Luly Nugraheni E1A008137

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban dunia semakin hari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan dimana selalu membawa perubahan dalam setiap
sendi
kehidupan
tampak
lebih
nyata.
Proses
perkembangan
serta
pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat,
selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat
yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah
peningkatan kejahatan yang meresahkan masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupan. Seiring dengan hal tersebut, bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut
mengikuti perkembangan. Kejahatan masa kini tidak lagi selalu menggunakan
cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan
perjalanan usia bumi ini. Dapat dicontohkan seperti, kejahatan dunia maya
(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Teori yang mengatakan bahwa hanya pada masyarakat miskin terjadi
kejahatan sudah tidak berlaku lagi. Karena pada era globalisasi dewasa ini
semakin banyak muncul kejahatan baru, khususnya di lingkungan birokrasi
2
dan perusahaan-perusahaan termasuk bank-bank. Kejahatan bentuk baru ini
dinamakan white collar crime.1
Fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di berbagai
belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana yang lainnya karena dampak dari tindak pidana ini
dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Tindak pidana ini tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Tindak pidana ini dapat
membahayakan
stabilitas
dan
keamanan
masyarakat,
mebahayakan
pembangunan sosial ekonomi, politik, serta moralitas. Masalah korupsi ini
sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara
tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu
bangsa.Korupsi juga merupakan kejahatan yang dikelompokan sebagai
kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Alasan Korupsi disebut sebagai
kejahatan luar biasa adalah karena pelaku tindak pidana korupsi adalah orangorang yang memiliki intelektual dan berpendidikan tinggi sehingga
berdampak pada rumit dan sulitnya pembuktian perkara. Akibatnya tidak
sedikit pelaku korupsi lolos dari jeratan hukum.
Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia
belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada
dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
1
Baharudin Lopa, Kejahatan korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2001, hlm.35
3
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa
setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak
korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru
memperoleh kemerdekaan.
Praktik korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan akut. Telah
banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan.
Korupsi di Indonesia terus menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun.
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dalam jumlah
kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan secara sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sejarah
korupsi di Indonesia
dari tahun ke
tahun
mengalami
perkembangan.Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan dan wanita. Budaya yang sangat tertutup dan penuh
“keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak
jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti”
(pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya
oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di
Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup
(walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Setelah merdeka, bangsa Indonesia
4
mempunyai kemerdekaan politik, kebebasan ekonomi dan budaya, dan sejak
itulah pemerintahan ada di tangan bangsa Indonesia itu sendiri tetapi hukum
yang berlaku masih menggunakan hukum peninggalan Belanda. Status
kepegawaian pada masa itu masih kacau dan belum tegas dan banyak terjadi
penyelewengan oleh oknum-oknum tertentu.
Pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, sedangkan pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah sangat
membudaya. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi
total terhadap Orde lama serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, tetapi yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi
Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil surve Transparency
International Indonesia (TII)2 menunjukan, Indonesia merupakan negara
paling korup nomor 6 dari 133 negara. Peringkat itu disebabkan oleh
korupsi dari level atas ke bawah yang begitu menjamur di Indonesia.Fakta
lain mengenai penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu
budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, tetapi
lebih mementingkan status sosial si koruptor dengan melihat
kekuasaanpolitik atau kekuatan ekonominya. Praktek penegakan hukum
seperti ini bertentangan dengan kaidah prasyarat bernegara hukum.3
Korupsi dapat diartikan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang pegawai negeri atau orang lain yang bertindak mempengaruhi dan
2
3
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.2
Ibid, hlm.4
5
atau menyuap pegawai negeri tersebut dan dapat merugikan keuangan negara
atau daerah atau mengacaukan perekonomian negara. Pemegang kekuasaan
maupun jabatan di suatu daerah atau negara pun lebih cenderung melakukan
tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi
yang menyeret nama-nama pejabat penyelenggara negara yang mayoritas
adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banyak tokoh masyarakat yang telah mensinyalir bahwa korupsi dan
komersialisasi jabatan telah menjalar di segala bidang, dan dilakukan baik di
kalangan atas maupun bawahan. Terlebih lagi mengingat kenyataan adanya
tendensi hubungan erat antara atasan dan bawahan dalam menyalahgunakan
jabatan itu. Walaupun seorang pegawai negeri ketika akan memangku
jabatannya telah mengangkat sumpah jabatan, tetapi dalam kenyataan sumpah
jabatan itu tidak banyak menolong.4
Meskipun mendapatkan berbagai tunjangan dan fasilitas, ternyatamasih
banyakPNS yang terlibat kasus hukum.Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mencatat ada 1.091 PNS yang terkena kasus hukum dari
tahun 2010 hingga 2012.Berdasarkan data dari tahun 2004, bahwa ada 241
kepala daerah dan 2.500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) yang terlibat kasus hukum pidana, dengan kasus terbanyak adalah
kasus korupsi.5
Status PNS yang terlibat kasus korupsi telah banyak sudah mendapat
putusan Pengadilan. Status mereka saat ini ada yang sudah pensiun dan ada
yang
diberhentikan.
Masing-masing
memiliki status
yang berbeda-
bedamenyesuaikan jenis tindak pidana korupsi yang mereka lakukan.PNS
yang terbukti melanggar pasal tentang korupsi telah banyak dinyatakan
4
Victor.M.Situmorang, Tidak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm.9
http://www.beritasatu.com/nasional/85448-lebih-dari-1000-pns-terlibat-kasus-hukum.html,
tersedia: 28 November 2012
5
6
bersalah dan mendapatkan penjatuhan pidana dari hakim berupa pidana
pokok dan pidana tambahan.Pada prinsipnya pidana tambahan tidak dapat
dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya
hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok.
Barda Nawawi Arief6, mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :
1.
2.
3.
Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang
bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam
Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan;
Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses dan kebijakan yang kokretasinya sengaja
direncanakan melalui 3 (tiga) tahap.Agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
Perumusan tujuan pemidanan dimaksudkan sebagai fungsi
pengendalian kontrol dan sekaligus memberikan landasan filosofis,
dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang
dewasa ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemidanaan yang baru,
melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis beberapa
abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar
pembenaran dari suatu pemidanaan baik yang melihat pemidanaan sematamata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan
pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan yang ingin dicapai dengan
pemidanaan itu sendiri. 7
6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hlm.88.
7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hal. 1.
7
Masalah penentu kebijakan penetapan jenis sanksi dalam Hukum Pidana
Indonesia tidak terpisah dari permasalahan penetapan tujuan yang ingin
dicapai dalam pemidanaan. Tujuan pemidanaan tersebut juga tidak harus
terlepas dari tujuan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
intisarinya terdapat dalam dasar negara yaitu Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian sebuah kasus korupsidengan judul PENERAPAN PIDANA
TAMBAHAN
TERHADAP
PEGAWAI
NEGERI
SIPIL
(Studi
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Pengadilan Negeri
BanyumasNomor :46/Pid.B/2009/PN.Bms).
B. PerumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan:
a. Bagaimana penerapan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999dalam putusan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku
tindak
pidana
46/Pid.B/2009/PN.Bms?
korupsi
dalam
putusan
nomor
:
8
C. TujuanPenelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan pidana tambahan terhadap Pegawai
Negeri Sipil pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999dalam putusan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms.
2. Untuk
mengetahui dasar
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku
tindak
pidana
korupsi
dalam
putusan
nomor
:
46/Pid.B/2009/PN.Bms.
D. KegunaanPenelitian
Kegunaan penelitian ini yaitu, antara lain:
1. Kegunaan teoritis yaitu mengkaji Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam menghadapi masalah korupsi yang
marak terjadi di Indonesia dan menambah pengetahuan para pembaca
mengenai masalah korupsi.
2. Kegunaan praktis yaitu dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi masyarakat pada umumnya agar ikut serta dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu untuk bahan kajian
dan referensi mengenai adanya penerapan pidana tambahan terhadap
PNS pelaku tindak pidana korupsi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Objek studi ilmu hukum pidana adalah hukum positif, norma-norma, dan
sanksi hukum pidana yang nyata berlaku. Ilmu hukum harus menerangkan,
menganalisis dan mensistematisasikannya dalam rangka penerapannya secara
tepat. Selain itu, ilmu hukum pidana juga harus mampu memunculkan asasasas maupun unsur-unsur yang melandasi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Di samping tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ada beberapa macam tindak pidana yang aturan
hukumnya berada di luar KUHP dan biasa disebut sebagai “tindak pidana di
luar KUHP” atau “tindak pidana khusus”. Tindak pidana di luar KUHP terdiri
dari beberapa tindak pidana lainnya8, dan korupsi adalah salah satu tindak
pidana khusus. Namun, walaupun disebut sebagai tindak pidana di luar
KUHP, pengaturan dalam KUHP masih digunakan khususnya pasal-pasal
yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pendapat para sarjana tentang isi dari pengertian tindak pidana pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua pandangan, yaitu :
8
WantjikSaleh, TindakPidanaKorupsidanSuap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm.25
10
1) Pandangan Monistis, yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat
untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari
perbuatan.
2) Pandangan
Dualistis,
yaitu
mengadakan
pemisahan
antara
dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana
(criminal
act
atau
actus
reus)
dan
dapat
dipertanggungjawabkannya si pembuat (adanya mens rea).
Istilah tindak pidana merupakan pengganti istilah “strafbaar feit” yang
digunakan dalam hukum pidana Belanda, yakni dalam WvS Belanda. Dengan
dianutnya asas konkordansi oleh hukum pidana Indonesia terhadap hukum
pidana Belanda, maka istilah strafbaarfeit juga berlaku dalam tata hukum
pidana Indonesia.
Secara etimologi strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu straf yang berarti
pidana, baar yang berarti dapat atau boleh, dan feit yang berarti perbuatan.
Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf diterjemahkan
juga dengan kata hukum, sehingga apabila dirangkai secara utuh, istilah
strafbaar feitakanbermakna perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan penjabaran istilah di atas, pembentuk undang-undang
Belanda tidak mengggunakan istilah “perbuatan” atau “tindak” (handeling),
melainkan
“fakta” (feit-tindak pidana).
Penggunaan
istilah
tersebut
dikarenakan pengertian feit mencakup omne quod fit, artinya keseluruhan
11
kejadian (perbuatan), baik yang bersifat positif (aktif), negatif (pasif),
termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan. 9
Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan
Simons sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto menyatakan bahwa
strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.10
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa strafbaarfeit
mengandung unsur:
a. perilaku manusia (gedragingen);
b. diancam dengan pidana;
c. bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid);
d. berhubungan dengan kesalahan (schuld);
e. dilakukan
oleh
orang
yang
mampu
bertanggung
jawab
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.11
Menurut M. Haryanto, perumusan strafbaar feit sebagaimana telah
dijabarkan di atas akan menimbulkan konekuensi, yaitu:
9
Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 85.
10
M. Hariyanto, Strafbaar Feit, Perbuatan Pidana, Tindak
Pidana,http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambangpoernomo.html, diakses tanggal 1 Maret 2013.
11
Ibid.
12
“istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk mengetahui orang
bersalah atau
tidak, melawan hukum atau tidak, dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian
perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku”12
Penggunaan kata pengganti istilah strafbaar feit dalam tata hukum pidana
Indonesia tidak ada keseragaman yang disebabkan karena
belum ada
penjelasan yang resmi mengenai definisi istilah tersebut. Dengan kondisi
yang demikian, para ahli hukum mencoba untuk merefleksikan (memberikan
arti dan isi) istilah strafbaar feit untuk memperoleh gambaran mengenai
istilah tersebut.
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah
strafbaar feit adalah sebagai berikut.
a. Tindak pidana
Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi yang digunakan
dalam hukum pidana Indonesia. Hampir seluruh perundang-undangan
pidana menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (diganti dengan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002), Undang-Undang Nomor 11
PNPS 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), dan
perundang-undangan lainnya.
12
Ibid.
13
Ahli hukum yang menggunakan istilah tindak pidana antara lain Jan
Remmelink dan Wirjono Prodjodikoro. Menurut Jan Remmelink tindak
pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya
dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan
sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. 13 Sedangkan menurut
Wirjono Prodjodikoro tindak pidana adalah tindakan yang melanggar
berbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut
terdiri dari tiga jenis yaitu kepentingan individu-individu, kepentingan
masyarakat, kepentingan Negara.14
b. Peristiwa pidana
Istilah peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti
R. Tresna, H.J. Van Schravendijk, Zainal Abidin, Utrecht. E. Menurut
R. Tresna dalam Adami Chazawi peristiwa pidana adalah suatu
perbuatan atau serangakaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 15Utrecht
dalam Leden Marpaung menggunakan istilah “peristiwa pidana karena
yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.16
13
Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 61.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Rafika Aditama,
Bandung, 2003, hal.16.
15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hal.72-73.
16
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hal. 7
14
14
Menurut
Adami Chazawi kata “peristiwa” menggambarkan
pengertian yang luas, yakni mencakup pada seluruh keajadian yang
tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi
juga oleh alam. Sedangkan dalam hukum pidana, suatu peristiwa baru
dikatakan penting apabila diakibatkan oleh perbuatan manusia. 17
c. Delik
Kata “delik “ berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam
bahasa Jerman disebut delict, dalam bahsa Perancis disebut delit dan
dalam bahasa Belanda disebut delict.18Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.19
Beberapa ahli hukum pidana menggunakan istilah “delik” dan masingmasing memberi definisi sebagai berikut.20
1) Vos
Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan
undang-undang.
2) Van Hammel
Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang
lain.
3) Simons
Delik dalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.
d. Pelanggaran pidana
17
Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.69.
Leden Marpaung, 2008, Op. Cit., hal. 7.
19
Ibid.
20
Ibid., hal. 8.
18
15
Istilah “pelangaran pidana” digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja
dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana.
e. Perbuatan yang boleh dihukum
Istilah “perbuatan yang boleh dihukum” digunakan oleh Karni
dalam buku Ringkasan tentang Hukum Pidana dan Schravendijk dalam
buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia.
Menurut Schravendijk sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi
mengatakan bahwa perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan
orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga
kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh orang yang
karena itu dapat dipersalahkan.21
f. Perbuatan yang dapat dihukum
Istilah “perbuatan yang dapat dihukum” terdapat dalam UndangUndang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
g. Perbuatan pidana
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” dan memberi
makna perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.22
Menurut Moeljatno Penggunaan istilah perbuatan pidana lebih tepat
dengan alasan sebagai berikut.23
21
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 69.
M. Hariyanto, Loc. Cit.
22
23
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.71
16
1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia,
yaitu suatu kejadian atau keadaan ang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,
sementara ancaman pidananya ditujukan pada orangnya.
2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orannya), ada hubungan yang erat.
Oleh Karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang
yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula.
3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih
tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengetian abstrak
yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu kejadian tetentu
(perbuatan) dan adanya yang berbuat atau yang menimbulkan
kejadian itu.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, dimana terhadap pelanggarnya
diancam dengan pidana.
