Jurnal

advertisement
DAFTAR ISI
PIERRE BOURDIEU DAN GAGASANNYA MENGENAI AGAMA
Andi Holilulloh....................................................................................................................................................... 99
SOSIOLOGI AGAMA BRYAN S. TURNER
Mokhamad Azis Aji Abdilah................................................................................................................................. 107
CLIFFORD GEERTZ DAN PENELITIANYA TENTANG AGAMA DI INDONESIA (JAWA)
Gunawan Laksono Aji ......................................................................................................................................... 115
ANTHONY GIDDENS DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA
Lu’lu Un Nisai....................................................................................................................................................... 125
IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SOSIOLOGI
Abdu Robbir Rosoul Kariim.................................................................................................................................. 137
PETER L. BERGER DAN GAGASANNYA MENGENAI KONSTRUKSI SOSIAL DAN AGAMA
Ahmad Nur Mizan .............................................................................................................................................. 147
PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA
Misbahul Munir................................................................................................................................................... 155
MAX WEBER DAN AGAMA
Namirotul Qubaiyah............................................................................................................................................ 165
DALE CANNON DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA
M. Nurul Huda..................................................................................................................................................... 173
GEORGE RITZER DAN AGAMA
Abdullah Ridho.................................................................................................................................................... 179
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
PIERRE BOURDIEU DAN GAGASANNYA MENGENAI AGAMA
Andi Holilulloh
FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Belakangan ini banyak bermunculan persoalan sosial termasuk di dalamnya adalah kekerasan simbolik yang sensitif. Salah satu penyebab
persoalan sosial tersebut adalah akibat peranan agama dan sosial yang belum akur dan sejalan. Persoalan sosial justru banyak bermuara
dari masyarakat agama baik karena internalisasi nilai agama yang kurang efektif maupun karena faktor kelas sosial yang ada. Melalui
kajian pemikiran Pierre Bourdieu tulisan ini berupaya menemukan teori yang dapat mendamaikan oposisi absurd antara individu dan
masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu bahwa struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan
saling mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas). Pierre Bourdieu menawarkan pendekatan strukturalisme genetik untuk menemukan
faktor hubungan antara agama dan sosial yang masih terpisah. Pendekatan strukturalisme genetik, Pierre Bourdieu menyatakan bahwa
struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis
yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur sosial itu sendiri. Sebagai contoh shalat yang
hanya sebagai habitus, jika ritual itu hanya dilakukan tanpa memberikan efek bagi kehidupan kita. Konsep habitus, yakni pola persepsi,
pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka panjang, dan disebabkan oleh suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung,
bahkan ketika kondisi tersebut sudah berubah. Di samping itu Pierre Bourdieu juga mengembangkan teori reproduksi kelas di mana satu
generasi dari suatu kelas memastikan bahwa ia mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya.
Kata Kunci: Pierre Bourdieu, Habitus dan Doxa.
Abstract
Lately, many emerging social issues including the sensitive symbolic violence. One of the causes of social problems are a result of religious
and social role that has not been getting along and in line. Social issues just a lot comes down to religious communities either because
of internalization of religion that is less effective or because of social classes. Through the study of Pierre Bourdieu thought this article
aims to find a theory that could reconcile the absurd opposition between the individual and society. According to Pierre Bourdieu that
the structure of objective and subjective representation, agents and actors are dialectically intertwined and affect each other reciprocally
(duality). Pierre Bourdieu offers genetic structuralism approach to find common factors between religion and social relations which are
still separated. Genetic structuralism approach by Pierre Bourdieu stated that the objective structures which can not be separated from
the analysis of the mental origin structures in the biological individuals partly a product of the union of social structures and origins of
the social structure itself. For example prayer that just as habitus, if it’s just a ritual done without giving effect to our lives. The habitus
concept, those are the perception concept, thought and action that survive in the long term, and is caused by an objective circumstances,
but still takes place, even when the conditions have changed. In addition, Pierre Bourdieu also developed the theory of class reproduction
in which one generation of a class to make sure that it reproduces itself and leave its privileges to the next generation.
Keywords: Pierre Bourdieu, habitus and Doxa
99
Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh
Pendahuluan
Agama merupakan satu istilah yang sangat sakral
dan sensitif bagi semua umat manusia, terlebih dilihat
dari berbagai aspek dan sudut pandang yang beragam.
Ketika kita mendengar kata “agama”, sebagian besar
di antara kita akan mengarahkan kepada suatu
keadaan sosial yang terjadi di masyarakat; bagaimana
orang bersikap bagi lingkungannya; bagiamana
orang berpakaian sehari-hari dan lain sebagainya.
Seseorang tidak akan merendahkan orang lain jika
ia memiliki pemahaman yang tinggi soal sosial.
Bagiamana seseorang bisa menghormati orang lain
jika ia tidak paham akan etika sosial. Banyak dari
mereka yang paham agama namun belum tentu bisa
mempraktekkan kegiatan sosial dengan baik.
Keadaan masyarakat Indonesia yang beragam
dan memiliki suku dan budaya yang begitu banyak,
tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan sosial di negara
yang besar ini begitu amat sakral, terlebih akan
ragamnya agama dan hubungan sosial yang terjadi
setiap saat. Peran sosial ini amat penting, begitu
juga peran agama yang tidak bisa dilepaskan, maka
dari situ kita bisa memadukan keduanya untuk
memahami kehidupan dan menjalaninya ke arah
yang lebih baik demi terciptanya kerukunan dalam
beragama dan bermasyarakat. Bagi sebagian orang,
Pierre Bourdieu dikenal dengan sosiolog. Sosiologi
sebagian mempunyai objek yang sama dengan ilmu
pengetahuan kemasyarakatan lainnya, tetapi ia
memandang peristiwa sosial dengan caranya sendiri,
hakikat kerja sama serta kehidupan bersama dalam arti
kebendaan dan kebudayaan.1
Pierre Bourdieu adalah seorang yang berintelektual
tinggi yang memiliki konsep-konsep yang sangat
berpengaruh dalam hal sosial dan filsafat pada abad
ke-21. Beliau pemuka dalam referensi intelektual
bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan
1
P.J Bouman, Sosiologi Pengertian dan Masalah (Semarang:
Yayasan Kanisius, t.t.), 49.
100
globalisasi yang berkembang di Perancis. Pierre
Bourdieu sang penulis memiliki pandangan politiknya
yang vokal dan kontribusi yang besar dalam isu-isu
politik yang ada di hadapan publik, terlebih bagi
semua yang menyadari akan hal ini. Pierre Bourdieu
juga menggunakan metode-metode yang diserap dari
berbagai disiplin ilmu mulai dari filsafat dan teori
sastra ke sosiologi dan antropologi. Beliau sangat
dikenal karena bukunya yang berjudul Distinction: A
Social Critique of the Judgment of Taste. Dalam buku
tersebut ia berargumen bahwa penilaian-penilaian
selera itu berhubungan dengan posisi sosial dan agama
juga.2
Pierre Bordieu mengkombinasikan teori dan faktafakta yang bisa diverifikasi dalam usaha mendamaikan
kesulitan-kesulitan, semacam bagaimana memahami
subyek di dalam struktur obyektif. Dalam proses itu,
ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal latar
belakang sosial dan “pilihan bebas”, terhadap individu.
Pierre Bourdieu merintis kerangka investigatif dan
terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan
modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field) atau
lokasi, dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan
dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial.
Karyanya menekankan peran praktik dan perwujudan
atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial dan
konstruksi pandangan-dunia yang sering bertentangan
dengan tradisi filsafat Barat yang diuniversalkan.
Dalam kehidupan sekarang ini, banyak sekali
keragaman masalah-masalah kehidupan yang dialami
oleh setiap manusia, terlebih lagi soal keadaan-keadaan
sosial yang sangat sensitif untuk disentuh. Tak dapat
dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
kerap sekali terjadi kekeliruan yang bisa menimbulkan
keributan dan pertikaian baik sengaja maupun tidak;
baik masalah itu besar maupun kecil. Oleh karenanya
peranan agama dan sosial itu harus akur dan sejalan
2
Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Jakarta:
Kreasi wacana, 2004), 30.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
agar bisa menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi
dengan bijak.
Pierre Bourdieu merupakan salah satu sosiolog
yang pemikirannya cukup sulit untuk dipahami
karena pemikirannya banyak diwarnai dengan konsepkonsep yang relatif baru, namun sebenarnya konsep
yang digunakan Pierre Bourdieu ini memiliki makna
yang hampir sama dengan konsep yang dikemukakan
teoritikus lainnya. Selain itu juga, pemikirannya banyak
sekali diwarnai dengan ide-ide yang sangat filosofis.
Berikut ini dijelaskan beberapa konsep kunci untuk
memahami pemikiran Bourdieu. Pada hakikatnya,
konsep-konsep ini nantinya sangat bermanfaat untuk
menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian
dikaitkan dengan konsep-konsep kejadian sosial dan
agama. Sosok Sosiolog yang sangat imajinatif dan
bijaksana seperti Pierre Bourdieu ini menimbulkan
ketertarikan yang amat mendalam dari diri saya
untuk membahas lebih jauh dan lebih dekat akan
kharismatik-kharismatik tokoh ilmuan dari Perancis
ini, terlebih soal pemikiran-pemikirannya akan agama
yang dekat sekali kaitannya dengan sosial.
Pierre Bourdieu: Sosok, Ranah, Gagasan, dan
Karya
Nama Lengkap beliau adalah Pierre Felix
Bourdieu di Denguin (Pyrenes-Atlantiques). Pierre
Bourdieu terlahir dari keluarga kelas menengah ke
bawah, tepatnya di desa Denguin (Distrik PyreneesAtlantiques), di selatan Perancis pada 1 Agustus 1930.
Pada awal tahun 1950-an Bourdieu mengikuti kuliah
dan mendapatkan ijazah dari Institut Keguruan di
Perancis Ecole Normale Superieure. Ia menikah
dengan Marie-Claire Brizard pada tahun 1962 dan
memiliki tiga putra: Jerome, Emmanuel dan Laurent.3
3
Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah sebuah Ide
Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
t.t.), 28.
Bourdieu belajar filsafat dengan Louis Althusser
di Paris di Cole Normale Superieure. Setelah
mendapatkan ijin mengajarnya, Bourdieu bekerja
sebagai guru di Moulins Lyce 1955-1958. Kemudian
pada 1956 Bourdieu mengikuti wajib militer untuk
Perancis dan mengambil posisi sebagai dosen di Aljazair.
Selama Perang Aljazair di 1958-1962, ia melakukan
penelitian etnografi. Bourdieu dalam bentrokan
itu melalui penelitian yang Kabyle masyarakat, dari
Berber meletakkan dasar bagi reputasi antropologi-nya.
Hasilnya adalah buku pertamanya, Sociologie de L’Algerie
(The Aljazair) yang langsung sukses di Perancis dan
diterbitkan di Amerika tahun 1962.4
Setelah dua tahun mengikuti wajib militer,
Bourdieu kembali ke Perancis dan mengikuti kuliah
Levi-Strauss di College de France, lalu bekerja
sebagai asisten sosiolog Raymon Aron. Bourdieu
pindah ke Universitas Lille selama tiga tahun dan
kemudian memperoleh posisi kuat sebagai Direktur
Studi di L’ecole Practique des Hautes pada 1964.
Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi
tokoh utama lingkaran intelektual di Paris, Perancis
dan akhirnya di dunia. Karyanya mempengaruhi
sejumlah bidang yang beragam termasuk pendidikan,
antropologi dan sosiologi. Ia mengumpulkan satu
kelompok pengikutnya pada tahun 1960-an, dan
sejak saat itu pengikutnya berkolaborasi dengannya
dan memberikan sumbangsih intelektual bagi dirinya
sendiri. Pada tahun 1968 Centre de Sociologie Europeenne
didirikan dan Bourdieu menjadi Direktur sampai ia
wafat. Yang dikaitkan dengan pusat studi ini adalah
proyek penerbitan unik, Actes de la Recherche en Sciences
Sociales, yang menjadi pajangan penting bagi karya
Bourdieu dan para pendukungnya.
Pada 1981 jabatan prestisius di jurusan sosiologi
College de France lowong karena Raymond Aron
pensiun dan beberapa sosiolog penting Perancis
seperti Raymond Bouddon dan Allain Touraine saling
4
Richard Jenkins, Membaca Pikiran, 26.
101
Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh
berkompetisi untuk memperoleh jabatan itu. Namun
jabatan tersebut dianugerahkan kepada Bourdieu
sehingga reputasi Bordie semakin berkembang dari
sebelumnya. Pada tahun 1975, dengan kelompok riset
yang terbentuk di Centre de Sociologie Européenne,
ia meluncurkan jurnal interdisipliner Actes de la halus
en Sociales ilmu, yang ia berusaha untuk mengubah
aturan yang berlaku sementara produksi sosiologis
buttressing kekakuan ilmiah sosiologi. Pada tahun
1993 ia mendapat kehormatan dengan “Médaille
d’atau du Centre National de la halus Scientifique”
(CNRS). Pada tahun 1996, ia menerima hadiah
Goffinan dari University of California, Berkeley dan
pada tahun 2001 mendapatkan Medali Huxley dari
antropologi Royal Institute Bourdieu.5
Karya-Karya Pierre Bourdieu
Selama perang Al-Jazair 1958-1962, Bourdieu
melakukan riset etnografis mengenai benturan dalam
masyarakat, lewat studi mengenai masyarakat kabyle
dari suku Berbers. Penelitian ini kemudian menjadi
landasan bagi reputasinya di bidang antropologi.
Hasilnya adalah buku karya pertamanya, Sociologie de
L’Algerie (The Algerians) yang segera meraih sukses
di Perancis dan diterbitkan di Amerika pada tahun
1962. Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris untuk
mengajar sampai 1964. Pierre Bourdieu memegang
jabatan direktur kajian di Ecole des Hautes Etudes
en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan
seterusnya.6
Dalam salah satu karya Pierre Bourdieu dikatakan
bahwa ranah produksi kebudayaan membawa kita
kepada pemikiran dan sastra Pierre Bourdie yang
menyediakan pengenalan utama akan tulisannya dan
juga teori Bourdieu akan pokok kebudayaan yang
menempatkan kinerja seni dalam kondisi sosial dan
sirkulasi serta konsumsi mereka. Pierre Bourdieu
mengembangkan pendekatan murni pada sebuah
studi sastra dan kinerja artistik, menyempurnakan
banyak kunci isu yang menjelaskan sastra, budaya dan
kritik pada akhir abad ke-20, nilai seni yang tinggi.
Pierre Bourdieu mengelaborasi sebuah teori pokok
kebudayaan yang menempatkan kinerja artistik dalam
kondisi sosial permulaan, sirkulasi dan konsumsi. Ia
menguji setiap orang dan institusi yang terjalin dalam
membuat produk kebudayaan atas apa yang mereka
miliki. Karya dalam jumlahnya menguji seperti sebuah
topik pembicaraannya pokok utama dari pandangamya
Flaubert, perubahan yang mendalam dari kreasi
sejarah atas hubungan antara seni dan kekuatan
pandangan. Ranah produksi kebudayaan akan menjadi
menyenangkan bagi siswa dan alumni dari seluruh
ranah pendidikan, sosial dan teori sastra dan stusi
kebudayaan mereka.7
Karya-karya Pierre Bourdieu itu pada hakikatnya
sangat beragam dan banyak, namun yang pemakalah
paparkan hanya sebagian saja karena untuk menjaga
khasanah keilmuan saja. Berikut ini adalah karya-karya
tulisan baik buku maupun artikel dari Pierre bourdieu
: Language and Symbolic Power, The Field of Cultural
Production (Essay on Art and Literature), Distinction: A
Social Critique of the Judgement of Taste, The algerians,
Forms of Capital, Rules of Art, Outline of a Theory of
Practice, On Television, In Other words: Essay towards a
reflexive sociology, The Logic of Practice.
Selain itu juga, banyak sekali buku-buku yang
membahas dan menyajikan penelitian tentang
sosok Pierre-Felix Bourdieu, salah satunya yaitu
dijelaskan bahwa Pierre Bourdieu juga memaparkan
dan membahas hasil penelitiannya tentang suatu
kemampuan bahasa sebagai salah satu sistem simbol
dalam mengkonstruksi realitas seperti pada pembacaan
yang dilakukan Pierre Bourdieu terhadap relasi bahasa
dan kekuasaan. Karena menurut Pierre Bourdieu, kita
ini bisa mengkategorikan ataupun memasukkan suatu
5
Nanang Martono, Kekerasan Simbolik, 30.
Ibid., 29.
6
102
7
Pierre Bourdieu, The Field of Cultural production (Cambridge
: polity, 1993), 129.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
perbedaan ke dalam suatu kehendak untuk menguasai.
Menurutnya juga, setiap simbol juga memiliki arti
khusus dan keadaan sosial dan uraian mengenai
bahasa. Pertarungan kekuasaan dan kekerasan
simbolik dan juga paparan pandangan kritis Pierre
Bourdieu terhadap tata wacana neoliberalisme.8
Gagasan Pierre Bourdieu Mengenai Agama
Pemikiran maupun gagasan Pierre Bourdieu
itu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam
sosiologi, banyak yang bersifat nyata maupun tidak.
Alih-alih jatuh pada salah satu dualisme di atas,
Pierre Bourdieu memposisikan dirinya dalam upaya
mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan
masyarakat.” Agar pertentangan ini dapat teratasi,
Pierre Bourdieu memilih menggunakan cara berpikir
rasional bahwa struktur objektif dan representasi
subjektif agen dan pelaku terjalin secara dialektis
dan saling mempengaruhi secara timbal-balik
(dualitas). Keduanya tidak saling menafikan, tetapi
saling berkaitan dalam sebuah praktik.
Di samping model pendekatan Pierre Bourdieu
yang pertama, berkembang individualisme-metodelogi
Raymond Boudon. Dalam bukunya La Logique Du
Social (1979), menurut sosiolog ini, fenomena sosial
apa pun merupakan produk tindakan-tindakan
individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus
dicari pada sisi rasionalitas pelaku-pelakunya.
Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda dari model
ekonomi klasik. Konsep habitus pada Pierre Bourdieu
tidak akan menerima pemisahan ketat antara pelaku
sosial dan menimbulkan struktur-struktur baru yang
melingkupinya.
Model kedua ialah aksionalisme Alain Touraine.
Pendekatan ini mendasarkan pada analisis gerakangerakan sosial dan peran mereka dalam perubahan
sosial. Dalam bukunya Le retour de l’acteur (1984) Alain
8
Fauzi Fahsri, Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol
(Jakarta: Jalasutra, 2005), 147.
Touraine menekankan bahwa gerakan-gerakan sosial
merupakan objek khas dan masalah sentral analisis
sosiologi. Ia juga membedakan konsep gerakan sosial
dari konsep perjuangan kelas dan dari perilaku kolektif.
Perbedaan ini didasarkan pada pemahamannya,
bahwasanya juga ada tiga tipe konflik. Kecenderungan
ini berbeda dengan pendekatan Pierre Bourdieu yang
memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga
terkait dengan ruang dan memang riil ditempati.
Model selanjutnya yaitu model ketiga, yakni
pendekatan strategis dari Michel Crozier, yang
menekankan analisis hubungan-hubungan kekuasaan
dan organisasi-organisasi. Para pelaku sosial yang
sekaligus rasional dan rasionalitasnya sebatas
mempunyai makna kebebasan yang menjadi dasar
kekuasaan mereka. Dalam bukunya yang ditulis
bersama Erhard Friedberg, L’acteur et le system (1977),
Crozier mencoba menjelaskan dialetika antara
pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya
bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh
pelaku-pelaku sosial; sebaliknya pelaku sosial kendati
dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur
tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih
sangat kuat. Berbeda dengan Bourdieu, ada upaya
penyatuan kedua unsur tersebut. Oleh karena itu
pendekatannya disebut strukturalisme genetik. Analisis
struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan
dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam
individu-individu biologis yang sebagian merupakan
produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul
struktur sosial itu sendiri. Pendekatan ini membuka
cakrawala dalam menganalisis masyarakat sehingga
memberi sumbangan khas.
Kritik Dan Pemikiran Bourdieu Mengenai
Agama dan Sosial
Habitus Shalat menurut Pierre Bourdieu
Contoh habitus shalat menurut pemikiran Pierre
Bourdieu :
103
Pierre Bourdieu dan Gagasannya Mengenai Agama – Andi Holilulloh
“Sebagaimana kita lakukan sehari-hari, sebagai
orang muslim kita bangun di pagi dini hari untuk
melakukan shalat shubuh; di siang hari untuk
melakukan shalat dhuhur; selepas itu di waktu
sore hari; ketika adzan ashar berkumandang
kita melakukan shalat ashar seperti biasanya; di
waktu maghrib kita mengambil air wudhu untuk
melakukan shalat maghrib dan begitu juga kita
melakukan shalat isya di waktu malam. Begitu
juga seterusnya setiap saat bagi kita. Hal itu bisa
dikatakan sebagai habitus jika ritual itu hanya
dilakukan tanpa memberikan efek bagi kehidupan
kita. Tetapi sebagaimana yang kita tahu bahwa
rutinitas tersebut memberikan efek yang sangat
penting bagi kehidupan kita karena ibadah shalat
merupakan kebutuhan bagi umat muslim di dunia.9
Habitus shalat itu bersifat teratur dan berpola pada
konsepnya. Ia merupakan suatu aktifitas yang bagi kita
sudah terkonsep untuk dilaksanakan setiap hari, yang
memasukkan teori agensi, tentang shalat. Menurut
Pandangan Pierre Bourdieu, ibadah shalat merupakan.
Pertama, Structured structure. Kedua, Structuring
structure. Ketiga, Transposable (dapat dialihkan) :
boleh menjamak sholat ketika dalam perjalanan
Pandangan Pierre Bourdieu mengenai Doxa
Doxa adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak
sadar, berakar mendalam, yang telah dipelajari (learned),
yang dianggap universal atau secara umum terbukti
dengan sendirinya (self-evident), yang memberikan
informasi-informasi akan tindakan dan pikiran
seseorang dalam ranah (fields) tertentu.10
Menurut Pierre Bourdieu, dalam pemikirannya
itu mengkritik pemikiran dari sejumlah Marxist
yang mengatakan bahwa suatu masyarakat itu dapat
dianalisis dan diteliti secara sederhana melalui kelaskelas dan ideologinya. Ia menggunakan suatu konsep
yang disebut konsep field, yakni arena sosial di mana
9
Satrio Arismunandar, Pierre Bourdieu dan pemikirannya
tentang Habitus, Doxa dan Simbolik (Jakarta: Universitas Indonesia,
t.t.), 101.
10
Ibid., 6.
104
orang berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan
sumber daya yang dinginkan. Field juga dapat diartikan
dan dimaknai sebagai sistem dari kedudukan sosial
yang terstruktur secara internal dalam hubungan
kekuasaan. Suatu field itu mempunyai otonomi.
Semakin kompleks suatu masyarakat, maka semakin
banyak field yang terdapat di dalamnya.
Teori yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu
juga adalah reproduksi kelas: di mana satu generasi
dari suatu kelas memastikan bahwa ia mereproduksi
dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada
generasi berikutnya. Misalnya pendidikan. Agar
dapat sukses dalam pendidikan, maka dibutuhkan
keseluruhan rangkaian dari perilaku kultural (cultural
behavior). Anak dari keluarga menengah ke atas telah
mempelajari perilaku ini. Sementara temannya yang
berasal dari kelas pekerja tidak. Oleh karena itu, anak
tersebut dapat sukses dalam sistem pendidikan dan
mereproduksi kedudukan sosialnya.
Bourdieu melihat bahwa legitimasi dari cultural
capital (modal kultural) sebagai sesuatu yang krusial
terkait dengan efektivitasnya sebagai sumber kekuasaan.
Hal tersebut juga dilihat sebagai kekerasan simbolik,
yakni kekerasan yang halus dan tak tampak, yang
bersembunyi di balik pemaksaan dominasi. Yang
dimaksud adalah, dominasi (ide, gagasan, kekuasaan)
dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga ia
tidak tampak sebagai sebuah pemaksaan dominasi.
Kemudian akhirnya dominasi tersebut diakui secara
salah. Meskipun demikian, hal itu dianggap sah atau
tidak perlu dipertanyakan lagi. Jadi dalam contoh
kasus tadi, anak-anak yang berasal dari kelas pekerja
menganggap itu sebagai sesuatu yang logis dan tidak
perlu dipertanyakan lagi, bahwa teman mereka yang
berasal dari kelas menengah ke atas dapat sukses
dalam sistem pendidikan, seperti halnya dengan apa
yang terlihat. Unsur kunci dari proses ini adalah
transformasi dari cultural habit atau kedudukan
ekonomi ke dalam symbolic capital, yang diakui serta
dikenal dan kemudian cenderung memperkuat
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
hubungan kekuasaan yang membentuk struktur dari
ruang sosial.
Other words : Essay towards a reflexive sociology, The Logic
of practice.
Kemudian Bourdieu mengenalkan konsep habitus,
yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang
bertahan dalam jangka panjang dan disebabkan oleh
suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung,
bahkan ketika kondisi tersebut sudah berubah.
Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi,
karena ia membangkitkan praktik-praktik yang
membentuk kehidupan sosial. Habitus yang ada dalam
setiap individu menggunakan berbagai macam bentuk
dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap aspek
dari interaksi manusia dengan dunia. Tidak hanya
berupa ide atau pola dalam berbicara atau berpakaian,
namun juga menunjuk kepada raga dan tingkah laku.
Pierre Bourdieu merintis kerangka investigasi dan
terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan
modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field)
atau lokasi suatu tempat. Serta juga kekerasan simbolik
untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam
kehidupan sosial. Karya-karya Pierre Bourdieu ini
lebih menekankan peran praktik dan perwujudan
atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial
dan kontruksi pandangan dunia yang sering kali
bertentangan dengan tradisi filsafat Barat yang
diuniversalkan.
Berdasarkan penjelasan diatas, Bourdieu berusaha
untuk menunjukkan bahwa raga tidak hanya berada
dalam dimensi sosial, namun juga dimensi sosial
berada di dalam raga (In Other Words; p.190.). Dan
semua ini termanifestasikan dalam bagaimana
kita berdiri, berbicara, dan tentunya berpikir serta
berperasaan.
Kesimpulan
Pierre-Felix Bourdieu lahir di Perancis selatan pada
tanggal 1 Agustus 1930. Pierre Bourdieu terlahir dari
keluarga kelas menengah ke bawah, tepatnya lahir di
Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlantiques), di selatan
Prancis. Dialah seorang sosiolog yang mencurahkan
perhatian yang sangat besar pada masalah sosial,
pendidikan, yang dikaitkan dengan masalah kelas
dan budaya yang kemudian menyebabkan terjadinya
reproduksi sosial.
Berikut ini adalah karya-karya tulisan baik buku
maupun artikel dari Pierre bourdieu : Language and
Symbolic power, The Field of cultural production ( Essay on
art and Literature ), Distinction : A social critique of the
judgement of taste, The algerians, Forms of capital, Rules
of art, Outline of a theory of practice, On Television, In
Menurut Pierre Bourdieu, Doxa cenderung kepada
suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar
mendalam, yang telah dipelajari (learned), yang di
anggap universal atau secara umum terbukti dengan
sendirinya (self-evident), yang memberikan informasiinformasi akan tindakan dan pikiran seseorang dalam
ranah (field) tertentu.
Daftar Pustaka
Arismunandar, Satrio. Pierre Bourdieu dan pemikiran
nya tentang Habitus, Doxa dan Simbolik, Jakarta:
Universitas Indonesia.
Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production.
Cambridge: Polity, 1993.
Fauzi Fahsri. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol.
Jakarta: Jalasutra.
Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah
Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu.
Jakarta: Kreasi wacana, 2004.
P.J Bouman, Sosiologi Pengertian dan Masalah. Semarang:
Yayasan Kanisiu.
105
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
SOSIOLOGI AGAMA BRYAN S. TURNER
Mokhamad Azis Aji Abdilah
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Tulisan hendak mencari makna agama dalam arti secara sosiologis menurut Bryan S. Turner. Berdasarakan hasil kajian yang penulis
lakukan, agama bagi Bryan S. Turner tidak dilihat berdasar apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan
bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Turner, sosiologi agama memiliki tiga kelemahan utama: Pertama, sosiologi agama tidak lagi mengambil peranan dalam
sebagian besar perdebatan teoretis sosiologi agama, Dengan kata lain, sosiologi hanya menjadi “peran figuran” dalam perdebatan,
misalnya, pemikiran Neo-Marxis tentang mode produksi dan ideologi. Sosiologi agama seringkali memandang basis atau superstuktur
dalam Marxisme klasik sebagai satu-satunya penjelasan Marxian untuk persoalan ideologi, tempat di mana agama menjadi refleksi
dari relasi produksi ekonomi. Kedua, sosiologi modern terlalu difokuskan pada subjektivitas pelaku sosial yang nampak dalam analisa
mereka tentang keyakinan religius, pandangan hidup, dan pendefinisian realitas yang lain. Menurutnya, perhatian yang terpusat pada
subjektivitas individual ini memiliki dampak-dampak tertentu dalam kaitan dengan kajian sosiologi agama. Agama hanya tercurah
pada dimensi kognitif tindakan religius, dan karenanya ritual dan praktik religius diletakkan pada tempat kedua. Terakhir, sosiologi
agama selama ini hanya memfokuskan pada fakta empiris yang sempit. Mereka hanya memberikan porsi yang tidak berimbang terhadap
realitas yang lain. Dengan ungkapan yang lebih tegas, Turner mengatakan bahwa sosiologi agama adalah sosiologi Kristianitas. Ketiga,
hal inilah yang sejatinya menjadi gugatannya dalam ranah sosiologi agama
Kata Kunci: Bryan S. Turner, Sosiologi agama, Social institution, Marxisme, Neo-Marxis
Abstract
Posts about to search for the meaning of religion in the sense sociologically by Bryan S. Turner. Based on the results of studies conducted
by the author, Bryan S. Turner’s religious views are not based on what and how the content of the teachings and doctrines of its faith,
but how the teachings and religious beliefs that do and manifest in the behavior of their adherents in everyday life. According to Turner,
the sociology of religion has three major flaws: First, the sociology of religion will no longer take part in most of the theoretical debates of
sociology of religion, in other words, sociology just be “the role of extras” in the debate, for example,the Neo-Marxist thoughtof production
mode and ideology. Sociology of religion often view basis or superstructure in classical Marxism as the only explanation for the problem of
Marxian ideology, the place where religion is a reflection of the economic production relationship. Second, modern sociology too focused
on the subjectivity of social actors which appear in their analysis of religious beliefs, worldview, and defining other realities. According
to him, attention is focused on individual subjectivity has specific impacts in relation to the study of the religion sociology. Religion is
only devoted to the cognitive dimension of religious action, and therefore religious rituals and practices put in second place. Lastly, the
sociology of religion has been focused only on narrow empirical facts. They provide unbalanced portion for another reality. With more
assertive expression, Turner said that the religion sociology is a sociology of Christianity. Thirdly, this is what actually becomes the lawsuit
in the realm of sociology of religion.
Keywords : Bryan S. Turner, Sosiology of Religion, Social institution, Marxisme, Neo-Marxis
107
Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah
Pendahuluan
Agama di dunia modern bertentangan dengan
pemahaman konvensional modernisasi sebagai
sekularisasi. Agama memainkan peran utama dalam
politik, masyarakat dan kebudayaan.
Peran tersebut justru meningkatkan eksistensi
agama, sehingga pada tahun-tahun belakangan
ini telah muncul kegairahan aktivitas akademis di
seputar gagasan semisal agama politik, nasionalisme
keagamaan, dan masyarakat pasca-sekuler.
Sosiologi agama yang dituangkan oleh Bryan S.
Turner dalam bukunya memberikan ulasan dan kajian
tentang agama dalam lingkungan sosial. Tema-tema
utama dalam sosiologi agama kontemporer meliputi
sakralisasi ulang, fundamentalisme, dan kebangkitan
agama seperti yang tidak hanya diperhatikan oleh
Islam, namun juga oleh Pantekostalisme dan gerakangerakan karismatik.
Sebagai akibatnya, studi agama, seperti halnya
kajian tentang masyarakat secara lebih umum,
telah mengabaikan gagasan tentang proses tunggal
modernisasi dengan menerima gagasan tentang
“modernitas bermacam-macam” dan dengan
menekankan kelanggengan budaya-budaya lokal untuk
melawan mesin globalisasi.
Agama sebenarnya tempat di mana manusia
mencari kedamaian hidup dan pemerdekaan dari
segala persoalan hidup, namun di lingkungan
masyarakat agama malah menjadi hantu.
Berbeda dengan agama yang lebih didominasi oleh
masyarakat, entah mungkin itu atas kebutuhan politik
atau untuk memantapkan keimanan. Namun, yang jelas
dalam agama juga ada aliran fundamentalisme yang
tak bisa dihindari. Seperti halnya fundamental dalam
agama tradisi Kristen, “fundamental” didefinisikan
sebagai kepercayaan pada Trinitas, ketuhanan Kristus,
rusaknya kodrat manusia akibat dosa asal.
Dari luar tradisi Kristen, fundamental didefinisikan
sebagai gerakan-gerakan yang berupaya kembali kepada
108
sistem nilai feodal dan ortodoks. Namun deskripsi
tentang fundamentalisme ini dibatasi pada agamaagama monoteistik. Seperti tradisi-tradisi agama Islam,
Kristen dan Yudaisme erat berkaitan dengan dengan
tidak hanya secara historis namun juga secara teologis.
Bryan S. Turner: Sosok, Ranah, Gagasan, dan
Karya
Bryan S. Turner adalah seorang dekan fakultas
Seni dan Professor Sosiologi di Universitas Deakin,
Australia. Buku ini merupakan kumpulan essay dari
berbagai rangkaian kuliah yang di berikan di beberapa
tempat khususnya di tempat dia mengabdikan
dirinya sebagai seorang dosen di Universitas Deakin,
Australia.1
Nama lengkapnya adalah Bryan Stanley Turner,
dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1945 di Birmingham,
Inggris. Birmingham adalah sebuah kota dan distrik
metropolitan yang terletak di West Midlands, Inggris.
Saat ini, Birmingham juga merupakan kota terbesar
kedua di Britania Raya.2
Bryan S. Turner merupakan sosok intelektual yang
mengarungi kehidupan intelektualnya sebagai bentuk
kecintaannya akan ilmu pengetahuan. Ia memulai
pendidikan formalnya di tempat kelahirannya, yaitu
di sekolah Harborne Collegiate for Boys dan George
Dixon Grammar School.3
Bryan S. Turner melanjutkan pendidikan tingginya
di salah satu kota di Inggris, University of Leeds,
Inggris, mengambil spesifikasi keilmuan di bidang
sosiologi. Pada tahun 1970, ia juga dinobatkan sebagai
Doctor of Philosophy. Gelar ini diraihnya dengan
1
https://id.web.wikipedia.org/wiki/Bryan_Turner_
sosiologi. Diakses pada 26/05/2016 21:11
2
Imam Turmudi, “Menimbang Gagasan Brayn S. Turner
Tentang Islam” dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume
3 Nomor 1 Juni 2013, 63.
3
Ibid.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
menulis tesis yang judulnya The Decline of Methodism:
an Analysis of Religious Commitment and Organisation.4
Pada tahun 1987 Bryan S. Turner juga dinobatkan
sebagai Doctor of Letters di Flinders University.
Kemudian pada tahun 1998, Bryan S. Turner
dinobatkan sebagai profesor sosiologi pada University
of Cambridge. Tahun 2002 ia meraih Master of Arts di
University of Cambridge, dan di universitas yang sama,
yaitu pada tahun 2009 Bryan S. Turner juga meraih
gelar Doctor of Letters. Ia juga dinobatkan profesor
pemikiran sosial dan politik di University of Western
Sydney, Australia.5
Bryan S. Turner merupakan tokoh yang banyak
diakui oleh berbagai kalangan. Karena keilmuan
dan kepribadiannya yang sangat sederhana dan jujur.
