`BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertumbuhan Janin Terhambat 1

advertisement
6
`BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertumbuhan Janin Terhambat
1. Definisi
Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah suatu keadaan yang
dialami oleh janin yang mempunyai berat badan di bawah batasan tertentu
dari umur kehamilannya. Secara definisi, PJT adalah janin yang berat
badannya sama atau kurang dari 10 persentil yang tidak dapat mencapai
pertumbuhan yang optimal karena terhambat oleh faktor maternal, fetal atau
plasenta (Lausman et al., 2012). Ada klinisi yang menggunakan titik potong
(cut-off point) 5 persentil, ataupun 2 Standar deviasi (SD) (kurang lebih 3
persentil). Selain melalui berat badan beberapa mendefinisikan dengan
lingkar perut kurang atau sama dengan 5 persentil atau femur lenght (FL)/
abdominal circumference (AC) > 24 (Steinborn dan Varkonyi, 2007)
Sulitnya mengetahui angka pasti insiden PJT karena pencatatan
tentang usia gestasi yang sahih sering tidak tersedia di negara yang sedang
berkembang
(Wirman
dan
Wiknjosastro,
2008).
Pada
penelitian
pendahuluan di 4 senter fetomaternal di Indonesia tahun 2004-2005
didapatkan 571 KMK dalam 14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling
sedikit di RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta 6,44% (Karkata dan Kristanto, 2012; Sumawan et
al.,2013). Janin dengan PJT mempunyai morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, bahkan juga morbiditas jangka panjang. Kematian perinatal sering
disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru,
6
7
hipotermia dan hipoglikemia. Pada PJT terdapat peningkatan kematian janin
empat sampai delapan kali dalam masa kehamilan dan lima kali dalam masa
persalinan (Sari dan Wiknjosastro, 2008).
2. Klasifikasi
Himpunan
Kedokteran
Fetomaternal
mengklasifikasikan
pertumbuhan janin terhambat menjadi (Karkata dan Kristanto, 2012):
a. Pertumbuhan janin terhambat simetris:
Jika ukuran badan janin secara proporsional kecil, gangguan
pertumbuhan janin terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu,
sering disebabkan oleh kelainan khromosom atau infeksi.
b. Pertumbuhan janin terhambat asimetris:
Jika ukuran badan janin tidak proporsional, gangguan pertumbuhan
janin terjadi pada kehamilan trimester III. Keadaan ini sering
disebabkan oleh isufisiensi plasenta
Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada awal
kehamilan, saat hiperplapsi (biasanya karena kelainan kromosom dan
infeksi), akan menyebabkan PJT yang simetris. Jumlah sel berkurang dan
secara permanen akan menghambat pertumbuhan janin dan prognosisnya
jelek. Penampilan klinisnya proporsinya tampak normal karena berat dan
panjangnya sama-sama terganggu, sehingga ponderal indeksnya normal.
Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada saat
kehamilan lanjut, saat hipertrofi (biasanya gangguan fungsi plasenta,
misalnya preeklampsia), akan menyebabkan ukuran selnya berkurang,
8
menyebabkan PJT yang asimetris yang prognosisnya lebih baik. Lingkaran
perutnya kecil, skeletal dan kepala normal, ponderal indeksnya abnormal.
