OTONOMI DAERAH DAN DINAMIKA SPASIAL INVESTASI ASING

advertisement
OTONOMI DAERAH DAN DINAMIKA SPASIAL INVESTASI ASING LANGSUNG DI
INDONESIA TAHUN 2000-2012
Jamzani Sodik*
JJ. Sarungu**
Abstract
This paper analyzes the impact of regional autonomy on the disparity of foreign
investment in Indonesia. The method used is to Entrophy Theil Index and GIS analysis, which is
divided into two intervals ie, before the 1990-2000 regional autonomy, and after the 2001-2012
regional autonomy.
The results of the analysis before and after the regional autonomy shows that the pattern
of spread of foreign investment between the provinces in Indonesia tends to be spread with the
dispersal patterns shaped "U" upside down. This reflects that the spatial distribution pattern of
foreign investment uneven These findings provide the conclusion that decentralization has not
had a positive impact on the development of foreign investment in Indonesia.
Key Word : Investment disparity, regional autonomy, foreign investment, Entrophy Theil Index
and GIS
A. LATAR BELAKANG
Sejak tahun 1980-an wacana otonomi atau desentralisasi telah merebak ke berbagai
penjuru dunia. Berawal dari motivasi politik, reformasi desentralisasi pun diharapkan menjadi
sarana reformasi fiskal dan administrasi (Wonoadi, 2012).
Terdapat dua faktor pendorong perubahan peran pemerintah saat ini yang berlangsung di
hampir semua negara, yaitu adanya globalisasi dan desentralisasi. Desentralisasi dengan berbagai
variasinya merupakan kecenderungan umum di berbagai negara sebagai jawaban atas
permasalahan ketidakefektifan dan inefisiensi sektor pemerintah, ketidakstabilan makro
ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Desentralisasi sendiri bukanlah sesuatu yang
baik, ataupun buruk (World Bank, 1997, Sodik dan Nuryadin, 2005). Di sebagian besar negara,
desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial-budaya dan ekonomi.
Perubahan politik dan sosial-budaya terutama di negara-negara berkembang pada periode
tersebut diwarnai dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang
pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintah yang lebih dekat dengan rakyat.
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
1
Desentralisasi telah mendorong terjadinya pembagian kewenangan (authority sharing)
yang ditandai dengan semakin meningkatnya peran daerah dan inisiatif lokal (authonomy).
Meningkatnya tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah pada gilirannya akan mengakibatkan
perubahan peran, fungsi, kelembagaan, dan sumberdaya manusia di berbagai tingkatan
pemerintah.
Sehingga melalui kebijakan desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah dan
pemerataan pembangunan antar daerah dapat lebih terwujudkan. Namun demikian, sampai
dengan saat ini masih banyak perdebatan tentang efektivitas desentralisasi, khususnya tentang
pengaruhnya terhadap kinerja makro ekonomi daerah, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan,
inflasi dan juga pelayanan publik. Simanjuntak (2008) berpendapat bahwa bukti mengenai
manfaat dari desentralisasi fiskal terhadap tujuan-tujuan efisiensi ekonomi masih cenderung
kurang meyakinkan. Walaupun ada beberapa hasil studi yang memperlihatkan manfaat yang
positif dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, studi lainnya justru
memperlihatkan berbagai persoalan dalam pembangunan ekonomi muncul akibat desentralisasi.
(KADIN, 2012).
Terkait tujuan pembangunan ekonomi desentralisasi, investasi swasta memainkan
peranan yang sangat penting. Dalam konsep ekonomi neoklasik, investasi sangat diperlukan
untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan investasi juga akan
menciptakan peningkatan pendapatan dan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa.
Menurut Said (2008) dalam Badrudin (2012) terdapat empat perspektif yang mendasari
segi positif dan dan empat perspektif yang mendasari segi negatif dari otonomi daerah. Empat
perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah adalah sarana untuk demokrasi,
membantu meingkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah, mendorong stabilitas dan kesatuan
nasional, dan memajukan pembangunan daerah. Sedangkan empat perspektif yang mendasari
segi negatif otonomi daerah adalah menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan,
melemahkan kualitas pemerintah, menciptakan kesenjangan antar daerah/ketimpangan yang
lebih besar, memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar.
Desentralisasi fiskal memiliki peluang untuk meningkatkan kesenjangan antar daerah.
Dengan keragaman sumberdaya yang dimiliki, suatu daerah yang kaya akan semakin cepat
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
2
tumbuh dan berkembang sedangkan daerah yang miskin sumberdaya semakin tertinggal
(Dartanto dan Brojonegoro, 2003).
Berkaitan dengan salah satu dampak negatif dari kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yaitu terjadinya kesenjangan antar daerah, maka dalam penelitian ini ingin
melihat sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasai fiscal di Indonesia turut
andil
dalam
meningkatkan
disparitas/kesenjangan
investasi
yang
berakibat
pada
disparitas/kesenjangan pendapatan antar daerah Propinsi di Indonesia selama tahun penelitian
yaitu tahun 1990-2012
B. LANDASAN TEORI
Desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan
yang dilakukan daerah ada tiga variasi. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab
yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua delegasi
hubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat
untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan)
berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi, melainkan kewenangan untuk
memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah ( Bird dan Vaillancourt, 2000).