Bahkan sampai saat ini Bryan S. Turner dianggap
sebagai sosok intelektual terkemuka. Dengan kapasitas
keilmuan yang dimiliki inilah ia dipercaya dan
dikukuhkan menjadi guru besar sosiologi, pemikiran
sosial dan politik. Ia juga ditunjuk sebagai Direktur
Komite Agama di The City University of New York,
dan sebagai Direktur Pusat Studi Masyarakat Islam
Kontemporer (Centre for the Study of Contemporary
Muslim Societies) di University of Western Sydney.
Ia juga terdaftar sebagai anggota Asosiasi Penelitian
Sosiologis Amerika (the American Sociological Research
Assosiation).6
Pemikiran Bryan S. Turner dan karya-karyanya
yang populer antara lain: Runtuhnya Universalitas
Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas: Islam vis a vis
Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme.
Berisi tentang pandangan Bryan S. Turner tentang
sosiologi. Menurutnya, sosiologi harus menjadi kajian
yang terbuka dalam menilai masyarakat, baik di Timur
maupun Barat. Misalnya, pandangannya tentang
orientalisme, karena orientalisme merupakan wacana
yang dibingkai oleh orientalis yang membicarakan
4
Ibid.
Ibid.
6
Ibid.
5
masyarakat Timur, sementara masyarakat Timur
sendiri tidak dapat memahami dirinya sendiri dan
tidak bisa berbicara balik tentang Barat.7 Buku ini
merupakan kumpulan esai yang ditulisnya dari
berbagai rangkaian kuliah yang diberikan di beberapa
tempat khususnya di tempat dia mengabdikan dirinya
sebagai seorang dosen di Universitas Deakin, Australia.
Kedua, Religion and Social Theory (Relasi Agama &
Teori Sosial Kontemporer). Turner memahami bahwa
relasi agama dan sosiologi tidak hanya mencukupkan
pada pola kehidupan subjektif orang per orang dalam
menjalankan agamanya, tapi lebih dari itu juga ia
mengurai tentang sejauh apa agama dengan ragam
ajaran di dalamnya mempengaruhi tatanan sosial para
pemeluknya.8
Turner berupaya menengahi relasi pelik antara
agama dengan sosial. Hal ini bukan tanpa alasan, relasi
keduanya acapkali masih menjadi penggalan pendek
dari sejarah panjang peradaban manusia. misalnya,
agama dalam perspektif sosiologis yang acapkali hanya
dipahami sebagai fenomena dan fakta sosial yang
dialami oleh banyak orang.9
Ketiga, Weber and Islam (Sosiologi Islam: Suatu Telaah
Analitis atas Tesa Sosiologi Weber). Berisi kritik terhadap
tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Weber tentang
umat Islam berkaitan dengan kebangkitan kapitalisme
yang didasari oleh etika protestan. Konklusi yang
dihasilkan Max Weber tidak bisa ia relevansikan
menuju kesimpulan sosiologis yang jelas.
Werber, secara k asat mat a, hanya ingin
menunjukkan bahwa hanya agama Kristen saja yang
berguna dan bermanfaat dari semua agama Abrahamik.
Kristen adalah ajaran yang paling sempurna dan
7
Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat,
Bongkar Wacana atas: Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme,
dan Globalisme, Terj. Sirojuddin Arif, dkk. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008), 55.
8
Lihat Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial
Kontemporer, Terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSod,
2012), 24.
9
Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 65.
109
Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah
relevan bagi kehidupan umat manusia, sehingga tidak
ada unsur kejanggalan politik dan kekuasaan sepihak
saja.
Keempat, Marx and the End of Orientalism, Revolusi
Sosial Dunia Islam. Berisi tentang pandangan yang
ambigu tentang orientalisme. Baginya, marxisme
mempunyai daya tarik tersendiri, marxisme adalah
kritiknya terhadap berbagai asumsi yang diterima
tanpa kritik dalam ilmu-ilmu sosial liberal yang
individualistik, karena semangat zaman yang muncul
ketikaditerbitkannya buku ini, yaitu pada tahun
1970-an dan 1980-an, adalah munculnya berbagai
perdebatan tentang apa yang disebutnya sebagai
“Asiatic condition of despotism”.
Buku ini merupakan risalah yang ditulis akan
pandangan yang ambigu tentang orientalisme. Buku
ini ditulis berbarengan dengan buku Orientalism yang
ditulis oleh Edward W. Said. Dalam buku ini, ia
memberikan sumbangan terhadap adanya pendekatan
baru pembahasan tentang beberapa persoalan yang
berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial.10
Kelima, Kamus Sosiologi. Turner, Nicholas
Abercrombie dan Stephen Hill menerbitkan
kamus sosiologi yang tidak seperti kamus sosiologi
pada umumnya. Kamus ini membahas tentang
penyeimbangan isu-isu perdebatan intelektual
kontemporer dari sebuah disiplin ilmu yang terus
berubah serta tetap berpijak pada penerimaan nilai
yang utama dari tradisi sosiologi klasik.11
Gagasan Bryan S. Turner mengenai Sosiologi
Dalam konteks kajian sosiologis, agama tidak
dilihat berdasar apa dan bagaimana isi ajaran dan
doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran
dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud
dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan
sehari-hari. Studi tentang perilaku keberagamaan
manusia dalam dunia realitas seperti itulah yang
kemudian dikenal dengan Sosiologi Agama.12
Berbeda dari dimensi teologis, dimensi sosiologis
melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial,
sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai
fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu
pranata sosial, social institution. Karena posisinya
sebagai subsistem, maka eksistensi dan peran agama
dalam suatu masyarakat tidak ubahnya dengan
posisi dan peran subsistem lainnya, meskipun tetap
mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain,
posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama
dengan subsistem lainnya (seperti subsistem ekonomi,
politik, kebudayaan, dan lain-lain) mendukung
terhadap eksistensi masyarakat.13
Durkheim mengatakan bahwa agama hanya
bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang
dimainkannya dalam menyatukan komunitas
masyarakat di bawah satu kesatuan ritual dan
kepercayaan umum.14
Dalam sosiologi, titik perceraian dengan
positivisme awal ini sering diletakkan pada pembedaan
yang dibuat Durkheim antara yang sakral dan yang
profan, yang kemudian mendominasi hampir seluruh
pendekatan persoalan definisi agama itu. Dalam The
Elementary Forms of Religious Life, yang diterbitkan
tahun 1912, agama didefinisikan sebagai: “Seperangkat
sistem keyakinan dan praktik yang diikatkan pada
hal-hal yang sakral, atau bisa juga disebut, hal-hal yang
disisihkan dan dilarang-keyakinan dan praktik-praktik
yang menyatukan masyarakat ke dalam komunitas
moral tunggal yang disebut Gereja.”15
Para pendiri agama, pemuka-pemukanya, dan para
pemeluknya datang dari berbagai latar belakang sosial,
dari semua ragam tingkatan strata, atau sejenisnya.
Karena kelompok tersebut memiliki perbedaan fungsi
12
Turner, Runtuhnya, 241-242.
Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 66.
14
Turner, Relasi Agama, 31.
15
Turner, Runtuhnya, 417.
13
10
11
110
Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 65.
Ibid.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
dari masyarakat, maka mereka pun memiliki sikap dan
nilai yang berbeda pula. Karena itu keanekaragaman
kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan
perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Akibatnya,
bagi sosiologi agama terbentang lapangan studi yang
luas khususnya menyangkut hubungan antara agama
dan struktur sosial.16
Menurut pendekatan struktural-fungsional, setiap
masyarakat akan selalu memiliki sistem nilai sebagai
hasil konsensus bersama (collective consciousness) semua
anggota masyarakat. Masyarakat itu selalu mempunyai
tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan untuk ini telah
disediakan seperangkat cara pencapaiannya. Dalam
keadaan seperti ini, sistem nilai itu bersifat fungsional
dan mempunyai kekuatan integratif. Sistem nilai itu
bersumber pada pola-pola budaya yang meliputi antara
lain: believe system, system of expressive symbolism, dan
system of value orientation standards.17
Kalau sistem sosial bisa diwarnai bahkan dibentuk
oleh nilai agama, maka yang menarik dipertanyakan
adalah mungkinkah agama menggantikan sistem
sosial? Dengan kata lain, apakah sistem-sistem nonagamis (seperti kapitalisme, liberalisme, komunisme,
atau sosialisme) yang selama ini hidup dan berkembang
dengan segala dinamikanya dalam sistem sosial bisa
digantikan dengan agama? Ada yang mengatakan
bahwa agama tidak akan pernah bisa menggantikan
sistem sosial, atau agama tidak akan bisa menjadi
sistem sosial, apalagi sebaliknya. Sebab, masing-masing
ada dan tercipta sesuai dengan tugasnya masingmasing; sistem sosial untuk mengatasi problematika
keduniaan, sedangkan agama untuk mengatasi dunia
misteri. Antara misteri dan materi jelas tidak sama.18
16
Thomas O‟dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 105.
17
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 262.
Dalam Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 68.
18
Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 263. dalam Imam
Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 70.
Sosiologi agama, bagi Turner, dapat dikatakan
memiliki tiga kelemahan utama. Pertama, sosiologi
agama tidak lagi mengambil peranan dalam sebagian
besar perdebatan teoretis sosiologi agama. Dengan
kata lain, sosiologi hanya menjadi “peran figuran”
dalam perdebatan, misalnya, pemikiran Neo-Marxis
tentang mode produksi dan ideologi. Sosiologi agama
seringkali memandang basis atau superstuktur dalam
Marxisme klasik sebagai satu-satunya penjelasan
Marxian untuk persoalan ideologi, tempat di mana
agama menjadi refleksi dari relasi produksi ekonomi.19
Kedua, sosiologi modern terlalu difokuskan pada
subjektivitas pelaku sosial yang nampak dalam analisa
mereka tentang keyakinan religius, pandangan hidup,
dan pendefinisian realitas yang lain. Menurutnya,
perhatian yang terpusat pada subjektivitas individual
ini memiliki dampak-dampak tertentu dalam kaitan
dengan kajian sosiologi agama. Agama hanya tercurah
pada dimensi kognitif tindakan religius, dan karenanya
ritual dan praktik religius diletakkan pada tempat
kedua. Terakhir, sosiologi agama selama ini hanya
memfokuskan pada fakta empiris yang sempit. Mereka
hanya memberikan porsi yang tidak berimbang
terhadap realitas yang lain. Dengan ungkapan yang
lebih tegas, Turner mengatakan bahwa sosiologi agama
adalah sosiologi Kristianitas. Ketiga, hal inilah yang
sejatinya menjadi gugatannya dalam ranah sosiologi
agama20.
Kritik Bryan S. Turner terhadap Sosiologi Max
Weber
Max Weber adalah sosiolog kenamaan yang
dilahirkan pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt, ia
meninggal pada tahun 1920 pada usia 56 tahun.
Riwayat pendidikannya dimulai di Gymnasium BerlinCharlottenburg (1882). Sedangkan karir intelektualnya
19
Br yan S. Turner, Sosiologi A gama terj. Dar yanto
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 17.
20
Ibid.
111
Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah
diawali dengan menjadi mahasiswa di Universitas
Heidelberg Strassburg Berlin dengan minat utama
pada hukum, sejarah, dan teologi (1882-1886).
Islam, menurut Weber, berlawanan dengan
Calvinisme. Tidak ada predestinasi ganda dalam
Islam. Malahan, lebih lanjut Weber mengatakan,
Islam memiliki keyakinan pada predeterminasi, bukan
pada predestinasi. Hal ini berlaku pada nasib seorang
Muslim di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Berbeda
halnya dengan doktrin predestinasi yang diyakini
Calvinis untuk memotivasi etos kerja, di mana hal ini
tidak terjadi pada masyarakat Islam. Malahan, lanjut
Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran
dalam Islam. Akibatnya, Muslim bersikap kurang
positif terhadap aktivitas di dunia dan pada akhirnya
terjatuh pada sikap fatalistik.21
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah
agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi
Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser
menjadi semacam agama yang yang menekankan
‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis
Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis
dengan pengembangan kapitalisme. Islam dianggap
Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai
kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi
pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat
’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai
‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’.22
Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai
sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan,
terutama pengetahuan teologis.23 Perintah-perintah religius hukum suci tidak
diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks
pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga
para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar
21
Imam Turmudi, Menimbang Gagasan Brayn, 70.
Baca pengantar yang ditulis Taufik Abdullah, dalam Bryan
S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi
Weber, Terj. G.A. Ticoulu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1984), ix-xv
23
Ibid., 87.
upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam
puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari
agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama
para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai
penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.24
C a r a We b e r d a l a m m e n a f s i r k a n d a n
memperlakukan Islam secara faktual sangatlah
lemah, tidak seperti tesa khususnya calvinisme, yang
mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The
Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism. Pada
umumnya pembahasan Weber tentang Islam yang
menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan
foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun
tidak dengan marxisme.25 Menurut pandangan Weber
tentang Islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan
suatu penentuan perkembangan motif-motif Islam.
Menurutnya Islam sebelum berhijrah ke Madinah
merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin
akan mengakibatkan asketisme duniawi, tetapi
Islam dibelokan dari etika transformatif ini.26 Dalam
pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks
dan kepastian yang mendalam dari para umat
Islam tidak begitu penting dibandingkan dengan
keanggotaan masyarakat.
Dasar pendapat Max Weber menerangkan tentang
feodalisme dalam Islam dibangun dengan mencari
persamaan atau variable antara asketisme dengan
semangat kapitalisme. Max Weber dengan jelas
menyatakan bahwasannya asketisme menjadi bagian
penting dari kapitalisme. Weber menemukan sebuah
fakta di Cina, India, dan tanah Islam di Timur Tengah,
bahwa prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak
ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam
cenderung hidup hedonis dan penuh kemewahan,
terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena
ini mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat
22
112
24
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj.
Yusuf Priyasudiardja (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), 165.
25
Turner, Sosiologi Islam, 264.
26
Ibid., 263.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
dihindari bahwa Islam kala itu dapat dikatakan sebagai
institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme.27
Kemudian ketika Weber mulai menganalisa Islam
ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan
ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk
dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan
nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada
kondisi sosial Islam. Sepanjang Weber benar-benar
menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda
jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa
mode produksi Asia, ciri khasnya India, Cina dan Turki
telah melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita,
dan tidak selaras dengan kapitalisme. Menurut
weber mengenai Islam, yang menjadi masalah pokok
dalam perkembangan Islam adalah dominasi kendali
patrimonial.28 Berabad-abad sebelum kehancuran
sultan usmani pada periode modern, peradaban Islam
telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan
dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial
(Abasyiah, Mamluk, Usmaniyah ). Dengan adanya
bentuk kekuasaan yang ini, masyarakat Islam tidak
dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada
di Barat yang sangat berarti sekali bagi kebangkitan
kapitalisme modern.29
Menurut Turner, inti kajian sosiologi Islam Weber
terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan
hukum irrasional”. Hukum rasional ialah hukum yang
diambil dari sebuah buku suci dan bersifat tegas dan
baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah
hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qāḍī
dan bersifat fleksibel. Biar bagaimanapun Weber yang
orang Jerman mengunggulkan bahwa hukum rasional
atas hukum irrasional, sebagaimana yang berlaku di
Eropa untuk melegitimasi tindakan kapitalisme.30
Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah
dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan
spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad,
gap di sana sini, terjadi kesenjangan antara hukum ideal
dan realitas sosial. Secara teori, syari’at bersifat kaku
dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak
mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber,
terjadi ketidakjelasan batas antara norma yang etis,
agama dan hukum serta dibarengi dengan sistematisasi
yang kacau. Sedang secara politik, para qāḍī juga
merupakan pejabat kerajaan sehinggga dicurigai
bahwa dedikasi mereka dipersembahkan untuk raja,
bukan untuk sebuah prinsip keadilan. Jika demikian
maka keadilan seorang qāḍī menjadi kebalikan dari
stabilisasi pemerintah. Dengan demikian lebih tepat
kalau syari’at dikatakan sebagai hukum para faqīh,
bukan hukum Islam. Dalam perjalanannya kemudian
hukum para faqīh tersebut dianggap suci dan abadi
sehingga terjadi stabilisasi hukum.31
Dalam mengkritik Weber, Turner mengatakan
bahwa biar bagaimanapun jabatan menjadi seorang
qāḍī bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan.
Pasalnya membiarkan diri menjadi seorang qāḍī sama
halnya dengan membiarkan diri menjadi pengganti
Tuhan di muka bumi. Dan para qāḍī yang mencoba
melawan kehendak penguasa pasti akan menuai
berbagai kesulitan bahkan terancam hidupnya.32
Inti kritik Turner terletak pada dua hal, pertama;
Weber tidak menjelaskan apakah dia hendak
menekankan isi hukum atau konteks politiknya, kedua;
Weber tidak menjelaskan pula apakah hukum rasional
merupakan prasyarat penting bagi kapitalisme ataukah
hanya sebuah prasyarat biasa. Dan ternyata dalam
kasus lain Weber pun mengakui bahwa tidak ada
sistem hukum yang tidak mempunyai gap dan ternyata
adanya hal tersebut tidak menghambat perkembangan
kapitalisme rasional.
Bagi Turner, analisa sosiologis yang dihasilkan oleh
Max Weber terdiri dari dua hal; Pertama, analisanya
27
Ibid., 13.
Ibid., 147.
29
Ibid., 261.
30
Ibid., 208.
28
31
Ibid., 211.
Ibid., 220.
32
113
Sosiologi Agama Bryan S. Turner – Mokhamad Azis Aji Abdilah
tentang etika Islam yang dianggapnya sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan lepas dari analisanya dari
struktur sosial ekonomi Islam. Kedua, argumennya
tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisir
sejarah yang ada dalam agama Islam.33
Penutup
Pemikiran Bryan S. Turner banyak merekonstruksi
teori yang telah dikembangkan oleh Max Weber dalam
membaca dan memahami orientalisme. Namun lebih
dari itu, dalam perkembangannya, terdapat banyak
kritik tajam yang diarahkan pada kalangan akademisi
Barat dalam memahami Timur secara subjektif. Pada
dasar ini, mereka (Timur, Islam) dianggap sebagai
kelompok sosial yang menafikan rasionalitas, bahkan
antimodernitas.
Masyarakat Timur hanya mengurusi hal-hal
yang berbau spiritual. Menurut Turner, kritik yang
dilakukan oleh Max Weber terhadap Islam tidak
menemukan relevansinya. Dengan kata lain, bagi
Turner, dapat disimpulkan bahwa kajian tentang Islam
yang dilakukan oleh Max Weber tidak kompatibel
dengan realitas yang ada dalam agama Islam. Hal
ini berpijak pada pelbagai fakta yang disuguhkan
Turner, di mana fakta tersebut membantah terhadap
kesimpulan yang dihasilkan oleh Max Weber,
walaupun tidak semua analisa Weber ditolak semua.
33
Ibid., 13-14.
114
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. “Kata Pengantar”, dalam Bryan S.
Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas
Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1984.
Giddens, Anthony. Teori Strukturasi: Dasar-dasar
Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, terj. Maufur
dan Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Turmudi, Imam “Menimbang Gaagasa Brayn S.
Turner Tentang Islam” dalam Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013.
Turner, Bryan S. Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer,
terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSod,
2012.
Turner, Bryan S. Runtuhnya Universalitas Sosiologi
Barat, Bongkar Wacana atas: Islam vis a vis Barat,
Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, terj.
Sirojuddin Arif, dkk. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2008.
Turner, Bryan S. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis
Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984.
Turner, Bryan S. Sosiologi Agama terj. Daryanto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. New York: Charles Scribners, 1958.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
CLIFFORD GEERTZ DAN PENELITIANYA TENTANG AGAMA
DI INDONESIA (JAWA)
Gunawan Laksono Aji
PPTI Al Falah Salatiga
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini berupaya melihat pemikiran Clifford Geertz tentang masyarakat agama di Jawa yang menjadi kajian yang sangat menarik
dan unik karena dinamika hubungan antara Islam dan masyarakatnya sangat kental dengan simbolisme yang dihasilkan dari sinkretisme.
Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan
seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia
selalu terlibat di dalamnya. Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, di mana ia melihat nilai-nilai tersebut ada
dalam suatu kumpulan makna. Di mana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan
mengatur tingkah lakunya. Clifford Geertz juga melihat agama sebagai fakta budaya–bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan
sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi meskipun hal-hal ini juga diperhatikan melalui simbol, ide, ritual, dan adat
kebiasaanya. Dari sistem simbol yang dibangun oleh Geertz, ia kemudian membagi fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian
utama: abangan, santri, dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur
sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal,
terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi;
santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep
alus dan kasar-nya.
Kata kunci: Abangan, Santri, Priyayi, Agama, Budaya.
Abstract
This paper aims to understand Clifford Geertz perspective about religious community in Java, which became very interesting and unique
because of the dynamic relationship between Islam and the people which are very thick with symbolism resulting from syncretism. It is
visible in Javanese pattern action tend to not only believe in, things unseen by a set of rituals, but also their view that nature is governed in
accordance with its laws in which human have always been involved in it. Religion for Geertzis as cultural values, in which he saw these
values ​​in a set of meanings. Where by the set of meanings, each individual interprets his experience and regulates his behavior. Clifford
Geertz also see religion as a cultural fact-not merely as an expression of social needs, economic tension orhidden neurosis;though these
things are also considered through symbols, ideas, rituals, and customs habit. From the symbol system built by Geertz, he then divides the
Javanese religious phenomenon into three main variants: abangan, santri, and priyayi. This distinction he sees as well as a distinction of
three different cores of Javanese social structures; villages, markets, and government bureaucracies. Abangan that emphasize their belief in
local tradition elements, especially comprised a ritual ceremony called slametan, credence to the subtle beings, belief in witchcraft and magic;
santri who emphasize their belief in Islam elements; and priyayi emphasize the elements of Hinduism, their smooth and rough concept.
Keywords: Abangan, Santri, Priyayi, Religion, Culture
115
Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji
Pendahuluan
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak
dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya
monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya
Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep
yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan
sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep
aliran inilah yang kemudian hampir menjadi seluruh
pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan
sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Pada
masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada
keyakinan keagamaan. Abangan mewakili tipe
masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut
keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang
dibangun di atas pola bagi tindakannya.
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi
Geertz adalah pandangannya tentang dinamika
hubungann antara Islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola
dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya
percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa
alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan
manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu
yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi
inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang
tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh
kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitunganhitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan
atau ketidakbahagiaan hidup di dunia ditentukan
oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan
dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas
Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang
jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika
memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal
mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam
dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford
Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar
116
biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat
kajian-kajian yang dilakukannya maka Indonesia bisa
menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologisantropologis yang mengedepan. Berkat sumbangan
akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak
kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia.
Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan
modifikasi konseptual. Melalui kemampuan
modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara
sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia
dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang
beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif,
sistem makna dan sistem budaya. Agar tindakan bisa
dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep
lain yang menghubungkan antara sistem makna dan
sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan
sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh
orang lain karena sangat individual. Untuk itu, harus
ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan
hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui
sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif
yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan
kemudian dipahami oleh orang lain.1
Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh
Geertz memang sebuah konsep yang dianggap baru
pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of
Culture, ia mencoba mendefinsikan kebudayaan yang
beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn
sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak
mempunyai standar yang baku dalam penentuannya.
Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep
kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep
semiotik, di mana ia melihat kebudayaan sebagai suatu
teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada
sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit.2
Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan,
1
Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang
Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam
Clifford Geertz, After the Fact (Jogyakarta: LKiS, 1998), ix-xxi.
2
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius
Press, 1992), 5.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu
dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang
terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan
dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam
penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian
yang sifatnya mendalam.
Cliffordz Geertz : Setting Intelektual, Ranah,
Gagasan dan Karya
Clifford Geertz lahir di San Fransisco tanggal 23
Agustus 1926. Pada tahun 1950, ia memperoleh gelar
B.A. dalam bidang fil­safat di Universitas Antioch
College Ohio. Selanjutnya dia melanjutkan studi
antrop­ologi di Harvard University. Pada waktu itu
riset lapangan sudah mulai menjadi pijakan dasar
dalam studi antropologi di Amerika maupun Inggris.
Demikian juga dengan Geertz, dia melakukan
penelitian untuk disertasinya di wilayah Jawa selama
2 tahun. Bersama isterinya Hildred yang juga seorang
peneliti, dia meneliti wilayah Mojokuto tahun 1952–
1954. Sekembalin­ya ke Harvard, dia berhasil meraih
gelar doktor di bidang antropologi dari Depart­ment
of Social Relation pada tahun 1956.
Riset berikutnya dilakukan di Bali dan di
komunitas Muslim di Maroko. Pada tahun 1958,
setelah menyelesaikan risetnya di Bali, Geertz
bergabung de­ngan Universitas California di Berkeley,
kemudian pindah ke Universitas Chicago selama 10
tahun (1960–1970).3
Karir Geertz diawali dari dunia militer, di mana
dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang
Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika
dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat
dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950. Dari
Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard
University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia
bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan
3
Vita Fitria, Interpretasi Budaya Clifford Geertz: Agama Sebagai
System Budaya: UIN Sunan Kali Jaga.
tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari
masyarakat multi agama, multi ras yang kompleks
di sebuah kota kecil, Mojokuto. Setelah kembali ke
Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar
doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations
dengan spesialisasi dalam antropologi.4
Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced
Study, sebuah lembaga penelitian yang pernah
menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert
Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago,
sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan
negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai
profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975
sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas
Princeton yang kampusnya hanya berjarak sekitar 2
kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun
2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced
Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk
terus menulis.
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam
berbagai esai dan buku yang telah diterbitkan meliputi
seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari
pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola
kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsabangsa berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra
hingga ke filsafat, sains, teknologi dan agama. Namun
begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada
pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal
pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial
yang lain–pemikiran kembali yang secara langsung
berhubungan dengan usaha memahami agama.5
Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz
menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah
melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang
menghasilkan beberapa buku penting tentang
Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang
4
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B.
Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz,
terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2001) 397.
5
Ibid., 396.
117
Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji
berkaitan dengan kajian penulis adalah kajiannya
tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri
dan priyayi). Geertz adalah salah seorang generasi
pertama Indonesianis yang selalu menaruh perhatian
besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia.
Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia,
tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau
Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak
anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz
yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi
perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini.
Myth, Symbol, and Culture (1974); Negara: the Theater
State in Nineteenth-Century Bali (1980); Local Knowledge:
Further Essays in Interpretive Anthropology (1983); Works
and Lives: the Anthropologist as Author (1988); After the
Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist
(The Jerusalem-Harvard Lectures) (1995); Available Light:
Anthropological Reflections on Philosophical Topics; The
Fate of ‘Culture’: Geertz and Beyond (Representations
Books); Geiger at Antioch (George Geiger, Professor at
Antioch College): an Article from the Antioch Review; New
Views of the Nature Man.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz
telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih
dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko)
dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang
hasil-hasil penelitiannya dengan tujuan menyampaikan
pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya
di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung
di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika
Serikat. Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam
usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya
penting. Antara karya Geertz ialah:6 The Development of
Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach (1956); The
Religion of Java (1960). Karya ini telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu Indonesia oleh Aswab Mahasin
dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa (1981); Peddlers and Princes: Social Development and
Economic Change in Two Indonesian Towns (Comparative
Studies of New Nations) (1963); Agricultural Involution:
the Processes of Ecological Change in Indonesia (1963).
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu (Indonesia) dengan judul, Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta Barat; The
Social History of an Indonesian/Javanese Town (1965);
Islam Observed: Religious Development in Morocco and
Indonesia (1968); The Interpretation of Cultures (1973);
Beliau turut menulis banyak artikel khususnya
di dalam buku-buku dan jurnal jurnal antropologi
seperti: Ethos, World-view and the Analysis of Sacred
Symbols (1958); The Growth of Culture and the Evolution
of Mind (1962); Ideology as a Cultural System (1964);
Internal Conversion in Contemporary Bali (1964a).
6
Yusri Muhammad Ramli, International Journal of Islamic
Thought: Agama dalam Tentukur antropologi Simbolik Clifford geertz.
118
Gagasan Mengenai Agama dan Budaya
Geerts secara jelas mendefinisikan budaya,
“Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol
yang disusun dalam pengertian di mana individuindividu mendefinisikan dunianya, menyatakan
perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya;
suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik
diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui
sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan,
m e n g a b a d i k a n ny a , d a n m e n m g e m b a n g k a n
pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan;
suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur
perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik.”
Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik,
maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan,
dan diinterpretasikan.7 Untuk memahami pemikiran
Clifford Geertz, sangat penting untuk melihat
karya beliau yang berjudul Islam Observed: Religious
Development in Morocco and Indonesia. Karya ini
7
Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University
Press,1999), 89.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1968
serta dicetak ulang beberapa kali. Tulisan ini dianggap
sebagai karya terpenting bagi beliau dan juga bagi
bidang antropologi sehingga menjadi rujukan utama di
universitas-universitas Eropa, Amerika dan Asia. Karya
Geertz ini sebenarnya merupakan koleksi beliau yang
disampaikan di bawah pembiayaan Dwight Harrington
Terry Foundation pada tahun 1967 berdasarkan pada
pengalaman dan kajian yang telah beliau jalankan di
Maghribi dan Indonesia. Buku ini telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Perancis
dan Indonesia.8
tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang
ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan,
makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika
sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari
suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola
makna yang diteruskan secara historis terwujud
dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu
sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam
bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia
berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikapsikap terhadap kehidupan.
Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan
oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang
sifatnya hermeneutik. Suatu pendekatan yang lazim
dalam dunia semiotik. Pendekatan hermeunetik
inilah yang kemudian menginspirasinya untuk
melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus
dibaca, ditranslasikan dan diinterpretasikan. Pengaruh
hermeunetik dapat kita lihat dari beberapa tokoh
sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti
Kenneth Burke, Susanne Langer, dan Paul Ricouer.
Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/
keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk
berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil
gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang
ada bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang
luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan
simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga
demikian tindakan manusia dapat menyampaikan
makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama
seperti kita memperlakukan teks tulisan. 9 Geertz
menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai
budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk
bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan
hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya
lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap
gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan
Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada
nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat
untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai
permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya
konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman
penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si
pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaianpenilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut.
Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual
tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi
milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan
menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara
historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan
juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan
yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang
dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan
memperkembangkan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.10
Menurutnya, Abangan mewakili tipe masyarakat
pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan
ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang
dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu
yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah
pandangannya tentang dinamika hubungann antara
Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas
tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa
8
Ibid., 67.
Ibid., 82.
9
10
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, 3.
119
Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji
yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal
gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi
juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan
hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di
dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai
numerologi. Melalui numerologi inilah manusia
melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh
bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan
orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan
yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau
ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh
benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan
dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas
Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang
jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika
memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal
mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam
dan budaya Jawa.
Agama Masyarakat Jawa
Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilainilai budaya, di mana ia melihat nilai-nilai tersebut
ada dalam suatu kumpulan makna. Di mana dengan
kumpulan makna tersebut, masing-masing individu
menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah
lakunya. Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku
dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang
akan digunakannya.11 Ketika ia membagi kebudayaan
jawa dalam 3 tipe varian kebudayaan berbeda,
Geertz melihat agama Jawa sebagai suatu integrasi
yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan
animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang
datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah
sinkritisme.12
Geertz kemudian menginterpretasikan orang
Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan,
santri dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai
11
Ibid., 51.
Geertz, 1983, 6.
12
120
suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 (tiga) inti
struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi
pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut
pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi
etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan
3 (tiga) tipe utama kebudayaan yang mencerminkan
organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang
ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani,
buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa
dalam semua arena kehidupan.13
Setelah melakukan penelitian lapangan di
Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan
September 1954, yang kemudian diajukan sebagai
disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul
The Religion of Java, tampak ada beberapa hal yang
menarik untuk dikaji, antara lain:
Pertama, agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya
kehidupan Jawa melihat agama sebagai fakta budaya
–bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan
sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi meskipun hal-hal ini juga diperhatikan melalui
simbol, ide, ritual dan adat kebiasaanya. Agama juga
bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang
asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga
merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis
perhelatan dan corak paguyuban. Praktik-praktik
beragama seperti itulah yang memberi semacam “peta
budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk
oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian,
menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada
doktrin formal yang menekankan wacana standar yang
global. Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya
memainkan peranan yang integratif dan menciptakan
harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat.
Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di
13
Geertz; 1983, 5-6.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling
kontradiksi.14
Kedua, trikotomi dalam agama di Jawa
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam
masyarakat Jawa, Geertz juga menyuguhkan fenomena
agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan,
santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah
yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam
wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan
menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan
sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa.
Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama
“Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara
detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang
dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang
logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan
dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui
penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda.
Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya
pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri
upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan
kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan
magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada
unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada
unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya.
Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda
tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah
kebudayaan yang berbeda.15
Ketiga, Hubungan antara Islam dan masyarakat
Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi
Geertz adalah pandangannya tentang dinamika
hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang
14
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, terj. Aswab Mahasin (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981).
15
Baca: Parsudi dalam Pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi.
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola
dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya
percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa
alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan
manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu
yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi
inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang
tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh
kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitunganhitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan
atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh
benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan
dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas
Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang
Jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika
memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal
mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam
dan budaya Jawa.
Tidak bisa disangkal, Clifford Geertz sangat
mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang
budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbolsimbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan
sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak
perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana
realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu
mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol.
Sebenarnya, manusia ditentukan oleh budayabudaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia.
Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses
yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep
yang menekankan adanya hubungan timbal balik
antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai
struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan
dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L.
Berger & Thomas Luckmann: Kebudayaan dibentuk
oleh manusia; Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa
budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk
121
Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji
diproduksikan dan direproduksikan melalui proses
pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia
tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik
secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga
dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah
dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan
menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah
dengan mudah.16
Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula
bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan
yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya,
dan Indonesia pada umumnya karena mampu
memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya
dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana
pola hubungan antara agama dengan politik, relasi
agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian,
tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka
peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan
“keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik
berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra.
Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah
Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba
mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas
sosial.
Kritik dan Pemikiran
Idealnya sebuah teori, pasti memun­culkan kritik
dan pembacaan dalam perspektif yang berbeda. Salah
satu kon­sepsi Geertz dalam The Religion of Java adalah
pandangannya tentang dinamika hubungan antara
Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas
terse­but nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa
yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal
ghaib dengan seperangkat ritual-ritualnya akan tetapi
juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan
16
Lihat baca dalam, “Transformasi Agama dan Budaya di
Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/
forlog/lintas1corrie.htm 122
hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di
dalamnya.17
Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula
bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan
yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya,
dan Indonesia pada umumnya karena mampu
memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya
dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana
pola hubungan antara agama dengan politik, relasi
agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian,
tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka
peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan
“keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik
berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra.
Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah
Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba
mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas
sosial.
Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah
mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan
kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan
(kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari
mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan
bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi
juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan
sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan
abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz
ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan
kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi”
untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain
terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan
santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah
mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan
yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian
horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena
17
Vita Fitria, Interpretasi Budaya Clifford Geertz : Agama sebagai
System Budaya: UIN Sunan Kali Jaga.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau
priyayi yang santri.18
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz,
tampaknya kita patut memberikan penghargaan
kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi
masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan
Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of
Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di
masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz
ini pula, kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan
bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun
mayoritas tetapi masih abangan, di mana hanya lapisan
atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya
kejawen.
Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan
kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap
ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya
antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya
melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial,
yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan
kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan
Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan
tetap membaca buku-buku teks antropologi dan
sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu
gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat
bagaimana secara kontekstual dan secara historis
kultur-kultur lokal itu “dibangun.”
Penutup
Geertz memang dianggap memiliki pengaruh
teoretis dalam ilmu antopologi, di mana ia menulis
dengan sangat mahir mengenai gagasan-gasan tertentu
dari kebudayaan dan menggunakannya untuk
menganalisis kasus-kasus tertentu. Dan dalam
prosesnya, ia telah memberikan daya tarik bagi orang
luas untuk membaca karya-karya antropolog. Dia
meletakan suatu ide baru bagaimana kebudayaan
bekerja. Penelitian Geertz tentang Religion of Jawa itu
juga merupakan suatu deskripsi dari hasil permintaan
dari the Committee on the New States. Di mana
menjadi titik awal mereka pada rencana bahwa
masyarakat tradisional telah menjadi tidak teratur
karena adanya proses urbanisasi, spesialisasi ekonomi
dan sekulerlisasi. Tujuan dari kebijakan di negara–
negara baru tersebut diserahkan pada antropolog
untuk menspesifikasikan masalah-masalah kebudayaan
yang ada didalamnya, khususnya pada Llyoyd Fallers
dan Geertz. Mereka diharapkan dapat menemukan
kekontrasan tradisonal dan modernitas, suku bangsa
dan negara, masyarakat yang suci dan duniawi, di mana
kontradiksi-kontradiksi tersebut akan dapat membantu
untuk menjelaskan kemampuan masyarakat di Asia
yang sedang mengalami transisi penjajahan kolonial
menuju ke kebebasan. Dalam konteks situasi seperti
itulah, di mana Geertz mempunyai kepentingan di
baliknya, ia menafsirkan agama Jawa. Dan tentu saja
teori kebudayaan umumnya mengandung muatan
politis yang membenarkan suatu tinjauan politiknya.
Daftar Pustaka
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion; dari Animisme
E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi
Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta:
Qalam, 2001.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press,
Yogyakarta, 1992a
_______, Tafsir Kebudayaan. Kanisius Press,
Yogyakarta, 1992a.
_______, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, terj. Aswab Mahasin. Bandung: Dunia
Pustaka Jaya, 1981.
Kuper, Adam. Culture, Harvard University Press.
Cambridge, 1999
18
Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan
Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 16.
123
Clifford Geertz dan Penelitianya Tentang Agama di Indonesia (Jawa) – Gunawan Laksono Aji
Fitria, Vita. “Interpretasi Budaya Clifford Geertz :
Agama sebagai system budaya” UIN Sunan Kali
Jaga
Ramli, Yusri Muhammad. International Journal of Islamic
Thought: Agama dalam Tentukur Antropologi Simbolik
Clifford geertz
124
Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri
dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
ANTHONY GIDDENS DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA
Lu’lu Un Nisai
Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini berupaya melihat pemikiran Anthony Giddens tentang teori sosial terkait dengan tindakan sosial. Dari hasil kajian penulis
tentang pemikirannya bahwa Menurut Giddens yang paling pokok dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada
di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut teori struktur. Dalam teori ini masyarakat memiliki kesadaran antara lain:
Kesadaran diskursif (discursive consciousness), Kesadaran praktis (practical consciousness), Motif atau kognisi tak sadar (unconscious
motives / cognition. Di samping itu, Dari hasil kajian penulis, bahwa Giddens juga memberikan kritikan terhadap fungsionalisme yang
terangkum dalam tiga hal: Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita
tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua,
fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens,
sistem sosial tidak punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang
dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial.
Kata Kunci: Anthony Giddens, Strukturasi, Agensi, Dualitas struktur
Abstract
This paper aims to understand Anthony Giddens ideas about social theory related to social action. From the results of the author’s
understanding about Giddens thoughts that according to him,the most staple in the social analysis is to find ‘hidden codes’ that lies behind
the visible symptoms. The hidden code is called structure theory. In this theory the public have awareness such as:discursive awareness
(discursive consciousness), Consciousness practical (practical consciousness), Motif or unconscious cognition (unconscious motives /
cognition. In addition, from the results of the authors studying, that Giddens also provides a criticism of functionalism summarized in
three points: First, functionalism suppress the fact that we are members of society are not fools. We know what is happening around us,
and not a robot acting on a “script” (roles) that have been determined. Second, functionalism is a way to think which claim that the
social system has needs that must be met. For Giddens, social systems do not have any needs, but we are the actors who have needs. Third,
functionalism wasting time dimension (time) and space (space) in explaining social phenomena.
Keywords: Anthony Giddens, Structuration, the Agency, Duality structure
Pendahuluan
Pemikiran filsafat dan sosiologi selalu berkembang
seiring dengan perkembangan jaman dengan
munculnya cendekiawan-cendekiawan baru. Di antara
mereka ada yang mendukung teori-teori lama lalu
menyempurnakannya dan di antaranya lagi menentang
teori lama dengan segenap alasannya yang logis. Di
antara mereka adalah Anthony Giddens, seorang
sosiolog ternama asal Inggris. Ia dikenal dengan teori
strukturasinya, di mana argumen utamanya adalah
bahwa antara subjek dan objek, antara strukur dan
agensi bukannya bersifat dualisme (pertentangan)
melainkan bersifat dualistik. Giddens mencoba
menolak dualisme yang selama ini di dengungkan oleh
Descartes dan beberapa filsuf lain. Dalam makalah
singkat ini, penulis berusaha memotret pemikiran
Anthony Giddens ini dengan sesederhana mungkin
supaya lebih mudah dipahami, mengingat bahasan
125
Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai
teori strukturasi dalam buku Giddens ini tergolong
agak sulit dipahami. Makalah ini akan dimulai
dengan membahas biografi Giddens, yang kemudian
dilanjutkan dengan pemikiran strukturasinya dan
beberapa poin penting lainnya.
Anthony Giddens: Sosok, Ranah, Gagasan dan
Karyanya.
Anthony Giddens adalah salah seorang teoretisi
sosiologi kontemporer terkemuka abad ini, yang
dilahirkan pada tahun 1938 di Edmonton, London
Utara, Inggris.1 Ia lulus dari Universitas Cambridge
(1976) dan diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor
sosiologi (1986). Selain itu, ia juga pendiri perusahaan
penerbitan (Polity Press) dan penasehat bagi Partai
Buruh Inggris. Dan, sejak tahun 1997, ia menjadi
Direktur London School of Economics and Political
Science (LSE).
Hampir semua ilmuwan sosial dan politik sepakat
bahwa Anthony Giddens terkenal karena karya
tulisnya. Lebih dari 200 artikelnya tersebar di berbagai
jurnal, majalah dan surat kabar. Sebagian kumpulan
artikelnya bahkan sudah diterbitkan oleh penerbit
Routledge dari London tahun 1997 menjadi empat
jilid besar. Sementara jumlah buku yang ditulis oleh
Giddens atau bersama dengan orang lain sampai
1999 sudah mencapai 32 buah. Buku-buku itu pun
sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 35 bahasa.2
Tulisan-tulisannya mencakup tema-tema seperti teori
sosial, sejarah pemikiran sosial, struktur kelas, elit
dan kekuasaan, bangsa dan nasionalisme, identitas
personal dan sosial, keluarga, relasi dan seksualitas.
Sebagai seorang sosiolog, Giddens terkenal
sangat piawai dalam meringkas, menggabungkan
1
David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of
Sociology (New York: Harper Collins, 1991), 196.
2
Di antara buku-buku terkenalnya adalah: New Rules of
Sociological Method (1976), The Constitution of Society (1984), The
Consequences of Modernity (1990), The Transformation of Intimacy
(1992) dan The Third Way (1998).
126
dan menyajikan perspektif-perspektif dan argumenargumen teoretis awal. Bukunya Modernity and SelfIdentity berisi konsep-konsep dan gagasan-gagasan dari
Marx, Weber, Durkheim, Goffman, Simmel, Parsons,
dan sosiolog lainnya. Dalam menyajikan argumennya,
Giddens bergerak melampaui para teoretisi sebelumnya
dan mengembangkan perspektifnya sendiri. Ia
berupaya mencakup semua, menyediakan pandanganpandangan teoretis tentang tindakan dan interaksi
sosial, analisis historis, sistem dan struktur, dan
sosiologi politik. Dalam masing-masing ini, ia berupaya
memecahkan sebagian teka-teki dan masalah-masalah
sosiologis serta mengintegrasikan teori-teori dan
perspektif-perspektif yang tampak memprihatinkan ke
dalam satu teori sosiologis yang menyeluruh.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan
transformasi diri melalui bukunya, The Transformation
of Intimacy. Buku itu adalah hasil tiga tahun masa
terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya
dengan istrinya yang kedua. Dalam buku itu, Giddens
menganjurkan perlunya sebuah “hubungan murni”
(antara lelaki dan perempuan) yang didasarkan
pada hakekat kepuasan hubungan itu sendiri, yang
pandangan ini membuat kaum feminis di Inggris
menjadi sangat marah.
Giddens menjadi kontroversial dan terkenal
ketika ia menerbitkan The Third Way: The Renewal of
Social Democracy. Popularitas Giddens sebenarnya bisa
dipahami, karena sejak tahun 1985, ia sudah memiliki
dan bahkan menguasai Polity Press, yang menerbitkan
seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga
luar biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar 400.000
buku ajar sosiologi karangan Giddens, Sociology,
berhasil dijual. The Third Way juga tersebar luas karena
Polity Press dan koneksi Giddens dalam lingkaran
“para kroni Tony Blair”.
Tentang sifat kontroversial dari Giddens dengan
The Third Way-nya sampai saat ini memang masih
menjadi perdebatan. Pelbagai sikap pro dan kontra
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
terhadapnya begitu beragam. Di satu sisi, teori olahan
Giddens dinilai sebagai terobosan baru.
Ada dualisme yang menggejala, akar dualisme
tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat objek
kajian ilmu sosial.5
Anthony Giddens , dan Aplikasi Teori
Strukturasi
Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya
terangkum dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme
memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat
bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi
disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak
berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan.
Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang
mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang
harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak
punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan
adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme
membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space)
dalam menjelaskan gejala sosial.6
Konteks Kemunculan
Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens
pernah ditanya tentang tujuan seluruh proyek kerjanya
selama dua puluh tahun terakhir ini. Ia menjawab,
“Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang
pemikiran sosial, membangun kembali logika serta
metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis
tentang munculnya lembaga-lembaga modern.”3
Apa yang diinginkan Giddens ternyata bukanlah
mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu
terobosan penting tidak hanya bagi sosiologi, namun
juga bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Salah satu
kontribusinya adalah teori strukturasi.
Teori ini muncul, menurut Giddens, dari
ketiadaan teori tindakan dalam ilmu sosial. Ini
bukan berarti bahwa para teoretisi tidak mempunyai
teori tentang tindakan. Erving Goffman, misalnya,
menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti
pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa
naskah. Sebaliknya, Talcott Parsons melihat pelaku
dan tindakannya seperti mantan Menteri Penerangan
Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut
petunjuk bapak.” Yang pertama cenderung menafikan
bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan
kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan ini
yang menguasai dunia ilmu sosial ketika Giddens
membangun teorinya. 4
3
Dikutip dalam B. Herry Priyono, “Sebuah Terobosan Teoretis,”
Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000, 16.
4
Antony Giddens, Central Problems in Social Theory: Action,
Structure and Contradiction in Social Analysis (London: MacMillan
Press, 1979), 2.
Kritik terhadap strukturalisme adalah pada poin
pokoknya bahwa apa yang utama dalam analisis sosial
adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di
balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang
disebut struktur.7
Agensi
Dalam teori strukturasi, individu memainkan
peran yang penting. Dalam teori ini, agen dipahami
sebagai “subjek yang berpengetahuan dan cakap.”
Agen tahu apa yang ia lakukan dan mengapa ia
5
Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah
‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode
tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula
‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman.
Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur dan bukan
pelaku-perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik
sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu.”
Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2, (Jakarta: KPG,
2003), 7-8.
6
Ibid.,10.
7
Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu tertentu
hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami gejala
dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian
bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika
internal kinerja modal. Antony Giddens, Central Problems in Social
Theory, 18.
127
Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai
melakukannya. Menurut Giddens, semua tindakan
adalah “bertujuan.”8 Penekanan bahwa agen adalah
berpengetahuan dan tindakan mereka mengandung
maksud dan tujuan adalah salah satu dari fondasi
pemikiran Giddens.
Berkenaan dengan proses pembuatan keputusan,
menurut Giddens, “pelaku mungkin mengkalkulasi
resiko-resiko yang tercakup dalam melakukan tindakan
sosial tertentu, berkaitan dengan kemungkinan
sangsi-sangsi atau yang sebenarnya diterapkan, dan ia
mungkin siap tunduk kepadanya sebagai harga yang
mesti dibayar untuk mendapatkan tujuan tertentu.”9
Dalam teori ini, orang menggunakan analisis biayakeuntungan (cost-benefit analysis) agar bisa membuat
sebuah keputusan. Jika keuntungan untuk melakukan
suatu tindakan lebih besar daripada biaya-biayanya,
maka tindakan tersebut akan dilakukan. Biaya
di sini mencakup kemungkinan mengalami atau
terkena sanksi-sanksi yang negatif. Jika keuntungan
dari sebuah tindakan tersebut sama baik dari segi
biaya-biaya dan sanksi-sanksinya, maka perbuatan
itu dilakukan. Penting untuk diingat bahwa pelaku
yang berpengetahuan itu menggunakan analisis
biaya-keuntungan dengan menggunakan sekumpulan
kriteria, tidak hanya masalah-masalah ekonomi saja.
Karena tidak seorangpun pelaku yang memiliki
“pengetahuan yang sempurna,” maka penting
menentukan batasan-batasan kemampuan mengetahui
dari manusia. Menurut Giddens, “kemampuan
mengetahui pelaku selalu dibatasi di satu sisi oleh
konsekuensi tindakan yang tidak sadar, dan di sisi lain,
oleh konsekuensi tindakan yang tidak diketahui/ tidak
dimaksudkan (unintended consequences).”10 Tindakantindakan tidak sadar mungkin tidak tampak rasional,
namun mereka diatur oleh sebagian perilaku tidak
sadar yang tidak bisa diatur seseorang. Tindakan-
tindakan ini seringkali diabaikan jika sesuai dengan
masyarakat atau salah ucap sementara.
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan
dari tindakan adalah lebih penting bagi teori Giddens.
Konsekuensi-konsekuensi ini adalah hasil dari
aktivitas-aktivitas yang memunculkan hasil yang
berbeda dari yang diharapkan.11 Untuk memahami
konsekuensi-konsekuensi ini, penting untuk
melihat hasil-hasil dari tindakan ketimbang motifmotifnya. Giddens menggunakan contoh seorang
pelaku yang menghidupkan lampu. Motif di balik
menghidupkan lampu ini adalah untuk menerangi
ruangan. Namun, konsekuensi lain dari tindakan ini
adalah mengusir pencuri. Pengusiran pencuri adalah
konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Dalam contoh
ini, kesimpulan bahwa tindakan pelaku tidak relevan
adalah benar. Namun, dalam situasi-situasi yang
kompleks, konsekuensi-konsekuensi itu mungkin
sangat berpengaruh. Karena tindakan adalah hasil
dari seorang individu (agen), maka ia menjadi unsur
yang penting dari pengaruh seorang individu terhadap
masyarakat.12
Meskipun Giddens menekankan individu sebagai
agen manusia, ia menempatkannya sebagai bagian
dari proses pembuatan sejarah, ketimbang “pembuat
sejarah.” Inilah yang memisahkan teori Giddens dari
teori-teori sosial-humanistik, seperti humanisme dan
posmodernisme. Teori-teori humanistik melihat pelaku
sebagai “pembuat sejarah.”
Dalam teori strukturasi, si agen atau aktor
memiliki tiga tingkatan kesadaran:
Pertama, kesadaran diskursif (discursive consciousness).
Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi
verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi
sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari
tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu
8
Ibid., 56.
Ibid., 87.
10
Giddens, The Constitution of Society (Berkley: University of
California Press, 1984), 282.
9
128
11
Ibid., 10.
Ibid., 11.
12
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk
diskursif.
exists in memory traces, the organic basis of human
knowledgeablitiy, and as instantiated in action.”13
Kedua, kesadaran praktis (practical consciousness).
Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang
kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi
dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa
diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan
kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah tidak ada
tabir represi yang menutupi kesadaran praktis.
Dengan kata lain, ia mencakup aturan-aturan
(rules) yang mengatur masyarakat. Penggunaan istilah
recursive menunjuk kepada suatu pengertian bahwa
struktur bisa menjadi media dan sekaligus hasil dari
praktik-praktik sosial yang membentuk sistem-sistem
sosial. Ini menyiratkan bahwa struktur dipengaruhi
dan sekaligus mempengaruhi perubahan sosial. Jadi,
ia bersifat recursive (berulang). Masyarakat mempunyai
aturan-aturan dan sumber-sumber yang mempengaruhi
perubahan sosial. Dan juga, aturan-aturan dan
sumber-sumber ini bisa dimodifikasi melalui proses
restrukturasi masyarakat. Inilah dasar bagi dualitas
struktur.
Ketiga, motif atau kognisi tak sadar (unconscious
motives/ cognition). Motif lebih merujuk ke potensial
bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu
dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan
langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak
biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar
dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara
langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.
Struktur
Unsur kedua dalam teori strukturasi adalah
peran struktur dalam perubahan sosial. Giddens
mendefinisikan struktur sebagai “aturan-aturan dan
sumber-sumber yang dilibatkan secara berulang-ulang
dalam reproduksi sistem-sistem sosial. Struktur juga
terbentuk karena adanya tradisi, institusi, aturan moral
serta cara-cara mapan melakukan sesuatu dan hal ini
semata-mata merupakan akibat yang ditimbulkan
dari tindakan agen. Terbentuknya struktur juga
membutuhkan waktu yang panjang, karena melewati
satuan waktu dengan tidak membatasi pada ruangruang tertentu. Giddens juga menyatakan konsep
rutinisasi. Rutin, hal apapun yang dikerjakan dengan
kebiasaan, merupakan elemen paling dasar dari
aktivitas sosial sehari-hari.”
“rules and resources, recursively implicated in
the reproduction of social systems. Structure only
Giddens memandang struktur sosial sebagai
ciri-ciri yang tidak dapat diraba. “structure only
exists in memory traces, the organic basis of human
knowledgeability, and as instantiated in action.”
Seorang tidak bisa memandang aturan-aturan atau
sumber-sumber sebuah masyarakat dengan sendirinya,
hanya pengaruh-pengaruhnya saja yang bisa dipelajari.
Karena struktur dilibatkan dalam perubahan sosial,
maka keberadaannya sebagai entitas yang bisa diraba
(dapat diukur) hanya bersifat temprorer. Dengan
kata lain, struktur tidak pernah statis, ia selalu
dimodifikasi.14
Unsur lain yang penting dari pemikiran Giddens
adalah pembedaan antara struktur, sistem dan strukturasi.
Sistem berbeda dengan struktur, yang diartikan
Giddens sebagai “relasi-relasi yang direproduksi
antara pelaku atau kelompok, yang diatur sebagai
praktik sosial yang rutin.” 15 Dengan kata lain,
13
Giddens, Constitution, 377.
Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial Manusia, terj. Maufur & Daryanto (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010). 25.
15
Sistem menunjuk kepada relasi antara individu dan
kelompok pelaku yang masing-masing menggunakan struktur
masyarakat secara berbeda. Proses perubahan sosial dalam
masyarakat disebut strukturasi, yang diartikan sebagai “conditions
14
129
Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai
strukturasi menunjuk kepada metode-metode yang
digunakan untuk mengubah masyarakat. Tiga faktor
ini menggambarkan metode dan pola perubahan
sosial yang dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi
struktur masyarakat.
Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah
proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya
perulangan untuk membentuk perilaku sosial.
Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi
obyek utama kajian ilmu sosial, bukan struktur atau
pelaku secara terpisah. Praktik sosial itu bisa saja
berbentuk penyebutan Idul Fitri dengan lebaran,
fenomena mudik menjelang lebaran, memberikan
zakat kepada fakir miskin, sholat ied di lapangan
atau masjid dan seterusnya. Dualitas yang dimaksud
terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai
sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman
praktik sosial di berbagai tempat. Sesuatu yang mirip
‘pedoman’ atau prinsip-prinsip ‘aturan’ itu merupakan
sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan
sosial masyarakat. Giddens menyebut hal itu sebagai
struktur.
Dualitas Struktur
Dalam teori ini, Giddens menegaskan bahwa
agensi manusia dan struktur sosial berhubungan satu
dengan lainnya, dalam satu cara, yang mana struktur
merupakan dasar bagi segala tindakan individu, dan
tindakan-tindakan individu mereproduksi struktur.
Penyeimbangan ini disebut Giddens dengan dualitas
struktur. Ini berarti bahwa struktur sosial ada dalam
bentuk tindakan dan modalitas yang berhubungan
dengan unsur-unsur struktural, bahkan juga berarti
bahwa muatan-muatan unsur ini dapat diubah
governing the continuity or transformation of structures, and therefore
the reproduction of systems” [kondisi-kondisi yang mengatur
kesinambungan atau transformasi struktur, dan ujungnya
reproduksi sistem]. Giddens, Central Problems, 66.
130
ketika orang mengabaikan, menggantikan, atau
mereproduksinya secara berbeda.
Struktur didefinisikan sebagai pola-pola tindakan
dan tatanan virtual dari tindakan dan modalitas.
Tindakan-tindakan berlangsung dalam wilayah-wilayah
struktural, yang secara formal digambarkan sebagai:
signification (pemaknaan), domination (dominasi) dan
legitimation (legitimasi). Wilayah-wilayah ini memiliki
modalitas, yang seorang dapat gambarkan sebagai
media interaksi.
Struktur sosial dan interaksi manusia dipecah
ke dalam tiga dimensi dan karakter berulang dari
tiga dimensi ini diilustrasikan dengan modalitas
(sarana-sarana) penghubung. Maka, ketika manusia
berkomunikasi, mereka menggunakan kerangka
penafsiran (interpretive scheme) untuk membantu
memahami interaksi. Pada saat yang sama, interaksiinteraksi tersebut mereproduksi dan memodifikasi
kerangka-kerangka penafsiran tersebut yang melekat
dalam struktur sosial sebagai pemaknaan (signification).
Begitu pula, fasilitas untuk mengalokasi sumber daya
dibangun dalam kendali kekuasaan, dan menghasilkan
serta mereproduksi struktur dominasi, dan aturanaturan moral membantu menentukan apa yang bisa
diberikan sanksi dalam interaksi manusia, yang
memunculkan struktur-struktur legitimasi.
Dimensi-dimensi dari dualitas struktur dapat
diberikan dalam diagram yang terkenal berikut ini:
Struktur
Modalitas
Interaksi
Pemaknaan
-
Dominasi
-
Legitimasi
I
I
I
Kerangka
penafsiran
Fasilitas
Norma
I
I
I
Komunikasi
-
kekuasaan
-
Sangsi
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Ilustrasi dari bagan ini akan diuraikan sebagai
berikut. Menurut Giddens, setiap interaksi atau
tindakan yang berulang dan terpola akan menghasilkan
struktur. Kualitas dari struktur ini akan ditentukan
oleh modalitas. Yang disebut struktur di sini adalah
hukum, aturan dan kebiasaan hidup. Di dalam
masyarakat, ada tiga interaksi sosial yang sangat
dominan yaitu, komunikasi, kekuasaan dan sanksi.
Dalam hal komunikasi, modalitas adalah kerangka
penafsiran (intepretive scheme) yang akan menghasilkan
pemaknaan sebagai langkah berikutnya.
Sebagai contoh, saya belum kenal yang namanya
Bambang, sementara besok saya akan berjumpa
dengannya. Lalu saya tanya kepada teman saya yang
kebetulan sudah kenal dengan Bambang tentang siapa
Bambang itu sebenarnya? Teman saya itu kemudian
menjawab bahwa Bambang adalah seorang pencuri.
Teman saya telah memberikan kerangka penafsiran
bahwa “Bambang adalah pencuri”. Keesokan harinya,
sebelum Bambang datang, saya mengunci seluruh
lemari, dan bahkan Bambang saya terima di luar
rumah. Namun kemudian, Bambang mengajak saya
makan dan bahkan membayari saya ongkos taksi
sekaligus ketika saya mau pulang. Pemaknaan saya
pun kemudian berubah, ternyata Bambang orang
baik. Keesokan harinya, ketika Bambang datang
ke rumah, saya mempersilahkan dengan penuh
hangat. Perjumpaan di sini bisa mengubah kerangka
penafsiran, dan kemudian kepada pemaknaan. Bahkan
sebaliknya, bisa memperburuk kerangka penafsiran,
jika pengalaman perjumpaan pertamanya buruk.
Tindakan yang kedua adalah kekuasaan (power).
Interaksi akan mengantarkan kepada dominasi, namun
dominasi ditentukan oleh modalitas, yaitu dalam
bentuk fasilitas yang bisa mencakup fisik, ideologi,
politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Semakin ada
akumulasi fasilitas, dominasi itu akan semakin kuat.
Seorang yang memiliki fasilitas ekonomi, misalnya,
akan sangat mudah untuk mendominasi yang
miskin ekonomi. Seorang kyai bisa dengan mudah
mendominasi santri-santrinya karena mempunyai
fasilitas budaya dalam bentuk simbol-simbol agama.
Bentuk dominasi ini juga akan memberikan pengaruh
dalam interaksi relasi antara santri-kyai.
Tindakan ketiga sanksi atau terkait dengan
moralitas. Yang dituntut adalah legitimasi (dasar
pembenaran suatu tindakan), entah dari hukum,
norma, agama, atau kebiasaan. Setiap tindakan
membutuhkan pembenaran atau legitimasi.
Semua tindakan membutuhkan legitimasi, apa lagi
kekuasaan. Kekuasaan membutuhkan legitimasi dari
hukum, agama atau lainnya. Agama bisa menjadi
sumber legitimasi, sementara semua tindakan
membutuhkan legitimasi. Di sinilah awal dari konflik
dan pertentangan, pada saat legitimasi di dapat
dari agama. Legitimasi mendukung kekuasaan, dan
pemaknaan memberikan masukan bagi kekuasaan.
Sebagai contoh, Menyebut ‘Idul Fitri sebagai
lebaran’ merupakan struktur penandaan/ signifikasi.
Penentuan hari H lebaran oleh Kementerian Agama
merupakan struktur dominasi dalam pengertian
kebijakan politik. Pengaturan lalu lintas para pemudik
oleh aparat polisi maupun Departemen Perhubungan
merupakan praktik struktur legitimasi. Pada saat
tertentu, gugus struktur di atas bisa saling terkait.
Dalam bahasa lain, struktur dalam pengertian Giddens
ini menyangkut simbol / wacana, tata ekonomi, tata
politik dan tata hukum. Dalam berbagai ‘tata’ di atas,
dualitas antara pelaku dan struktur berlangsung setiap
saat, dan struktur akan menjadi sarana praktik sosial.
Ucapan ‘minal aizin wal faizin’ itu adalah ungkapan
penandaan (signifikasi) seseorang/ kelompok untuk
meminta maaf kepada seseorang/ kelompok yang
akan bisa dipahami oleh seseorang/ kelompok dalam
masyarakat tertentu.
Demikian pula untuk menentukan kapan
berakhirnya puasa dan lebaran dimulai, setiap jam 7
atau jam 8 malam sebagian besar masyarakat menunggu
hasil sidang isbath (pemerintah dan masyarakat) untuk
menjadi keputusan pemerintah tentang penentuan
131
Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai
hari lebaran. Hal yang sama juga pada saat aparat
menyatakan akan menerjunkan para penembak gelap
(sniper) untuk mengamankan lebaran, mengatur lalu
lintas para pemudik, dan menghukum para pencopet
terminal yang tertangkap saat menjalankan aksinya
memanfaatkan momentum lebaran yang berdesakan.
Bila status pelaku (agent) dalam fungsionalisme Parsons
atau materialisme historis Althusser adalah seperti
halnya wayang di tangan dalang dan melakoni peranperan yang sudah ditentukan, muncul pertanyaan
lanjutan, apakah pelaku dalam dualitas struktur khas
Giddens ini tahu dan sadar akan tindakannya? Apakah
para pemudik itu tahu bahwa yang ia lakukan adalah
sebuah proses ‘mudik’ atau sekedar rutinitas tak sadar
pelaku bahwa setiap lebaran ia harus pulang kampung
naik kereta berdesak-desakan? Giddens menyatakan
bahwa setiap pelaku atas strukturnya tahu, walaupun
tak selalu harus menyadari (conscious).
Relasi Waktu dan Ruang
Dalam teori sosialnya, Giddens menekankan
bahwa waktu dan ruang memberikan pengaruhpengaruh yang penting terhadap struktur masyarakat,
dan konsentrasi terhadap pelintasan-silang wakturuang adalah tema yang mendasar dari teorinya.16
Manusia tidak hanya membuat proses-proses sejarah
tetapi juga geografis. Relasi waktu-ruang bukanlah
terjadi secara kebetulan bagi pembentukan masyarakat
dan perilaku kehidupan sosial. Pembentukan atau
perkembangan masyarakat terikat tidak hanya
kepada orang dan struktur masyarakat, namun juga
dipengaruhi oleh proses-proses historis dan geografis
yang mempengaruhi masyarakat.
Daya konstitutif waktu dan ruang ini tampak jelas
dalam gejala bahwa waktu-ruang menentukan makna
tindakan kita maupun perbedaan nama yang satu
dari tindakan yang lain. Hubungan keduanya bersifat
kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan
16
Giddens, Constitution, 54.
132
itu sendiri. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada
tindakan. Menonton film di bioskop bersama keluarga
umumnya tidak disebut “bekerja,” sebagaimana berada
di samping mesin mengerjakan sesuatu dari jam 8 pagi
hingga 5 sore tidak disebut “berlibur.”
Semua tindakan hanya berlangsung dalam (bukan
melalui) waktu dan ruang. Tetapi persoalan bagaimana
hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik
sosial merupakan faktor yang membedakan masyarakat
modern dari masyarakat sebelumnya. When [kapan]
dicabut dari where [di mana]. Giddens menyebut gejala
ini sebagai “perentangan waktu-ruang” [time-space
distanciation] yang sebenarnya berisi “pencabutan”
waktu dari ruang. Pencabutan waktu dari ruang inilah
lokus perbedaan antara masyarakat modern dan
bukan modern. Melalui proses pencabutan waktu dari
ruang dalam skala global, kita juga akan mendapati
globalisasi. Tanpa pencabutan waktu dari ruang, tidak
akan ada globalisasi. Namun, yang perlu dicatat adalah
bahwa perentangan sekaligus pemadatan waktu dan
ruang hanya mungkin terjadi karena inovasi teknologi.
Itulah mengapa orang sekarang untuk beridul fitri
cukup dengan menulis status di Facebook atau sekedar
mengirim SMS. Hal yang sama tidak akan kita jumpai
tahun 1970an, saat mana orang beridul fitri harus
berjumpa dengan saudara atau kerabatnya. Begitulah
ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama
yang dilakukan pelaku dan menghasilkan praktik sosial
yang berbeda. Di zaman internet ini, kini waktu dan
ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit
ditembus. Ruang-waktu menjadi sesuatu yang bisa
diatur.
Kritik Terhadap Teori Strukturasi GIDDENS
Karya Giddens menyiratkan bahwa jika orang
ingin mulai bertindak secara berbeda esok hari, maka
semua struktur masyarakat akan segera berubah.
Menurut Archer, ini tidaklah begitu. Kemungkinankemungkinan untuk mengubah struktur sosial dan
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
jangkauan manusia mempunyai kemampuan untuk
mentransformasikan dunia sosial, bergantung pada
watak struktur sosial.
Secara epistemologis teori ini memberikan sebuah
cara pandang baru di dalam melihat realitas, yaitu
antara pelaku (agency) dan strukur (structure). Tidak
ada struktur tanpa pelaku, sebaliknya tidak ada
tindakan tanpa struktur, kemudian pikiran pokok
itu diformulasikan ke dalam apa yang disebut teori
strukturasi. Kaitan antara pelaku dan struktur bersifat
fungsional. Di mata Giddens, kaitan bagian-bagian
dengan keseluruhan tidak terjadi karena kebutuhan
sistem kapitalis. Kaitan itu timbul karena proses
strukturasi dalam bentuk reproduksi praktek sosial
dan struktur kapitalisme yang terjadi dari perulangan
interaksi antara para pelaku kongkrit dalam ruang
dan waktu tertentu seperti interaksi para pemodal,
mandor, buruh, agen iklan. Melalui perangkat ini
Giddens mencoba menerangkan berbagai gejala dan
permasalahan yang timbul, yang merupakan bagian
dari hidup kita.
Titik tolak Giddens adalah praktik atau tindakan
manusia, namun tindakan manusia itu dapat dilihat
sebagai pengulangan. Artinya, aktivitas bukanlah
dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi secara
terus menerus mereka ciptakan ulang melalui suatu
cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri
mereka sendiri sebagai aktor. Di dalam dan melalui
aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang
memungkinkan aktivitas ini berlangsung. Dengan
demikian, aktivitas tidak dihasilkan melalui kesadaran,
melalui konstruksional tentang realitas atau tidak
diciptakan oleh struktur sosial, dalam menyatakan diri
mereka sendiri sebagai act, orang terlibat dalam praktik
sosial itulah kesadaran maupun struktur diciptakan.
Agen terus menerus memonitor pemikiran dan
aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik
mereka. Dalam upaya mereka mencari perasaan aman,
aktor merasionalisasikan kehidupan mereka yakni
mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tak hanya
memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga
memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial
mereka secara efesien. Aktor juga mempunyai motivasi
untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan
dan hasrat yang mendorong tindakan. Jadi sementara
rasionalisasi dan refleksivitas terus menerus terlibat
dalam tindakan, motivasi dapat dibayangkan sebagai
potensi untuk bertindak. Walaupun menurut Giddens
sebagian besar tindakan kita tidak dimotivasi secara
langsung. Akan tetapi motivasi memainkan peran
penting dalam tindakan manusia.
Kritik Yang dilakukan Giddens Terhadap
Materialisme Historis
Giddens berniat melakukan rekonstruksi
kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren dalam
konstitusi kehidupan sosial. Anthony Giddens
mengajukan teori sosial baru yang hendak melakukan
dekonstruksi terhadap teori sosial klasik. Tendensi
subjektivisme dan objektivisme dengan berbagai
variannya, diwacanakan Giddens dengan teori
strukturasi. Rekonsiderasi terhadap karya Karl Marx,
Emile Durkheim dan Max Weber, merupakan awal
revisi radikal Giddens dalam membangun teori
strukturasi.
Teori strukturasi merupakan salah satu usaha
monumental dalam membedah agensi dan struktur
sebagai dualitas. Ia memperkenalkan teorinya sejak
1970, terutama dalam tulisannya bertajuk, Capitalism
and Modern Social Theory: An Analysis of the Writings of
Marx, Durkheim, and Max Weber (1971).
Giddens juga menerbitkan trilogi: A Contemporary
Critique of Historical Materialism (1981); The NationState and Violence (1985) dan Beyond Left and Rigth:
The Future of Radical Politics (1994). Kesemuanya
merepresentasikan usaha Giddens dalam menjustifikasi
teori kritis tentang modernitas.
Menurut Giddens, teori kritis harus memiliki tiga
pendirian.
133
Anthony Giddens dan Gagasannya tentang Agama – Lu’lu Un Nisai
Pertama, secara metodologis harus memadai
sekaitan dengan isu dasar agensi, struktur dan
interpretasi sejarah.