3. Faktor Risiko dan Etiologi
Untuk membedakan adanya PJT dengan berat bayi lahir rendah,
diperlukan pengamatan yang seksama mengenai faktor risiko. Skrining
terhadap PJT berdasarkan faktor risiko klinis telah secara rutin diterapkan
oleh para ahli (Lausman et al., 2012). Faktor Risiko Pertumbuhan Janin
Terhambat tersebut antara lain (Karkata dan Kristanto, 2012):
a. Lingkungan sosio-ekonomi rendah
b. Riwayat PJT dalam keluarga
c. Riwayat obstetri yang buruk
d. Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan yang rendah
e. Komplikasi obstetri dalam kehamilan
f. Komplikasi medik dalam kehamilan
Meskipun sekitar 50% pertumbuhan janin terhambat belum diketahui
penyebabnya, ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat. Etiologi PJT terdiri dari faktor maternal, fetal
dan plasental:
a. Faktor maternal
1) Riwayat berat badan lahir rendah atau PJT pada persalinana
sebelumnya
2) Ibu yang kecil atau berat badan ibu yang rendah sebelum hamil
3) Gizi maternal buruk (< 1500 kalori / hari)
9
4) Status sosioekonomi jelek
5) Merokok, alkohol dan narkoba
6) Usia maternal ekstrim, < 16 tahun atau > 35 tahun
7) Menggunakan teknologi reproduksi
8) Partner yang berbeda
9) Teratogen: anti kejang, methotrexate, warfarin
10) Penyakit vaskuler
11) Hipoksia – hidup di ketinggian (>10.000 kaki)
12) Anemia termasuk hemoglobinopati
b. Faktor fetus
1) Infeksi kongenital: CMV, sifilis, rubela, varisela, toksoplasma,
tuberkulosis, HIV, malaria kongenitak
2) Aneuploidi: trisomi 13, 18, 21, triploidi
3) Microdeletions: 4p4) Sindrom genetik atau kelainan fetal
5) Diskordansi pada kehamilan ganda
c. Faktor plasenta
1) Insufisiensi vaskuler plasenta
2) Separasi korionik (abrupsio, hematoma)
3) Infark villi
4) Regresi korion
5) Malformasi uterus mayor
6) Placental mosaicism (Lausman et al., 2012; Suhag dan Berghella,
2013).
10
4. Patofisiologi
Pada sebagian besar kasus, PJT disebabkan oleh insufisensi plasenta,
meskipun
beberapa
kondisi
seperti
kelainan
kongenital,
infeksi,
penyalahgunaan obat dan bahan kimiawi juga dapat menyebabkan kondisi
tersebut (Figueras dan Gardosi, 2011). Insufisiensi plasenta sering
dihubungkan dengan adanya suatu kondisi dimana terjadi gangguan toleransi
sistem imun maternal pada materno-feto interface yang berakibat pada
gangguan invasi tofoblas ke desidua pada saat proses plasentasi sehingga
terjadi gangguan invasi plasenta yang akan menyebabkan perfusi
uteroplasenta yang buruk. Invasi trofoblas yang tidak adekuat akan
meyebabkan
terjadinya
komplikasi-komplikasi
kehamilan
seperti
preeklampsia, PJT, Abortus berulang, solutio plasenta sedangkan proses
invasi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta,
perkreta,
inkreta,
penyakit
trofoblas
gestasional,
choriocarcinoma
(Eastabrook, 2008).
Gambar 1. Diagram Perubahan Aliran Arteri Spiralis Maternal
pada Ruang Inter Villi pada Kehamilan Normal dan PJT
(Kingdom et al., 2012)
11
Salah satu faktor penyebab terjadinya pertumbuhan janin terhambat
adalah produksi berlebihan dari sitokin proinflamasi. Didapatkan bahwa
ekspresi sitokin proinflamasi tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interferon-γ (IFN-γ) meningkat secara signifikan pada wanita hamil dengan
PJT dibandingkan dengan hamil normal. TNFα, salah satu sitokin
proinflamasi tersebut, menghambat penyerapan asam amino oleh fetus
sehingga menyebabkan terjadinya hipoksia intra uterin. Mekanisme TNFα
dalam menghambat perkembangan janin adalah dengan cara apoptosis sel
trofoblas dan mengakibatkan terjadinya disfungsi plasenta (Raghupathy,
2012).
Salah satu yang berperan dalam proses toleransi imun maternal pada
materno-feto interface adalah suatu antigen yang dikenal dengan HLA-E
yang diduga memegang peranan penting pada proses implantasi dalam
proses embryogenesis, diketahui mempunyai peranan dalam mengontrol
invasi sel trofoblas dan mempertahankan kondisi imunotoleransi lokal
(Eastabrook, 2008)
5. Penegakan Diagnosis
Kecurigaan adanya suatu PJT jika didapatkan satu atau lebih dari
beberapa tanda berikut, yaitu: Tinggi fundus uteri (TFU) lebih dari atau
sama dengan 3 cm lebih dibawah normal, pertambahan berat badan kurang
dari 5 kg pada usia kehamilan (UK) 24 minggu atau kurang dari 8 kg pada
usia kehamilan 32 minggu (untuk ibu dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) <
30), estimasi berat badan < 10 persentil, dari pemeriksaan ultrasonografi
12
HC/AC > 1, AFI kurang dari atau sama dengan 5 cm, sebelum UK 34
minggu plasenta grade 3 dan ibu merasa gerakan janin berkurang (Figueras
dan Gardosi, 2011).
