bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara kepulauan Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km
dengan perairan laut mencapai 5.8 juta kilometer persegi (Murdianto, 2004).
Indonesia memiliki struktur geoologis yang khas yang berpengaruh terhadap aspek
fisik wilayah dan kebencanaan. Bencana alam terjadi karena adanya interaksi antara
kerawanan bahaya dan kerentanan di suatu wilayah. Aspek bahaya berasal dari tenaga
yang berasal dari luar maupun dalam meliputi bencana alam dan proses fisik alami.
Menurut Undang – undang Penanggulangan Bencana nomor 24 tahun 2007,
kerentanan yaitu seperangkat kondisi yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya dalam jangka waktu tertentu. Kerentanan digolongkan dari
kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan kerentanan lingkungan. Kerentanan sosial
wilayah pesisir ditandai dengan jumlah 65 % dari penduduk Pulau Jawa tinggal di
daerah pesisir (KMLH.2007). Kerentanan fisik alami merupakan salah satu penyusun
kerentanan sosial terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Kerentanan
fisik alami pada pantai dapat diartikan sebagai suatu kondisi fisik dari pantai yang
meliputi aspek geomorfologis dan aspek proses fisik laut yang memiliki kontribusi
dalam tingkatan ancaman bahaya yang menimbulkan dampak pada aspek fisik pantai
seperti ekosistem pantai.
Pantai adalah wilayah yang mempunyai batas pasang tertinggi dan surut
terendah dipengaruhi oleh proses fisik laut sedangkan kearah darat dibatasi oleh
proses alami dan kegiatan sosial ekonomi bahari (Triatmodjo, 1999). Pantai yang
memiliki material pasiran disebut pantai gisik. Pantai gisik pada teluk terbentuk
sepanjang area deposisi teluk baik dari material marine maupun material fluvial.
Pantai yang berbentuk teluk megalami divergensi gelombang yang mempengaruhi
1
dinamika pantai. Pantai gisik pada Teluk Pacitan dan Teluk Prigi di Trenggalek
memiliki kesamaan tipologi yaitu marine deposition coast dan morfologinya yang
berupa gisik saku dengan ciri perairan terbuka menghadap Samudera Hindia. Namun
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muttaqin (2010) didapat kesimpulan
bahwa tingkat kerentanan yang berbeda dapat ditemukan pada tipologi yang sama
karena proses yang sama dapat terjadi namun dengan intensitas yang berbeda. Teori
terebut merupakan salahsatu dasar yang menelatarbelakangi dilakukan penelitian ini.
Secara geografis Kabupaten Pacitan merupakan pintu gerbang bagian barat
dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur yang membujur dari
Gunung Kidul ke Trenggalek menghadap dan berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Analisis Sumberdaya Daerah
Sebagai Pendorong Investasi tahun 2010menyebutkan 4,3 % dari luas wilayah
dengan kemiringan 0 – 2 % merupakan wilayah pesisir.
Wilayah pantai yang
berbentuk teluk merupakan potensi alam yang besar yang dimiliki Kabupaten
Pacitan. Teluk Pacitan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan IX Indonesia
yang strategis bagi pengembangan perikanan terutama cakalang, lobster, bawal,
tuna, dan ikan lainnya. Potensi lainnya yaitu Teluk Pacitan merupakan kawasan
strategis untuk pengembangan pariwisata, infrastruktur, maupun konservasi
(Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010). Sebagaimana pesisir ini direncanakan
sebagai Kawasan Minapolitan yang mengintgrasikan sumberdaya laut dengan
sumberdaya manusia. Teluk Prigi di Trenggalek merupakan salah satu pantai dari
empat yang mendapat prioritas akan dikembangkan menurut Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Jawa Timur (RIPDA Jawa Timur, 2002). Teluk Prigi
yang terletak di Kecamatan Watulimo ini menyimpan potensi yang perlu
dioptimalkan dari segi perikanan, pariwisata dan budaya. Perekonomian yang
semakin menggeliat di kawasan ini ditandai dengan adanya pelabuhan dan
pertumbuhan sektor pariwisata.
2
Teluk Prigi dan Teluk Pacitan memiliki karakteristik fisik masing - masing
yang berpengaruh terhadap fisiografi pantai. Perbedaan material pembentukan
batuan dan struktur geologi berpengaruh pada morfologi pantai dan sifat sedimen
pembentuk pantai. Peta Geologi Lembar Tulungagung menyebutkan Teluk Prigi
memiliki struktur dan material geologi berupa breksi gunungapi, lava tuf, sisipan
batupasir lanau yang merupakan material pembentuk perbukitan di sekitar teluk
hingga mengelilingi teluk dan membentuk tanjung.Material tersebut merupakan
penyumbang sedimen pembentuk pantai yang menyebabkan warna coklat kehitaman
pada material pasir. Tanjung yang mengelilingi Teluk Prigi memiliki bentuk yang
sangat menjorok ke lautan. Hal tersebut berpotensi menyebabkan perbedaan
karakteristik terutama faktor gelombang. Sedangkan Teluk Pacitan memiliki
material geologi berupa batugamping terumbu, berlapis dan berkepingan yang
mendominasi perbukitan di sekitar teluk dan membentuk tanjung. Material karst dan
gampingan ini menjadi penyumbang dominan material deposisi pembentuk pantai
yang juga mempengaruhi ukuran butir sedimen. Selain material pembentukan
batuan, perbedaan morfologi pantai juga disebabkan oleh kondisi lingkungan masing
– masih wilayah yaitu kondisi oseanografi, bathimetri, dan aktivitas manusia.
Posisi Teluk Pacitan dan Teluk Prigi merupakan perairan terbuka yang
berbatasan dengan Samudera Hindia. Tipe perairan terbuka ini membuat energi
gelombang begitu besar yang mempengaruhi dinamika pantai (Satriadi, 2001). Energi
gelombang yang besar mempengaruhi dinamika pantai dan ancaman bahaya.
Kenaikan muka air laut yang terjadi secara signifikan terjadi dalam beberapa periode
terakhir menyebabkan perubahan garis pantai. Rata – rata peningkatan temperatur
global ± 0,74° C menyebabkan pencairan es salju abadi yang mengakibatkan
kenaikan muka air laut di hampir seluruh pesisir di dunia (IPCC, 2007). Perubahan
garis pantai dapat berupa erosi pantai ataupun sedimentasi yang menjadi salah satu
faktor dinamika pantai. Kondisi pantai yang berbentuk teluk mempengaruhi proses
laut yang terjadi seperti pasang surut dan energi gelombang. Kerentanan fisik alami
3
di pesisir dapat mengancam ekosistem pantai, sosial ekonomi masyarakat pesisir, dan
kerusakan bangunan atau infrastruktur pantai yang merupakan kharakteristik khas
yang dimiliki kawasan pesisir.