Kedua, harus dilengkapi analisis institusional
terhadap modernitas.
Ketiga, harus bergulat dengan apa arti kritik dan
bagaimana dijustifikasikan.
Dalam The Consequences of Modernity (1990),
Giddens menggunakan istilah modernitas “radikal”,
“tinggi” atau “terakhir”, untuk mendiskripsikan
masyarakat saat ini. Menurut Giddens, masyarakat
saat ini, merupakan kontinuasi maupun diskontinuasi
masyarakat sebelumnya. Bahkan Giddens memandang
modernitas sebagai “juggernaut”, sebuah kereta raksasa
yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalannya.
Modernitas, menurut Giddens, sekurang-kurangnya
pada tingkat tertentu tidak terkontrol.
Kritik Giddens Terhadap
Perkembangan Masyarakat
Sejarah
Giddens meneropong tiga asumsi skema
evolusioner dalam konsep Karl Marx. Pertama,
masyarakat cenderung berkembang dari bentuk
organisasi yang relatif simpleks ke bentuk organisasi
yang relatif kompleks. Kedua, sumber perubahan
sosial pada dasarnya endogen karakternya. Ketiga,
perbandingan antara tipe masyarakat harus dibuat
antar tipe-tipe masyarakat yang saling berdekatan atas
dasar skala evolusioner.
Selanjutnya, Giddens berupaya melakukan
dekonstruksi atas asumsi sejarah evolusioner. Sekaligus
ia melakukan rekonstruksi kekuasaan sebagai sesuatu
yang inheren dalam konstitusi kehidupan sosial. Dalam
konteks ini, ia mengemukakan empat area tegangan
utama dalam skema sejarah evolusioner Karl Marx.
Pertama, kapitalisme sebagai puncak sejarah dunia.
Tema kapitalisme sebagai puncak sejarah dunia,
dielaborasi Marx secara ambigu. Sejatinya, kapitalisme
134
memaksimalkan kontradiksi dalam perkembangan
kekuatan produksi, sekaligus menyiapkan dasar untuk
revolusi. Kapitalisme adalah masyarakat klas yang
mengakhiri masyarakat klas dan memaksimalkan
alienasi diri. Namun membuka jalan untuk tatanan
sosial baru yang mentransendensikan alienasi diri.
Kedua , e vo l u si se bag ai ko nt inu it as da n
diskontinuitas. Perkembangan kapitalisme menjadi
tanda dari rangkaian dis-kuntinuitas fundamental
dengan sejarah sebelumnya. Kapitalisme lebih berada
dari setiap tipe masyarakat lain yang dibedakan oleh
Marx, daripada masyarakat itu berbeda satu dari
yang lainnya. Padahal kapitalisme secara distinktif
merupakan “masyarakat klas”: relasi kapital/ pekerja
vs upahan diprediksikan pada runtuhnya ikatan antara
alam, komunitas dan karakteristik individual dari
bentuk-bentuk masyarakat lain.
Ketiga, kapitalisme sebagai ‘Barat’. Analisis
Marx mengenai keterpilahan masyarakat Timur
dari tipe masyarakat lain dan interpulasinya sebagai
zaman progesif pertama dalam skema evolusioner,
mengandung bias Eropa. Sesungguhnya, Marx
mengikuti gagasan Montesquieu tentang karakter
despotik masyarakat Timur dan gagasan Hegelian
tentang karakter stagnan masyarakat Timur. Para
pemikir Eropa menganggap masyarakat Timur sebagai
barbarian, karena tidak menghargai hak milik privat
dan kebebasan individu. Dengan demikian, konsepsi
bahwa masyarakat Timur mengalami kebuntuan
historis dalam gerakan progresif kemanusiaan, niscaya
mengandung bias Eropa.
Keempat, kekuatan dan relasi produksi. Dalam
skema sejarah evolusioner, Marx menegaskan bahwa
pertumbuhan kekuatan produksi mengarah pada
meningkatnya tegangan dengan relasi produksi
yang ada, akhirnya berpuncak pada transformasi
revolusioner masyarakat.
Terdapat dua argumen di balik argumen Marx.
Pertama, keunggulan produksi atas elemen hidup
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
sosial yang lain. Kedua, produksi merupakan daya
penggerak perubahan sosial. Dengan demikian,
evolusionerisme Marx merupakan ‘world growth story’
dan menunjukan adanya pemampatan unilinier dan
distorsi temporal.
apa yang disebut Giddens “hermeneutika ganda,”
keterlibatan ganda dari individu dan lembaga. Secara
lebih jelas, “kita menciptakan masyarakat dan pada
saat yang sama kita diciptakan olehnya.”
Daftar Pustaka
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, teori strukturasi pada
umumnya didasari pada poin-poin pokok sebagai
berikut:
Pertama, fokus mendasar dari teori sosial bukanlah
tindakan individu dan pengalaman pelaku, namun
praktik sosial. Praktik sosial inilah yang berada pada
akar pembentukan individu dan masyarakat. Kedua,
praktik sosial dilakukan oleh agen-agen manusia
yang berpengetahuan dengan kekuatan sebabakibat, yaitu kekuatan untuk membuat perbedaan.
Para pelaku bukanlah orang-orang yang dungu dan
bukan pula produk dari kekuatan-kekuatan sosial.
Mereka mempunyai kapasitas untuk refleksi-diri
dalam interaksi sehari-hari, sebuah kesadaran praktis
tentang apa yang mereka lakukan dan dalam keadaankeadaan tertentu juga mempunyai kemampuan
untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bagaimanapun
juga, praktik-praktik sosial ini tidaklah berantakan
dan tidak murni voluntaristik, namun teratur dan
stabil dalam ruang dan waktu. Singkatnya, mereka
dirutinisasi dan dilakukan berulang-ulang. Dalam
menghasilkan praktik-praktik sosial, yang merupakan
pola-pola jelas yang membentuk masyarakat, para
pelaku menggunakan “structural properties” (aturanaturan dan sumber-sumber daya) yang mereka sendiri
merupakan ciri-ciri institusional dari masyarakat.
Keempat, struktur karenanya bergantung pada aktivitas.
Ia merupakan sarana dan sekaligus hasil dari sebuah
proses strukturasi produksi dan reproduksi praktikpraktik dalam ruang dan waktu. Proses ini adalah
Conway, Dennis dan Jeffery H. Cohen, “Consequences of
Migration and Remittances for Mexican Transnational
Communities,” Economic Geography 74 (1), 1998.
Dunlop, John. “Will the Russians Return from the
Near Abroad?” Post-Soviet Geography 35 (4), 1994.
Giddens, Antony. Central Problems in Social Theory:
Action, Structure and Contradiction in Social Analysis.
London: MacMillan Press, 1979.
_______. New Rules of Sociological Method. London:
MacMillan Press, 1976.
_______. The Constitution of Society. Berkley: University
of California Press, 1984.
_______. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity
Press, 1990.
_______. The Transformation of Intimacy. Cambridge:
Polity Press, 1992.
_______. The Third Way: The Renewal of Social
Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998.
Haralambos dan Holborn. Sociology: Themes and
Perspectives, Cet. ke-5. London: Hapercollins, 2000.
Jary, David dan Julia Jary. The Harper Collins Dictionary
of Sociology. New York: Harper Collins, 1991.
Priyono, B. Herry. “Sebuah Terobosan Teoretis,” Basis,
No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000
_______. Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2.
Jakarta: KPG, 2003.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi
Modern, Terj. Alimandan, Cet. ke-3. Jakarta:
Kencana, 2005.
135
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SOSIOLOGI
Abdu Robbir Rosoul Kariim
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini berupaya mengeksplor pemikiran Ibn Khaldun yang merupakan filsuf yang masih orisinil karena dialah satusatunya penulis Islam abad pertengahan yang tulisannya tentang masalah politik dan sosial bebas dari orientasi yang
idealistik. Dengan menggunakan metode experimental, Ibnu Khaldun berhasil mengananlisis kategori sosial masyarakat
Arab menjadi tiga tingkatan: Pertama, masyarakat primitif (waḥsy), di mana mereka belum mengenal peradaban, hidup
berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua, masyarakat pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata
pencaharian mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu: petani,
penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta. Sedangkan yang ketiga, masyarakat kota. Masyarakat ini
menurutnya sebagai masyarakat berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian.
Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok,
melainkan juga kebutuhan sekunder dan mewah. Menurutnya, akar sosiologi Arab dapat ditelusuri dari tiga fase dan
struktur sosial yang merupakan bentangan sejarah Arab klasik, sebelum masa kenabian. Pertama, struktur rohaniawan,
yaitu kelompok yang hidup dan berkembang di daerah gurun. Kedua, struktur feodalisme. Ketiga, Struktur Borjuisme.
Di antara indikasi yang dipandang representatif untuk menggambarkan kehidupan kaum borjuis Arab saat itu antara
lain, lukisan yang tertera pada mata uang. Lukisan tersebut meliputi nama-nama raja, kota dan lambang kebesaran.
Kata kunci: sosiologi, agama, masyarakat, Arab.
Abstract
This paper aims to explore the Ibn Khaldun idealization who is the original philosopher because he is the only author of medieval Islamic
writings about political and social issues free from idealistic orientation. By using the experimental method, Ibn Khaldun successfully
analyze social category of Arab society into three levels: First, primitive society (waḥ sy), where they had not known civilizations, nomadic
and live wildly. Second, rural communities, sedentary although still modest. Their livelihood from agriculture and livestock. In economy
class they are divided into three, namely: farmers, herders of cattle and goat and camel herders. While the third is urban community.
This society thinks as a civilized society, in which their livelihood are trade and industry. Their economic and cultural level is quite high,
able to meet the needs not only a necessity, but also secondary needs and luxury. According to him, the Arabic sociologycalroots can be
traced from the three phases and the social structure that is a stretch of the history of classical Arabic, before the prophet era. First, clergy
stucture, the group that live and thrive in desert areas. Second,feudalism structure. Third, bourgeois structure. Among the indications
are deemed representative to describe the life of the Arab bourgeoisie that time, among others, the painting shown on the currency. The
painting includes the names of kings, city and coat of arms.
Keywords: sociology, religion, society, Arab
137
Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim
Pendahuluan
Induk ilmu pengetahuan adalah filsafat. Banyak
pemikiran Ibnu Khaldun yang menyangkut Filsafat
karena pemikirannya untuk mencari kebenaran logika
sesuai dengan akal pikiran manusia. Dengan tegas Ibnu
Khaldun mengakui adanya keterbatasan akal pikiran
manusia dalam menjangkau berbagai fenomena yang
ada di dunia. Namun beliau juga meyakini bahwa
fenomena yang tidak terjangkau akal pikiran manusia
ada dalam realitas dunia, misalnya soal ketuhanan,
eskatologi, kerohanian, wahyu dan kenabian.
Hendaknya disadari bahwa setiap orang dengan
persepsinya hanya mampu menangkap fenomesa
terbatas pada kadar luas persepsinya sendiri saja,
sehingga setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri
tentang fenomena. Ibnu Khaldun sering membuat
kritik terhadap filsafat dan para filsuf yang hendak
mendalami keimanan dengan filsafat. Kadang kritiknya
sangat filosofis sehingga sebagai menjadi pemikiran
filsafat tersendiri.
Dengan menyingkirkan pengaruh-pengaruh
Aristoteles dan Neoplatonesma, Ibnu Khaldun adalah
orang yang bebas dan orisinil dalan filsafat Islam.
Orisinalitas pemikiran Ibnu Khaldun terletak pada
fakta bahwa dialah satu-satunya penulis Islam abad
pertengahan yang menulis tentang masalah politik
dan sosial bebas dari orientasi yang idealistik. Tidak
sebagaimana Al-Farabi yang mengutuk kehidupan kota,
Ibnu Khaldun dengan serius dan realistis menganalisa
kehidupan kota untuk memahami dan beradaptasi
dengannya. Akan tetapi, karena kadang begitu tajam
membuat kritik terhadap beberapa tokoh fisafat,
ia sering dikatakan memusuhi filasafat, walaupun
sebenarnya dia sendiri adalah seorang filsuf, malah
sering disebut “the great muslim philosopher.”1
1
Hakimul Ikhwan Affadi, Akar Konflik Sepanjang Zaman
(Elaborasi pemikiran Ibn Khaldun) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 41.
138
Penulis mencoba untuk mngemukakan gagasangagasan Ibnu Khaldun mengenai Sosiologi dari
kitab al-Muqaddimah dan al-‘Ibar agar mendapatkan
informasi mengenai kehidupan Ibnu Khaldun baik
secara sosial, politik maupun sejarah.
Ibnu Khaldun : Sosok, Ranah, Gagasan dan
Karya
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyuddīn
‘Abd al-Rahmān ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn Abī Bakr Muhammad ibn al-Ḥasan ibn Khaldūn.
Beliau lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732
H atau 27 Mei 1332. Beliau wafat di Kairo pada
tanggal 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406
M.2 Ibnu Khaldun mempelajari Ilmu Agama dari
Ayahnya sendiri kemudian mempelajari Bahasa pada
sejumlah guru, yang terpenting ialah Abu Abdillah
Muhammad ibn al-Arabi al-Hashayiri dan Abu
Abdillah Muhammad ibn Bahr, ia mempelajari Fiqh,
dan ilmu ilmu lainnya seperti filsafat, teologi, logika,
ilmu alam, matematika dan astronomi.3
Ibnu Khaldun dilahirkan dan menjalani
masa kanak-kanak dalam kondisi masyarakat yang
mengalami perubahan besar-besaran sebagai akibat
dari kemunduran dan disintegrasi umat Islam dan
pertikaian kerajaan-kerajaan Islam sehingga jatuh ke
tangan pasukan Mongol di bawah pimpinan Timur
Lenk, maka Khaldun kecil sudah harus terombangambing dalam pergolakan politik dunia. Di samping
itu, ketika dia berusia 18 tahun sebagian besar Afrika
Utara diserang wabah penyakit yang dahsyat yang
menimpa hampir seluruh umat Islam sampai ke Italia
dan Negara Eropa lainnya. Peristiwa ini mengakibatkan
orang tua dan guru-gurunya meninggal termasuk
sebagian penduduk Tunisia. Ibnu Khaldun sendiri
terhindar dari wabah dan berkeinginan pindah ke
2
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), 139.
3
Ahmad Yarí, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005), 104.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Maroko bersama-sama guru dan teman-temannya,
tapi dicegah oleh kakaknya. Sehingga dia mendapat
kesempatan untuk bekerja di kerajaan dengan Raja
Abu Muhammad Ibn Tafrakin.4
Setelah berusia 20 tahun ia beralih ke dalam
kencah politik, yang penuh pergolakan yang mewarnai
Maghrib ketika itu, dan diangkat menjadi anggota
majlis ilmu pengetahuan dan menjabat “kitabah”
di Maghrib oleh Abu Inan yang menjadi raja pada
waktu itu, karena kedekatan antara keduanya. Lalu ia
pindah ke kota kairo dan mengajar di masjid Al-Azhar.
Karena kepandaiannya dalam mendekati penguasa, ia
diangkat menjadi pengajar di perguruan al-Qamhiah,
dan kemudian diangkat menjadi hakim agung mahzab
malikiyyah. Ia memangku jabatan ini sebanyak tiga
kali sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di kairo.
Ibnu Khaldun meninggal dunia pada usia tujuh puluh
empat tahun, selama 24 tahun di Mesir ia merivisi
karya besarnya Al-‘Ibar, dan memperluas penjelasannya.
Jika diklasifikasikan, fase kehidupan Ibnu Khaldun
terbagi dalam empat fase yaitu:
Pertama, fase kelahiran, perkembangan dan studi.
Fase ini berlangsung sejak kelahiran hingga berusia 20
tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun
751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunis.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun
ke dunia politik di Maghrib dan Andalusia, yaitu dari
tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M.
Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berfikir dan
berkontemplasi di benteng Ibn Salamah milik Banu
Arif, yaitu sejak 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
Keempat, fase dalam mengajar dan bertugas sebagai
Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382
M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.5
Ibnu Khaldun tidak hanya seorang yang disiplin
menuntut ilmu dan mengamalkannya. Dia juga
produktif di dalam menuliskan pengetahuan di atas
kertas. Maka dari itu muncullah karya-karya yang
monumental yaitu:
Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama
dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah
(pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang
merupakan inti dari seluruh persoalan. Buku tersebut
pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi
begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah
gejala-gejala sosial dan sejarahnya. Bagian ini berisi
enam bab dan dari setiap bab tersebut memiliki bagianbagian tersendiri. Pokok pembahasannya berkisar
pada permasalahan sosial kemasyarakatan. Misalnya
pemerintahan, keadaan politik suatu negara, keadaan
suku yang mendiami suatu tempat (suku pedalaman
baduwi), masyarakat perkotaan, serta masih banyak
lagi.6
Kitab al-‘Ibār, wa Dīwān al-Mubtada’ wa alKhabar, fi Ayyām al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar,
wa man Asharuhum min żawi al-Sulṭān al-‘Akbar.
(Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan
dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik
Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar,
serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka),
yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang
terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai
kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi
tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu
pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan,
keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala
sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan
kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa
Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti
mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan
tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang
sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia,
Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka
4
A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan asal usul Sosiologi (Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1970), 9-11.
5
Ibid., 140.
6
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), 97-98.
139
Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim
(orang-orang Eropa). Buku ketiga terdiri dari dua jilid
yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang
sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan
bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negaranegara Maghribi (Afrika Utara).
Kitab al-Ta’rīf bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhū
Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan
oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi,
merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang
berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu
Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis
dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah
dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu
dengan yang lain.7
Ibnu Khaldun dikenal baik di dunia timur maupun
di dunia barat karena karyanya yaitu kitab al-‘Ibār
terutama pada bagian muqaddimahnya. Ibnu Khaldun
menerangkan dalam muqaddimahnya tentang gejalagejala sosial yang ada di masyarakat. Dalam bagian
ini pula pembaca akan mendapatkan definisi yang
mengagumkan tentang sejarah, bahwa ia: ”pada sisi
eksternalnya (ẓāhir) tidak lebih dari penginformasian
mengenai peperangan, negara-negara dan masyarakat
pada masa silam, tetapi pada sisi internalnya (bāṭin)
merupakan observasi, analisis dan kajian secara cermat
terhadap prinsip-prinsip semesta dan sebab-sebab yang
mendasarinya. Sejarah adalah pengetahuan tentang
proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya
secara mendalam.8
Ibnu Khaldun dikenal pula sebagai tokoh pertama
penggagas filsafat sejarah. Beliau menyatakan bahwa
di dalam karya-karya sejarah itu banyak sekali terdapat
kekeliruan, ketergelinciran dan kesalahan. Dalam
muqaddimahnya pula Ibnu Khaldun memaparkan
syarat-syarat seorang sejarawan serta sebab-sebab
kesalahan dalam penulisan sejarah oleh para sejarawan
7
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), 144.
8
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam dari Klasik
Hingga Modern (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 65-66
140
terdahulu. Ibnu Khaldun membagi sejarah ke dalam
dua aspek: aspek lahir dan aspek batin. Secara lahir,
sejarah tidak lebih daripada berita-berita tentang
peristiwa-peristiwa, negara-negara dan kejadiankejadian pada abad-abad yang silam. Dari pernyataan
tersebut Zaynab al-Kuhadhayri menyatakan, kalau
aspek lahir adalah sejarah dalam pengertian umum,
maka aspek batinnya adalah salah satu cabang dari
hikmah atau filsafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab
peristiwa dan hukum-hukum yang mengendalikannya.9
Konsepsi tentang asal-usul suatu negara tidak
terlepas dari yang namanya tabiat khusus manusia. Dari
proses berfikir tentang pertahanan suatu kelompok
terhadap serangan kelompok lain, memuculkan sosok
yang mempunyai kekuatan dan wibawa. Sehingga
kelompok lain tidak dapat menyerang kelompok
tersebut. Inilah yang dinamakan kekuasaan otoritas.
Para filosof berusaha memberikan dalil yang logis
tentang adanya nubuwwah (satu watak khusus dari
manusia). Akan tetapi penetapan para filosof ini
terlihat tidak logis karena wujud (existensi) dan
penghidupan manusia itu dapat juga tanpa adanya
nubuwwah, yaitu melalui peraturan-peraturan yang
dibuat oleh seseorang yang berkuasa sesukanya atau
dengan bantuan dari suatu ras golongan.10
Gagasan Ibnu Khaldun terhadap Sosiologi
Ibnu Khaldun menjadi kiblat penelitian sosial
bagi para peneliti sosial Barat. Hal ini terjadi karena
ditemukannya muqaddimah pada abad ke-19 dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, yang ketika
itu sedang menggandrungi sosiologi, maka perhatian
sejumlah ilmuan Barat terarah kepada segi-segi yang
sama antara masalah yang diutarakan dan dibahas
mereka dan masalah yang dikemukakan Ibnu Khaldun.
9
Badri Yatim, Historiografi Islam, 144-152.
Osma Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara
(Jakarta: Bulan Bintang, 1962), 140-142.
10
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Sebagaimana diketahui ia adalah pengasas
sosiologi, karena dalam Muqaddimah-nya yang terdiri
dari enam bab, ia mengkaji “realitas-realitas al-‘Umrān
al-Basyarī” atau keadaan kemasyarakatan manusia,
yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomena
fenomena sosial,” dan inilah yang merupakan objek
pembahasan sosiologi.11 Sebagaimana perkataannya
dalam Muqaddimah bahwa sejarah adalah catatan
tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan
dunia tentang perubahan-perubahan yang terjadi
pada watak masyarakat itu, seperti keprimitifan,
keramahtamahan dan solidaritas kelompok; tentang
revolusi-revolusi dan pemberontakan-pemberontakan
oleh sekelompok masyarakat melawan sekelompok
masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya
kekuasaan-kekuasaan baru dengan berbagai macam
peringkatnya; tentang macam-macam kegiatan
dan kedudukan orang, baik untuk mencapai
penghidupannya maupun dalam bermacam-macam
cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada
umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam
masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
Adapun metode yang ia gunakan dalam mengkaji
fenomena-fenomena sosial adalah metode yang
ilmiah karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena)
sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab
pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang
dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini
terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk
sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak
experimental.12 Dan yang lebih fenomenal adalah
perkataan N.Schmidt, dalam karyanya Ibnu Khaldun :
Historian, Sosiologist, and Philosopher, “ia adalah seorang
pemikir seperti halnya Comte, Thomas Mann, dan
Spencer, ia mengemukakan sosiologi yang lebih maju
sampai ke batas yang tidak dapat dicapai Comte sendiri
pada penggal pertama ke-19. Andaikata para pemikir
yang telah menyusun kembali sosiologi menelaah
11
Thawil Akhyar Dasoeki. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, 98.
Yusri Abdul Ghani Abdullah. Historiografi Islam, 67.
12
Muqaddimah Ibnu Khaldun dan menimba kenyataankenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan yang telah
ditemukan si jenius Arab itu pada masa jauh sebelum
mereka, niscaya mereka akan mampu mengemukakan
ilmu baru ini lebih cepat.13
Dalam konteks sosiologi, Ibnu Khaldun membagi
masyarakat menjadi tiga tingkatan: pertama, masyarakat
primitif (waḥsy), di mana mereka belum mengenal
peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara
liar. Kedua, masyarakat pedesaan, hidup menetap
walaupun masih sederhana. Mata pencaharian
mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas
ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu: petani,
penggembala sapi dan kambing serta penggembala
unta. Sedangkan yang ketiga, masyarakat kota.
Masyarakat ini menurutnya merupakan masyarakat
berperadaban, di mana mata pencahariannya dari
perdagangan dan perindustrian. Tingkat ekonomi
dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi
kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok,
melainkan juga kebutuhan sekunder dan mewah.14
Ibn Khaldun menyebutkan moral badui dan
berperadaban terbagi ke dalam dua macam; datang
secara alami dan muncul dengan direkayasa.
Menurutnya, masyarakat badui lebih memiliki sifat
pemberani ketimbang kalangan masyarakat kota.
Sebab utamanya, masyarakat kota banyak menikmati
ketenangan, beristirahat, tenggelam dalam kenikmatan
dan bermewah-mewahan. Generasi demi generasi telah
lahir dari kedua orang tuanya, baik lelaki atau wanita.
Anak lelaki mengikuti kebiasaan bapaknya, sedangkan
yang wanita mengikuti ibunya. Sementara masyarakat
badui kurang mengadakan perkumpulan dalam sebuah
komunitas. Mereka melakukan pertahanan terhadap
13
Luthfi Yansyah El-Sanusy, Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun
dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan) Lihat, http://www.scribd.
com/doc/12831325/Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-KarlMarx-Sebuah-Per-Banding-An.
14
Abdurrahman Ibnu Khaldun al-Maghriby, Muqaddimah,
cet ke-5 (Beirut Libanon: Dar al-Qalam, 1983), 120.
141
Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim
diri mereka sendiri, tidak mengandalkan orang lain,
dan condong menggunakan senjata.
Ibn Khaldun menganalisa juga tentang pengaruh
iklim terhadap moral manusia. Wilayah yang diduduki
oleh orang-orang dengan udara panas seperti Sudan
dan negara Arab, biasanya mereka kurang berhati-hati
dan banyak bergembira. Begitu juga dengan masyarakat
yang berasal dari teluk. Sedangkan penduduk yang
wilayahnya kering biasanya mereka mempunyai
tabiat selalu merasakan kesedihan. Sebab utamanya,
kemungkinan masih menurut pandangannya karena
mereka tinggal di wilayah dan daerah yang iklimnya
bisa mempengaruhi moral mereka. Ketika menganalisa
struktur masyarakat, ia membaginya dalam tiga
format, yaitu: bangsa Arab, Barbar dan ‘Ajam. Dari
tiga struktur tersebut, ia menempatkan bangsa Arab
pada masyarakat pedesaan yang primitif, karena
mereka hidup sebagai penggembala unta yang harus
berpindah-pindah.15
Maksud Arab ini konotasinya lebih dekat ke
pemaknaan badui. Mereka terbiasa mempertahankan
diri dari musuh dan tantangan yang setiap saat
menghantui. Begitu juga dengan alam yang tidak
bersahabat. Mereka tidak pernah melepaskan
senjatanya, karena setiap saat bahaya akan mengancam.
Dengan pengalaman ini, bangsa Arab menurut Ibnu
Khaldun mampu merebut kekuasaan dari pihak lain
dengan ‘aṣābiyah-nya. Namun, kekuasaan ini cepat
lepas karena kondisi mereka yang berpindah-pindah.
Padahal, kekuasaan itu bisa dipertahankan melalui
dukungan solidaritas dari golongannya yang terus
membantu dan membelanya dalam setiap waktu.
Hal ini sulit diperoleh karena setiap waktu, sebagai
penggembala, mereka dituntut untuk berkelana.
Kondisi di atas, menurut Ibnu Khaldun semakin
lama mengalami pergeseran seiring dengan bergantinya
waktu. Struktur masyarakat Arab juga mengalami
perubahan berdasarkan perubahan orientasi dan
15
Ibid., 121.
142
sosiologi, sebagaimana yang dianalisa oleh Mahmūd
Isma’īl, dalam bukunya Sosiologiy al-Fikr al-Islāmy.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat bukanlah
merupakan pengaruh dari luar melainkan merupakan
reaksi yang timbul dalam intern masyarakat yang
menjadi tabiatnya. Menurutnya, akar sosiologi Arab
dapat ditelusuri dari tiga fase dan struktur sosial yang
merupakan bentangan sejarah Arab klasik, sebelum
masa kenabian. Ketiga struktur ini nantinya akan
mempengaruhi wacana pemikiran sesudahnya.16 Ketiga
struktur tersebut adalah :
Pertama, struktur rohaniawan. Kelompok ini hidup
dan berkembang di daerah gurun. Mereka sangat fasih
melantunkan syair-syair Arab.
Kedua, struktur feodalisme. Dimulai sejak 1300527 SM. Dari tinjauan sejarah, struktur ini merupakan
generasi pertama yang telah mengalami perubahan.
Perubahan dari rohaniawan ke feodalisme ditandai
dengan tumbuhnya solidaritas Arab, seperti negeri
Qitban, Muayan, Saba’ dan negeri Hamir. Namun
pengaruh dari perubahan ini menjadikan negeri-negeri
yang pada mulanya bekerja sama dalam hal pengairan.
Selanjutnya berangsur menjadi kekerasan. Kelompok
yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras
yang miskin dan sejak saat itulah mereka terbagi dalam
kasta. Tanah-tanah pertanian dibagikan kepada para
pemimpin sektor/wilayah.
Ketiga, struktur borjuisme. Di antara indikasi
yang dipandang representatif untuk menggambarkan
kehidupan kaum borjuis Arab saat itu, antara
lain, lukisan yang tertera pada mata uang. Lukisan
tersebut meliputi nama-nama raja, kota dan lambang
kebesaran. Menurut para sosiolog, lukisan namanama raja menunjukkan bahwa masyarakat Arab prakenabian dikelompokkan dalam dua kategori besar,
yaitu: kelompok yang berpegang pada agama, tetapi
cenderung berperilaku sekuler dan kelompok yang
16
Mahmūd Isma’il, Sosiolojia al-Fikr al-Islāmy; Muhāwalah
Tanẓīr (Cairo, Dār al-Ṡaqāfah, 1988), 46-77.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
cenderung sekuler an sich.17 Contoh formulasi yang
kedua ini adalah negeri Saba’.
Sosiologi Pasca Ibnu Khaldun
Setelah Ibnu Khaldun wafat, banyak para pakar
sosial mulai mengkaji kembali pemikiran-pemikiran
yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun seperti:
Aguste Comte (1798 - 1857).18 Pada tahun 1824 ia
menulis buku Sistem Politik Positif. Dan mengembangkan
sistem filsafat positif. Positivisme adalah dasar
menyusun masyarakat baru. Positivisme adalah paham
yang membatasi pengetahuan benar manusia kepada
hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode
ilmu pengetahuan (science atau sains). Hal poisitif
(positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh
setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk
menilainya. Hal ini bertentangan dengan kejadiankejadian yang kita khayalkan, suka dengarkan dan
parcayai. Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta
atau hal yang dapat ditinjau dan diuji melandasi
pengetahuan sah.
Herbert Spencer. (1820-1903)19 Dalam bukunya
Social Statics, masyarakat disamakan dengan suatu
organisme. Perlu dicatat yang dimaksud dengan
‘organisme sosial’ menurut Spencer adalah positivistis
dan deterministis. Masyarakat adalah organisme.
Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan suatu
penentuan oleh hukum alam. Hukum yang berlaku
di pertumbuhan fisik juga berlaku di evolusi sosial.
Jadi biologi dan sosiologi adalah sama. Masyarakat
adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi
sendiri lepas dari kemauan dan tangung jawab
anggotanya dan dibawa kuasa suatu hukum. Fungsi
17
An sich adalah sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara
harfiah berarti: “pada dirinya sendiri”, “pada hakekatnya” atau
“harfiah”. Konsep filsafat “Ding an sich” diperkenalkan oleh sang
filsuf Prusia Immanuel Kant.
18
Bambang Harjono, Bahan Ajar Sosiologi: suatu Pengantar
(Bandung: STT-INTI, 2012), 13.
19
Ibid., 14-15.
koordinasi dan pemersatu yang dilakukan oleh sistem
syaraf di tubuh dilakukan oleh sistem pemerintahan
di badan sosial. Sama seperti tubuh menghasilkan
metabolisme untuk kebutuhan dan pemeliharaan
dan ketahanan badannya. Demikian juga masyarakat
mempunyai sistem ekonomi demi kelangsungan dan
perkembangannya. Sama seperti distribusi di tubuh:
ada pembuluh darah di masyarakat; ada infrastruktur
dan jaringan transpotasi; jembatan; saluran telepon
dsb.
Emile Durkheim. (1857 - 1917) 20 Sebetulnya
berangkat dari keberbedaan dua sudut pandang yaitu
organisisme yang menekankan kepada masyarakat lebih
dari individu dan mekanisme yang mendahulukan
individu dari masyarakat yang dirasakan memiliki
banyak kekurangan di dalam menjelaskan realitas
yang sesungguhnya, diteruskan dengan menyatukan
kedua unsur tadi di dalam kesatuan yang ternyata
tidak menyajikan kejelasan yang diinginkan. Muncul
pendapat berikutnya bahwa di dalam diri manusia
sudah tertanam dua unsur tadi. Jadi keberadaan kedua
unsur (individualitas dan sosialitas manusia) tidak di
sangkali tetapi disadari dan diterima untuk kemudian
dikembangkan menjadi teori sosiologi yang mencoba
menjelaskan realitas sosialnya. Jadi sifat serba dua dari
manusia disandingkan dengan kenyataan masyarakat
dan individu yang satu adanya. Serba dua ini bisa
dicontohkan seperti jiwa dan badan manusia yang
membentuk kodrat manusia.
Jadi dalam alam penginderaan dan kenafsuan
manusia mengalami diri sebagai individu; dalam alam
pengertian umum dan moralitas ia menghadapi suatu
realitas yang supra individu. Sehingga manusia disebut
homo duplex. Bagaimana manusia merasakan fisik
biologis dan sekaligus spiritual budaya? Apakah benar
badan mendasari alam pertama dan jiwa mendasari
alam kedua? Durkheim tidak meyakini jiwa sebagai
alam kedua, dia menempatkan masyarakat sebagai yang
20
Ibid., 22-23.
143
Ibnu Khaldun dan Gagasannya tentang Sosiologi – Abdu Robbir Rosoul Kariim
terpisah dari individu, menghasilkan kesan seolah-olah
di atas dan di luar individu masih ada alam nilai-nilai
yang tidak berakar di dalam individu. Jika analoginya
masyarakat sama dengan jiwa, maka masyarakat itu
sebetulnya tidak di luar individu, melainkan di dalam
individu sehingga ada kesatuan di dalam individu
dan menjadi bagian di dalam individu. Dalam diri
manusia pengaruh orang lain dan predisposisi bertemu
dan menjadi satu. Jadi tetap ada pengaruh individual
dan sosial di dalam diri manusia dan dalam hal ini
Durkheim memilih pengaruh sosial lebih menentukan.
Masih banyak lagi para tokoh-tokoh sosiologi yang
lain yang menambah kekayaan ilmu Sosial seperti
Max Weber, Antoni Gidden serta para tokoh lain
yang nota bene kemunculan teori mereka antara Abad
ke 18 sampai abad ke 19. Hal ini menguatkan bahwa
Ibnu Khaldun merupakan tokoh peletak dasar Ilmuilmu sosioal karena dia hidup antara abad ke 13 dan
abad ke 14.
Kajian Ilmu dari seorang Ibnu Khaldun masih
subur hingga hari ini. Yang menarik adalah perhatian
seorang Mark Zuckenberg kepada karya fenomenal
yang berjudul al-Muqaddimah. Dalam Bussinessinsider
diterangkan bahwa tahun baru 2015 Mark seperti biasa
mulai mendiskusikan satu topik setiap dua minggu
sekali. Nah, pada kesempatan itu dia memilih karya
Ibnu Khaldun sebagai trending topic untuk diskusi
dalam tema “Sosial dan Bisnis”, dia juga menjelaskan
bahwa :
“It’s a history of the world written by an intellectual
who lived in the 1300s. It focuses on how society and
culture flow, including the creation of cities, politics,
commerce and science”.
“While much of what was believed then is now
disproven after 700 more years of progress, it’s still
very interesting to see what was understood at this
time and the overall worldview when it’s all considered
together”.21
Dia menerangkan bahwa buku fenomenal
itu merupakan sejarah dunia yang ditulis seorang
intelektual yang hidup pada tahun 1300. Buku tersebut
menerangkan tentang aliran budaya, peradaban sebuah
kota, politik, perdagangan dan ilmu pengetahuan.