Diagnosis baru dapat ditegakkan bila usia kehamilan telah mencapai
28 minggu ke atas. Pertumbuhan janin dinyatakan terhambat bila secara
klinis dan ultrasonografi (USG) didapatkan taksiran berat sama atau kurang
dari 10 persentil (Ada yang menggunakan titik potong 5 persentil, ada pula
yang menggunakan 2 SD /kira-kira 3 persentil ) dan lingkar perut (AC) yang
sama atau kurang dari 5 persentil atau FL/AC > 24 atau biometri tidak
berkembang setelah 2 minggu (Karkata dan Kristanto, 2012)
Untuk menegakkan diagnosa diperlukan analisa yang matang dari
anamnesis hingga pemeriksaan fisik dan penunjang yang matang. (Figueras
dan Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 )
a. Riwayat medis dan obstetrik. Riwayat medis diperlukan untuk
mengiindentifikasi faktor risiko PJT. Riwayat obstetrik penting karena bila
kehamilan sebelumnya PJT, maka memiliki risiko lebih tinggi untuk
terulang kembali pada kehamilan berikutnya.
b. Berat badan. Penambahan berat badan ibu merupakan indeks yang tidak
sensitif untuk membedakan PJT dengan bayi kecil tetapi sehat.
c. Mengukur tinggi fundus uteri (TFU): terbatas akurasinya untuk
mendeteksi janin Kecil Masa kehamilan (KMK), sensitivitas 56-86%,
spesifitas 80-93%. Kekeliruan hasil pengukuran juga bisa terjadi pada
kehamilan ganda, hidramnion, letak lintang, turunnya kepala dalam jalan
13
lahir, hamil dengan mioma uteri, obesitas, di samping kurang tepat
meletakkan pita.
d. Diameter Biparietal (BPD). Metode ini menunjukkan 2 pola yang nyata
pada gangguan pertumbuhan janin. Slow growth profile dimana
pertumbuhan BPD selalu di bawah 10 persentil dari usia kehamilan.
Sedangkan late flattening profile yaitu pertumbuhan BPD yang normal
selama dua trimester pertama diikuti berhentinya pertumbuhan selama
trimester terakhir. Sensitifitas dan spesifisitas pengukuran BPD serial
terlalu rendah sebagai metode primer untuk mengevaluasi janin kecil
karena kepala adalah organ terakhir yang terpengaruh oleh malnutrisi
janin.
e. Estimasi berat janin ( Estimated Fetal Weight /EFW) dan Abdominal
Circumference
(AC).
Tingkat
pertumbuhan
lingkar
perut
tidak
terpengaruh usia gestasi. Bila tingkat pertumbuhan < 1 cm dalam 2
minggu menunjukkan PJT. AC mempunyai nilai prediksi negatif 99%.
Pada KRT AC<10 persentil untuk memprediksi luaran perinatal yang jelek
f. Rasio lingkar kepala dan perut (H/A ratio). Membandingkan organ
yang paling akhir dipengaruhi malnutrisi janin, yaitu otak, dengan yang
paling mudah terpengaruh, yaitu hati, dan memiliki nilai yang signifikan
dalam mengidentifikasi bayi PJT asimetris. AC diukur setinggi bifurkasio
vena hepatika pada pusat hati janin. Lingkar kepala diukur setinggi
thalamus. Keuntungan menggunakan lingkar kepala daripada BPD adalah
efek molding diminimalkan.
14
g. Rasio Femur-abdomen (F/A ratio). Membandingkan panjang femur (FL)
yang minimal dipengaruhi gangguan pertumbuhan janin, dengan lingkar
perut (AC) yang sangat dipengaruhi oleh gangguan pertumbuhan janin.