Penilaian kerentanan fisik alami pantai perlu dilakukan untuk memprediksi
kemungkinan respon dan dampak terhadap proses yang berlangsung. Pengukuran
kerentanan dilakukan dengan mengukur indeks kerentanan fisik alami pantai. Indeks
kerentanan fisik alami pantai menghitung kemungkinan besaran jenis dampak fisik
yang akan ditimbulkan menurut kelompok wilayah. Metode CVI yaitu metode
pengukuran kerentanan fisik pantai yang disajikan dalam bentuk data numerik
perangkingan parameter penyusun kerentanan terhadap perubahan fisik sehingga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses yang terjadi dan area yang memiliki
kerentanan tinggi. Terdapat 6 variabel yang digunakan dalam metode CVI yaitu
variabel laju perubahan garis pantai, kenaikan muka air laut, tunggang pasang surut,
kemiringan lereng pantai, geomorfologi, dan gelombang. Variabel geomorfologi dan
kemiringan pantai berpengaruh pada ketahanan elemen fisik pantai dalam
menghadapi ancaman bahaya. Sedangkan faktor fisik laut yaitu pasang surut,
perubahan garis pantai, gelombang, dan kenaikan muka air laut merupakan elemen
yang berkontribusi dalam faktor ancaman bahaya yang berasal dari energi laut.
Apabila kedua parameter tersebut dapat diukur maka dapat diidentifikasi tingkat
kerentanan suatu area dari proses alami yang berpotensi menimbulkan ancaman.
Penelitian tentang pesisir di area kajian sudah banyak dilakukan namun
penelitian kebanyakan mempunyai topic karakteristik pantai, erosi pantai, atau akresi.
Untuk itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang pengukuran kerentanan pantai
mengingat kerawanan yang tinggi terhadap ancaman bahaya. Kharakteristik Teluk
Pacitan maupun Teluk Prigi yang khas mempunyai segudang potensi yang dapat
dimanfaatkan. Perencanaan pembangunan infrastruktur pesisir semakin menggeliat
dengan adanya renacana pembangunan kawasan minapolitan, yaitu kawasan
pengembangan pesisir strategis berbasis masyarakat pada sector perikanan dan
4
pariwisata. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan ancaman
bahaya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Pengukuran kerentanan fisik
pesisir dapat memberikan masukan terhadap pembangunan dan upaya mitigasi serta
adaptasi dari dinamika pesisir yang terjadi ataupun ancaman bahaya yang berasal dari
proses fisik laut.
1.2. Rumusan Masalah
Pantai gisik pada sebuah teluk mempunyai karakteristik yang khas baik dari
sisi geomorfologi, oseanografi, potensi, dan pemanfaatan. Teluk Pacitan dan Teluk
Teluk Prigi memiliki perbedaan material pembentukan batuan dan karakteristik
geologi yang berpengaruh pada morfologi dan sedimen pantai. Namun, Teluk
Pacitan dan Teluk Prigi memiliki kesamaan tipologi pantai berbentuk teluk dengan
tipe perairan terbuka menuju Samudera Hindia. Tipologi yang sama tersebut dapat
mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda karena intensitas proses yang
bekerjapun berbeda. Pembangunan di area pesisir membutuhkan perencanaan yang
matang terkait ancamannya dengan bahaya. Pembangunan yang baik dilakukan di
kawasan yang mempunyai dampak paling minimal dari ancaman bahaya atau
kerentanan fisik yang rendah. Penilaian kerentanan fisik pantai secara numeric perlu
dilakukan untuk mengetahui tingkat kerentanan fisik pantai.
Penilaian kerentanan menggunakan metode Coastal Vulnerability Index (CVI)
menggunakan parameter variabel geomorfologi dan variabel proses fisik laut.
Variabel tersebut merupakan parameter yang mempengaruhi kerentanan fisik pantai
dari dinamika pantai ancaman bahaya kenaikan muka air laut dan erosi pantai serta
dinamika pesisir. Dengan mengetahui variabel yang paling berpengaruh pada indeks
kerentanan fisik pesisir dapat dilakukan pengelolaan lebih lanjut pada variabel
tersebut untuk meminimalisasi dampak yang akan terjadi. Dari permasalahan tersebut
maka didapat perumusan masalah dari penelitian ini ialah:
5
1. Bagaimana kajian perbandingan indeks kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk
Pacitan dan Teluk Prigi?
2. Variabel apa yang berkontribusi dalam penyusunan indeks kerentanan fisik alami
pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan:
1. Mengkaji perbandingan
indeks kerentanan fisik alami pantai gisik di Teluk
Pacitan dan Teluk Prigi.
2. Mengetahui variabel apa yang berpengaruh terhadap kerentanan fisik alami
pantai gisik di Teluk Pacitan dan Teluk Prigi.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan tersebut
maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul: “KAJIAN KERENTANAN
FISIK ALAMI PANTAI BERGISIK DI TELUK PACITAN DAN TELUK
PRIGI, JAWA TIMUR”
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik manfaat akademis maupun
manfaat praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
oseanografi dan kebencanaan pesisir. Topik kebencanaan pesisir terutama aspek
bahaya dan kerentanan terhadap kenaikan muka air laut diharapkan dapat terus
dikembangkan untuk pengelolaan pesisir berkelanjutan dan manajemen bencana.
Identifikasi kerentanan fisik pesisir diharapkan dapat dijadikan model dan rujukan
untuk arahan pembangunan kawasan pesisir
yang memperhatikan daya dukung
lingkungan.
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberi masukan
atau rekomendasi terhadap pemerintah atau pihak – pihak yang berkepentingan.
6
Perencanaan pengembangan kawasan minapolitan pada pesisir Pacitan dan
Trenggalek diharapkan memperhatikan faktor kelestarian lingkungan dan ancaman
bahaya atau bencana. Untuk itu data kuantitatif maupun kualitiatif pesisir secara
keseluruhan penting diadakan sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah
pesisir. Pembagunan wilayah yang baik dapat menunjang kelangsungan alam yang
lestari tanpa mengabaikan faktor lingkungan. Selain itu, penelitian ini diharapkan
juga dapat bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di wilayah penelitian. Informasi
mengenai bahaya dan ancaman dari gelombang dan kenaikan muka air laut penting
diketahui untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana maupun upaya adaptasi
pariwisata. Aktivitas masyarakat pesisir dan pembangunan desa hendaknya juga
memperhatikan faktor keselamatan dan kerugian dari ancaman bahaya yang
disebabkan faktor alam.
