“Para pihak yang berkepentingan untuk penelitian boleh mengutip atau mengunduh makalah ini dengan menyebutkan nama penulisnya” KONFERENSI INTERNASIONAL KE 17 TENTANG AKTUARIA DAN STATISTIK JAMINAN SOSIAL1 (ISSA, 30-05-2012 s/d 2-06-2012 di Berlin, Jerman) Bambang Purwoko Haris Eko Santoso Djoko Sungkono I. PENDAHULUAN Konferensi tentang aktuaria dan statistik jaminan sosial diadakan setiap 3 tahun sekali dan diselenggarakan Asosiasi Jaminan Sosial Internasional [International Social Security Association (ISSA)]. ISSA adalah lembaga PBB yang berafiliasi dengan ILO yang dibentuk pada tahun 1927 untuk tukar menukar informasi dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Status keanggotaannya terdiri dari keanggotaan afiliasi dan keanggotaan asosiasi. Affiliated members of ISSA bersifat kolegial yang memiliki hak suara dalam pemililihan Presiden ISSA termasuk memberikan masukan dalam perubahan Konstitusi ISSA, sedangkan Associate members bersifat koneksitas. Keanggotaan afiliasi adalah setiap BPJS yang menyelenggarakan program jaminan sosial secara langsung sedangkan keanggotaan asosiasi sebagai lembaga-lembaga pemerintah / negara yang berfungsi sebagai perumus atau pengawas. Tupoksi ISSA menyampaikan hasil penelitian melalui forum konferensi ini khususnya kepada para anggota baik yang berstatus afiliasi maupun asosiasi. Forum konferensi ini adalah ajang pertemuan untuk profesi ekonom, aktuaris dan spesialis keuangan untuk memaparkan hasil penelitian sebagai masukan bagi para anggota ISSA. Konferensi internasional ISSA ini diikuti para aktuaris, statistikawan, spesialis keuangan, ekonom dan BPJS-BPJS sebagai anggota ISSA. Dengan konferensi ini diharapkan agar hasil penelitian dari para profesi tersebut dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial di masa datang. Berikut permasalahan secara umum dalam penyelenggaraan jaminan sosial di banyak negara khususnya negara berkembang: a. b. c. d. rendahnya upah pekerja, rendahnya iuran jaminan sosial, rendahnya kepesertaan peserta, rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap program wajib jaminan sosial, e. penundaan pembayaran iuran oleh peserta (contribution evasion), f. lemahnya penindakan hukum, 1 Makalah ini disampaikan kepada Ketua dan Anggota DJSN sebagai laporan pertanggung-jawaban atas keikutsertaan dalam Konferensi Internasional ke 17 tentang Aktuaria dan Statistik Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh International Social Security Association (ISSA) di Berlin tanggal 29 Mei-2 Juni 2012. Keikutsertaan dalam Konferensi tersebut telah mendapat persetujuan dari Sekretariat Negara sesuai Surat No B-802/Kemsetneg/Sesmen?KL.00/04/2012 tanggal 14 April 2012. 1 g. h. i. j. terbatasnya jumlah pengawas jaminan sosial, terbatasnya anggaran operasional untuk penindakan hukum. ketidak-mampun pelembagaan (building incapacity), terbatasnya kewenangan badan penyelenggara. Adapun masalah masalah penyelenggaraan sistem jaminan sosial di abad 21 terkait dengan masalah penuaan usia penduduk (ageing population) yang terjadi belakangan ini di Asia yang tumbuh dengan cepat sehingga menjadi perhatian ISSA untuk mengkaji lebih dalam tentang perubahan demografi yang cepat. Banyaknya jumlah penuaan usia penduduk identik dengan kemiskinan, karena a. Tidak selamanya penduduk usia senja (the elderly) memiliki jaminan pensiun, b. Para pensiunan pada umumnya jarang melakukan pekerjaan sambilan guna menambah penghasilan sehingga menjadi bagian dari masalah penuaan usia penduduk dengan penghasilan subsisten, c. Masih ada para pensiunan dengan penghasilan subsisten mengasuh cucucucunya karena kedua orang tua melakukan migrasi untuk mencari kehidupan baru atau kedua orang