FL cukup mudah diukur dan tidak terpengaruh molding atau presentasi
atau letak janin yang tidak normal. Rasio F/A tetap konstan setelah
kehamilan 20 minggu. Nilai normalnya adalah 22 + 2. Bila kelainan rasio
F/A cukup tinggi, harus dicurigai kuat adanya malnutrisi janin. Jika rasio
F/A normal, janin mungkin kecil dan sehat atau menderita PJT simetri
tetapi tidak mengalami malnutrisi berat.
h. Indeks Timbangan bayi (Fetal Ponderal Index / PI). PI diukur dengan
membagi perkiraan berat janin dengan 3 kali panjang femur. Nilai
normalnya adalah 8.325 + 2.5 (2 SD). PI tidak terpengaruh usia gestasi
dan memiliki nilai konstan pada pertengahan akhir kehamilan.
i. Volume air ketuban (AFV) dengan menentukan indeks cairan amnion
(Amniotic Fluid Index / AFI), yaitu dengan teknik 4 kuadran. Disebut
oligohidramnion jika AFI kurang dari 5. Oligohidramnion adalah tanda
akhir terjadinya malnutrisi janin.Pemeriksaan
AFI dilakukan setiap
minggu atau 2 kali seminggu tergantung berat ringannya PJT.
j. Analisa Doppler (Doppler Velocimetry). Gelombang Doppler digunakan
untuk melihat hambatan aliran darah ke janin yaitu kelainan vaskuler
plasenta, yang dapat dinilai antara lain arteri serebri media (ASM/MCA),
rasio serebroplasenta (RSP) / Cerebroplacental ratio (CPR), vena
umbilikalis (VU), dan duktus venosus (DV) Arantii. (Figueras dan
Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 )
15
6. Penatalaksanaan
Bila janin sudah didiagnosis mengalami PJT, maka harus disiapkan
pengawasan perinatal janin dan waktu terminasi yang optimal. Pengawasan
ante partum yang diperlukan antara lain: (Karkata dan Kristanto, 2012)
a. Non Stress Test (NST). Merupakan tes terpenting, karena menentukan
apakah keadaan janin berbahaya atau tidak. Penurunan variabilitas denyut
jantung janin, hilangnya reaktivitas, kurangnya akselerasi, dan timbulnya
deselerasi variabel, merupakan tanda-tanda lemahnya pertahanan janin dan
terminasi perlu segera dilakukan. NST dilakukan antara seminggu sekali
sampai tiap hari tergantung keadaan klinisnya. Indikasi NST tiap hari
adalah PJT berat dengan rasio S/D > 6.
b. Contraction Stress Test (CST) dan Biophisic Score (BPS) / Biophysical
profile (BPP), dapat digunakan pada NST abnormal. Bila hasilnya fetal
compromise maka harus terminasi segera. Pada keadaan dimana tidak
terdapat tes-tes pelengkap ini, maka NST
cukup untuk memutuskan
terminasi kehamilan segera.
c. Volume cairan amnion, penting untuk mengetahui perkembangan janin
PJT. Sebaiknya dilakukan tiap minggu dan frekuensi NST ditingkatkan
bila terjadi penurunan jumlah cairan amnion. Kriteria USG terpenting
yang menunjukkan fetal compromise adalah oligohidramnion.
d. Amniosentesis, pada janin PJT sebaiknya dilakukan tiap minggu mulai
usia kehamilan 36 minggu dan kehamilan segera diakhiri jika paru-paru
telah matur.
16
e. Cordosentesis. Sampel darah korda umbilikalis jarang diindikasikan
untuk PJT. Terutama adalah kecurigaan defek kromosom sehingga
diperlukan penentuan kariotipe janin. Ada pula yang menyarankan
pemeriksaan ini untuk mengetahui tingkat hipoksia dan asidosis janin.
Nicolini dkk justru menemukan bahwa sampling korda umbilikalis
berbahaya bagi janin PJT, karena sering mengalami bradikardi yang lama
dan berat saat prosedur ini.
Manajemen
persalinan
merupakan
bagian
penting
dalam
penatalaksanaan janin PJT. Hal ini disebabkan karena selain defek
kongenital, asfiksia intra partum merupakan penyebab utama morbiditas
perinatal janin PJT.
Pada kasus PJT harus segera dilakukan terminasi kehamilan bila
ditemukan ( Karkata dan Kristanto, 2012) :
a. Rasio FL/AC biometri ≥ 26, janin termasuk PJT berat.
b. Doppler velocimetri arteri atau vena umbilikalis (PI ≥ 1,8) yang disertai
AEDF/REDF
c. AFI ≤ 4
d. BPS memburuk
e. KTG : deselerasi lambat
f. Tambahan : Doppler a.uterina, MCA,DV
Dilakukan terminasi mutlak bila : a,b, dan c terpenuhi.
