kebijakanmoneter

advertisement
KEBIJAKAN MONETER PADA MASA RASULULLAH
M. Suyanto
1. Pendahuluan
Sabzwari (1984) berhasil melukiskan Sistem Ekonomi dan fiskal pada
pemerintahan Nabi Muhammad s.a.w.. Nabi ternyata bukan hanya seorang pemimpin
masyarakat dan Negara, panglima militer, bahkan ternyata juga seorang teknokrat yang
melaksanakan pembangunan yang komprehensif. Nabi melaksanakan politik
kemakmuran dan kesejahteraan yang menonjolkan dimensi keadilan. Pada pemerintahan
Nabi s.a.w., kaitan antara agama dan ekonomi sangat erat.
Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di
bidang keuangan negara di abad ketujuh yaitu semua hasil pengumpulan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara.
Hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun
demikian, para pemimpin negara dan gubernur dapat menggunakannya untuk mencukupi
kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut Baitul Maal (rumah harta) atau
bendahara negara. Semasa Rasulullah masih hidup, Masjid Nabawi (Masjid Nabi)
digunakan kantor pusat negara sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan Baitul Maal
terletak disitu. Tetapi, binatang-binatang tidak bisa disimpan di baitul maal. Sesuai
dengan alamnya, binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka (Sabzwari, 1984).
Menurut Mannan (1970) Baitul Maal berfungsi membayar kebutuhan dan keperluan
masyarakat yang sudah melakukan fungsi yang hampir sama dengan yang dilakukan
bank sentral dewasa ini, kecuali pengeluaran uang, pengadaan kredit dan pengawasan
suku bunga. Baitul Maal merupakan sebuah agen kesejahteraan yang difungsikan sebagai
Bank Sentral Muslim sejak dari awal permulaan Islam (Imam-ud-Din, 1997).
Selain untuk beribadah dan pengumpulan dana, Masjid Nabawi juga dipakai untuk
pembagian dana, tempat untuk bertemu dan berbagi pendapat dengan orang-orang serta
memberikan perintah resmi. Pada pemerintahan Khalifah Abubakar Assidiq tidak ada
perubahan yang dilakukan terhadap tempat dan pengaturan baitul maal, tetapi pada saat
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab baitul maal didirikan secara permanen di pusat
kota dan ibukota propinsi dengan demikian pendapatan baitul maal meningkat tajam
(Sadr, 1989).
Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Maal, Umar mendirikan Diwan Islam yang
pertama, yang disebut al-Diwan. Sebenarnya itu adalah sebuah kantor yang ditujukan
untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan serta tunjangantunjangan lainnya dalam basis yang regular dan tepat (Sabzwari, 1984). Demikian pula
pada masa Khalifah Usman bin Affan, baitul maal mengikuti kebijakan Khalfah Umar
bin Khattab.
Ketika pemerintahan Islam dipimpin Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena beberapa
alasan politik dan sosial, Ibukota negara dipindah dari Madinah ke Kufa dan pusat baitul
maal juga otomatis berpindah. Perpindahan ini ternyata menguntungkan karena setelah
penaklukan daerah Irak, Syiria, Iran dan lain-lain letak ibukota negara dan baitul maal
secara geografis sangat strategis. Selain itu, komunikasi antara Kufa dengan pusat
pemerintahan propinsi menjadi lebih lancar. Di setiap propinsi didirikan Baitul Maal
(Sadr, 1989).
2. Praktek Perbankan Syariah pada Awal Periode Islam
Kondisi tanah di daerah Hijaz, khususnya di sekitar Mekkah adalah kering, padang
pasir, penuh dengan bebatuan dan pegunungan yang tandus. Tidak ada hasil pertanian
yang dipetik di wilayah itu (Afzalurrahman, 1982:2). Al Qur’an menggambarkan situasi
tersebut seperti dalam doa Nabi Ibrahim:
    
     



   






  
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian turunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman (tandus) di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebahagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka
dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim 37).
Meskipun demikian kondisi geografis daerah Hijaz yang terletak di antara tiga benua
yaitu Asia, Eropa, dan Afrika memberikan keuntungan tersendiri karena dilalui rute
perdagangan antara Persia dan Roma serta daerah jajahannya seperti Syam (Syria),
Ethiopia dan Yaman. Tambahan lagi, rute perdagangan Roma dan India selalu melewati
bagian selatan dan timur Arabia selama berabad-abad dan selanjutnya disebut Rute
Perdagangan Selatan. Para kafilah dagang memperoleh keuntungan dari timbulnya pasar
musiman yang ada di daerah Yaman, Hijaz, dan Syam terutama di San’a (Ibukota
Yaman), Medinah dan Mekkah, dan mendapatkan barang-barang dagangan (Sadr, 1989).
Pada Gambar 2.3, halaman 83 ditunjukkan peta Saudi Arabia 1923.
Kondisi tersebut memaksa orang Quraisy menempa diri mereka dalam bidang
perdagangan. Hal tersebut digambarkan dalam Al Qur’an :
   
  







   
  