Semua itu bertujuan antara lain untuk : mengurangi beban pemerintah pusat dan propinsi
dalam menyediakan barang dan jasa publik, untuk menaikkan partisipasi masyarakat di dalam
perencanaan dan implementasi program pembangunan, melepaskan kegagalan dari pemerintah
pusat didalam menjamin ketersediaan barang dan jasa publik dan melepaskan perangkap
ketidakefektifan dan
ketidakefisienan pemerintah, ketidakstabilan makroekonomi, dan
ketidakmampuan pertumbuhan ekonomi dan reorganisasi pemerintahan untuk ongkos ketentuan
barang dan jasa publik (Vazquez dan McNab, 2001).
Secara ekonomi desentralisasi fiskal itu adalah baik. Desentralisasi fiskal pada pokoknya
akan mempertinggi efisiensi ekonomi secara keseluruhan sehingga lebih efektif di dalam
mengimplementasikan kebijakan dan perencanaan ekonomi, khususnya berhubungan dengan
pembangunan daerah atau pedesaaan. Argumen ini menjadi dasar dari sejumlah pemikiran yang
percaya bahwa desentralisasi pertama, menaikkan partisipasi masyarakat dan pengaruh di dalam
proses politik dan perencanaan ekonomi dan pembangunan, kedua, produsen lebih efisien artinya
pelayanan terhadap jasa lokal, ketiga, fasilitas yang terkoordinat atau perencanaan yang menyatu,
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
3
keempat, menaikkan kecepatan dan fleksibilitas pembuatan kebijakan pemerintah. Dengan kata
lain output propinsi lokal berbeda menurut selera lokal dan hasilnya akan mempertinggi keadaan
kesejahteraan sosial dibanding kalau yang menentukan pusat dan dengan tingkat output yang
lebih seragam (Oates, 1993; Philip and Woller, 1997).
Dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah berharap pemberhentian
ketergantungan anggaran pemerintah pusat. Tingkat ketergantungan terhadap anggaran adalah
berhubungan terbalik dengan PAD, selanjutnya ketergantungan yang kecil terhadap anggaran,
pemerintah daerah butuh desain dan penerapan semua kebijakan jangka pendek di dalam usaha
memperbaiki PAD. Usaha itu antara lain mengoleksi penerimaan daerah yang luas (retribusi dan
pajak); memperbaiki eksplorasi sumber daya alam, dan ini akan menarik investor asing (Abd.
Ghafar dan Hamzah, 2004).
Terkait tujuan pembangunan ekonomi desentralisasi, investasi swasta memainkan
peranan yang sangat penting. Dalam konsep ekonomi neoklasik, investasi sangat diperlukan
untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan investasi juga akan
menciptakan peningkatan pendapatan dan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa.
Iklim usaha yang kondusif sangat diperlukan bagi kegiatan produksi dan distribusi,
karena iklim usaha secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi opportunity cost
yang dihadapi pengusaha dalam berinvestasi. Iklim investasi yang kondusif akan mendukung
proses akumulasi modal melalui reinvestasi profit serta tingkat produktivitas yang tinggi karena
proses produksi dapat berlangsung secara efisien. Dengan demikian, dalam era desentralisasi,
upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama untuk mendorong
pertumbuhan investasi di daerah (KADIN, 2012).
C. TINJAUAN EMPIRIS
Studi Kelly Liu, et.al (2012) bahwa sejak reformasi China dan mengadopsi kebijakan 'up
terbuka' pada tahun 1979, investasi asing langsung (FDI) telah meningkat secara substansial. FDI
secara luas diakui sebagai salah satu dari faktor utama di balik pertumbuhan ekonomi di Cina,
untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, teknologi dan perbaikan dalam manajemen
pengetahuan melalui efek spill-over (Whally & Xin, 2010; Wei dan Liu, 2006; Liu, 2008; Yao,
2006). Namun tidak meratanya distribusi FDI di seluruh daerah memiliki kontribusi terhadap
disparitas ekonomi regional antara wilayah pesisir dan non-pesisir, yaitu timur laut, daerah
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
4
tengah dan barat (Chen, Ge & Lai, 2011). Pada tahun 1994, desentralisasi fiskal secara
substansial mengubah pengaturan kelembagaan antara pemerintah pusat dan daerah. Reformasi
fiskal mendefinisikan kembali pangsa pajak untuk pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
masing-masing, juga menjelaskan kerangka bagi hasil pajak antara kedua lembaga. Pemerintah
daerah kini diberikan hak untuk surplus fiskal yang dihasilkan dalam daerah. Oleh karena itu,
pejabat lokal memiliki insentif kuat untuk memulai pertumbuhan dalam rangka untuk
mendongkrak pendapatan tambahan (Chiang, 2010). Kebijakan tersebut menyebabkan
kesenjangan FDI menurun dari 24% pada tahun 1989 menjadi 13% pada tahun 2005. Perbedaan
besar dalam akumulasi FDI antar daerah yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan
pemerintah (OECD 2000). Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk membuat kebijakan
umum untuk menarik investasi asing langsung. Namun struktur politik tidak harus berarti bahwa
China terpusat dalam hal regulasi FDI. Disini, sebaliknya pemerintah provinsi memiliki kekuatan
lebih dari yang digunakan untuk berpikir tentang kegiatan investasi asing. Bahkan untuk lebih
menarik investasi asing pada tahun 2009, prosedur investasi asing di Cina dipersingkat, yang
membuat China lebih menarik bagi dunia. Rupanya, investasi asing langsung di China akan lebih
lokal daripada yang sudah sudah. Pejabat lokal akan memiliki insentif yang kuat untuk
mengawasi kontrak investasi asing sejak kinerja FDI secara langsung dapat mempengaruhi
penerimaan pajak dan anggaran operasional di tingkat provinsi (Chiang, 2010).