Menurut Karkata dan Kristanto, 2012, penatalaksanaan kasus PJT
juga berdasarkan usia kehamilan, yaitu:
17
a. ≥ 37 minggu : terminasi kehamilan dengan seksio sesaria atau pervaginam
bila Bishop score ≥ 5.
b. 32-36 minggu : konservatif selama 10 hari dapat berlangsung lebih dari
50% kasus PJT terutama preeklampsia.
c. < 32 minggu : perawatan konservatif tidak menjanjikan, sebagian besar
kasus berakhir dengan terminasi.
Bila pertumbuhan janin masih berlangsung, terminasi pada kehamilan
38 minggu. Namun, bila pertumbuhan janin tidak ada dan maturitas paru
cukup (biasanya pada kehamilan 35 minggu) dilakukan terminasi dengan
cara :
a. Janin reaktif : Induksi persalinan didahului dengan pematangan serviks
b. Janin non reaktif atau terdapat gejala gawat janin : seksio sesarea
c. Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk perabdominan.
Bila surveillance janin abnormal pada usia kehamilan kurang dari 38
minggu maka harus diperiksa rasio lecitin/spingomielin air ketuban. Bila
paru janin telah matang (L/S ≥ 2) maka dilakukan terminasi kehamilan
apabila : 1) uji beban kontraksi positif, 2) oligohidramnion, 3) BPD tidak
bertambah lagi (risiko tinggi disfungsi otak janin).
B. Human Leukocyte Antigen (HLA)
HLA tergolong dalam molekul yang berperanan dalam kompatibilitas organ
dan disebut Major Histocompatibility Complex atau MHC. Dalam berbagai
referensi, istilah HLA dan MHC digunakan secara interchangeably. Kompleks
gen HLA terletak di kromosom 6 rantai pendek pada lokasi p21. Kompleks gen
18
HLA terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III. Gen yang
menyandi molekul HLA adalah gen HLA kelas I dan kelas II. Gen HLA kelas I
terbagi dalam lokus –A, -B, -C, -E, -F, dan -G atau disebut gen HLA-A, HLA-B,
HLA-C, HLA-E, HLA-F, dan HLA-G.
Gambar 2. Peta gen dari regio human leukocyte antigen (HLA)
(Marsh et al., 2010)
Gen HLA-A, -B, -C disebut juga classical HLA class I genes, dan gen HLAE, -F, -G disebut juga nonclassical HLA class I genes. Gen HLA kelas II,
ditunjukkan dengan pemakaian huruf D atau HLA-D. Gen HLA kelas II terbagi
dalam lokus –P, -Q, -R, -M, dan O atau disebut gen HLA-DP, HLA-DQ, HLADR, HLA-DM, dan HLA-DO. Gen HLA-DP, -DQ, -DR disebut sebagai
classical HLA class II genes, dan HLA-DM, HLA-DO disebut sebagai
nonclassical HLA class II genes. Gen HLA kelas I menyandi molekul HLA
kelas I. Molekul HLA kelas I tersusun atas 2 rantai yaitu rantai α dan rantai β.
Gen HLA kelas I hanya menyandi rantai α, sedangkan rantai β disandi oleh gen
β2-mikroglobulin (β2-microglobulin gene) yang terletak di kromosom 15.
Molekul HLA kelas I terbagi menjadi lima domain yaitu peptide binding
domains (α1 dan α2), immunoglobulin-like domain (α3), transmembrane region
19
dan cytoplasmic tail. Molekul HLA-A, -B, dan C disebut juga HLA class Ia
molecules, dan molekul HLA-E, -F, dan –G disebut juga HLA class Ib
molecules. Gen HLA kelas II menyandi molekul HLA kelas II. Berbeda dengan
HLA kelas I, molekul HLA kelas II semuanya disandi oleh gen HLA kelas II.
