DEFISIENSI/KEKURANGAN VITAMIN A (KVA) Definisi Defisiensi vitamin A dapat merupakan kekurangan primer yakni karena konsumsinya yang kurang ataupun kekurangan sekunder sebagai akibat adanya gangguan penyerapan dan penggunaannya oleh tubuh, kebutuhan yang meningkat ataupun karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Konsumsi vitamin A dan prekursornya yang kurang dikarenakan kebiasaan makan yang salah, tidak suka makan sayur dan buah, atau karena memang daya belinya yang rendah, tidak sanggup membeli bahan makanana hewani maupun nabati yang kaya vitamin A dan karoten tersebut. Hambatan absorpsi terjadi karena hidangan rata-rata rakyat umum di Indonesia mengandung rendah lemak dan protein, yang diperlukan dalam metabolisme vitamin A. Penyakit yang menyebabkan diare dan steatorrhea juga menghambat penyerapan vitamin A. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita KKP (Kurang Kalori Protein), penyakit hati, alfa, beta lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu. Kadar normal retinol dalam plasma pada bayi adalah 20-50 μg/dl, pada anak dan orang dewasa 30-225 μg/dl. Etiologi 1. Dalam jangka waktu yang lama dalam diet terdapat kekurangan vitamin A atau provitamin A 2. Malabsorpsi pada anak malnutrisi, sering terjangkit infeksi (enteritis, salmonelosis, infeksi saluran nafas, infeksi parasit 3. Terdapat gangguan konversi pro-vitamin A menjadi vitamin A 4. Kerusakan hati 5. Kelainan kelenjar tiroidea 6. Karena vitamin A larut dalam lemak, masukan lemak yang kurang menimbulkan gangguan absorpsi Epidemiologi Survei nasional pada xerophtalmia pertama pada 1978 menunjukkan angka xerophtalmia di Indonesia sebesar 1,34 persen atau sekitar hamper tiga kali lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan WHO (X1B<0,5%). Pada 1992 prevalensi KVA mampu diturunkan secara berarti dari 1,34 persen menjadi 0,33 persen. Artinya, xerophthalmia di Indonesia tak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Namun, secara subklinis, prevalensi KVA terutama pada kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 μg/dl) pada balita sebesar 50 persen. Kekurangan vitamin A kerap berlangsung di daerah yang serba kekurangan (daerah kantong), baik yang bersifat sosial, ekonomi, maupun ekologis. Kasus defisiensi ini cenderung terjadi secara berkelompok, bersifat musiman, mencapai puncaknya pada masa kesulitan pangan, sesudah epidemik penyakit campak dan diare dan setelah terjadi penyakit infeksi. Penelitian epidemiologis memperlihatkan faktor-faktor KVA yang meliputi campak, infeksi daluran nafas (meningkatkan risiko sebanyak 2,5 kali) dan/atau diare (risiko naik 2,5 kali). Diare, infestasi cacing, dan gangguan lain pada saluran pencernaan mengganggu penyerapan vitamin A, sementara campak, infeksi saluran nafas dan demam meningkatkan metabolisme tubuh serta tidak jarang pula merusak nafsu makan. Patofisiologi Vitamin A, penting sekali untuk sintesa pigmen sel-sel retina yang fotosensitif, dan untuk diferensiasi normal struktur epitel penghasil lendir. Dalam keadaan defisiensi vitamin A terjadi hambatan dalam sekresi RBP (Retinol Binding Protein), sedangkan pada defisiensi protein terdapat gangguan sintesis RBP. Vitamin A diperlukan untuk stabilitas membran lisosom. Kelebihan maupun kekurangan vitamin A dapat menimbulkan pecahnya membran tersebut dengan akibat dilepaskannya enzim hidrolase. Vitamin A berperan pula dalam proses keratinisasi, kornifikasi, metabolisme tulang dan gigi perkembangan plasenta, pertumbuhan badan, spermatogenesis, dan pembentukan epitel (kulit, mata, saluran cerna, saluran nafas, saluran kemih, sistem reproduksi). Perubahan karakteristik pada epitel meliputi proliferasi sel basal, hyperkeratosis, dan pembentukan berbagai jenis epitel (berlapis, bertanduk, skuamosa). Perubahan pada epitel saluran pernafasan dapat mengakibatkan obstruksi bronkiolus. Metaplasia skuamosa epitel pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, lapisan email, duktus pankreas dan saluran kelenjar ludah akan mempermudah timbulnya infeksi pada tempat tersebut. Defisiensi vitamin A diikuti dengan merendahnya respons imun. Terjadi penurunan kadar lisosim, jumlah sel T, daya fagositosis dan daya bakterisidal leukosit. Retinoid (semua senyawa yang mempunyai struktur dan aktivitas serupa vitamin A) dapat mencegah kanker jaringan epitel, misalnya karsinoma kandung kemih. Manifestasi klinis Kelainan yang timbul dapat dibagi menjadi dua yaitu kelainan pada mata (okular) dan kelainan diluar mata (ekstraokular). Kelainan pada mata (xerophtalmia) timbul secara lambat. Batasan xerophtalmia yang daiajukan WHO mencakup semua kelainan mata yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A, termasuk kelainan struktur konjungtiva, kornea, dan kadangkadang retina, maupun kelainan fungsi batang dan kerucut. Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut : XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia) XIA : xerosis konjungtiva XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot X2 : xerosis kornea X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea. X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea XS : jaringan parut kornea (sikatriks/scar) XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti “cendol”. XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bias berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea). 1. Buta senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN Tanda-tanda : Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada di cahaya terang Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja. Untuk mendeteksi apakah anak menderita buta senja dengan cara : a. Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/ menabrak benda didepannya, karena tidak dapat melihat. b. Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila di dudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat benda atau makanan di depannya. 2. Xerosis konjungtiva = XIA Tanda-tanda : Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam. Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna kecoklatan. 3. Xerosis konjungtiva dan bercak bitot = X1B. Tanda-tanda : Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang vitamin A dalam masyarakat. Dalam keadaan berat : Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva. Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut. Orang tua mengeluh mata anaknya tampak bersisik 4. Xerosis kornea = X2 Tanda-tanda : Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea. Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar. Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit infeksi dan sistemik lain) 5. Keratomalasia dan ulcus kornea = X3A, X3B Tanda-tanda : Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea. Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan kornea. Keadaan umum penderita sangat buruk. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah) Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia. 1. Xeroftalmia scar (XS) = sikatriks (jaringan parut) kornea Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea. 2. Xeroftalmia Fundus (XF) Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan parameter xeroftalmia (gejala rabun senja, kelainan mata), dapat dilakukan uji adaptasi gelap, ditunjang oleh hasil pemeriksaan gejala-gejala kulit dan penurunan kadar vitamin A (retinol) atau RBP dalam plasma maupun jaringan hati. Anamnesa konsumsi dapat pula menunjang diagnosa sebagai tambahan. Kadar vitamin A dalam plasma yang kurang dari 20 μg/dl akan menunjang diagnosis. Kebutuhan akan vitamin A Oleh Food and Nutrition Board of the National Research Council of the United States of America dianjurkan pemberian vitamin A dalam diet sebagai berikut: Bayi : 1.500 SI Golongan umur 1-3 tahun : 2.000 SI Golongan umur 4-6 tahun : 2.500 SI Golongan umur 7-9 tahun : 3.500 SI Golongan umur 10-12 tahun : 4.500 SI Golongan umur 13-19 tahun : 5.000 SI Bila terdapat diare atau ikterus, maka dosis tersebut harus dinaikkan. Ada kalanya pemberian vitamin A parenteral lebih bermanfaat. Umumnya kebutuhan sehari-hari akan vitamin A dapat dipenuhi dengan pemberian diet yang mengandung telur, susu, mentega, hati, sayuran berupa daun atau yang berwarna kuning (wortel dan sebagainya), buah-buahan yang berwarna kuning (tomat, pepaya, dan sebagainya). Pemberian ekstrak vitamin A berupa oleum jekoris aseli, vitamin A-D Konsentrat banyak gunanya. Penatalaksanaan Jadwal pengobatan tercantum pada tabel di bawah ini. Bagi penderita yang berumur lebih dari 1 tahun, segera berikan vitamin A 200.000 SI per oral atau 100.000 SI intramuskuler; kemudian pada hari ke-2 diberikan vitamin A 200.000 SI per oral. Bagi bayi diberikan separuh dosis tersebut. Bila anak dirawat atau bila keadaan klinis memburuk, sebelum dipulangkan atau 2-4 minggu kemudian pemberian vitamin A 200.000 SI per oral diulang kembali. Untuk menghindari terulangnya defisiensi vitamin A, kepada orang tua penderita dianjurkan agar memberikan lebih banyak bahan makanan yang mengandung vitamin A atau provitamin A. Untuk pemberian per oral dianjurkan preparat vitamin A yang terlarut dalam minyak, sedangkan untuk pemakaian intramuskuler preparat yang tercampur dalam air. Secara lokal, pada mata diberikan salep mata yang mengandung antibiotika untuk mencegah kekeringan dan infeksi kornea. Bila tidak terdapat gangguan fungsi usus, vitamin A dosis oral dalam vehikel minyak memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan dosis intramuskuler. Pada dosis intramuskuler, sebagian besar dari preparat vitamin A yang disuntikkan tertahan di tempat suntikan dan sebagian didestruksi, sehingga mobilisasi dan utilisasinya rendah. Tetapi bila pasien mengalami gangguan fungsi saluran pencernaan, misalnya diare, dosis oral dapat digantikan dengan dosis intramuskuler. Selain dengan pemberian vitamin A, pengobatan juga ditujuan untuk memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein), mengobati penyakit infeksi yang diderita (misalnya tuberkulosa paru, bronchitis, morbili, gastroenteritis) dan mengobati kelainan mata. Biasanya penderita xeroftalmia juga menderita KEP (Kurang Energi Protein) yang juga butuh ditanggulangi. Pencegahan Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama diare dan campak. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum. Untuk mencegah xeroftalmia dapat dilakukan: 1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor sosial budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu) 2. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini 3. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI. 4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta 5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk 6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara terus menerus. 7. Memberikan ASI Eksklusif 8. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI 9. Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi. Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk masyarakat dan keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan, keadaan sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan orang tua (terutama ibu). Prognosis Kasus dengan tahap sampai dengan X3A masih mempunyai fungsi penglihatan yang cukup baik. Tahap X3B dan tahap lebih lanjut biasanya berakhir dengan kebutaan.