Studi dari Chidlow and Young (2008) di Polandia menunjukkan hasil yang berbeda
bahwa meskipun desentralisasi administrasi diperkenalkan oleh pemerintah pada Januari 1999,
kualitas dan alokasi FDI ke daerah-daerah masih tidak merata. Misalnya, daerah di barat, utara,
selatan dan pusat Polandia, adalah yang paling makmur dan telah menjadi daerah yang paling
sukses dalam menarik modal asing, sedangkan daerah yang lebih jauh ke timur terus menderita
investasi yang lebih rendah, pendapatan rendah dan pengangguran yang lebih tinggi (The
Economist Intelligence Unit, 2004).Temuan tulisan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah di
Polandia relatif telah menyebabkan perbedaan dalam daya tarik mereka ke dalam untuk investasi
asing, potensi eksploitasi daerah, dan pembangunan ekonomi.
Di Indonesia studi Wijayanto (2001) menunjukkan bahwa model alokasi investasi
regional dari R-T menjadi relevan untuk menjelaskan masalah disparitas alokasi investasi
regional di Indonesia, dan juga ditemukan bahwa sampai akhir masa PJPT tahap I, kondisi
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
5
alokasi investasi regional di Indonesia menunjukkan masih terjadinya kesenjangan. Studi yang
sama dari Sarungu (2008) dengan menggunakan tahun penelitian 1985-1995 (sebelum
pelaksanaan otonomi daerah) menunjukkan bahwa pola penyebaran investasi perkapita antar
propinsi cenderung semakin menyebar dengan pola penyebaran yang berbentuk U terbalik.
Untuk Pulau Sulawesi, penyebaran investasi perkapita cenderung memusat, sedangkan untuk
Pulau Jawa, penyebaran investasi perkapita cenderung memusat dengan pola berbentuk garis
yang menaik. Mendukung studi sebelumnya, studi dari Rofi (2015) menunjukkan bahwa
perusahaan asing di sektor manufaktur (IMB-PMA manufaktur) tidak menyebar secara merata di
Indonesia dan hanya terkonsentrasi di sebagian kecil di wilayah Indonesia. Tingginya
konsentrasi IMB-PMA manufaktur ini dibuktikan dengan indeks Hoover di tingkat kabupaten
yang mencapai 89,0 pada tahun 2006 (setelah pelaksanaan otonomi daerah).
KADIN
(2012)
melakukan
studi
mengenai
pengaruh
desentralisasi
terhadap
perkembangan investasi dan iklim usaha di daerah. Hasilnya pengaruh positif desentralisasi
terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Dengan membandingkan
perkembangan investasi pada periode sebelum (1990-2000) dan setelah desentralisasi (20012010). Studi ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu : 1) nilai riil investasi pasca desentralisasi
bertumbuh sangat lambat, sehingga
sehingga pertumbuhan nilai nominal investasi lebih
disebabkan karena inflasi; 2) kontribusi investasi terhadap PDRB pada periode setelah
desentralisasi relatif lebih kecil dibanding pada periode sebelum desentralisasi, menunjukan
kontribusi kegiatan produksi yang semakin kecil terhadap pendapatan daerah; 3) desentralisasi
juga tidak terbukti membuat ekonomi daerah lebih efisien, karena tidak ada perbedaan yang
signifikan antara nilai rata-rata ICOR pada periode sebelum dan setelah desentralisasi; dan 4)
iklim investasi terbukti berpengaruh positif terhadap kontribusi investasi terhadap PDRB,
sehingga penurunan rasio investasi terhadap PDRB pada periode setelah desentralisasi dapat
dijelaskan sebagai akibat dari iklim investasi di daerah yang belum kondusif.
C.1. Otonomi Daerah dan Perkembangan Investasi di Daerah
Salah satu elemen penting yang memperlebar kesenjangan ekonomi (disparitas) antar
daerah adalah arus masuk investasi, sebagai mesin pertumbuhan. Saat ini, daerah semakin
bervariasi satu sama lain untuk jumlah dari arus masuk investasi. Beberapa provinsi atau daerah
menyerap lebih banyak dari yang lain. Beberapa kebijakan telah dirancang untuk menarik
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
6
investor asing untuk datang ke daerah-daerah terpencil. Misalnya, paket deregulasi Oktober 1993
di masa Orde Baru dirancang untuk mendorong investasi industri baru. Namun, sampai dengan
tahun 2009, arus masuk investasi di Indonesia yang masih timpang. Pulau Jawa menarik hampir
65 persen dari investasi asing akumulatif dan 55 persen dari investasi domestik akumulatif dari
tahun 1983 sampai 2009. Sedangkan daerah lain, misalnya Pulau Kalimantan hanya menarik 4,5
persen untuk investasi asing dan hanya 11,5 persen utuk investasi domestik (Firdaus, 2010).
Data lima tahun terakhir dari tahun 2009-2013, menunjukkan bahwa arus masuk investasi
PMA di Indonesia sangat mencolok. Pulau Jawa menarik sejumlah 62,32 persen dari investasi
asing akumulatif senilai 43542,23 juta US$. Sedangkan daerah lain, misalnya Pulau Kalimantan
hanya mencapai 11,43 persen senilai 7987,94 juta US$. Pulau Sumatera mencapai 11,07 persen
senilai 7733,98 juta US$ dan Pulau Sulawesi mencapai 4,90 persen atau 3424,38 juta US$ (lihat
Tabel 1. dan Gambar 1.).
