BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kepulauan Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dengan perairan laut mencapai 5.8 juta kilometer persegi (Murdianto, 2004). Indonesia memiliki struktur geoologis yang khas yang berpengaruh terhadap aspek fisik wilayah dan kebencanaan. Bencana alam terjadi karena adanya interaksi antara kerawanan bahaya dan kerentanan di suatu wilayah. Aspek bahaya berasal dari tenaga yang berasal dari luar maupun dalam meliputi bencana alam dan proses fisik alami. Menurut Undang – undang Penanggulangan Bencana nomor 24 tahun 2007, kerentanan yaitu seperangkat kondisi yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya dalam jangka waktu tertentu. Kerentanan digolongkan dari kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan kerentanan lingkungan. Kerentanan sosial wilayah pesisir ditandai dengan jumlah 65 % dari penduduk Pulau Jawa tinggal di daerah pesisir (KMLH.2007). Kerentanan fisik alami merupakan salah satu penyusun kerentanan sosial terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Kerentanan fisik alami pada pantai dapat diartikan sebagai suatu kondisi fisik dari pantai yang meliputi aspek geomorfologis dan aspek proses fisik laut yang memiliki kontribusi dalam tingkatan ancaman bahaya yang menimbulkan dampak pada aspek fisik pantai seperti ekosistem pantai. Pantai adalah wilayah yang mempunyai batas pasang tertinggi dan surut terendah dipengaruhi oleh proses fisik laut sedangkan kearah darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan sosial ekonomi bahari (Triatmodjo, 1999). Pantai yang memiliki material pasiran disebut pantai gisik. Pantai gisik pada teluk terbentuk sepanjang area deposisi teluk baik dari material marine maupun material fluvial. Pantai yang berbentuk teluk megalami divergensi gelombang yang mempengaruhi 1 dinamika pantai. Pantai gisik pada Teluk Pacitan dan Teluk Prigi di Trenggalek memiliki kesamaan tipologi yaitu marine deposition coast dan morfologinya yang berupa gisik saku dengan ciri perairan terbuka menghadap Samudera Hindia. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muttaqin (2010) didapat kesimpulan bahwa tingkat kerentanan yang berbeda dapat ditemukan pada tipologi yang sama karena proses yang sama dapat terjadi namun dengan intensitas yang berbeda. Teori terebut merupakan salahsatu dasar yang menelatarbelakangi dilakukan penelitian ini. Secara geografis Kabupaten Pacitan merupakan pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur yang membujur dari Gunung Kidul ke Trenggalek menghadap dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Analisis Sumberdaya Daerah Sebagai Pendorong Investasi tahun 2010menyebutkan 4,3 % dari luas wilayah dengan kemiringan 0 – 2 % merupakan wilayah pesisir. Wilayah pantai yang berbentuk teluk merupakan potensi alam yang besar yang dimiliki Kabupaten Pacitan. Teluk Pacitan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan IX Indonesia yang strategis bagi pengembangan perikanan terutama cakalang, lobster, bawal, tuna, dan ikan lainnya. Potensi lainnya yaitu Teluk Pacitan merupakan kawasan strategis untuk pengembangan pariwisata, infrastruktur, maupun konservasi (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010). Sebagaimana pesisir ini direncanakan sebagai Kawasan Minapolitan yang mengintgrasikan sumberdaya laut dengan sumberdaya manusia. Teluk Prigi di Trenggalek merupakan salah satu pantai dari empat yang mendapat prioritas akan dikembangkan menurut Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Timur (RIPDA Jawa Timur, 2002). Teluk Prigi yang terletak di Kecamatan Watulimo ini menyimpan potensi yang perlu dioptimalkan dari segi perikanan, pariwisata dan budaya. Perekonomian yang semakin menggeliat di kawasan ini ditandai dengan adanya pelabuhan dan pertumbuhan sektor pariwisata. 2 Teluk Prigi dan Teluk Pacitan memiliki karakteristik fisik masing - masing yang berpengaruh terhadap fisiografi pantai. Perbedaan material pembentukan batuan dan struktur geologi berpengaruh pada morfologi pantai dan sifat sedimen pembentuk pantai. Peta Geologi Lembar Tulungagung menyebutkan Teluk Prigi memiliki struktur dan material geologi berupa breksi gunungapi, lava tuf, sisipan batupasir lanau yang merupakan material pembentuk perbukitan di sekitar teluk hingga mengelilingi teluk dan membentuk tanjung.Material tersebut merupakan penyumbang sedimen pembentuk pantai yang menyebabkan warna coklat kehitaman pada material pasir. Tanjung yang mengelilingi Teluk Prigi memiliki bentuk yang sangat menjorok ke lautan. Hal tersebut berpotensi menyebabkan perbedaan karakteristik terutama faktor gelombang. Sedangkan Teluk Pacitan memiliki material geologi berupa batugamping terumbu, berlapis dan berkepingan yang mendominasi perbukitan di sekitar teluk dan membentuk tanjung. Material karst dan gampingan ini menjadi penyumbang dominan material deposisi pembentuk pantai yang juga mempengaruhi ukuran butir sedimen. Selain material pembentukan batuan, perbedaan morfologi pantai juga disebabkan oleh kondisi lingkungan masing – masih wilayah yaitu kondisi oseanografi, bathimetri, dan aktivitas manusia. Posisi Teluk Pacitan dan Teluk Prigi merupakan perairan terbuka yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Tipe perairan terbuka ini membuat energi gelombang begitu besar yang mempengaruhi dinamika pantai (Satriadi, 2001). Energi gelombang yang besar mempengaruhi dinamika pantai dan ancaman bahaya. Kenaikan muka air laut yang terjadi secara signifikan terjadi dalam beberapa periode terakhir menyebabkan perubahan garis pantai. Rata – rata peningkatan temperatur global ± 0,74° C menyebabkan pencairan es salju abadi yang mengakibatkan kenaikan muka air laut di hampir seluruh pesisir di dunia (IPCC, 2007). Perubahan garis pantai dapat berupa erosi pantai ataupun sedimentasi yang menjadi salah satu faktor dinamika pantai. Kondisi pantai yang berbentuk teluk mempengaruhi proses laut yang