Sementara kepercayaan yang ada sekarang bisa
dibantah setelah buku ini memberikan progress selama
700 tahun, hal ini sangat menarik untuk mengetahui
apa yang dipahami sekarang ini dan pandangan di
seluruh dunia ketika semunya dipahami bersama.
Menurut Syafii Maarif, salah satu tesis Ibnu
Khaldun yang sering dikutip adalah “Manusia
bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk
kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif
Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi
al-Muqaddimah menjadi tiga bagian, di antaranya:22
Pertama, membicarakan histografi mengupas
kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, al-Muqaddimah mengupas soal Ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan
dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah
berkembang sampai dengan abad ke 14.
Daftar Pustaka
Affadi, Hakimul Ikhwan. Akar Konflik Sepanjang Zaman
(Elaborasi pemikiran Ibn Khaldun). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Ali, A. Mukti. Ibn Chaldun dan Asal Usul Sosiologi.
Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970.
21
Tulisan ini dirilis pada laman http://www.businessinsider.
co.id/mark-zuckerberg-the-muqaddimah-2015-6/?r=US&IR=T#.
VzZkGtJ9602 yang diunduhpadahariJumat 14 Mei 2016, berita
ini juga dirilis di beberapa media Nasional seperti Detik.com dan
Republika.co.id
22
Yesmil Anwar, Sosiologi untuk Universitas (Bandung: PT
Refika Aditama, 2013), 114.
144
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Anwar. Sosiologi untuk Universitas. PT Refika Aditama:
Bandung, 2013.
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam.
Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.
Ghani, Yusri Abdul, Abdullah. Historiografi Islam dari
Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Luthfi Yansyah El, Sanusy. Pemikiran Sosiologi Ibnu
Khaldun dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan).
dalam http://www.scribd.com/doc/12831325/
Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-Karl-MarxSebuah-Per-Banding-An.
Raliby, Osma. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan
Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
Harjono, Bambang. Bahan Ajar Sosiologi : Suatu
Pengantar. STT-INTI: Bandung, 2012.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Ismā’īl, Mahmūd. Sosiolojia al-Fikr al-Islāmy; Muhawalah
Tanẓīr. Cairo: Dār al-Ṡaqāfah, 1988.
Yarí, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005.
Khaldun, Abdurrahmān Ibnu. Muqaddimah, Dār alQalam, Beirut Libanon, cet ke-5, 1983.
145
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
PETER L. BERGER DAN GAGASANNYA
MENGENAI KONSTRUKSI SOSIAL DAN AGAMA
Ahmad Nur Mizan
Yayasan Pondok Pesantren Madania Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Artikel ini berupaya mencari awal mula sistem masyarakat agama terbentuk oleh masyarakatnya. Apakah sistem masyarakat agama
terjadi atas penegtahuan dan pengaruh individu atau bahkan sebaliknya. Hal inilah yang menjadi fokus kajian artikel ini. Melalui
kajian terhadap pemikiran Peter L. Berger, bahwa sistem sosial masyarakat agama terbentuk atas dialektika antara diri manusia dengan
dunia sosio-kulturnya. Masyarakat adalah produk manusia, dan manusia adalah produk masyarakat. Berger dan Luckmann mengatakan
terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tahap pertama adalah eksternalisasi, yakni suatu proses dimana manusia menuangkan
diri dan kemanusiaannya ke dalam dunia (lingkungannya), sehingga lambat laun dunianya itu menjadi dan nampak sebagai dunia
manusia. Apabila dunia yang sudah terbentuk oleh eksternalisasi ini semakin mengukuhkan diri dan kembali menghapai manusia
sebagai suatu faktisitas yang berdiri sendiri, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivitasi. Agar dunia obyektif
ini tidak menjadi asing bagi manusia yang telah menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subyektivitas
manusia, menjadi bagian dari struktur subyektif kesadaran. Inilah tahapan ketiga dari proses ini, yakni internalisasi.
Kata kunci:Peter L. Berger, konstruksi sosial, Eksternalisasi, Objektivasi
Abstract
The article attempts to look for the beginning of the religious community systems formed by society. Does the system of religious communities
occur on the knowledge and influence of individuals or even vice versa. This is the focus of study of this article. Through the study of Peter
L. Berger though, that the social system of religious communities formed on the dialectic between the human self with his socio-culture
world. Society is a human product, and man is a product of society. Berger and Luckmann said that the dialectic between the individual
and community create a society and society creates individuals. This occurs through the dialectical process of externalization, objectivities
and internalization. The first step is theexternalizationthat is a process by which human beings pour themselves and their humanity into
the world (environment), so that gradually it became his world and the world appears as a human being. If the world which has been
formed by externalizing this reinforces the human face and returned as a stand-alone facticity, then at that time the process enters the step
of objectivities. So that the objective world is not alien to human beings who have created it, it must be cultivated again become a part of
human subjectivity, becomes part of the structure of subjective consciousness. This is the third step of this process, namely internalization.
Keywords: Peter L. Berger, social construction, externalization, objectivities
147
Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan
Pendahuluan
Peter L. Berger adalah sosiolog Amerika yang selama
dua dasawarsa terakhir ini dikenal secara luas sebagai
ahli sosiologi kontemporer. Ia bersama Lukcmann
menggagas teori konstruksi sosial (social construction)
yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Di dalamnya
terkandung pemahaman bahwa sebuah kenyataan
itu dibangun secara sosial, yang mana keduanya
menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan
pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Dengan
tujuan untuk menjelaskan adanya dialetika antara diri
manusia dengan dunia sosio-kulturnya.
Dalam waktu relatif singkat, Berger telah dicatat
sebagai ahli sosiologi yang sangat berarti, khususnya
dalam tradisi sosiologi humanistik. Memang Berger
tidak pernah membangun teori besar (grand theory),
namun berbagai karya Berger telah ikut memperkaya
wawasan sosiologi kontemporer.1
Dalam permasalahan tentang agama, Berger
mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Dengan
maksud bahwa agama sesungguhnya juga dibentuk
secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi agama
bergantung pula pada faktor sosial, historis, dan
kulturalnya.2 Sehingga Berger memahami bahwa agama
merupakan bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan
lewat eksternalisasi dan sebagai sebuah realitas sosial.
Untuk itu, di dalam makalah ini akan lebih membahas
bagaimana gagasan Berger dalam teori konstruksi
sosialnya dan bagaimana pula gagasan Berger mengenai
agama itu sendiri.
Peter L. Berger: Sosok, Ranah, Gagasan dan
Karya
Berger L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria,
pada tanggal 17 Maret 1929, kemudian dibesarkan di
1
Robert Wuthow, Cultural Analysis (London: Routledge &
Kegal Paul, 1984), 8-11.
2
Syamsul Arifin, “Agama Sebagai Realitas Sosial”
Jurnal Kajian Islam, Volume 1 No.1, April 2009, Universitas
Muhammadiyah Malang, 2.
148
Wina. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di
Inggris pada tahun 1946 dan berimigrasi ke Amerika
Serikat tak lama setelah Perang Dunia II dan belajar di
State Island dengan mengambil filsafat sebagai bidang
utamanya. Pada tahun 1949, ia lulus dari Wagner
Collage dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan
studinya di New School for Social Research di New
York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).3 Ia juga
pernah menjadi guru besar sosiologi di Graduate
School of Rudgers University dan Douglass College,
serta beberapa tahun menjadi President of the Society
of the Scientific Study of Religion.4 Ia menyelesaikan
studinya dan memperoleh gelar MA dan Ph.D pada
tahun 1954 dan menulis disertasi yang berjudul “A
Sosiology of the Bahai Movement.” Setelah menyelesaikan
studinya, Berger mengikuti wajib militer angkatan
darat Amerika selama dua tahun dan ia diberikan tugas
sebagai seorang penerjemah dan juga sebagai pekerja
sosial di sebuah klinik penyakit jiwa. Kemudian Berger
bekerja selama satu tahun pada Evangelicial Academiy
di Boll, Jerman. 5 Dari 1956 hingga 1958 Berger
menjadi profesor muda di Universitas North Carolina;
dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di
Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya
yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di
New School for Social Research, Universitas Rutgers,
dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi
profesor sosiologi dan teologi di Universias Boston
dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut
Studi Kebudayaan Ekonomi yang beberapa tahun lalu
3
Selama di sinilah Berger bergabung dengan para tokoh
seperti Alfred Schutz, Carl Mayer dan Albert Salomon yang mana
mereka semua adalah guru-guru Berger. Di samping itu juga,
Berger menjalin persahabatan dengan Thomas Luckmann, seorang
mahasiswa New School fer Research, yang kemudian menjadi rekan
yang banyak mempengaruhi karier intelektual Berger.
4
M. Sastrapratedja, dalam Pengantar dari buku Kabar Angin
Dari Langit-Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (Jakarta: LP3ES,
1992), Xiv.
5
Eko Benny Subianto, “Agama sebagai sebuah realitas sosial”
Skripsi mahasiswa UI, 1986, 2.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan
Masalah Dunia.6
Karya-karya tulisan Berger yang berpengaruh
antara lain adalah: Invitation to Sociology: A Humanistic
Perspective (1963) (bahasa Indonesia: Humanisme
Sosiologi, Inti Sarana Aksara, Jakarta, 1985); The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge (1966, dengan Thomas Luckmann) (bahasa
Indonesia: Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990); The Sacred
Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967)
(bahasa Indonesia: Langit Suci Agama sebagai Realitas
Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991); A Rumor of Angels: Modern
Society and the Rediscovery of the Supernatural, 1970
(bahasa Indonesia: Kabar Angin Dari Langit: Makna
Teologi dalam Masyarakat Modern, LP3ES, Jakarta,
1991).
Kini ia menulis tentang sosiologi agama dan
kapitalisme: The Capitalist Spirit: Toward a Religious
Ethic of Wealth Creation (editor, 1990); Peter Berger
and the Study of Religion, 2001; Homeless Mind :
Modernization and Consciousness, 1974; Redeeming
Laughter: The Comic Dimension of Human Experience,
1997; Many Globalizations: Cultural Diversity in the
Contemporary World, 1974 with Samuel P. Huntington;
The Desecularization of the World: Resurgent Religion and
World Politics. et al. 1999; Questions of Faith: A Skeptical
Affirmation of Christianity (Religion and the Modern
World), 2003; A Far Glory: The Quest for Faith in an Age
of Credibility, 1992; Heretical Imperative: Contemporary
Possibilities of Religious Affirmation; The Limits of Social
Cohesion: Conflict and Mediation in Pluralist Societies : A
Report of theBertelsmann Foundation to the Club of Rome;
Other Side of God, 1981.
Berger mendapatkan penghargaan Doktor
Honoris Causa dari Universitas Loyola, Wagner
College, Universitas Notre Dame, Universitas Jenewa
6
https://annisanurlaila.wordpress.com/2013/10/05/
makalah-peter-l-berger/
dan Universitas Munchen. Ia juga menjadi anggota
kehormatan dari berbagai perhimpunan ilmiah.7
Gagasan Konstruksi Sosial Peter L. Berger
Teori konstruksi sosial (social construction)
di kemukakan oleh Berger dan Lukmann yang
merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak
pada sosiologi pengetahuan. Di dalamnya terkandung
pemahaman bahwa sebuah kenyataan itu dibangun
secara sosial serta kenyataan dan pengetahuan
merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.8
Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas
sosial dengan memisahkan pemahaman, kenyataan
dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai suatu
kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas
yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being)
yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri.
Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki
karakteristik yang spesifik.9 Tujuan pokok sosiologi
adalah menjelaskan adanya dialetika antara diri
manusia dengan dunia sosio-kulturnya. Inilah sifat
dasar hidup bermasyarakat yang dialektis, bahwa
masyarakat adalah produk manusia dan manusia
adalah produk masyarakat.10
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa terjadi
dialektika antara individu menciptakan masyarakat
dan masyarakat menciptakan individu. Proses
dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi.11
7
https://annisanurlaila.wordpress.com/2013/10/05/
makalah-peter-l-berger/
8
I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, 221.
9
Peter L. Berger & Thomas Lukhmann, Tafsir Sosial atas
Kenyataan (Jakarta: LP3ES, 1190), 1.
10
Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial, dalam Agama
dan Tantangan Zaman”, Pilihan Artikel Prisma 1975-1984 (Jakarta:
LP3ES, 1985), 216.
11
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan
Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta
Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Jakarta:
Kencana, 2008), 14-15.
149
Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan
Tahap pertama adalah eksternalisasi, yakni
suatu proses di mana manusia menuangkan diri dan
kemanusiaannya ke dalam dunia (lingkungannya)
sehingga lambat laun dunianya itu menjadi dan
nampak sebagai dunia manusia. Apabila dunia yang
sudah terbentuk oleh eksternalisasi ini semakin
mengukuhkan diri dan kembali menggapai manusia
sebagai suatu faktisitas yang berdiri sendiri, maka
pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan
objektivasi. Agar dunia obyektif ini tidak menjadi
asing bagi manusia yang telah menciptakannya, ia
harus diusahakan kembali menjadi bagian dari
subyektivitas manusia, menjadi bagian dari struktur
subyektif kesadaran. Inilah tahapan ketiga dari proses
ini, yakni internalisasi. 12 Masyarakat merupakan
produk manusia melalui eksternalisasi. Melalui
objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas
sui genesis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia
merupakan produk masyarakat.13 Ini berarti ada proses
menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan
berada di luar (objektivasi) dan kemudian ada proses
penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga
sesuatu yang berada di luar seakan berada di dalam.
Masyarakat adalah produk individu sehingga menjadi
kenyataan obyektif melalui proses eksternalisasi dan
individu juga produk masyarakat melalui proses
internalisasi.14
Setelah hal itu terjadi dan berjalan, maka
terbentuklah suatu pembenaran (justifikasi) nilai.
Nilai-nilai yang dipahami dan diamalkan dalam
masyarakat manusia sangatlah beragam dengan
sumber yang beragam pula. Ada yang bersumber dari
agama, adat istiadat, hukum, norma, budaya, dan lain
sebagainya. Sekalipun demikian, di antara banyak nilai
yang menjadi acuan manusia dalam berperilaku, ada
12
Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial,
terj. Hartono (Jakarta: Lp3ES, 1991), hlm. 4-31.
13
Ibid., 4-5.
14
Edi Susanto, “Pemikiran Nurcholish Majid Tentang
Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik,” Ringkasan
Disertasi (IAIN Sunan Ampel: Surabaya, 2011), 20.
150
beberapa nilai yang mempunyai kerapatan, ketegasan
dan sekaligus harapan yang pasti dalam memberikan
orientasi kehidupan. Nilai-nilai itu memberikan
sesuatu kepada manusia yang tidak ditemukan
dalam nilai-nilai yang lainnya. Dalam penelusuran
yang dilakukan oleh Peter L. Berger, nilai yang dapat
memberikan orientasi lebih jika dibandingkan dengan
sistem nilai lainnya adalah agama. Menurut Berger,
agama mampu memberikan jawaban dan harapan
kedamaian pada saat manusia menemui peristiwaperistiwa yang ekstrem. Orientasi “dalam” –inner
orientation, yang berada dalam sistem nilai agama tidak
ditemukan di dalam sistem lainnya. Oleh karena itu,
agama memberikan acuan sosiologis sekaligus teologis
dalam tindakan dan perilaku manusia.15
Gagasan Peter L Berger mengenai Agama
Mengenai permasalahan tentang agama tidak
akan tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek
sosiologisnya. Sosiologi sebagai disiplin ilmu empiris
mempunyai sudut pandang yang mendasar dibanding
dengan teologi. Seorang teolog mengawali kajiannya
dengan kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan
berusaha melaksanakan berbagai implikasi dari
keyakinannya ini terhadap kehidupan manusia.
Sebaliknya, sosiolog berangkat dari pengalaman
empiris manusia untuk membantu pemahaman akan
hakekat Tuhan.16
Pe r m a s a l a h a n k e a g a m a a n m e r u p a k a n
kecenderungan seseorang mengapresiakan diri yang
memiliki karakteristik universal. Sehingga ekspresi
ini menurut Joachim Wach terbagi menjadi tiga
bentuk; pemikiran keagamaan, perbuatan keagamaan,
dan persekutuan keagamaan. Pemikiran keagamaan
merupakan ekspresi dalam bentuk konsep-konsep atau
15
Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial Budaya Banyu
Panguripan dalam Agama Katolik,” Religi Jurnal Studi Agamaagama”, Jurnal Vol. IX, No. 1, Januari 2013, 81.
16
Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 1995), 2.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
ajaran teoretis dan intelektual; perbuatan keagamaan
merupakan ekspresi implementasi atau implikasi dari
konsep-konsep atau ujaran yang bersifat teoretis dan
intelektualis tadi; sementara persekutuan keagamaan
merupakan ekspresi dalam bentuk masyarakat atau
himpunan orang-orang yang memiliki pemikiran dan
perbuatan keagamaan yang sama.17
Agama yang merupakan acuan utama perilaku
dan tindakan manusia termanifestasikan dalam
bentuk “actuating action” dengan berbagai artikulasi
simbolik yang melingkupinya. Seluruh artikulasi dari
tindakan manusia memiliki perbedaan dari tindakan
yang dilandaskan kepada keyakinan agama dengan
yang tidak berlandaskan keyakinan agama. Tindakan
manusia yang merupakan artikulasi pengalaman
keagamaan secara mendasar dilandasi oleh unsur
“belief ” (kepercayaan) kepada The Absolute Being dan
“meaning” (makna) dari tindakannya tersebut. Dua
hal tersebut tidak ditemukan pada tindakan sosial
dan budaya manusia lainnya. Unsur belief akan
mengendalikan seluruh tindakan manusia dan akan
memberikan makna dari tindakan yang dilakukan.
Makna tersebut merupakan acuan-acuan perilaku
untuk mencapai orientasi-orientasi sosialnya.18
Peter L. Berger berpendapat bahwa apa yang
disebut dengan agama sesungguhnya juga dibentuk
secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi
agama bergantung pula pada faktor sosial, historis,
dan kulturalnya.19 Berger memahami bahwa agama
sebagai bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat
eksternalisasi.20 Secara historis agama merupakan
salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif karena
agama itu menghubungkan konstruksi realitas yang
sulit (precarious reality) dari masyarakat empiris dengan
realitas akhir (ultimate reality).21 Agama merupakan
semesta simbolik yang memberikan makna kehidupan
manusia dan yang memberikan penjelasan tentang
realitas seperti kematian, penderitaan ataupun ketidak
adilan. Agama telah berfungsi secara sosial menjaga
masyarakat dari situasi chaos (kekacauan). Agama
melegitimasi institusi sosial dengan menempatkannya
dalam suatu kerangka sakral dan kosmik.22 Maka oleh
sebab itu lah, agama disebut dengan langit suci (sacred
canopy). 23
Berger berpendapat bahwa agama tidaklah sematamata “efek” atau “refleksi” kehidupan sosial (empiris)
saja, melainkan merupakan realitas agama yang
dapat mengatasi fenomena manusiawi.24 Sehingga ia
berusaha mendefinisikan agama tidak hanya dipahami
sebagai suatu “produk manusia” yang dibuat dari
bahan yang manusiawi saja, tetapi juga non-manusiawi,
karena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak
sekadar melindungi, tapi juga “sakral”. Namun, sakral
menurut Berger itu tidak hanya berkaitan dengan
gambaran sosial saja tetapi juga suatu kepercayaan
terhadap wilayah supranatural.25
Namun dalam hal rasionalitas, Berger melihat
kehancuran rasionalitas yang dialami agama dalam
situasi kontemporer ini. Sebagaimana yang dicontohkan
dalam kasus kekristenan (yang diyakini sebagai tipe
awal dari agama-agama dunia), di mana kekristenan
sejak lama telah menggali kubur bagi dirinya sendiri.
Proses panjang sejarah kekristenan pada akhirnya
justru membawa pada proses sekularisasi. Sekularisasi
di sini dimengerti sebagai berubahnya pemahaman
atau definisi atas kenyataan dari kerangka sakral
17
Sufariyanto, “Metode Fenomenologis Dalam Sosiologi
Pengetahuan Peter L. Berger”, Skripsi Mahasiswa Fakultas Sastra,
(Universitas Indonesia, 1987), 8.
18
Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial,” 82.
19
Syamsul Arifin, “Agama sebagai Realitas Sosial” Jurnal
Kajian Islam, Volume 1 No.1, (Universitas Muhammadiyah
Malang: April 2009), 2.
20
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological
Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 180.
21
Ibid., 32.
Berger, Langit Suci, 128.
23
Berger, The Sacred Canopy, 59. Disebut sacred canopy
karena agama melindungi masyarakat dari situasi meaningless,
chaos, dan chauvinistic
24
Ibid., 47.
25
Ibid., 177.
22
151
Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama – Ahmad Nur Mizan
kepada kerangka rasional. 26 Hal ini sebagaimana
dijelaskan di dalam bukunya The Sacred Canopy
(1990) dan A Rumor of Angels (1970), Peter L. Berger
berusaha menjelaskan bagaimana agama diposisikan
dalam kehidupan modern. Kedua buku awal Berger
itu cenderung menempatkan agama sebagai respon
terhadap sekularisasi. Menurut Berger, sekularisasi
mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi
keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang
awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan
bersaing dengan pandangan dunia non-agama sehingga
organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami
rasionalisasi dan de-birokratisasi.
Didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat
sekuler lebih berorientasi pada relasi antara agama
dan masyarakat dalam konteks state dan bukan pada
wilayah individu-individu. Agama tetap menjadi acuan
perilaku para taraf individu meskipun hidup dalam
konteks masyarakat yang membuat ajaran antara
kehidupan agama dengan kehidupan bernegara.
Untuk inilah, Peter L. Berger mengungkapkan
bahwa agama akan tetap menjadi sacred canopy bagi
masyarakat dan agama akan selalu menjadi acuan
tindakan manusia.27 Berger dalam bukunya The Sacred
Canopy membicarakan agama dari kerangka ilmu
sosialnya. Hal ini ditulis dengan judul ‘Protestantism
and the Quest for Certainty’ dipublikasikan dalam
The Christian Century 26 Agustus - 2 September
1998, halaman 782-796. Berger menjelaskan bahwa
tindakan manusia harus mengacu pada agama.
Karena agama memberikan unsur kepastian yang
memberikan kepastian akan janji keselamatan,
kepastian akan datangnya mesias, sampai kepastian
akan kebenaran agama itu sendiri. Namun, hal itu
menimbulkan terjadinya dinamika pemikiran agama
itu sendiri, sehingga klaim-klaim absolutisme yang
dibawa agama mulai kehilangan legitimasinya tatkala
situasi pluralistik menjamin kebebasan klaim-klaim
tersebut yang disorot dari berbagai dimensi dan
perspektif. Sebagaimana hal nya di Amerika Serikat
yang juga mengalami hal tersebut. Sehingga Peter L.
Berger mengklasifikasikannya menjadi tiga jalan untuk
memperoleh kepastian tersebut.28
Pertama, dapat diperoleh melalui institusi
keagamaan, yaitu gereja. Kita dapat mendapatkannya
di lingkungan gereja-gereja timur (gereja ortodoks) dan
dalam komunitas Anglikan, Lutheran (khususnya di
wilayah Skandinavia). Bentuk yang paling sempurna
dari dimensi ini tentu saja Katolik roma dengan
sentralitas kekuasaan ilahiah di Vatikan. Kedua, untuk medapatkan basis akan kepastian
dan absolutisme, dapat ditemukan dalam lingkungan
yang mendasarkan diri, yaitu basis biblikal kitab suci.
Semua fenomena akan diterjemahkan selaras dengan
pemahaman biblikal yang juga dilematis karena sifat
teks itu sendiri yang multitafsir. Dasar rasionalitas dan
metode berpikir yang ketat ini menjadi corak dominan
kalangan protestan di AS.
Ketiga, kepastian bisa ditemukan lewat pengalaman
religius itu sendiri. Kondisi pengalaman religius
ini seringkali dimediasi oleh para tokoh agama
kharismatik, yaitu: para santo dan santa serta perangkat
agama lain yang dianggap merepresentasikan kuasa
keilahian. Dan seperti yang diungkap Berger, tiga basis
kepastian tersebut, saling menegasi satu sama lain
dengan dialektika yang menarik. Absolutisasi dari
institusi keagamaan dilemahkan legitimasinya oleh
prinsip ecclesia semper reformanda. Kekokohan basis
teks dari kitab suci dibelokkan oleh metode eksegis
yang dikembangkan Luther. Nasib serupa dialami oleh
mereka yang mengagungkan pengalaman personal
ketika arus utama Lutheran, Calvinis dan para teolog
Anglikan menyerang mengecilkan arti ‘enthusiasme’.
Belum lagi jika kita memasukkan proses deligitimasi
dari luar. Sumber utamanya adalah kemajuan ilmu
26
27
152
Berger, Langit Suci, 128.
Ustadi Hamsah, “Konstruksi Sosial,” 82.
28
http://www.pustakalewi.com/?mod=catrindetail&id=301
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
pengetahuan dari peradaban manusia. Menariknya,
Berger berusaha mendamaikan jurang tak terkira di
antara dua kutub relativisme dan absolutisme ini
dengan merujuk pemahaman Protestan terhadap
Lord’s Supper. Protestanisme klasik menurutnya di
satu sisi menolak pemahaman ‘kiri’ bahwa sakramen
tersebut murni pengalaman manusia dan simbolik
tanpa ada unsur supranatural di dalamnya. Dan di sisi
lain, protestanisme menolak doktrin transubstansiasi.
Kehadiran kristus dalam sakramen memang diakui,
dalam pemahaman Lutheran: in, with, and under,
tapi tanpa menghadirkan transformasi metafisis dari
realitas.29
Kesimpulan
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa terjadi
dialektika antara individu menciptakan masyarakat
dan masyarakat menciptakan individu. Proses
dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi. Sehingga masyarakat merupakan
produk manusia melalui eksternalisasi. Melalui
objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas
sui genesis, unik. Melalui internalisasi, manusia
merupakan produk masyarakat.
Peter L. Berger berpendapat bahwa apa yang
disebut dengan agama sesungguhnya juga dibentuk
secara sosial oleh manusia sehingga eksisitensi agama
bergantung pula pada faktor sosial, historis dan
kulturalnya. Berger memahami bahwa agama sebagai
bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat
eksternalisasi. Sehingga ia berusaha mendefinisikan
agama tidak hanya dipahami sebagai suatu “produk
manusia” yang dibuat dari bahan yang manusiawi saja,
tetapi juga non-manusiawi, karena itulah, bagi Berger
agama sesungguhnya tidak sekadar melindungi, tapi
juga “sakral.
Daftar Pustaka
Arifin, Syamsul. “Agama Sebagai Realitas Sosial”,
dalam Jurnal Kajian Islam, Volume 1 No.1, April,
Universitas Muhammadiyah Malang, 2009.
Berger, Peter L.. 1967. “The Sacred Canopy: Elements of
a Sociological Theory of Religion”. New York: Anchor
Books.
Berger, Peter L.& Thomas Lukhmann. “Tafsir Sosial
atas Kenyataan”, Jakarta: LP3ES. 1990.
Berger, Peter L., “Langit Suci, Agama sebagai Realitas
Sosial”, Jakarta: Lp3ES, 1991.
Bungin, Burhan. “Konstruksi Sosial Media
Massa:Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik
Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann”,
Jakarta: Kencana. 2008.
Hamsah, Ustadi. “Konstruksi Sosial Budaya Banyu
Panguripan Dalam Agama Katolik”, dalam Religi
Jurnal Studi Agama-agama”, Jurnal Vol. IX, No.
1, Januari, 2013.
Kleden, Ignas. “Agama dalam Perubahan Sosial, dalam
Agama dan Tantangan Zaman”, Pilihan Artikel
Prisma 1975-1984, Jakarta: LP3ES, 1985.
Manuaba, I. B. Putera. Memahami Teori Konstruksi
Sosial.
Sastrapratedja, M. Dalam Pengantar dari buku
Kabar Angin Dari Langit-Makna Teologi dalam
Masyarakat Modern, Jakarta: LP3ES, 1992.
Subianto, Eko Benny. “Agama sebagai sebuah realitas
sosial”, Skripsi mahasiswa UI, 1986.
Scharf, Betty R. “Kajian Sosiologi Agama”, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 1995.
Sufariyanto. “Metode Fenomenologis Dalam Sosiologi
Pengetahuan Peter L. Berger”, Skripsi Mahasiswa
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1987.
Susanto, Edi. “Pemikiran Nurcholish Majid Tentang
Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik”,
Ringkasan DisertasiIAIN Sunan Ampel: Surabaya,
2011.
Wuthow, Robert. “Cultural Analysis”, London,
Routledge & Kegal Paul, 1984.
29
http://www.pustakalewi.com/?mod=catrindetail&id=301
153
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA
Misbahul Munir
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Pemikiran Karl Marx tentang agama memang sangat dalam dan jauh jangkauannya. Ia berpendapat bahwa agama dapat mengasingkan
manusia dari dirinya sendiri. Ia juga menyatakan bahwa agama hanya menjadi lompatan perasaan-perasaan semu, pelarian yang menjadi
obat penenang atau candu masyarakat. Bagaimana sebetulya pandangan spesifik terkait pemikiran Karl Marx tentang agama tersebut
yang menjadi fokus penulis. Berdasarkan pengakajian penulis, pernyataan Marx bahwa agama - seperti candu –merupakan refleksi
sesuatu kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan oleh
sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama. Karl Marx juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak kehadiran
agama, melainkan menolak sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama. Jika dilihat secara komprehensif dan melihat latar belakang
serta metodologi dan kerangka berpikirnya, Karl Marx tidak bermaksud menjustifikasi semua agama negatif. Ia pun mengkritik bukan
pada agamanya, melainkan manusia atau penganutnya. Memang, tidak semua agama dianggap seperti itu oleh Karl Marx, meskipun
kebanyakan orang menganggapnya sebagai paham dan pemikiran untuk semua agama. Agama yang dianggap candu oleh Karl Marx
adalah agama yang tidak bisa dirasionalisasikan. Semuanya berbau mistik dan khayalan saja. Tidak membawa kemajuan terhadap
dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan rakyat, kemakmuran, sopan santun, dan lain sebagainya yang menyangkut dengan
aspek materi.
Kata kunci: Agama, Realitas, Candu dan kapitalis
Abstract
Karl Marx thought about religion is very deep and far-reaching. He argues that religion can alienate man from himself. He also states that
religion only become apparent leap feelings, escape becomes tranquillizer or opium of the people. How to actually related specific view Karl
Marx thought about the religion that became the focus of the author. Based on the assessment of the author, Marx’s statement of religion
- such as opium reflection -is something truth but in reverse. Because people cannot see that the hardship and oppression were created by
the capitalist system, then they are given a form of religion. Karl Marx also explained that he did not reject the presence of religion, but
rejected the system containing illusions of religion. When viewed comprehensively and look at the background and methodology and frame
of mind, Karl Marx did not intend to justify all as the negative religion. He also criticized not on religion, but a man or adherents. Indeed,
not all religions are considered as such by Karl Marx, although most people regard it as ideas and thoughts to all religions. Religion is
considered an opiate by Karl Marx is a religion that cannot be rationalized. Everything is mystical and imaginary. Do not bring progress
to the real world such as the economy, social welfare, prosperity, good manners, and others involved with the material aspect.
Keywords: Religion, Reality, Opium and capitalist
155
Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir
Pendahuluan
Karl Marx adalah sosok yang sering
diperbincangkan. Ia mengguncangkan peradaban
umat manusia. Pemikirannya dapat mempengaruhi
pola pikir dan tindakan banyak orang. Sampai saat ini,
pengaruhnya masih menempel kuat dalam pikiran dan
tindakan umat manusia di dunia.1 Di satu sisi, Karl
Marx adalah seorang filosof fundamental yang tidak
hanya berteori saja, ia—dengan pemikirannya—mampu
menggerakkan manusia dan mempengaruhi hampir
semua disiplin ilmu pengetahuan dewasa saat ini.2
Karl Marx juga dikenal sebagai Generalis Ekstrem
karena karya-karyanya yang sangat luas dan ekstensif.3
Karya-karyanya masuk ke dalam banyak disiplin ilmu
secara simultan.4 Sosiolog Amerika, Neil J. Smelser,
berpendapat bahwa pemikiran Karl Marx, melalui
karya-karyanya, merupakan salah satu teori yang
paling komprehensif tentang manusia dan masyarakat
yang pernah dikenal dunia pengetahuan. Teori itu
menjelaskan hampir semua aspek kehidupan sosial dan
individual-hakekat manusia, ekonomi, politik, filsafat,
stratifikasi sosial, dan bahkan agama.5 Dari sekian
banyak teori Karl Marx terhadap aspek kehidupan
manusia, adalah teorinya tentang agama yang begitu
kontroversial.
Pemikiran Karl Marx tentang agama memang
sangat dalam dan jauh jangkauannya. Ia berpendapat
bahwa agama dapat mengasingkan manusia dari
dirinya sendiri,6 pendapatnya ini dapat membuat
1
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam
Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, cet. XX (Jakarta: Pustaka Jaya,
2002), 34.
2
Ibid., 90.
3
Karya-karya Karl Marx telah disusun secara kronologis
dalam karya Jon Elster, Marxisme: Analisis Kritis, terj. Sudarmaji
dan Grup Hermes (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 1986), 8-15.
4
Neil J. Smelser (ed.), Karl Marx on Society and Social Change
(Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973),
vii-viii.
5
Ibid., vii-viii.
6
Franz Magniz-Suzeno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), 68-70.
156
manusia lupa akan jati dirinya sehingga menjadi
pasif yang hanya mengharapkan berkah dari-Nya,
tidak dapat merealisasikan dirinya ke dalam dunia
nyata dan hanya masuk pada bayang-bayang agama.
Agama, bagi Karl Marx, tidak mempunyai kenyataan
dalam dirinya sendiri (tidak konkrit) melainkan
sekedar gambaran yang dibentuk oleh manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa
agama hanyalah proyeksi manusia.7 Lebih lanjut, ia
mengemukakan pendapatnya bahwa agama hanyalah
salah satu dari sekian hal yang menjadikan manusia
melompat ke dalam perasaan-perasaan semu serta
medan pelarian karena realitas memaksa manusia
untuk melarikan diri. Jadi, baginya agama itu sebuah
obat penenang, ia (agama) adalah candu masyarakat.8
Lebih parah lagi, agama dianggapnya sebagai ilusi
murni yaitu ilusi dengan konsekuensi-konsekuensi
jahat. Ia (agama) adalah sesuatu yang paling ekstrim
dari ideologi, dari sistem kepercayaan yang tujuan
utamanya adalah melegitimasi keputusan-keputusan
politik para penguasa dan melegalisasi status quo yang
ada dalam masyarakat.9
Atas pemikiran-pemikirannya itu, Karl Marx
menjadi salah seorang pemimpin ideologi komunis
yang terang-terangan akan ketidakpercayaannya
terhadap agama secara universal. 10 Dari itu juga,
pemikiran yang diciptakannya melahirkan aliran
Marxisme sebagai aliran ideologi komunis yang
baginya dapat menjadi resolusi atas konflik yang
terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu
yang bermasyarakat.11 Hal inilah yang membuat Karl
Marx dibenci para pemeluk agama.
7
Ibid., 6.
Ibid., 73.
9
Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions: Religion as Alienation
(New York: Oxford University Press, 1996), 138.
10
Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions : dari Animisme E. B.
Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geertz,
terj. Ali Noerjaman (Yogyakarta: Qalam, 2001), 242.
11
Penjelasannya, masyarakat menurut Karl Marx dibagi
menjadi lima. Pertama, masyarakat tradisional (komunisme
primitif) sebagai bentuk masyarakat awal yang sederhana, yang
8
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Pada bahasan kali ini, kami tertarik untuk mengkaji
secara spesifik terkait pemikiran Karl Marx tentang
agama yang begitu kontroversial tersebut. Apa yang
dimaksud dengan agama dalam pemikirannya Karl
Marx? Sekiranya, paparan singkat ini dapat menjadi
diskusi dari kajian tokoh yang satu ini. Tentunya, hal
ini bertujuan untuk memahami pemikiran Karl Marx
tentang agama.