1) Simons
Dalam rumusan straafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.
2) E. Utrecht
Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang
sering disebut juga delik. Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur oleh hukum.
3) Pompe
Straafbaarfeit secara teoritis dapat sebagai suatu pelangaaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja
17
atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
4) Moeljatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang
mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus
ada unsur-unsur perbuatan (manusia), memenuhi rumusan dalam
undang-undang (syarat formil), Bersifat melawan hukum. Syarat
formil harus ada, karena asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana merupakan hal mutlak
yang harus dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam upaya penegakan
hukum pidana. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat diketahui apakah
suatu perbuatan/ tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau
tidak.
Terhadap unsur tindak pidana (delik), terdapat perbedaan istilah.
Tirtaamidjaja menggunakan istilah “elemen-elemen” sedangkan E. Utrecht
menyebutnya dengan istilah “anasir-anasir”. Namun demikian, istilah yang
digunakan pada umumnya adalah “unsur-unsur.”
Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana (delik) terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
18
a. Unsur Subjektif
Unsursubjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman bila tidak ada
kesalahan” (An act does not make a person guilty uless the mind is
guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).24 Kesalahan yang
dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri
dari 3 (tiga) bentuk, yakni:
1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheids
bewustzijn);
3) kesengajaan
dengan
keinsafanakan
kemungkinan
(dolus
evantualis).
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan.
Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:
1) tak berhati-hati;
2) dapat menduga akibat perbuatan itu.
b. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:
1) Perbuatan manusia, berupa:
a) act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
24
Ibid., hal.9
19
b) omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat
tersebut
membahayakan
atau
merusak,
bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan dansebagainya.
3) Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain:
a) keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b) keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Berbeda dengan pendapat di atas, Satochid Kartanegara sebagaimana
telah dikutip oleh Adami Chazawi, unsur delik terdiri atas unsur subyektif
dan unsur obyektif. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu berupa:25
a. suatu tindakan;
b. suatu akibat;
25
Ibid., hal.10
20
c. keadaan (omstandingheid);
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat
berupa:26
a. kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid);
b. kesalahan (schuld).
Sama halnya dengan 2 (dua) pendapat sebelumnya, Lamintang dalam
Leden Marpaung membagi unsur tindak pidana (delik) menjadi 2 (dua), yakni
unsur subyektif dan unsur obyektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan
sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di
dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang
dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan”27
Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsurunsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.28
a. sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;
b. kualitas dari si pelaku;
c. kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
26
Ibid.
Ibid., hal.11.
28
Ibid.,hal. 10
27
21
Ketika dikatakan bahwa tindak pidana atau yang juga dikenal dengan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
barangsiapa yang melakukannya, maka unsur-unsurnya meliputi beberapa
hal, yaitu:
a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang
berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh
hukum.
b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan
hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil.
c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya
kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.
Dalam unsur yang ketiga, terkait dengan beberapa hal yang wujudnya
berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada
dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku
perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan
sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang
memberatkan pemidanaan. 29
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:30
a. Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan
kejahatan
(misdrijven)
dan
pelanggaran
(overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat
tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang,
melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang
sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undangundang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu
perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam
29
30
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika,2011, hlm.100
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hal. 56.
22
b.
c.
d.
e.
f.
undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah
undang-undang.
Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran
hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian
akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini
kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat
dibandingkan dengan pelanggaran.
Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil
(materiel delicten)
Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti
larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan
tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya
suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan
dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti
larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang.
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian
(culpose delicten)
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung unsure culpa.
Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana
pasif/negatif (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak
pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang
yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum
untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif)
perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya.
Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus
Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam
waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten.
Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu
masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende
delicten.
Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak
pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi tersebut.
23
g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia
(delicta propia)
Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu.
h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten)
Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses
penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya
penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan,
untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk
terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak.
i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige
delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana
semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan;
2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu
tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali
unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk
pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat
memberatkan;
3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak
pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsurunsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya
atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang
bersifat
meringankan.
j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi
Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri
dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu
(individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale
belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen).
Sistematika pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP
didasarka pada kepentingan hukum yang dilindungi tersebut.
k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde
delicten)
Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang
selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup
dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan
tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat
dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang.
24
B. Tindak Pidana Korupsi
Persepsi mengenai tindak pidana korupsi belum sepenuhnya sama, karena
penafsiran terhadap makna tindak pidana korupsi sering dikaitkan dengan
kepentingan anggota masyarakat. Ada yang tidak jelas bagi pengetahuan
publik, apakah itu korupsi, penyalahgunaan atau ketidaktahuan. 31
1. Istilah dan Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para
pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Meskipun
kata corruptio itu luas sekali artinya, tetapi corruptio dipersamakan
artinya dengan penyuapan seperti yang disebut dalam Enslikopedia Grote
Winkler Prins.32
Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
1) Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok
dan sebagainya.
3) Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai
kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).
4) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya);Koruptor (orang yang korupsi).
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1) Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara
dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999;
31
Surachmin, dkk, Strategi & Teknik Korupsi, Jakarta:Sinar Grafika, 2011
TheodorusM.Tuanakotta, MenghitungKerugianKeuangan Negara dalamTindakPidanaKorupsi, Jakarta:
SalembaEmpat, 2009, hlm.24
32
25
2) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara
langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara,
sebagaimana dirumuskan dalam pasal (3) UU No.31 Tahun 1999;
3) Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Menurut Subekti dan Tjitrosudibyo dalam Kamus Hukum, yang
dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana
yang merugikan keuangan negara. Baharuddin Lopa mengutip
pendapat David M. Chalmers menguraikan arti istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yakni yang mnyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi dalam bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum.33
Manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan
perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi. Dikatakan pula oleh
Baharudin Lopa34, pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian
hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak
keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang
merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa
pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi.
Bentuk korupsi lain yang diistilahkan political corruption (korupsi politik)
adalah korupsi pada pemilihanan umum, termasuk memperoleh suara dengan
uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimdasi, dan
campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan
melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau
keputusan yang menyangkut pemerintah.
33
34
Op cit, evi hartanti, hlm.9
Ibid
26
Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan
publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok
tertentu. Tindak pidana korupsi secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan
(extraction), dan nepotisme (nepotism).
Selain merugikan keuangan negara, tindak pidana korupsi juga merugikan
masyarakat. Kejahatan korupsi yang demikian jika dibandingkan dengan
anatomi kejahatan ekonomi yakni penyamaran atau sifat tersembunyi maksud
dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent), keyakinan si pelaku
terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the
ingenuity or carelesne of the victim), penyembunyian pelanggaran
(concealement of the violation). Selain tu, tindak pidana korupsi termasuk
dalam tindak pidana yang merugikan perekonomian negara karena pelaku
tindak pidana korupsi biasanya menggunakan hasil korupsinya untuk
kepentingan pribadi.35
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum tentang korupsi, dalam hal ini adalah
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantaan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2001,
korupsi juga mendasarkan atas ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan
35
Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5329, tersedia : Januari 2010
27
atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pertimbangan utama
ditetapkannya undang-undang tersebut adalah bukan karena untuk melindungi
asas yang memisahkan kekuasaan pejabat/penyelenggara negara dengan
kepentingan pribadi pejabatnya36, tetapi karena tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional. Selain undang-undang tersebut di atas,
Ciri-ciri Korupsi dalam hal ini sebagai tindak pidana, dijelaskan oleh Shed
Husein Alatas37dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut:
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan.
- Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan
mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif
korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.
- Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
- Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan
oleh badan publik atau umum (masyarakat).
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.38
3. Pembagian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya mengatakan: Tindak pidana
korupsi dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No. 20/2001 dirumuskan dalam
Pasal: 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, 23 (menarik Pasal
220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44
36
Boesono Soedarso, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, Jakarta: UI-Press,
2009, hlm.177
37
Evi Hartanti, Op Cit, hlm.10
38
Evi Hartati, Op Cit hlm.10
28
rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan
dan dikelompokkan sebagai berikut:
3.1 Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
3.1.1 Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut
keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan
tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat
publik. Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal
dibentuknya tindak pidan korupsi kelompok ini dapat dibedakan lagi
menjadi empat kelompok, yaitu:
a) Tindak pidana korupsi yang dibentuk dengan substansi untuk
melindungi kepentingan hukumterhadap keuangan negara dan
perekonomian negara, dimuat dalam Pasal 2, 3, dan 4.
b) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan
pekerjaan pegawai negeri atau orang-orang yang pekerjaannya
berhubungan dan menyangkut kepentingan umum, dimuat
dalam Pasal: 220, 231 KUHP, dan Pasal 5 (mengadopsi dari
Pasal 209 KUHP), serta Pasal 6 (mengadopsi dari Pasal 210
KUHP).
c) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau
orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang dari
perbuatan yang bersifat menipu, dirumuskan dalam Pasal 7 yang
rumusannya mengadopsi dari rumusan Pasal 387 dan 388
KUHP.
d) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum mengenai terselenggaranya tugas-tugas
publik atau tugas pekerjaan pegawai negeri. Hal ini menyangkut
kepentingan umum dari penyalahgunaan kewenangan dan
sarana karena pekerjaan atau jabatan yang dimilikinya sebagai
pegawai negeri atau berkedudukan dan tugasnya untuk
kepentingan umum, antara lain dirumuskan dalam:
- Pasal 8 (mengadopsi Pasal 415 KUHP)
- Pasal 9 (mengadopsi Pasal 416 KUHP)
- Pasal 10 (mengadopsi Pasal 417 KUHP)
- Pasal 11 (mengadopsi Pasal 418 KUHP)
- Pasal 12 (mengadopsi Pasal 419 KUHP).
Tindak pidana kelompok ini merupakan kejahatan jabatan,
artinya subjek hukumnya pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri (disamakan dengan pegawai negeri) yang menjalankan tugas-
29
tugas pekerjaan yang menyangkut kepentingan publik dengan
menyalahgunakan jabatannya.
3.1.2 Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang
substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap
kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak
hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak
pidan yang dimaksud diatur dalam Pasal 21, 22, dan 24.
3.2 Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
3.2.1 Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang
termasuk korporasi. Tindak pidana korupsi ini dirumuskan dalam pasalPasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP
jo Pasal 23.
3.2.2 Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara
Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana
korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat
dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau
penyelengaara negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu
semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Orang yang bukan pegawai negeri tidak dapat melakukan tindak pidana
korupsi pegawai negerri ini. Di sini kualitas pegawai negeri merupakan
unsur essensalia tindak pidana. Rumusan tindak pidana ini terdapat
dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan 23 (mengadopsi Pasal 421, 422,
429, 430 KUHP) UU No. 31 Tahun 1999. Tindak pidana ini termasuk
dalam tindak pidana jabatan atau dapat disebut sebagai kejahatan
jabatan khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan dalam
pasal-pasal Bab XXVIII Buku II KUHP yang tidak ditarik atau
dirumuskan ke dalam tindak pidana korupsi.
3.3 Atas Dasar Sumber
3.3.1 Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP
Tindak pidana korupsi ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001, rumusan
tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana
dalam KUHP, dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12.
30
b) Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal
tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana
korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem
pemidanannya. Yang termasuk dalam tindak pidana ini
dirumuskandalam Pasal 23 yang merupakan hasil saduran
dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 menjadi tindak
pidana korupsi.
3.3.2 Tindak Pidana yang oleh UU No. 31 Tahun 1999 diubah dengan
UU No. 20 Dirumuskan Sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana asli yang dibentuk
oleh UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Yang termasuk
dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24.
3.4 Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak
Pidana
3.4.1 Tindak Pidana Korupsi Aktif atau Tindak Pidana Korupsi Positif
Tindak pidana korupsi ini ialah tindak pidana yang rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa
disebut juga perbuatan jasmani. Tindak pidana ini terdapat dalam pasalpasal antara lain:
a) Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang lain,
atau suatu korporasi);
b) Pasal 3 yang perbuatannya (a) menyalahgunakan kewenangan;
(b) menyalahgunakan kesempatan; dan (c) menyalahgunakan
sarana;
c) Pasal 5:
- ayat (1) sub a perbuatannya (a) memberi sesuatu; (b)
menjanjikan sesuatu; dan
- ayat (1) sub b memberi sesuatu
- ayat (2) perbuatannya menerima pemberian;
d) Pasal 6:
- ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya (a) memberi
sesuatu, atau (b) menjanjikan sesuatu
- ayat (2) perbuatannya (a) menerima pemberian atau (b)
menerima janji;
e) Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang;
f) Pasal 8 perbuatannya menggelapkan;
g) Pasal 9 perbuatannya memalsu;
h) Pasal 10:
- sub a perbuatannya (1) menggelapkan, (2) menghancurkan,
dan (3) membuat tidak lagi dipakai
- sub b perbuatannya membantu orang lain;
31
i) Pasal 11 perbuatannya (1) menerima hadiah atau (2) menerima
janji;
j) Pasal 12:
- sub a, b, c, dan d perbuatannya (a) menerima hadiah atau
(b) menerima janji
- sub e perbuatannya (1) memaksa memberikan sesuatu, (2)
memaksa meminta, (3) memaksa membayar dengan
potongan
- sub f perbuatannya (1) meminta pembayaran, (2)
memerima pembayaran, (3) memotong pembayaran
- sub g perbutannya (1) meminta pekerjaan atau pembayaran,
atau (2) menerima pembayaran atau pekerjaan
- sub h perbuatannya menggunakan tanah negara
- sub i perbuatannya turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan;
k) Pasal 12B perbuatannya menerima gratifikasi;
l) Pasal 13 perbuatannya (a) menerima hadiah atau (b) menerima
janji;
m) Pasal 15 perbuatannya (a) percobaan, (b) pembantuan, dan (c)
permufakatan jahat;
n) Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan;
o) Pasal 21 perbuatannya (a) mencegah, (b) merintangi, atau (c)
menggagalkan;
p) Pasal 22 perbuatannya (a) tidak memberikan keterangan, atau
(b) memberikan keterangan;
q) Pasal 220 KUHP perbuatannya (a) memberitahukan, atau (b)
mengadukan;
r) Pasal 231 KUHP:
- ayat (1) perbuatannya menarik suatu barang
- ayat (2) perbuatannya (a) mengahncurkan, atau (b)
merusak, atau (c) membikin tidak dapat dipakai
- ayat (3) perbuatannya melakukan kejahatan
s) Pasal 421 KUHP perbuatannya (a) memaksa untuk melakukan,
(b) memaksa untuk tidak melakukan, atau (c) memaksa untuk
membiarkan
t) Pasal 422 KUHP perbuatannya menggunakan sarana dengan
paksaan;
u) Pasal 429 KUHP:
- ayat (1) perbuatannya memaksa masuk
- ayat (2) perbuatannya (a) memeriksa atau (b) merampas;
v) Pasal 430 KUHP:
- ayat (1) perbuatannya merampas
- ayat (2) perbuatannya menyuruh memberikan keterangan.
