Tugas online 5 Epid. menyakit menular

advertisement
TUGAS ONLINE 5
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
‘’ Rantai Penularan, Riwayat Alamiah dan Tingkat Pencegahan pada
Penyakit TB Paru ‘’
Disusun Oleh :
Shifa Nur Aini Badrein
(2013-31-296)
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
KESEHATAN MASYARAKAT
JAKARTA
2014
Rantai Penularan Tb Paru
Sumber penularan adalah penderita TB yang memiliki BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita mengeluarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak ditemukan bakteri) maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari
penderita TB dewasa yang tinggal satu rumah. Meningkatnya penularan infeksi juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain kondisi sosial ekonomi yang buruk, fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat yang belum optimal, meningkatnya jumlah penduduk yang
tidak mempunyai tempat tinggal, dan adanya epidemi dari infeksi HIV.
Riwayat Alamiah Penyakit Tb Paru
Secara umum riwayat alamiah penyakit Tb Paru terdiri dari:
a. Tahap prepatogenesis
Tahap prepatogenesis Tb paru terjadi pada saat individu berinteraksi dengan penderita Tb
paru positif yang sangat menular. Pada saat penderita Tb paru positif menyebarkan dahak
yang mengandung kuman BTA ke udara, maka individu tersebut dapat menghirup kuman
BTA hingga mencapai paru-paru.
b. Tahap pathogenesis
Dalam tahap ini dibagi dalam empat tahap yaitu (Benenson, 1990):
1)
Tahap inkubasi
Masa inkubasi Tb paru adalah 4-12 minggu. Pada tahap ini terjadi reaksi daya tahan
tubuh untuk menghentikan perkembangan kuman BTA. Walaupun terdapat reaksi
daya tahan tubuh, namun ada sebagian BTA yang menetap sebagai kuman persister
atau dormant (tidur). Apabila daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangan kuman, maka dalam beberapa bulan akan menjadi penderita Tb paru
dan memberikan gejala.
2)
Tahap penyakit dini
Tahap ini dimulai saat penderita mengalami gejala awal penyakit, yang biasanya
dikarenakan oleh adanya penurunan daya tahan tubuh, sehingga pada tahap ini terjadi
kerusakan paru secara luas dan terjadinya kavitasi atau pleura.
3)
Tahap penyakit lanjut
Pada tahap ini, penderita Tb paru dapat mengalami komplikasi seperti perdarahan
saluran nafas bawah yang dapat menyebabkan kematian, kolaps dari lobus akibat
retraksi bronkial, pelebaran bronkus dan pembentukan jaringan ikat, adanya udara di
dalam rongga pleura, penyebaran infeksi pada organ lain seperti otak, tulang,
persendian dan ginjal, dan dapat juga terjadi insufisiensi kardio pulmoner.
4)
Tahap akhir penyakit
Pada tahap akhir penyakit, penderita Tb paru dapat menjadi sembuh atau meninggal.
Penderita Tb paru dapat sembuh apabila penyakit yang dialami tidak sampai pada
tahap penyakit lanjut atau terjadi komplikasi. Penderita juga dapat sembuh apabila
dilakukan pengobatan Tb paru yang sesuai. Kematian dapat terjadi bila terdapat
komplikasi atau penderita tidak melaksanakan pengobatan yang telah dianjurkan.
Penderita Tb paru yang tidak diobati setelah 5 tahun, maka 50% dari penderita Tb
paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi,
dan 25% sebagai “kasus tropik” yang tetap menular (WHO, 1996).
c. Tahap Pasca Pathogenesis
Tahap pasca pathogenesis tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan penyakit TB paru
yang diderita oleh sesorang dimana seseorang berada dalam pilihan keadaan, yaitu
sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau
berakhir dengan kematian setelah melalui berbagai macam tahap pencegahan dan
pengobatan yang rutin
Upaya Tingkat Pencegahan Penyakit Tb Paru
1. Primordial prevention ( pencegahan tingkat awal )
Pada tahap awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Sedangkan ditahap selanjutnya
penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
2. Primary prevention ( pencegahan tingkat pertama )
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang
meliputi ;
a. Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah
dengan angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan
nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan lingkungan.
b. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan
tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak
c. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan
diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
3. Secondary prevention ( pencegahan tingkat kedua )
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan. Kontrol pasien
dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau
terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan
dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi
juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan
imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan
dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan
investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang
peranan terhadap epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk
membatasi kasus b`aru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan
psikis.
4. Tertiary prevention ( pencegahan tingkat ketiga )
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis,
rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian
rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan
kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC,
serta penegasan perlunya rehabilitasi.Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga
dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan jalan
sebagai berikut :
1. Perkembangan media.
2. Metode solusi problem keresistenan obat.
3. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
6. Studi lain yang intensif.
7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Bustan,M.N. 2006.Penyelidikan Epidemiologi Terhadap Penyakit TB. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Departemen Kesehatan RI. 2003.Prosedur Kerja Surveilans Faktor Risiko Penyakit Menular
Dalam Intensifikasi Pemberantasan penyakit Menular Berbasis Wilayah. Jakarta : Depkes RI.
Wirawan Dewa Nyoman, dr. MPH. 2004. Epidemiology of Tuberculosis. Epidemiologi
Dasar. Laboratorium Epidemiologi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Denpasar.
http://sanitasisurveilans.blogspot.com/2013/05/faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan.html
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/06/riwayat-alamiah-penyakit.html
http://eka78.wordpress.com/2010/11/12/penyelidikan-epidemiologi-terhadap-penyakit-tb- /
Download