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian
(berdagang) pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (Quraisy:1- 4).
Kedudukan suku Quraisy sebagai pelayan dan pemelihara rumah Allah itulah yang
memberikan kemudahan-kemudahan. Mereka dihormati sebagai pemimpin bangsa Arab
ke wilayah manapun mereka pergi berdagang. Seluruh kehormatan, kemuliaan,
kepemimpinan, bahkan keuntungan dari hasil dagang dan kekayaan mereka merupakan
akibat langsung dari kedudukan mereka sebagai pemelihara Ka’bah. Status ini juga
memungkinkan mereka memperoleh keuntungan dalam bidang perdagangan dan politik
dari negara-negara tetangga (Afzalurrahman, 1982:3).
Sumber : Unimaps, 2005.
Gambar 2.3. PETA SAUDI ARABIA 1923
Keempat orang putra Abdul Manaf, yaitu Hasyim, Abdul Syam, Muttalib dan
Naufal berhasil mengantongi ijin perjalanan dan keamanan dagang yang disebut Aylaf
(persetujuan) dari para penguasa negara-negara tetangga. Hasyim pergi ke Syiria dan
memperoleh persetujuan dari penguasanya, Naufal memperoleh persetujuan dari
penguasa Irak, Muttalib dari penguasa Yaman dan Abdul Syam memperoleh persetujuan
dari raja Ethiopia (Bagdadi, 1942:162).
Kaum Quraisy mengirim kafilah dagangnya ke daerah Utara (Syiria, Irak dan Iran)
pada musim panas dan ke daerah selatan (Ethiopia dan Yaman) pada musim dingin tanpa
rasa takut dan bahaya. Mereka mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik dan
mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Usaha perdagangan dilakukan dalam
berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi usaha pun telah mereka dirikan. Syirkah atau
Musyarakah (kerjasama) dalam berbagai tipe dijalankan, di mana para pemilik modal
dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya menjadi partner yang pasif
dan dengan demikian dapat menikmati keuntungan dan menderita kerugian
(mudharabah). Bahkan kaum wanita yang tidak berdaya, para janda anak-anak yatim
dapat berdagang melalui satu atau lain jenis kerjasama ini (Afzalurrahman, 1982:3).
Khadijah binti Khuwailid adalah seorang janda kaya raya karena berdagang dan wanita
yang mulia. Dalam mengelola perdagangannya, ia memperkerjakan kaum pria untuk
menjual barang-barang dagangannya dengan memberikan kepada mereka sebagian dari
keuntungan yang mereka peroleh (Mubarakfury, 1975:65).
Dalam menerapkan interpretasi tradisional atas riba, bank-bank Islam menggunakan
beberapa konsep dari fiqih mudharabah dan musyarakah sebagai dasar perbankan Islam,
khususnya dalam operasi investasi mereka (Saeed, 1996:230).
Barang dagangan dibawa dari India menggunakan kapal laut menuju Oman
kemudian dibawa lagi melalui jalan darat melintasi bagian utara Arabia dan Syam dan
kemudian ke Roma. Sepanjang rute ini pasar-pasar musiman didirikan bergantung pada
aktivitas perdagangannya. Kota besarpun menjadi pusat perdagangan bagi para kafilah
dagang yang melewati jalur ini, antara lain adalah Lakm, Al-Kindah dan Gassan
ketiganya terletak di sepanjang Rute Dagang Utara. Tiga belas buah tempat perdagangan
di Arabia pada zaman jahiliah, yaitu Dumatul Jandal, Mushaqqar, Suhar, Daba, Shihr,
Aden, San’a, Ukaz, Dul Majaz, Mina, Nazat dan Hijr (Bagdadi, 1942). Nabi Muhammad
s.a.w. kemungkinan besar telah mengunjungi tempat-tempat perdagangan berulang
selama masa mudanya untuk tujuan-tujuan dagang (Afzalurrahman, 1982:3).
Selain rute dagang selatan dan utara, ada rute ketiga yang berada di antara Yaman
dan Syam yang dikembangkan pada saat Hasyim mengambil alih kepemimpinan bangsa
Quraisy (Ayati, 1980:40). Perdagangan melalui rute ini merupakan hasil usaha Hasyim
untuk mendapatkan perjanjian dan izin dari raja-raja Roma, Persia, Ethiopia, dan Yaman
bagi suku Quraisy. Selanjutnya, perdagangan melalui rute ini berkembang dan suku
Quraisy mendapatkan banyak keuntungan dan kekayaan. Mekkah, sekali lagi, berperan
penting sebagai pusat perdagangan karena Ka’bah terletak di sana dan suku-suku di Arab
datang sekali setahun untuk menunaikan ibadah haji di sana. Sebelum dimulainya
kegiatan ibadah haji, suku-suku itu mempunyai kesempatan untuk berdagang. Sebagai
tempat suci, Ka’bah memberikan keamanan yang penting bagi usaha perdagangan.
Perang dan pertumpahan darah dilarang selama empat bulan tertentu setiap tahunnya, dan
secara kebetulan ibadah haji berlangsung pada periode yang sama. Situasi ini
memberikan jaminan keamanan yang pasti bagi para kafilah dagang baik dalam
perjalannya menuju Mekkah maupun perjalanan pulang ke tujuannya masing-masing.
Selain itu, perjanjian Hilf-ul-Fudul antara suku-suku Arab meningkatkan keamanan
perdagangan di Mekkah sejak itu (Ayati, 1980:60).
Dengan suasana yang kondusif ini, perdagangan menjadi aktivitas yang paling
penting dalam perekonomian Arabia. Karena kondisi iklimnya, sektor pertanian tidak
mungkin dikembangkan di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Hanya di beberapa oasis di
Hijaz dan bagian tengah Jazirah Arab termasuk Yatsrib (Medinah) terdapat kegiatan
pertanian dalam jumlah yang terbatas. Jumlah tenaga kerja yang terampil dan para
pedagang semakin lama semakin terbatas. Dengan alasan ini, suku-suku Arab yang tidak
bermigrasi dan tidak secara konstan berperang dan melakukan perjalanan, kemudian
menukarkan atau memberikan jasa-jasa komersial kepada para kafilah dagang tersebut
(Sahidi, 1967:22).
Hal itu menjadi bukti bahwa perdagangan merupakan dasar perekonomian di
Arabia sebelum Islam datang. Prasyarat untuk melakukan transaksi adalah adanya alat
pembayaran yang dapat dipercaya. Seperti disebutkan diatas. Arabia dan wilayah
tetangganya berada langsung dibawah kekuasaan Persia dan Roma. Satuan uang yang
dipergunakan negara-negara itu adalah dirham dan dinar. Dalam transaksi bisnis di
Arabia kedua jenis uang ini juga diterima. Dengan demikian kuatnya politik kedua negara
tersebut, alat pembayarannya pun makin dipercaya di wilayah yang berada di bawah
pengaruh kekuasaannya. Karena faktor itulah, bangsa Persia dan bangsa Romawi menjadi
satu-satunya mitra dagang orang-orang Arab (Sadr, 1989).
Koin dirham dan dinar mempunyai berat yang tetap dan memiliki kandungan perak
atau emas yang tetap. Akan tetapi, pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbassiyah
beratnya berubah, demikian juga di Persia sendiri. Pada masa sesudah Islam, kandungan
perak koin-koin dirham berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, namun
pada periode awal Islam sudah tetap. Pada saat ini jumlah zakat emas dan perak seperti
yang disebutkan dalam kitab suci didasarkan pada beratnya koin dirham dan dinar yang
ditetapkan pada masa periode awal Islam (Kattani, 1975:413). Nilai satu dinar sama
dengan sepuluh dirham (Sadr, 1989). Tetapi pada masa Dinasti Fathimiyah yaitu pada
masa Al-Hakim bin Amrillah harga dinar sama dengan 34 dirham karena banyak dirhamdirham campuran (Al Maqrizy, 1988:70-80). Pada masa Dinasi Ottoman, sistem
keuangan resmi Utsmaniah sejak 1534 di dasarkan pada barang tambang emas dan perak
dengan perbandingan 1:15 (Imarah, 1993:101)
Dirham dan dinar memiliki nilai yang tetap. Karena itu, tidak ada masalah dalam
perputaran uang. Jika dirham dinilai sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari
dirham, dan jika diasumsikan dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali
dirham. Walaupun demikian, dirham lebih umum digunakan daripada dinar karena
hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia yang mata uangnya dirham dapat dikuasai
angkatan perang Islam, sementara tidak semua wilayah kekaisaran Romawi yang
memiliki mata uang dinar dapat dikuasai Islam. Karena itu, mata uang dirham lebih
popular di dunia usaha bangsa Arab.
Selain dinar dan dirham, terdapat pula uang untuk memenuhi kebutuhan barangbarang jualan yang sedikit lebih murah dari harga satu dirham atau merupakan bagian
dari dirham, karena sejak dulu hingga sekarang orang-orang membutuhkan alat tukar
selain emas dan perak. Untuk memenuhi kebutuhan pembelian barang murah ini, mereka
mencetak sedikit dari tembaga dalam proses potongan kecil yang diberi nama fulus (uang
tembaga) (Al Maqrizy, 1988:90). Nilai fulus dibanding dirham pada periode awal Islam
adalah 1 : 48 (Al Hallaq, 1986:17). Nilainya tidak tetap uang tembaga mengalami
kenaikan terhadap dirham pada tahun 756 H dengan rasio 1 : 24 (Al-Sayuthi, 1975:104).
Selain menggunakan dirham, dinar dan fulus, alat pembayaran yang digunakan
pada awal periode Islam adalah kredit. Ekspansi perdagangan di Arabia yang sudah
berlangsung berabad-abad lamanya bahkan sebelum munculnya Islam menuntut
penggunaan kredit. Selain memiliki kelebihan yang dimiliki dirham dan dinar sebagai
alat pembayaran, kredit memiliki keuntungan lainnya. Misalnya, untuk melakukan
transaksi yang nilainya cukup tinggi tentu dibutuhkan koin yang banyak sebagai alat
pembayaran. Tentu ini tidak praktis. Karena itu, berat dan volume yang dimiliki koin itu
mengurangi daya tariknya sebagai media pertukaran. Tambahan lagi, mungkin juga
terjadi pada saat transaksi pembeli tidak dapat menyediakan dirham dan dinar secara
mudah dan cepat.
Biasanya para pedagang yang bepengalaman dan bereputasi tinggi akan
menggunakan surat wesel dagang dan surat utang dalam transaksi bisnisnya.
Meningkatnya perdagangan antara Syam dan Yaman, yang berlangsung paling tidak dua
kali setahun sebelum masa kenabian dimulai, menciptakan kemungkinan untuk
menerbitkan dan menerima surat wesel tagih, cek, atau surat utang diantara pedagangpedagang Quraisy dan Yaman. Tidak mungkin semua transaksi komersial di periode awal
Islam menggunakan uang kas. Penyebarluasan penggunaan transaksi kredit sebelum
Islam, dan fakta bahwa cara transaksi ini dengan beberapa modifikasi diperbolehkan pada
masa sesudah turunnya Islam, merupakan indikasi semakin seringnya transaksi jenis ini
digunakan. Pada perkembangan selanjutnya, dalam transaksi yang dilakukan secara
kredit kedua pelaku saling menyerahkan bukti penerimaan sebagai peraturan kredit. Jika
surat-surat utang ini dapat diterima sebagai alat pembayaran dan sama nilainya dengan
uang.
Metode lainnya yang digunakan dalam melakukan transaksi di Arabia, yang juga
diterima oleh Islam dengan beberapa modifikasi adalah pembelian utang seseorang atau
obligasi oleh pihak lainnya. Pada transaksi ini, biasanya surat utang dipertukarkan.
Legitimasi yang diberikan Islam pada jenis transaksi ini menunjukkan penggunaannya
pada awal periode Islam, dan itu merupakan bukti lain adanya penggunaan kredit pada
masa itu.
Pada saat yang sama, tidak bias diasumsikan bahwa volume kredit, dibandingkan
dengan jumlah uang dalam sirkulasi, cukup besar jumlahnya. Tingkat penggunaan
instrumen kredit terbatas pada beberapa pedagang. Keberagaman suku, peperangan yang
berkepanjangan antar mereka, jarak yang jauh antara wilayah-wilayah bagian utara,
tengah dan selatan, dan kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam perjalanan,
menunjukkan bahwa ada suasana ketidakpastian di area itu. Akibatnya, timbul rasa
enggan untuk menerima alat pembayaran kredit (Sadr, 1989).
3. Mobilisasi dan Pemberdayaan Tabungan
Salah satu tujuan khusus perekonomian pada awal perkembangan Islam adalah
penginvestasian tabungan yang dimiliki masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan dua cara
mengembangkan peluang investasi yang syariah secara legal dan mencegah kebocoran
atau penggunaan tabungan untuk tujuan yang tidak islami.
Pengembangan peluang investasi islami secara legal dilakukan dengan mengadopsi
sistem investasi konvesional yang kemudian disesuaikan sehingga pihak surplus
(pemegang tabungan) dan entrepreneurs dapat bekerja sama dengan ex-ante agreement
share yang menghasilkan nilai tambah. Karena kegiatan utama ekonomi adalah jasa,
pertanian, perdagangan dan kerajinan tangan, bentuk hukum yang sesuai untuk semua
kegiatan ini adalah mudarabah, muzara’ah, musyaqat dan musyarakah. Tabungan yang
dimiliki masyarakat dialokasikan untuk perdagangan dan kerajinan tangan, sedangkan
aset fisik seperti tanah, mesin, dll. Digunakan untuk agricultural. Atas dorongan dan
bimbingan Rasulullah kaum Muhajirin dan Al-Anshar siap untuk bekerjasama dengan
pembagian kepemilikian 50%-50%. Mengingat kaum Muhajirin yang “kurang” dalam hal
modal dan skill yang menyangkut pertanian dan perdagangan, bagian kepemilikan yang
mereka terima tidak sesuai dengan nilai pastisipasi yang mereka kontribusikan. Melalui
kontrak kerjasama ini, kaum Anshar mengajarkan ketrampilan yang dibutuhkan, sehingga
produktivitas meningkat (Sadr, 1989).
Bagi pemilik modal, bentuk kerjasama seperti ini sangat menguntungkan karena
mereka dapat terlibat secara langsung dalam proses investasi. Pengalaman, informasi,
serta metode supervisi dan manajemen yang mereka miliki secara langsung dapat
diterapkan. Dalam kerjasama ini, resiko usaha ditanggung oleh kedua pihak. Pengalaman
dan informasi yang diperoleh peserta kemudian diinformasikan kepada masyarakat luas
untuk menarik mereka dalam kerjasama serupa. Lambat laun, informasi yang sempurna
dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan dapat mengurangi risiko investor dalam
menjalankan usahanya. Selain pendapatan yang diterima, informasi dan metode
administrasi perdagangan/ekonomi yang mereka dapatkan menjadi daya tarik tersendiri
buat masyarakat untuk melakukan investasi (Sadr, 1989).
Pada awal masa keislaman, pemerintah dengan berbagai cara menyediakan fasilitas
yang berorientasi investasi untuk masyarakat. Pertama, memberikan berbagai kemudahan
bagi produsen untuk berproduksi. Kedua, memberikan keuntungan pajak terutama bagi
unit produksi baru. Metode perpajakan Islam tidak membahayakan insentif aktivitas
ekonomi karena penarikan pajak dilakukan secara proporsional terhadap keuntungan;
pendapatan sewa dan quasi-rent yang didapatkan dari kegiatan usaha sehingga tidak
mengurangi insentif dan efisiensi produsen. Ketiga, meningkatkan efisiensi produksi
sector swasta dan peran serta masyarakat dalam berinvestasi. Hal ini dilakukan dengan
memperkenalkan teknik produksi dan keahlian baru kepada kaum muslim. Sains baru
keterampilam ditrasfer dari Persia dan Roma yang kemudian diadopsi oleh masyarakat
muslim. Dalam kasus ini pembiayaan pengenalan teknologi yang di luar kemampuan
keuangan sector swasta digunakanlah dana masyarakat. Teknologi produksi senjata dan
ilmu kedokteran diadopsi dari Persia oleh Rasulullah sendiri dengan dana dari kas
masyarakat. Investasi infrastruktur dalam upaya peningkatan kapasitas dan efisiensi
produksi dikembangkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Dalam waktu yang
bersamaan, akuntansi dan metode administrasi dari Persia, teknik irigasi, dan arsitektur
dari Roma diperkenalkan kepada masyarakat. Selama masa kepemimpinan khalifah Ali,
teknik percetakan uang logam, seperti halnya dengan kesustraan dan ilmu tentang
manusia, berkembang baik. Hal tersebut adalah pertanda baik bagi usaha sector publik
untuk mengatasi hambatan dalam menjalankan proses produksi dan peningkatan efisiensi
produksi berupa tindakan yang tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga mendorong
masyarakat untuk menginvestasikan modal yang dimiliki (Sadr, 1989).
Metode lainnya untuk menginvestasikan tabungan adalah utang tanpa bunga (qard
hasan). Meminjamkan uang tanpa bunga sangat dianjurkan dan merupakan amal baik
seperti disebutkan Al-Qur’an sebagai berikut :