terjadi seperti pasang surut dan energi gelombang. Kerentanan fisik alami 3 di pesisir dapat mengancam ekosistem pantai, sosial ekonomi masyarakat pesisir, dan kerusakan bangunan atau infrastruktur pantai yang merupakan kharakteristik khas yang dimiliki kawasan pesisir. Penilaian kerentanan fisik alami pantai perlu dilakukan untuk memprediksi kemungkinan respon dan dampak terhadap proses yang berlangsung. Pengukuran kerentanan dilakukan dengan mengukur indeks kerentanan fisik alami pantai. Indeks kerentanan fisik alami pantai menghitung kemungkinan besaran jenis dampak fisik yang akan ditimbulkan menurut kelompok wilayah. Metode CVI yaitu metode pengukuran kerentanan fisik pantai yang disajikan dalam bentuk data numerik perangkingan parameter penyusun kerentanan terhadap perubahan fisik sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses yang terjadi dan area yang memiliki kerentanan tinggi. Terdapat 6 variabel yang digunakan dalam metode CVI yaitu variabel laju perubahan garis pantai, kenaikan muka air laut, tunggang pasang surut, kemiringan lereng pantai, geomorfologi, dan gelombang. Variabel geomorfologi dan kemiringan pantai berpengaruh pada ketahanan elemen fisik pantai dalam menghadapi ancaman bahaya. Sedangkan faktor fisik laut yaitu pasang surut, perubahan garis pantai, gelombang, dan kenaikan muka air laut merupakan elemen yang berkontribusi dalam faktor ancaman bahaya yang berasal dari energi laut. Apabila kedua parameter tersebut dapat diukur maka dapat diidentifikasi tingkat kerentanan suatu area dari proses alami yang berpotensi menimbulkan ancaman. Penelitian tentang pesisir di area kajian sudah banyak dilakukan namun penelitian kebanyakan mempunyai topic karakteristik pantai, erosi pantai, atau akresi. Untuk itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang pengukuran kerentanan pantai mengingat kerawanan yang tinggi terhadap ancaman bahaya. Kharakteristik Teluk Pacitan maupun Teluk Prigi yang khas mempunyai segudang potensi yang dapat dimanfaatkan. Perencanaan pembangunan infrastruktur pesisir semakin menggeliat dengan adanya renacana pembangunan kawasan minapolitan, yaitu kawasan pengembangan pesisir strategis berbasis masyarakat pada sector perikanan dan 4 pariwisata. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan ancaman bahaya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Pengukuran kerentanan fisik pesisir dapat memberikan masukan terhadap pembangunan dan upaya mitigasi serta adaptasi dari dinamika pesisir yang terjadi ataupun ancaman bahaya yang berasal dari proses fisik laut. 1.2. Rumusan Masalah Pantai gisik pada sebuah teluk mempunyai karakteristik yang khas baik dari sisi geomorfologi, oseanografi, potensi, dan pemanfaatan. Teluk Pacitan dan Teluk Teluk Prigi memiliki perbedaan material pembentukan batuan dan karakteristik geologi yang berpengaruh pada morfologi dan sedimen pantai. Namun, Teluk Pacitan dan Teluk Prigi memiliki kesamaan tipologi pantai berbentuk teluk dengan tipe perairan terbuka menuju Samudera Hindia. Tipologi yang sama tersebut dapat mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda karena intensitas proses yang bekerjapun berbeda. Pembangunan di area pesisir membutuhkan perencanaan yang matang terkait ancamannya dengan bahaya. Pembangunan yang baik dilakukan di kawasan yang mempunyai dampak paling minimal dari ancaman bahaya atau kerentanan fisik yang rendah. Penilaian kerentanan fisik pantai secara numeric perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kerentanan fisik pantai. Penilaian kerentanan menggunakan metode Coastal Vulnerability Index (CVI) menggunakan parameter variabel geomorfologi dan variabel proses fisik laut. Variabel tersebut merupakan parameter yang mempengaruhi kerentanan fisik pantai dari dinamika pantai ancaman bahaya kenaikan muka air laut dan erosi pantai serta dinamika pesisir. Dengan mengetahui variabel yang paling berpengaruh pada indeks kerentanan fisik pesisir dapat dilakukan pengelolaan lebih lanjut pada variabel tersebut untuk meminimalisasi dampak yang akan terjadi. Dari permasalahan tersebut maka didapat perumusan masalah dari penelitian ini ialah: 5 1. Bagaimana kajian perbandingan indeks kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi? 2. Variabel apa yang berkontribusi dalam penyusunan indeks kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan: 1. Mengkaji perbandingan indeks kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi. 2. Mengetahui variabel apa yang berpengaruh terhadap kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul: “KAJIAN KERENTANAN FISIK ALAMI PANTAI BERGISIK DI TELUK PACITAN DAN TELUK PRIGI, JAWA TIMUR” 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik manfaat akademis maupun manfaat praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang oseanografi dan kebencanaan pesisir. Topik kebencanaan pesisir terutama aspek bahaya dan kerentanan terhadap kenaikan muka air laut diharapkan dapat terus dikembangkan untuk pengelolaan pesisir berkelanjutan dan manajemen bencana. Identifikasi kerentanan fisik pesisir diharapkan dapat dijadikan model dan rujukan untuk arahan pembangunan kawasan pesisir yang memperhatikan daya dukung lingkungan. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberi masukan atau rekomendasi terhadap pemerintah atau pihak – pihak yang berkepentingan. 6 Perencanaan pengembangan kawasan minapolitan pada pesisir Pacitan dan Trenggalek diharapkan memperhatikan faktor kelestarian lingkungan dan ancaman bahaya atau bencana. Untuk itu data kuantitatif maupun kualitiatif pesisir secara keseluruhan penting diadakan sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah pesisir. Pembagunan wilayah yang baik dapat menunjang kelangsungan alam yang lestari tanpa mengabaikan faktor lingkungan. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di wilayah penelitian. Informasi mengenai bahaya dan ancaman dari gelombang dan kenaikan muka air laut penting diketahui untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana maupun upaya adaptasi pariwisata. Aktivitas masyarakat pesisir dan pembangunan desa hendaknya juga memperhatikan faktor keselamatan dan kerugian dari ancaman bahaya yang disebabkan faktor alam. 1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 1.5.1. Pantai 1.5.1.1. Pengertian Pantai Pantai merupakan wilayah yang termasuk dalam pesisir yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan surut terendah (Triatmodjo, 1999). Pantai termasuk dalam wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang memiliki nilai penting bagi setiap negara yang memilikinya. Wilayah pesisir memiliki nilai penting yang memiliki kekhasan kondisi ekologis, biologis, dan geologis yang penting bagi keberlangsungan kehidupan di darat dan laut. Battley, et al. (2002) dalam Sara (2014) menjelaskan wilayah pesisir merupakan wilayah dinamik yang saling berhubungan merupakan dimana daratan, air, dan udara berinteraksi dalam keseimbangan yang muda terganggu (fragile) yang secara tetap dirubah oleh pengaruh alam dan manusia. Pantai gisik ialah pantai yang memiliki material pasiran yang dibatasi oleh pasang tertinggi dan surut terendah. Bird (1984) mendefinisikan pantai sebagai shore yaitu wilayah dari surut terendah hingga pasang tertinggi, yang meliputi: 7 1. Pantai bagian depan (foreshore) adalah wilayah yang berada dari garis pantai dengan surut terendah hingga batas atas dari pasang tertinggi. 2. Pantai bagian belakang (backshore) adalah wilayah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai pada saat gelombang tinggi dan gelombang badai. 3.Pantai lepas (offshore) adalah wilayah antara garis pantai surut terendah hingga ke laut lepas. Shore menurut Gross (1990) adalah wilayah yang terbentang dari pasang tertinggi hingga tingkat pasang terendah yang dicapai oleh pasir yang dipindahkan oleh gelombang. Pantai (shore) adalah zona sempit perairan lautan yang dibatasi oleh garis surut terendah (shoreline) dan garis pasang tertinggi (coastline) (CERC, 1984). Mintakat pantai dimulai setelah zona pecah gelombang (breaker zone) yang merupakan mintakat gelombang mengalami pembengkakan dan pemecahan akibat pendangkalan dasar laut (Gambar 1.1). Sedangkan beach atau gisik ialah bentuk dari shoreyang memiliki akumulasi material sedimen lepas dalam jumlah besar yang mengendap dalam suatu wilayah hingga batas foreshore. Gambar 1.1. Determinasi Pantai (Triatmodjo, 1999) 8 1.5.1.2. Dinamika Pantai Wilayah pantai merupakan wilayah yang selalu mengalami perubahan atau dinamis oleh proses – proses yang terjadi. Wilayah pantai rentan terhadap perubahan yang terjadi baik perubahan fisik maupun perubahan ekosistem. Proses – proses alami maupun buatan manusia memberikan perubahan dinamika yang terjadi di wilayah kepesisiran. Wilayah kepesisiran mengalami proses yang kompleks yang berkaitan satu sama lain diantaranya proses astrodinamik, aerodinamik, hidrodinamik, geodinamik, morfodinamik, ekodinamik, antrodinamik (Sunarto dkk, 2014). Proses yang terjadi mempengaruhi perubahan garis pantai dan pembentukan bentang lahan pesisir. Perubahan garis pantai merupakan salah satu proses yang paling dinamis dalam dinamika pesisir (Mills dkk, 2005 dalam Marfai dkk, 2011). Perubahan garis pantai mempengaruhi proses yang terjadi baik fisik pantai, ekosistem maupun aktivitas manusia. Perubahan garis pantai menimbulkan dampak negative maupun dampak positif. Dampak positif dapat berwujud pertambahan lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan lahan tertentu. Dampak negative berupa abrasi pantai yaitu kehilangan lahan pantai, menurunnya kualitas air permukaan, menurunnya lahan produktif pertanian dan terhambatnya aktivitas industri dan pariwisata akibat kerusakan infrastruktur. Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dan air laut yang posisinya selalu berubah sesuai dengan kondisi pasang air laut dan Dinamika garis pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami terdiri parameter laut seperti gelombang, batimetri pantai, dan faktor iklim. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perubahan garis pantai yaitu perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan muka air laut. IPCC menyebutkan peningkatan suhu bumi sekitar 5°C dalam kurun waktu 100 tahun terakhir menyebabkan pemuaian air laut dan mencairnya salju- salju abadi yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut. IPCC menyebutkan bahwa kenaikan muka air laut dalam kurun waktu 100 tahun terakhir mencapai 20 – 25 cm (IPCC, 1995). Menurut Triatmodjo (1999), pantai 9 merupakan batas antara darat dan laut, diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah, dipengaruhi oleh fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan manusia di lingkungan darat. Pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya terhadap energi yang datang. Penyesuaian bentuk pantai ini merupakan tanggapan dinamis pantai yang alami terhadap proses alam. 1.5.2 Kerentanan Pantai Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi sifat dan karakteristik biologis, geografis, social, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi suatu masyarakat atau komunitas tertentu di suatu wilayah yang menentukan kemampuan masyarakat mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menggapai bahaya atau ancaman pada jangka waktu tertentu (Mardiatno, dkk. 2012). Menurut SOPAC (2005) kerentanan adalah kecenderungan entitas dalam mengalami kerusakan, yang mana entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, wilayah) atau konsep abstrak (komunitas, negara, ekonomi, dan sebagainya). Kerentanan adalah kumpulan aspek gabungan dari kondisi dan proses yang dihasilkan oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kerawanan area tersebut dari bahaya. Potensi masyarakat untuk bereaksi dan menyikapi bencana juga berpengaruh pada kerentanan yang mencakup ide respon dan strategi kesiapsiagaan (Marfai