3.4.2 Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi
Negatif
32
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur
tingkah lakunya dirumuskan secara pasif, dimana tindak pidana pasif
ialah tindak pidana yang melarang untuk berbuat aktif (disebut
perbuatan pasif). Tindak pidana pasif dibedakan menjadi
a) Tindak pidana pasif murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau pada dasarnya semata-mata unsur
perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana
pasif menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni.
b) Tindak pidana pasif yang tidak murni, adalah tindak pidana
yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan
perbuatan aktif.
Tindak pidana pasif korupsi terdapat pada pasal-pasal berikut:
a) Pasal 7 ayat (1) sub b, d, dan ayat (2) yang membiarkan
perbuatan curang
b) Pasal 10 sub b perbuatannya (a) membiarkan orang lain
menghilangka, membiarrkan orang lain menghancurkan,
membiarkan orang lain merusakkan atau membiarkan orang lain
membuat hingga tidak dapat dipakai
c) Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan
dilakukan salah satu kejahatan itu
d) Pasal 24 perbuatannya tidak memenuhi ketentuan.
3.5 Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau
Perekonomian Negara
Tindak pidana ini dibedakan menjadi dua, antara lain: (1) tindak
pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara dan (2) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat
menimbulkan kerugian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu
menunggu timbulnya keuangan negara. Asalkan dapat ditafsirkan
menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian
bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara yaitu Pasal
2, 3, 15 jo 2 dan 3, dan Pasal 16.
Selain pembagian di atas, Baharudin Lopa juga membagi
Korupsi menurut sifatnya sebagai berikut:
- Korupsi yang bermotif terselubung
Yaitu korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik,
tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan
uang semata.
- Korupsi yang bermotif ganda
33
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya
hanya bermotikan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya
bermotif lain, yaitu kepentingan politik.39
4. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
Tindak pidana pegawai negeri menerima suap yang dimaksud dalam pasal
11 UU No. 20 Tahun 2001 yang rumusan selengkapnya adalah sebagai
berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji terseut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungannya dengan jabatannya.
C. Pegawai Negeri Sipil
1. Pengertian Pegawai Negeri
Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan, diangkat, digaji menurut peraturan pemerintah yang berlaku dan
dipekerjakan dalam suatu jabatan negeri oleh pejabat negara atau badan
negara yang berwenang.40
Dalam Tambahan Negara Nomor 2312 diterangkan ada 3 faktor yang
menetapkan seseorang pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok
Kepegawaian, yaitu:
a) Menurut syarat-syarat sebagaimana terperinci dalam pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Kepegawaian (Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1961)
39
40
Ibid, hlm. 9
Victor M. Situmorang, Op Cit, hlm.18
34
b) Harus diangkat dalam jabatan negeri dan digaji menurut Peraturan
Pemerintah yang berlaku
c) Harus diangkat oleh pajabat negara dan badan negara yang
berwenang.
A.W. Widjaja berpendapat bahwa, “Pegawai adalah merupakan tenaga
kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang
senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok
dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi).”Pegawai
adalah orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di
lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pegawai merupakan modal
pokok dalam suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintah maupun
organisasi swasta. Dikatakan bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam
suatu organisasi karena berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya tergantung pada pegawai yang memimpin dalam melaksanakan
tugas-tugas yang ada dalam organisasi tersebut.Pegawai yang telah
memberikan tenaga maupun pikirannya dalam melaksanakan tugas ataupun
pekerjaan, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi swasta akan
mendapat imbalan sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dikerjakan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Musanefyang mengatakan bahwa,
“Pegawai adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapat
imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari pemerintah atau badan swasta.”
Sedangkan definisi pegawai sebagai pekerja atau worker adalah mereka yang
secara langsung digerakkan oleh seorang manajer untuk bertindak sebagai
pelaksana yang akan menyelenggarakan pekerjaan sehingga menghasilkan
35
karya-karya yang diharapkan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pegawai sebagai
tenaga kerja atau yang menyelenggarakan pekerjaan perlu digerakkan
sehingga mereka mempunyai keterampilan dan kemampuan dalam bekerja
yang pada akhirnya akan dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat
untuk tercapainya tujuan organisasi. Karena tanpa kemampuan dan
keterampilan pegawai sebagai pelaksana pekerjaan maka alat-alat dalam
organisasi tersebut akan merupakan benda mati dan waktu yang dipergunakan
akan terbuang dengan percuma sehingga pekerjaan tidak efektif.
Dari beberapa defenisi pegawai yang telah dikemukakan para ahli tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pegawai mengandung pengertian
sebagai berikut:
1. Menjadi anggota suatu usaha kerja sama (organisasi) dengan maksud
memperoleh balas jasa atau imbalan kompensasi atas jasa yang telah
diberikan.
2. Pegawai di dalam sistem kerja sama yang sifatnya pamrih.
3. Berkedudukan sebagai penerima kerja dan berhadapan dengan pemberi
kerja (majikan).
4. Kedudukan sebagai penerima kerja itu diperoleh setelah melakukan
proses penerimaan.
5. Akan mendapat saat pemberhentian (pemutusan hubungan kerja antara
pemberi kerja dengan penerima kerja).
Pengertian pegawai negeri lebih rinci akan dibahas dari beberapa segi yaitu
antara lain:
1.1.Pengertian Pegawai Negeri dari Sudut Hukum Kepegawaian
Yang dimaksud Undang-Undang Kepegawaian dalam Pasal 1
angka 2 huruf a adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
36
pokok-pokok Kepegawaian yang kemudian diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999).
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut ditentukan
tentang apa yang dimaksud pegawai negeri.Ada dua pengertian pegawai
negeri, menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian No.43 Tahun
1999 Tentang Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian yaitu:
a. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah,
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
b. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya
yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundangundangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999,
ditentukan bahwa Pegawai Negeri tersebut terdiri atas:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
1.2.Pengertian Pegawai Negeri dari Sudut Hukum Pidana
Sebenarnya di dalam KUHP tidak terdapat ketentuan tentang apa
yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (ambteenar), tetapi hanya
terdapat keentuan yang maksudnya memperluas apa yang dimaksud
dengan pegawai negeri, yaitu Pasal 92 KUHP yang menentukan:
37
(1) Termasuk ke dalam pegawai negeri adalah juga orag yang terpilih
di dalam pemilihan umum yang diadakan berdasarkan peraturan
umum, demikian juga semua orang yang menjadi anggota badan
pembentuk undang-undang, badan pemerintah atau badan
perwakilan yang diadakan oleh atau atas nama pemerintah,
selanjutnya juga semua anggota seluruh Dewan Pengairan dan
semua pemimpin orang-orang pribumi serta pemimpin orang-orang
Timur Asing yang secara sah melaksanakan kekuasaan dan yang
tidak dipilih di dalam suatu pemilihan.
(2) Termasuk ke dalam pengertian Pegawai Negeri dan hakim adalah
juga mereka yang melaksanakan kekuasaan hukum administratif
dan ketua serta anggota-anggota dari dewan-dewan agama.
(3) Semua orang yang termasuk di dalam Angkatan Bersenjata
dianggap sebagai Pegawai Negeri.41
1.3. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 2, pegawai negeri terdiri dari:
a. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara, atau
b. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan daerah.
Yang dimaksud ”keuangan negara” atau “keuangan daerah” dalam
Pasal 1 angka 2 huruf c berkaitan dengan pembayaran gaji atu upah
yang harus diberikan kepadasi penerima - yang kemudian menjadi
tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi - maka
apa yang dimaksud dengan “keuangan negara” atau “keuangan daerah”
tersebut berkaitan dengan asal dana atau anggaran darimana gaji atu
upah tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dengan mengikuti penafsiran Pasal 1 angka 2 huruf c di atas,
Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf d terdiri dari:
41
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III, (Bandung: sinar Baru, 1990) hlm. 82
38
a. Orang yang menerima gaji atu upah dari suattu korporasi yang
menerima bantuan keuangan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
b. Orang yang menerima gaji atu upah dari suatu krporasi yang
menerima bantuan keuangan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 huruf e bahwa yang
dimaksud dengan Pegawai Negeri meliputi:
a. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas negara.
b. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari masyarakat.
2. Kedudukan dan Tugas Pegawai Negeri Sipil
Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya
pegawai negeri. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum,
berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,
diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang
bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan
secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan
ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Disamping itu
dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada daerah,
pegawai negeri berkewajiban untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa dan harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
39
Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dijelaskan pegawai negeri berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
3. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
Kewajiban PNS adalah segala sesuatu yang wajib dikerjakan atau boleh
dilakukan oleh setiap PNS berdasarkan sesuatu peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun kewajiban-kewajiban PNS tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Kewajiban yang berhubungan dengan tugas di dalam jabatan;
Kewajiban ini terkait dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja
masing-masing PNS.
2. Kewajiban yang berhubungan dengan kedudukan PNS pada
umumnya; Kewajiban ini terkait dengan kedudukan PNS sebagai
unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat. Dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Kewajiban yang ditetapkan dalam UU No.8 tahun 1974;
b. Kewajiban menurut Peraturan Disiplin Pegawai;
c. Kewajiban menurut Peraturan Tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi PNS;
d. Kewajiban mentaati jam kerja kantor dan pemberitahuan jika
tidak masuk kerja;
e. Kewajiban menjaga keamanan negara dan menyimpan surat-surat
rahasia;
40
f. Kewajiban mentaati ketentuan tentang pola hidup sederhana dan
larangan penerimaan pemberian hadiah;
g. Kewajiban sebagai anggota KORPRI;
h. Kewajiban mentaati larangan bekerja dalam lapangan swasta dan
usaha-usaha/kegiatan-kegiatan yang wajib mendapat ijin;
i. Kewajiban mentaati larangan menurut kitab UU hukum pidana;
j. Kewajiban mentaati peraturan tentang larangan korupsi;
k. Kewajiban mentaati peraturan tentang larangan mengerjakan judi;
l. Kewajiban mentaati peraturan tentang keanggotaan partai polotik;
3. Kewajiban PNS yang tidak berhubungan dengan tugas dalam jabatan
dan tidak berhubungan dengan kedudukan sebagai PNS pada
umumnya.Kewajiban ini terkait dengan pasal 5, 28 dan 29 UU No.8
tahun 1974.
Kewajiban lain bagi PNS adalah mengenai Disiplin PNS untuk membina
PNS yang demikian itu, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin
yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan, dan sanksi apabila
kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 telah diatur dengan
jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar
oleh setiap PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Selain daripada itu
dalam Peraturan Pemerintah itu diatur pula tentang tatacara pemeriksaan,
tatacara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tatacara
pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa
keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya.
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS
yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang
41
berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS
yang melakukan pelanggaran itu.
Kewajiban yang harus ditaati oleh setiap PNS adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, yaitu
setiap PNS wajib:
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Negara dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri
sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak
kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak
lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan
Pegawai Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah
janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaikbaiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik
langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara
umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh
pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab;
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan
kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan Negara, Pemerintah, terutama di
bidang keamanan, keuangan, dan materiil;
11. Mentaati ketentuan jam kerja;
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan
sebaik-baiknya;
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat
menurut bidang tugasnya masing-masing;
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap
bawahannya;
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap
bawahannya;
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
42
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan
kariernya;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;
21. Berpakaian rapih dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan
santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap
atasan;
22. Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk
agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
23. Menjadi teladan sebagai warganegara yang baik dalam masyarakat;
24. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan
yang berlaku;
25. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;
26. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan
yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
Larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap Pegawai Negeri Sipil,
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980, yaitu setiap PNS dilarang:
1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat
Negara, Pemerintah, atau PNS;
2. Menyalahgunakan wewenangnya;
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
4. Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik
Negara;
5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik
Negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan Negara;
7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas
dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar
lingkungan kerjanya;
8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun
juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu
bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan
PNS yang bersangkutan;
9. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau
martabat PNS, kecuali untuk kepentingan jabatan;
10. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
43
11. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan
yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang
dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
12. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
13. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui
karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak
lain;
14. Bertindak selaku perantara bagi suatu pengusaha atau golongan untuk
mendapat pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
15. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada
dalam ruang lingkup kekuasaannya;
16. Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada
dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu
sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan sahan tersebut dapat
langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau
penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
17. Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan,
menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang
berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku
jabatan eselon I;
18. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak
lain.
Setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, adalah pelanggaran disiplin. Termasuk pelanggaran
disiplin
adalah
setiap
perbuatan
memperbanyak,
mengedarkan,
mempertotonkan, menempelkan, menawarkan, menyimpan, memiliki tulisan
atau rekaman yang berisi anjuran atau hasutan untuk melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, kecuali hal itu dilakukan untuk kepentingan dinas.
44
Tingkat hukuman disiplin: 42
a. Hukuman disiplin ringan, terdiri dari:
- Teguran lisan
- Teguran tertulis
- Pernyataan tidak puas secara tertulis
b. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari:
- Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun
- Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk
paling lama 1 tahun
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun
c. Hukuman disiplin berat
- Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah
untuk paling lama 1 tahun
- Pembebasan dari jabatan
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai PNS
- Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS
4. Hak-hak Pegawai Negeri Sipil43
Hak-hak PNS adalah sesuatu yang diterima oleh PNS dengan persyaratanpersyaratan tertentu yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Gaji;
a. Gaji PNS;
b. Perhitungan masa kerja;
c. Kenaikan gaji pokok;
d. Tunjangan.
2. Kenaikan Pangkat;
3. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan;
4. Cuti;
5. Tunjangan cacat dan uang duka;
6. Kesejahteraan;
7. Pensiun.
Hak-hak lain bagi PNS dapat disebutkan pula antara lain: 44
1. Setiap Pegawai Negeri Sipil berhak memperoleh gaji yang layak
sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Pada dasarnya setiap
Pegawai Negeri Sipil beserta keluarganya harus dapat hidup layak dari
gajinya, sehingga dengan demikian ia adapat memusatkan perhatian
42
43
http://www.inkepeg.net/infkepeg.php?id=4 DIAKSES 29 MARET 2013
Ibid
(http://bkd.balikpapan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=54&Itemid=64
diakses 29 Maret 2013 )
44
45
dan kegiatannya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepadanya.
2. Setiap Pegawai Negeri Sipil berhak atas cuti. Yang dimaksud dengan
cuti adalah tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu
tertentu.
3. Setiap Pegawai Negeri Sipil yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan
dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak
memperoleh perawatan.