  
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
(Al Baqarah 245).





   
   
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipat gandakan pinjaman itu untuknya dan dia kan memperoleh pahala yang
banyak.” (Al Hadiid 11).


 









”Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan
meminjamkan kepada Allah, pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan
(pembayarannya) kepada mereka dan bagi mereka memperoleh pahala yang banyak.” (Al
Hadiid 18).







    
 
”Jika kamu meminjamkan kepada Allah, pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat
gandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (At Taghaabun 17).
Anjuran tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat untuk meminjamkan harta
dan kekayaan mereka kepada produsen untuk dapat dimanfaatkan. Dengan demikian,
selain efisiensi produksi dan kesejahteraan konsumen yang meningkat, kepuasan batin
pemberi modal juga meningkat. Walaupun memberi pinjaman tanpa bunga dianggap
bukan dari bagian kegiatan investasi dari sisi ilmu ekonomi murni, namun dari sisi AlQur’an, tindakan ini merupakan kegiatan yang produktif mengingat tingkat
pengembaliannya sepuluh kali lipat atau lebih. Karena itu dalam pandangan seorang
muslim meminjamkan tanpa bunga merupakan satu investasi dengan return yang jelas
dan aman. Karenanya, sejak kebijakan qard hasan ini disampaikan kepada masyarakat
mereka segera melaksanakannya dengan tujuan mendapatkan ridha Allah. Dari sudut
pandang makroekonomi, pinjaman tanpa bunga akan menciptakan suatu sistem efisiensi
dana untuk produksi atau konsumsi dengan asumsi yang meminjamkan dan yang
meminjam memiliki informasi yang sempurna. Dana pinjaman ini biasanya dibayar tepat
waktu dan tanpa biaya administrasi. Karena itu, sistem ini mendorong peningkatan
kesejahteraan umum dan ekspansi agregate supply ( persediaan barang dan jasa secara
agregat/ keseluruhan) (Sadr, 1989).
Metode ketiga untuk menyalurkan tabungan dalam kegiatan investasi adalah infak
dan waqaf. Karena terdapat unsur religi dan spiritual dalam dua hal ini kaum muslim
menunjukkan antusiasmenya untuk melakukan infak dan waqaf. Antusiasme dalam
berinfak begitu besar sehingga kaum muslim melakukan Itar (mendahulukan kepentingan
orang lain daripada kepentingan diri sendiri). Al-Qur’an sangat menganjurkan kebiasaan
tersebut.