dkk, 2011). Kerentanan pesisir meliputi kerentanan lingkungan, kerentanan sosial, dan kerentanan ekonomi. Kerentanan lingkungan meliputi sistem yang kompleks dalam karakteristik spesies dan fisik habitat yang dibatasi oleh kondisi geografi (SOPAC, 2005 dalam Sulma, 2012). Kerentanan sosial merupakan tingkat kerentanan atau kerapuhan sosial dan kependudukan dalam menghadapi bahaya. Sedangkan kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atas aset atau kegiatan aktivitas ekonomi yang terjadi apabila terdapat ancaman bahaya. Sementara kerentanan fisik pantai yaitu kondisi yang menimbulkan proses kerusakan di wilayah 10 pantai. Menurut Pendleton et al (2005) dalam Sulma (2012) variabel yang berpengaruh dalam kerentanan fisik pantai yaitu variabel geologi yang mencakup geomorfologi, elevasi pantai dan perubahan garis pantai dan variabel proses fisik laut yaitu kenaikan muka air laut, pasang surut, dan gelombang. 1.5.2.1. Geomorfologi Pantai memiliki bentukan atau morfologi yang berpengaruh terhadap bentuk pantai dan proses – proses yang terjadi. Pantai yang selalu mangalami perubahan dalam bentukan geomorfologi merupakan bagian dari dinamika pesisir. Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang mempelajari bentuk lahan dan proses perkembangan, serta keterkaitan di antara keduanya dalam susunan keruangan (Van Zuidam, 1979 dalam Sunarto, dkk, 2014). Bentuklahan merupakan objek utama dalam kajian geomorfologi. Bentuklahan didefinisikan sebagai kenampakan permukaan bumi yang memiliki karakteristik tertentu dan mengalami proses dan struktur yang khas dalam perkembangannya (Sunarto, 2004). Bentuklahan asal proses marin terbentuk atas proses aktivitas laut. Aktivitas laut yang berpengaruh terhadap dinamika bentuklahan marin yaitu adanya gelombang, arus laut, tenaga angin dan tektonisme. Dinamika pesisir meliputi perubahan bentukan yang bervariasi. Bentuklahan yang umum ditemukan di wilayah pesisir yaitu beting gisik (beach ridge) yang terbentuk oleh aktivitas marin, delta oleh proses fluvio marin, terumbu karang oleh proses organic dan gumuk pasir yang terbentuk oleh proses eolin (Sunarto, 2001 dalam Marfai, dkk. 2011). Bentuklahan pantai dipengaruhi juga oleh topografi pantai apakah berbatu, bertebing, atau dataran. Pantai yang berbentuk dataran mempunyai aspek kemiringan lereng pantai yang berkontribusi terhadap kerentanan fisik pantai. Kemiringan lereng pantai yaitu tangent antara muka pantai dengan area antara surut terendah dengan pasang tertinggi yang diukur secara tegak lurus dengan garis pantai. Klasifikasi tipologi pantai atau pesisir yang digunakan yaitu klasifikasi yang dikemukakan oleh Shepard (1972) dalam Pethick (1984) yang membagi tipologi 11 pesisir kedalam klasifikasi besar yaitu pesisir primer (primary coast) dan pesisir sekunder (secondary coast). Pesisir primer yaitu pesisir yang pembentukan dan konfigurasinya berasal dari kontrol proses yang berasal dari darat (therestrial). Pesisir primer dibagi lagi menjadi empat tipologi, yaitu: Land erosion coast : merupakan tipologi pesisir yang konfigurasinya dipengaruhi oleh proses erosi dari daratan diatasnya yang diikuti oleh proses inundasi oleh laut. Sub aeraial deposition coast: adalah pesisir yang terbentuk dari akumulasi bahan – bahan secara langsung seperti sedimen sungai, glacial, atau longsoran kearah laut. Volcanic coast: tipe pesisir yang terbentuk akibat proses vulkanik, dapat berupa aliran lava. Structurally shaped coast: Tipe pesisir yang terbentuk oleh proses patahan atau pelipatan atau intrusi batuan sedimen, yang biasanya dinamikanya berupa proses abrasi di dinding cliff. Tipolgi pesisir lainnya yaitu pesisir sekunder, yaitu pesisir yang konfigurasinya terbentuk dari kontrol proses yang berasal dari arah laut atau marine. Pesisir sekunder dibagi menjadi tiga tipe yaitu: Marine deposition coast: pesisir yang terbentuk oleh deposisi material sedimen marin. Diatandai dengan lereng landari dan meluas dengan proses maerial pasir sangat intensif. Wave erosion coast:pesisir yang terbentuk oleh aktivitas gelombang yang membentuk proses erosi atau abrasi gelombang pada tebing pantai yang mempengaruhi pola garis pantai. Coast built by organism: Pesisir dengan garis pesisir berupa terumbu karang atau padang lamun yang terbentuk akibat aktivotas hewan atau tumbuhan. 12 1.5.2.2. Perubahan Garis Pantai Garis pantai adalah batas pertemuan antara daratan dengan air laut yang selalu mengalami perubahan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya yaitu pasang surut, gelombang, dan arus laut (Sutikno, 1993 dalam Wibowo, Yudha, 2013) Perubahan garis pantai terjadi saat proses geomorfologi yang terjadi tidak sesuai atau melebihi proses yang biasanya terjadi. Pariwono (1992) dalam Sulma (2012) menyebutkan variabel yang mempengaruhi proses erosi dan sedimemtasi yang mempengaruhi perubahan garis pantai ialah gelombang, arus, pasang surut, perubahan muka lau, dan variabel lain seperti aktivitas manusia. IHO (1993) dalam Kasim (2011) menyebutkan kedudukan permukaan laut pada garis pantai berada pada mean high water level (MHWL) untuk pemetaan hidrografi, sedangkan untuk pemetaan topografi kedudukan muka laut untuk garis pantai berada pada bidang mean sea level (MSL) dan kedudukan permukaan laut pada batas air rendah dinyatakan pada mean low water level (MLWL). Pasang surut dapat menyebabkan genangan secara permanen atau epsiodik tergantung dari kharakteristik fisik dan wilayahnya. Pasang surut menyumbang peranan yang besar terhadap perubahan garis pantai terutama secara temporal sehingga perlu dilakukan koreksi pasang surut. Faktor alami lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai yaitu kenaikan air laut. Pemanasan global telah menyebabkan sedikitnya 20 - 25 cm kenaikan muka air laut dalam kurun 100 tahun terakhir yang berimbas pada perubahan garis pantai di kebanyakan pesisir Indonesia (IPCC, 1995). Faktor lain yaitu adanya faktor manusia yang merubah