1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1. Pantai
1.5.1.1. Pengertian Pantai
Pantai merupakan wilayah yang termasuk dalam pesisir yang dipengaruhi
oleh pasang tertinggi dan surut terendah (Triatmodjo, 1999). Pantai termasuk dalam
wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang memiliki nilai penting bagi setiap
negara yang memilikinya. Wilayah pesisir memiliki nilai penting yang memiliki
kekhasan kondisi ekologis, biologis, dan geologis yang penting bagi keberlangsungan
kehidupan di darat dan laut. Battley, et al. (2002) dalam Sara (2014) menjelaskan
wilayah pesisir merupakan wilayah dinamik yang saling berhubungan merupakan
dimana daratan, air, dan udara berinteraksi dalam keseimbangan yang muda
terganggu (fragile) yang secara tetap dirubah oleh pengaruh alam dan manusia. Pantai
gisik ialah pantai yang memiliki material pasiran yang dibatasi oleh pasang tertinggi
dan surut terendah. Bird (1984) mendefinisikan pantai sebagai shore yaitu wilayah
dari surut terendah hingga pasang tertinggi, yang meliputi:
7
1. Pantai bagian depan (foreshore) adalah wilayah yang berada dari garis pantai
dengan surut terendah hingga batas atas dari pasang tertinggi.
2. Pantai bagian belakang (backshore) adalah wilayah yang dibatasi oleh foreshore
dan garis pantai pada saat gelombang tinggi dan gelombang badai.
3.Pantai lepas (offshore) adalah wilayah antara garis pantai surut terendah hingga ke
laut lepas.
Shore menurut Gross (1990) adalah wilayah yang terbentang dari pasang
tertinggi hingga tingkat pasang terendah yang dicapai oleh pasir yang dipindahkan
oleh gelombang. Pantai (shore) adalah zona sempit perairan lautan yang dibatasi oleh
garis surut terendah (shoreline) dan garis pasang tertinggi (coastline) (CERC, 1984).
Mintakat pantai dimulai setelah zona pecah gelombang (breaker zone) yang
merupakan mintakat gelombang mengalami pembengkakan dan pemecahan akibat
pendangkalan dasar laut (Gambar 1.1). Sedangkan beach atau gisik ialah bentuk dari
shoreyang memiliki akumulasi material sedimen lepas dalam jumlah besar yang
mengendap dalam suatu wilayah hingga batas foreshore.
Gambar 1.1. Determinasi Pantai
(Triatmodjo, 1999)
8
1.5.1.2. Dinamika Pantai
Wilayah pantai merupakan wilayah yang selalu mengalami perubahan atau
dinamis oleh proses – proses yang terjadi. Wilayah pantai rentan terhadap perubahan
yang terjadi baik perubahan fisik maupun perubahan ekosistem. Proses – proses alami
maupun buatan manusia memberikan perubahan dinamika yang terjadi di wilayah
kepesisiran. Wilayah kepesisiran mengalami proses yang kompleks yang berkaitan
satu sama lain diantaranya proses astrodinamik, aerodinamik, hidrodinamik,
geodinamik, morfodinamik, ekodinamik, antrodinamik (Sunarto dkk, 2014). Proses
yang terjadi mempengaruhi perubahan garis pantai dan pembentukan bentang lahan
pesisir. Perubahan garis pantai merupakan salah satu proses yang paling dinamis
dalam dinamika pesisir (Mills dkk, 2005 dalam Marfai dkk, 2011). Perubahan garis
pantai mempengaruhi proses yang terjadi baik fisik pantai, ekosistem maupun
aktivitas manusia. Perubahan garis pantai menimbulkan dampak negative maupun
dampak positif. Dampak positif dapat berwujud pertambahan lahan yang dapat
digunakan untuk penggunaan lahan tertentu. Dampak negative berupa abrasi pantai
yaitu kehilangan lahan pantai, menurunnya kualitas air permukaan, menurunnya
lahan produktif pertanian dan terhambatnya aktivitas industri dan pariwisata akibat
kerusakan infrastruktur.
Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dan air laut yang
posisinya selalu berubah sesuai dengan kondisi pasang air laut dan Dinamika garis
pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami terdiri
parameter laut seperti gelombang, batimetri pantai, dan faktor iklim. Salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi perubahan garis pantai yaitu perubahan iklim yang
menyebabkan kenaikan muka air laut. IPCC menyebutkan peningkatan suhu bumi
sekitar 5°C dalam kurun waktu 100 tahun terakhir menyebabkan pemuaian air laut
dan mencairnya salju- salju abadi yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
IPCC menyebutkan bahwa kenaikan muka air laut dalam kurun waktu 100 tahun
terakhir mencapai 20 – 25 cm (IPCC, 1995). Menurut Triatmodjo (1999), pantai
9
merupakan batas antara darat dan laut, diukur pada saat pasang tertinggi dan surut
terendah, dipengaruhi oleh fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah
darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan manusia di lingkungan darat. Pantai
selalu menyesuaikan bentuk profilnya terhadap energi yang datang. Penyesuaian
bentuk pantai ini merupakan tanggapan dinamis pantai yang alami terhadap proses
alam.
1.5.2 Kerentanan Pantai
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi sifat dan karakteristik biologis,
geografis, social, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi suatu masyarakat atau
komunitas tertentu di suatu wilayah yang menentukan kemampuan masyarakat
mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menggapai bahaya atau ancaman pada
jangka waktu tertentu (Mardiatno, dkk. 2012). Menurut SOPAC (2005) kerentanan
adalah kecenderungan entitas dalam mengalami kerusakan, yang mana entitas dapat
berupa fisik (manusia, ekosistem, wilayah) atau konsep abstrak (komunitas, negara,
ekonomi, dan sebagainya).
Kerentanan adalah kumpulan aspek gabungan dari
kondisi dan proses yang dihasilkan oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kerawanan area tersebut dari bahaya.
Potensi masyarakat untuk bereaksi dan menyikapi bencana juga berpengaruh pada
kerentanan yang mencakup ide respon dan strategi kesiapsiagaan (Marfai dkk, 2011).
Kerentanan pesisir meliputi kerentanan lingkungan, kerentanan sosial, dan
kerentanan ekonomi. Kerentanan lingkungan meliputi sistem yang kompleks dalam
karakteristik spesies dan fisik habitat yang dibatasi oleh kondisi geografi (SOPAC,
2005 dalam Sulma, 2012). Kerentanan sosial merupakan tingkat kerentanan atau
kerapuhan sosial dan kependudukan dalam menghadapi bahaya. Sedangkan
kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atas aset atau kegiatan
aktivitas ekonomi yang terjadi apabila terdapat ancaman bahaya. Sementara
kerentanan fisik pantai yaitu kondisi yang menimbulkan proses kerusakan di wilayah
10
pantai. Menurut Pendleton et al (2005) dalam Sulma (2012) variabel yang
berpengaruh dalam kerentanan fisik pantai yaitu variabel geologi yang mencakup
geomorfologi, elevasi pantai dan perubahan garis pantai dan variabel proses fisik laut
yaitu kenaikan muka air laut, pasang surut, dan gelombang.