4. Setiap Pegawai Negeri Sipil yang tewas, keluarganya berhak
memperoleh uang duka dan yang dimaksud dengan tewas adalah :
o Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas dan
kewajibannya.
o Meninggal dunia dalam keadaan lain ada hubungannya dengan
dinasnya, sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal
dunia dalam dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya.
o Meninggal dunia yang langsung diakibatkan oleh luka atau cacat
jasmani atau rohani yang didapat dan karena menjalankan tugas
kewajibannya.
o Meninggal dunia karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung
jawab ataupun sebagai akibat tindakan anasir itu. Kepada
istri/suami dan atau anak Pegawai Negeri Sipil yang tewas akan
diberikan uang duka.
o Setiap Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan, berhak atas pensiun. Pensiun adalah jaminan hari
tua dan sebagai balas jasa terhadap setiap Pegawai Negeri Sipil
yang bertahun tahun mengabdikan dirinya kepada Negara.
5. Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil
Setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dan para
pelamar yang diterima harus melalui masa percobaan dengan status Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS). CPNS diangkat menjadi PNS setelah melalui
masa percobaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 2
(dua) tahun.45
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah seseorang yang telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
45
Ibid
46
yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu Jabatan Negeri atau diserahi tugas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
CPNS yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan diangkat
menjadi PNS dalam pangkat tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Syarat-syarat CPNS dapat diangkat menjadi PNS
adalah sebagai berikut:46
1. Telah menunjukan kesetiaan dan ketaatan penuh kepada Pancasila, UUD
1945, Negara dan Pemerintah;
2. Telah menunjukan sikap dan budi pekerti yang baik;
3. Telah menunjukan kecakapan dalam melakukan tugas;
4. Telah mengikuti Diklat Prajabatan;
5. Telah memenuhi syarat-syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk
diangkat menjadi PNS.
6. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Pemberhentian terdiri atas :47
1. pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
2. pemberhentian dari jabatan negeri.
Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai Pegawai
Negeri Sipil.Pemberhentian dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan
organisasi Negara, tetapi masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian
sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas pemberhentian dengan hormat
sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan
46
47
Ibid
(http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/pedoman-berhenti-pns.html 29 Maret 2013 )
47
hormat
sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil.Pegawai
Negeri
Sipil
yang
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil menerima hakhak kepegawaiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain hak atas pensiun. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak
kepegawaiannya antara lain pensiun.
Pemberhentian
Dengan
Hormat
Sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil
Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil meliputi:48
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri.
Pada prinsipnya Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan
berhenti, dapat diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil. Permintaan berhenti tersebut dapat ditunda untuk paling lama 1
tahun, apabila kepentingan dinas yang mendesak. Permintaan berhenti
dapat ditolak apabila Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan masih
terikat dalam keharusan bekerja pada Pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, atau masih ada sesuatu hal yang
harus dipertanggungjawabkan.
c. batas usia pensiun
Batas Usia Pensiun (BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1979
tentang Pemberhentian PNS, yaitu 56 (lima puluh enam) tahun. Dan PP
Nomor 32 Tahun 1979 ini telah dua kali mengalami perubahan yaitu
48
Ibid
48
dengan PP Nomor 1 Tahun 1994 dan PP Nomor 65 Tahun 2008.
Perpanjangan usia pensiunan sendiri terbagi menjadi tiga bagian yakni:49
1. Perpanjangan batas usia pensiun sampai 65 tahun untuk PNS yang
memangku jabatan peneliti madya dan peneliti utama dengan
tugasnya secara penuh di bidang penelitian atau jabatan lain yang
ditentukan oleh Presiden. Kemudian perpanjangan batas usia pensiun
bagi PNS yang memangku jabatan struktural Eselon I tertentu pada
saat sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun, memperhatikan
dengan tegas persyaratan sebagai berikut:
o Memiliki keahlian dan pengalaman yang sangat dibutuhkan
organisasi;
o Memiliki kinerja yang baik;
o Memiliki moral dan integritas yang baik dan;
o Sehat jasmanl dan rohani yang dibuktikan oleh keterangan
dokter.
o Ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan
Instansi/lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Tim
Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian
Jabatan Struktural Eselon 1.
2. Usia pensiun sampai 60 tahun untuk PNS yang memangku golongan
struktural eselon I dan II serta jabatan dokter yang ditugaskan secara
penuh pada unit pelayanan kesehatan negeri dan jabatan pengawas
sekolah menengah atas atau jabatan lain yang ditentukan oleh
Presiden.
3. Usia pensiun 58 tahun untuk PNS yang menjadi hakim pada
Mahkamah Pelayaran dan jabatan lain yang ditentukan Presiden.
Sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 1979, BUP dapat diperpanjang
bagi PNS yang memangku jabatan tertentu. Jabatan-jabatan tertentu yang
diduduki PNS yang dapat diperpanjang BUP-nya ada yang diatur dalam
PP Nomor 32 Tahun 1979 dan ada diatur dalam Keputusan
Presiden/Peraturan Presiden.Perpanjangan BUP bagi PNS yang telah
diatur dalam PP Nomor 32 Tahun 1979, antara lain :50
1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan Ahli
Peneliti dan Peneliti;
2. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang memangku jabatan :
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pejabat Struktural
Eselon I, Pejabat Struktural Eselon II, Dokter yang ditugaskan secara
penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai profesinya.
Perpanjangan BUP bagi PNS yang telah diatur dalam Keputusan
Presiden/Peraturan Presiden, antara lain:51
49
Ibid
Ibid
51
Ibid
50
49
1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan
fungsional Pustakawan Utama; Widyaiswara Utama; Pranata Nuklir
Utama; Pengawas Radiasi Utama;
2. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan
Fungsional Pemeriksa Pajak (jenjang tertentu); Penilai Pajak Bumi
dan Bangunan (jenjang tertentu);Penyuluh Pertanian (jenjang
tertentu); Sandiman (jenjang tertentu); Penyelidik Bumi Utama dan
Madya.
Selain diatur dalam PP dan Keputusan Presiden / Peraturan Presiden,
juga terdapat pengaturan BUP PNS yang diatur dalam Undang-Undang,
antara lain:52
1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan:
ï‚· Dosen, sedangkan bagi Profesor yang berprestasi dapat
diperpanjang sampai dengan 70 (tujuh puluh) tahun (UU Nomor
14 Tahun 2005);
ï‚· Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tingkat Banding di lingkungan
Peradilan Umum,PTUN, dan Agama (UU Nomor 8 Tahun 2004,
UU Nomor 9 Tahun 2004, dan UU Nomor 3 Tahun 2006).
2. 62 (enam puluhdua) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan:
ï‚· Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tingkat Pertama di lingkungan
Peradilan Umum,PTUN, dan Agama (UU Nomor 8 Tahun 2004,
UU Nomor 9 Tahun 2004, dan UU Nomor 3Tahun2006);
ï‚· Jaksa(UU Nomor 16 Tahun 2004).
3. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan Guru (UU
Nomor 14 Tahun 2005)
Dengan PP Nomor 65 Tahun 2008, maka bagi PNS yang menduduki
jabatan struktural eselon I tertentu, BUP dapat diperpanjang sampai
dengan 62 (enam puluh dua) tahun. Adapun perpanjangan sebagaimana
dimaksud dilaksanakan dengan persyaratan sebagaimana yang telah di
sebutkan di atas. Dan Perpanjangan BUP sampai dengan 62 (enam puluh
dua) tahun ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan
Instansi/Lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Tim Penilai Akhir
Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan
Struktural Eselon I.
Perpanjangan BUP sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun
dilakukan secara selektif bagi PNS yang menduduki jabatan struktural
eselon I yang sangat strategis. Dengan demikian, tidak semua PNS yang
menduduki jabatan struktural eselon I dapat diperpanjang BUP-nya
sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun.
d. Adanya Penyederhanaan Organisasi
52
Ibid
50
Perubahan satuan organisasi negara adakalanya mengakibatkan
kelebihan pegawai. Apabila terjadi hal yang sedemikian maka Pegawai
Negeri Sipil yang kelebihan itu disalurkan pada satuan organisasi negara
lainnya. Kalau penyaluran dimaksud tidak mungkin dilaksanakan, maka
Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil atau dari jabatan negeri dengan mendapat
hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani Dan Rohani Berdasarkan
peraturan undang-undangan yang berlakuyang dinyatakan dengan surat
Keterangan Tim Penguji Kesehatan dinyatakan:
1. Tidak dapat berkerja lagi dalam semua Jabatan Negeri karena
kesehatannya.
2. Menderita penyakit atau kelainan yan berbahaya bagi diri sendiri
atau lingkungan kerjanya.
Pegawai Negeri Sipil Dapat Diberhentikan Dengan Hormat Atau Tidak
Hormat karena :53
a. Melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil dan Sumpah/Janji Jabatan
Selain Pelanggaran sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji
jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan
Pemerintah; atau
b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 (empat) tahun.
Pegawai Negeri Sipil Dapat Diberhentikan Dengan Hormat Tidak Atas
Permintaan Sendiri Atau Tidak Dengan Hormat karena :54
53
Ibid
51
1. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih; atau
2. Melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.
Pegawai Negeri Sipil Diberhentikan Tidak Dengan Hormat karena :55
1. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan
karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara,
dan Pemerintah;
2. Melakukan penyelewengan terhadap Ideologi Negara, Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara
dan Pemerintah; atau
3. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan.
4. Pemberhentian Karena Meninggalkan Tugasnya secara tidak sah dalam
waktu 2 bulan terus menerus dihentikan pembayaran gajinya mulai bulan
ketiga. Apabila dalam waktu kurang dari 6 bulan melaporkan diri kepada
pimpinan instansinya, maka ia dapat ditugaskan kembali jika ada alasanalasan yang dapat diterima atau diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil apabila ketidakhadirannya itu adalah karena
kelalaian sendiri, dan menurut pendapat pejabat yang berwenang akan
mengganggu suasana kerja jika ia ditugaskan kembali.
5. Pegawai Negeri Sipil yang meninggalkan tugas secara tidak sah terus
menerus selama 6 bulan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian tersebut ditetapkan berlaku mulai
tanggal penghentian pembayaran gajinya dan gaji selama 2 bulan sejak ia
tidak masuk bekerja diberikan kepadanya Pemberhentian Karena
Meninggal Dunia Atau Hilang.
6. Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Untuk
kelengkapan tata usaha kepegawaian maka pimpinan instansi yang
bersangkutan serendah-rendahnya Kepala Sub Bagian atau pejabat lain
yang setingkat dengan itu membuat surat keterangan meninggal dunia.
Pegawai Negeri Sipil yang hilang dianggap telah meninggal dunia pada
akhir bulan ke-12 sejak ia dinyatakan hilang. Berdasarkan berita acara atau
surat keterangan dari pejabat yang berwajib, maka pejabat yang
berwenang membuat surat pernyataan hilang. Surat pernyataan hilang
dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan kedua sejak yang
bersangkutan hilang. Pejabat yang membuat adalah Menteri, Jaksa Agung,
Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan
54
55
Ibid
Ibid
52
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati/Walikota atau
pejabat lain yang ditunjuk.
Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan hilang, yang sebelum
melewati masa 12 bulan diketemukan kembali dan masih hidup dan sehat,
dipekerjakan kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil
yang telah dinyatakan hilang yang belum melewati masa 12 bulan
diketemukan kembali, tetapi cacat diperlakukan sebagai berikut:56
a. Diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak
pensiun apabila ia telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun,
tetapi apabila ia belum memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun
maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa
hak pensiun.
b. Apabila hilangnya dan cacatnya itu disebabkan dalam dan oleh karena ia
menjalankan kewajiban jabatannya, maka ia diberhentikan dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun tanpa memandang masa
kerja.
Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan hilang diketemukan kembali
setelah melewati masa 12 bulan diperlakukan sebagai berikut:57
1. Apabila ia masih sehat, dipekerjakan kembali;
2. Apabila tidak dapat bekerja lagi, dalam semua jabatan Negeri berdasarkan
surat keterangan Tim Penguji Kesehatan, diberhentikan dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian
sesuai dengan peraturaan perundang-undangan yang berlaku.
Catatan: Hilang adalah suatu keadaan bahwa seseorang di luar kemauan
dan kemampuannya tidak diketahui tempatnya berada dan tidak diketahui
apakah ia masih hidup atau telah meninggal dunia.
Pemberhentian Karena Sebab-Sebab Lain:58
a. Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan diri kepada pimpinan instansi
induknya 6 bulan setelah habis menjalankan cuti di luar tanggungan
negara, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Pegawai Negeri Sipil yang terlambat melaporkan diri kembali kepada
instansi induknya setelah habis menjalankan cuti di luar tanggungan
negara diperlakukan sebagai berikut:
1. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu kurang dari 6 bulan
maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat dipekerjakan
56
Ibid
Ibid
58
Ibid
57
53
kembali apabila alasan-alasan tentang keterlambatan melaporkan
diri itu dapat diterima oleh pejabat yang berwenang dan ada
lowongan dan setelah ada persetujuan Kepala BKN.
2. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu kurang dari 6 bulan
tetapi alasan-alasan tentang keterlambatan melaporkan diri itu tidak
dapat diterima oleh pejabat yang berwenang maka Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan diberhentikan sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
3. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu lebih dari 6 bulan maka
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pemberhentian Karena Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota/Pengurus
Partai Politik Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik. Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang
diajukan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan
tembusannya disampaikan kepada:59
1. Atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendahrendahnya pejabat struktural eselon IV;
2. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian instansi yang
bersangkutan;
3. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan yang bersangkutan.
Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri tersebut diberhentikan
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentiannya terhitung
mulai akhir bulan yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri. Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik tanpa
mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri yang ditangguhkan
pemberhentiannya, tetapi tetap menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik diberhentikan tidak dengan hormat. Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana tersebut di atas berlaku terhitung mulai akhir bulan yang
bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Pemberhentian Sementara
Untuk kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah
melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan berhubung dengan itu
59
Ibid
54
oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, 60 mulai saat
penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Seorang Pegawai
Negeri yang oleh pihak berwajib dikenakan tahanan sementara karena
didakwa telah melakukan suatu pelanggaran hukum pidana yang tidak
menyangkut pada jabatannya dalam hal pelanggaran yang dilakukan itu
berakibat hilangnya penghargaan dan kepercayaan atas diri pegawai yang
bersangkutan atau hilangnya martabat serta wibawa pegawai itu.
Tujuan pemberhentian sementara terutama untuk mengamankan
kepentingan peradilan dan juga untuk kepentingan jawatan (instansi). Selama
pemberhentian sementara kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
diberikan penghasilan sebagai berikut:61
a. Jika ada petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya,
mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 50%
dari gaji pokok yang diterimanya terakhir;
b. Jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah
dilakukannya pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan
berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75 % dari gaji
pokok yang diterimanya terakhir.
Jika sesudah pemeriksaan oleh pihak yang berwajib pemberhentian
sementara ternyata tidak bersalah maka pegawai itu harus segera diangkat dan
dipekerjakan kembali pada jabatannya semula, dalam hal yang demikian
selama masa diberhentikan untuk sementara ia berhak mendapat gaji penuh
serta penghasilan-penghasilan lain yang berhubungan dengan t unjangan istri
dan jabatannya. Jika sesudah pemeriksaan pegawai yang bersangkutan
ternyata bersalah maka:62
a. Terhadap pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara tersebut
harus diambil tindakan pemberhentian sedangkan bagian gaji berikut
tunjangan-tunjangan yang telah dibayarkan kepadanya tidak dipungut
kembali.
b. Terhadap pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara tersebut jika
perlu diambil tindakan harus diambil tindakan sesuai dengan
pertimbangan/keputusan Hakim .