garis pantai dengan pendirian infrastruktur atau reklamasi pantai. Perubahan garis pantai mempunyai dampak, selain dampak fisik juga berdampak pada faktor sosial dan ekonomi. Garis pantai yang menjorok ke permukiman dalam waktu yang lama menyebabkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak. 13 1.5.2.3. Kenaikan Muka Laut Dinamika pantai yang tengah menjadi fenomena saat ini yaitu proses kenaikan muka air laut. Fenomena kenaikan muka air laut dapat terjadi secara periodik maupun terus menerus. Secara periodik dapat dilihat dari aktivitas pasang surut, sedangkan proses terus menerus teridentifikasi akibat proses pemanasan global. Kenaikan muka air laut yang terus menerus dipengaruhi oleh pemuaian thermal. Perubahan iklim merupakan faktor utama dalam proses kenaikan muka air laut. Laju kenaikan muka air laut pada tahun 1990 an yaitu 1,5 mm per tahun, IPCC memperkirakan peingkatan muka laut global setinggi ± 14 – 28 cm pada tahun 2050 akibat pemanasan global (Dahuri, 2002). Kenaikan muka air laut dapat mengkibatkan penggenangan di beberapa wilayah pesisir yang merubah garis pantai. Kecepatan muka air laut 100 tahun mendatang dapat diproyeksikan dari data kenaikan muka air laut 150 tahun yang lalu (Rositasari, dkk, 2011). Kenaikan muka laut berdampak pada kerusakan fisik dan terganggunya faktor sosial dan ekonomi. Pembangunan yang pesat di wilayah pesisir merupakan objek yang paling tinggi memiliki kerentanan terhadap kenaikan muka laut. Pembangunan infrastruktur berupa permukiman, industri, pariwisata, pelabuhan maupun bandara dapat menuai dampak dari proses alam yang terjadi yaitu kenaikan muka air laut. Dengan mengidentifikasi wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana dan abrasi, pemerintah daerah dapat mengurangi resiko dampak secara efektif. 1.5.2.4. Pasang Surut Pasang surut berpengaruh pada kerentanan pantai karena menyebabkan dinamika permukaan air laut secara rutin di sepanjang pantai dan menghasilkan suatu arus yang berpengaruh pada kenaikan permukaan air laut (Sulma, 2012). Pasang surut adalah proses naik turunnya paras perairan laut yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda angkasa, terutama Matahari dan Bulan terhadap massa air laut secara berkala (Sunarto, 2014). Pasang surut memiliki karakteristik yang berbeda di setiap lokasi tergantung dari kharakteristik yang dipengaruhi oleh topografi dasar laut, 14 bentuk teluk, kelandaian pantai, dan sebagainya. Pasang surut merupakan aktivitas laut yang kompleks namun dapat diramalkan karena sifatnya periodik. Aktivitas pasang surut melibatkan seluruh massa air laut yang menimbulkan energi yang besar bukan hanya di permukaan saja. Pengetahuan mengenai pasang surut sangat penting terkait studi lingkungan yaitu distribusi dan sifat pencemaran air laut. Selain itu pengetahuan pasang surut diperlukan untuk pembangunan infrastruktur di pesisir seperti transportasi dan industri. Pasut juga dapat menjadi informasi untuk peringatan dini banjir pasang, pola umum gerakan massa air, dan sebagainya. Energi pasang surut juga dapat di konversikan menghasilkan tenaga listrik. Untuk itu proses pasang surut merupakan salah satu aspek penting dalam upaya pengelolaan pesisir dan penaksiran kerentanan pesisir (Surinati, 2007). Salah satu produk pasang surut yang mempengaruhi kerentanan fisik alami ialah tunggang pasang surut (tidal range). Tunggang air adalah nilai amplitude dari selisih nilai pasang tertinggi dan surut terendah pergerakan pasang surut yang membentuk suatu siklus selama periode tertentu. Pugh (1987) dalam Rampengan (2013) mendefinisikan tunggang pasang surut sebagai perbedaan ketinggian antara elevasi pasang dan surut berurutan. Tunggang pasang surut diklasifikasikan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1. Klasifikasi Fluktuasi Pasut Tunggang Pasut Keterangan >4 m Makrotidal 2–4m Mesotidal >2 m Mikrotidal Sumber: Hayes (1975) dalam Allen & Coadou (1982) 15 Pasang surut memiliki dua jenis yang dipengaruhi oleh gerakan astronomi. Dua jenis tersebut ialah pasang purnama (spring tide) yang terjadi pada saat bulan purnama (konjugasi) dan bulan baru (oposisi) yaitu ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat ini akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan surut yang sangat rendah. Pasang perbani (neap tide) adalah pasang yang terjadi saat bulan mati atau dalam keadaan ¼ dan ¾ yaitu ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat ini dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan surut yang tinggi (Kahar, Joenil. 2008). Wibisono (2005) menyebutkan dalam Surinati (2007), ada tiga tipe dasar pasang surut yang didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu sebagai berikut: 1. Pasang-surut tipe harian tunggal (diurnal type): yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat 1 kali pasang dan 1 kali surut. 2. Pasang-surut tipe tengah harian/ harian ganda (semi diurnal type): yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat 2 kali pasang dan 2 kali surut. 3. Pasang-surut tipe campuran (mixed tides): yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat bentuk campuran yang condong ke tipe harian tunggal atau condong ke tipe harian ganda. Tipe pasut ditentukan dengan metode admiralty dengan menentukan bilangan Formzhal yang mempunyai formula: Dengan: = …………………………………………………………………...