Karl Marx: Sosok, Ranah, Gagasan dan Karya
Karl Marx memiliki postur tubuh yang gempal
dan pendek serta berkulit hitam dan mempunyai
mata yang cekung tetapi tajam sehingga teman-teman
sebayanya - sewaktu kecil - sering menyapanya dengan
si Maroko, sebuah nama bagi bangsa Afrika Barat
Laut, tempat Aljabiri hidup.12 Membaca sosok Karl
Marx sangat begitu kontradiktif. Disebutkan bahwa
Karl Marx tidak memiliki celah untuk bisa dikritik. Ia
seperti seorang nabi yang dipuji oleh para pengikutnya
sebagai pejuang sejati dan membela kaum tertindas.
Bahkan, ketekunan dan ketelitiannya terhadap suatu
pengetahuan membuatnya menjadi sosok orang yang
banyak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.13
Namun, pandangan sebaliknya terpapar dalam buku
mana untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan
cara berburu dan nomaden. Kedua, masyarakat feodal yaitu
suatu kondisi masyarakat yang sudah mengenal kepemilikan
pribadi sebagai modal untuk mendapatkan keuntungan besar
dari kepemilikannya itu sehingga pada bentuk masyarakat ini
mengalami eksploitasi oleh pemilik modal. Ketiga, masyarakat
kapitalisme yang memperkenalkan aktivitas komersial atau
motif mencari keuntungan dalam skala besar oleh kaum Borjuis
atas perolehan usaha dari kaum Proletar. Keempat, masyarakat
sosialis yang mencoba untuk menghapus eksploitasi oleh kaum
Borjuis melalui revolusi sosial melalui pengorganisasian dan
gerakan buruh. Kelima, masyarakat komunis modern, dalam
sistem sosialisasi ini hanya merupakan transisi karena masih
menyembunyikan kepentingan antara penguasa dan masyarakat
yang humanis. T. Z. Lavine, Konflik Kelas dan Orang yang Terasing
(Yogyakarta: Jendela, 2003), 17.
12
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx:
Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (Yogyakarta: LKiS,
2000), 34.
13
Joseph A. Schumpeter, Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi,
terj. Teguh Wahyu Utomo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 7-12.
The Intelectual karya Paul Johnson. Dalam buku
itu, Karl Marx ditampilkan sebagai sosok pemarah
yang tidak mampu mengatur kehidupannya dan
pengangguran bahkan digambarkan sebagai sosok
tempramental: pemabuk, perokok berat dan suka
menyiksa istirnya. Sifat dan gaya hidupnya juga susah
untuk diatur selayaknya preman jalanan yang jorok
dan tidak rapi.
Nama lengkapnya yaitu Karl Heinrich Marx, ia
lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, suatu daerah
yang termasuk wilayah Rheinland Jerman atau biasa
dikenal dengan Prussia. Masa hidupnya berakhir di
London, Inggris, tanggal 14 Maret 1883 pada umur
64 tahun.14 Karl Marx adalah seseorang yang lahir
dari keluarga progresif yang secara genealogis berasal
dari kalangan elite agama Yahudi. Ayah dan Ibunya
merupakan keturunan seorang rabi (pendeta) yang
berkebangsaan Yahudi. Pada tahun 1824, Ayahnya bernama Herschel - cenderung menjadi deis (teolog)
yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan
beralih ke agama resmi Prussia, yaitu Kristen Protestan
beraliran Lutheran yang relatif liberal. Beralih
agamanya itu disebabkan struktur pemerintahan di
Prussia yang didominasi agama Kristen Protestan. Ini
dilakukannya dalam rangka untuk menjadi pegawai
negeri, tepatnya menjadi notaris di negara kerajaan
tersebut yang memang berhaluan Kristen Protestan,
yang mana sebelumnya ia adalah seorang pengacara
di Trier. Peristiwa ini terjadi saat Karl Marx berusia
enam tahun dan mengakibatkan, selain mengganti
namanya Herschel menjadi Heinrich, ibunya (Jeny Van
Westphaen) ikut beralih juga ke agama Katolik setelah
delapan tahun berlangsung. Jadi, bisa dibilang bahwa
keluarga Karl Marx itu amat liberal.15
Pertama kali, Karl Marx menjalani pendidikan
di lingkungan tempat tinggalnya sendiri hingga
14
David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought (New York:
Harper Colophon, 1973), 34-65.
15
Jonathan H. Turner, The Emergence of Sociological Theory
(Illonis: The Dorsey Press, 1981), 165-190.
157
Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir
mencapai umur 17 tahun. Setelah lulus dari sekolah
menengahnya di Gymnasium Trier, Karl Marx diminta
untuk melanjutkan pendidikan tingkat tingginya di
Universitas Borndan mengambil jurusan Hukum.
Permintaan ini berasal dari ayahnya agar di kemudian
hari dapat menggantikannya sebagai pengacara dan
notaris. Di perguruan tinggi ini, Karl Marx tidak serius
menjalani perkuliahannya. Ia hanya menghabiskan
uang kiriman untuk hal yang tidak ada hubungannya
dengan perkuliahan. Ini terjadi sebab ia bergabung
dengan klub minuman keras Trier Tavern yang
mengakibatkan nilai perkuliahannya menjadi buruk.
Di sini, Karl Marx hanya bertahan satu semester.16
Setelah peristiwa itu terjadi dan diketahui sang
ayah, akhirnya ia dipindah ke Universitas yang
lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universitat di
Berlin, Jerman. Di Universitas ini, ia belajar filsafat
dan sejarah, bukan belajar hukum sebagaimana
kehendak ayahnya. Sebab, ia sendiri tidak berminat
untuk belajar hukum. Saat kuliah di Berlin, ia sering
menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan
dengan menggunakan bahasa teologi yang ia warisi
dari ayahnya. Ia juga menerapkan filosofi atheis dari
Young Hegelian (Hegelian muda) yang terkenal di
Berlin, hingga akhirnya ia mempelajari filsafat Hegel.17
Filsafat Hegel menjadi tren hampir di seluruh
lapisan Jerman, terutama konsepnya tentang politik
dan ajarannya-pun menjadi semacam Pancasila, yakni
sebagai sumber ideologi negara. Oleh karena itu, minat
Karl Marx beralih ke filsafat dan ingin bergabung ke
lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal
sebagai pemuda Hegelian. Pemuda Hegelian pecah
jadi dua, yaitu Hegelian kiri dan kanan. Karl Marx
termasuk Hegelian kiri. Hegelian kiri dikenal sebagai
16
David McLellan, Karl Marx, 34-65.
Ibid., 34-65.
17
158
kelompok yang menggunakan metode dialektika18
Hegel yang dipisahkan dari isi teologisnya.19
Bagi Karl Marx, filsafat Hegel menjadi inspirasi
dasarnya yang dijadikan sebagai analisis dan kritik, serta
diartikulasikan sebagai suatu pemikiran yang bersifat
ateistik. Karl Marx menggunakan filsafat Hegel tidak
sekedar mengkritik anti liberalisme negara, melainkan
sangat tajam mengkritik serta menolak dominasi,
bahkan digunakan untuk mengkampanyekan
pembangkangan terhadap agama Protestan yang sudah
mapan di Prussia. Sikap radikalnya ini menjadi lawan/
oposisi dari interpretasi resmi yang diakui dan dianut
oleh negara serta sebagian besar para elite penguasa.
Jadi, tokoh yang mempengaruhi pemikiran Karl
Marx adalah filsafat Hegel dan para Hegelian muda,
terutama Hegelian kiri.20
Pada tanggal 5 April 1841, Karl Marx dipromosikan
menjadi doktor filsafat oleh Universitas Jena dengan
judul disertasinyaThe Difference Between the Natural
Philosophy of Democritos and Natural Philosophy of
Epicurus, dari disertasinya ini dapat diketahui betapa
besar pengaruh pemikiran Hegel terhadap Karl Marx.21
Di sisi lain, desertasi ini secara langsung menunjukkan
Karl Mark sangat Hegelian dan antiagama. Hal ini
juga membuatnya dicap sesat dan mulai dijauhi rekanrekannya. Karl Marx tumbuh di tengah pergolakan
politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para
Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal
dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun
ia memperjungkan kelas orang-orang tertindas sebagai
referensi empiris dalam mengembangkan teori
filsafatnya.22
18
Istilah dialektika, yaitu The Theory of the Union of Opposites
(menyatunya hal-hal yang bertentangan) lihat R. N. Carew Hunt
Theory and Practice of Communism, dikutip dari Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx: Sebuah Bahasan Materialisme
Dialiktis dan Materialisme, 53.
19
David McLellan, Karl Marx, 34-65.
20
Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting dalam Sejarah,
terj. Abdillah Halim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 412-414.
21
Ibid., 34-65.
22
Michael H. Hart, Seratus Tokoh, 34.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Setelah dianugerahkan gelar doktor lantaran
desertasinya itu – namun, sebab tak bisa menjadi
dosen – dia menjadi wartawan untuk mencari nafkah
untuk kepentingan rumah tangganya. Awalnya dia
menulis dan mengedit Rheinische Zeitung, sebuah koran
liberal demokrat, namun setelah koran ini dibredel
oleh pemerintah Prussia pada tahun 1843 akhirnya
dia pindah ke Paris untuk menulis buat DeutschFranszosische Jahrbucher. Di paris, dia menjelajahi ideide ekonomi, politik, sejarah, dan filsafat serta mulai
bersahabat dengan Friedrich Engels (anak seorang
pengusaha tekstil kaya) yang juga tertarik pada filsafat
Hegel. Pada suatu waktu, Karl Marx dan Engels
menulis Die Heilige Familie (1845, terj. The Holy Family,
Selected Writings, hlm. 131-155), telaah kritis terhadap
filsafat Bauer, sebelum Karl Marx dan keluarganya
dipaksa pindah dari Berlin ke Brussels.23
Menghadapi kehendak para penguasa di
Brussels, Karl Marx membentuk organisasi untuk
menghubungkan orang-orang komunis di seluruh
dunia (Communist Correspondence Committee) dan
menulis bersama Engels sejumlah karya di dalamnya
mengkritik filsafat Jerman dan Perancis populer serta
ide-ide sosialis (lihat Die Deutsche Ideologie, terj. dan
ringkasan The German Ideology, Selected Writings, hlm.
159-191 dan La Misere de la Philosophie, 1847, terj.
The Poverty of Philosophy, Collected Works, vol. 6, hlm.
105-212). Pada tahun 1847, Karl Marx berpartisipasi
dalam kongres kedua Liga Komunis di London. Liga
tersebut menerima dengan antusias ide-ide Karl Marx
dan Engels dan menyuruh Karl Marx untuk menulis
tentang keyakinan dan tujuannya. Hasilnya adalah
Das Communistische Manifest (1848, terj. The Communist
Manifesto), diterbitkan di era ketidakstabilan politik
Eropa.24
Harapan Karl Marx akan kehidupan masyarakat
yang bebas dan adil mendorong dia dan keluarganya
pindah ke Paris, ke Jerman lalu balik lagi ke Paris dan
akhirnya ke London, tempatnya menghabiskan sisa
umurnya. Dari sinilah, dia banyak menulis artikel
rutin buat New York Tribune, di antaranya artikel yang
diterbitkannya : Zur Kritik der Politischen Okonomie
(1859, terj. A Critique of Political Economy, Collected
Works, vol. 16, hlm. 465-477), Das Kapital (1867, terj.
Capital), Der Franzosische Burgerkrieg (1871, terj. dan
ringkasan The Civil War in France, Selected Writings, hlm.
539-558), Das Achtzehnte Brumaire des Louis Bonaparte
(1851, terj. dan The Eighteenth Brumaire of Napoleon
Bonaparte, Selected Writings, hlm. 300-325), Kritik des
Gothaer Programms (1861, terj. dan ringkasan Critique of
The Gotha Programme, Selected Writings, hlm. 564-570).
Selain menerbitkan artikel, ia juga ikut berpartisipasi
dalam gerakan-gerakan pembaruan politik dan
berselisih paham dengan anggota komunis dan sosialis
lain. Dia juga mengerjakan jilid 2 dan jilid 3 Capital,
namun kedua jilid ini terbit atas usaha Engels setelah
Karl Marx meninggal pada 1880. Setelah itu, beragam
manuskripnya yang lain diterbitkan.25
Dari filsafat Hegel inilah, Karl Mar x
mengembangkan orientasi filsafatnya sendiri yaitu
materialisme dialektika yang menekankan pada
hubungan dialektika dalam kehidupan material.
Secara garis besar, Karl Marx menawarkan sebuah
teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat mendasar manusia. Ia yakin bahwa
masyarakat pada dasarnya itu produktif. Produktivitas
mereka bersifat alamiah. Hal ini memungkinkan
mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang
mereka miliki. Dalam perjalanan sejarahnya, proses
alamiah ini dihancurkan oleh kapitalisme. Oleh
karena itu, Karl Marx memiliki gagasan pokoknya
bahwa untuk terciptanya masyarakat yang sosialis
adalah dengan menghancurkan kapitalisme. Karl
Marx yakin dengan tindakan bersama kaum proletariat
(kaum buruh) yang mempunyai kesadaran kelas,
dapat menghancurkan kapitalisme yang menurutnya
didalangi oleh kaum borjuis (pemilik sumber daya),
23
24
Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting, 411.
Ibid., 411-412.
25
Ibid., 412.
159
Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir
mengingat dengan sumber daya yang mereka miliki
dapat menghambat sosialisme. Sosialisme menurut
pandangan mendasar ialah suatu masyarakat di mana
mula-mula orang akan mendekati citra ideal Karl
Marx tentang produkivitas. Adanya bantuan teknologi
modern orang dapat berinteraksi dengan alam dan
orang lain secara selaras untuk menciptakan segala
sesuatu yang mereka butuhkan untuk hidup. Artinya,
dalam masyarakat sosialis manusia tidak lagi teralienasi
dari apa yang mereka hasilkan yang selama ini dikuasai
kaum kapitalis dengan mengeksploitasi kaum buruh.26
mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena
realisasi memaksa manusia untuk melarikan diri.
Agama adalah realisasi hakekat manusia dalam
angan-angan karena hakekat manusia tidak punya
realitas yang sungguh-sungguh.” 28 Jadi, “Agama
adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguhsungguh dan protes terhadap penderitaan yang
sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan makhluk
yang tertekan perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana
ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah
candu masyarakat.”29
Sebelum Karl Marx meninggal, beragamnya
penafsiran terhadap pemikirannya membuat Karl
Max sendiri menegaskan bahwa dia yakin kalau dia
bukan seorang Marxis. Sejumlah Marxis awal mengaku
anti-intelektual dan menegaskan bahwa Karl Marx
menuntut solusi praktis atas masalah-masalah yang dia
nyatakan. Sebagian Marxis lainnya juga menyatakan
bahwa tulisan-tulisan Karl Marx kurang memiliki
landasan filosofis yang kuat dan menimba dari para
pemikir lain untuk menopang ide-idenya.27
Namun yang perlu dikritik, menurut Karl Marx,
bukanlah agama melainkan apa yang melahirkan
agama itu yaitu masyarakat. “Kritik agama sekarang
harus menjadi kritik masyarakat.” “Kritik surga
berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi
kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik.”30
Pemikiran Karl Marx Terhadap Agama
Karl Marx berfikir bahwa agama itu sebagai
penghambat perubahan sosial. Pemikiran ini tercermin
pada pernyataannya sendiri bahwa agama adalah
candu masyarakat. Pernyataan ini, sering diartikan
bahwa Karl Marx menuduh agama itu menyesatkan
dan menipu masyarakat. Selain itu, pernyataannya ini
juga dipakai dalam arti tuduhan bahwa agama dengan
menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan,
membuat orang tertindas atau miskin menerima nasib
mereka tanpa ada tindakan untuk mengubah keadaan
tersebut. Berikut pernyataan Karl Marx:
“Agama hanyalah tanda keterasingan manusia
tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam
agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih
26
27
160
Ibid., 413-422.
Ibid., 422.
Pernyataan di atas, agama dianggap licik. Seakanakan diciptakan hanya milik kelas-kelas atas untuk
menenangkan rakyat tertindas dan miskin. Akan
tetapi, bukan itu yang dimaksud oleh Karl Marx.
Ia tidak membicarakan apakah fungsi agama dalam
masyarakat adalah positif atau negatif. Melainkan
pernyataannya ini menanggapi kritik agama Feurbach.
Menurut Karl Marx, Feurbach berhenti di tengah jalan
dalam pemikirannya terhadap agama. Feurbach tidak
bertanya dalam dirinya sendiri, mengapa manusia
melarikan diri (alienasi) ke agama yang dianggap
sebagai khayalan belaka dari pada mewujudkannya
diri dalam kehidupan nyata. Jawaban Karl Marx adalah
karena kehidupan itu nyata dan itu berarti bahwa
struktur kekuasaan dalam tidak mengizinkan manusia
untuk mewujudkan kekayaan hakekatnya. Manusia
melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata
telah menindasnya.31 Dari fakta dan pemikiran Karl
28
Karl Marx, Introduction to Critigur of Hegel’s Philosophy of
Right, 1884, 378.
29
Ibid., 378.
30
Ibid., 379.
31
Frans Magnis dan Suseno, Pemikiran Karl Marx, 46.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Marx ini dapat diketahui bahwa yang menjadi objek
kritik Karl Marx terhadap Feurbach adalah orang yang
menjalankan agama bukan agama itu sendiri.
‘Agama adalah candu’ semakin banyak dikonsumsi
maka semakin menggerogoti jiwa pecandunya. Bagi
pecandunya selalu ada keinginan yang kuat dan
hasrat tak tertahankan untuk selalu mengkonsumsi
candu. Agama ibarat narkotika yang menghilangkan
rasa sakit yang diderita orang yang dieksploitasi dan
mengenai dunia supranatural di masa segala kesedihan
berakhir, secara penderitaan menghilang. Agama
menghilangkan pandangan terhadap Tuhan, padahal
semestinya diarahkan pada ketidakadilan fisik dan
materi mereka, yang pada akhirnya agama adalah
tempat pelarian kaum tertindas. Agama seperti halnya
sebuah ideologi, merefleksikan sesuatu kebenaran
namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat
bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan
oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu
bentuk agama. Karl Marx menjelaskan bahwa dirinya
tidak menolak kehadiran agama, melainkan menolak
sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama. Seperti
inilah agama menurut Karl Marx.32
Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita, tentu
tentang kebenaran teori Karl Marx ini sebagai refleksi
kegundahan hatinya melihat keadaan sekitarnya.
Benarkah bahwa manusia agar ia dapat mengembangkan
diri sebagai makhluk yang sosial dan politik harus
berhenti tunduk terhadap agamaTuhannya? Jika
pemikiran Karl Marx ini dipandang sebelah mata,
tentu sudah jelas bahwa dua peryataan Karl Marx
ini tidak benar, harus kelihatan dari praxis agama.
Agama bukan pelarian, agama justru memberdayakan
para penganutnya untuk membangun masyarakat
yang solider dengan mereka yang miskin dan lemah,
masyarakat yang positif, damai saling menghormati,
32
Louis Leahy, Aliran-Aliran Besar Atheisme: Tinjauan Kritis
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), 99. George Ritzer dan Douglas J.
Goodman, Teori Sosiologi, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009), 24.
serta melawan ketidakadilan dan penindasan mereka
yang tidak berdaya. Otomatis, profil para agamawan
harus memperlihatkan bahwa mencari Tuhannya
bukan hanya tidak mengasingkan manusia dari dirinya
sendiri, melainkan justru akan mengembangkan
identitas dan hakekatnya yang positif. Namun, jika
dilihat secara komprehensif dan melihat latar belakang
serta metodologi dan kerangka berpikirnya, Karl Marx
tidak bermaksud menjustifikasi semua agama negatif.
Ia pun mengkritik bukan pada agamanya, melainkan
manusia atau penganutnya. Memang, tidak semua
agama dianggap seperti itu oleh Karl Marx, meskipun
kebanyakan orang menganggapnya sebagai paham dan
pemikiran untuk semua agama.
Berdasarkan hal diatas, agama yang dianggap
candu oleh Karl Marx adalah agama yang tidak bisa
dirasionalisasikan. Semuanya berbau mistik dan
khayalan saja. Tidak membawa kemajuan terhadap
dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan
rakyat, kemakmuran, sopan santun, dan lain sebagainya
yang menyangkut dengan aspek materi.
Pernyataan Karl Marx diibaratkan seperti ini,
semakin manusia mengkonsumsi agama, maka ia akan
semakin gila atau bahkan sudah gila sebelumnya.
Itulah yang selama ini diungkapkan oleh Karl Marx.
Manusia tidak memperdulikan hal-hal materi yang
sudah tentu ada di kehidupan nyata. Manusia hanya
terlena dengan khayalan-khayalan mereka tentang
agama dan kehidupan akhirat, hikmah-hikmah dan
mistik.
Agama - seperti candu - dapat menghancurkan,
menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan
manusia di muka bumi ini dengan janji-janji yang
tidak rasional. Selain itu, menurut Karl Marx, agama
sebagai candu merupakan refleksi dari keadaan
manusia yang tidak menjadi diri sendiri, bahkan tidak
memiliki otonomi terhadap diri sendiri tetapi malah
menggantungkan dirinya pada agama yang justru
diciptakan oleh mausia. Ia tunduk terhadap agama,
161
Pemikiran Karl Marx tentang Agama – Misbahul Munir
ia kehilangan dirinya, tidak bisa menguasai diri untuk
meraih apa yang diinginkannya.
Manusia terasing dari diri sendiri, tidak memiliki
otonomi terhadap dirinya. Ia bekerja di luar dirinya
dan tidak menjadi dirinya. Doktrin agama sebagai
pengasingan ini merupakan bentuk protes Karl
Marx terhadap agama dan keinginannya untuk
mendekonstruksi agama. Manusia-manusia yang putus
asa dari kiprahnya di kehidupan nyata memalingkan
dirinya dari dunia kepada agama. Menurut Karl Marx,
fenomena ini tidak layak dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itulah, keadaan yang seperti itu secara
terus-menerus akan menjadi candu yang mengasingkan
manusia itu sendiri dari kemestian dirinya sebagai
manusia.
Bentuk agama sebagai candu yang dikemukakan
oleh Karl Marx (1) tercermin dalam realitas kehidupan
manusia sendiri, yakni memproyeksikan dirinya
kepada Tuhan dan tidak pernah melihat hakikat
dirinya. (2) mengungkapkan bahwa penderitaan
manusia adalah tempat kehadiran Tuhan. Paham ini
mendobrak paham manusia tentang otonom agama
yang mengekang kebebasan diri dan menghindari
agama serta tetap dalam aturan diri sendiri sebagai
fitrah manusia untuk berkiprah. (3) Agama hanya
untuk diikuti, tidak untuk diprotes. Manusia hanya
boleh tunduk kepada agama, tidak boleh membantah.
Hal inilah yang menjadi keresahan Karl Marx karena di
sini manusia tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri
dalam kehidupan nyata. Manusia selalu dikekang oleh
agama, tetapi manusia selalu bergantung padanya
sehingga menimbulkan kekacauan, kehancuran dan
kerusakan tatanan kehidupan.
Kesimpulan
Agama sebagai candu memiliki arti bahwa dalam
agama manusia tidak menjadi diri sendiri, melainkan ia
menjadi objek Tuhan. Manusia tidak mengobjektifkan
diri sendiri dalam kehidupan nyata ini. Teori Karl Marx
162
ini dilatar belakangi oleh prinsip-prinsip ekonomi dan
politik yang dihubungkan dengan agama. Teori ini
juga mengindikasikan bahwa manusia tidak menjadi
diri sendiri, tidak mampu merealisasikan kehendak
diri, dan tidak memiliki otonomi terhadap dirinya.
Manusia terasing dari diri sendiri disebabkan doktrin
agama. Namun, ia tetap selalu terlibat dalam agama.
Teori ini mengindikasikan bahwa manusia
memproyeksikan dirinya kepada Tuhan, tetapi ia
tidak pernah melihat hakikat dirinya sendiri. Sehingga
dalam hal ini, Karl Marx ingin menghilangkan agama
dari kehidupan manusia. Karl Marx mengungkapkan
teori agama sebagai candu itu sebagai penderitaan
manusia yang merupakan tempat kehadiran Tuhan.
Karl Marx menghindarkan agama dari kehidupan dan
tetap ada dalam aturan diri. Ia juga tidak mengkritik
agama itu sendiri, melainkan manusianya atau
penganutnya. Agama yang dikritik Karl Marx pun
tidaklah semua agama, melainkan agama yang tidak
bisa dirasionalisasikan.
Daftar Pustaka
A. Schumpeter, Joseph. Kapitalisme, Sosialisme, dan
Demokrasi, terj. Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.
Elster, Jon. Marxisme: Analisis Kritis, terj. Sudarmaji dan
Grup Hermes. Jakarta: Prestasi Pustakarya, 1986.
Goodman, J. Douglas. Dan George Ritzer. Goodman,
Teori Sosiologi, Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern,
terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Hart, Michael H. Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh
dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, cet. XX.
Jakarta: Pustaka Jaya, 2002.
Hughes-Warrington, Marnie. 50 Tokoh Penting dalam
Sejarah, terj. Abdillah Halim. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
J. Smelser, Neil (ed.). Karl Marx on Society and Social
Change. Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1973.
Leahy, Louis. Aliran-Aliran Besar Atheisme: Tinjauan
Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Magnis, Frans dan Suseno. Pemikiran Karl Marx: dari
Sosialism Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Marx, Karl. Toward the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right dalam Louis S. Feuer (ed.), Marx and Engels:
Basic Writings on Politics and Philosophy. London:
Collins/Fontana, 1969.
McLellan, David. Karl Marx: His Life and Thought. New
York: Harper Colophon, 1973.
Lavine, T. Z. Konflik Kelas dan Orang yang Terasing.
Yogyakarta: Jendela, 2003.
Pals, Daniel L. Seven Theoris of Religions : dari Animisme E.
B. Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi
Budaya C. Geertz, terj. Ali Noerjaman. Yogyakarta:
Qalam, 2001.
_______. Seven Theoris of Religions : Religion as Alienation.
New York: Oxford University Press, 1996.
Ramli, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx:
Materialisme Dialiktis dan Materialisme Historis.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Turner, Jonathan H. The Emergence of Sociological
Theory. Illonis: The Dorsey Press, 1981.
163
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
MAX WEBER DAN AGAMA
Namirotul Qubaiyah
Yayasan Lentera Qur’ani Surakarta
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini akan melihat etika ekonomi agam-agama di dunia. Weber membahas masalah antara berbagai kepercayaan keagamaan dan
etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, dikalangan masyarakat barat sejak abad ke-16 hingga sekarang, persoalan ini
dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap
agama yahudi kuno, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian, seluruhnya
terkait dengan masalah tersebut. Menurut Pandangan Weber mengenai etika ekonomi agama-agama dunia memiliki karaktersitik nonhistoris, karena merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik yang tidak
mengetahui pembangunan. Dalam semua ketegasannya terlihat kemampuan Weber untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensikonsekuensi praktis dan teoritis melalui mana suatu agama. Di sini kebudayaan memiliki karakter bentuk-bentuk geometris yang terisolir
dan nyaris tidak bisa ditembus yang dibangun dengan koherensi dan rasionalitas sesuai dengan formula yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Max Weber, Tindakan Social, Calvinis, Ekonomi
Abstract
This article will look at the religion economic ethics in the world. Weber discussed the issue among various religious beliefs and practical
ethics, in particular ethics in economic activity, among the people of the West since the 16th century until now, these issues within the
context of religions and civilizations different, remains the main concern, and study of the ancient Jewish religion, and the various religions
in India and China, as well as Greco-Roman religion and sectarianChristian, all associated with the issue. According to Weber’s view
of economic ethics of the world religions have the characteristics of non-historical, because it is an attempt to classify the various religious
ethics into unitary and systematic framework that does not know construction. In all his firmness seen Weber’s ability to reduce logical
transitions, practical consequences and theoretical through a religion. Here the culture has geometric character forms were isolated and
almost impenetrable built with coherence and rationality in accordance with the different formula.
Keywords: Max Weber, Social Actions, Calvinist, Economy
Pendahuluan
Sangat banyak tokoh-tokoh yang memberi
paradigma definisi sosial. Salah satu tokoh yang
sangat popular dalam paradigma definisi sosial adalah
Max Weber. Dalam analisisnya tentang tindakan
sosial (social action), Weber diklasifikasikan sebagai
salah satu tokoh yang menghasilkan teori yang dapat
dikategorikan ke dalam paradigma definisi sosial.
Sosiolog ini dilahirkan di Jerman, tepatnya di kota
Erfurt pada tanggal 21 april 1864.
Max weber sangat banyak memberikan kontribusi
dalam pengembangan teori sosial modern, seperti
teori tindakan sosial (social action), teori interaksi,
teori konflik neo-Weberian, teori etika protestan.
Orang tua Weber barasal dari kalangan menengah.
Ayahnya bekerja sebagai birokrat dan Ibunya sebagai
penganut Calvinisme yang setia. Meskipun pada
awalnya ia dekat pada ayahnya tetapi akhirnya ia lebih
dekat dengan ibunya dan hal ini membawa pengaruh
pada keyakinan agama sebagaimana yang diyakini
165
Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah
ibunya. Pada umur belasan tahun ia sudah masuk
Universitas Heidelberg hingga menjadi ahli hukum
seperti ayahnya. Pada umur 1884, seusai wajib militer
ia kembali ke Berlin dan kuliah di universitas Berlin
selama delapan tahun hingga meraih gelar doktor.
Meskipun ia seorang ahli hukum, tetapi ia masih juga
tertarik pada sosiologi, ekonomi, dan sejarah. Weber
mempelajari sejarah hukum dan ekonomi tetapi
kemudian mengembangkan ketertarikan terhadap
sosiologi. Akhirnya, ia menjadi professor di berbagai
Universitas di Jerman. Weber mengajarkan kepada
muridnya agar mereka mempraktekkan verstehen.1
Max Weber: Sosok, Ranah, Gagasan, dan Karya
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman 21 April
1864. Ia berasal dari keluarga kelas menengah.
Perbedaan penting antara kedua orang tuanya
berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan
perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang
birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting
dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang
mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari
setiap aktivitas dan idialisme yang memerlukan
pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan
ancaman terhadap kedudukannya dalam system.
Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang taat.
Wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin
(ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi
dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan
tertuju pada kehidupan akhirat. Ia terganggu oleh
ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi
pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapatkan
keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara
kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan
perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak
besar terhadap Weber. Ketika berumur 18 tahun
Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas
Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan
intelektualnya tetapi ketika masuk Universitas ia masih
tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat
ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup
ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa
saingan kelompok mahasiswa Ayahnya dulu. Secara
sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa
minum bir dengan teman-temannya. Lagi pula
ia dengan bangga memamerkan parutan akibat
perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan
mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya
menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan
hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih
karir bidang hukum seperti ayahnya.2
Setelah kuliah tiga semester, Weber meninggalkan
Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia
kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar
di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun
untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar
Ph.D, menjadi pengacara dan mulai mengajar di
Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser
ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi
sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8
tahun di Berlin, kehidupannya masih digantung pada
ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya.
Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati
nilai-nilai ibunya dan anti patinya terhadap ayahnya
meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin
(ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya
untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai
mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai
berikut “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang
kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jamjam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian
secara tepat untuk berbagai hal.”3
1
Diucapkan Fair-Shtay-en, kata dalam bahasa Jerman yang
berarti "pemahaman" atau "wawasan,” dalam setiap kegiatan
intelektual mereka, diambil dari buku Sosiologi Sociology penulis
Richard T. Schaefer (edisi 12, buku 1 hlm. 10.)
166
2
George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern
(Jakarta: Prenada Media, 2004), 38.
3
Ibid., 39.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
Sementara itu, Max meneruskan kegiatannya untuk
memenuhi persyaratan menjadi dosen ilmu hukum
pada Universitas Berlin. Kegiatan itu menghasilkan
analisa terhadap sejarah agraris masyarakat Romawi
yang dilihatnya dari sudut perkembangan politik,
ekonomi dan sosial, yang kemudian disajikan dalam
sebuah buku yang terbit dalam tahun 1891.
Ketika dia sedang melakukan kegiatan untuk
memenuhi kualifikasi sebagai dosen pada Universitas
Berlin, Max menjadi anggota “Verein fur Sozial politik”.
Organisasi itu bertujuan memperbaiki kondisi ketenaga
kerjaan, aturan perbankan dan praktek bisnis maupun
penanggulangan masalah-masalah sosial lainnya.
Anggota-anggota organisasi itu dikenal dengan nama
‘Katheder Sozialisten’ yang sebenarnya merupakan
versi Jerman Masyarakat ‘Fabian’ Inggris. Sebagai
anggota organisasi itu, Weber menemukan penyaluran
keinginannya untuk menggabungkan penemuan,
teoretis dengan penerapannya. Keterlibatannya dalam
pelbagai kegiatan meningkatkan kepekaannya terhadap
masalah-masalah sosial-politik pada masa itu.
Max Weber juga terkenal dengan teori ideal typus
yaitu suatu kontruksi dalam pikiran seorang peneliti
yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis
gejala-gejala dalam masyarakat. Ajaran-ajaran Max
Weber amat menyumbang pada perkembangan
sosiologi, misalnya analisisnya tentang wewenang,
birokrasi, sosiologi agama, organisasi-organisasi
ekonomi dan seterusnya.
Tidak lama kemudian Weber diangkat menjadi
guru-besar ekonomi pada Universitas Heidelberg,
tempat dia menikmati kehidupan intelektualnya
dengan penuh gairah. Namun, Weber mengalami
kemerosotan mental yang sangat serius, sehingga semua
kegiatannya terhenti. Selama hampir empat tahun dia
mengalami keadaan demikian, sehingga tak ada satu
pun yang dihasilkannya. Keadannya mulai pulih dalam
tahun 1903 dan semenjak itu dia menekuni masalah
metode ilmu-ilmu sosial. Dia diangkat menjadi editor
Archiv fur Sozial Wissen Shaften yang kemudian
menjadi majalah ilmu-ilmu sosial yang berpengaruh
di Jerman hingga awal pemerintahan Hitler.
Di tahun 1892 Weber menikah dengan Marianne
Schnitger dan semenjak itu dia mulai memberikan
kuliah-kuliah secara formal pada Universitas Berlin.
Dua tahun kemudian Max menerima tawaran menjadi
guru besar tetap pada Universitas Freiburg. Pidato
pengukuhannya (dalam bahasa Inggris berjudul The
National State and Germanic Policy) merupakan suatu
proyeksi pemikirannya di bidang politik di kemudian
hari. Masalah pokok yang dikemukakannya adalah
pertanyaan apakah kalangan borjuis Jerman cukup
matang untuk menerapkan kepemimpinan politik
negara Jerman pada masa itu. Weber meragukan
adanya kemampuan tersebut, namun dia berpendapat
nahwa saatnya belum terlambat untuk menanggulangi
kelemahan tersebut, yakni dengan pendidikan politik
untuk seluruh bangsa, pendidikan politik tujuan ilmu
politik.4
Pada tahun 1904 untuk pertama kalinya Weber
mengunjungi Amerika Serikat guna mengikuti
suatu kongres ilmu pengetahuan sedunia di kota St.
Louis. Selama berada di Amerika Serikat, Max mulai
memahami arti abad ke duapuluh dengan adanya
masa serta kebutuhan adanya birokrasi mantap untuk
menguasai massa tersebut. Dalam tahun yang sama
Weber menerbitkan buku berjudul The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya
itu, Weber menganalisa awal timbulnya kapitalisme
dengan maksud agar diperoleh pemahaman mengenai
pentingnya kapitalisme ekonomi maupun akibatakibatnya pada tahap kontemporer.5 Dan Weber
menyatakan, di Amerika Serikat sama sekali tidak
ada landasan keagamaan atau etis untuk mengejar
kekayaan material, sehingga dia mengkhawatirkan
4
Soerjono Soekanto, Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2011), 6.