Tabel 1. Perkembangan Realisasi Investasi PMA berdasarkan
Pulau th 2009-2013 (US$ Juta)
2009
2010
2011
2012
2013
No
Lokasi
1 Sumatera
776.1
747.13
2076.56 3729.29
3395.35
2 Jawa
9370.5 11498.77 12324.54 13659.92 17326.38
3
4
5
6
7
Bali dan Nusa Tenggara
234.1
502.66
952.65
1126.55
Kalimantan
284.4
2011.45
1918.85 3208.65
Sulawesi
141.6
859.1
715.26
1507.03
Maluku
5.9
248.89
141.54
98.77
Papua
2.8
346.77
1345.14 1234.47
Jumlah Total
10815.4 16214.77 19474.53 24564.67
Sumber : Statistik Indonesia 2009-2013, diolah kembali.
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
Total
7733.98
43542.23
888.87
3513.87
2773.4
7987.94
1498.16
3424.38
321.23
583.2
2414.16
3080.37
28617.55
69865.97
7
Gambar 1. Perkembangan Realisasi PMA Menurut Pulau Th 2009-2013 (%)
Secara umum pulau Jawa lebih menarik investor PMA dibandingkan daerah lain karena
adanya daya tarik seperti ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, tenaga kerja yang
melimpah, transportasi dan jalur informasi yang relatif lebih baik. Perkembangan investasi untuk
PMA yang telah disetujui pada lima tahun terkahir yaitu tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa
PMA masih terkonsentrasi di wilayah Jawa, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan
Jawa Timur (lihat Tabel 2.dan Gambar 2.).
Tabel 2. Perkembangan Realisasi Investasi PMA Pulau Jawa
Th 2009-2013 (US$ Juta)
2009
2010
2011
2012
2013
Lokasi
DKI Jakarta
5510.8 6,429.30 4,824.10 4,107.70
2591.1
Jawa Barat
1934.4 1,692.00 3,839.40 4,210.70
7124.9
Jawa Tengah
83.1
59.1
175
241.5
464.3
D.I Y
8.1
4.9
2.4
84.9
29.6
Jawa Timur
422.1
1,769.20 1,312.00 2,298.80
3396.3
Banten
1412
1,544.20 2,171.70 2,716.30
3720.2
Total P. Jawa
9370.5 11498.77 12324.5 13659.92 17326.38
Sumber : Statistik Indonesia 1990-2000, diolah kembali.
No
1
2
3
4
5
6
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
Total
23,646.94
18,898.68
1,027.59
130.74
9,245.77
11,630.38
64,580.11
8
Gambar 2. Perkembangan Realisasi PMA di P. Jawa Th 2009-2013
D. METODE PENELITIAN
D.1. Teknik Analisa
D.1.1. Koefisien Theil (Indek Enthropy Theil)
Untuk mengukur variasi dan keragaman rata-rata alokasi investasi tersebut digunakan
koefisien Indeks Entrophy Theil (Kuncoro, 2013). Semakin besar nilainya, semakin timpang
penyebaran investasi menurut propinsi atau wilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa pola
penyebarannya semakin terpusat (concentrated) di propinsi atau wilayah tertentu. Sebaliknya,
jika nilainya semakin mendekati 0 maka pola penyebarannya cenderung semakin tersebar
(spread).
Indeks entrophy menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks
konsentrasi spasial yang lain. Keunggulan utama indeks ini adalah bahwa pada suatu titik waktu,
indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada
sejumlah daerah dan subdaerah dalam suatu negara. Dengan kata lain indeks ini mampu
mendekomposisi disparitas antar pulau dengan propinsi, antar propinsi dengan kabupaten/kota,
atau antar kabupaten/kota dengan kecamatan (Kuncoro, 2013).
Perhitungan koefisien Indeks Entrophy Theil dilakukan dua kali, yaitu : (1) sebelum
pelaksanaan otonomi daerah (1990-2000), dan (2) setelah pelaksanaan otonomi daerah (20012012). Perhitungan koefisien Indeks Entrophy Theil dilakukan dengan cara sebagai berikut:
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
9
Variasi alokasi investasi antar propinsi di seluruh wilayah di Indonesia
N
I ( y )   yi log
i 1
yi
N
(1.1)
I(y) adalah indeks entropi keseluruhan atas disparitas spasial investasi, yi adalah pangsa
propinsi i terhadap total investasi di Indonesia, N adalah jumlah keseluruhan propinsi yang ada
di Indonesia. Untuk mengukur disparitas spasial investasi antar pulau di Indonesia, kita dapat
memilah persamaan 1.1. ke dalam
R
I ( y)  Yr log
r 1
Yr
Nr / N
R
 y
y /Y 
I ( y)  Yr  i log i r 
Nr 
r 1
 ir Yr
(1.2)
dimana Yr adalah pangsa seluruh propinsi dalam pulau r; Nr adalah jumlah propinsi
dalam pulau r; dan R adalah jumlah keseluruhan pulau-pulau utama di Indonesia. Bagian
pertama dalam persamaan 1.2. mengukur disparitas investasi menurut pangsa pulau di Indonesia,
sedangkan bagian kedua mengukur derajat perbedaan dalam pangsa propinsi dalam masingmasing pulau, yang diberi bobot dengan pangsa keseluruhan pulau di Indonesia. Indeks
entrophy, termasuk dekomposisi ke dalam disparitas spasial antar pulau dan dalam satu pulau,
dihitung untuk 34 propinsi di Indonesia.
