam bidang kajian masalah ilmu-ilmu Kebudayaan dan Keislaman. 2. Bentuk Naskah dapat berupa Research and Theoretical Papers, Prospective dan Case Study. 3. Naskah yang dikirim merupakan naskah baru, orisinil dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. 4. Refrensi yang digunakan berdasarkan pada naskah dijurnal dan buku-buku terbaru maksimal 10 tahun kebelakang. 5. Subtansi naskah diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Direktorat Penelitian dan Pengapdian kepada Masarakat (DP2M) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 6. Permendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. 7. Naskah ditulis dengan kaidah dan bahasa Inggris,bahasa Arab dan ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar. 8. Jumlah halaman 15-20 spasi satu, dengan font Goudy Old Style size 11 (atau setara jumlah kata 5000). 9. Hendaknya naskah yang dikirim menggunakan Gaya Selingkung Jurnal Citra Ilmu dan Sistematika Penulisan sebagai berikut: Judul Ditulis dengan beberapa pilihan kata penting, secara cermat, baik, benar, menarik dan terorganisir dengan runtut. Ditulis dengan huruf Kapital (12 pt). Jumlah kata Judul tidak lebih dari 15 kata. Sistematika Perjenjangan atau peringkat judul naskah dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama. (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center. (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri. Penulis Berisikan nama tanpa gelar akademik. Instansi tempat penulis (10 pt) dilengkapi alamat lengkap (fax./telp.e-mail dan kode pos). Abstark Berisi uraian singakat yang memuat latar belakang masalah, metodologi, hasil penelitian dalam bahasa Inggris dan Indonesia dan dibuat maksimal 200 kata dengan menggunakan font Calibrin (10 pt). Dilengkapi dengan kata kunci maksimal 5 kata yang menggambarkan isi naskah. Halaman isi Memuat antara 15-20 halaman, diketik dengan format rtf, ukuran A4 (21 X 29,7 cm) spasi 1 dengan font Calibri 11, kecuali judul 12 pt Capital dan table 10 pt. Naskah terdiri atas beberapa bab secara terpisah dan tidak menggunakan pengkodean baik dalam judul maupun sub judul. Pendahuluan Gambaran umum yang diurikan secara singkat dan fenomena kajian yang menyangkut latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan ruang lingkup penelitian (jika ada). Metode penelitian Memuat jenis dan sumber data penelitian. Metode analisis data (teknik pengambilan sempel dan analisisnya serta memuat kerangka berfikir berupa alur penelitian. Hasil Berupa hasil penelitian. Simpulan Adalah berupa jawaban dari tujuan atau masalah yang dikaji oleh naskah dan tidak dimaksudkan sebagai ringkasan hasil, Ucapan Terimakasih Berisikan ucapan terimakasih kepada pihak yang layak untuk mendapatkan ucapan terimakasih, seperti penyandang dana, penyum Bang bahan dan sarana penelitian. Daftar pustaka Refrensi yang digunakan dalam menyusun naskah dan diurutkan secara al-fabetis A-Z dengan format yang lazim dalam penulisan Daftar pustaka. Daftar pustaka hendaknya menggunakan acuan jurnal dan buku paling lama 10 tahun terahir. Jika naskah bukan dari hasil penelitian, dapat disesuaikan bagian isinya dengan: Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan dan Daftar Pustaka. Contoh penulisan citasi/kutipan: kutipan dalam jurnal adalah memakai footnote bukan end notes atau body notes 1 Hakit BOZ, Hadith Authenticity of the Science of Hermeneutucs, International Jurnal of Humnites and Social Sciences, Vol. 3 No. 2 Januari 2013, 187-191. 2 Muhamamd Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis: Era Klasik Hingga Konteporer (Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis) (Yogyakarta: Suka Press, 2012), 20. 3 Saifudin Zuhri Qudsy, Living Hadith in a Family: Reinventing Model of Research in Hadith Using Etnografi Research, Proceeding International Seminar on SUnnah Nabawiyah and its Contemporary Challenges, 10-11 September 2014 Brunai Darusalam. 4 Nor Elysa Rahmawati, Penafsiran Muhammad Talibi Tentang Ummatan Wasatan dalam al-Qur’an, Sekripsi fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan KAlijaga Yogyakarta, 2014. 5 Zainal Arifin, Tradisi dan Pola Perilaku dalam Maqam-Maqam Tradisi Tasawuf (Study Hierarkhi dan Tahap-Tahap Pendidikan Islam Menurut Para Kyai di Daerah Mlangi Nogotirto Gamping Seleman), Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2013. 6 Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif menurut asy-Syafi’i: Tinjauan Sisiologi Pengetahuan, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014. 7 Azyumardi Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama” dalam Dicky Sofjan (Ed.), Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara (Yogyakarta: ICRS, 2013). 5. Contoh penulisan daftar Pustaka Jurnal Rippin, Andrew. Contemporary Scholarly Understandings of Qur’anic Coherence, Jurnal al-Bayan Vol 11 No. 2, Juni 2013, p. BOZ, Hakit. Hadith Authenticity of the Science of Hermencutucs, International Journal of Humnites and Social Scients, Vol, 3 No. 2 Januari 2013, 187-191. Buku Sayeed, Asma. Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam. New York: Cambridge University Press, 2013. Suryadilaga, Muhamamd Alfatih: Metodologi Syarah Hadis: Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruktruksi Metodologi Syarah Hadis). Yogyakarta: Suka Press, 2012. Proceeding seminar Qudsy, Saifudin Zuhri, Living Hadith in a Family: Reinverting Model of Research in Hadith Using Etnografi Research, Proceeding International Seminar on SUnnah Nabawiyah and Its Contemporary Challenges, 10-11 September 2014 Brunai Darusalam. Skripsi, Tesisi dan Disertasi Rahmawati, Nor Elysa. Penafsiran Muhammad Talibi Tentang Ummatan Wasatan dalam al-Qur’an, Sekripsi fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Arifin, Zainal. Tradisi dan Pola Perilaku dalam Maqam-Maqam Tradisi Tasawuf (Study Hierarkhi dan Tahap-Tahap Pendidikan Islam Menurut Para Kyai di Daerah Mlangi Nogotirto Gamping Seleman), Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2013. Helmy, Muhammad Irfan. Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif menurut asy-Syafi’i: Tinjauan Sisiologi Pengetahuan, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014. Internet Muhammad Shalih al-Gamidi, Manahij al-Muhaddisin: Kutub Garib al-Hadis, diakses tanggal 4 Nopember 2014 dalam Http://Uqu.Edu.Sa./Page/Ar/161561. Surat Kabar Nasaruddin Umar, “Puasa Perspektif Syari’at, Tariqat dan Hakikat”, Republika, 2 Nopember 2014. Pedoman Transliterasi Arab-Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543 b/U/1987. Pengiriman Naskah 1. Naskah dikirimkan sebanyak 2 exsemplar hardcopy berupa file. File bisa dikirim melalui e-mail citrastainu@yahoo. co.id. 2. Naskah yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, institusi dan alamatnya, nomor telepon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan naskahnya harus menjamin behwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasikan oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. 5. Alamat jurnal Citra Ilmu STAINU Temanggung: (Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) STAINU Temanggung, Jl. Suwandi-Suwardi Telp. (0293) 493361 Temanggung 56213.