(1) F = Bilangan Formzal O1 = Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan. 16 K 1= Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari. M2= Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan. S2 = Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari Dengan ketentuan : F < 0.2 : Pasang surut tipe ganda (semidiurnal) 0.25< F <1.5 : Pasang surut tipe campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal) 1.5< F < 3.0 : Pasang surut tipe campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) F > 3.0 : Pasang surut tipe tunggal (diurnal) 1.5.2.5. Gelombang Gelombang yaitu pergerakan naik turunnya air permukaan laut akibat proses alih energy dari permukaan ke laut. Gelombang merupakan salah satu proses yang mempengaruhi kerentanan pantai karena sifatnya yang dapat destruktif (menghancurkan) dan konstruktif (membangun). Perubahan kecepatan yang dialami gelombang ketika memasuki perairan dangkal menyebabkan refraksi atau pembelokan dari arah awal penjalaran gelombang. Selanjutnya tinggi gelombang menjadi berkurang yang mengalami proses difraksi akibat benturan oleh bangunan seperti pemecah bangunan (Azis, 2006). Pada pengukuran gelombang terdapat beberapa unsur yang menjadi intinya yaitu: 1. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak atau antara dua lembah yang berurutan 2. Tinggi gelombang adalah jarak tegak lurus antara puncak dan lembah gelombang 3. Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh satu puncak ke puncak berikutnya. 17 Menurut Pethick (1984) gelombang laut memiliki dua sifat terhadap pembentukan pantai yaitu gelombang destruktif dan konstruktif. Gelombang yang bersifat kontruktif merupakan gelombang yang bersifat membangun pantai atau menyebabkan akresi pantai. Sedangkan gelombang destruktif bersifat mengerosi pantai. Apabila kemiringan gelombang rendah yaitu kurang dari 0.025 maka gelombang bersifat konstrukstif yang cenderung mendendapkan sedimen di pantai. Apabila kemiringan gelombang lebih dari 0.025 maka gelombang bersifat destruktif yang artinya memiliki sifat erosi. Gelombang berpengaruh kuat terhadap kerentanan fisik pantai. Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus, agen erosi dan pengangkutan sedimen, dan menimbulkan gaya – gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Proses tersebut terjadi terus menerus tergantung dari energi angin sebagai pembentukannya. Kawasan dari garis gelombang pecah kearah laut disebut offshore. Sedang kawasan yang terbentang dari gelombang pecah kearah pantai dibedakan menjadi tiga daerah yaitu breaker zone, surf zone, dan swash zone seperti yang terlihat pada Gambar 1.2. Breaker zone atau zona gelombang pecah adalah area ketidakstabilan dan pemecahan gelombang yang datang dari laut.Surf zone ialah zona yang terletak diantara zona pecah gelombang dan zona naik turun gelombang. Sedangkan swash zone ialah zona garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai (Triatmodjo, 1999) 18 Gambar 1.2. Zona dan karakteristik gelombang (Triatmodjo, 1999) Gelombang memiliki berbagai tipe tergantung dari kemiringan pantai yang berpengaruh terhadap gelombang pecah. Galvin (1996) mengklasifikasikan tipe empasan gelombang yaitu: 1. Spiling Gelombang tipe Spiling pecah dengan jarak yang cukup jauh dari pantai dan pecahnya berangsur – angsur. Gelombang Spilingterjadi karena kemiringan pantai yang rendah menuju ke pantai yang datar. 2. Plunging Empasan gelombang ini terjadi pada kemiringan dasar yang lebih tinggi dari tipe Splinging yang timbul pada periode yang cukup lama. Gelombang ini cenderung berbentuk cembung di bagian lama dan berbentuk cekung kearah depan. Gelombang tipe Plunging terjadi saat kemiringan lereng dan kemiringan gelombang bertambah sehingga puncak gelombang terjun ke depan. 19 3. Surging Empasan gelombang tipe ini terjadi pada kemiringan dasar yang cukup curam sehingga pecah gelombang terjadi tepat di tepi pantai dengan sifat lemah. Gelombang yang pecah tepat di tepi pantai menyebabkan sempitnya surf zone. 4. Collapsing Empasan gelombang tipe ini pecah setengah dari yang biasa terjadi karena kemiringan dasar yang sangat curam. Gelombang tidak pecah di permukaan namun terdapat buih sebagai empasan gelombang. 1.5.3. Indeks Kerentanan Fisik Alami Pantai Kerentananan dari prespektif fisik yaitu identifikasi area yang rentan terhadap ancaman dan bahaya sehingga apabila area tersebut dimanfaatkan atau dibangun maka kerentanan area akan meningkat. Pengukuran kerentanan yang menyeluruh tidak dapat ditentukan dengan menggabungkan karakteristik faktor fisik, sosial dan ekonomi. Beberapa peneiliti menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan kondisi data, tujuan dan maksud penelitiannya (Boruff, et al. 2005 dalam Ristianto, 2011). Indeks kerentanan fisik pantai diadaptasi dari metodeCoastal Vulnerability Index (CVI) yang merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menaksir kerentanan fisik di wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Gonitz (1997). Metode CVI ini diadaptasi untuk diterapkan pada wilayah pantai.Metode CVI telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu untuk menghitung kerentanan fisik pesisir termasuk pantai. Kerentanan pantai ditaksir dari 6 parameter yang mempengaruhinya yaitu gemorfologi, pasang surut, kenaikan muka air laut, gelombang, perubahan garis pantai dan tunggang pasang surut. 1.6. Perbandingan Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya tentang dinamika pesisir dan kerentanan dapat ditemukan di berbagai pesisir di Indonesia (Tabel 1.2). Namun untuk daerah Pacitan belum ada yang mengulas tentang kerentanan fisik pesisir. Penelitian Thesis oleh 20 Sayidah Sulma (2012) mengkaji kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut di Surabaya. Peneltian in menggabungkan kerentanan fisik dan kerentanan sosial dengan meode SoVi yang lalu di standarisasi dengan Multi Criteria Analysis (MCA). Penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh untuk ekstraksi parameter kenaikan muka air laut yaitu menggunakan satelit altimeter. Kerentanan sosial diukur dari tingkat kepadatan penduduk dan jumlah penduduk miskin sehingga unit penelitian menggunakan satuan administrasi. Penelitian lain dilakukan di Yogyakarta oleh Muttaqin (2010) tentang kerentanan fisik pesisir berdasarkan perbedaan tipologi pesisir di Pantai Selatan Yogyakarta. Wilayah kajian yaitu Pantai Parangtritis yang mempunyai topologi subaerial deposition coast dan Pantai Baron yang memiliki tipologi marine deposition coast dan structurally shaped coast. Hasil