Jika berdasarkan keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dinyatakan tidak bersalah maka Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan harus direhabilitasikan terhitung mulai saat diberhentikan
sementara dan gaji dibayarkan penuh. Jika ternyata yang bersangkutan
60
Ibid
Ibid
62
Ibid
61
55
dinyatakan bersalah, diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan tidak
hormat. Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara:
a. Pada saat ia mencapai batas usia pensiun diberhentikan pembayaran
bagian gajinya;
b. Apabila kemudian ia tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
c. Jika ternyata tindak pidana yang dilakukan tersebut diancam hukuman
penjara kurang dari 4 tahun dan ada hal-hal yang meringankan maka yang
bersangkutan dapat diaktifkan kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil,
namun tidak tertutup kemungkinan yang bersangkutan dijatuhi hukuman
disiplin atau tindakan administratif lainnya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
D. Pertanggungjawaban dan Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak
Pidana Korupsi
1. Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok
teori, yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen)
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieeen)
3. Teori gabungan (verenigingstheorieen)
Dalam perkembangan pidana dan pemidanaan pada aliran modern,
sistem pemidanaan mulai berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daaddader straafrecht) jenis sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi pidana
tetapi juga meliputi sanksi tindakan. Pengakuan terhadap kesetaraan antara
sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang merupakan hakekat asasi
atau ide dasar konsep double track system. Double track system63 adalah
sistem dua jalur tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi
pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana
bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan
63
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, hlm.17
56
sanksi tindakan bersumber pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidaan
itu”. Sehingga sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut.Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan
salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar
pelakunya menjadi jera, adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada
upaya memberi pertolongan pada pelaku agar berubah. Sehingga sanksi
pidana lebih menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan
menekankan kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun
perawatan bagi pelakunya.
Penekanan pada kesetaraan
antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait dengan fakta
bahwa
unsur pencelaan / penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur
pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting. Dari sudut pandang
ide dasar double track system,64 kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan
sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua
sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. Sebab kebijakan sanksi yang
integral dan
seimbang,
selain menghindari penerapan
sanksi
yang
fragmentaristik (pada sanksi pidana) juga menjamin keterpaduan sistem sanksi
yang bersifat individual dan fungsional.
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dapat
ditemukan dalam teori-teori tujuan pemidanaan. Substansi teori absolut
ataupun teori relatif sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar
sanksi pidana dan sanksi tindakan.65 Penerapan sanksi ini sedikit banyak
nantinya akan berpengaruh padapengaturan mengenai penjatuhan pidana,
dalam hal ini adalah penjatuhan pidana pada tindak pidana korupsi.
64
65
Ibid, hlm.31
Ibid , hlm.34
57
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak
pidana korupsi secara umum diatur dalam undang-undang pemberantasan
korupsi. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, yakni :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 itu
sendiri terdapat rumusan delik korupsi secara formil. Perumusan dalam
korupsi secara formil mempunyai kelemahan, dan sebagai konsekuensinya
jika perbuatan korupsi yang tidak tercakup dalam pelukisan secara formil
maka pelaku tidak dapat diajukan ke muka hakim.66
Perubahan perumusan lain dari Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
yaitu “delik materiil” pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
66
Martiman Prodjohamidjojo, Peranan Pembuktian terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999),
Bandung: Mandar Maju, 2001, hlm. 49
58
1971 ke “delik formal” pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999.
Perubahan perumusan delik yang sangat signifikan tersebut di atas dapat
dipahami mengingat situasi perekonomian dan keuangan negara yang ketika
Undang-Undang a qu67dikeluarkan dalam keadaan krisis yang sangat
membahayakan kesejahteraan rakyat Indonesia, dimana Indonesia terkena
dampak krisis yang sangat parah dibandingkan dengan negara lain.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK) mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana
yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam
penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak
pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil.
Konsepsi perbuatan melawan hukum materil pada hakekatnya telah
dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif
dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia.
Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah
yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak
hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja
sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan
hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid).68
Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana
korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan
kembali oleh sistem peradilan termasuk diantaranya pada Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms. Hal ini dapat dilihat
dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut dengan melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
67
68
op cit, hlm. 24
op cit, hlm.5
59
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan
terdakwa.
Adapun dasar pengadilan yang menerapkan perbuatan melawan hukum
materil pada tindak pidana korupsi adalahperbuatan korupsi sebagai
perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan
norma-norma kehidupan sosial di masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada
perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yangterorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
2) Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai
negeri
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
3) Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
2. Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
2.1 Jenis Penjatuhan Pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), antara lain:
a. Pidana pokok
Pidana pokok tertuang dalam pasal 10 sub a KUHP antara lain:
60
1)
2)
3)
4)
pidana mati,
pidana penjara,
pidana kurungan,
pidana denda.
b. Pidana tambahan
Pidana tambahan diatur berdasarkan pasal 10 sub b KUHP,
meliputi:
1. pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut pasal 35 ayat
(1) KUHP terdiri dari:
a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu
b. hak memasuki angkatan bersenjata
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum
d. hak menjadi penasihat hukum atu pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang
bukan anak sendiri
e. hak menjalankan mata pencarian tertentu.
2. perampasan barang-barang tertentu, yang menurut pasal 3
ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas:
a. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh
dari kejahatan.
b. Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
3. pengumuman putusan hakim.
2.2 Jenis Penjatuhan Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999
Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum
pidana korupsi sama dengan hukum pidana umum, tertapi sistem
penjatuhan pidananya ada kekhusussan dibandingkan dengan hukum
pidana umum, yaitu:
a) Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang
dujatuhkan bersamaan dapat dibedakan menjadi dua macam:
1. Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif,
yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis
pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya
dijatuhkan serentak. Sistem imperatif-kumulatif ini terdapat
pada Pasal 2, 6, 8, 9, 10, 12, 12B. Sistem penjatuhan pidana
ini diancamkan pada tindak pidana korupsi paling berat.
61
2. Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat
imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan
pidana denda. Diantara dua jenis pidana pkok ini yang
wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun
dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda
(fakultatif). Dalam hal ini, dendanya tidak wajib dijatuhkan,
melainkan boleh dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama
(kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus untuk
penjatuhan pidana denda bersifat fakultatif yang jika
dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana
fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana tambahan.
Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini
terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan pada Pasal 3,
5, 7, 10, 11, 13, 21, 22, 23, dan 24.
b) Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan
ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik
mengenai pidana penjara maupun pidana denda tidak
menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana
maksimum umum dan minimum umum seperti dalam KUHP.
c) Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh
melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni
paling tinggi sampai 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP boleh
menjatuhkan pidana sampai melebihi batas maksimum umu,
dalam hal terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat
ditambah dengan sepertiganya) atau tindak pidana tertentu
sebagai alternatif dari pidana mati (misal Pasal 104, 340, 365,
ayat 4).
d) Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenal pidana mati
sebagai suatu pidana pokok yang diancamkan pada tindak
pidana yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengenai pidana mati
dalam hal bila tindak pidana tersebut Pasal 2 terdapat adanya
alasan pemeberatan pidana. Jadi, pidana mati itu adalah pidana
yang dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana,
yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi pasal 2 dalam
keadaan tertentu. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan
mengenai Pasal 2 ayat (2), yaitu “bila dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam, sebagai
pengulangan, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.”
Perlu diingat bahwa sistem pemidanaan hukum pidana formil
korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan
denda atau pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik
maksimum khusus maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila
nilai objek tindak pidana korupsi tersebut pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
62
kurang dari Rp 5.000.000,00. Untuk nilai objek tindak pidana korupsi ini
ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 50.000,000,00 meniru sistem penjatuhan pidana
hukum pidana umum dalam KUHP.
Pengaturan mengenai pidana tambahan terdapat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai
pidana tambahan lainnya selain dari tiga bentuk yang disebutkan dalam
KUHP, yakni terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang isinya antara lain:
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama
satu tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2): Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ayat (3): Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31
tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Aturan mengenai gugatan perdata kepada ahli warisnya, dalam hal
terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara
sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
63
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli
warisnya.
Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu
Koorporasi, sejalan dengan aturan yang terdapat dalam KUHP, bahwa
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang
dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, antara
lain terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda
dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana
ini melalui procedural ketentuan Pasal 20 ayat (1)-(6) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili koorporasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan
supaya penguruh tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap koorporasi hanya
pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3
(satu pertiga).
64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi
legisme positivis. Berdasarkan konsepsi ini, hukum dipandang identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang dan melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang
mandiri, bersifat tertutup, dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata.69
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan. Semua pihak yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam tindak pidana korupsi seperti dalam
putusan perkara nomor 46/pid.B/2009/PN.BMS dapat dijerat pasal-pasal
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.
Metode yang kedua adalah metode pendekatan analisis. Maraknya tindak
pidana korupsi di Indonesia perlu dikaji sesuai hukum yang berlaku. Karena
banyak pihak yang melakukan tindak pidana korupsi tidak menghiraukan
adanya hukum yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Masyarakat cenderung belum mengetahui aturan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat analisis
lebih lanjut mengenai batasan, unsur, maupun aturan yang mengatur tentang
69
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Alumni, Jakarta, 1988,
Hlm 13
65
tindak pidana korupsi serta penerapan pidana khususnya bagi PNS pelaku
tindak pidana korupsi.
Metode yang ketiga adalah metode pendekatan kasus, dimana dalam hal
ini adalah mempelajari putusan perkara nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms
mengenai putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa seorang
pejabat daerah dalam hal ini seorang Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Clinical Legal Research
yaitu penelitian untuk menemukan hukum inabstracto dalam perkara
inconcreto.70 Dalam hal ini perkara Nomor: 46/Pid.B/2009/PN.Bms tentang
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PNS.
C. Sumber Bahan Hukum
2. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta pasal terkait dengan tindak
pidana korupsi dalam KUHP.
3. Bahan hukum sekunder
70
Ronny Hanitijo Soemitro,2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang.
Hlm.10
66
Bahan hukum sekunder yang diambil dalam penelitian ini adalah
mengenai pendapat para ahli hukum, serta melihat dari kasus-kasus hukum
yang terjadi di Indonesia khususnya tindak pidana korupsi yang terungkap di
banyumas dan kasus tersebut telah mendapat putusan pengadilan nengeri
dengan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms.
4. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
encyclopedia, dan lain-lain. Dalam hal ini termasuk juga berbagai bahan
hukum yang bersumber dari internet.Bahan hukum tersier dalam penelitian
ini adalah dengan melihat penjelasan dari dari kamus hukum dan kamus
lainnya yang terkait termasuk dari internet.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengmpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan tersebut
yaitu dengan melakukan penelusuran terhadap bahan hukum yang terkait
dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di masyarakat Indonesia. Seperti
menelusuri literatur dari para ahli hukum khususnya mengenai tindak pidana
korupsi.
Metode dokumenter yaitu dengan menelaah aturan–aturan yang berlaku
mengenai tindak pidana korupsi serta menelaah kasus tindak pidana korupsi
yang terjadi di Banyumas dan telah mendapat putusan Pengadilan Negeri
67
dengan
nomor
46/Pid.B/2009/PN.Bms.
Bahan-bahan
hukum
yang
berhubungan dengan tindak pidana korupsi tersebut kemudian dibahas dan
dipaparkan serta dianalisis sehingga diketahui bagaimana penerapan pidana
tambahan terhadap kasus tindak pidana korupsi serta pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap PNS pelaku tindak
pidana korupsi.
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Metode pengolahan
bahan
hukum
dalam
penelitian
ini
adalah
menggunakan metode reduksi dan kategorisasi. Metode reduksi yang
dimaksud dalam penelitian ini yaitu dengan merangkum hal-hal pokok dari
para pedapat ahli tentang pandangan mereka mengenai tindak pidana korupsi,
serta merangkum literatur yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Sedangkan metode kategorisasi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
membagi-bagi dan mengklasifikasikan hal-hal pokok dari para ahli tentang
pandangan mereka terhadap tindak pidana korupsi dalam bentuk yang logis.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian (display) merupakan suatu kegiatan memilah-milah
bahan hukum dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh
bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam metode ini, dapat membuang bahan
hukum yang tidak diperlukan atau tidak masuk dalam konsep. Dalam
kegiatan display bahan hukum tersebut disajikan dalam bentuk teks naratif.
68
Teksnaratif yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan
pada teori yang disusun secara logis dan sistematis.
Penelitian ini setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier)
akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut.
Hal yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis. Antar bahan
hukum yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang dapat menjawab
permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Metode analisis dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara
menjabarkan data yang telah diperoleh berdasarkan teori atau kaidah maupun
pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu hukum.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada putusan Pengadilan Negeri Banyumas Nomor :
46/Pid. B/2009/PN.BMS. diperoleh data sebagai berikut :
1. Subjek Hukum
Nama
: Drs. Casmono bin Kalwan
Tempat lahir
: Metro Lampung Tengah
Umur/Tanggal lahir
: 49 tahun / 10 Oktober 1959
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Alamat
:Perum Pemda RT.05 RW.II No.81
Mangunjaya Kelurahan Purwokerto
Lor Kecamatan Purwokerto Timur
Kabupaten Banyumas
Agama
Pekerjaan
: Islam
:PNS
pada
Kabupaten
Umum
sekretariat
Banyumas
Sekretariat
Kabupaten Banyumas)
Pendidikan
: S1
DPRD
(Kabag
DPRD
70
2. Duduk Perkara
Bahwa terdakwa, Casmono, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil sejak
tahun 1985 yang kemudian diangkat menjadi Kabag Tata Usaha (TU)
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Banyumas sejak tahun 2005
sampai dengan 2008. Jabatan terakhir terdakwa adalah Kabag Umum pada
Sekretariat DPRD Kabupaten Banyumas sejak bulan Juli 2009. Terdakwa
suatu waktu di tahun 2007 hingga 2008, bertempat di Kantor Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas, Kelurahan Purwokerto Lor
Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, Desa Karanggintung
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas, gudang aspal Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah Karangjati Semarang, serta Desa
Banjar Panepen Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
Pada waktu tersebut, 7 (tujuh) desa di wilayah Kabupaten Banyumas
yang direkomendasikan dapat memperoleh bantuan aspal Gubernur Jawa
Tengah mengajukan proposal bantuan aspal ke Gubernur Jawa tengah
dimana setiap proposal bantuan yang diajukan harus melalui terdakwa
karena pada saat itu jabatan terdakwa adalah Kabag TU Dinas Pekerjaan
Umum.Terdakwa menerima proposal dari beberapa desa, antara lain Desa
Karanggintung, Desa Kemiri, Desa Sibrama, Desa Kebarongan, Desa
Karangsalam,
Desa Kedungpring,
serta
Desa
Petahunan
melalui
perwakilan-perwakilan desa masing-masing.