5
Soerjono Suekanto, Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2011), 5-7.
167
Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah
mengejar kekayaan hanya dianggap sebagai suatu
kegiatan mekanis belaka.6
Karya yang ditulisnya antara lain adalah: The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dalam
karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh
agama ibunya ditingkat akademis. Weber banyak
menghabiskan waktu untuk belajar agama meski
secara pribadi ia tidak religious. Buku ini menunjukkan
dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan
semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur
di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama
Calvin; Economy and Society (menjelang kematiannya,
14 juni 1920). Meski buku ini diterbitkan dan telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun
sesungguhnya karya ini belum selesai;7 Collected essay
on Sociology of religion (3 jilid, 1921); Collected essay on
Sociology and Social Problems (1924), From Max Weber:
Essay in Sociology (diterjemahkan dan diedit oleh H.H
Gerth dan C. Wright Mills, 1946; The theory of social
and economic organization(diterjemahkan oleh Talcott
Parsons, 1947), Alex Weber on the methodology of social
science (diterjemahkan oleh E.A Shils dan H.A Finch,
1949).8
Gagasan Max Weber mengenai Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata agama berasal dari bahasa
Sanskerta, agama yang berarti tradisi.9
6
Ibid., 5-7.
George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,
7
39.
8
Soerjano Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 1995), 446.
9
Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams
(cetakan pertama tahun 1899) pada entri agama: a traditional
doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work
168
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya dan pandangan dunia
yang menghubungkan manusia dengan tatanan
atau perintah dari kehidupan. 10 Agama sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan
manusia dengan lingkungannya. Secara khusus,
agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan
yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan
oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap
apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan
suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak
tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena
itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong
serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota
masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.11
Peradilan India mengambangkan berbagai
prosedur yang akan dapat melayani tujuan-tujuan
kapitalistik semudah dan sebaik lembaga-lembaga
serupa dalam hukum abad pertengahan kita. Otonomi
legislatif kelas saudagar paling tidak adalah seluas
otonomi saudagar-saudagar abad pertengahan kita.
Kerajinan-kerajinan India dan spesialisasi-spesialisasi
pekerjaan sangat berkembang. Semangat memperoleh
kekayaan orang India dari semua lapisan tidak
akan ditemui sedemikian sedikitnya kecaman dan
anything handed down and fixed by tradition (as the reading
of a text or a record, title deed, &c.)
10
The Everything World's Religions Book: Explore the
Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient and Modern
Religions, page 1 Kenneth Shouler - 2010
11
Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed).,
Agama: dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: CV
Rajawali, 1988), v-xvi.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
sedemikian tingginya penghargaan bagi harta kekayaan.
Tetapi tidak ada kapitalisme modern pribumi yang
berkembang sebelum ataupun sesudah kekuasaan
Inggris. Kapitalisme itu diambil alih sebagai suatu
barang yang sudah jadi tanpa penelusuran asal-usulnya.
Kita harus bertanya di sini bagaimana agama India
mungkin telah menghalangi perkembangan kapitalis
sebagai salah satu faktor diantara banyak faktor.12
kalangan kelompok Puritan di Inggris, dan lebih dari
itu juga di kalangan penganut cabang Puritanisme
Inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan
wilayah New England. Pandangan Weber mengenai
hal ini adalah bahwa penolakan terhadap tradisi atau
perubahan sangat cepat dalam metode dan evaluasi
terhadap kegiatan ekonomik seperti itu tidak akan
mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama.13
Weber membahas masalah antara berbagai
kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya
etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat
Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang, persoalan
ini dalam konteks agama-agama dan peradabanperadaban yang berbeda-beda tetap menjadi perhatian
utamanya. Kajiannya terhadap agama yahudi kuno
dan terhadap berbagai agama di India dan Cina
serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian
seluruhnya terkait dengan masalah tersebut. Namun
demikian, meskipun masalah etika ekonomi ini
merupakan pusat perhatiannya, lingkup kajiannya
luas sekali menjangkau seluruh hubungan yang
mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat
dan agama. Untuk mengikuti alur pemikirannya,
cara yang paling sederhana untuk memulainya
adalah menganalisis argumen yang dikemukakannya
dalam bukunya mengenai etika protestan tersebut
kemudian memperhatikan bagaimana hal ini bisa
mengantarkannya kepada kajian komperatif terhadap
agama-agama dan berbagai struktur sosial yang lain.
Dalam pembahasanya mengenai agama dan
etika praktis, dia mempergunakan kata ‘rasional’
dalam pengertian wertrational. Karena itu dia
berpendapat bahwa dalam kehidupan Kristen
Katholik hanya pendeta yang bersifat rasional karena
kehidupannya ditata dengan suatu aturan di mana
setiap kegiatan membantu tercapainya tujuan yang
tertinggi. Sedangkan dalam agama Kristen Protestan
hanya para penganut Calvinismelah yang mengikuti
pola kehidupan metodik serupa.14
Tugas pertama yang dilakukannya adalah
menampilkan bukti mengenai hubungan antara
berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan
perkembangannya yang sangat cepat menuju
kapitalisme. Dan mengemukakan contoh contoh
terkenal di negera Belanda pada abad-abad ke-16 dan
17 mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha
kapitalis dikalangan keluarga Huguenots dan orangorang Katolik di Perancis pada abad-abad ke- 17, di
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit
of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan
doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika
protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan
seorang yang bernama Calvin. Saat itu muncul
ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah
ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Untuk
mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat
diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika
seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka
hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi
penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di
dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat
diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk
neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan
karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius
bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas
Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan
13
12
Stanislav Andresk, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan
Agama (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1989), 82.
Betty R. Sechart, Kajian Sodiologi Agama (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana Yogya, 1995), 177-178.
14
Ibid., 195.
169
Max Weber dan Agama – Namirotul Qubaiyah
semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan
dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga
merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga
hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi
di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan
ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran
yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya.
Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan
menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya
sukses hidup di dunia akan membawa pada masa
depan yang baik di akhirat dengan ’aminan’ masuk
surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan
dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan
menjadi ‘jaminan’ pula bagi individu itu masuk
neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah
di dunia dengan ‘mengumpulkan’ harta benda yang
banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin
kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam
mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh
Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguhsungguh dan rela melepas imbalan materialnya.
Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi
faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa
dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika
Serikat dan berpengaruh sangat kuat di sana. Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk
kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran
rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.15 Akan
tetapi tidak semua kelompok Protestan mempunyai
pengarh kuat yang sama di dalam arah ini.16
Pandangan Weber mengenai etika ekonomi agamaagama dunia memiliki karaktersitik non-historis karena
merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai
etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik
yang tidak mengetahui pembangunan. Dalam
semua ketegasannya terlihat kemampuan Weber
15
Max Weber, 1958a. The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 119-124.
16
Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 14.
170
untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensikonsekuensi praktis dan teoretis melalui mana suatu
agama. Di sini kebudayaan memiliki karakter bentukbentuk geometris yang terisolir dan nyaris tidak bisa
ditembus yang dibangun dengan koherensi dan
rasionalitas sesuai dengan formula yang berbeda-beda.
Akan tetapi bagi Weber, studi tentang agamaagama asketis adalah Agama Budha, yang paling radikal
di antara agama-agama ini, membebaskan manusia dari
lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali,
melalui kontemplasi dan kehancuran kehendak
individu. Akibatnya, ia mempresentasikan tipe
asketisme yang secara diametral bertentangan dengan
tipe Calvinis. Orang mungkin berpendapat bahwa
melalui penyelidikan tentang tradisi inilah tentang asalusul semangat kapitalisme dalam kebutuhan psikologis
untuk konfirmasi terbukti tidak valid.
Kritik atas Pemikiran Max Weber mengenai Agama
Max Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe
Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional
akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang
telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini
bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan
lebih merupakan sebuah produk sampingan, logika
turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran
yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara
langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan
dan penyangkalan diri dalam pengejaran keuntungan
ekonomi. Dan Max Weber pandangannya terlalu
terpaku pada budaya Barat dengan agama Protestan
sebagai kajian utamanya. Apabila pendapat Max
Weber tersebut diterapkan terhadap agama Islam,
kami kurang sependapat karenanya kita hidup tidak
hanya untuk bekerja mencari atau mengejar dunia
supaya kaya dan banyak harta, namun kita hidup
perlu ibadah dan berinteraksi dengan Allah Sang
Kholiq, sebagai hamba Allah, dan Islam agama kita.
Semua mengetahui bahwa kehidupan dunia adalah
sementara. Kehidupan selamanya hanya di akhirat
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
kelak, mengenai dimasukannya surga ataupun neraka
itu urusan Allah SWT, bukan dilihat dari kerja keras
di dunia, oleh sebab itu dengan pemahaman Max
Weber mengenai hal tersebut yaitu sangat memiliki
implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam
komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung
dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut
kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses
dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat.
Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang
tinggi di kalangan pengikut Calvinis.
posisi politik yang relatif penting. Ia jelas merupakan
bagian dari kemapanan politik dan akibatnya ia
abstain dari aktivitas dan idealisme yang memerlukan
pengorbanan pribadi atau mengancam posisinya
dari dalam sistem. Selain itu, Weber senior adalah
seseorang yang menikmati dunia dan dalam banyak hal
ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Max Weber
adalah seorang Calvinis yang sangat religious, seorang
perempuan yang berusaha menjalani kehidupan
asketis.
Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu
akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata
dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam
memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman
bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di
dunia akan membawa pada masa depan yang baik
di akhirat dengan ‘jaminan’ masuk surga, sebaliknya
kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan
dan keterbelakangan akan menjadi ‘jaminan’ pula
bagi individu itu masuk neraka. Upaya untuk
merebut kehidupan yang indah di dunia dengan
mengumpulkan harta benda yang banyak (kekayaan)
material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia,
tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan.
Penulis tidak sependapat dan sangat bertentangan
dengan agama penulis.
Daftar Pustaka
Kesimpulan
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21
April 1864, dari keluarga kelas menengah. Perbedaan
antara orang tuanya membawa dampak besar pada
orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya.
Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki
Betty R., Sechart. Kajian Sodiologi Agama. PT. Tiara
Wacana Yogya:Yogyakarta. 1995.
Goodman, Douglas J George Ritzer. Teori Sosiologi
Modern. Prenada Media: Jakarta. 2004
Kenneth Shouler. The Everything World’s Religions Book:
Explore the Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient
and Modern Religions Shouler. 2010
Soekanto, Soerjano. Sosiologi Suatu Pengantar. PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 1995.
Soekanto, Soerjono. Mengenal tokoh-tokoh Sosiologi.
PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2011
Suparlan, Parsudi dalam Robertson, Roland (ed).
Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis:
Jakarta: CV Rajawali. 1988.
Weber, Max. Stanislav Andresk. Kapitalisme, Birokrasi
dan Agama. PT.Tiara Wacana Yogya:Yogyakarta.
1989.
______. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006
______. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism.
New York: Charles Scribner’s Sons. 1958
171
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
DALE CANNON DAN GAGASANNYA TENTANG AGAMA
M. Nurul Huda
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia
al_huda27yahoo.co.id
Abstrak
Setiap agama memiliki praktik cara keagamaan untuk mendekatkan diri pada tuhannya yang terkadang fenomena keagamaan tersebut
menurut sebagian orang merupakan suatu hal ‘aneh.’ Fenomena itu bisa berupa benda-benda maupun suatu aktifitas. Fenomena
keagamaan seperti ini memerlukan pemahaman yang tidak mudah. Tulisan ini membahas pemikiran Dale Cannon mengenai cara
beragama dan manfaatnya bagi pemahaman cara beragama dalam Islam. Dari hasil kajian penulis Dale Cannon menjelaskan tentang
enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama yang ada di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara tersebut
sebagai berikut: Cara Ritus Suci (The Way of Sacred Rite), Cara Perbuatan Benar (The Way of Right Action), Cara Ketaatan (The Way
of Devotion), Cara Mediasi Samanik (The Way of Shamanic Meditation), Cara Mediasi Samanik (The Way of Shamanic Meditation),
Cara Pencarian Mistik (The Way of Mystical Quest), Cara Penelitian Akal (The Way of Reasoned Inquiry), Cara Penelitian Akal (The
Way of Reasoned Inquiry). Manfaat pemikiran Dale Cannon mengenai cara beragama adalah sangat besar bagi pemahaman kita
tentang perbedaan dan keanekaragaman cara berislam di kalangan umat Islam dan menjadi bahan perbandingan pula dengan cara
beragama non-Muslim dalam kerangka dialog antar agama.
Kata Kunci: Dale Canon, Ultimate Reality, Tasawuf
Abstract
Every religion has the practice of a religious way to get closer to god that sometimes the religious phenomenon, according to some people is
something ‘weird.’ That phenomenon include objects or an activity. This religious phenomena requires an understanding that is not easy.
This paper discusses Dale Cannon ideas about how religion and the benefits to understanding how religious in Islam. From the author
studying results Dale Cannon describes six ways religion that can be found in almost all religions that exist in the world, including Islam.
Six ways are as follows: The Way of Sacred Rite, The Way of Right Action, The Way of Devotion, The Way of Shamanic Meditation,
The way of Shamanic Meditation, The way of Mystical Quest, The way of Reasoned Inquiry, The way of Reasoned Inquiry). The benefits
of Dale Cannon thinking about how to do religion is very big for our understanding of the differences and diversity of ways to be Islam
among Muslims and become a point of comparison to the way non-Muslim religion within the framework of inter-religious dialogue.
Keywords: Dale Canon, Ultimate Reality, Mysticism
Pendahuluan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Dari
definisi ini, kita tahu bahwa agama bisa mengorganisir
perilaku seseorang. Seseorang yang beragama,
perilakunya akan terkontrol, beretika dan berakhlak.
Setiap agama memiliki praktik keagamaan. Kita
biasa menjumpai banyak fenomena keagamaan yang
menurut sebagian orang hal tersebut merupakan
suatu hal ‘aneh.’ Fenomena itu bisa berupa bendabenda maupun suatu aktifitas. Di dalam agama
Islam dijumpai fenomena keagamaan dalam bentuk
173
Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda
benda-benda yang dianggap suci atau keramat seperti
rajah, suwuk, jimat dan lain-lain. Dalam bentuk
aktifitas misalnya ṭarīqah, mauludan, rejeban, tahlilan,
puputan, ziarah ke tempat orang-orang sholeh dan lain
sebagainya. Agama selain Islam juga demikian, dalam
aktifitas misalnya, orang Kristen mendendangkan
nyanyian kebaktian, pemberian tzedekah (sumbangan
kedermawanan) oleh orang Yahudi untuk orang yang
membutuhkan; orang Hindu memberikan sesaji
berupa mentega murni dalam rumah api (dalam
agama Hindu dipandang sebagai ‘mulut para dewa’);
dalam keyakinan misalnya, orang Kristen meyakini
bahwa Kristus akan bangkit lagi untuk menghakimi
orang hidup dan mati; orang Syiah meyakini bahwa
Ali adalah penerus sah Muhammad dan pewaris
sebenarnya wilaya (ketajaman spiritual) Muhammad.
Fenomena keagamaan seperti ini memerlukan
pemahaman yang tidak mudah. Semua itu menurut
Dale Cannon (pakar studi agama dari Amerika
Serikat dalam Six Ways of Being Religious; A Framework
for Comparative Studies of Religion) merupakan macammacam sarana atau jalan menuju Tuhan.1 Tulisan ini
membahas pemikiran Dale Cannon mengenai agama.
Gagasan Dale Cannon Tentang Agama
Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju
Tuhan. Cara-cara yang ditempuh setiap pemeluk
agama dalam pengembaraannya menuju Tuhan bisa
berbeda-beda satu dengan yang lain, sesuai dengan
pemahaman, penghayatan dan pengalamannya masingmasing. Setiap orang membutuhkan cara beragama
(being religious) atau bentuk penghayatan yang selaras
dengan kepribadiannya dan situasi dalam kehidupan.
Dale Cannon dalam bukunya, Six Ways of Being
Religious menjelaskan tentang enam cara beragama
yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama
1
Dale Cannon, Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan
Sahiron, dkk. (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project,
2002), 5.
174
yang ada di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara
beragama itu adalah sebagai berikut:2
Pertama, cara ritus suci (The Way of Sacred Rite)
Cara ritus suci berpusat pada pemakaian ritual.
Peneliti yang belum mengenali bentuk-bentuk ritus
suci yang berbeda-beda perlu mengembangkan
imajinasinya dan memasukkan ke dalam pemikirannya
tentang ritual, bukan saja sebagai pengulangan secara
cermat kata-kata dan isyarat-isyarat suci tetapi juga
banyak hal lainnya, termasuk benda-benda yang secara
spesifik digunakan dalam ritual: patung-patung suci,
benda-benda, suara (musik dan ritme), dupa, jubah,
arsitektur, dan ornamen; peranan kelembagaan
dan lembaga-lembaga kependetaan; tempat-tempat
suci, dan lingkungan ziarah; waktu-waktu suci dan
keberuntungan dalam hari, bulan, tahun, dan siklussiklus tahunan; upacara daur hidup (kelahiran,
pemberian nama, pubertas, dewasa, perkawinan, tua,
dan kematian); peneguhan dan pembatalan perjanjian
(perkawinan, perceraian, adopsi); dan lain sebagainya.
Cara ini menekankan pada ritual formal dalam
ibadah, penggunaan simbol dan arsitektur tempat
ibadah, mengembangkan rasa estetika, dan teologi
(liturgikal-sakramental). Fungsi dari the way of sacred
rite ini ialah partisipasi dalam pola-pola dasar yang
sakral, yang melaluinya ‘realitas mutlak’ (ultimate
reality) hadir. Ritual dimaknai sebagai presentasi
(kehadiran) ataupun representasi (kehadiran kembali)
dari ultimate reality, dengan cara pengundangan
atau presentasi ritual simbolik yang memungkinkan
para peserta berulang kali masuk dalam kehadiran
tesebut, sehingga peserta bersama menyatu dengan
ultimate reality, dan dengan demikian membangun
dan memperbaharui sense ketertiban, identitas dan
kepatutan yang bermakna. Motivasi the way of sacred
rite dikarenakan manusia merasakan prospek hidup
2
Dale Cannon, Enam Cara Beragama, 48-74.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
ketika menghadapi peristiwa-peristiwa penting tanpa
arketipe (pola dasar) yang diikuti, tanpa rasa ketetapan
yang mendasar dan mutlak.
Ritual dapat ditemukan dalam setiap tradisi dan
sebenarnya juga dalam setiap subtradisi. Secara umum,
ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual
yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam
Alquran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki
dalil yang jelas, baik dalam Alquran maupun dalam
Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama
adalah shalat dan haji; sedangkan contoh ritual
kedua seperti peringatan kelahiran Nabi Muhammad
SAW (mauludan), dan tahlil yang dilakukan keluarga
ketika salah satu anggota keluarganya meninggal atau
menunaikan ibadah haji.
Kaum Yahudi memiliki hari khusus untuk
melakukan peribadatan atau ritual yaitu hari Sabbath
(Sabtu). Pada hari Sabbath kaum Yahudi dilarang
bekerja sebagaimana namanya, Sabbath berasal dari
bahasa Ibrani yang artinya ‘berhenti bekerja. Hari
Sabbath dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam
pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu.
Pada hari Sabbath, orang Yahudi menyajikan makanan
yang berlimpah sebanyak tiga kali setelah kebaktian di
sinagoga selesai; pada Jumat malam, Sabtu tengah hari,
dan Sabtu sore sebelum Sabbath berakhir. Lebih banyak
orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di
Sinagoga pada hari Sabbath, dan mungkin tidak hadir
pada hari-hari lainnya.3
Ritual keagamaan memiliki banyak fungsi, antara
lain yaitu: pertama, pemberikan tatacara dan ketertiban
bagi kegiatan-kegiatan agama. Kedua, memungkinkan
banyak orang bekerja sama dalam melakukan kegiatankegiatan yang kompleks yang jika tidak demikian tidak
akan mungkin dilaksanakan dengan baik. Ketiga,
menyiapkan suatu konteks simbol-simbol penuh
makna yang memusatkan dan megorientasikan pikiran
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Sabat diakses pada tanggal
22 April 2016.
sesuai dengan tradisi. Keempat, memenuhi kebutuhan
akan adanya pola kebiasaan sehingga tingkah laku
yang tepat menjadi sifat kedua dan pikiran bebas
mengunjungi makna yang lebih mendalam.
Kedua, Cara Perbuatan Benar (The Way of
Right Action)
Cara perbuatan benar sesuai yang dimaksudkan
oleh namanya, cara ini memusatkan perhatian
pada perbuatan atau tingkah laku yang benar, baik
perorangan maupun masyarakat. Semua kehidupan
agama menghendaki perhatian pada tingkah laku yang
tepat baik menyangkut masalah ketentuan-ketentuan
disiplin yang bebas dilakukan, petunjuk guru spiritual,
aturan-aturan kelembagaan, prinsip-prinsip moral
yang mendasar, kewajiban-kewajiban khusus ataupun
keharusan-keharusan yang bersifat mutlak.
Pada dasarnya, cara perbuatan benar berusaha
merealisasikan ‘keinginan Tuhan’ dengan ikhlas,
tanpa pamrih, bukan untuk tujuan mencapai berbagai
kebaikan yang tersembunyi, baik dalam kehidupan
sekarang maupun dalam kehidupan mendatang,
sekalipun banyak yang berusaha melakukannya untuk
tujuan kebaikan tersebut. Cara perbuatan benar
juga tidak untuk menghindari berbagai akibat buruk
atau ancaman hukuman, sekalipun banyak juga yang
melakukannya untuk menghindari akibat-akibat
seperti itu.
Ketiga, Cara Ketaatan (The Way of Devotion)
Cara ketaatan dipusatkan pada ketaatan, tetapi
bukan sembarang ketaatan. Dalam hal tertentu,
semua agama menghendaki ketaatan, apa pun caranya
beragama. Akan tetapi, hal-hal yang umumnya
dipandang sebagai ketaatan beragama adalah lebih
luas dari hal-hal yang diidentifikasikan di sini sebagai
cara ketaatan. Taat dapat diartikan patuh. Dengan
kata lain, taat adalah upaya untuk selalu mengikuti
175
Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda
petunjuk Tuhan dengan cara melaksanakan perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan seseorang
kepada Tuhan sangat bergantung kepada keimanannya.
Semakin kuat imannya maka semakin taat kepada
Allah. Ketaatan dalam Islam bisa ditunjukkan dengan
melaksanakan rukun Islam.
Keempat, Cara Mediasi Samanik (The Way of
Shamanic Meditation)
Cara mediasi samanik secara eksistensial menaruh
perhatian pada usaha menghadapi tantangantantangan berat yang disebabkan oleh kehidupan,
seperti penyakit atau luka serius, bahasa besar
atau ketiadaan suplai makanan. Cara ini bekerja
berdasarkan keyakinan bahwa sumber-sumber
‘supernatural’ untuk mengatasi tantangan-tantangan
itu benar-benar ada. Orang-orang yang menempuh cara
ini yakin bahwa sumber-sumber ‘supernatural’ dunia
spirit dapat digunakan dan dipakai untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan melalui praktik-praktik tertentu
yang menjadi penghubung dunia spirit dan dunia
biasa. Tokoh yang mampu memainkan peranan
perantara seperti itu adalah saman, baik laki-laki
maupun perempuan.
Di antara enam cara beragama, mediasi samanik
merupakan cara yang paling kurang sesuai dengan
pandangan dunia modern. Pandangan ilmiah dunia
modern menghendaki penjelasan semua fenomena
dilihat dari sebab-sebab alamiah dan materiil yaitu
sebab-sebab yang jelas, tidak ‘supernatural.’ Kesan yang
mungkin timbul adalah bahwa cara mediasi samanik
merupakan semacam teknologi spiritual yakni hanya
merupakan persoalan penggunaan sumber-sumber
‘supernatural’ untuk memecahkan masalah-masalah
duniawi. Kesan ini tidak benar karena suatu cara
beragama merupakan cara mendekat kepada dan berada
dalam hubungan yang benar dengan ‘realitas-mutlak’
dan tujuannya adalah penyembuhan, kesejahteraan
hidup dan pemenuhan dunia. Sumber-sumber spirit
176
‘supernatural’ yang digunakan oleh mediasi samanik
dimaksudkan bukan sekedar untuk kepentingan
eksploitasi. Sumber-sumber ini dapat disalahgunakan
untuk hal-hal buruk tetapi dengan kemungkinan
adanya konsekuensi-konsekuensi yang merugikan
bagi orang-orang yang menyalahgunakannya. Cara
mediasi samanik berkembang dengan batas tertentu
tergantung tempat munculnya, lebih banyak peranan
spesialis saman, seperti pembuat hal-hal ajaib, nabi,
peramal, perantara, pekerja ajaib, penyembuh spiritual,
geomancer (orang yang mencarikan baik buruknya
lokasi untuk melakukan kegiatan manusia dilihat
dari arus energi spiritual yang ada di tempat tersebut,
necromancer (orang yang berkomunikasi dengan ruh
orang-orang yang telah meninggal) dan lain sebagainya.
Dalam konteks Islam, kita bisa menyaksikan
bagaimana sebagian orang memanfaatkan perantara
orang-orang suci (saman: wali, mursyid, dukun, guru)
untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang
dikenal dengan tawassul. Termasuk dalam tradisi ini
pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan
‘supranatural’ (melalui mantra, aji-aji, jimat, doa-doa
tertentu) untuk meraih tujuan-tujuan yang sifatnya
natural.
Kelima, Cara Pencarian Mistik (The Way of
Mystical Quest)
Cara pencarian mistik merupakan usaha secara
sadar dengan menggunakan disiplin asketik 4 dan
meditatif,5 untuk mengatasi batas-batas pengalaman
4
Asketisme adalah ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan
rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga
tercapai kebijakan-kebijakan rohani. Ajaran ini sudah berkembang
di seluruh dunia. Kata asketisme berasal dari bahasa Yunani yang
berarti latihan dan praktik. Contohnya, atlet Yunani yang selalu
melatih dirinya secara sistematis untuk mencapai fisik yang sehat.
Namun kemudian dengan berkembangnya pemikiran, maka
istilah ini diartikan secara filosofis, rohani dan etis. Awalnya kata
‘asketisme’ juga digunakan dalam filsafat untuk menunjukkan
praktik-praktik dalam memerangi kejahatan dan mengejar keadilan.
5
Meditasi ialah pemusatan pikiran dan perasaan untuk
mencapai sesuatu.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
kesadaran biasa–terutama ketidaksadarannya tentang
realitas mutlak–demi kesatuan kesadaran dengan
‘realitas-mutlak.’ Cara ini lebih menekankan pada
‘usaha secara sadar’ dan ‘menggunakan disiplin asketik
dan meditatif,’ bukan pada pandangan-pandangan
supernatural, fenomena fisik, atau kejadian-kejadian
misterius. Cara ini tidak berfokus pada hasil akhir
(misalnya, pada puncak pencarian, atau pada ‘mistikusmistikus’ yang telah mencapai puncak tersebut,
baik melalui usaha yang disengaja; rahmat ajaib
yang diminta; atau apa pun) tetapi pada jalan, pada
kesengajaan, usaha panjang pada makna hidup
pencarian. Definisi ini mencakup semua orang yang
telah menempuh jalan ini, bukan orang-orang yang
telah mencapai tujuan. Singkatnya, cara pencarian
mistik ini adalah jalan itu sendiri dan tentang praktikpraktik yang membentuk jalan tersebut.
Cara pencarian mistik dapat ditemukan dalam
dalam semua tradisi agama besar, sekalipun tidak selalu
dalam ungkapan-ungkapan pokok. Dalam Islam, cara
pencarian mistik dikenal tradisi tasawuf dan tarekat.
Para mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin
mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan zikir
untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha
Mutlak, Allah Swt. Untuk mencapai ini, para pencari
(sālik) biasanya membutuhkan bimbingan spiritual
dari guru, wali, mursyid atau qutub. Yahudi memiliki
Kabbala, Katholik Roma dan Kristen Ortodoks Timur
memiliki tempat yang dimuliakan untuk monotisisme
kontemplatif.
Hakekat orang beragama terutama bukan melalui
pendekatan pada orang/ guru tertentu (mediasi) atau
ritus tertentu dan sebagainya, tetapi melalui hubungan
(batin) lansung dengan ultimate reality. Melalui aktifitas
asketis dan disiplin meditatif yang disengaja untuk
menyela, memperlambat atau menerobos dan menjadi
bebas dari dorongan hidup biasa (penyembuhan,
kesejahteraan, dan pemenuhan duniawi) dalam
rangka mencapai kesadaran langsung dengan ultimate
reality, seluruhnya menyatu dengan ultimate reality.
Kalaupun melalui orang/ guru, tetapi bukan sebagai
mediasi. Motivasinya adalah karena adanya kegelisahan
kebaikan yang tidak riil dan tidak subtansial. Cara ini
menitik beratkan pada pencarian sebuah pengalaman
yang irasional atau mengaitkan sesuatu dengan apa
yang menjadi pemikirannya terhadap ultimate reality.
Keenam, Cara Penelitian Akal (The Way of Reasoned
Inquiry)
Cara penelitian akal diarahkan pada usaha
memahami benda-benda, memahami bagaimana
benda-benda itu bersesuaian satu sama lain, untuk
kepentingan diri sendiri, juga untuk kepentingan
pemahaman orang lain. Cara ini merupakan menuju
Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan
pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan
untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju
dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia
mencapai perspektif dan pengetahuan ‘akal absolut.’
Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian
individu dan kelompok muslim yang mementingkan
upaya pencarian petunjuk-petunjuk untuk memahami
masalah-masalah kognitif kehidupan, bayang-bayang
argumentasi rasional dan pandangan dunia yang
komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju
Tuhan. Individu maupun kelompok semacam ini
dalam lintasan sejarah Islam dikenal dengan kelompok
Jabbariyah, Qaddariyah dan Mu’tazilah. Juga para filosof
yang mengedepankan penelitian intelektual untuk
memahami fenomena kehidupan.6
Manfaat Gagasan Dale Cannon
Enam cara beragama yang dikemukakan Dale
Cannon di atas, dalam komunitas Islam dapat
menjadi objek kajian Studi Islam. Ada kemungkinan
melalui penelitian dan kajian lebih lanjut dan
serius akan dijumpai cara beragama lain yang belum
disebutkan dalam kajian Dale Cannon di atas. Ini
6
Masyharudin, Aplikasi Konsep Qadariyah dan Jabariyah dalam
Kehidupan, dalam Teologi Islam Terapan. Tiga Serangkai.
177
Dale Cannon dan Gagasannya tentang Agama – M. Nurul Huda
Daftar Pustaka
tentu saja memberikan manfaat besar bagi pemahaman
kita tentang perbedaan dan keanekaragaman cara
berislam di kalangan umat Islam dan menjadi bahan
perbandingan pula dengan cara beragama non-Muslim
dalam kerangka dialog antar agama.
Agus, Bustanuddin. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Gema Insani Press. 1991.
Penutup
Baso, Ahmad. NU Studies. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2006.
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa
diharapkan dengan enam cara bergama dan wawasan
tentang perbedaan di pelbagai tradisi keagamaan,
seseorang akan dapat terhindar dari rasa kealpaan
dan berada pada posisi nyaman dalam mengapresiasi
cara pengalaman beragama antara persamaan dan
perbedaan yang mungkin terdapat berbagai praktik
penghayatan keagamaan. Kesiapan menemukan
persamaan atau perbedaan dalam berkeyakinan agama
serta kesiapan mempelajari arti penting ini dari sudut
persamaan yang diakui dalam cara-cara beragama
akan membuat kemungkinan-kemungkinan dialog
konstruktif antar berbagai tradisi keagamaan.7
Dengan demikian, orang-orang yang berasal dari
latar belakang iman yang berbeda dapat belajar satu
sama lain apa yang serupa atau apa yang merasa
dimiliki bersama dan yang tidak, tanpa kekhawatiran
terjebak pada praktik penyampur adukan iman atau
mengingkari agama orang lain. Ini dapat menolong
untuk mengembangkan dialog konstruktif antar
subtradisi di satu tradisi keagamaan yang sama.
7
Dale Cannon, Enam Cara Beragama, 11.
178
Baidhawy, Zakiyyudin. Islamic Studies: Pendekatan dan
Metode. Yogyakarta: Insan Madani. 2011.
Cannon, Dale. Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri
dan Sahiron, dkk.; editor Suka-Press. Jakarta:
Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002.
Cannon, Dale. Six Ways of Being Religious. New York:
Wadsworth Publising Company, 1996.
Hidayat, Komarudin. Agama Masa Depan: Perspektif
Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia. 2003.
Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama, Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2002.
https://id.wikipedia.org.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
GEORGE RITZER DAN AGAMA
Abdullah Ridho
FDAIB UIN Sunan Kalijaga
Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Analisis sosiologis dalam konteks agama tidak hanya dipahami sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang berlaku mutlak, tetapi
agama dipahami sebagi bagian dari kebudayaan yang paling mendala. Melalui kajian pemikiran George inilah penulis berupaya
mengeskplor pemikirannya tentang pemahamn sebuah analisis sosial masyarakat agama. Menurut George, masyarakat agama tidak lepas
dengan relasi kekusaan dan yang dikuasai dalam kehidupan masyarakat agama. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan
individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur, karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak
tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Hal inilah yang menurut George memuncukan konflik dalam masyarakat
agama. Namun demikian menurutnya konflik masyarakat agam juga memiliki fungsi di antaranya: Sebagai alat untuk memelihara
solidaritas, membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain, mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi dan
fungsi komunikasi.
Kata Kunci: George Ritzer, Teori Konflik, Fungsionalisme
Abstract
Sociological analysis in religion context is not only understood as a set of teachings of God’s absolute, but religion is understood as a
deepest part of the culture. Through the study of George ideas the author try to explore his thought on understanding a social religious
analysis. According to George, the religious community cannot be separated with relation authorization and controlled in the life of
religious communities. The power and authority always put the individual at the top and bottom positions in each structure, because it
is the legitimate authority, there will be consequences for any individual who is not subject to the authority. This is according to George
brings up conflict within religious communities. However, according to him religion conflict also has the function such as: As a tool for
solidarity, helps to create a bond alliances with other groups, to enable previously isolated individual role and function of communication
Keywords: George Ritzer, Conflict Theory, Fungsionalisme
Pendahuluan
Agama tidak hanya dipahami sebagai seperangkat
ajaran dari Tuhan yang berlaku mutlak di dalam
konteks analisis sosiologis, tetapi agama dipahami
sebagai bagian dari kebudayaan yang paling mendalam.
Agama adalah sebuah system kebudayaan yang berpusat
pada pikiran dan perasaan manusia, yang selanjutnya
dijadikan acuan di dalam melakukan tindakan. Agama
juga dijadikan pedoman dalam menghadapi dan
menafsirkan realitas yang dihadipanya.