1.5.2.1. Geomorfologi
Pantai memiliki bentukan atau morfologi yang berpengaruh terhadap bentuk
pantai dan proses – proses yang terjadi. Pantai yang selalu mangalami perubahan
dalam
bentukan
geomorfologi
merupakan
bagian
dari
dinamika
pesisir.
Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang mempelajari bentuk
lahan dan proses perkembangan, serta keterkaitan di antara keduanya dalam susunan
keruangan (Van Zuidam, 1979 dalam Sunarto, dkk, 2014). Bentuklahan merupakan
objek utama dalam kajian geomorfologi. Bentuklahan didefinisikan sebagai
kenampakan permukaan bumi yang memiliki karakteristik tertentu dan mengalami
proses dan struktur yang khas dalam perkembangannya (Sunarto, 2004).
Bentuklahan asal proses marin terbentuk atas proses aktivitas laut. Aktivitas laut yang
berpengaruh terhadap dinamika bentuklahan marin yaitu adanya gelombang, arus
laut, tenaga angin dan tektonisme. Dinamika pesisir meliputi perubahan bentukan
yang bervariasi. Bentuklahan yang umum ditemukan di wilayah pesisir yaitu beting
gisik (beach ridge) yang terbentuk oleh aktivitas marin, delta oleh proses fluvio
marin, terumbu karang oleh proses organic dan gumuk pasir yang terbentuk oleh
proses eolin (Sunarto, 2001 dalam Marfai, dkk. 2011). Bentuklahan pantai
dipengaruhi juga oleh topografi pantai apakah berbatu, bertebing, atau dataran. Pantai
yang berbentuk dataran mempunyai aspek kemiringan lereng pantai yang
berkontribusi terhadap kerentanan fisik pantai. Kemiringan lereng pantai yaitu
tangent antara muka pantai dengan area antara surut terendah dengan pasang tertinggi
yang diukur secara tegak lurus dengan garis pantai.
Klasifikasi tipologi pantai atau pesisir yang digunakan yaitu klasifikasi yang
dikemukakan oleh Shepard (1972) dalam Pethick (1984) yang membagi tipologi
11
pesisir kedalam klasifikasi besar yaitu pesisir primer (primary coast) dan pesisir
sekunder (secondary coast). Pesisir primer yaitu pesisir yang pembentukan dan
konfigurasinya berasal dari kontrol proses yang berasal dari darat (therestrial). Pesisir
primer dibagi lagi menjadi empat tipologi, yaitu:

Land erosion coast : merupakan tipologi pesisir yang konfigurasinya
dipengaruhi oleh proses erosi dari daratan diatasnya yang diikuti oleh proses inundasi
oleh laut.

Sub aeraial deposition coast: adalah pesisir yang terbentuk dari akumulasi
bahan – bahan secara langsung seperti sedimen sungai, glacial, atau longsoran kearah
laut.

Volcanic coast: tipe pesisir yang terbentuk akibat proses vulkanik, dapat
berupa aliran lava.

Structurally shaped coast: Tipe pesisir yang terbentuk oleh proses patahan
atau pelipatan atau intrusi batuan sedimen, yang biasanya dinamikanya berupa proses
abrasi di dinding cliff.
Tipolgi pesisir lainnya yaitu pesisir sekunder,
yaitu pesisir
yang
konfigurasinya terbentuk dari kontrol proses yang berasal dari arah laut atau marine.
Pesisir sekunder dibagi menjadi tiga tipe yaitu:

Marine deposition coast: pesisir yang terbentuk oleh deposisi material
sedimen marin. Diatandai dengan lereng landari dan meluas dengan proses maerial
pasir sangat intensif.

Wave erosion coast:pesisir yang terbentuk oleh aktivitas gelombang yang
membentuk proses erosi atau abrasi gelombang pada tebing pantai yang
mempengaruhi pola garis pantai.

Coast built by organism: Pesisir dengan garis pesisir berupa terumbu karang
atau padang lamun yang terbentuk akibat aktivotas hewan atau tumbuhan.
12
1.5.2.2. Perubahan Garis Pantai
Garis pantai adalah batas pertemuan antara daratan dengan air laut yang selalu
mengalami perubahan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya yaitu pasang
surut, gelombang, dan arus laut (Sutikno, 1993 dalam Wibowo, Yudha, 2013)
Perubahan garis pantai terjadi saat proses geomorfologi yang terjadi tidak sesuai atau
melebihi proses yang biasanya terjadi.
Pariwono (1992) dalam Sulma (2012)
menyebutkan variabel yang mempengaruhi proses erosi dan sedimemtasi yang
mempengaruhi perubahan garis pantai ialah gelombang, arus, pasang surut,
perubahan muka lau, dan variabel lain seperti aktivitas manusia. IHO (1993) dalam
Kasim (2011) menyebutkan kedudukan permukaan laut pada garis pantai berada pada
mean high water level (MHWL) untuk pemetaan hidrografi, sedangkan untuk
pemetaan topografi kedudukan muka laut untuk garis pantai berada pada bidang
mean sea level (MSL) dan kedudukan permukaan laut pada batas air rendah
dinyatakan pada mean low water level (MLWL). Pasang surut dapat menyebabkan
genangan secara permanen atau epsiodik tergantung dari kharakteristik fisik dan
wilayahnya. Pasang surut menyumbang peranan yang besar terhadap perubahan garis
pantai terutama secara temporal sehingga perlu dilakukan koreksi pasang surut.
Faktor alami lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai yaitu kenaikan
air laut. Pemanasan global telah menyebabkan sedikitnya 20 - 25 cm kenaikan muka
air laut dalam kurun 100 tahun terakhir yang berimbas pada perubahan garis pantai di
kebanyakan pesisir Indonesia (IPCC, 1995). Faktor lain yaitu adanya faktor manusia
yang merubah garis pantai dengan pendirian infrastruktur atau reklamasi pantai.
Perubahan garis pantai mempunyai dampak, selain dampak fisik juga berdampak
pada faktor sosial dan ekonomi. Garis pantai yang menjorok ke permukiman dalam
waktu yang lama menyebabkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat
yang terdampak.
13
1.5.2.3. Kenaikan Muka Laut
Dinamika pantai yang tengah menjadi fenomena saat ini yaitu proses
kenaikan muka air laut. Fenomena kenaikan muka air laut dapat terjadi secara
periodik maupun terus menerus. Secara periodik dapat dilihat dari aktivitas pasang
surut, sedangkan proses terus menerus teridentifikasi akibat proses pemanasan global.