D.1.2. Geographic Information System (GIS)
Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat
GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial
(bereferensi keruangan), atau dalam arti yang lebih sempit adalah sistem komputer yang
memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi
berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah
database. Menurut sumber lain GIS adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja
dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi, atau dengan kata lain suatu GIS
adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang
bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan
Wiradisastra, 2000).
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
10
SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang
akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan
merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga
aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan
pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.
Pengukuran dengan metode SIG juga dilakukan dua kali, yaitu : (1) sebelum pelaksanaan
otonomi daerah (1990-2000), dan (2) setelah pelaksanaan otonomi daerah (2001-2012).
E.ANALISIS HASIL
E.1. Hasil Indeks Entrophy Theil
E.1.1. Sebelum Era Otonomi Daerah
Hasil indeks entrophy theil sebelum pelaksanaan otonomi daerah seperti pada table 3.di
bawah ini.
Tabel 3. Indeks Entrophy Theil Investasi Asing Sebelum OTDA
TAHUN
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
INDEKS ENTROPHY THEIL
0.198071522
0.349071654
0.329348574
0.176085268
0.2001158
0.165409661
0.053715809
0.15328229
0.176309311
0.364823974
0.279645617
Sumber : Data Diolah
Dari Tabel 3. menunjukkan bahwa indeks entrophy theil total memberikan indikasi
tingginya disparitas spasial investasi asing sebelum otonomi. Penemuan penting yang lain adalah
selama tahun 1990 sampai 2000 (era sebelum otonomi daerah) memiliki pola yang naik turun,
tahun 1990 sebesar 0.198071522, mulai tahun 1991-1992 mengalami kenaikan sebesar
0.349071654, kemudian mengalami penurunan terus sampai tahun 1998 menjadi 0.176309311
dan tahun 1999 mencapai puncaknya dengan indeks sebesar 0,364823974 (disparitas meningkat).
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
11
Kenaikan yang cukup besar dari tahun 1998 sampai tahun 1999 ini menunjukkan bahwa mulai
tahun 1999 perekonomian Indonesia sudah mulai pulih dari krisis, sehingga investasi mengalami
kenaikan sejalan dengan perbaikan kondisi ekonomi makro yang akibatnya adalah naiknya nilai
indek entrophy theil yang artinya bahwa disparitas investasi asing meningkat. Ini mencerminkan
bahwa pola penyebaran spasial investasi asing yang tidak merata di era sebelum otonomi daerah
(lihat gambar 3.)
Gambar 3. Tren Indeks Entrophy Investasi Asing Sebelum Otonomi daerah
Dari gambar 3. menunjukkan bahwa indeks entrophy theil pada tahun 1991 mengalami
kenaikan kemudian turun sampai puncaknya tahun 1996 dan naik lagi sampa tahun 2000.
sehingga membentuk huruf “U”. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren dispersi investasi asing
sebelum otonomi daerah secara spasial antar propinsi di Indonesia. Pada periode sebelum tahun
1996 memiliki pola yang menurun. Ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran investasi
asing di Indonesia. Dengan kata lain, sampai dengan tahun 1996 terdapat bukti bahwa
konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun pola sebaliknya terjadi antara tahun 1996 hingga
tahun 2000, dimana konsentrasi spasial cenderung meningkat. Bahkan mulai tahun 1998 terjadi
peningkatan yang cukup tajam.
E.1.2. Setelah Era Otonomi Daerah
Hasil indeks entrophy theil setelah pelaksanaan otonomi daerah seperti pada table 4.di
bawah ini.
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
12
Tabel 4. Indeks Entrophy Theil Investasi Asing Setelah OTDA
TAHUN
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
INDEKS ENTROPHY THEIL
0.100073509
0.221825819
0.160095834
0.165774496
0.098773605
0.081402352
0.154244317
0.352226712
0.275134404
0.11352115
0.20380914
0.171393299
Sumber : Data Diolah
Dari Tabel 4. menunjukkan bahwa indeks entrophy setelah era otonomi daerah
mengalami naik turun (fluktuatif), hal ini memberikan indikasi bahwa di era otonomi daerah,
masing-masing daerah/propinsi dalam penelitian ini sudah saling bersaing untuk mendapatkan
investor dalam artian daerah/propinsi sudah semakin sadar akan pentingnya investasi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Disini terlihat bahwa mulai tahun 2003-2007
mengalami penurunan (disparitas kecil), baru setelah itu yaitu tahun 2008 mengalami kenaikan
menjadi sebesar 0.352226712, dan mulai tahun 2009 mengalami penurunan sampai tahun 2010,
tahun 2011-2012 naik lagi dengan kenaikan yang kecil (lihat gambar 4.).