tua meninggal, d. Pengaruh kebijakan publik yang terkait dengan penyesuaian harga barangbarang publik termasuk penyesuaian tarif pajak penghasilan, e. Faktor-faktor inflasi dan flukstuasi kurs yang berpengaruh secara langsung terhadap manfaat pensiun. Selain adanya masalah penuaan usia penduduk yang diakibatkan perubahan struktur demografi, juga tingginya tingkat pengangguran yang disebabkan oleh dampak krisis ekonomi di atas rata rata 10% khususnya di negara negara maju. Masalah masalah di negara-negara berkembang terkait dengan banyaknya pekerja sektor informal, warga rentan miskin dan penduduk miskin permanen yang masih belum tercakup dalam sistem jaminan sosial. Dengan kata lain, negara negara berkembang masih menghadapi masalah sosial protection floor (SPF), yaitu terbatasnya akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan sosial dasar seperti kebutuhan air bersih, sanitasi, pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan. Karena pemenuhan SPF tersebut di luar cakupan sistem jaminan sosial. Menigingat permasalahan dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial di berbagai negara memiliki multi dimensi sehingga solusinya diperlukan integrasi program jaminan sosial dan kordinasi kebijakan agar tidak terjadi masalah SPF. Karena masalahnya demikian komplek, maka topik bahasan dalam Konferensi Internasional tentang aktuaria dan statistik sebagai berikut: 1. Kemiskinan yang disebabkan adanya ledakan penuaan usia penduduk dan berlurangnya usia produktif serta tingginya pengangguran apakah dapat ditanggulangi dengan sistem jaminan sosial yang sekarang berlaku dan bagaimana meresponnya untuk reduksi kemiskinan? 2. Bagaimana dampak kondisi keuangan dan atau kapasitas fiskal negara serta kapasitas kemampuan finansial masyarakat terhadap kelanjutan pembiayaan program program jaminan sosial. 3. Bagaimana hasil penelitian aktuaria dan dampaknya terhadap laporan finansial program jaminan sosial serta implikasi hukumnya. 4. Bagaimana kelanjutan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan khususnya dalam memenuhi kebutuhan medis bagi penduduk usia senja dan perawatan jangka panjang. 2 II. BAGAIMANA JAMINAN SOSIAL MERESPON KEMISKINAN Kegiatan investasi langsung untuk menopang sistem jaminan sosial semestinya dipersiapkan terlebih dulu kemudian disertai dengan active labor market, pasar modal dan sarana sarana lain seperti fasilitas kesehatan lengkap dengan seperangkat SDM. Selain itu, juga diperlukan seperangkat perundang-undangan tentang program jaminan sosial dan BPJS yang dikaitkan dengan kewenangan penindakan hukum menjadi bagian integral dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial. Kemiskinan yang terjadi di suatu negara karena labor market tidak aktif kemudian SDM belum disiapkan dengan baik sehingga seseorang bekerja seadanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya pekerja yang ter-PHK tidak mendapatkan jaminan sosial kemudian yang bersangkutan menganggur dan akhirnya menjadi miskin, karena tidak mendaptkan pekerjaan. Dalam keadaan menganggur lebih dari 6 bulan, maka pekerja yang ter-PHK menjadi miskin. Masalah kemiskinan karena PHK semestinya dapat diselesaikan melalui active labor market (ISSA, 2012). Masalah kemiskinan karena PHK belum tuntas, selanjutnya muncul masalah ledakan usia penduduk yang pada akhirnya berdampak terhadap meningkatnya beban pembayaran manfaat jaminan sosial sedangkan penerimaan iuran jaminan sosial umumnya berkurang (lihat Bagan 1). BAGAN 1 KRISIS EKONOMI, JAMINAN SOSIAL DAN AKTUARIA EKONOMI: Kondisi krisis dan kapasitas fiskal negara Ledakan penduduk usia senja Pelkes dan hari tua Reduksi kemiskinan Jamsos / Pekerjaan Tingginya Pengangguran Masalah