Kemudian terdakwa dalam hal ini telah melakukan beberapa perbuatan
sejenis yaitu menerima uang dari saksi-saksi perwakilan desa antara lain
Noto Siswanto, Nanggal Haryanto, Mujiono, Anwari, Muh.Siasat, Roso
dari pengajuan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah sampai
dengan penerimaan bantuan aspal bagi tiga desa dalam rentang waktu
yang tidak terlalu lama. Dengan dalih mengurus proposal bantuan aspal
sampai ke Provinsi serta proses pencairan bantuan tersebut, terdakwa
meminta dan menerima uang dengan tujuan untuk menguntungkan diri
terdakwaatas masyarakat desa pemohon bantuan aspal dari Gubernur Jawa
Tengahdimana jumlah uang tersebut mencapai Rp 33.110.000,00 dari
71
desa yang telah disebutkan di atas. Adapun rinciannya yaitu terdakwa
menerima uang sejumlah Rp 13.610.000,00 dari Desa Karanggintung, Rp
8.000.000,00 dari Desa Petahunan, Rp 9.000.000,00 dari Desa Kemiri, Rp
1.000.000,00 dari Desa Kedungpring, Rp 1.500.000,00 dari Desa
Karangsalam, Rp 500.000,00 dari Desa Kebarongan. Selanjutnya uang
tersebut digunakan terdakwa untuk biaya angkut aspal ke tiga desa yang
akhirnya dapat menerima bantuan aspal yaitu desa Petahunan Kecamatan
Pekuncen, Desa Kemiri Kecamatan Sumpiuh, dan Desa Karanggintung
Kabupaten Banyumas masing-masing desa sejumlah Rp 1.500.000,00
sehingga seluruhnya berjumlah Rp 4.500.000,00 sedangkan sisanya Rp
28.610.000,00 terdakwa pergunakan sendiri.
3. Dakwaan
Dalam persidangan yang digelar untuk mengadili terdakwa seorang
Pegawai Negeri Sipil bernama Casmono bin Kalwan yaitu dalam perkara
Nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms, Penuntut Umum menghadapkan terdakwa
tersebut dengan dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu:
Pertama, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
4. Barang Bukti
a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II Karanggintung
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tahun 2007.
b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah dengan
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Karanggintung
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang hibah
bantuan aspal Pemprov. Jateng kepada Lembaga Pemberdayaan
72
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
Masyarakat Desa karanggintung Kecamatan kemranjen kabupaten
Banyumas.
Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas tentang permohonan bantuan aspal
Gubernur Jawa Tengah.
Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah tahun
2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen Kabupaten
Banyumas.
Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah dengan
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa kemiri
Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony Ericson
milik terdakwa Casmono.
Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 / 2005
tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian / pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural eselon III dan IV di
lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas No.
Urut 1 atas nama Drs. Casmono.
Uang sejumlah Rp 3.000.000,00 yang disita dari terdakwa
Casmono.
Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha Dinas
Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9 Juli 2008.
SIM Card (kartu perdana) Nomor:085869373373.
Uang tunai sejumlah Rp 25.610.000,00 yang disita dari terdakwa
Casmono.
Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof Jawa
Tengah sebanyak 40 drum ke desa Petahunan tertanggal 9 Juli
2008.
Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah dengan
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa Petahunan,
kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas tentang hibah
bantuan aspal Pemprov Jawa Tengah kepada Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa Petahunan Kecamatan Pekuncen
kabupaten Banyumas.
Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 19 Maret 2009 (setelah direvisi).
Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no HP
081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke no
HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
73
r. Proposal bantuan aspal Provinsi Jawa tengah tahun 2007
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan
Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
s. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007 tanggal
1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan bantuan
aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah.
t. Foto copy petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II
Banyumas Nomor : 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari 1987
tentang pengangkatan CPNS yang namanya tercantum dalam
lajur 2 diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO, BA.
5. Alat-Alat Bukti
a. Keterangan Saksi:
1) Saksi Noto Siswanto
2) Saksi Nanggal Haryanto
3) Saksi Anwari
4) Saksi Mujiono
5) Saksi Fakih Usman
6) Saksi Hadi Sunarto
7) Saksi Roso
8) Saksi Moh.Siasat
9) Saksi Muklasin
10) Saksi Parno, S.T
11) Saksi Ir. Mayangkoro
12) Saksi Suryanto Sutyasmoro, S.Sos, M.Si
13) Saksi Sutarso Hadi (saksi Ade charge)
b. Petunjuk
Adanya persesuaian antara keterangan saksi dan terdakwa,
sehingga dengan persesuaian tersebut telah terjadi tindak pidana yang
74
dilakukan oleh terdakwa yang bernama Casmono bin Kalwan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidanaKorupsi.
c. Keterangan terdakwa
Bahwa terdakwa diangkat menjadi CPNS tahun 1985
diperbantukan di bagian Humas Sekretariat kabupaten Bnyumas,
diangkat menjadi PNS pada tahun 1986, tahun 1987 dimutasikan
sebagai Kasi penerangan dan komunikasi Bapeda Kabupaten
Banyumas selanjutnya pada 1999 sebagai Kasubag TU Dinas
Pekerjaan Umum kabupaten Banyumas dan pada tahun 2005 sampai
dengan 2008 diangkat dalam jabatan sebagai Kabag TU di Dinas
Pekerjaan Umum kabupaten Banyumas. Jabatan terakhirnya sebagai
Kabag Umum Sekretariat DPRD Kabupaten Banyumas sejak 2008
sampai sekarang.
Selama terdakwa menjabat Kabag Tata Usaha di Kantor DPU
Kabupaten Banyumas pada 2005 sampai 2008, terdakwa pernah
menerima proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah dari 1
(satu) desa di luar wilayah Kabupaten Banyumas dan 7 (tujuh) desa di
wilayah Kabupaten Banyumas berupa tembusan, sedangkan aslinya ke
Bupati Banyumas lalu diolah lewat terdakwa dinaikkan ke pimpinan
dan oleh pimpinan didisposisikan untuk ditindaklanjuti.
Dalam proses pengajuan bantuan aspal dari desa baik bantuan aspal
dari desa baik bantuan dari APBD maupun Gubernur tidak ada biaya
yang resmi dengan kata lain tidak dipungut biaya. Menurut pengakuan
terdakwa, ia tidak pernah memungut atau meminta uang dari kepala
desa yang bersangkutan dalam hal permohoanan pengajuan proposal
bantuan aspal ke Gubernur Jawa Tengah tetapi mereka memberi
dengan keikhlasan sendiri.
Pada proses pengurusan dan pengolahan proposal, tidak dibenarkan
jika seorang pejabat DPU seperti terdakwa ikut terlibat membuatkan
proposal namun menurut pengakuan terdakwa bahwa terdakwa hanya
memperbaiki, mengoreksi dan memberi saran dalam pembuatan
proposal yang menurut terdakwa masih terdapat kesalahan dalam
pembuatan proposal tersebut. Dari proses terseebut terdakwa
menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) desa di wilayah kabupaten
banyumas yang mengajukan proposal dimana keenam desa tersebut
memberikan uang kepada terdakwa yang jumlahnya tidak diingat.
Dari beberapa desa yang mengajukan proposal bantuan aspal,
hanya 3 (tiga) desa yang akhirnya dapat memperoleh bantuan.
Kemudian terdakwa diminta untuk ikut dalam proses mengurus
pengambilan bantuan aspal ke desa tersebut. Dengan dalih pengurusan
pengambilan aspal, terdakwa meminta uang ke pihak desa penerima
bantuan aspal padahal Kantor Bina Marga Provinsi tidak pernah
75
meminta berapapun besarnya. Dan terdakwa pun mengaku sudah
mengembalikan uang yang seluruhnya berjumlah Rp 28.610.000,00.
6. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum berpendapat Casmono bin Kalwan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan terdakwa diatur
dan diancam pidana Pasalpasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, atau diancam pidana dalam
pasal
11
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1)
KUH Pidana. Atas dasar hal tersebut Jaksa Penuntut Umum
mengajukan tuntutan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Casmono bin Kalwan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak
Pidana Korupsi jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
76
Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat (1) KUH Pidana,
dalam dakwaan alternatif kedua.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Casmono Bin Kalwan
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan
dengan dikurangkan sepenuhnya selama terdakwa ditahan dengan
perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menetapkan barang bukti berupa:
a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas
b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas
untuk dikembalikan kepada saksi Noto Siswanto.
c. Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan
Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang permohonan
bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah untuk dikembalikan ke
saksi Anwari.
d. Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah
tahun 2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi M.
Siasat.
e. Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas untuk
dikembalikan kepada saksi Mujiono.
f. SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony
Ericson milik terdakwa Casmono dirampas untuk
dimusnahkan.
g. Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 /
2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian /
pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural
eselon III dan IV di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Banyumas No. Urut 1 atas nama Drs. Casmono
untuk dikembalikan kepada terdakwa.
h. Uang tunai sejumlah Rp.28.610.000,00 (dua puluh delapan
juta enam ratus sepuluh ribu rupiah). Dikembalikan kepada
masyarakat Desa Karanggintung melalui saksi Noto Siswanto
sebesar Rp.12.110.00,00 (dua belas juta seratus sepuluh ribu
rupiah), dikembalikan kepada masyarakat desa petahunan
melalui saksi Nanggal Haryanto sebesar Rp.6.500.000,00
(enam juta lima ratus ribu rupiah),dikembalikan kepada
masyarakat Desa Kemiri melalui saksi Mujiono sebesar
Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah),
dikembalikan kepada masyarakat Desa Karangsalam melalui
saksi Roso sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah),
dikembalikan kepada masyarakat Desa Kebarongan melalui
77
saksi M.Siasat sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Kedungpring
melalui saksi Anwar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah)
i. Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha
Dinas Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9
Juli 2008.Terlampir dalam berkas perkara.
j. SIM Card (kartu perdana) Nomor:085869373373. Dirampas
untuk dimusnahkan.
k. Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof
Jawa Tengah sebanyak 40 drum ke desa Petahunan.
l. Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa
Petahunan, kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
m. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
n. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 19 Maret 2009 (setelah direvisi) untuk
dikembalikkan kepada saksi Nanggal Haryanto.
o. Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke
no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
p. Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no
HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto terlampir
dalam berkas perkara.
q. Proposal bantuan aspal Provinsi Jawa tengah tahun 2007
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan
Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
r. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007
tanggal 1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan
bantuan aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah
untuk dikebalikan kepada saksi Ir. Mayangkoro.
s. Foto copy petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II
Banyumas Nomor : 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari
1987 tentang pengangkatan CPNS yang namanya tercantum
dalam lajur 2 diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO,
BA, untuk dikembalikan kepada terdakwa.
4. Menetapkan supaya terdakwa Drs. Casmono bin Kalwan dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
7. Pertimbangan Hukum Hakim
a. Pertimbangan Yuridis
78
1) Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
serta didukung
dengan barang bukti ternyata antara satu
dengan lainnya terdapat adanya saling persesuaian dan
keterkaitan sehingga telah mengungkap fakta-fakta hukum
yang terbukti benarnya telah terjadi tindak pidana korupsi yang
melibatkan Pegawai Negeri sipil. Perbuatan terdakwa diatur
dan diancam
pidana
dalam
Undang-Undang
Republik
Indonesia No. 31 Tahun 1999 yaitu tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2) Terdakwa diajukan ke persidangan dengan dakwaan yang
disusun secara alternatif yaitu:
Pertama, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal
18
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat
(1) KUH Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
79
jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat
(1) KUH Pidana.
b. Pertimbangan Sosiologis
Hal-hal yang memberatkan :
-
Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah
yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi;
-
Terdakwa sebagai pegawai Negeri Sipil seharusnya dapat
memberikan suri tauladan kepada masyatrakat.
Hal-hal yang meringankan :
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
-
Terdakwa
telah
mengembalikan
uang
sebesar
Rp
28.610.000,00 (dua puluh delapan jta enam ratus sepuluh ribu
rupiah);
-
Terdakwa telah mengabdi kepada Bangsa dan Negara kurang
lebih 24 tahun;
-
Desa penerima bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah yaitu
desa Karanggintung, desa Kemiri dan desa Petahunan telah
merasakan manfaat dari program pengaspalan jalan;
80
-
Terdakwa memiliki tanggungan isteri dan anak-anak dan
menjadi tulang punggung keluarga;
-
Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya;
-
Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
-
Terdakwa berterus terang sehingga memperlancar jalannya
persidangan.
8. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Banyumas
Hakim dalam putusannya menyatakan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Casmono bin Kalwan terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERLANJUT;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Casmono Bin
Kalwan dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang
dijatuhkan;
4. Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan
tersebut;
5. Menetapkan supaya barang bukti berupa:
a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas.
b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas
untuk dikembalikan kepada saksi Noto Siswanto;
c. Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan
Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang permohnan
bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah untuk dikembalikan ke
saksi Anwari;
d. Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah
tahun 2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi M.
Siasat;
e. Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas tentang
hibah bantuan aspal Pem.Prop. Jawa Tengah kepada
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemiri
Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas;
81
f. Proposal Bantuan aspal provinsi Jawa Tengah tahun 2007
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa kemiri Kecamatan
sumpiuh Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada
Desa Kemiri melalui saksi Mujiono;
g. SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony
Ericson dan sim card (kartu perdana) nomor 085869373373
milik terdakwa Casmono;
h. Sim card (kartu perdana) nomor : 085869373373 dirampas
untuk dimusnahkan;
i. Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 /
2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian /
pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural
eselon III dan IV di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Banyumas No. Urut 1 atas nama Drs. Casmono;
j. Foto copy Petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat
II Banyumas Nomor : 821.1 / 124 / 51 – 1987 tentang
Pengangkatan CPNS yang namanya tercantum dalam lajur 2
diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO, BA untuk
dikembalikan kepada terdakwa;
k. Uang sejumlah Rp.28.610.000,00 (dua puluh delapan juta
enam ratus sepuluh ribu rupiah) yang disita dari terdakwa
untuk dikembalikan kepada masyarakat Desa Karanggintung
melalui saksi Noto Siswanto sebesar Rp.12.110.00,00 (dua
belas juta seratus sepuluh ribu rupiah), dikembalikan kepada
masyarakat desa petahunan melalui saksi Nanggal Haryanto
sebesar Rp.6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu
rupiah),dikembalikan kepada masyarakat Desa Kemiri
melalui saksi Mujiono sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat
Desa Karangsalam melalui
saksi
Roso
sebesar
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikembalikan kepada
masyarakat Desa Kebarongan melalui saksi M.Siasat sebesar
Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada
masyarakat Desa Kedungpring melalui saksi Anwar sebesar
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
l. Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha
Dinas Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9
Juli 2008;
m. Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no
HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto;
n. Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke
no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto. Terlampir
dalam berkas perkara;
o. Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof
Jawa
Tengah
sebanyak
40
drum
ke
desa
82
PetahunanKecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas
tertanggal 9 Juli 2009;
p. Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa
Petahunan, kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas
tentang hibah bantuan aspal Pem.Prov. Jawa Tengah kepada
Lembaga Pemberdayaan Masrayakat Desa petahunan
Kecamatan Pekucen kabupaten Banyumas;
q. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
r. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan
tertanggal 19 Maret 2008 (setelah direvisi) untuk
dikembalikan pada Desa Petahunan melalui saksi Nanggal
Haryanto;
s. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007
tanggal 1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan
bantuan aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah
untuk dikebalikan kepada saksi Ir. Mayangkoro.