Gambar 4. Tren Indeks Entrophy Investasi Asing Setelah Otonomi daerah
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
13
Dari gambar 4. terlihat bahwa pola sebaran investasi asing setelah pelaksanaan otonomi
daerah juga mengalami fluktuatif seperti sebelum pelaksanaan otonomi daerah, tetapi dari tahun
ke tahun kenaikan dan penurunnya tidak begitu besar (disparitasnya lebih merata). Kenaikan
hanya terjadi pada tahun 2008 (posisi tertinggi) setelah pelaksanaan otonomi daerah. Pola
sebaran investasi asing dari tahun 2000 sampai tahun 2006 mengalami penurunan (disparitasnya
semakin merata). Kemudian mulai tahun 2006 naik sampai tahun 2008 (disparitasnya semakin
timpang). Mulai tahun 2008 turun lagi sampai tahun 2012 (disparitasnya semakin merata).
Ini terjadi dikarenakan setelah era otonomi daerah, daerah memiliki keluluasaan lebih
untuk menarik investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga masing-masing
daerah saling berlomba dalam menarik investor, dengan memasarkan daerahnya. Berdasarkan
studi KPPOD-BKPM tahun 2008, komitmen Pemda merupakan komponen utama yang
memberikan bobot terbesar dalam pembentukan iklim investasi di daerah. Komitmen Pemda
dalam upaya menciptakan kondusivitas sangat diperlukan untuk memberikan kepastian kepada
investor dalam memperoleh kemudahan berinvestasi dan ekspansi usaha.
E.2. Analisis Hasil SIG
Dalam (Fitriandi, et.al, 2013) investasi diakui sebagai faktor kunci pembangunan
ekonomi terutama bagi negara-negara berkembang; karena menyediakan sumber keuangan
utama untuk alih teknologi, praktek dan keterampilan organisasi dan manajerial, serta akses ke
pasar internasional. Disamping itu permodalan adalah masalah klasik bagi negara sedang
berkembang karena tidak mencukupinya tabungan domestik untuk membiayai pertumbuhan
ekonomi yang harus didorong cepat dalam rangka pencapaian target pembangunan.
Modal, merupakan aset yang sangat mudah untuk berpindah sesuai dengan kondisi dan
tempat yang paling menguntungkan. Untuk alasan itulah, maka pemerintah di negara sedang
berkembang membuat kebijakan yang diharapkan mampu mendorong dengan cepat aliran modal
baik asing maupun domestik untuk masuk dan meminimalkan aliran modal asing untuk keluar.
Peningkatan aliran masuk investasi tersebut sangat diperlukan di negara sedang berkembang,
mengingat negara sedang berkembang merupakan wilayah yang sedang mengalami pertumbuhan
yang cepat namun tidak diimbangi dengan akumulasi modal yang memadai.
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
14
Peran dari investasi di dalam perekonomian Indonesia yang demikian penting, menarik
untuk dikaji dari sisi dimensi spasial dan regional. Dari kajian tersebut diharapkan dapat
diketahui lokasi-lokasi investasi asing menurut pulau dan propinsi.
E.2.1. Hasil Analisis SIG Investasi Asing Sebelum Era Otonomi Daerah (1990-2000)
Distribusi (sebaran) investasi asing sebelum era otonomi daerah menurut pulau-pulau
utama (% dari total) pada tahun 1990 didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Kemudian lima tahun berikutnya yaitu tahun 1995 sudah mengalami perubahan yaitu didominasi
oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Maluku & Papua. Pergeseran ini terutama diakibatkan oleh
naiknya investasi asing di wilayah timur (Maluku dan Papua) lebih berorientasi sumber daya
atau asset (resource or asset seeking) karena wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam.
Sedangkan tahun 2000 bergeser lagi menjadi didominasi oleh tiga pulau yaitu Pulau Sumatera,
Bali, NTT dan NTB, kemudian diikuti oleh Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat di tabel 5.
Pergeseran ini terutama diakibatkan oleh naiknya investasi asing di Bali, NTT, dan NTB yang
bergerak di sektor pariwisata, dikarenakan Pulau Bali dan sekitarnya terkenal sebagai tujuan
wisata di Indonesia bahkan di dunia. Sehingga investasi ini bias dikategorikan investasi yang
berorientasi pasar (market seeking). Hal ini dapat dilihat pada table 5.
Tabel 5. Distribusi Investasi Asing Menurut Pulau Utama (%)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali, NTB dan NTT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Jumlah
Sumber : Data diolah
1990
10.32
73.13
6.97
8.01
1.54
0.04
100
1995
12.85
64.67
0.77
3.88
5.61
12.22
100
2000
49.99
19.90
25.74
2.28
1.20
0.88
100
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
15
Gambar 5. Peta Sebaran Investasi Asing Sebelum Otonomi daerah
Dari Gambar 5. sebaran investasi PMA sebelum pelaksanaan otonomi daerah (19902000) terlihat bahwa Pulau Jawa masih mendominasi, kemudian Pulau Sumatera dan perlahan
lahan pulau Papua dan Pulau Bali mulai menggeser dominasi tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa konsentrasi spasial investasi asing berdasarkan pulau masih didominasi oleh Pulau Jawa
yaitu propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur dan Sumatra yaitu propinsi Riau. Konsentrasi spasial
investasi asing sejalan dengan gambar 6. dimana terjadi bias ke Pulau Jawa sebagai pulau utama
dan Pulau Sumatera sebagai pulau utama ke dua. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian
Sarungu (2008) dieroleh hasil bahwa Pulau Jawa yang selama ini telah merupakan pusat daya
tarik investasi yang terbesar di Indonesia baik karena kebijakan pemerintah maupun karena
fasilitas infrastruktur ekonomi yang memungkinkan dibanding dengan wilayah lainnya, ternyata
semakin menunjukkan pola penyebaran investasi yang cenderung memusat. Firdaus (2010)
Investasi terbukti memainkan peran penting untuk mengatasi masalah disparitas regional.
pemerintah harus memberikan prioritas kepada beberapa upaya untuk menarik investasi asing
lebih ke provinsi. Beberapa daerah terpencil dan bagian timur dari Indonesia harus diberikan
insentif yang lebih besar karena kebijakan regional belum efektif untuk menarik investor asing.