kelanjutan / kelayakan pembiayaan Pekerjaan / Jamsos AKTUARIA: Penetapan manfaat dan iuran Bagan 1 menjelaskan bahwa dampak krisis ekonomi terhadap penyelenggaraan jaminan sosial terkait dengan keterbatasan fiskal negara untuk menopangnya terutama 3 dalam menghadapi ancaman serius tentang ledakan penuaan penduduk dan bertambahnya tingkat pengangguran. Semakin bertambah ageing population semakin bertambah penduduk miskin terlepas para pensiunan telah memperoleh jaminan pensiun, akan tetapi manfaat pensiun terancam berkurang. Akibatnya daya beli masyarakat khususnya para pensiunan mengalami penurunan. Bagaimana dengan para pensiunan yang tidak memiliki pennghasilan pensiun secara regular? Penurunan daya beli masyarakat berdampak terhadap kemiskinan. Jumlah kemiskinan menjadi signifikan ketiga jumlah usia produktif terkena PHK. Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa tata-kelola penyelenggaraan sistem jaminan sosial harus berkelanjutan dengan prinsip kepesertaan wajib, prinsip gotong royong dan prinsip portabilitas. Karena itu penyelenggaraan sistem jaminan sosial sekarang menghadapi masalah “ketidak-berlanjutan” yang dikaitkan dengan kelayakan program yang telah berjalan selama ini. Solusi untuk respon terhadap kemiskinan diperlukan penyerapan pekerjaan, program pemberdayaan bagi para penganggur / penduduk miskin dan menunda usia pensiun. Hasil penelitian aktuaria dalam konferensi ini telah mengindikasikan adanya harmonisasi dengan kajian tentang kondisi krisis ekonomi yang terkait dengan masalah kapasitas fiskal, agar kajian aktuaria tidak terpengaruh dengan intervensi politik semata. Kajian aktuaria yang dilakukan pada saat ekonomi normal kemudian perlu ditinjau ulang sewaktu ekonomi mengalami krisis, karena dampak krisis ekonomi berpengaruh siginifikan terhadap kapasitas lembaga lembaga penunjang jaminan sosial seperti bursa tenaga kerja dan pasar modal (OECD, 2012) sehingga diperlukan penyesuaian penetapan manfaat jaminan sosial mengingat terbatasnya sumber sumber pembiayaan. Secara umum, dampak krisis ekonomi menimbulkan kebangkrutan karena perusahaanperusahaan menghadapi kesulitan likiditas bahkan mengalami solvabilitas. Akhirnya perusahaan perusahaan melakukan PHK secara sepihak sehingga tenaga-kerja yang terPHK akan menjadi beban jaminan sosial (lihat Bagan 2). BAGAN 2 DAMPAK KRISIS EKONOMI KRISIS EKONOMI Beban Jaminan Sosial meningkat / bertambah Karena lansia dan pengangguran Pasar Modal kolaps Karena illikiditas dan insolvabilitas PENGANGGURAN Karena perusahaan likidasi / kolaps JAMSOS / Pekerjaan / Safety4net Bagan 2 mengillustrasikan dampak krisis ekonomi terhadap penyelenggaraan jaminan sosial menjadi kenyataan seperti yang terjadi di tahun 2008 di AS telah mempengaruhi perekonomian Eropah dan Asia. Dalam krisis ekonomi, Eropah menghadapi ledakan jumlah penduduk usia senja yang mengakibatkan beban belanja jaminan sosial khususnya untuk membiayai jaminan pensiun, unemployment dan belanja kesehatan menjadi 3 x lipat sebelumnya. Dampak krisis ekonomi membuat indek harga saham anjlok bahkam pasar modal hampir kolaps, karena banyak perusahaan kolaps. Kemudian dampak krisis ekonomi juga menimbulkan PHK yang memberikan kontribusi terhadap tingginya jumlah pengangguran seperti AS sebesar 13% dan Eropah 15%. Karena itu solusi yang diperlukan apakah jaminan sosial atau penciptaan lapangan pekerjaan. Penyelesaian memerlukan perubahan fundamental yang tidak lazim bahwa dalam employment diperlukan penundaan usia pensiun antara 2-3 tahun dan pemberdayaan ekonomi informal untuk jarring pengaman sosial yang pada akhirnya menyelamatkan jaminan sosial. Karena berbagai faktor ketidakpastian yang menimbulkan krisis ekonomi dan