   
    







     



 
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka
berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang
beruntung (Al Hasyr 9).
Orang yang berinfak akan diberi balasan berupa pahala sebanyak tujuh ratus kali
lipat seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an :







   
   
    
    
 
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuni-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Al-Baqarah
261).
Untuk alasan inilah banyak pengikut dan sahabat Rasulullah tidak hanya berinfak
tetapi juga mewaqafkan hartanya. Harta yang diwaqafkan oleh Imam Ali dan Fatima dan
sahabat lainnya telah tercatat dalam sejarah.
Infak itu biasanya berupa uang dan sejenisnya yang merupakan pendapatan yang
disisihkan setelah kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri telah terpenuhi. Berbeda
dengan infak, waqaf adalah akumulasi tabungan dalam bentuk fisik, seperti rumah, tanah,
pertanian, atau sarana umum lainnya seperti sekolah, rumah sakit, jembatan dan sumur.
Kepekaan kaum muslim terhadap kedua hal ini—sejak awal periode keislaman sampai
saat ini—sangat besar. Di tiap negara Islam banyak sekali harta yang diwaqafkan oleh
masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk mendapatkan ridha Allah.
Pembuatan kebijakan Islam telah membuat kebijakan yang mendorong mengalirnya
tabungan ke arah investasi sekaligus untuk mencegah terjadinya penyimpangan
penggunaan tabungan pada hal-hal yang tidak diinginkan dan sia-sia dengan batasanbatasan yang ada. Beberapa batasan itu antara lain kanz, riba dan larangan transaksi kalibi-kali.
Kanz adalah kegiatan menimbun uang (dirham atau dinar). Penimbunan harta akan
mengurangi persediaan uang dipasar sehingga permintaan uang akan meningkat karena
perputaran uang menurun. Seperti disebutkan diatas, menimbun uang sangat tidak
dianjurkan Alquran.
    









   
  