Kebijakan tersebut adalah kebijakan preferensi pajak, kebijakan preferensial penggunaan lahan,
peningkatan investasi pemerintah dan daerah dalam memperluas investasi asing di daerah
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
16
terpencil dan bagian timur Indonesia. Pemerintah pusat harus memberikan lebih perhatian pada
pembangunan infrastruktur dan perbaikan Program pendidikan di daerah terpencil daerah dan
bagian timur Indonesia.
E.2.2. Hasil Analisis SIG Investasi Asing Setelah Era Otonomi Daerah (2001-2012)
Distribusi (sebaran) investasi asing setelah era otonomi daerah menurut pulau-pulau
utama (% dari total) pada tahun 2001 didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Bali, NTT dan
NTB. Kemudian lima tahun berikutnya yaitu tahun 2006 sudah mengalami perubahan yaitu
didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan untuk tahun 2012 masih
seperti tahun 2006 yaitu didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, bedanya hanya
untuk Pulau Kalimantan mengalami kenaikan dari semula 8,92 persen pada tahun 2006 menjadi
13,06 persen pada tahun 2012. Kenaikan presentase investasi asing di Pulau Kalimantan ini lebih
didominasi oleh investasi di bidang sumber daya alam. Karena daerah Pulau Kalimantan kaya
akan sumber daya alam terutama batubara, sehingga bisa dikatakan bahwa investasi asing di
Pulau Kalimantan ini lebih berorientasi pada sumberdaya atau asset (resource or asset seeking).
Hal ini dapat dilihat pada table 6.
Tabel 6. Distribusi Investasi Asing Menurut Pulau Utama (%)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali, NTB dan NTT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Jumlah
Sumber : Data diolah
2001
26.04
63.53
5.81
2.68
0.78
1.16
100
2006
14.74
73.91
1.83
8.92
0.26
0.34
100
2012
15.18
55.61
4.59
13.06
6.13
5.43
100
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
17
Gambar 6. Peta Sebaran Investasi Asing Setelah Otonomi daerah
Dari Gambar 6. sebaran investasi asing setelah pelaksanaan otonomi daerah (2001-2012)
terlihat bahwa Pulau Jawa tepatnya propinsi Jawa Barat, masih mendominasi, kemudian Pulau
Sumatera (propinsi Riau) dan Kalimantan (propinsi Kalimantan Timur). Pola sebaran investasi
asing setelah otonomi daerah tidak berbeda jauh dengan sebelum otonomi, yang menunjukkan
bahwa konsentrasi spasial investasi masih bias ke Pulau Jawa, sebagai pulau utama dan
kemudian diikuti pulau utama kedua Pulau Sumatera dan Kalimantan.
F. KESIMPULAN
Dari hasil analisis sebelum dan setelah otonomi daerah menunjukkan bahwa pola
penyebaran investasi asing antar propinsi di Indonesia cenderung semakin menyebar dengan pola
penyebaran yang berbentuk “U” terbalik. Temuan ini memberikan kesimpulan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak positif terhadap perkembangan investasi asing di
Indonesia. Hasil ini temuan sejalan dengan penelitian KADIN (2012) bahwa pengaruh positif
desentralisasi terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Dengan
membandingkan perkembangan investasi pada periode sebelum (1990-2000) dan setelah
desentralisasi (2001-2010).
Berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah
dapat memberikan insentif atau kemudahan bagi masyarakat dan penanam modal untuk
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
18
meningkatkan perekonomian sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip pemberian insentif
dan kemudahan-kemudahan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ini
berarti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menetapkan kemudahankemudahan investasi atau insentif yang diberikan kepada investor. Klausul ini kemudian
diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2008, yang menjadi pedoman
bagi Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (KPPOD,
2013: 12). Akibat dari kemudahan tersebut maka daerah dalam hal ini propinsi yang sudah maju
dan berkembang yang ditunjang oleh kondisi ekonomi yang baik maka akan menarik investor
yang tinggi dibandingkan daerah yang lain. Kondisi yang demikian inilah yang terjadi berdasar
analisis indeks entrophy theil bahwa setelah era otonomi daerah (2001-2012) terjadi disparitas
spasial investasi di Indonesia, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang berbeda dan
timpang antar daerah, yang akhirnya memicu disparitas pendapatan antar daerah di Indonesia.
G. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa selama lima belas tahun pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia masih adanya disparitas investasi PMA.
1. Perlunya pemerintah daerah terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi di daerah dan
melakukan berbagai reformasi kebijakan dan regulasi usaha.
2. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait pelimpahan wewenang berdasarkan
azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus jelas disertai dengan berbagai kebijakan
yang jelas pula, terkait Investasi sehingga tidak terjadi kebijakan yang tumpang tindih yang
akhirnya malah menjadi salah satu kendala bagi kelancaran arus investasi yang masuk ke
daerah.