6. Menetapkan supaya terdakwa Drs. Casmono bin Kalwan dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
B. PEMBAHASAN
Dalam persidangan yang digelar untuk mengadili terdakwa seorang
Pegawai Negeri Sipil bernama Casmono bin Kalwan yaitu dalam perkara
Nomor46/Pid.B/2009/PN.Bms, Penuntut Umum menghadapkan terdakwa
tersebut dengan dakwaan yang disusun secara alternatif.Dalam dakwaan
alternatif ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan
yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada
lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat
kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan,
hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan
urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan
83
lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara
lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung “atau”.
Dakwaan alternatif dalam kasus ini yaitu:Pertama, perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH
Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan
atas
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Adapun bunyi dari pasal 3 dalam dakwaan pertama yaitu:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
84
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal 3, kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan,
bukan timbulnya akibat.
Sebagai pelaku dari tindak pidana pasal 3 ditentukan “setiap orang”,
sehingga seolah-olah “setiap orang” dapat melakukan tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam pasal 3. Namun, dalam pasal 3 tersebut ditentukan
bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “
jabatan atau kedudukan”.
Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam
pasal 3 tersebut di atas akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut:71
a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan
untung untuk diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dimana unsur ini
merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. Adanya unsur ini
harus pula ditentukan sacara objektif dengan memperhatikan segala
keadaan lahir yang menyertai perbuatan pelaku tindak pidana korupsi.
a. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukannya
71
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005,
hlm.37
85
Yang
dimaksud
dalam
unsur
kedua
ini
adalah menggunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau
kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan,
atau sarana tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi tersebut, dalam pasal 3 telah
ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi,
yaitu:
1. Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
2. Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
3. Dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
b. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Wiyono,72 yang dimaksud merugikan adalah sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian
yang dimaksud dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama
artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya
keuangan negara.
Adapun yang dimaksud dengan “keuangan negara” di dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa
72
Ibid, Hlm.32
86
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul
karena:
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah.
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggung jawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan
hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
Sedangkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian
negara adalah kehidupan perkonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.
Karena dakwaan dalam perkara nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms disusun
secara alternatif maka Majelis Hakim dapat memilih dakwaan yang dianggap
paling memenuhi unsur-unsur delik dan fakta-fakta persidangan. Majelis
hakim memilih dengan membuktikan dakwaan alternatif kedua dengan
pertimbangan bahwa ternyata sesuai fakta hukum perbuatan terdakwatidak
memenuhi unsur pokok dari dakwaan alternatif pertama yang berupa
87
“kerugian Keuangan Negara” karena seluruh uang yang diperoleh terdakwa
dari hasil kejahatannya adalah swadaya masyarakat desa.
Adapun dakwaan alternatif kedua yaitu pasal 11Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH
Pidana, dimana unsur-unsurnya antara lain:
1. pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara mengandung dua elemen
yang sifatnya alternative yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara
dimana dalam pembuktian unsur ini cukup dibuktikan terpenuhinya salah satu
dari elemen tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Pengertian Pegawai Negeri diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yang menyebutkan bahwa Pegawai Negeri adalah
meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana;
88
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau
Daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah, atau;
e. orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Pengertian mengenai penyelenggara negara terdapat dalam pasal 2
Undang-Undang No.28 Tahun 1999. Penyelenggara negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
peruandang-undangan yang berlaku
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan
negara
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Terdakwa yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam putusan
Nomor: 46/Pid.B/2009/PN.BMS adalah benar seorang Pegawai Negeri Sipil
setelah diperiksa identitas dan jati dirinya. Terdakwa diangkat sebagai
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Banyumas Nomor: 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari 1987 yang
89
kemudian diangkat sebagai kepala Bagian Tata Usaha pada Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Banyumas Nomor: 821.2/030/2005 tanggal 25 Januari
2005.
1. yang menerima hadiah atau janji;
Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S Poerwadarminta
terbitan Balai Pustaka 1987 yang dimaksud hadiah atau hibah atau kado
merupakan pemberian dalam bentuk uang, barang, jasa dan lain-lain yang
dilakukan tanpa ada kompensasi balik seperti yang terjadi dalam perdagangan,
walaupun dimngkinkan pemberi hadiah mengharapkan imbal balik, ataupun
dalam bentuk nama baik (prestise) atau kekuasaan. Adapun yang dimaksud
dengan janji adalah tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si
penerima tawaran.
Unsur menerima hadiah atau janji ini mengandung dua elemen yang
sifatnya alternative, yaitu hadiah atau janji, dimana dalam pembuktian unsur
ini cukup dibuktikan terpenuhinya salah satu dari elemen tersebut hadiah saja
atau janji saja.
Dari perbuatan terdakwa, terdakwa menerima uang yang didapatnya dari
desa-desa yang mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa
Tengah sebesar Rp 33.110.000,00 dengan rincian Rp 4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah) digunakan untuk biaya pengangkutan aspal dari gudang
Dinas Pekerjaan Umum di Semarang ke desa-desa yang menerima bantuan
90
aspal sedangkan sisanya Rp 28.610.000,00 (dua puluh delapan juta enam ratus
sepuluh ribu rupiah) dipakai oleh terdakwa sendiri.
2. padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungannya dengan jabatannya;
Unsur kesalahan yang dilakukan terdakwa menurut pasal 11 ini ada dua
macam, yaitu bentuk kesengajaan dan bentuk kealpaan. Bentuk kesengajaan
yaitu pada kalimat “diketahuinya” bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Sedangkan bentuk culpa atau kealpaan terdapat pada unsur “patut diduga”,
sehingga pasal 11 dapat dikataka merupakan apa yang disebut pro parte dolus
pro parte culpa. Dari dua bentuk kesalahan tersebut masing-masing ditujukan
pada unsur bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Sudah memenuhi ketentuan pasal 11 meskipun Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan atau
wewenang untuk memenuhi apa yang diharapkan dari orang yang memberi
hadiah atau janji, tetapi Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
mengetahui atau patut menduga orang yang memberi hadiah atau janji
beranggapan jabatan yang dipangku oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara tersebut dapat memenuhi apa yang diharapkan dari orang yang
memberi hadiah atau janji.
91
Fakta yang diungkap di persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi
yaitu mereka para Kepala Desa yang mengajukan proposal bantuan aspal dari
Gubernur Jawa Tengah dan diperkuat oleh terdakwa bahwa pada tahun 2007
sewaktu terdakwa menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas, terdapat 8 (delapan) desa yang
mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah terdiri dari 1
(satu) desa di luar wilayah hukum PN Banyumas dan 7 (tujuh) desa di wilayah
hukum PN Banyumas.
Dari 7 desa tersebut, 6 diantaranya mengajukan proposal melalui terdakwa
dengan menyertakan uang di dalamnya. Uang tersebut menurut para saksi
diberikan kepada terdakwa karena jabatan terdakwa dianggap sebagai pihak
yang sangat penting dalam memperlancar proses pengajuan prosposal bantuan
aspal tersebut.
Dari awal proses pengajuan bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah,
rangkaian perbuatan terdakwa terlihat bahwa terdakwa berusaha menciptakan
suatu kesan, image, atau pola pikir kepada saksi-saksi dari masing-masing
desa yang mengajukan proposal bahwa terdakwa mempunyai peran penting
untuk diberikan atau tidaknya bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Hingga pada akhirnya hanya 3 (tiga) desa saja yang dinyatakan memperoleh
bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Upaya terdakwa dalam menciptakan pola pikir kepada saksi-saksi yaitu
dengan cara:
b. mengkoreksi proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah
disertai dengan petunjuknya yang seharusnya bukan merupakan tugas
dan kewenangan terdakwa,
92
c. menanamkan pola pikir kepada para kepala desa bahwa terdakwa yang
bertugas membawa sendiri proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa
Tengah tersebut ke Provinsi sehingga mendorong para saksi
memberikan sejumlah uang atas permintaan terdakwa sebagai biaya
transportasi ke Semarang,
d. mendampingi petugas survey dari provinsi untuk menciptakan
pandangan bahwa terdakwa berperan penting dalam pemberian
bantuan tersebut,
e. mengkoordinir 3 kepala desa yang akhirnya mendapat bantuan aspal
dari Gubernur Jawa Tengah untuk memberikan sejumlah uang kepada
terdakwa,
f. mendampingi desa yang mendapatkan bantuan aspal untuk mengambil
aspal bantuan ke provinsi.
3. pidana tambahan;
Ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu
dari hukum pidana umum. Demikian pula mengenai sistem pemidanaan
tindak pidana korupsi yang sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum
dalam stelsel pidana menurut KUHP. Dalam hukum pidana umum (KUHP)
yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10.
Jenis-jenis pidana pokok tidak dapat dijatuhkan secara kumulatif,
sedangkan pada tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana pokok
lebih dari satu selalu bersifat alternatif. Jenis-jenis pidana pokok yang bersifat
imperatif, artinya jika tindak pidana terbukti dan yang dilakukan oleh orang
yang karena dipersalahkan kepada pembuatnya, maka pidana pokok wajib
dijatuhkan sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang
dilakukan oleh si pembuat.
Berbeda dengan jenis-jenis pidana tambahan yang bersifat fakultatif,
artinya tidak ada keharusan untuk dijatuhkan. Apabila tindak pidana tertentu
yang dilakukan si pembuat maka diancam dengan salah sau jenis pidana
93
tambahan. Penjatuhan pidana tambahan itu bergantung pada kebijakan
majelis hakim perlu dipertimbangkan atau tidak.
Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan
secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah
merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok.Akan tetapi dalam
beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian.Pada dasarnya
tidak dikenal kebolehan penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa
penjatuhan pidana pokok, akan tetapi dalam perkembangan penerapan
hukum pidana dalam praktek sehari-hari untuk menjatuhkan pidana tidak
lagi semata-mata bertitik berat pada dapat dipidananya suatu tindakan,
akan tetapi sudah bergeser kepada meletakan titik berat dapat dipidananya
terdakwa'. Hal inilah yang mendasari pengecualian tersebut.
Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam pasal 39 ayat 3
jo. Pasal 45 dan 46, serta pasal 40. Kedua pasal tersebut intinya mengatur
jika terhadap terdakwa dinyatakan bersalah akan tetapi karena atas dirinya
tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan dibawah umur atau tidak
waras maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait dengan tindak
pidana yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.
Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa
aturan di luar KUHP. Dalam UU Korupsi di pasal 38 ayat 5 dikatakan
bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.73
Dalam hukum pidana korupsi mengenai jenis-jenis pidana pokok sama
dengan jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP. Mengenai jenis
pidana tambahan ada jenis baru yang tidak dikenal menurut pasal 10 KUHP,
tetapi dimuat dalam pasal 18 ayat (1)74, antara lain:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
73
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dan-tambahan,
diakses pada 13 Desember 2012
74
Wiyono, Op Cit, hlm.127
94
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1
tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2): Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ayat (3): Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999
jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan.
Jika diperinci lebih lanjut penjelasan dari pasal demi pasal mengenai
penerapan pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi sesuai pasal 18,
antara lain meliputi:
Ayat (1):
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut. Pidana tambahan mengenai
perampasan barang dalam pasal in dapat diperinci kembali meliputi:
- Perampasan barang bergerak yang berwujud yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula
harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
- Perampasan barang bergerak yang tidak berwujud yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut, atau
- Perampasan barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
95
Dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang
menurut pasal 39 ayat (1) KUHP dan pasal 18 ayat (1) mempunyai kesamaan
yaitu barang-barang yang dirampas harus kepunyaan terpidana. Namun, jika
dibandingkan perampasan barang menurut pasal 39 ayat (1) KUHP tidak dapat
dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud.
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.75
Pidana pembayaran uang pengganti, walaupun ada persamaan sifat dengan
pidana denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan
atas harta kekayaan si pembuat atau terpidana, namun substansinya sungguh
berbeda. Perbedaan itu mengenai jumlah uang dalam pidana denda, tidaklah
perlu dihubungkan dengan akibat atau kerugian yang diderita yang in casu
maksudnya adalah kerugian negara. Akan tetapi pada pidana pembayaran
uang pengganti wajib dihubungkan dengan adanya akibat atau kerugian yang
timbul oleh adanya korupsi yang dilakukan oleh si pembuat. Tujuan pidana
pembayaran uang pengganti adalah untuk pemulihan kerugianakibat tindak
pidana korupsi, tetapi pidana denda semata-mata ditujukan bagi pemasukan
uang untuk kas negara.
Terdapat indikasi terjadinya perbedaan pendapat di antara para hakim
dalam penafsiran terhadap ketentuntuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No
31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU No 20
Tahun 2001. Sebagian hakim berpendapat bahwa besarnya uang pengganti
sama dengan nilai kerugian negara tanpa memperdulikan apakah barang
bukti dapat disita secara utuh atau tidak. Sebagian hakim berpendapat
bahwa besarnya yang pengganti harus sama dengan jumlah yang diperoleh
75
Ibid, hlm.129
96
dari korupsi tanpa memperhitungkan apakah barang bukti ada yang disita
atau tidak. Sebagian hakim lagi berpendapat bahwa besarnya uang
pengganti sebesar-besarnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
korupsi. Sehingga apabila ada barang bukti yang disita maka nilainya
harus di perhitungkan, dan apabila nilai barang bukti telah sama dengan
atau telah melebihi jumlah uang yang diperoleh dari korupsi maka
terdakwa tidak perlu lagi dihukum membayar uang pengganti. Eksekusi
terhadap hukuman tambahan dalam pembayaran nang pengganti jika para
terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang dapat disita dan dilelang
untuk membayar uang pengganti sehingga para terdakwa dapat memilih
untuk menjalani hukuman pengganti sebagai hukuman subsider dari
hukuman tambahan membayar yang pengganti.76
Dalam pidana tambahan pembayaran uang pengganti, jumlah uang
pengganti ditentukan sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi. Dalam menentukan dan membuktikan jumlah
pembayaran uang pengganti harus diperhitungkan dengan benar sesuai “harta
benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” karena
pembayaran uang pengganti ini hanya terbatas sampai ”sebanyak-banyaknya
sama” yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi.
c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 tahun,
diperinci kembali meliputi:77
1. Penutupan seluruh perusahaan untuk paling lama 1 satu) tahun,
atau
2. Penutupan sebagian perusahaan untuk paling lama 1 satu) tahun.
Dalam hal ini, pembuat Undang-Undang tidak menjelaskan apakah
perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan milik terpidana atau apakah
tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana harus dilakukan di dalam
lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. Namun, menurut penulis
tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup
dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana
masih di dalam lingkup usaha dari perusahaan yang ditutup.