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ”Inikah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu.” (At Taubah 35).
Sudah jelas bahwa kanz sangat merugikan karena mempengaruhi perputaran uang.
Dengan dilarangnya penimbunan harta ini, nilai uang lebih stabil dan daya beli
masyarakat dapat dipertahankan.
Sebelum kedatangan Islam, hal yang paling biasa dilakukan dalam penggunaan
uang tabungan yang disimpan masyarakat adalah riba (usury loan) baik untuk
perdagangan atau pun konsumsi. Pada saat itu, perdagangan sangat membutuhkan modal
sehingga menciptakan permintaan akan pinjaman. Pada saat terjadinya utang piutang,
kreditur menginginkan pada saat pelunasan uang yang diterima lebih besar dari yang
diutangkan. Jenis riba yang kedua adalah transaksi riba. Hal ini dilakukan pedagang
dengan menukarkan barangnya dengan barang yang sama dalam jumlah yang lebih
sedikit.
Dari sudut pandang kaum Quarisy, riba adalah jalan terbaik untuk mendapatkan
keuntungan yang besar dari tabungan yang mereka miliki karena debitur pada saat itu
tidak harus berjalan jauh untuk melakukan transaksi sehingga mereka tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk itu. Mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar
dari transaksi riba tersebut. Karena modal yang ada hanya terbatas pada kaum Hijaz yang
hidupnya nomaden, sementara perdagangan menimbulkan permintaan modal yang tinggi,
keuntungan yang mereka peroleh dari transaksi riba ini sangat besar. Lagi pula mereka
tidak perlu menanggung risiko ketika terjadi kerugian dari perdagangan yang dilakukan
debitur. Sekalipun debitur (pedagang) tidak dapat mengembalikan modal yang
dipinjamnya, uang kreditur tetap aman karena mereka dapat menjadikannya budak.
Keuntungan yang lain untuk kreditur, ia tidak perlu mengkhawatirkan keberhasilan
atau kegagalan perdagangan yang dijalankan debitur. Ia tidak perlu mengaudit
pemasukan dan pengeluaran untuk menghitung keuntungan dan bagiannya. Kreditur juga
tidak perlu memberikan pelatihan kepada pedagang tentang bagaimana mengelola dan
memasarkan produknya. Dengan keuntungan dan kemudahan inilah banyak modal yang
lebih memilih transaksi dengan riba dalam kerjasama perdagangannya.
Rasulullah s.a.w. sudah mengutuk riba sejak awal perjalanan dakwahnya dan
melarang kaum muslim mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Selama mengajarkan
etika ekonomi dan mengutuk riba, secara perlahan-lahan Rasulullah membatasi
penerapan riba di masyarakat. Selang beberapa waktu, Rasulullah melarang compound
usury (riba yang diterima secara keseluruhan, biasanya pada waktu jatuh tempo) dan pada
akhir tahun hijrahnya Rasul, seluruh bentuk riba dan transaksi yang ribawi dilarang.
Rasulullah menekankan kepada masyarakat bahwa keuntungan yang didapat dari riba
adalah sebuah dosa besar. Akhirnya, riba dihilangkan dari kegiatan ekonomi pada awal
periode keislaman dan tabungan hanya dapat digunakan untuk tujuan yang telah
disebutkan di atas.
Larangan riba dalam arti yang luas akhirnya membatasi penggunaan tabungan.
Tidak ada lagi jalan bagi pemilik modal untuk medapatkan keuntungan yang besar selain
melalui kerjasama. Hal ini mengakibatkan pemilik modal menjadi sangat tergantung
kepada pengusaha untuk mendapatkan pendapatan dari modal yang mereka miliki.
Perubahan ini dan yang lainnya—sebagai akibat dari perubahan hak-hak ekomoni dan
hak-hak istimewa lainnya dalam perekonomian pada masa periode keislaman, bersamaan
dengan insentif lain yang diberikan kepada produsen dan investor—menciptakan hak
istimewa baru dan prestis bagi mereka dan memotivasi mereka untuk meningkatkan
partisipasi dalam kerjasama partnership. Perubahan ini secara keseluruhan meningkatkan
permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi dan keseimbangan antara
perputaran uang dan produksi barang.
Perubahan yang terjadi dan ekspansi perdagangan dan ekonomi mengharuskan
dilakukan modifikasi dalam struktur pasar sehingga kegiatan produksi barang dan jasa
dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Perubahan yang terjadi sangat banyak dan
komprehensif sehingga tidak dapat dibahas dalam studi ini. Untuk itu kita hanya
berkonsentrasi pada salah satu perubahan untuk mengilustrasikan pada salah satu
perubahan untuk mengilustrasikan bagaimana perubahan ini mempengaruhi tabungan dan
proses investasi.
Dalam hukum Islam, transaksi tunai dan kredit dibolehkan. Dalam transaksi tunai,
uang dan barang dipertukarkan secara simultan; sementara dalam transaksi kredit, barang
diserahkan terlebih dahulu yang diikuti dengan uang pada saat jatuh tempo atau
sebaliknya, uang diserahkan terlebih dahulu, kemudian barang diserahkan selang
beberapa waktu berikutnya. Islam menyarankan dalam transaksi perdagangan untuk
dicatat, terutama ketika pembayaran dan pengiriman barangnya ditunda (Afzalurrahman,
1982:25).
Yang tidak dibolehkan dalam Islam adalah uang dan barang dipertukarkan selang
beberapa waktu setelah kontrak ditandatangani. Praktek inilah yang dinamakan kali-bikali Jika transaksi semacam ini dibenarkan, akan timbul pasar emas, perak, dan asset
berharga lainnya dan sebagian tabungan yang dimiliki akan dialokasikan untuk transaksi
spekulatif ini. Dalam hal ini tidak ada nilai tambah untuk perekonomian secara
keseluruhan. Pendapatan hanya dinikmati oleh pemilik modal sehingga menciptakan
ketidakseimbangan arus uang dan barang. Larangan transaksi ini dengan sendirinya akan
mencegah terjadinya penyimpangan penggunaan tabungan untuk hal-hal selain produksi
barang dan jasa, yaitu mencegah terciptanya pasar uang, seperti halnya mencegah
terciptanya loan market dengan menghapus riba. (Sadr, 1989).
4. Uang dan Kebijakan Moneter
Pada masa khalifah Abu Bakar Assidiq, beliau tidak melakukan perubahan terhadap
mata uang yang beredar dinar dan dirham masih menjadi satuan mata uang negara (Al
Maqrizy, 1988:129), disamping fulus untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar
dan dirham pada masa Abu Bakar masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama
dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus.
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaur Rasyidin koin mata uang asing
dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan
dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama
dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley. Satu mitsqal juga ekuivalen dengan
4,25 gram (Johnson, 1968:547). Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari
kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat atau 70 grain
barley. Maka rasio antara satu dirham dan satu mithqal adalah tujuh per sepuluh
(Sabzwari, 1984).
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim
didelegasikan kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan ahli
pembukuan dan akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan
dan pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan
satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang. Pada masa kekhilafahan
Umar juga diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh
masyarakat. Menurut Al-Yaqubi, Umar mengintruksikan untuk mengimpor sejumlah
barang dagangan dari Mesir ke Madinah. Karena barang yang diimpor jumlahnya cukup
besar, pendistribusiannya menjadi terhambat. Oleh karena itu, Khalifah Umar
menerbitkan sejumlah cek kepada orang-orang yang berhak dan rumah tangga sehingga
secara bertahap setiap orang dapat pergi ke bendahara kaum muslimin dan
mengumpulkan hartanya. Penggunaan sejumlah cek oleh Khalifa Umar yang diterima
oleh publik menunjukkan penggunaanya sebagai alat pembayaran di periode awal Islam
(Sadr, 1989).
Dengan terbunuhnya Yazdigird perlawanan Persia di seluruh kerajaan itu jadi
padam. Sebagian mereka sudah ada yang mau berdamai dengan pihak Muslim, kecuali
pihak Turki penduduk Balkh (Haikal, 1973:109). Ditaklukannya Persia percetakan uang
logam terus beroperasi. Pada masa khalifah Usman bin Affan sudah ada mata uang yang
bertuliskan Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, Allah dan Muhammad dengan jenis
tulisan Kufi (Al Maqrizy, 1988:60).
Bahkan Usman memperlakukan kaum Muhajirin tidak seperti pada masa Umar
yang tidak boleh berpindah-pindah. Kaum Muhajirin diperbolehkan berpindah-pindah di
segenap imperium yang tadinya dilarang, dan memperoleh kekayaan yang cukup
berlimpah dan menikmati kesenangan. Hidup serba mudah daripada di masa Umar yang
harus menahan diri (Haikal, 1973:119).
Secara alamiah transaksi yang berada di daerah Mesir atau Syam menggunakan
dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham.
Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaran Persia
(Irak, Iran, Bahrain,
Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir, Andalusia) menyebabkan
perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Imam Ali, dinar
dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan (Sadr, 1989).
Setelah Persia ditaklukan, percetakan uang logam di wilayah itu terus beroperasi.
Sementara itu, kaum muslimin secara perlahan-lahan mulai diperkenalkan kepada
teknologi percetakan uang sehingga pada masa kepemimpinan Imam Ali kaum muslimin
secara resmi mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama pemerintah Islam.
Beberapa ahli sejarah menduga bahwa percetakan uang bahkan sudah dilaksanakan sejak
masa kepemimpinan Khalifah Umar atau khalifh Ustman. Ketika mata uang masih
diimpor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah
mencetak sendiri kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada
(Sadr, 1989). Khalifah Ali bin Abi Thalib mencetak dirham mengikuti model Khalif
Usman bin Affan dan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat Bismillah, Barakah,
Bismillah Rabbi dan Rabiyallah dengan jenis tulisan Kufi (Al-Naqsyabandi, 1969:22).
5. Penutup
Baitul Maal berfungsi membayar kebutuhan dan keperluan masyarakat yang sudah
melakukan fungsi yang hampir sama dengan yang dilakukan bank sentral dewasa ini,
kecuali pengeluaran uang, pengadaan kredit dan pengawasan suku bunga. Baitul Maal
merupakan sebuah agen kesejahteraan yang difungsikan sebagai Bank Sentral Muslim
sejak dari awal permulaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics: Foundations
and Practices. International Journal of Social Economics. Vol. 5, pp.5-17.
Abdelhamid, Mohamed, 2005. Islamic Banking. Department of Economics Carleton
University, Ottawa, Ontario, September 9.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI),
1997. Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions.
Manama: Bahrain Islamic Banking.
Afzalurrahman, 1982. Muhammad : Encyclopedia of Seerah. Vol. 2, No. 3, London : The
Muslim School Trust.
Ahmad, Khurshid, 1980. Studies in Islamic Economics. Leicester : Islamic Foundation.
______, 1986. Problems of Reaseach in Islamic Economics with Emphasis on Reasearch
Administration and Finance. Leicester: Islamic Foundation.
______, 1992. Nature and Significance of Islamic Economics. Leicester: Islamic
Foundation.
Ahmad, Syeikh Mahmud. 1952. Economic of Islam. Lahore : Institute of Islamic Culture.
Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. Lahore: The Islamic
Fondation.
Ahmed, Osman, 1992. The Role of Faisal Islamic Bank, Islamic Financial Markets.
Rodney Wilson, London & New York, Routledge, pp. 76-99.
Ahmed, Ziauddin. 1994. Islamic Banking : State of the Art. Islamic Economic Studies,
December.
Alam, M. Nurul. 2000. Islamic Banking In Bagladesh: A Case Study of IBBL.
International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 4, JanMar.
Al-Arabi, Mohammad Abdullah. 1966. Contemporary Banking Transactions and Islam’s
views thereon. Islamic Review, London, May
Al-Bukhari, 1979. Sahih Al-Bukhari. Terjemahan oleh Mohammad Muhsin Khan,
Islamic University Al-Medina Al-Munawara, Edisi Keempat, Lahore : Kazi
Publication, Vol.VII, No.277, hal. 208-209.
Al-Fanjari, Muhammad Shawqi, 1990. Dhatiyat al-siyasiyat al-iqtisadiyat al-islamiyah.
Cairo: Markaz al-Iqtisad al-Islami.
Al-Jarjawi, Syehk Ali Ahmad, 1997. Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Beirut: Darul ElFikri.
Al-Jauziyyah, Ibnul Qayyim,1955. A’lamul Muwaqqi’in. Al-Maktabah at-Tijariyyah alKubra, Cairo, vol. III.
Algaoud, Lativa M., Lewis, Mervyn K. 2001. Islamic Banking. Massachusetts: Islamic
Edward Elgar
Ali, Syed Ameer. 1949. A short history of the Saracens, London: Macmillan & Co., pp.
63-64.
Ali, A. Yusuf (Penerjemah), 1975. The Holy Qur’an. Lahore : Sh. Muhammad Ashraf.
Al Kattani, Abd al Hay. 1975. Al Taratib al Sultaniyyah. Beirut: Hasan Ju’na and M.
Amin Damaj Pub.
Al Maqrizy, Taqyuddin Ahmad bin Ali. 1988. Syuzur Al-Uqud fi Zikri Al-Nuqud.
Tahqiq Muhammad Bahr Al-Ulum, Beirut : Daar Al-Zahra’.
Al Maraghiy, Ahmad Mustafa, 1970. Tafsir al-Maraghiy.
Thalib, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Penterjemah Muhammad
Al Mawardi, Abu al Hasan. 1993. Al Ahkam al Sultaniyyah. Cairo: Mustapha al Babi al
Halabi.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur-Rahman, 1998. Ar-Rahiq al-Makhtum Bahtsun fi asSirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibina as-Shalat was-Salam. Cairo : Dar al-Hadits.
Al-Mushlih, A. ,Ash-Shawi, S. 2001. Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu. Riyadh : Dar AlMuslim.
Al-Naqsyabandi, Nashir Al-Sayyid Mahmud, 1953. Al-Dinar Al-Islami Fi Al-Muthaf AlIraqi, Beirut : Al-Rabithah.
Ayati, M.I., 1980. The History of Prophet of Islam. ed. by A. Gordji, Tehran University,
Tehran.
Anouar, Hassoune. 2002. Profitability of Islamic Banks. International Journal of Islamic
Financial Services, Volume 4, Number 2, July-Sept .
Arbuckle, J.L. & Wothke, W. , 1999. Amos 4.0 User’s Guide : SPSS. Chicago :
Smallwaters Corporation.
Ariff, Mohammad, 1982. Monetary and Fiscal Economics of Islam, Jeddah : ICRIE.
______, 1985. Toward a Definition of Islamic Economics : Some Scientific
Consideration. Journal of Research in Islamic Economics, Winter.
______, 1988. Islamic Banking, Asian-Pacific Economic Literature, Volume 2, Number
2, September, pp. 48-64.
______, 1989. Islamic Banking in Malaysia : Framework, Performance and Lesson.
Journal of Islamic Economics, Volume 2, Number 2.
______ dan Mannan, M.A., 1990. Developing a System of Financial Instruments.
Proceeding of Seminar held in Kuala Lumpur, Malaysia, 28 April- 5 Mei.
______, 1997. The Role of the Market in the Islamic Paradigm. IIUM Journal of
Economics and Management, Malaysia
Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In Imperfect
Markets : A Growth Theoretical Approach. Cheltenham, Edward Elgar.
Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics, HomeWood,
pp.255-283.
Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare Measurement
Through National Income Accounting, Scandinavian Journal of Economic 106,
pp. 361-384.
Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare
Improvement?, Economics Letters 73, pp. 233-239.
Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality. London: Oxford University Press.
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. 2004. Al-Iqtishad al-Islami : Ushusun wa muba’un
waakhdaf. Terjemahan, Yogyakarta : Magistra Insannia Press.
Baladhuri., 1966. Kitab Futuh Al-Buldan. Beirut:Terjemahan oleh Philp Khori Hittli.
Bashir, Abdel-Hameed M., 1999. Assessing the Performance of Islamic Banks : Some
Evidence from the Middle East, MEEA, vol.3.
Bank Indonesia, 2000. Museum Bank Indonesi, Desember
Bank Indonesia, 2003. Statistik Perbankan Syariah. Januari
______, 2003. Statistik Perbankan Syariah. Juni
______, 2004. Statistik Perbankan Syariah. Januari
______, 2004. Laporan Tahunan. Januari
______, 2005. Statistik Perbankan Syariah. Januari
______, 2006. Statistik Perbankan Syariah. Januari
______, 2006. Statistik Perbankan Syariah. Desember
______, 2006. Museum Bank Indonesi, Desember
______, 2007. Statistik Perbankan Syariah. Januari
Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice. London School of
Economics and Political Science, London, April., pp. 1-3.
Bhattacharya, K.M., 2005. Islamic Banking : A Case for Introduction in the Indian
Banking System. IBA Bulletin, Mumbai, December, p.1
Blackorby, C. and Donaldson, D. ,1987. Welfare Ratios and Distributionally Sensitive
Cost-Benefit Analysis. Journal of Public Economics, 34, pp.265-90
Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis, Economic
Journal 86, December, pp.. 926-939.
Bornstein, Morris. 1973. Plan and Market, Economic Reform in Eastern Europe, Yale
University Press.
Braudel, Fernand. 1982. Civilization and Capitalism, New York : Harper & Row, pp.251255.
Carbonell, A.F. 2002. Subjective Questions To Measure Welfare and Well-being,
Discussion Paper, Tinbergen Institute, Amsterdam, pp 1-5.
Chapra, M. Umer, 1970. The Economic System of Islam : Discussion of its Goal and
Nature. London : The Islamic Cultural Centre.
______, 1979. Objectives of the Islamic Economic Order. Leicester, United Kingdom :
The Islamic Foundation.
______, 1979. The Islamic Welfare State and its Role in the Economy. Leicester, United
Kingdom : The Islamic Foundation.
______, 1985. Toward a Just Monetary System. Leicester,
Islamic Foundation.
United Kingdom : The
______, 1995. Islam and the Economic Challenge. Leicester, United Kingdom : The
Islamic Foundation.
______, 2000. The Future of Economics : An Islamic Perspective. Leicester, United
Kingdom : The Islamic Foundation.
Choudhury, M.A. ,1991. Social Choice in an Islamic Economic Framework,
The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 8 No.2 .
Choudhury, Masudul Alam and Houque, M. Ziaul. 2003 Islamic Finance: A Westen