Molekul HLA kelas II terbagi menjadi empat domain yaitu: peptide-binding
domain (α1 dan α2), immunoglobulin like domain (β1 dan β2), transmembrane
region, dan cytoplasmic tail. Domain α1 dan α2 pada HLA kelas I dan domain
α1dan β1 pada HLA kelas II membentuk peptide-binding region atau peptidebinding groove. Molekul HLA kelas I diekspresikan oleh hampir semua sel
somatik, meskipun kadar ekspresinya tergantung pada fungsi jaringan. Molekul
HLA kelas II diekspresikan oleh subgrup dari sel imun antara lain sel B, sel T
yang teraktivasi, makrofag, sel dendritik, dan sel epitel kelenjar timus. Beberapa
sel lain, dengan adanya interferon-γ, dapat mengekspresikan pula molekul HLA
kelas II. Sel yang mengekspresikan molekul HLA kelas I dan II merupakan
Antigen Presenting Cells (APC), karena fungsi molekul HLA adalah
mempresentasikan antigen asing ke limfosit T melalui peptide binding groovenya. Dengan adanya presentasi ini timbul respon imun humoral atau respon
imun selular selanjutnya (Shiina et al., 2009).
C. Human Leukocyte Antigen – E (HLA-E)
Molekul HLA-E diproduksi oleh gen HLA-E di kompleks gen HLA kelas
I. Molekul HLA-E diekspresikan oleh sitotrofoblas yang melakukan invasi ke
sisi maternal (extravillous cytotrophoblast), cytokine activated monocytes, sel
kelenjar thymus, dan beberapa seltumor. Molekul HLA-E didapatkan dalam
20
cairan amnion dan pada bagian supernatan media kultur embrio. Ekspresi HLAE pada extravillous trophoblast dan bukan pada villous trophoblast atau
cytotrophoblast menimbulkan pemikiran bahwa HLA-E mempunyai peranan
tertentu dalam kehamilan atau toleransi maternal selama kehamilan (Lin et al.,
2007).
Gambar 3. Mekanisme Imunitas Kehamilan (Tripathi et al., 2007)
Peranan pasti dari HLA-E dalam suatu kehamilan belum diketahui
sampai saat ini. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa HLA-E merupakan
suatu inhibitor dari sel NK pada feto maternal interface, tempat terjadi kontak
langsung dengan sistem imun maternal. Selain itu ko-ekspresi dari HLA-E
diperlukan dalam melakukan inhibisi sel NK pada uterus. (Nieuwnhoven et al.,
2003)
Interaksi imunitas maternal dan fetal terjadi di dua tempat, yaitu respon
imunitas sistemik antara sel imun maternal - syncytiotrophoblast dan respon
21
imunitas lokal antara sel imun desidual - sel trofoblas ekstravilus. Sel trofoblas
ekstravilus akan memasuki desidua maternal dan arteri spiralis untuk kemudian
memicu terjadinya remodelling sehingga aliran darah ke fetus meningkat
bersamaan dengan bertambahnya usia kehamilan. HLA-E yang merupakan
molekul HLA kelas Ib memberikan pertahanan terhadap sel trofoblas tersebut
dari proses lisis oleh sel NK. Pada trimester pertama kehamilan, ekspresi HLAE meskipun masih lemah, dapat ditemukan pada trofoblas ekstravilus
dan
terkadang pada permukaan sel. Saat kehamilan memasuki trimester kedua dan
seterusnya, ekspresi HLA-E tersebut akan meningkat secara bertahap dan
mengalami translokasi di permukaan sel (Djurisic dan Hviid, 2014).
Gambar 4. Feto maternal interface (Djurisic dan Hviid, 2014).
HLA-E membantu fetus untuk menghindari reaksi dari sistem imunitas
maternal dengan cara melakukan interaksi dengan reseptor penghambat
CD94/NKG2A sel NK. Dibandingkan dengan HLA-G, ekspresi HLA-E tidak
22
hanya terbatas pada permukaan fetal-maternal, namun juga mencapai jaringan
yang luas termasuk sel T, sel B, limfosit T yang teraktivasi dan sel lainnya.