3. Investor Asing harus melibatkan Pemerintah Daerah dalam proses awal sosialisasi Investasi
khususunya kepada masyarakat yang terkena dampak langsung. Hal ini dimaksudkan agar
investor mengetahui dan mengenal kondisi dan karakter masyarakat dilapangan. Pemerintah
Daerah harus dilibatkan sejak awal karena pemerintah daerah lebih mengenal apa, siapa dan
bagaimana kondisi alam, lingkungan dan masyarakat didaerahnya.
4. Daerah harus mempunyai kemampuan untuk menjual daerah yang didukung oleh terciptanya
iklim yang kondusif dan mendukung investasi di daerah seperti adanya jaminan keamanan
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
19
dan kepastian hukum bagi investasi di daerah. Pemda hendaknya juga mampu melahirkan
regulasi yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian yang mampu merebut investor
asing sekaligus memberdayakan investor lokal
5. Sejalan dengan studi Firdaus (2010) bahwa pemerintah harus memberikan prioritas kepada
beberapa upaya untuk menarik investasi asing lebih ke provinsi. Beberapa daerah terpencil
dan bagian timur dari Indonesia harus diberikan insentif yang lebih besar karena kebijakan
regional belum efektif untuk menarik investasi asing. Kebijakan tersebut adalah kebijakan
preferensi pajak, kebijakan preferensial penggunaan lahan, peningkatan investasi pemerintah
dan daerah dalam memperluas investasi asing di daerah terpencil dan bagian timur Indonesia.
Pemerintah pusat harus memberikan lebih perhatian pada pembangunan infrastruktur dan
perbaikan program pendidikan di daerah terpencil dan bagian timur Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ghafar b. Ismail, M. and Zilal Hamzah, (2004)“Fiscal Decentralization Generates
Economic Growth: Evidence from Province-level Cross-section Data for the Indonesia”,
Paper Seminar Akademik Tahunan I: “Perubahan structural dalam rangka Penyehatan
Ekonomi” , Penguatan Kebijakan Publik dalam Perspektif Nasional dan Global, 8-9
Desember, Jakarta.
Badrudin, R, (2012), “Ekonomika Otonomi Daerah” UPP STIM YKPN, Yogyakarta
Barus, B and Wiradisastra U.S. (2000),” Sistem Informasi Geografis: Sarana Manajemen
Sumberdaya”, Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, IPB.
Bird, M. Richard and Vaillancourt, Francois, (2000), “Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara
Berkembang”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Chidlow, A and Young, S. (2008),” Regional Determinants of FDI Distribution in Poland”,
William Davidson Institute Working Paper Number 943 November
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
20
Dartanto, T., dan Brodjonegoro Bambang, PS. (2003), “Dampak Desentralisasi Fiskal di
Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas antardaerah: Analisa Model
Makro Ekonometrika Simultan”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 4,
No. 1, hal. 17-38.
Firdaus, M. (2010), “Disparity of Investment Inflows Among Regions In Indonesia”, Economic
Journal of Emerging Market Economic Fakulty, Islamic Indonesia University, December,
(3) 237-250 )
Fitriadi, P, Kokinaka, and Koji Kotani. (2014), “Foreign Direct Investment and Infrastructure
Development in Indonesia : Evidence from provinsi level data”, Asian Journal Of
Empirical Research, No. 4, p. 79-94
KADIN, (2012), “Desentralisasi, Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha di Daerah”, Policy
Paper, No. 9 Oktober 2012
Kelly Liu, Kevin Daly & Maria Estela Varua. (2012),”Determinants of regional distribution of
FDI inflows across China’s four regions. International Business Research, 5(12), p.
1913-9012.
Kuncoro, M. (2013), “Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi”, UPP STIM
YKPN, Yogyakarta
Oates, Wallace E. “Fiscal Decentralization and Economic Development (1993)”, National Tax
Journal, Vol 46,
Phillip, K.L. and Woller, G. (1997),“Does Fiscal Decentralization Lead To Economic Growth?”,
International Economic Review. Vol 23.
Rofi, Abdur, (2015),” Perusahaan Asing Sektor Manufaktur di Indonesia : Dinamika Spasial
Dan Keputusan Lokasi Industri”, Desertasi Doktor, Program Studi Geografi Program
Pasca Sarjana, Fakultas Geografi, UGM, tidak dipublikasikan.
Sodik, Jamzani, dan Didi Nuryadin. (2005), “Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Indonesia (Studi Kasus pada 26 Propinsi)”, Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi UMY.Volume 6 No 2 Oktober 2005. ISSN 1411-9900,
Terakreditasi Nomor 23a/DIKTI/KEP./2004
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
21
Sidik, M.(2002),“Kebijakan Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah” , Edisi Revisi, Makalah, Yogyakarta.
The World Bank, (1997), “ The State in The Changing World”, World Developmnet Report.
Vazquez, J. M and McNab. Robert. M. (2001),“ Fiscal Decentralization and Economic Growth”,
Wijayanto, B. (2001), “Disparitas Alokasi Investasi Regional di Indonesia (Studi Cross-Section
pada tahun 1996)”, Jurnal Dian Ekonomi, Vol. VII, No.1, p. 1-18
Wonoadi, G.L. (2012), “ Wacana Desentralisasi : Pengalaman Indonesia dan China”, Jurnal
Hubungan Internasional, Vol. 1, No. 1, April
Yuah-Hsin (Rita) Chiang. (2010),” FDI location choice at provincial China”, International
Review of Business Research Papers, 6(5). p. 274-292.
* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta
** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta
22
Download