atau yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi sehingga berdampak terhadap penyelenggaraan sistem jaminan sosial, maka kajian aktuaria pun harus menyesuaian atau ditinjau ulang. Kajian aktuaria yang bersifat teknis tidak bisa terlepas dari studi kebijakan, yaitu ekonomi, hukum dan politik. Berikut hasil akhir kajian aktuaria sebagaimana dipaparkan dalam Bagan 3. BAGAN 3 PERLUNYA KAJIAN AKTUARIA YANG INDEPENDEN Penetapan iuran dan manfaat Kualitas harapan hidup KAJIAN AKTUARIA Implikasi pembiayaan program Kelanjutan / portabilitas program Kajian aktuaria pada prinsipnya dapat menetapkan besarnya manfaat jaminan sosial dan besaran iuran yang menjadi tanggungan masyarakat yang dalam hal ini 5 meliputi pemberi-kerja dan tenaga kerja termasuk pekerja mandiri (self-employed persons). Hasil akhir kajian aktuaria berimplikasi terhadap pembiayaan program apakah memberatkan peserta, perusahaan dan atau pemerintah. Selanjutnya kajian aktuaria utamanya dalam menetapkan besaran iuran jaminan sosial apakah mengganggu kapasitas kemampun finansial peserta (affordability). Kemudian bagaimana manfaatnya yang menjadi hak peserta dapat berkelanjutan atau tidak, karena dengan manfaat yang berkelanjutan dan dapat akses kemana mana akan meningkatkan kualitas hidup peserta khususnya penduduk usia senja. Kajian aktuaria harus menyeimbangkan faktor berkelanjutan pembiayaan jaminan kesehatan dan pembiayaan jaminan pensiun bahwa keduanya berat khususnya bagi penduduk usia senja. Untuk lebih jelasnya disampaikan dalam Sesi III tentan Hasil Penelitan Aktuaria. III. HASIL PENELITIAN AKTUARIA TENTANG PERUBAHAN DEMOGRAFI Hasil penelitian aktuaria menunjukkan, bahwa ancaman yang paling berat dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial adalah bertambahnya ledakan penuaan usia penduduk yang terjadi dengan cepat di di Asia. Sementarai Indonesia masih aman karena jumlah ageing population baru sebesar 5% jumlah penduduk akan tetapi jumlah kemiskinan yang menjadi ancaman dalam penyelenggaraan SJSN di masa datang. Posisi penduduk Asia di atas 60 tahun menunjukkan bahwa 1 dari 4 orang adalah usia senja dan dalam 50 tahun mendatang diperkirakan bertambah tiga kali lipat dari jumlah sekarang (ISSA, 2011). Data statistik kependudukan di Afrika Saharan di tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia senja mencapai 36,6 juta dan diperkirakan bertambah menjadi 141 juta di tahun 2050. Definisi penduduk usia senja di negara industri adalah 65 tahun ke atas sedangkan penduduk usia senja di Asia kecuali Jepang adalah 60 tahun ke atas. Dengan bertambahnya jumlah penduduk usia senja tersebut akan menambah beban jaminan sosial, tidak saja terkait dengan belanja hari tua akan tetapi belanja kesehatan bagi penduduk usia senja. Sebagaimana diketahui, bahwa belanja kesehatan di negara industri menjadi empat kali lebih besar khususnya bagi penduduk usia senja. Salah satu solusi yang dilematis adalah bahwa, di satu sisi seseorang yang bekerja diupayakan untuk bekerja sampai usia pensiun untuk alasan kesejahteraan dan, di lain sisi bahwa semakin bertambah usia kerja semakin bertambah risiko pekerjaan yaitu kemungkinan frekuensi sakit, kecelakaan kerja dan hal lain. Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah penduduk dunia di usia senja semakin bertambah, karena meningkatnya harapan hidup dan berkurangnya angka kelahiran. Dengan sendirinya perubahan perubahan tersebut berpengaruhi terhadap struktur usia angkatan kerja. Dalam banyak negara sebagian besar usia pekerja telah mencapai usia 45 ke atas, yang belum diimbangi dengan usia muda. Sebagian besar pekerja yang berusia 45 tahun ke atas, tetap diperkerjakan hingga pensiun akan tetap posisi yang bersangkutan tidak menguntungkan dalam arti tidak sesuai deskripsi atau spesifikasi pekerjaan. Hal ini akan menimbulkan masalah baru khususnya adanya intervensi privatisasi pasar yang berdampak terhadap industri / grup perusahaan besar untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian yang tidak menguntungkan bagi pekerja yang berusia 45 tahun ke atas. Ke depan bagaimana menghadapi tantangan meledaknya penduduk usia senja terutama dalam perumusan kebijakan tentang sistem jaminan sosial, maka solusinya diperlukan penundaan usia pensiun yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi sosial di masing masing negara. Penundaan usia pensiun ditetapkan 67 tahun di Jerman yang berlaku tahun 2012 dan 68 tahun di tahun 2015. Ledakan usia senja tidak saja menimbulkan masalah bertambahnya belanja hari tua, juta terkait dengan frekuensi kecelakaan kerja yang berdampak terhadap lamanya 6 rawat inap yang pada akhirnya menambah belanja kesehatan. Studi tentang korelasi usia kerja dan peristiwa kerja di 15 negara Eropah menyimpulkan bahwa ada hubungan yang nyata antara usia pekerja dan peristiwa kecelakaan kerja. Dalam studi ini diperlihatkan bahwa para pekerja yang berusia lebih tua dilaporkan kepada yang berwenang tidak mengalami banyak kecelakaan kerja. Akan tetapi ketika kecelakaan kerja menimpa yang bersangkutan, maka persoalannya menjadi sangat serius karena lamanya rawat inap untuk pemulihan kerja, yang berdampak terhadap bertambahnya belanja kesehatan. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa kecelakaan kerja yang fatal justru terjadi lebih banyak pada pekerja yang berusia antara 55 dan 64. Bertambahnya kualitas lamanya bekerja adalah satu respons positif terhadap bertambahnya kualitas harapan hidup. Akan tetapi tidak seharusnya seseorang usia senja bekerja secara formal, karena akan mengganggu rekrutmen bagi generasi yang lebih muda. Orang orang usia senja sebaiknya berpartisipasi aktif dalam masyarakat selama mungkin untuk alasan alasan kesehatan, etik dan kamanusiaan sehingga beban biaya pelayanan kesehatan dapat dihemat sedini mungkin. Untuk mempertahankan kesehatan bagi penduduk usia senja diperlukan solusi agar yang bersangkutan dengan kemampuan / kemauan yang ada diharapkan untuk tetap aktif berkegiatan secara sosial dengan harapan mendapatkan kesibukan agar dalam jangka panjang ketergantungan terhadap sistem jaminan sosial menjadi semakin berkurang. Untuk mengantisipasi adanya pertambahan jumlah pekerja usia senja yang cepat, perlu diingat bahwa pihak industri harus berpihak dengan kebijakan memperkerjaan pekerja usia senja. Akan tetapi dampaknya terhadap kaderisasi / perekrutan pekerja usia dini menjadi ancaman. Selain masalah tersebut, juga dunia industri pada akhirnya akan kekurangan tenaga trampil yang dimiliki pekerja usia dini di masa datang untuk kelangsungan usaha. IV. MASALAH PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL Masalah penyelenggaraan jaminan sosial di masa datang adalah implementasi jaminan kesehatan bagi penduduk usia senja yang menjadikan beban jaminan sosial terasa berat karena keterbatasan kapasitas fiskal negara sebagaimana terkait dengan penyakit berisiko tinggi dan frekuensi sakit. Sementara sumber pembiayaan sangat terbatas. Karena itu penggunaannya diperlukan keseimbangan antara kebutuhan layanan kesehatan untuk penduduk usia produktif dan untuk penduduk usia senja. Karena itu kesehatan menjadi isyu penting apalagi dikaitkan dengan tujuan untuk reduksi kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun reduksi kemiskinan dalam jangka panjang khususnya pemberian layanan kesehatan bagi penduduk usia senja. Karena keterbatasan sumber sumber pembiayaan, maka OECD