Antigen HLA-E teridentifikasi sebagai ligan dari imunoglobulin sel reseptor sel
NK, dan interaksinya dengan KIR pada sel NK dapat menghambat aktivitas sel
NK. HLA-E bereaksi dengan CD94/NKG2A yang mengakibatkan terjadinya
pengambilan phosphatase SHP-1 dari NKG2A sehingga terjadi penghambatan
pada sel NK. Aktifitas immunomodulasi tersebut sangat berguna dalam proses
kehamilan karena lebih dari 90% dari limfosit CD56+ pada desidua terdiri dari
CD94/NKG2 + sel NK (Borrego et al., 2006; Mallia et al., 2012)
D. Sel Natural Killer (NK)
Sel NK merupakan jenis limfosit yang berperan dalam sistem imunitas
sebagai lini pertahanan pertama dan mempunyai fungsi yang sanagat penting
dalam imunologi reproduksi. Sel NK merupakan limfosit granular besar (LGL)
dan banyak ditemukan pada uterus wanita hamil. Pengetahuan mengenai fungsi
sel NK pada uterus sampai saat ini masih terbatas. Jumlah sel NK yang sangat
banyak pada saat awal kehamilan menunjukkan bahwa sel tersebut memiliki
peranan yang penting dalam kehamilan seperti pertahanan terhadap infeksi dan
juga dalam pengaturan sistem imunitas maternal yang dapat memperngaruhi
implantasi dan plasentasi (Rodrigues et al., 2013).
23
Gambar 5. Sel NK dan Reseptornya (Moffett dan Colucci, 2014)
Secara fenotip, terdapat ekspresi reseptor CD 56 dan CD 16 pada
permukaannya. Berdasarkan konsentrasi antigen CD56, sel NK dibagi menjadi
dua subpopulasi, yaitu CD56dim dan CD56bright. Sel NK yang memiliki tingkat
ekspresi CD56 yang tinggi disebut dengan CD56bright, sedangkan jenis lain
disebut dengan sel CD56dim, sel yang terakhir disebutkan menyusun sebagian
besar sel NK pada darah perifer. Sel CD56dim berhubungan dengan aktivitas
sitotoksitas yang tinggi sedangkan sel CD56bright mensekresikan sitokin pada
tingkat yang lebih tinggi. Sel NK pada mukosa uterus berbeda dari sel yang
ditemukan pada bagian tubuh lain karena pada uterus sel NK lebih banyak
24
mengandung sel CD56bright. Sel NK pada mukosa uterus memiliki tingkat
sitotoksitas yang rendah, namun dapat mensekresikan sitokin yang berbeda,
kemokin dan faktor pertumbuhan (Rodrigues et al dan Wallace et al., 2013).
Sel NK memproduksi beberapa sitokin yang berperan dalam plasentasi,
antara lain Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), macrophage colonystimulating factor (M-CSF) dan leukaemia inhibitory factor (LIF) yang
membantu dalam stimulasi implantasi plasenta dan pertumbuhan trofoblas
(Nieuwenhoven et al., 2003).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sel NK menghasilkan sitokin tipe
I seperti (TNF-α) dan (IFN-γ) yang memberikan efek negatif pada implantasi
dan invasi trofoblas. TNF-α
memberikan stimulasi apopotosis terhadap sel
trofoblas dan IFN-γ meningkatkan kemampuan sel sitokin tersebut. TNF-α dan
IFN-γ juga dapat menghambat perkembangan fetus dengan cara mengaktivasi
prorombinase sehingga dihasilkan trombin. Aktivasi trombin mengakibatkan
terjadinya pembekuan darah dan pembentukan interleukin-8 yang akan
menyebabkan sel endotelial untuk menghentikan aliran darah ke plasenta yang
sedang berkembang (Nieuwenhoven et al., 2003; Raghupathy et al., 2012).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sel NK desidua memiliki fungsi
yang khusus, sebagai contoh pola ekspresi gen yang cukup berbeda pada sel NK
desidua dari sel NK perifer (Tabiasco et al., 2006).
Beberapa penelitian
mengenai sel NK desidua fokus pada interaksi dengan molekul HLA, karena sel
NK desidua mengalami kontak dengan sel trofoblas ekstravili yang
mengekspresikan HLA-C, HLA-G, HLA-E dan HLA-F (Djurisic dan Hviid.
25
2014). Pada umumnya ekspresi reseptor yang berbeda pada sel NK desidua
bervariasi antar individu.