Kenaikan muka air laut yang terus menerus dipengaruhi oleh pemuaian thermal.
Perubahan iklim merupakan faktor utama dalam proses kenaikan muka air laut. Laju
kenaikan muka air laut pada tahun 1990 an yaitu 1,5 mm per tahun, IPCC
memperkirakan peingkatan muka laut global setinggi ± 14 – 28 cm pada tahun 2050
akibat pemanasan global (Dahuri, 2002). Kenaikan muka air laut dapat mengkibatkan
penggenangan di beberapa wilayah pesisir yang merubah garis pantai. Kecepatan
muka air laut 100 tahun mendatang dapat diproyeksikan dari data kenaikan muka air
laut 150 tahun yang lalu (Rositasari, dkk, 2011).
Kenaikan muka laut berdampak pada kerusakan fisik dan terganggunya faktor
sosial dan ekonomi. Pembangunan yang pesat di wilayah pesisir merupakan objek
yang paling tinggi memiliki kerentanan terhadap kenaikan muka laut. Pembangunan
infrastruktur berupa permukiman, industri, pariwisata, pelabuhan maupun bandara
dapat menuai dampak dari proses alam yang terjadi yaitu kenaikan muka air laut.
Dengan mengidentifikasi wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana dan abrasi,
pemerintah daerah dapat mengurangi resiko dampak secara efektif.
1.5.2.4. Pasang Surut
Pasang surut berpengaruh pada kerentanan pantai karena menyebabkan
dinamika permukaan air laut secara rutin di sepanjang pantai dan menghasilkan suatu
arus yang berpengaruh pada kenaikan permukaan air laut (Sulma, 2012). Pasang surut
adalah proses naik turunnya paras perairan laut yang ditimbulkan oleh adanya gaya
tarik dari benda angkasa, terutama Matahari dan Bulan terhadap massa air laut secara
berkala (Sunarto, 2014). Pasang surut memiliki karakteristik yang berbeda di setiap
lokasi tergantung dari kharakteristik yang dipengaruhi oleh topografi dasar laut,
14
bentuk teluk, kelandaian pantai, dan sebagainya. Pasang surut merupakan aktivitas
laut yang kompleks namun dapat diramalkan karena sifatnya periodik. Aktivitas
pasang surut melibatkan seluruh massa air laut yang menimbulkan energi yang besar
bukan hanya di permukaan saja.
Pengetahuan mengenai pasang surut sangat penting terkait studi lingkungan
yaitu distribusi dan sifat pencemaran air laut. Selain itu pengetahuan pasang surut
diperlukan untuk pembangunan infrastruktur di pesisir seperti transportasi dan
industri. Pasut juga dapat menjadi informasi untuk peringatan dini banjir pasang, pola
umum gerakan massa air, dan sebagainya. Energi pasang surut juga dapat
di
konversikan menghasilkan tenaga listrik. Untuk itu proses pasang surut merupakan
salah satu aspek penting dalam upaya pengelolaan pesisir dan penaksiran kerentanan
pesisir (Surinati, 2007).
Salah satu produk pasang surut yang mempengaruhi kerentanan fisik alami
ialah tunggang pasang surut (tidal range). Tunggang air adalah nilai amplitude dari
selisih nilai pasang tertinggi dan surut terendah pergerakan pasang surut yang
membentuk suatu siklus selama periode tertentu. Pugh (1987) dalam Rampengan
(2013) mendefinisikan tunggang pasang surut sebagai perbedaan ketinggian antara
elevasi pasang dan surut berurutan. Tunggang pasang surut diklasifikasikan dalam
Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Klasifikasi Fluktuasi Pasut
Tunggang Pasut
Keterangan
>4 m
Makrotidal
2–4m
Mesotidal
>2 m
Mikrotidal
Sumber: Hayes (1975) dalam Allen & Coadou (1982)
15
Pasang surut memiliki dua jenis yang dipengaruhi oleh gerakan astronomi.
Dua jenis tersebut ialah pasang purnama (spring tide) yang terjadi pada saat bulan
purnama (konjugasi) dan bulan baru (oposisi) yaitu ketika bumi, bulan dan matahari
berada dalam suatu garis lurus. Pada saat ini akan dihasilkan pasang tinggi yang
sangat tinggi dan surut yang sangat rendah. Pasang perbani (neap tide) adalah pasang
yang terjadi saat bulan mati atau dalam keadaan ¼ dan ¾ yaitu ketika bumi, bulan
dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat ini dihasilkan pasang tinggi
yang rendah dan surut yang tinggi (Kahar, Joenil. 2008).
Wibisono (2005) menyebutkan dalam Surinati (2007), ada tiga tipe dasar
pasang surut yang didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu sebagai berikut:
1. Pasang-surut tipe harian tunggal (diurnal type): yakni bila dalam waktu 24 jam
terdapat 1 kali pasang dan 1 kali surut.
2. Pasang-surut tipe tengah harian/ harian ganda (semi diurnal type): yakni bila
dalam waktu 24 jam terdapat 2 kali pasang dan 2 kali surut.
3. Pasang-surut tipe campuran (mixed tides): yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat
bentuk campuran yang condong ke tipe harian tunggal atau condong ke tipe harian
ganda.
Tipe pasut ditentukan dengan metode admiralty dengan menentukan bilangan
Formzhal yang mempunyai formula:
Dengan:
=
…………………………………………………………………...(1)
F = Bilangan Formzal
O1 = Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya
tarik bulan.
16
K 1= Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya
tarik matahari.
M2= Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya
tarik bulan.
S2 = Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya
tarik matahari
Dengan ketentuan :
F < 0.2 : Pasang surut tipe ganda (semidiurnal)
0.25< F <1.5 : Pasang surut tipe campuran condong harian ganda (mixed tide
prevailing semidiurnal)
1.5< F < 3.0 : Pasang surut tipe campuran condong harian tunggal (mixed tide
prevailing diurnal)
F > 3.0 : Pasang surut tipe tunggal (diurnal)
1.5.2.5. Gelombang
Gelombang yaitu pergerakan naik turunnya air permukaan laut akibat proses
alih energy dari permukaan ke laut. Gelombang merupakan salah satu proses yang
mempengaruhi
kerentanan
pantai
karena
sifatnya
yang
dapat
destruktif
(menghancurkan) dan konstruktif (membangun). Perubahan kecepatan yang dialami
gelombang ketika memasuki perairan dangkal menyebabkan refraksi atau
pembelokan dari arah awal penjalaran gelombang. Selanjutnya tinggi gelombang
menjadi berkurang yang mengalami proses difraksi akibat benturan oleh bangunan
seperti pemecah bangunan (Azis, 2006). Pada pengukuran gelombang terdapat
beberapa unsur yang menjadi intinya yaitu:
1. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak atau antara dua
lembah yang berurutan
2. Tinggi gelombang adalah jarak tegak lurus antara puncak dan lembah gelombang
3. Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh satu puncak ke puncak
berikutnya.