penelitian menunjukkan pantai yang mempunyai marine deposition coast dan sub-aerial deposition coast mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibanding pantai dengan tiopologi structurally deposition coast. Penelitian oleh Ricky Rositasari (2011) dilakukan di Cirebon tentang prediksi kerentanan pesisir di Cirebon dengan metode studi geomorfologi, geo-listrik, dan penginderaan jauh. Kajian perubahan garis pantai diperoleh dari pengamatan profil pantai terhadap perubahan muka air laut rata rata (mean seal level) yang lalu diprediksi dari kenaikan muka air laut. Sementara proses intrusi air laut diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan geolistrik. Hasil dari penelitian ini yaitu wilayah pantai di Cirebon terindikasi mengalaim erosi yang lebih luas dikarenakan elevasi yang rendah dan ketinggian genangan. Penelitian oleh Ristianto, Wahyudi dan Sakka menghitung kerentanan fisik pesisir atau pantai dengan metode Coastal Vulnerability Index (CVI). Pada penelitian Sakka (2014) menggunakan software untuk pengolahan data antara lain Globbal Mapper, Surfer 8 dan ODV untuk mengolah data kenaikan muka air laut dan pasang surut. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Ristianto menggunakan tiga variabel 21 untuk menghitung kerentanan pesisir antara lain variabel fisik, variabel ekonomi, dan variabelsosial. Penelitian yang dilakukan oleh Ristianto (2011) menghitung kerentanan dengan penyusunan peringkat dan pembobotan variabel fisik (gelombnag ekstrim, pasang surut, elevasi, kelerengan), variabel sosial (kepadatan penduduk, presentase jumlah perempuan, presentase tenaga kesehatan), dan variabel ekonomi (jumlah rumah tangga miskin, presentasi pekerjaan sektor rentan, dan penggunaan lahan). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2009) menentukan kerentanan pantai berdasarkan pembobotan 10 variabel yaitu perubahan garis pantai, pengamatan visual keruskan, panjang kerusakan, lebar kerusakan, lebar sabuk hijau, litologi, tinggi gelombang, jarak pasang surut, penggunaan lahan, dan kemiringan pantai 22 Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya No. Peneliti Tempat/tahun Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian 1 Sayidah Sulma Surabaya, 2012 Kerentanan Pesisir Terhadap Kenaikan Muka Air Laut (Studi Kasus: Surabaya dan Daerah Sekitarnya. Kerentanan pesisir dianalisis dari kerentanan fisik dan kerentanan sosial. Analisis krentanan fisik dan sosial menggunakan Multi Criteria Analysis(MCA) untuk standarisasi ranking variabel berdasar metode CVI untuk fisik dan SoVi untuk kerentanan sosial. 2 Bachtiar Wahyu Mutaqin,dkk Yogyakarta Indeks Kerentanan Kepesisiran terhadap Kenaikan Muka Air Laut pada Beberapa Tipologi Kepesisiran di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Mengetahui sebaran spasial kerentanan pesisir Surabaya terhadap kenaikan muka air laut dan mengetahui faktor yang paling berkontribusi terhadap kerentanan pesisir di Surabaya. Mengetahui kerentanan wilayah kepesiran terhadap kenaikan muka air laut pada beberapa tipologi yang berbeda berdasarkan pada nilai indeks kerentanan wilayah kepesisiran/ coastal vulnerability index (CVI). Daerah penelitian memiliki kerentanan terhadap kenaikan muka air laut pada kategori sangat rendah hingga tinggi. Kondisi fisik yang paling berkontribusi yaitu elevasi pantai sedangkan faktor sosial ekonominya adalah persentase penduduk miskin. Tingkat kerentanan yang berbeda dapat ditemukan pada tipologi kepesisiran yang sama, hal ini karena pada tipologi yang sama akan ditemukan prosesproses yang sama namun dapat terjadi dengan intensitas yang berbeda. Penentuan CVI dilakukan dengan menginventarisasi aspek geomorfologi, perubahan garis pantai (abrasi/akresi), kemiringan lereng wilayah kepesisiran, perubahan ketinggian muka air laut relatif, rata-rata ketinggian gelombang, perbedaan ketinggian ratarata kondisi pasang dan surut serta kondisi litologi pembentuk wilayah kepesisiran (aspek geologi). 23 Lanjutan Tabel 1.2. 3 Ricky Rosirasari, dkk Cirebon , 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus di Pesisir Cirebon 4 Sakka, Samsu Arif, Eka Wahyuni Syahrir Makassar, 2014. Analisis Kerentanan Pantai di Kabupaten Takalar Mengetahui kerentanan pesisir sebagian Cirebon dengan studi geomorfologi, geolistrik, dan penginderaan jauh. Pengamatan lapangan terhadap profil pantai terhadap muka laut ratarata (mean sea level) dan karakteristik garis pantai untuk memprediksi perubahan garis pantai. Intrusi dilakuan pengukuran geolistrik. Valuasi kerugian dilakukan dengan skenario genangan dan perhitungan penggunaan lahan. Menentukan nilai kelas Perhitungan nilai skor setiap parameter indeks kerentnan dilaukan kerentanan pesisir, dengan perhitungan nilai menentukan CVI, dan indeks kerentanan metode menentukan wilayah CVI (Coastal Vulnerable kerentanan pesisir Index) dengan variabel berdasarkan nilai CVI geomorfologi, perubahan garis pantai, kemiringan pantai, rerata tinggi gelombang, rerata kisaran pasang surut, dan laju perubahan paras laut. Pengolahan data dilakukan dengan software global mapper, ODV, dan Surfer 9 untuk pengolahan data kenaikan mua air laut dn tinggi gelombang signifikan. Sebagian besar wilayah pesisir di Cirebon telah longsor pada berbagai skala mulai dari kondisi rentan menjadi buruk. Air laut telah menembus sampai beberapa kilometer kedaratan. Kerugian nilai penggunaan lahan diproyeksikan sekitar Rp. 1.295.071.755.150/ha/ tahun akibat naiknya air laut sebesar 0,8 meter. Wilayah yang rentan diakibatkan oleh aktivitas air laut adalah Desa Topejawa dimana parameter yang berpengaruh ialah geomorfologi. Pada Desa Salamba dan Tamalaya parameter yang sangat berpengaruh ialah perubahan garis pantai dan kenaikan muka air laut. 24 Lanjutan Tabel 1.2. 