E. Human Leukocyte Antigen – E (HLA-E) pada Pertumbuhan Janin
Terhambat
Pada plasenta bayi PJT ditemukan patologi berupa perubahan struktural
vaskular uteroplasenta meliputi penyempitan arteri spiralis akibat penebalan
tunika intima, degenerasi fibrinoid dan lesi mikrovaskular plasenta (Wirman dan
Wiknjosastro, 2008). HLA-E secara spesifik berinteraksi dengan CD94/NKG2A
mengakibatkan
terjadinya
ikatan
antara
phosphatase
SHP-1
dengan
phosphorylated tyrosine pada NKG2A sehingga terjadi inhibisi terhadap sel NK.
Proses imunoregulasi tersebut telah dikonfirmasi terjadi pada 721211 sel yang
mengekspresikan HLA-E meskipun tidak memiliki HLA-A, -B, -C dan –G.
Aktifitas imunomodulasi HLA-E tersebut sangat bermanfaat pada keberhasilan
kehamilan karena lebih dari 90% limfosit CD 56+ pada desidua terkonstitusi
oleh CD94/NKG2+ pada sel NK. Aktifitas regulasi tersebut menunjukkan
peranan molekul HLA-E dalam melindungi janin dari sistem imun maternal
pada kehamilan normal sekaligus mencegah terjadinya pertumbuhan janin
terhambat (Tripathi et al., 2007).
26
F. Kerangka Konsep
Maternal
Paternal
Konsepsi
Faktor risiko
(+)
Faktor risiko
(-)
HLA-E rendah
HLA-E normal
CD94/NKG2A
Sel NK tinggi
Sel NK normal
TNF-α
TGFβ
IFN-γ
TNF-α normal
TGFβ normal
IFN-γ normal
Plasentasi
terganggu
Plasentasi
normal
Pertumbuhan
janin
terhambat
Kehamilan
normal
= dilakukan penelitian
Selama kehamilan, sistem imun ibu selalu mengadakan kontak langsung
dengan sel dan jaringan janin yang bersifat semi alogenik. Gen HLA-E merupakan
27
versi dari gen major histocompatibility complex (MHC) yang diekspresikan pada
manusia, yang bertanggung jawab terhadap pengenalan limfosit, antigen dan
pengaturan system imun. Kemampuan trofoblas untuk melakukan invasi ke uterus
akan berkurang dan dihalangi untuk menginvasi uterus akan berkurang jika ekspresi
HLA-E menurun karena dianggap sebagai non self. Pada saat yang sama sel NK
maternal akan menghancurkan trofoblas yang kekurangan HLA-E ini. Tanpa invasi
trofoblas yang tepat maka arteri maternal tidak akan dibentuk ulang sehingga aliran
uteroplasenter menurun dan terjadi hipoksia/iskhemi plasenta yang menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat. Keadaan tersebut mendukung beberapa hipotesis
bahwa pertumbuhan janin terhambat disebabkan oleh abnormalitas pengenalan imun
lokal antara ibu dan janin pada uteroplasenta.
Pada awal kehamilan terdapat peningkatan jumlah leukosit dalam sel desidua
termasuk sel Natural Killer (NK) dan sitokin. Sel NK uterus yang diisolasi pada
trimester pertama desidua mensekresikan sitokin yang bersifat embriotoksik antara
lain TNF-α., TGFβ dan IFN-γ. Pada kehamilan normal, HLA-E berikatan dengan sel
NK melalui reseptor CD94/NKG2A ikut serta mempengaruhi pembentukan
trofoblas, implantasi plasenta, remodeling vaskuler, perkembangan janin dan
mempertahankan kehamilan dengan cara mencegah terjadinya ekspresi yang
berlebihan dari sitokin embriotoksik yang dihasilkan oleh sel NK.
Ekspresi HLA-E yang rendah pada suatu kehamilan akan meningkatkan
ekspresi sitokin tersebut sehingga mengakibatkan terhambatnya proses remodeling
dan invasi tropoblas sehingga akan dihasilkan penyempitan dan invasi yang dangkal
dan rapuh dari arteri spiralis hal ini merupakan salah satu teori imun yang dapat
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat.
28
G. Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan ekspresi HLA-E di trofoblas antara kehamilan normal dan
pertumbuhan janin terhambat. Ekspresi HLA-E di trofoblas pertumbuhan janin
terhambat lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal.
2. Ada perbedaan ekspresi sel NK di trofoblas antara kehamilan normal dan
pertumbuhan janin terhambat. Ekspresi sel NK di trofoblas pertumbuhan janin
terhambat lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan normal.
Download