17
Menurut Pethick (1984) gelombang laut memiliki dua sifat terhadap
pembentukan pantai yaitu gelombang destruktif dan konstruktif. Gelombang yang
bersifat kontruktif merupakan gelombang yang bersifat membangun pantai atau
menyebabkan akresi pantai. Sedangkan gelombang destruktif bersifat mengerosi
pantai. Apabila kemiringan gelombang rendah yaitu kurang dari 0.025 maka
gelombang bersifat konstrukstif yang cenderung mendendapkan sedimen di pantai.
Apabila kemiringan gelombang lebih dari 0.025 maka gelombang bersifat destruktif
yang artinya memiliki sifat erosi.
Gelombang berpengaruh kuat terhadap kerentanan fisik pantai. Gelombang
dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus, agen erosi
dan pengangkutan sedimen, dan menimbulkan gaya – gaya yang bekerja pada
bangunan pantai. Proses tersebut terjadi terus menerus tergantung dari energi angin
sebagai pembentukannya. Kawasan dari garis gelombang pecah kearah laut disebut
offshore. Sedang kawasan yang terbentang dari gelombang pecah kearah pantai
dibedakan menjadi tiga daerah yaitu breaker zone, surf zone, dan swash zone seperti
yang terlihat pada Gambar 1.2. Breaker zone atau zona gelombang pecah adalah area
ketidakstabilan dan pemecahan gelombang yang datang dari laut.Surf zone ialah zona
yang terletak diantara zona pecah gelombang dan zona naik turun gelombang.
Sedangkan swash zone ialah zona garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas
terendah turunnya gelombang di pantai (Triatmodjo, 1999)
18
Gambar 1.2. Zona dan karakteristik gelombang
(Triatmodjo, 1999)
Gelombang memiliki berbagai tipe tergantung dari kemiringan pantai yang
berpengaruh terhadap gelombang pecah. Galvin (1996) mengklasifikasikan tipe
empasan gelombang yaitu:
1.
Spiling
Gelombang tipe Spiling pecah dengan jarak yang cukup jauh dari pantai dan
pecahnya berangsur – angsur. Gelombang Spilingterjadi karena kemiringan pantai
yang rendah menuju ke pantai yang datar.
2.
Plunging
Empasan gelombang ini terjadi pada kemiringan dasar yang lebih tinggi dari
tipe Splinging yang timbul pada periode yang cukup lama. Gelombang ini cenderung
berbentuk cembung di bagian lama dan berbentuk cekung kearah depan. Gelombang
tipe Plunging terjadi saat kemiringan lereng dan kemiringan gelombang bertambah
sehingga puncak gelombang terjun ke depan.
19
3.
Surging
Empasan gelombang tipe ini terjadi pada kemiringan dasar yang cukup curam
sehingga pecah gelombang terjadi tepat di tepi pantai dengan sifat lemah. Gelombang
yang pecah tepat di tepi pantai menyebabkan sempitnya surf zone.
4.
Collapsing
Empasan gelombang tipe ini pecah setengah dari yang biasa terjadi karena
kemiringan dasar yang sangat curam. Gelombang tidak pecah di permukaan namun
terdapat buih sebagai empasan gelombang.
1.5.3. Indeks Kerentanan Fisik Alami Pantai
Kerentananan dari prespektif fisik yaitu identifikasi area yang rentan terhadap
ancaman dan bahaya sehingga apabila area tersebut dimanfaatkan atau dibangun
maka kerentanan area akan meningkat. Pengukuran kerentanan yang menyeluruh
tidak dapat ditentukan dengan menggabungkan karakteristik faktor fisik, sosial dan
ekonomi. Beberapa peneiliti menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan
kondisi data, tujuan dan maksud penelitiannya (Boruff, et al. 2005 dalam Ristianto,
2011). Indeks kerentanan fisik pantai diadaptasi dari metodeCoastal Vulnerability
Index (CVI) yang merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menaksir
kerentanan fisik di wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Gonitz (1997). Metode
CVI ini diadaptasi untuk diterapkan pada wilayah pantai.Metode CVI telah banyak
digunakan oleh peneliti terdahulu untuk menghitung kerentanan fisik pesisir termasuk
pantai. Kerentanan pantai ditaksir dari 6 parameter yang mempengaruhinya yaitu
gemorfologi, pasang surut, kenaikan muka air laut, gelombang, perubahan garis
pantai dan tunggang pasang surut.
1.6. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya tentang dinamika pesisir dan kerentanan dapat
ditemukan di berbagai pesisir di Indonesia (Tabel 1.2). Namun untuk daerah Pacitan
belum ada yang mengulas tentang kerentanan fisik pesisir. Penelitian Thesis oleh
20
Sayidah Sulma (2012) mengkaji kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut
di Surabaya. Peneltian in menggabungkan kerentanan fisik dan kerentanan sosial
dengan meode SoVi yang lalu di standarisasi dengan Multi Criteria Analysis (MCA).
Penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh untuk ekstraksi parameter
kenaikan muka air laut yaitu menggunakan satelit altimeter. Kerentanan sosial diukur
dari tingkat kepadatan penduduk dan jumlah penduduk miskin sehingga unit
penelitian menggunakan satuan administrasi.
Penelitian lain dilakukan di Yogyakarta oleh Muttaqin (2010) tentang
kerentanan fisik pesisir berdasarkan perbedaan tipologi pesisir di Pantai Selatan
Yogyakarta. Wilayah kajian yaitu Pantai Parangtritis yang mempunyai topologi subaerial deposition coast dan Pantai Baron yang memiliki tipologi marine deposition
coast dan structurally shaped coast.
Hasil penelitian menunjukkan pantai yang
mempunyai marine deposition coast dan sub-aerial deposition coast mempunyai
kerentanan yang lebih tinggi dibanding pantai dengan tiopologi structurally
deposition coast.
Penelitian oleh Ricky Rositasari (2011) dilakukan di Cirebon tentang prediksi
kerentanan pesisir di Cirebon dengan metode studi geomorfologi, geo-listrik, dan
penginderaan jauh. Kajian perubahan garis pantai diperoleh dari pengamatan profil
pantai terhadap perubahan muka air laut rata rata (mean seal level) yang lalu
diprediksi dari kenaikan muka air laut. Sementara proses intrusi air laut diperoleh dari
pengukuran dengan menggunakan geolistrik. Hasil dari penelitian ini yaitu wilayah
pantai di Cirebon terindikasi mengalaim erosi yang lebih luas dikarenakan elevasi
yang rendah dan ketinggian genangan.