Perspective – Revisited. International Journal of Islamic Financial Services,
Volume 5, Number 1, April-June.
Chowdhury, A. Abdul Mannan. 1999. Resource Allocation, Investment Decision and
Economic Welfare : Capitalism, Socialism and Islam. University of Chittagong,
Banladesh.
Cizaka, M., 1995. Encyclopedia of Islamic Banking and Insurance. Institute of Islamic
Banking and Insurance, London
Cohn, H.H., 1971. Interest, Encyclopedia Judaica. Jerusalem : Keter Publishing House.
Cooper, Donald R. and Schindler, Pamela S., 2006. Business Research Methods. New
York: McGraw-Hill Companies.
Creswell, John W. 1994. Research design : Qualitative & Quantitative Approaches.
London : SAGE Publicatios.
Crone, P. 1987. Meccan Trade and Rise of Islam. Oxford : Basil Blackwell.
Dar, Humayon A. and Presley, John R. 2000, Lack of Profit Loss Sharing in Islamic
Bankingm : Management and Control Imbalances, International Journal of
Islamic Financial Services, Volume 2, Number 2, September, pp. 9-12.
Doi, Abdur Rahman I. 1984. Shariah : The Islamic Law. 3rd Edition, Kuala Lumpur : A.S.
Noordeen Publishers.
El-Diwani, Tarek, 2003. The Problem with Interest. 2nd edition, London: Kreatoc, Ltd.,
Elliot, John E.. 1985. Comparative Economic Systems, Wadsworth Publishing
Company, Belmont, pp.408-429.
Fabozzi, Frank J Franco, Modigliani, Ferri, Michael G.,1994. Foundations of Financial
Markets and Institutios, New York : Prentice-Hall Inc.
Federal Deposit Insurance Corporation, 2004. Bank Failure & Assistance. June 25.
Ferdinand, Augusty, 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen.
Semarang : BP UNDIP.
Friedman, Thomas L., 2001. The Lexus and The Olive Tree: Undertanding Globalization,
New York : Achor Book.
Ghazali, Imam. 1937. Al-Mustasyfa, Kairo : Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Vol.I
hlm 139
Giddens, Anthony, 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial (Terjemahan dari
Judul Asli: The Third Way: The Renewal of Social Democracy), (Penerjemah:
Ketut Arya Mahardika), Cetakan ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Juni.
Gopal, M.H. 1935. Mauryan Public Finance. London : George Allen & Unwin.
Gordon, B..1982. Lending at Interest : Some Jewish, Greek and Christian approach, 800
BC – AD 100, History of Political Economy, Vol. 14 No.3, pp. 406-26.
Griffin, Keith. 1989. Alternative Strategies for Economic Development, Macmillan,
London, pp.218-219.
Grutchy, Allan G. 1977. Comparative Economic Systems. Houghton : Mifflin Company.
Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., Anderson,R.E., & Tatham, R.L., 2006. Multivariate
Data Analysis. Sixth Edition, New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Hanafi, Khaled, 2003. Islamic Gold Dinar Will Minimize Dependency on U.S. Dolla.,
Money File, The Case for Gold, Cairo, January 8.
Haniffa, Roszaini dan Hudaib, Mohammad, 2004. Disclosure Practices of Islamic
Financial Institutions : An Exploratory Study. The Islamic Perspective
International Conference V, Brisbane, Australia.
Harahap, Sofyan Syafri, 2003. The Disclosure of Islamic Value-Annual Report The
Analysis of Bank Muamalat Indonesia’s Annual Report, Managerial Finance,
ABI/INFORM Research, 29, 7, pp.70-89.
Harahap, Sofyan Syafri, 2004. Akuntansi Islam. Cetakan keempat, Jakarta : Bumi Aksara
Haron, Sudin, 1996. The Effects of Managemet Policy on Performance of Islamic Banks.
Asia Pacific Journal of Managemet, Oct, 13,2
Haron, Sudin, 1997. Islamic Banking : Rules & Regulations. Selangor : Pelanduk
Publications.
Haron, Sudin and Ahmad, Norafifah. 2000. The Effects of Conventional Interest Rates
and Rate of Profit on Funds Deposited with Islamic Banking System In Malaysia.
International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 4,
January-March.
Haron, Sudin and Yamirundeng, KuMajdi. 2003. Islamic Banking In Thailand: Prospects
and Challenges, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 5,
Number 2, September.
Hassan, Ahmad, 2004. A-lAuraq Al-Naqdiyah fi Al-Iqtishad Al-Islamy, Terjemahan,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hause,J.C. 1975. The Theory of Welfare Cost Measurement. Journal of Political
Economy 83, Juni, pp. 1145-1182.
Heilbroner, Robert and Lester Thurow, 1994. Economic Explained. New York:Simon &
Schuster.
Henry, Clement M., 1999. Special issue on Islamic Banking and Finance. Thunderbird
International Business Review, 41(5/6), pp.355-609, July.
Hester, Donald D and Zoellner, John F, 1966. The Relation Between Bank Portofolios
and Earnings: An Econometric Analysis. Review of Economic and Statistics, 48,
pp.372-86
Homby, A.S., 1974. Oxford Avanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford
University Press.
Hussain, Mohammad Sharif, 1996. Islamic Banking : A Superior Banking System (in
Bangladesh). First Edition, IBBL, October
Hussein, K. A, 2003. Operational Efficiency in Islamic Banking : The Sudanese
Experience. Islamic Research and Training Institute (IRTI), Working paper No. 1,
Islamic Development Bank, Jeddah, Saudi Arabia.
Hyman, David N., 2005. Public Finance : A Contemporary Application of Theory to
Policy with Economic Applications. 8th Edition , New York: Dryden Press.
Ibrahim, Wirman, Alrazi, Nor dan Pramono, 2004. Alternative Disclosure and
Performance Measures for Islamic Banks. International Islamic University,
Malaysia.
Imam-ud-Din, S.M.,1982. A Historical Background of Modern Islamic Banking, Islamic
Research Economics Bureau, pp. 175-83.
Iqbal, Z., 2004. Financial Intermediation and Design of Financial System in Islam,
Islamic Economic Studies, Vol.11,No.2, March.
Iqbal, Z. and Mirakhor, A. 2004. A Stakeholders Model of Corporate Governance of
Firm in Islamic Economic System. International Seminar on Economics,
Malaysia, September 22-24.
Iqbal, Z. and Mirakhor, A. 2007. An Introduction to Islamic Finance : Theory and
Practice, Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
International Association of Islamic Banks. 1997. Directory of Islamic Banks and
Financial Institutions. Jeddah : International Association of Islamic Banks.
Ismail, A.H., 1986. Islamic Banking In Malaysia : Some Issues, Problems, and Prospects.
Kuala Lumpur : Bank Islam Malaysia Berhad.
Janahi, A.L., 1995. Islamic Banking : Concept, Practice and Future. Second Edition,
Manama : Bahrain Islamic Bank.
Joreskog, K.G. & Sorbom, 1998. Lisrel 8 : Structural Equation Modeling with the
SIMPLIS Command Language. Scientific Software International.
Johnson, Marion, 1968. The Nineteenth-Century Gold 'Mithqal' in West and North
Africa, The Journal of African History, Vol. 9, No. 4 , pp. 547-569
Kakwani, Nanak C. 1980. Income Inequality and Proverty. Oxford University Press,
pp.397-398.
Khaleefa, M. U., 1993. Islamic Banking in Sudan’s Rural Sector. Islamic Economic
Studies (Jeddah) 1, no. 1 : pp.37–55.
Kapteyn, A. and Alessie R., 1988. Preference Formation, Incomes and the Distribution of
Welfare, Journal Behavior Economics, 17, pp.77-96
Kazarian, E. 1991. Finance and Economic Development, Islamic Banking in Egypt. Lund
Economic Studies No.45, University of Lund, Lund.
Kegley, Charles W., Wittkopfl Eugene R. , 2001. The Global Agenda: Issues and
Perspectives. New York : McGraw-Hill Higher Education – A Division of The
McGraw-Hill Companies, Inc., Singapore, International Edition, Sixth Edition
Khaldun, Ibnu. 1978. Muqaddimah, Beirut : Dar al Qalam, pp. 3,4,39
Khan, Muhammad Akram., 1989. Economic teachings of Prophet Muhammad (may
peace be upon him): a select anthology of Hadith literature on economics.
Islamabad: International Institute of Islamic Economics: Institute of Policy
Studies.
Khan, M. Fahim 1999. Financial Modernization in 21st Century and Challenge for
Islamic Banking. International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1,
Number 3, Oct-Dec.
Khan, M. Mushin 1979. Sahih Al-Bukhari : Arabic-English, Islamic University AlMedina Al-Munawara, Kazi Publication, Lahore, Vol.7 No.277. pp.208-209
Khan, Mohsin and Mirakhor, Abbas, 1987. Theoretical Studies in Islamic Banking and
Finance. Houston : IRIS Books.
Khan, Mohsin and Mirakhor, Abbas, 1992. Islam and the Economic System, Review of
Islamic Economics. Vol.2, No.1, pp. 1-29.
Leidholm, Carl and Mead, Donald. 1988. Small Scale Industries in Developing
Countries: Emperical Evidence and Policy Implication, A Michigan State
University Development Paper, pp.12.
Lenski, Gerhard.E. 1966. Power and Privilege : A Theory of Social Strattification. New
York : Mc Graw Hill.
Little, I. 1973. A Critique of Welfare Economics. 2nd edition, London : Oxford
University Press.
Majid, Fakhry, 1997. A Short Introduction in Islamic Philosophy,
Mysticism. Oxford, England : Oneworld Publications.
Theology and