Te r l i h a t a d a d u a a s p e k d i k e h i d u p a n
kemasyarakatan, agama sebagai sebuah sistem
kebudayaan, yaitu; pertama, fungsinya sebagai
pandangan hidup masyarakat dan kedua, agama bersifat
operasional. Sebagai pandangan hidup masyarakat,
agama sebagai penjelas keberadaan manusia, asal dan
tujuan hidupnya. sedangkan sifat operasional agama
bersangkut paut dengan dimensi horizontalnya, yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
sehingga keberadaan agama berkaitan erat dengan
179
George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho
nilai-nilai lainnya dalam masyarakat, misalnya: nilainilai sosial, politik dan ekonomi.
tidak pernah meraih gelar di bidang sosiologi, ia hanya
dilatih dalam ilmu psikologi dan bisnis.2
Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan
yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan
menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks
masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran
terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang
antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama yang
dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di dalamnya
memiliki peran penting dalam mendorong terjadinya
konflik dan integrasi dalam hubungan-hubungan
sosial masyarakat. Sebagai contoh adalah bagaimana
pergerakan paham islam Wahhabi sebagai paham trans
nasional masuk ke berbagai wilayah Indonesia untuk
menyebarkan ajarannya. Hal tersebut secara tidak
langsung menjadi konflik, karena mayoritas penduduk
indonesia adalah muslim penganut paham inklusif,
moderat dan wasaṭiyyah, kemudian dibenturkan
dengan paham Islam Wahhabi yang radikal dan
puritan.
Di Universitas Maryland, Ritzer adalah seorang
Distinguished University, minat utamanya adalah
teori sosiologi dan sosiologi konsumsi. Ia juga pernah
menjabat sebagai ketua American Sosiological
Association’s Section on Theoritycal Sociology and
Organization and Occupation. Seorang Distinguished
Scholar-Teacher di Maryland dan menerima Teaching
Exellence Award. Dia juga menjabat sebagai UNESCO
Chair in Social Theory di Akadeni Sains Rusia,
Fulbright-Hays Chair di Universitas York di Kanada,
dan Fulbright-Hays Award Belanda dan Seorang
Scholar-in-Residence di Netherland Institute for
Advanced Studies and Swedish Colegium for Advanced
Studies in the Social Scienses.3
Oleh karena itu, dengan melihat realitas
tersebut, penulis akan mencoba mengulasnya dengan
menggunakan teorinya George Ritzer, yaitu teori
konflik, karena melihat pada realitas tersebut ada sistem
dan struktur keagamaan yang beragam dan teori Mc
Donaldisasi, karena melihat proses penanaman ajaran
dan paham itu sarat dengan prinsip teknologisasi,
kuantifikasi, terprediksi dan efisiensi.
Biografi George Ritzer : Sosok, ranah, gagasan
dan karyanya
George Ritzer lahir pada tahun 1940 di Born,
Amerika Serikat. Dia adalah seorang sosiolog
Amerika.1 Meskipun dikenal seorang sosiolog, Ritzer
Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975)
adalah karya metateoretis pertama Ritzer. Ia tidak
hanya berusaha menyusun paradigma sosiologi yang
terpisah-pisah dan sering bentrok -konflik- satu sama
lain tetapi juga mencoba membahas kemungkinan
untuk menghubungkan, menjembatani, menyatukan
dan menggunakan paradigma sosiologi yang beragam
itu. Merasa tak nyaman dengan konflik paradigmatis
itu, Ritzer ingin melihat suasana yang lebih harmonis
dan rukun dalam sosiologi. Hasrat itulah yang
mendorong Ritzer menerbitkan buku Toward an
Integrated Sociological Paradigm (1981); didalamnya Ritzer
lebih memusatkan perhatian sepenuhnya kepada
sebuah paradigma yang terintegrasi.
Di tahun belakangan ini, minat terhadap
penyelesaian konflik teoretis mendorong Ritzer
memusatkan pada integrasi mikro-makro (1990) dan
integrasi keagenan-struktur (1994) dengan bekerja sama
dengan seorang ilmuan bernama Gindoff. Minat Ritzer
2
1
Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 13.
180
Dandaneau, Steve P; Dodsworth, Robin M., Being (George
Ritzer) and Nothingness: An Interview (PDF), di ambil pada
tanggal 5/6/2016
3
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terj (Jakarta: Kencana,
2004), ii.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
terhadap karya metateoretis dijelaskan oleh hasrat dia
untuk memahami teori dengan lebih baik dan untuk
menyelesaikan konflik dalam teori sosiologi. Dalam
buku Metatheorizing (1992), Ritzer mengemukakan
perlunya studi sistematis atas teori sosiologi. Ritzer
percaya bahwa dengan banyak melakukan studi itu
untuk memahami teori dengan lebih baik dapat
menghasilkan teori baru dan perspektif teoretis
yang lebih luas jangkauannya. Studi metateoretis
juga berorientasi untuk menjernihkan masalah yang
dipertengkarkan, menyelesaikan perselisihan pendapat
dan untuk menemukan peluang lebih besar dalam
mencapai sintesis dan integrasi. Setelah bertahuntahun berusaha menerangkan sifat teori sosiologi, pada
awal 1990-an Ritzer cemas terhadap abstraksi karya
metateoretis sehingga dia berusaha mengaplikasikan
berbagai teori yang telah dia pelajari kepada aspekaspek konkret dari dunia sosial.
Pada tahun 1980-an, Ritzer pernah sedikit
melakukannya untuk menerapkan teori Max Weber
pada rasionalisasi restoran fast-food (1983) dan profesi
medis. Dan buku The McDonaldization Of Society
(1993,1996, 2000), adalah hasil revisi esai rasionalisasi
restoran fast-food tersebut. Ia menyatakan bahwa
sementara birokrasi menjadi paradigma rasionalisasi
formal di era Weber yang menjadi model paradigma
birokrasi dalam masyarakat modern adalah restoran
cepat saji.
Dalam Expressing America: A Critique of the Global
Credit Card Society (1995) Ritzer mengalihkan perhatian
pada fenomena ekonomi sehari-hari manusia yang
analisanya bukan dari perspektif teori rasionalisasi
tetapi dari perspektif lain, termasuk ide teoretis tentang
uang dari George Simmel. Karya tentang restoran fastfood dan kartu kredit telah membawa kesadaran pada
diri Ritzer bahwa apa yang sesungguhnya menjadi
minat dia adalah sosiologi konsumsi yang belum
banyak dikembangkan di Amerika Serikat setidaknya
jika dibandingkan dengan Great Britain dan negara
Eropa lainnya. Hal ini menghasilkan Enchanting
a Disenchanted World: Revolutionizing the Means of
Consumption (1999),4 di mana Ritzer menggunakan
teori Weberian-Marxian, dan teori post-modern untuk
menganalisa alat-alat konsumsi baru –superston,
megamall, cybermall, televisi home shopping, kasino,
taman hiburan, kapal pesiar dan juga restoran fastfood dan wara laba lainnya- yang menjadi cara orang
Amerika dan belahan dunia lain mengkonsumsi
barang dan jasa.
Capaian global dari McDonald dan McDonaldisasi,
kartu kredit dan alat-alat konsumsi baru membawa
Ritzer minat pada globalisasi dan menghasilkan buku
Globalization Of Nothing (2004). Sementara dia tidak
bisa mengesampingkan isu metateoretis sehingga
baru-baru ini dia membahasnya. Rrencana Ritzer
sekarang adalah melanjutkan penggunaan teori untuk
memikirkan dunia kontemporer, khususnya konsumsi
dan globalisasi.5
Jenjang Pendidikan
Ritzer Lulus dari Bronx High School of Science
pada tahun 1958; progam B.A., di City College of New
York, pada tahun 1962; progam M.B.A., di Uneversity
of Michigan, pada tahun 1964; progam Ph.D., di
Cornell University, pada tahun 19686
Karir Akademik
Setelah lulus dari Cornell University pada tahun
1968, Ritzer telah menerima berbagai kontrak
akademik sepanjang karirnya di universitas-universitas
di seluruh Amerika dan dunia:7
4
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, A-11.
Ibid., A-11.
6
Ritzer, George (2008), Vita: George Ritzer (PDF), diambil
pada tanggal 5/6/2016
7
Ritzer, George (2008), Vita: George Ritzer (PDF), diambil
pada tanggal 5/6/2016
5
181
George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho
Pada 1968-1970: Assistant Professor, Tulane
University; 1970-1974: Associate Professor, University of
Kansas; 1974-2001: Professor, University of Maryland;
1984: Visiting Exchange Professor, University of
Surrey, England; 1988: Visiting Professor, Shanghai
University, China; Peking University, Beijing, China;
1990: Visiting Exchange Professor, University of
Surrey, England; 1996: Visiting Professor, University of
Tampere, Finland; 2001: Visiting Professor, University
of Bremen, Germany; 2001–present: Distinguished
University Professor, University of Maryland, College
Park; 2002, 2004-2008: Visiting Professor, Associazione
per l’Istituzione della Libera Università Nuorese,
Sardinia, Italy; 2012: Visiting Professor, University of
Salzburg, Austria; 2013: Visiting Scholar, Center for
Advanced Study, University of Munich, Germany.
Pemikirannya tentang Agama
Teori Konflik: Sistem dan Struktur Keagamaan
yang Beragam
Analisis sosiologis dalam konteks agama tidak
hanya dipahami sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan
yang berlaku mutlak, tetapi agama dipahami sebagi
bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Bahwa
agama adalah sebuah sistem kebudayaan,8 yang berpusat
pada pikiran dan perasaan manusia, yang selanjutnya
dijadikan acuan di dalam melakukan tindakan. Agama
juga dijadikan pedoman dalam menghadapi dan
menafsirkan realitas yang dihadapinya.
Di kehidupan kemasyarakatan, agama sebagai
sebuah sistem kebudayaan terlihat dua aspek,
yaitu; pertama, fungsinya sebagai pandangan hidup
masyarakat dan kedua, agama bersifat operasional.
Sebagai pandangan hidup masyarakat, agama sebagai
penjelas keberadaan manusia, asal dan tujuan
hidupnya, sifat operasionalnya agama bersangkut
paut dengan dimensi horizontalnya yang mengatur
8
Cliffird Geertz, The Intepretation of Culture (New York: Basic
Book Inc. Publicer, 1973), 101.
182
hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga
keberadaan agama berkaitan erat dengan nilai-nilai
lainnya dalam masyarakat, misalnya, nilai-nilai sosial,
politik dan ekonomi.
Pemahaman sosiologis terhadap agama menjadi
sangat penting dalam rangka upaya menemukan
keterkaitan agama dengan kebudayaan di dalam
masyarak at sehingga ak an dapat ditemuk an
dinamikanya dalam mewujudkan keteraturan
(integrasi) dalam masyarakat.
Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan
yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan
menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks
masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran
terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang
antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama
yang dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di
dalamnya memiliki peran penting dalam mendorong
terjadinya konflik dan integrasi dalam hubunganhubungan sosial masyarakat.
Integrasi dan konflik adalah dua istilah yang
biasanya dirangkai secara bersamaan karena adanya
yang pertama (integrasi) berarti tidak adanya yang
kedua (konflik), keberadaan yang satu berarti ketiadaan
bagi yang lain, dan begitu sebaliknya. Di dalam
hubungan antara individu dan kelompok senantiasa
diwarnai dan dalam kerangka persaingan untuk saling
mendominasi antara keduanya. Namun demikian,
secara konseptual, kedua istilah ini memiliki makna
yang berbeda bahkan berlawanan.9
Integrasi menunjuk adanya penyatuan antara
individu atau kelompok yang sebelumnya terpisah-pisah
ke dalam satu komunitas dengan menyembunyikan
perbedaan-perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada
sebelumnya. Dalam konteks hubungan antar agama dan
internal aliran agama, konsep integrasi lebih menunjuk
kepada makna kerukunan, yaitu hidup dalam suasana
9
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas
(Bandung: PT Refika Aditama, 2013), 304.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati dan
bersepakat antar umat yang berbeda agama dan antar
aliran dalam satu agama. Integrasi yang berlangsung
antar penganut aliran yang berbeda dalam satu
agama tidak hanya berupa integrasi kelompok tetapi
juga melibatkan integrasi kebudayaannya,10 sehingga
keserasian fungsi tidak hanya pada pola tingkah laku
kelompok tetapi juga unsur-unsur kebudayaannya.
Akan tetapi, pencapaian integrasi tidak akan sampai
pada tingkatan yang maksimum dan sempurna tetapi
mengikuti dinamika sistem sosialnya masing-masing.11
Konflik adalah kondisi di mana individu-individu
atau kelompok saling berupaya menggagalkan
pencapaian tujuan masing-masing pihak karena
perbedaan nilai-nilai dan kepentingan masingmasing. Konflik atau pertentangan antar kelompokkelompok sosial dapat mengambil bentuk berupa
usaha untuk memantapkan identitas kelompoknya
untuk menghadapi kelompok lainnya yang pada
gilirannya akan dapat mengancam dan menyebabkan
rusaknya sistem sosial yang ada. Namun demikian,
konflik tidak selalu bermakan negatif, tetapi juga
positif, terutama dalam kemampuannya mendorong
ke arah terwujudnya persatuan dan kesadaran akan
hidup bermasyarakat.12
Dalam konteks hubungan antar aliran dalam satu
agama, konflik dapat timbul karena perbedaan dalam
pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama. Konflik
dapat timbul karena kepentingan ekonomi dan
perlombaan kekuasaan.13 Konflik juga dapat muncul
karena adanya curiga yang disebabkan adanya stereotype
negatif yang sering mendarah daging. Perbedaan ajaran
yang menjadi pegangan masing-masing kelompok
10
Koentjaningrat et.al., kamus Istilah Antropologi (Jakarta:
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984), 70.
11
Nasikun, Sebuah Pendekatan untuk Memahami Sistem Sosial
di Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Sosial UGM, 1974), 16.
12
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, 305.
13
Mayor Polak, Pengantar Ringkas Sosiologi (Jakarta: Ikhtiar,
1979), 70.
dalam menghadapi lingkungannya juga menjadi
pemicu konflik sebagaimana dikemukakan oleh
Parsudi Suparlan bahwa manusia dengan pengetahuan
kebudayaan yang dimilikinya mengaktifkan bagianbagian tertentu dari ajaran aliran paham keagamaan
yang dianutnya dan yang dianggap dapat menjelaskan
keberadaannya dalam kehidupan dan dalam
menghadapi lingkungan yang diambil sebagai dasar
pembenaran.14
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan
posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi
kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa
kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik
sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah
tanda adanya berbagai posisi dalam masyarakat.
Perbedaan posisi dan wewenang diantara individu
dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian
para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflikkonflik harus diperhatikan dalam susunan peranan
sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap
kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama
menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai
peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan
individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap
struktur karena weweang itu adalah sah, maka setiap
individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang
ada akan terkena sanksi.15
Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara
penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat
selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan
yang masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan
kepentingan nyata yang bertentangan secara subtansial
dan secara langsung di antara golongan-golongan
itu. Yang berkuasa berusaha mempertahankan statusquo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha
mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan
14
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, 305.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan, 25-26f
15
183
George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho
kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam
setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu
berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan
yang anti status-quo.
Sebagai contoh adalah yang oleh sejarawan
menuliskan kemunculan gerakan paham Wahhabi
tidak terlepas dari sisa-sisa situasi keteganganketegangan antara Islam ortodoks dan sufisme akhir
zaman pertengahan. Puncaknya adalah ketika kaum
ortodoks bangkit di provinsi Kerajaan Utsmani karena
krisis yang dihadapi Islam di masa itu. Bahwa krisis
saat itu paling baik dihadapi dengan kembali secara
fundamental kepada Alquran dan Sunnah. Saat itulah,
sebuah sekte baru Islam telah lahir yang menyatakan
bahwa mereka kembali kepada ‘semangat sejati’ Nabi
Muhammad.
Dengan itu Wahhabi ingin menanggalkan semua
kumpulan-ajaran yang datang kemudian, khususnya
yang dikenalkan oleh kaum sufi, kaum mistik Islam
serta mengembalikan Islam kepada kecemerlangankemurniannya yang telah dinikmati di Madinah pada
abad ketujuh.
Di Indonesia, Wahhabi pun mengutuk kepercayaan
populer pada kekuatan para wali sebagai wasīlah
(perantara) dan mengutuk pemujaan kaum Syiah
terhadap makam para Imam. Mereka menolak otoritas
apapun dari mazhab-mazhab klasik dalam syariat Islam
serta menyatakan bahwa gerbang ijtihad (penalaran
bebas) telah dibuka kembali.
Khususnya pada penentangan secara paksa di
wilayah Minangkabau terhadap bid’ah, penggunaan
tembakau dan pemakaian baju sutra. Melalui
kepulangan tiga orang yang baru pulang ibadah haji
pada tahun 1803 yang bersamaan dengan dikuasainya
Mekkah oleh kaum Wahhabi, yang kemudian
menghasilkan pergerakan Paderi. Dalam kasus wilayah
Melayu-Indonesia, gagasan-gasasan pembaharuan
yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan
ekspresi yang radikal dalam gerakan Paderi. Kemudian
184
tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku
Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan
jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti
ajaran-ajaran mereka. Akibatnya, perang saudara
meletus di tengah masyarakat Minangkabau, atas
campur tangan kolonial Belanda, perang Paderi itu
berakhir pada penghujung 1830-an.16
Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik.
Pertama, sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
Bagi kelompok masyarakat yang tidak sepaham dan
yang menerima ajaran Wahhabi akan membentuk
aliansi massa untuk bersama-sama menolak dan
mempertahankan paham mereka.
Kedua, membantu menciptakan ikatan aliansi
dengan kelompok lain. Secara tidak langsung antar
kelompok masyarakat yang sepaham dan yang tidak
sepaham akan mencari aliansinya dalam rangka
untuk menentang dan mempertahankan paham
mereka masing-masing. Ketiga, mengaktifkan peranan
individu yang semula terisolasi. Dalam hal ini adalah
individu atau kelompok yang tidak beragama Islam
dan pemerintah. Mereka yang akan melihat dan
memposisikan peranannya terhadap adanya paham
Wahhabi tersebut.
Keempat, fungsi komunikasi. Sebelum konflik
kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi
lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas
antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan
kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri
16
h t t p : / / w w w. b b c . c o m / i n d o n e s i a / b e r i t a _
indonesia/2016/05/160506_indonesia_radikalisasi_wahabi, di
akses pada tanggal 16/06/2016.
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik
untuk bertindak dengan lebih tepat.17
Meskipun begitu, teorti konf lik juga tidak
lepas dari kritikan dengan berbagai alasan. Teori
ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan
stabilitas sedangkan fungsionalisme struktural diserang
karena mengabaikan konflik dan perubahan.18 Teori
konflik dikritik juga karena berideologi radikal
sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi
konserfatifnya dan ahistoris tak mampu menerangkan
konflik dan perubahan serta terlalu sibuk dengan
persoalan pemaksaan masyarakat terhadap aktor dan
mmendukung legitimasi.19
McDonaldisasi: Prinsip Teknologisasi,
Kuantifikasi, Terprediksi dan Efisiensi
Menurut Ritzer prinsip franchise dari Mcdonald’s
berdasarkan kepada empat prinsip:
Pertama, prinsip efisiensi. Prinsip ini dikenal secara
luas di dalam dunia bisnis. Berdasarkan kepada prinsip
Fordism (assembly line), scientifis management dan
prinsip birokrasi, maka restoran Mcdonald’s dikelola
secara sangat efisien. Pada pokoknya restoran tersebut
melaksanakan prinsip uniformitas, menu standart,
porsi yang sama, dengan harga yang sama dan kualitas
yang sama di dalam setiap restoran McDonald’s.
Kedua, kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan
haruslah dapat dihitung untung ruginya. Apabila
tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan
agar bisnis tetap memberi keuntungan, sebagai contoh
misalnya, pola franchising McDonald’s tidak menarik fee
dasar yang besar tetapi setiap pembelian dikenakan
1,9 % kepada franchisee. Jadi yang dipentingkan ialah
keuntungan dari pada franchisee. Demikian pula
uniformitas tidak menghalangi adanya inovasi. Oleh
17
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan, 26-29.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi
Modern,157.
19
Ibid., 167.
18
sebab itu McDonald’s Indonesia mempunyai rasa yang
cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan
nasi di samping french fries atau kentang goreng.
Ketiga, prediktabilitas. Dengan adanya
kalkulabilitas maka dengan sendirinya dapat
diprediksikan keuntungan yang di peroleh oleh outlet
McDonald’s. Setiap outlet telah memprediksikan
tempat-tempat yang strategis di mana orang akan
mencari makan secara cepat, misalnya di lingkungandilingkungan perkantoran di mana orang tergesa-gesa
untuk makan dan berkerja kembali. Demkian pula
di highway-highway di mana orang mencari makan di
tengah paerjalanannya secara cepat.
Keempat, kontrol. Dari kontrol manusia menuju
kontrol robot yang mekanistik. Bisnis McDonald’s
mempunyai manual yang sangat tepat yang sudah
diterbitkan sejak tahun 1958. Bahkan pada tahun
1961 ia mendirikan suatu pusat pelatihan, sejenis
“hamburger university” dengan gelar “hamburologi.”
Demikianlah cara-cara memberikan servis yang cepat
yang dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat
mempertahankan kualitas makanan secara cepat dan
menyenangkan banyak orang.20
Wahabisasi dengan prinsip McDonaldisasi
Efisiensi: Strategi Dakwah
Para aktivis wahhabisme cukup agresif dalam
mengkampanyekan pikiran-pikiran dan ideologi para
imamnya. Mereka bukan hanya memekikkan khotbah
wahhabisme dari dalam masjid-masjid mewah di kotakota besar seperti Jakarta melainkan juga blusukan ke
pedalaman dan dusun-dusun di Indonesia. Dengan
melihat fungsi dan peran masjid, mereka menganggap
bahwa masjid adalah tempat yang paling efisien
sebagai tempat untuk menyebarkan dan mengajarkan
pahamnya sekaligus sebagai basis pengakaderan
keanggotaan mereka.
20
George Ritzer, McDonaldization, The Reader (Thousand
Oaks, CA: Pine Forge Press, 2000), 15.
185
George Ritzer Dan Agama – Abdullah Ridho
Kedua, Kalkulabilitas dan Prediktabilita:
Awalnya wahhabisme berdiri untuk merampingkan
Islam yang sarat beban kesejarahan. Ia ingin
membersihkan Islam dari beban historisnya yang
kelam, yaitu dengan cara mengembalikan umat
Islam kepada induk ajarannya, Alquran dan alSunnah. Seruan ini mestinya sangat positif bagi
kerja perampingan dan pembersihan (purifikasi) itu.
Tapi, ternyata wahhabisme tidaklah seindah yang
dibayangkan. Di tangan para pengikut Muhammad ibn
Abdul Wahhab yang fanatik dan militan, implementasi
ideologi wahhabisme kemudian terjatuh pada
tindakan kontra produktif. Di mana-mana mereka
menyebarkan tuduhan bid’ah kepada umat Islam
yang tidak seideologi dengan mereka. Bahkan, tidak
jarang mereka mengkafirkan dan memusyrikkan umat
Islam lain.21
Mereka di Indonesia melakukan wahhabisasi di
pelbagai daerah. Mereka mencicil ajaran-ajarannya
untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia.
Ada beberapa ciri cukup menonjol yang penting
diketahui dari gerakan wahhabisasi itu. Pertama,
mereka mempersoalkan dasar negara Indonesia dan
UUD 1945. Mereka tidak setuju Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam ini dipandu
oleh sebuah pakem sekular, hasil reka cipta manusia
yang relatif bernama Pancasila. Menurut mereka,
Pancasila adalah ijtihad manusia dan bukan ijtihad
Tuhan. Semboyan mereka cukup gamblang bahwa
hanya dengan mengubah dasar negara, dari Pancasila
ke Islam, Indonesia akan terbebas dari murka Allah.
Mereka lupa bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai
yang sangat islami. Tak tampak di dalamnya hal-hal
yang bertentangan dengan Islam.
Kedua, mereka menolak demokrasi karena
demokrasi dianggap sebagai sistem kafir. Ini misalnya
dapat kita ketahui dari buah karya Abdul Qadir
21
http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016
186
Zallum, tokoh yang sangat berpengaruh di lingkungan
gerakan fundamentalis Islam, yang berjudul alDimuqrathiyah Nizham Kufr. Bukan hanya itu, mereka
pun menolak dasar-dasar hak asasi manusia (HAM)
yang sesungguhnya berpondasikan ajaran Islam yang
kukuh. Mereka mengajukan keberatan terhadap
konsep kebebasan beragama (hifẓ al-dīn), kebebasan
berpikir (hifẓ al-‘aql), dan sebagainya. Menurut mereka
tidak ada hak asasi manusia (HAM) karena yang ada
adalah hak asasi Allah (HAA).
Ketiga, merek a berusaha bagi tegaknnya
partikular-partikular syari’at dan biasanya agak abai
terhadap syari’at universal, seperti pemberantasan
korupsi-kolusi-nepotisme dan sebagainya. Ini
misalnya tampak dari sikap tidak kritis kelompok
wahhabi terhadap ketidakberesan yang telah lama
berlangsung di lingkungan kerajaan Saudi sendiri,
sistem pemerintahan yang disokong demikian kuat
oleh kelompok Wahhabi. Kelompok Wahhabi
cukup puas ketika salat berjemaah diformalisasikan.
Sementara, bersamaan dengan itu, kejahatan terhadap
kemanusiaan terus berlangsung tanpa interupsi dari
mereka. Keempat, mereka juga intensif menggelorakan
semangat penyangkalan atas segala sesuatu yang berbau
tradisi. Kreasi-kreasi kebudayaan lokal dipandang
bid’ah, takhayul dan khurafat yang mesti diberantas.
Pakaian yang lazim dikenakan oleh perempuan IslamJawa hendak diarabkan. Dahulu orang-orang NU
mendapat serangan bertubi-tubi dari para pengikut
wahhabisme itu.22
Empat hal itu adalah refrain yang kini rajin
diulang-ulang oleh kelompok Wahhabi Indonesia.
Pokok-pokok tersebut adalah sebagian dari juklak
wahhabisme yang telah lama disusun di Saudi dan
kemudian dipaketkan secara berangsur dan satu arah
ke Indonesia. Ke depan jika semuanya sudah berhasil
diwahhabikan, maka sangat boleh jadi Indonesia akan
22
http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016
Citra Ilmu, Edisi 24 Vol. xii, Oktober 2016
menjadi repetisi Saudi Arabia; di mana kreasi-kreasi
lokal dibid’ahkan.23
Ketiga, Kontrol: Mekanisme Dakwah
Dengan berkembangnya teknologi sekarang
ini, untuk mempermudah dalam penyebarannya ke
masyarakat secara langsung, mereka menggunakan
media penyiaran dan internet (media sosial, web, dll.),
untuk mengantarkan ajaran-ajarannya.
Kesimpulan
Pemahaman sosiologis terhadap agama menjadi
sangat penting dalam rangka upaya menemukan
keterkaitan agama dengan kebudayaan di dalam
masyarakat sehingga dapat ditemukan dinamikanya
dalam mewujudkan keteraturan (integrasi) dalam
masyarakat.
Struktur sosial merupakan bagian dari kebudayaan
yang dipergunakan manusia untuk menghasilkan dan
menginterpretasikan interaksi sosial. Dalam konteks
masyarakat beragama, pemahaman dan penafsiran
terhadap lingkungannya mengacu nilai-nilai yang
antara lain bersumber dari ajaran-ajaran agama
yang dianutnya. Keragaman struktur dan aturan di
dalamnya memiliki peran penting dalam mendorong
terjadinya konflik dan integrasi dalam hubunganhubungan sosial masyarakat.
Daftar Pustaka
Anwar, Yesmil dan Adang. Sosiologi untuk Universitas.
Bandung: PT Refika Aditama, 2003.
Dandaneau, Steve P; Dodsworth, Robin M. Being
(George Ritzer) and Nothingness: An Interview (PDF),
2006.
Geertz, Clifford. The Intepretation of Culture. New York:
Basic Book Inc. Publicer, 1973.
Koentjaningrat et.al. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta:
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1984.
Nasikun. Sebuah Pendekatan untuk Memahami Sistem
Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sosial
UGM, 1974.
Nugroho, Heru (ed). McDonaldisasi Pendidikan Tinggi.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Polak, Mayor. Pengantar Ringkas Sosiologi. Jakarta:
Ikhtiar
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, terj. Jakarta:
Kencana, 1979.
______, Vita: George Ritzer (PDF), 2008.
­­­­­­­______, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
terj. Alimandan- Ed. 1. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
23
http://www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/wahabisasiislam-indonesia, diakses pada tanggal 16/06/2016
187
PEDOMAN PENULISAN JURNAL CITRA ILMU
1. Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa arab dalam bidang kajian masalah ilmu-ilmu
Kebudayaan dan Keislaman.
2. Bentuk Naskah dapat berupa Research and Theoretical Papers, Prospective dan Case Study.
3. Naskah yang dikirim merupakan naskah baru, orisinil dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
4. Refrensi yang digunakan berdasarkan pada naskah dijurnal dan buku-buku terbaru maksimal 10 tahun kebelakang.
5. Subtansi naskah diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Direktorat
Penelitian dan Pengapdian kepada Masarakat (DP2M) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
6. Permendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
7. Naskah ditulis dengan kaidah dan bahasa Inggris,bahasa Arab dan ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan
benar.
8. Jumlah halaman 15-20 spasi satu, dengan font Goudy Old Style size 11 (atau setara jumlah kata 5000).
9. Hendaknya naskah yang dikirim menggunakan Gaya Selingkung Jurnal Citra Ilmu dan Sistematika Penulisan sebagai
berikut: Judul
Ditulis dengan beberapa pilihan kata penting, secara cermat, baik, benar, menarik dan terorganisir
dengan runtut.
Ditulis dengan huruf Kapital (12 pt). Jumlah kata Judul tidak lebih dari 15 kata.
Sistematika Perjenjangan atau peringkat judul naskah dan bagian-bagiannya dilakukan dengan
cara berikut:
(1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama.
(2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center.
(3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri.
Penulis
Berisikan nama tanpa gelar akademik. Instansi tempat penulis (10 pt) dilengkapi alamat lengkap (fax./telp.e-mail dan kode pos).
Abstark
Berisi uraian singakat yang memuat latar belakang masalah, metodologi, hasil penelitian dalam
bahasa Inggris dan Indonesia dan dibuat maksimal 200 kata dengan menggunakan font Calibrin
(10 pt).
Dilengkapi dengan kata kunci maksimal 5 kata yang menggambarkan isi naskah.
Halaman isi
Memuat antara 15-20 halaman, diketik dengan format rtf, ukuran A4 (21 X 29,7 cm) spasi 1
dengan font Calibri 11, kecuali judul 12 pt Capital dan table 10 pt. Naskah terdiri atas
beberapa bab secara terpisah dan tidak menggunakan pengkodean baik dalam judul maupun sub
judul.
Pendahuluan
Gambaran umum yang diurikan secara singkat dan fenomena kajian yang menyangkut latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan ruang lingkup penelitian (jika ada).
Metode penelitian
Memuat jenis dan sumber data penelitian.
Metode analisis data (teknik pengambilan sempel dan analisisnya serta memuat kerangka berfikir
berupa alur penelitian.
Hasil
Berupa hasil penelitian.
Simpulan
Adalah berupa jawaban dari tujuan atau masalah yang dikaji oleh naskah dan tidak dimaksudkan
sebagai ringkasan hasil,
Ucapan Terimakasih Berisikan ucapan terimakasih kepada pihak yang layak untuk mendapatkan ucapan terimakasih,
seperti penyandang dana, penyum
Bang bahan dan sarana penelitian.
Daftar pustaka Refrensi yang digunakan dalam menyusun naskah dan diurutkan secara al-fabetis A-Z dengan
format yang lazim dalam penulisan Daftar pustaka.
Daftar pustaka hendaknya menggunakan acuan jurnal dan buku paling lama 10 tahun terahir.
Jika naskah bukan dari hasil penelitian, dapat disesuaikan bagian isinya dengan: Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan
dan Daftar Pustaka.
Contoh penulisan citasi/kutipan: kutipan dalam jurnal adalah memakai footnote bukan end notes atau body notes
1
Hakit BOZ, Hadith Authenticity of the Science of Hermeneutucs, International Jurnal of Humnites and Social Sciences, Vol. 3 No.
2 Januari 2013, 187-191.
2
Muhamamd Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis: Era Klasik Hingga Konteporer (Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis)
(Yogyakarta: Suka Press, 2012), 20.
3
Saifudin Zuhri Qudsy, Living Hadith in a Family: Reinventing Model of Research in Hadith Using Etnografi Research, Proceeding
International Seminar on SUnnah Nabawiyah and its Contemporary Challenges, 10-11 September 2014 Brunai Darusalam.
4
Nor Elysa Rahmawati, Penafsiran Muhammad Talibi Tentang Ummatan Wasatan dalam al-Qur’an, Sekripsi fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam UIN Sunan KAlijaga Yogyakarta, 2014.
5
Zainal Arifin, Tradisi dan Pola Perilaku dalam Maqam-Maqam Tradisi Tasawuf (Study Hierarkhi dan Tahap-Tahap Pendidikan
Islam Menurut Para Kyai di Daerah Mlangi Nogotirto Gamping Seleman), Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2013.
6
Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif menurut asy-Syafi’i: Tinjauan Sisiologi Pengetahuan, Disertasi
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014.
7
Azyumardi Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama” dalam Dicky Sofjan (Ed.), Sejarah
& Budaya Syiah di Asia Tenggara (Yogyakarta: ICRS, 2013). 5.
Contoh penulisan daftar Pustaka
Jurnal
Rippin, Andrew. Contemporary Scholarly Understandings of Qur’anic Coherence, Jurnal al-Bayan Vol 11 No. 2, Juni
2013, p.
BOZ, Hakit. Hadith Authenticity of the Science of Hermencutucs, International Journal of Humnites and Social Scients, Vol,
3 No. 2 Januari 2013, 187-191.
Buku
Sayeed, Asma. Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam. New York: Cambridge University Press, 2013.
Suryadilaga, Muhamamd Alfatih: Metodologi Syarah Hadis: Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruktruksi Metodologi
Syarah Hadis). Yogyakarta: Suka Press, 2012.
Proceeding seminar
Qudsy, Saifudin Zuhri, Living Hadith in a Family: Reinverting Model of Research in Hadith Using Etnografi Research,
Proceeding International Seminar on SUnnah Nabawiyah and Its Contemporary Challenges, 10-11 September 2014
Brunai Darusalam.
Skripsi, Tesisi dan Disertasi
Rahmawati, Nor Elysa. Penafsiran Muhammad Talibi Tentang Ummatan Wasatan dalam al-Qur’an, Sekripsi fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Arifin, Zainal. Tradisi dan Pola Perilaku dalam Maqam-Maqam Tradisi Tasawuf (Study Hierarkhi dan Tahap-Tahap
Pendidikan Islam Menurut Para Kyai di Daerah Mlangi Nogotirto Gamping Seleman), Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2013.
Helmy, Muhammad Irfan. Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif menurut asy-Syafi’i: Tinjauan Sisiologi Pengetahuan, Disertasi
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Internet
Muhammad Shalih al-Gamidi, Manahij al-Muhaddisin: Kutub Garib al-Hadis, diakses tanggal 4 Nopember 2014 dalam
Http://Uqu.Edu.Sa./Page/Ar/161561.
Surat Kabar
Nasaruddin Umar, “Puasa Perspektif Syari’at, Tariqat dan Hakikat”, Republika, 2 Nopember 2014.
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun
1987 dan Nomor 0543 b/U/1987.
Pengiriman Naskah
1. Naskah dikirimkan sebanyak 2 exsemplar hardcopy berupa file. File bisa dikirim melalui e-mail citrastainu@yahoo.
co.id.
2. Naskah yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah
sebelumnya yang pernah dipublikasikan, institusi dan alamatnya, nomor telepon kontak atau e-mail penulis.
3. Penulis yang menyerahkan naskahnya harus menjamin behwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum
dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasikan oleh jurnal lainnya.
4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan
dikembalikan.
5. Alamat jurnal Citra Ilmu STAINU Temanggung: (Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat
(LP3M) STAINU Temanggung, Jl. Suwandi-Suwardi Telp. (0293) 493361 Temanggung 56213.
Download