Penelitian oleh Ristianto, Wahyudi dan Sakka menghitung kerentanan fisik
pesisir atau pantai dengan metode Coastal Vulnerability Index (CVI). Pada penelitian
Sakka (2014) menggunakan software untuk pengolahan data antara lain Globbal
Mapper, Surfer 8 dan ODV untuk mengolah data kenaikan muka air laut dan pasang
surut. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Ristianto menggunakan tiga variabel
21
untuk menghitung kerentanan pesisir antara lain variabel fisik, variabel ekonomi, dan
variabelsosial. Penelitian yang dilakukan oleh Ristianto (2011) menghitung
kerentanan dengan penyusunan peringkat dan pembobotan variabel fisik (gelombnag
ekstrim, pasang surut, elevasi, kelerengan), variabel sosial (kepadatan penduduk,
presentase jumlah perempuan, presentase tenaga kesehatan), dan variabel ekonomi
(jumlah rumah tangga miskin, presentasi pekerjaan sektor rentan, dan penggunaan
lahan). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2009) menentukan kerentanan
pantai
berdasarkan pembobotan 10 variabel yaitu perubahan garis pantai,
pengamatan visual keruskan, panjang kerusakan, lebar kerusakan, lebar sabuk hijau,
litologi, tinggi gelombang, jarak pasang surut, penggunaan lahan, dan kemiringan
pantai
22
Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti
Tempat/tahun
Judul Penelitian
Tujuan
Metode
Hasil Penelitian
1
Sayidah
Sulma
Surabaya,
2012
Kerentanan Pesisir
Terhadap Kenaikan
Muka Air Laut
(Studi Kasus:
Surabaya dan
Daerah Sekitarnya.
Kerentanan pesisir dianalisis
dari kerentanan fisik dan
kerentanan sosial. Analisis
krentanan fisik dan sosial
menggunakan Multi Criteria
Analysis(MCA) untuk
standarisasi ranking variabel
berdasar metode CVI untuk
fisik dan SoVi untuk
kerentanan sosial.
2
Bachtiar
Wahyu
Mutaqin,dkk
Yogyakarta
Indeks Kerentanan
Kepesisiran
terhadap Kenaikan
Muka Air Laut
pada Beberapa
Tipologi
Kepesisiran di
Provinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Mengetahui
sebaran spasial
kerentanan pesisir
Surabaya terhadap
kenaikan muka air
laut dan
mengetahui faktor
yang paling
berkontribusi
terhadap kerentanan
pesisir di Surabaya.
Mengetahui
kerentanan wilayah
kepesiran terhadap
kenaikan muka air
laut pada beberapa
tipologi yang
berbeda
berdasarkan pada
nilai indeks
kerentanan wilayah
kepesisiran/ coastal
vulnerability index
(CVI).
Daerah penelitian memiliki
kerentanan terhadap
kenaikan muka air laut
pada kategori sangat rendah
hingga tinggi. Kondisi fisik
yang paling berkontribusi
yaitu elevasi pantai
sedangkan faktor sosial
ekonominya adalah
persentase penduduk
miskin.
Tingkat kerentanan yang
berbeda dapat ditemukan
pada tipologi kepesisiran
yang sama, hal ini karena
pada tipologi yang sama
akan ditemukan prosesproses yang sama namun
dapat terjadi dengan
intensitas yang berbeda.
Penentuan CVI dilakukan
dengan menginventarisasi
aspek geomorfologi,
perubahan garis pantai
(abrasi/akresi), kemiringan
lereng wilayah kepesisiran,
perubahan ketinggian muka
air laut relatif, rata-rata
ketinggian gelombang,
perbedaan ketinggian ratarata kondisi pasang dan surut
serta kondisi litologi
pembentuk wilayah
kepesisiran (aspek geologi).
23
Lanjutan Tabel 1.2.
3
Ricky
Rosirasari,
dkk
Cirebon ,
2011.
Kajian dan Prediksi
Kerentanan Pesisir
terhadap Perubahan
Iklim: Studi Kasus
di Pesisir Cirebon
4
Sakka, Samsu
Arif, Eka
Wahyuni
Syahrir
Makassar,
2014.
Analisis
Kerentanan Pantai
di Kabupaten
Takalar
Mengetahui
kerentanan pesisir
sebagian Cirebon
dengan studi
geomorfologi, geolistrik, dan
penginderaan jauh.
Pengamatan lapangan
terhadap profil pantai
terhadap muka laut ratarata (mean sea level) dan
karakteristik garis pantai
untuk memprediksi
perubahan garis pantai.
Intrusi dilakuan
pengukuran geolistrik.
Valuasi kerugian
dilakukan dengan
skenario genangan dan
perhitungan penggunaan
lahan.
Menentukan nilai kelas Perhitungan nilai skor
setiap parameter
indeks kerentnan dilaukan
kerentanan pesisir,
dengan perhitungan nilai
menentukan CVI, dan
indeks kerentanan metode
menentukan wilayah
CVI (Coastal Vulnerable
kerentanan pesisir
Index) dengan variabel
berdasarkan nilai CVI geomorfologi, perubahan
garis pantai, kemiringan
pantai, rerata tinggi
gelombang, rerata kisaran
pasang surut, dan laju
perubahan paras laut.
Pengolahan data
dilakukan dengan
software global mapper,
ODV, dan Surfer 9 untuk
pengolahan data kenaikan
mua air laut dn tinggi
gelombang signifikan.
Sebagian besar wilayah
pesisir di Cirebon telah
longsor pada berbagai skala
mulai dari kondisi rentan
menjadi buruk. Air laut
telah menembus sampai
beberapa kilometer
kedaratan. Kerugian nilai
penggunaan lahan
diproyeksikan sekitar Rp.
1.295.071.755.150/ha/
tahun akibat naiknya air
laut sebesar 0,8 meter.
Wilayah yang rentan
diakibatkan oleh aktivitas
air laut adalah Desa
Topejawa dimana
parameter yang
berpengaruh ialah
geomorfologi. Pada Desa
Salamba dan Tamalaya
parameter yang sangat
berpengaruh ialah
perubahan garis pantai dan
kenaikan muka air laut.
24
Lanjutan Tabel 1.2.