Maali, Bassam, Casson, Peter, and Napier, Christopher,2003. Social Reporting by Islamic
Banks. Discussion Papers in Accounting and Finance, University of Southampton,
September.
Mannan, M. A.,1970. Islamic Economics, Theory and Practic. Leicester, United
Kingdom.: The Islamic Foundation.
Mannan, M. A., 1984. The Making of Islamic Economic Society: Islamic Dimensions in
Economic Analysis. Cairo: International Association of Islamic Banks.
Maududi, Sayyid Abu A’la. 1963. Economic and Political Teachings of the Quran.
Weisbaden, Otto Harasowitz, pp. 178-190.
McKenzie,G.W. 1982. Welfare Measurement : A Syntesis. The American Economic
Review 72(4), September, pp. 669-682.
Metwally, M. M., 1997. Differences between the Financial Characteritics of Interest-free
Banks and Conventional Banks, European Business Review, 97 (2), p.92.
Mohmassani, Sobhi, 1978. Al-Awza’l wa Ta’alimuhu’l Insaniyah wa’l Qanyniyah. Beirut
: Dar al-Ilm li’l Mala’in.
Mooduto, Ary, 2006. Pengaruh Pelaksanaan Prisip Syariah terhadap Kinerja dan
Ketahanan Bank Islam di Indonesia. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Nadwi, S.Abu Hasan Ali.1975. The Four Pillars of Islam. Edisi kedua, Karachi : Majlis
Nashreyat-e-Islam.
Nelson, Benjamin. 1949. The Idea of Usury : From Tribal Brotherhood to Universal
Otherhood. Princetone : Princetone University Press.
Neusner, Jacob. 1990. The Talmud of Babylonia : An American Translation. Atlanta:
Scholar’s Press.
Noman, Abdullah M. 2002. Imperatives of Financial Innovation for Islamic Banking,
International Journal of Islamic Financial Services, Volume 4, Number 3, OctDec.
Norusis, M. J., 1994. SPSS Professional Statistic 6.1. Chicago : SPSS Inc.
O'Connell, J. 1982. Welfare Economic Theory. Boston : Auburn House Publishing.
Ornati, Oscar. 1966. Proverty Amid Affluence. A Report on Research Project, New York
: The Twentieth Century Fund.
Patinkin, D.. 1968. Interest, International Encyclopeia of the Social Sciences. London :
Macmillan Inc.
Perlman, Richard. 1976. The Economics of Proverty,. New York : Mc Graw Hill.
Petras, James and Veltmeyer, Henry. 2001. Globalization Unmasked : Imperialismin the
21st Century, New York : Zed Books.
Pollack, R.A. and Wales, T.J.,1979. Welfare Comparisons and Equivalence Scales.
American Economic Review, 69, pp.216-21.
Qardhawi, Yusuf, 1990. Madkhal Li Dirasah Al-Syari’ah Al-Islamiah. Kaherah :
Maktabah Wahbah
Qardhawi, Yusuf, 2003. Fi Fiqh al-Aqaliyyah al-Muslimah. Kaherah : Dar I-Shuruq.
Qureshi, Anwar Iqbal, 1974. Islam and the Theory of Interest. Lahore : Sh. Muhammad
Ashraf.
Rahardjo, Dawam, 2002. Sejarah Ekonomi Islam. Jakarta, Indonesia : The International
Institute of Islamic Thought.
Rahman, Afzalur.,1980. Islamic Doctrine on Banking and Insurance. London : Muslim
Trust Company.
Rahman, Fazlur., 1964. Riba and Interest. Islamic Studies, Maret, pp. 1-43
Rahman, Yahia Abdul. 1999. Islamic Instruments for Managing Liquidity,.International
Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 1, Apr-Jun.
Rangaswami, K. 1927. Aspects of Ancient Indian Economic Thought. Madras law
Journal Press, Mylapore.
Ravallion, M. and Lokshin, M. .2000. Subjective Economic Welfare. Development
Research Group, World Bank.
Ready, R.K.1967. The Egyptian Municipal Savings Banks Project. International
Management Review, Juni pp.3-5.
Reed, Edward W.and Gill, Edward K.1989. Commercial Bank. New York : PrenticeHall Inc.
Rosen, Harvey S.2005. Public Finance. New York : McGraw-Hill Companies Inc.
Rosly, Saiful Azhar, 2004. The Inseparable Shari’ and Tabi’ Principle in Business
Strategy. DinarStandard, Business Strategies for Muslim World, December 3.
Russell, Bertrand. 1946. History of Western Philosophy. London : George Sallen &
Unwin.
Sabirin, Syahril, 2003. Perjuangan Keluar dari Krisis. Edisi Pertama, Yogyakarta : BPFE
Sabzwari, MA.1979. Zakah and Ushr with Special Reference to Pakistan. Industries
Printing Press, Karachi, p.5.
____________.1982. The Concept of Saving in Islam. An NIT Publication, Karachi, p.1
Sadr, Kazim. 1989. Essays on Iqtishad : The Islamic Approach to Economic Problems,
Nur Corp.,MD, USA
Samad, Abdus and Hassan, M. Kabir, 1999. The Performance of Malaysian Islamic Bank
During 1984-1997: Exploratory Study. International Journal of Islamic Financial
Services, Volume 1, Number 3, Oct-Dec.
Sarker, Abdul Awwal. 1999. Islamic Business Contracts : Agency Problems and The
Theory of The Islamic Firms. International Journal of Islamic Financial Services,
Volume 1, Number 2, Jul-Sep.
Sarker, Abdul Awwal, 1999. Islamic Banking In Bagladesh: Performance, Problems and
Prospects. International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1,
Number 3, Oct-Dec.
Sarmanu, Kuntoro, Wibowo dan Notobroto, 2004. Structural Equation Modeling.
Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas Airlangga,
Schnitzer, Martin C. 1987. Comparative Economic Systems. Cincinnati : South-Western
Publishing Group.
Sen, Amartya. 1998. Social Choice, Welfare Distribution and Poverty. Trinity College,
Cambridge, United Kingdom.
Sharif, Mohammad, 2003. Application of Islamic Economic System In a Contemporary
Economy : An Illustration with Poverty and Inequity in the USA, Humanomics,
Patrington, Vol.19, p. 41.
Shibli, Nomani. 1962. Seeratun Nabi. Karachi : Matbee Maarif Azamgarh, Vol.1
Siddiqi, Muhammad Nejatullah.1982. Recent Work on History of Economic Thought in
Islamic Survey. International Centre for Research in Islamic Economic, King
Abdul Aziz University, Jeddah.
Siddiqui, Amir Hasan.1962. Studies in Islamic History, Karachi: The Jamiyatul Falah
Publications, p.102.
Smith,V.K. and Haefen,R.V. 1997. Welfare Measurement and Representative Consumer
Theory. Discussion Paper, Washinton DC, pp.2-4.
Stiglitz, Joseph E. ,2002. Globalization and Its Discontent. Edisi pertama, New York –
London : WW Norton & Company.
Swasono, Sri-Edi, 2003. Ekspose Ekonomika : Kompetensi dan Integritas Sarjana
Ekonomi, Jakarta: UI-Press.
Tabachnick, Barbara G. & Fidell, Linda S., 2001. Using Multivariate Statistics. Fourth
Edition, New York : Pearson Education Company.
Taleqani, Sayyed Mahmood. 1983. Islam and Ownership, Lexington: Mazda Publishers.
Tawney, R. H. , 1926. Relegion and the Rise of Capitalism, London and New York :
Harcourt Brace.
Tsitorou, Christianna. 2006. Muslims Worldwide Will Deposit 50 % of Savings in
Islamic Banks By 2015. International Islamic Forum, Dubai, Maret.
Ubaid, Abu. 1353H. Al Amwal. Cairo: Al Maktabah al Tijaryyah al Kubra.
Uzair, Mohammad. 1956. An Outline of Interestless Banking. Karachi : Raihan
Publication.
Uzair, Mohammad. 1978. Interest Free Banking. Karachi : Royal Book Company.
Vadillo, Umar I., 1996. The Return of the Gold Dinar : A Study of Money in Islamic
Law. Medinah : Medinah Press
Van Praag, B.M.S., 1968. Individual Welfare Funtions and Consumer Behavior: A
Theory Rational Irrationality. Amsterdam : North Holland Publishing Company.
Vartia, Y. 1983. Efficient Methods of Measuring Welfare Change and Compensated
Income in Terms of Ordinary Demand Functions. Econometrica 51, pp. 79-98.
Visser, Wayne A.M. and McIntosh, Alastair, 1998. A Short Review of the Historical
Critique of Usury. Accounting Business & Finance History, 8.2, London :
Routledge, July, pp. 175-189.
Wilson, R.,1983. Banking and Finance in the Arab Middle East, London : Macmillan
Publishing Company.
Woodhouse, Mark B.,1994. A Preface to Philosophy. Wadsworth, A Division of
International Thomson Publishing Inc.
World Bank, 2000. Global Economic Prospects and the Developing Countries.
Washington DC: World Bank.
Yadegari, Mohammad. 1983. Ideological revolution in the Muslim world. Bretnwood :
IGPS.
Yawer, Nick. 2002. Islamic Banking & Islamic Conference, Washington DC: The
Islamic Free Market Institute, September, p.1.
Yazdi, M. Taqi Mishbah. 1999. Philosophical Instructions : An Introduction in
Contemporary Islamic Philosophy, Binghamton : Institute of Global Studies,
University of .
Yunus, Mohammad. 1988. The Poor as the Engine of Development. The Washington
Quaterly, Autumm, p.31.
Yusuf, Abu. 1302H. Kitab al Kharaj. Cairo : Shaybani’s Al Jami’al Saghir.
Yudistira, Donsyah, 2003. Efficiency in Islamic Banking : An Empirical Analysis of 18
Bank. Department of Economics, Loughborough University, Leicestershire,
United Kingdom.
Zadjuli, Suroso Imam. 1999. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Surabaya : Fakultas
Ekonomi Universitas Airlangga.
Zadjuli, Suroso Imam. 2007. Pengembangan Ilmu dan Praktek Ekonomi Islam di
Indonesia sekarang dan masa depan. Surabaya : Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga.
Zahra, Muhammad Abu, 1978. Al Imam Zaid, Cairo : Dar al Fikr al‘Araby, pp. 293-295.
Zahra, Muhammad Abu, 1978. Abu Hanifa, Cairo : Dar al Fikr al‘Araby, p. 539.
Download