5 Ristianto Jawa Barat, 2011 Kerentanan Wilayah Pesisir Terhadap Kenaikan Muka Laut (Studi Kasus Wilayah Pesisir Utara Jawa Barat) Identifikasi wilayah rentan di pesisir Provinsi Jawa Barat terhadap kenaikan muka laut ditnjau dari faktor fisik sosial ekonomi dan tersedianya peta kerentanan terhadap kenaikan muka laut untuk wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat Kerentanan diperioleh dengan penyusunan peringkat dan pembobotan variabel fisik (gelombnag ekstrim, pasang surut, elevasi, kelerengan), variabel sosial (kepadatan penduduk, presentase jumlah perempuan, presentase tenaga kesehatan), dan variabel ekonomi (jumlah rumah tangga miskin, presentasi pekerjaan sektor rentan, dan penggunaan lahan) Wilayah pesisir utara Jawa Barat memiliki desa - desa dengan krtiteria kerentanan fisik sangat tinggi yaitu 21% dengan kerentanan tinggi, 31 % dengan tingkat kerentanan sedang, 26 % dengan tingkat kerentanan rendah, dan 9.3 % dengan tingkat kerentanan sangat rendah 6 Wahyudi, Teguh Hariyanto, Suntoyo Jawa Timur, 2009 Analisa Kerentanan Pantai di Wilayah Pesisir Pantai Utara Jawa Timur Menentukan indeks kerentanan pantai terhadap kerusakan yang mengancam yang digunakan untuk menyusunan peta kerentanan pantai Kerentanan pantai ditentukan berdasarkan pembobotan 10 variabel yaitu perubahan garis pantai, pengamatan visual keruskan, panjang kerusakan, lebar kerusakan, lebar sabuk hijau, litologi, tinggi gelombang, jarak pasang surut, penggunaan lahan, dan kemiringan pantai Terdapat 7 wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi, depan wilayah kerentanan sangat tinggi yang disebabkan oleh tidak adanya sabuk hijau, penggunaan lahan terlalu dekat dengan garis pantai dan litologi daerah yang tersusun oleh endapan alluvial muda. 25 1.7 Kerangka Teori Kondisi pantai pada kedua wilayah mengalami dinamika yang khas karena karakteristik pantainya yang berbentuk teluk. Dinamika pesisir dominan terjadi karena perubahan garis pantai dan kenaikan muka air laut yang terjadi dalam beberapa periode terakhir. Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub yang memicu kenaikan muka air laut sebanyak 20 – 25 cm pada 100 tahun terakhir (IPCC. 1995). Pemanasan global juga menyebabkan perubahan iklim yang berpengaruh pada perubahan sifat fisik laut dan pantai. Dinamika pesisir yang drastis seperti kenaikan muka air laut menimbulkan dampak pada aspek fisik dan sosial apabila tidak dilakukan upaya mitigasi dan penanggulangan. Pada aspek fisik dampak yang ditimbulkan dapat berupa hilang atau bertambanya lahan pantai, kerusakan ekosistem pantai, dan kerusakan infrastruktur yang dibangun di wilayah pantai. Indeks kerentanan fisik pantai merupakan metode penilaian kerentanan fisik pesisir dari variabel sifat fisik laut dan variabel geomorfologi yang diadaptasi dari metode CVI (Coastal Vulnerability Index) milik Gornitz (1997). Faktor geomorfologis yang diidentifikasi untuk metode CVI yaitu kondisi geomorfologi dan kemiringan lereng pantai. Variabel geomorfologi diidentifikasi dari morfologi pantai meliputi sifat pantai, sifat material pantai dan sumber material serta kemiringan lereng pantai yang menjadi salah satu variabel. Variabel sifat fisik laut yang diukur dalam metode CVI yaitu gelombang, kenaikan muka air laut, pasang surut, dan perubahan garis pantai. Gelombang membutuhkan proses tenaga angin dalam pembentukannya. Sementara pasang surut adalah proses alami yang dimiliki pantai akibat gaya gravitasi Bulan dan Matahari. Kenaikan muka air laut dipicu oleh faktor dari luar yaitu akibat pemanasan global yang menimbulkan pencairan es di kutub. Kenaikan muka air laut lalu memicu perubahan garis pantai yang terus mengalami pemunduran dalam beberapa periode terakhir. Pemicu lain ialah faktor gelombang tinggi yang menimbulkan erosi pantai dan pemunduran garis pantai. Faktor – faktor tersebut merupakan parameter yang menyebabkan kerentanan fisik alami dari pantai. Ketahanan pantai yang rendah dan proses alami yang menimbulkan ancaman berpotensi menimbulkan kerentanan pada suatu 26 pantai. Hasil perhitungan variabel –variabel tersebut dapat dilihat variabel apa yang paling berpengaruh terhadap kerentanan. Dari uraian tersebut diformulasikan kerangka teori penelitian (Gambar 1.3.). Faktor gemorfologis Faktor fisik laut Angin Kondisi Geomorfologi Kemiringan pantai Gelombang Ketahanan terhadap ancaman Pasut Kenaikan muka air laut Perubahan garis pantai Faktor fisik laut yang menimbulkan ancaman Kerentanan fisik alami pantai Indeks Kerentanan fisik alami pantai Gambar 1.3. Diagram Kerangka Teori 27 1.8. Batasan Istilah Pantai adalah zona sempit perairan perairan laut dengan daratan yang dibatasi oleh rerata garis surut terendah (shoreline) hingga garis pasang tertinggi (coastline) Pesisir adalah kawasan dinamik yang saling berhubungan merupakan dimana daratan, air, dan udara berinteraksi dalam keseimbangan yang muda terganggu (fragile) yang secara tetap dirubah oleh pengaruh alam dan manusia. Kerentanan Fisik Alami Pantaiadalah kondisi yang menimbulkan proses kerusakan di kawasan pantai dimana dipengaruhi oleh beberapa variabel yang bersifat alamiah. Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang mempelajari bentuk lahan dan proses perkembangan, serta keterkaitan di antara keduanya dalam susunan keruangan. Gelombang yaitu pergerakan naik turunnya air permukaan laut akibat proses alih energy dari permukaan ke laut. Gisik adalah bentuk dari shore yang memiliki akumulasi material sedimen lepas dalam jumlah besar yang mengendap dalam suatu wilayah hingga batas foreshore dan terpengaruh oleh pasang surut air laut. Pasang Surut adalah proses naik turunnya paras perairan laut yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda angkasa, terutama Matahari dan Bulan terhadap massa air laut secara berkala. Garis Pantai adalah batas pertemuan antara daratan dengan air laut yang selalu mengalami perubahan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya yaitu pasang surut, gelombang, dan arus lau Kenaikan Muka Air Laut adalah proses perubahan muka air laut yang dapat terjadi secara periodik maupun terus menerus. 28