melalui Mark Pearson (2012) merekomendasikan agar dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan perlu ditinjau dari sisi suplai karena permintaan cenderung tidak terukur. Akan tetapi rekomendasi OECD tidak berlaku untuk jaminan sosial, karena konsep demand and supply hanya berlaku untuk asuransi kesehatan komersial dimana sifat demand nya cenderung inelastis (Purwoko, 2011). Sebagaimana diketahui, bahwa dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan sosial yang bersifat universal dihadapkan pada masalah akses layanan kesehatan dan terbatasnya layanan kesehatan terutama dengan sistem-prabayar. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 100 juta pasen menjadi miskin setelah menjalani rawat inap secara intensif pasca operasi, karena masalah out of pocket (OOP). Dalam kontek ini, isyu-isyu kebijakan kunci di kebanyakan negara yang melakukan perluasan kepesertaan (universal) lebih memilih model model pembiayaan 7 yang sesuai perbedaan status penduduk sebagai bagian dari strateji yang terintegrasi, mengenali adanya paket manfaat yang esensial agar terpenuhinya efisiensi pembiayaan kesehatan dan efektifitasnya. Salah satu faktor penyebab mahalnya biaya layanan kesehatan adalah terbatasnya prasarana dan sarana kesehatan sebagaimana dibutuhkan pasen menyusul kurangnya jumlah sumber daya manusia di bidang kesehatan termasuk remunerasi. Akan tetapi tren yang terjadi khususnya dalam promosi jaminan kesehatan lebih dominan ditujukan pada perluasan kepesertaan semesta semata yang tidak disiapkan lebih dulu prasarana, sarana dan kesiapan SDM. Penyelenggaraan jaminan kesehatan yang semacam ini merupakan intervensi politik. Tidak berarti penyelenggaraan jaminan kesehatan dengan kepesertaan semesta akan banyak menolong peserta khususnya penduduk miskin akan tetapi yang terjadi sebaliknya justru penduduk miskin tidak terlayani dengan baik. Dalam praktek tantangan-tantangan yang dihadapi BPJS di banyak negara baik dalam perluasan kepesertaan, pengembangan akses layanan kesehatan maupun kualitas layannya sangat berbeda satu sama lain. Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan terkait dengan meningkatnya biaya layanan kesehatan yang disebabkan oleh adanya inovasi teknologi medis dan perubahan harga obat yang diikuti bertambahnya pasen menyusul perubahan-perubahan demografi serta ketidak-sesuaian dalam layanan kesehatan sebagai dampak dari pengaruh pasar global. Untuk menghadapi tantantangan-tantangan tersebut, diperlukan sosialiasi untuk tindakan pencegahan dan promosi hidup sehat sebagai langkah pra-upaya yang terkordinasi dengan instansi yang terkait mengingat keterbatasan sumber-sumber pembiayaan agar layanan kesehatan tertuju pada orang yang benar telah melakukan pencegahan lebih dulu, sekalipun sakit perawatannya tidak begitu intensif. Selain itu kebijakan kesehatan yang berlaku saat sekarang memuat pentingnya preventif dini untuk melakukan deteksi dini terhadap potensi penyakit berisiko tinggi, juga tidak diikuti dengan aksi melakukan pola hidup sehat khususnya di masyarakat usia produktif. Setelah preventif dilakukan, baru dipikirkan tindakan kuratif dan bagaimana dengan proses rehabilitasi sebagai bagian totalitas dari pelayanan kesehtan dalam kontek sistem jaminan sosial. Untuk menopang sistem jaminan kesehatan tersebut diperlukan asesmen teknologi kesehatan; pedoman yang berbasis layanan medis; pembiayaan kesehatan berbasis kinerja; pemberdayaan pasen; kualitas dan ukuran hasil; pemanfaatan aplikasi elektronik kesehatan, seperti electronic medical records dan data tentang catatan penyakit kronis dari pasen. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN: Peranan aktuaris dalam penetapan manfaat dan iuran semakin penting khususnya dikaitkan dengan perubahan-perubahan demografi yang tidak seimbang antara penduduk usia senja dan penduduk usia produktif. Jaminan sosial sebagai multi disiplin tidak mengenal konsep demand-supply sebagaimana dikemukakan OECD, karena health care under social security sebagai hak setiap warga negara menurut UUD 1945 (Purwoko, 2011). Masalahnya menjadi semakin kompleks ketika terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan di tahun 2008 ditambah dengan ledakan usia senja di Asia. Krisis ekonomi sekarang yang dikaitkan dengan ledakan usia senja diperlukan kajian ulang aktuaria. Bahkan sistem jaminan sosial telah kehilangan arah, konsentrasi bahkan prinsip jaminan sosial menjadi hilang karena adanya intervensi ekonomi sebagai dampak dari krisis ekonomi misalnya konversi DB menjadi DC di Chile tahun 1982 yang kemudian diikuti negara-negara Amerika Latin di tahun 1990 menyusul Australia di 8 tahun 1992 dengan superannuation. Jelas bahwa apa yang terjadi di Chile dan Australia menyalahi prinsip gotong-royong. Namun demikian apapun yang akan terjadi dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial di masa datang khususnya dalam penetapan manfaat dan iuran tetap berpedoman pada kajian aktuaria agar tidak terjadi adanya intervensi politik yang tidak rasional. Ada 4 (empat) hal yang perlu dipertimbangkan dalam kajian aktuaria ke depan antara lain perlunya: 1. Kajian tentang sustainabilitas sistem jaminan sosial dalam perubahan demografi yang sangat ekstrim. 2. Kajian tentang disain besar jaminan sosial yang dapat merangkum kemiskinan dan memperhatikan kecukupan sumber-sumber pembiayaan. 3. Kajian tentang manajemen aset liability dan manajemen risiko mengingat asset dana jaminan sosial yang perlu dikembangkan secara konservatif. 4. Kajian tentang sistem pelaporan pembiayaan untuk komunikasi dan informasi kepada stake-holders. B. REKOMENDASI: Kegagalan dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial di berbagai negara pada umumnya merupakan kegagalan sistem karena ada beberapa negara mengalami tekanan politik dalam mereformasi jaminan sosial. Karena itu dalam menghadapi suasana yang penuh ketidak-pastian sebagaimana terkait dengan perubahan demografi, maka disarankan agar negara / pemerintah tetap 1. Memainkan peranan jaminan sosial dalam pencegahan kemiskinan termasuk bagi perlindungan penduduk usia senja melalui program program jaminan sosial yang berlaku. 2. Melakukan kalkulasi kecukupan / kelayakan manfaat sesuai kebutuhan sedangkan besar kecilnya di masing masing negara sangat relatif bahwa hal itu tidak bisa dibandingka semata. 3. Memastikan perluasan kepesertaan semesta sebagai konsekuensi dari implikasi kebijakan reduksi kemiskinan dalam MDGs. 4. Menjaga stabilitas dan kewajaran manfaat jaminan sosial, karena faktor inflasi dan flukstuasi kurs agar manfaat yang diterima tidak memiskinkan peserta. 5. Melakukan pendekatan holistik dalam menangani sistem proteksi sosial bagi penduduk usia senja yang terintegrasi dengan (a) kebijakan ketenaga-kerjaan yang terkait dengan pemberdayaan orang orang tua di atas 60 tahun, (b) kebijakan return to work for the disabled dan (c) kordinasikan dengan sistem jaminan sosial. VI. DAFTAR BACAAN TERBATAS 1. 2. 3. 4. The 2012 social security at a glance published by ISSA, Geneva Social policy highlight of ISSA 2012, Geneva Annual review of ISSA 2010-2011 Taking some notes of the 17 th International Conference on Social Security Actuaries and Statisticians in Berlin between 30 May-1 June 2012. 5. Pearson, Mark (2012), “Drivers of health care spending”, OECD. 6. Purwoko, B, (2011), “Sistem proteksi sosial dalam dimensi ekonomi”, Jakarta. Bp.3 Juni 2012 9