76
77
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36914, diakses 14 Januari 2013
Ibid, hlm.128
97
d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.
Yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal ini adalah
termasuk hak-hak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terdakwa, yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 35 ayat (1) KUHP.
Pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c dan d, pada
hakikatnya merupakan pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 huruf b angka 1 KUHP.78 Oleh karena merupakan
pidana tambahan, ketentuan yang terdapat di dalam pasal 38 ayat (2) KUHP
berlaku juga untuk ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf c
dan d, artinya pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan,
pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut
mulai berlaku pada hari putusan pidana tambahan tersebut dapat dijalankan
dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalani pidana
tambahan. Dengan demikian, pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan pada
pasal 18 ayat (1) angka c dan d tidak diperlukan.
Ayat (2):
Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusan mengenai pembayaran
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b ,
kepada terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti
seperti yang ditentukan dalam pasal 18 ayat (2) yaitu “paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai
pelaksana putusan pengadilan (pasal 270 KUHAP), tidak dapat
78
Ibid, hlm.131
98
memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti
halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda,
yaitu ditentukan pada pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran
uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. Jika tenggang waktu
untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata
tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya adalah harta benda
terpidana dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.79
Yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dalam Pasal 18
ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan
harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda
kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa
harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil
korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi,
maka pengadilan tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa
perampasan barang-barang sebagaimana Pasal 39 ayat (1) KUHP atau
Pasal 18 ayat (1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan
penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dlelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.80
Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian
harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana
putusan pengadilan (Pasal 270 KUHP) jika terpidana belum atau tidak
membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada
putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.Prosedur
pelaksanaan penyitaan yaitu penyitaan terhadap harta benda kepunyaan
terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu memint izin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat atau sesudah melakukan penyitaan segera
melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempatuntuk mendapatkan
perseetujuan, karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka
penyidikan, tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. 81Jaksa
dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa
tersebut harus dapat memperkirakan harga benda yang disita, yang jika
dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat
dalam putusan pengadilan.
Setelah dilakukan penyitaan, maka jaksa melakukan penyimpanan
harta benda sitaan. Tindakan penyimpanan tersebutberbeda-beda. Dalam
hal berupa dokumen, maka jaksa penyidik melakukan penyimpanan
dokumen sebagai benda sitaan di kantor kejaksaan. Lain halnya
79
Ibid, hlm.130
Ibid, hlm.133
81
Ibid
80
99
apabilaberbentuk benda bergerak, maka penyimpanan barang bukti
dilakukan dengan menitipkannya di Rumah Penitipan Benda Sitaan
Negara (Rupbasan). Dalam hal berupa uang maka barang bukti tersebut
disimpan dalam rekening khusus yang dimiliki oleh Kejaksaan yang telah
mendapat izin dari menteri keuangan. 82
Ayat (3):
Dari ketentuan yang ada pada pasal 18 ayat (3), dapat diketahui adanya
beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18
ayai (1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu:83
a. Oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan: “terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b”, artinya dalam
tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata di samping terpiidana
sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang
pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana
yang telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18
ayat (2) tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.
b. Lamanya pidana penjara oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan: “tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini” artinya pidana penjara yang
dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tidak boleh
melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari ketentuan tetang
tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana.
c. Lamanya pidana penjara tersebut oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan:
“sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.” Artinya pada waktu
pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, di dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau
dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh
pengadilan terhadap terpidana jika sampai terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti.
4. perbuatan berlanjut (voortgezette handeling)
82
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30087/2/Chapter%20III-IV.pdf,
diakses pada 9 Agustus 2013
83
Op.Cit, hlm.135
100
Dalam pasal 64 ayat (1) KUHP, perbuatan berlanjut (voortgezette
handeling) yaitu “jika beberapa perbuatan-perbuatan berhubungan, sehingga
demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka
hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing
perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, jika hukuman berlainan
maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukumnya”.
Menurut R.Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP),84 bahwa beberapa perbuatan yang yang satu sama lain ada
hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai “suatu perbuatan yang
diteruskan” menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat-syarat :
harus timbul dari satu niat, perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sama
macamnya, dan waktu antaranya tidak boleh terlalu lama.
Berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa pada tahun 2007 saat masih
menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Banyumas terdapat 8 desa terdiri dari 1 desa di luar wilayah
Kabupaten Banyumas dan sisanya dari wilayah Kabupaten Banyumas yang
mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.7 (tujuh) desa
di wilayah Kabupaten Banyumas yang direkomendasikan dapat memperoleh
bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah mengajukan proposal bantuan aspal ke
Gubernur Jawa tengah dimana setiap proposal bantuan yang diajukan harus
melalui terdakwa karena pada saat itu jabatan terdakwa adalah Kabag TU
Dinas Pekerjaan Umum. Terdakwa menerima proposal dari beberapa desa,
84
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia Bogor, Cetakan Ulang :1993, hlm. 81-82
101
antara lain Desa Karanggintung, Desa Kemiri, Desa Sibrama, Desa
Kebarongan, Desa Karangsalam, Desa Kedungpring, serta Desa Petahunan.
Terdakwa dalam hal ini telah melakukan beberapa perbuatan sejenis yaitu
menerima uang dari saksi Noto Siswanto, Nanggal Haryanto, Mujiono,
Anwari, Muh.Siasat, Roso dari pengajuan proposal bantuan aspal dari
Gubernur Jawa Tengah sampai dengan penerimaan bantuan aspal bagi tiga
desa dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Yang dilakukan terdakwa
tersebut adalah timbul dari satu niat atau kehendak yang terlarang dari
terdakwa yaitu menguntungkan diri terdakwa atas masyarakat desa pemohon
bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan, majelis hakim tidak
menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggung
jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh
karena majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya. Karena terdakwa mampu
bertanggung jawab maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak
pidana yang didakwakan oleh karena itu harus dijatuhi pidana.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, bahwa akibat dari tindak pidana korupsi
sangat luas dan mengakar.85 Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai
berikut:
a. berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
Apabila pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan kurangnya
kepercayaan terhadap pemerintah tersebut. Di samping itu, negara lain
juga lebih mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari korupsi dalam
kerja sama di berbagai bidang, sehingga secara tidak langsung dapat
menghambat pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan
85
Evi Hartanti, Op Cit, hlm.16
102
b.
c.
d.
e.
f.
ekonomi serta menggangu stabilitas perekonomian negara dan stabilitas
politik.
berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
Apabila pejabat pemerintah yang notabene sudah mendapat amanah dari
masyarakat kemudian melakukan tindak pidana korupsi maka masyarakat
cenderung apatis dengan segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat
apatis ini jelas akan mengganggu keamanan negara dan rapuhnya
ketahanan nasional.
menyusutnya pendapatan negara;
Peneriman negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor yaitu
dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara berangsur
menurun seiring dengan penyelewengan dan penyeludupan oleh pejabat
pemerintah yang bersangkutan.
rapuhnya keamanan dan ketahanan negara;
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat
pemerintah mudah disuap. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan
berkurangnya loyalitas masyarakat terhadap negara.
perusakan mental pribadi;
Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan
wewenang meentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala
sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan tugasnya serta hanya
melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Yang lebih
berbahaya lagi jika hal ini dicontoh oleh generasi muda maka cita-cita
bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur akan
semakin sulit tercapai.
hukum tidak lagi dihormati;
Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatunya harus
didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya
terletak pada penegak hukum saja tetapi juga seluruh waraga negara
Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud
apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum
tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.
Berkaitan dengan penerapan pidana di negara kita, potret penerapan pidana
akhir-akhir ini bagi para pelaku tindak pidana korupsi kurang
menimbulkan efek jera sehingga kemunculan tindak pidana korupsi dari
masa ke masa semakin meningkat.Berbicara tentang akibat yang mungkin
ditimbulkan akan bahayanya tindak pidana korupsi, penulis berpendapat
jika penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dapat
menimbulkan efek jera kepada pelakunya atau juga agar orang lain tidak
ikut serta pula melakukan tindak pidana korupsi.
103
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat penulis dalam penulisan hukum yang berjudul
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN TERHADAP PEGAWAI NEGERI
SIPIL (Studi Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Pengadilan
Negeri Banyumas Nomor :46/Pid.B/2009/PN.Bms) yaitu:
1. Penerapan Pidana Tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil bernama
Casmono yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena
perbuatannya telah melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal
64 ayat (1) KUHP.Penerapan pidana tersebut berdasarkan ketentuan
pasal 18 ayat (1) huruf b bahwa jumlah uang pengganti sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, dalam hal ini sebanyak Rp 28.610.000,00. Sesuai pasal 18 ayat
(2) dalam hal jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.Praktiknya, bila harta
104
terpidana tak cukup, maka terpidana tetap harus menjalani pidana penjara
pengganti
(subsidiaritas)yang
lamanya
tidak
memenuhi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai pasal 18 ayat (3).
Namun, karena sesuai fakta dalam persidangan, terdakwa menitipkan
uang kepada Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp 28.610.000,00 yang
kesemuanya dimaksud oleh terdakwa untuk mengembalikan uang yang
telah dinikmati dari hasil perbuatannya, maka uang hasil korupsi tersebut
hanya disita dan dikembalikan kepada desa yang berhak meliputi
masyarakat Desa Karanggintung melalui saksi Noto Siswanto sebesar
Rp.12.110.00,00, dikembalikan kepada masyarakat desa petahunan
melalui saksi Nanggal Haryanto sebesar Rp.6.500.000,00, dikembalikan
kepada masyarakat Desa Kemiri melalui saksi Mujiono sebesar
Rp.7.500.000,00, dikembalikan kepada masyarakat Desa Karangsalam
melalui saksi Roso sebesar Rp.1.000.000,00, dikembalikan kepada
masyarakat
Desa Kebarongan melalui saksi M.Siasat sebesar
Rp.500.000,00, dikembalikan kepada masyarakat Desa Kedungpring
melalui saksi Anwar sebesar Rp.1.000.000,00.
2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil pelaku tindak pidana korupsi
dalam putusan nomor: 46/Pid.B/2009/PN.Bms yaitu majelis hakim
menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa Casmono berupa
pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda
yang diperoleh dari tindak pidana
korupsisejumlah Rp
105
28.610.000,00. Jumlah tersebut terhitung dari proses pengajuan proposal
dari desa yang direkomendasikan menerima bantuan aspal sampai
pengambilan aspal ke Semarang bagi desa yang menerima bantuan aspal,
terdakwa berkali-kali menerima hadiah uang yang keseluruhannya
sejumlah Rp 33.110.000,00. Kemudian terdakwa menggunakan uang
tersebut untuk biaya pengangkutan aspal dari gudang Dinas Pekerjaan
Umum di Semarang ke tiga desa penerima bantuan aspal (Desa
Karanggintung, Desa Kemiri, dan Desa Petahunan) sebanyak Rp
4.500.000,00, sedangkan sisanya Rp 28.610.000,00 terdakwa memakai
untuk keuntungannya sendiri. Secara hukum sisa uang tersebut tidak sah
karena berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku bahwa
bantuan aspal adalah bantuan hibah yang diberikan cuma-cuma dari
Gubernur dan tidak diperkenankan memungut biaya apapun kecuali
biaya angkut aspal dari Semarang sampai ke desa penerima hibah yang
menjadi tanggung jawab desa penerima hibah. Oleh karena itu terdakwa
tidak berhak untuk menerima ataupun memilikinya maka terdakwa wajib
mengganti dan mengembalikannya kepada yang berhak.
B. SARAN
Saran yang dapat disajikan oleh penulis, antara lain:
-
Untuk majelis hakim yaitu pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
kepada terdakwa adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun menurut
pandangan penulis hendaknya lebihmaksimal karena kurang dapat
memberikan efek jera bagi terdakwa. Namun, dengan adanya aturan
106
mengenai hukuman tambahan, hal ini dapat menjadikan perbaikan pada
diri terdakwa untuk tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi serta dapat
mencegah atau meminimalisir kemungkinan munculnya kasus-kasus
korupsi berikutnya dalam masyarakat.
-
Untuk Pegawai Negeri Sipil di Indonesia seharusnya mendukung penuh
gerakan pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan bukan
ikut terlibat dalam tindak pidana korupsi, karena perilaku Pegawai Negeri
khususnya Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah menjadi sorotan
rakyat banyak sehingga mereka wajib untuk memberi suri tauladan atau
contoh yang baik kepada rakyat Indonesia sehingga rakyat dapat percaya
penuh dengan kinerja pemerintah Indonesia demi meningkatkan ketahanan
nasional di Indonesia.
-
Untukrakyat Indonesia seharusnya ikut serta mendukung gerakan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menghindari segala bentuk
kecurangan-kecurangan yang memicu terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
107
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur :
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum
Pidana). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Jur.Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi.Jakarta: Sinar Grafika.
Lamintang, P. A. F., dkk. 2009. Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan
Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
-----. 1990. Hukum Pidana Indonesia, Cet.III. Bandung: sinar Baru.
Lopa, Baharuddin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum.Jakarta:
Kompas.
Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan
Keempat. Jakarta: Sinar Grafika.
Moeljatno.2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
Bandung: PT. Rafika Aditama.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: Mandar Maju.
Remmelink, Jan.2003. “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saleh, K.Wantjik.1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
108
Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track Sistem Dan implementasinya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Situmorang, Victor.M. 1994. Tidak Pidana Pegawai Negeri Sipil. Jakarta:
Rineka Cipta.
Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di
Indonesia, Jakarta: UI-Press.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri.
Jakarta: Alumni.
-----. 2000. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang:Ghalia Indonesia.
Soekanto, Surjono. 1981.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto.
Surachmin, dkk. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Tuanakotta, M.Theodorus. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara
Dalam Tindak Pidana korupsi.Jakarta: Salemba Empat.
Wiyono, R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
2. Peraturan Perundang-Undangan:
Undang - undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
Undang - undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
Undang - undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
Undang - undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974
109
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Internet:
http://www.beritasatu.com/nasional/85448-lebih-dari-1000-pns-terlibatkasus-hukum.html diakses pada 13 Desember 2012.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5329,diakses pada 13 Desember
2012.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dantambahan, diakses pada 13 Desember 2012.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36914, diakses 14 Januari 2013.
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurutbambang-poernomo.html, diakses pada 1 Maret 2013.
http://www.inkepeg.net/infkepeg.php?id=4 , diakses pada 29 Maret 2013.
http://bkd.balikpapan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=54&Itemid=64, diakses pada 29 Maret 2013.
http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/pedoman-berhenti-pns.html,
diakses pada 29 Maret 2013.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30087/2/Chapter%20IIIIV.pdf, diakses pada 9 Agustus 2013.
Download