5
Ristianto
Jawa Barat,
2011
Kerentanan
Wilayah Pesisir
Terhadap Kenaikan
Muka Laut (Studi
Kasus Wilayah
Pesisir Utara Jawa
Barat)
Identifikasi wilayah
rentan di pesisir
Provinsi Jawa Barat
terhadap kenaikan
muka laut ditnjau dari
faktor fisik sosial
ekonomi dan
tersedianya peta
kerentanan terhadap
kenaikan muka laut
untuk wilayah pesisir
Provinsi Jawa Barat
Kerentanan diperioleh dengan
penyusunan peringkat dan
pembobotan variabel fisik
(gelombnag ekstrim, pasang
surut, elevasi, kelerengan),
variabel sosial (kepadatan
penduduk, presentase jumlah
perempuan, presentase tenaga
kesehatan), dan variabel
ekonomi (jumlah rumah
tangga miskin, presentasi
pekerjaan sektor rentan, dan
penggunaan lahan)
Wilayah pesisir utara Jawa
Barat memiliki desa - desa
dengan krtiteria
kerentanan fisik sangat
tinggi yaitu 21% dengan
kerentanan tinggi, 31 %
dengan tingkat kerentanan
sedang, 26 % dengan
tingkat kerentanan rendah,
dan 9.3 % dengan tingkat
kerentanan sangat rendah
6
Wahyudi,
Teguh
Hariyanto,
Suntoyo
Jawa Timur,
2009
Analisa Kerentanan
Pantai di Wilayah
Pesisir Pantai Utara
Jawa Timur
Menentukan indeks
kerentanan pantai
terhadap kerusakan
yang mengancam yang
digunakan untuk
menyusunan peta
kerentanan pantai
Kerentanan pantai ditentukan
berdasarkan pembobotan 10
variabel yaitu perubahan garis
pantai, pengamatan visual
keruskan, panjang kerusakan,
lebar kerusakan, lebar sabuk
hijau, litologi, tinggi
gelombang, jarak pasang
surut, penggunaan lahan, dan
kemiringan pantai
Terdapat 7 wilayah dengan
tingkat kerentanan tinggi,
depan wilayah kerentanan
sangat tinggi yang
disebabkan oleh tidak
adanya sabuk hijau,
penggunaan lahan terlalu
dekat dengan garis pantai
dan litologi daerah yang
tersusun oleh endapan
alluvial muda.
25
1.7 Kerangka Teori
Kondisi pantai pada kedua wilayah mengalami dinamika yang khas karena
karakteristik pantainya yang berbentuk teluk. Dinamika pesisir dominan terjadi
karena perubahan garis pantai dan kenaikan muka air laut yang terjadi dalam
beberapa periode terakhir. Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub
yang memicu kenaikan muka air laut sebanyak 20 – 25 cm pada 100 tahun
terakhir (IPCC. 1995). Pemanasan global juga menyebabkan perubahan iklim
yang berpengaruh pada perubahan sifat fisik laut dan pantai. Dinamika pesisir
yang drastis seperti kenaikan muka air laut menimbulkan dampak pada aspek fisik
dan sosial apabila tidak dilakukan upaya mitigasi dan penanggulangan. Pada
aspek fisik dampak yang ditimbulkan dapat berupa hilang atau bertambanya lahan
pantai, kerusakan ekosistem pantai, dan kerusakan infrastruktur yang dibangun di
wilayah pantai.
Indeks kerentanan fisik pantai merupakan metode penilaian kerentanan
fisik pesisir dari variabel sifat fisik laut dan variabel geomorfologi yang diadaptasi
dari metode CVI (Coastal Vulnerability Index) milik Gornitz (1997). Faktor
geomorfologis yang diidentifikasi untuk metode CVI yaitu kondisi geomorfologi
dan kemiringan lereng pantai. Variabel geomorfologi diidentifikasi dari morfologi
pantai meliputi sifat pantai, sifat material pantai dan sumber material serta
kemiringan lereng pantai yang menjadi salah satu variabel. Variabel sifat fisik laut
yang diukur dalam metode CVI yaitu gelombang, kenaikan muka air laut, pasang
surut, dan perubahan garis pantai. Gelombang membutuhkan proses tenaga angin
dalam pembentukannya. Sementara pasang surut adalah proses alami yang
dimiliki pantai akibat gaya gravitasi Bulan dan Matahari. Kenaikan muka air laut
dipicu oleh faktor dari luar yaitu akibat pemanasan global yang menimbulkan
pencairan es di kutub. Kenaikan muka air laut lalu memicu perubahan garis pantai
yang terus mengalami pemunduran dalam beberapa periode terakhir. Pemicu lain
ialah faktor gelombang tinggi yang menimbulkan erosi pantai dan pemunduran
garis pantai. Faktor – faktor tersebut merupakan parameter yang menyebabkan
kerentanan fisik alami dari pantai. Ketahanan pantai yang rendah dan proses alami
yang menimbulkan ancaman berpotensi menimbulkan kerentanan pada suatu
26
pantai. Hasil perhitungan variabel –variabel tersebut dapat dilihat variabel apa
yang paling berpengaruh terhadap kerentanan. Dari uraian tersebut diformulasikan
kerangka teori penelitian (Gambar 1.3.).
Faktor gemorfologis
Faktor fisik laut
Angin
Kondisi
Geomorfologi
Kemiringan
pantai
Gelombang
Ketahanan terhadap
ancaman
Pasut
Kenaikan
muka air laut
Perubahan garis pantai
Faktor fisik laut yang menimbulkan
ancaman
Kerentanan fisik
alami pantai
Indeks Kerentanan
fisik alami pantai
Gambar 1.3. Diagram Kerangka Teori
27
1.8. Batasan Istilah
Pantai adalah zona sempit perairan perairan laut dengan daratan yang dibatasi
oleh rerata garis surut terendah (shoreline) hingga garis pasang tertinggi
(coastline)
Pesisir adalah kawasan dinamik yang saling berhubungan merupakan dimana
daratan, air, dan udara berinteraksi dalam keseimbangan yang muda terganggu
(fragile) yang secara tetap dirubah oleh pengaruh alam dan manusia.
Kerentanan Fisik Alami Pantaiadalah
kondisi yang menimbulkan proses
kerusakan di kawasan pantai dimana dipengaruhi oleh beberapa variabel yang
bersifat alamiah.
Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang mempelajari
bentuk lahan dan proses perkembangan, serta keterkaitan di antara keduanya
dalam susunan keruangan.
Gelombang yaitu pergerakan naik turunnya air permukaan laut akibat proses alih
energy dari permukaan ke laut.
Gisik adalah bentuk dari shore yang memiliki akumulasi material sedimen lepas
dalam jumlah besar yang mengendap dalam suatu wilayah hingga batas foreshore
dan terpengaruh oleh pasang surut air laut.
Pasang Surut adalah proses naik turunnya paras perairan laut yang ditimbulkan
oleh adanya gaya tarik dari benda angkasa, terutama Matahari dan Bulan terhadap
massa air laut secara berkala.
Garis Pantai adalah batas pertemuan antara daratan dengan air laut yang selalu
mengalami perubahan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya yaitu pasang
surut, gelombang, dan arus lau
Kenaikan Muka Air Laut adalah proses perubahan muka air laut yang dapat
terjadi secara periodik maupun terus menerus.
28
Download