TEORI INTEGRATIF DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS 1. 3. 5. 7. 9. 1. Mata Kuliah SKS Jurusan Tujuan Pembelajaran : : : : Kepemimpinan Sektor Publik 3 SKS Administrasi Publik Penguasaan materi dalam modul ini, yang dirancang sebagai landasan cara pandang baru leadership sektor publik, akan dapat menjelaskan pemahaman dan pengertian tentang teori integratif. Pendahuluan 2. Teori Shared Leadership Teori Integratif Chemers 4. Teori Transformasional Teori Leadership Strategis 6. Teori Leadership Perubahan Sosial Teori Leadership Kompleksitas 8. Teori Kompetensi Leadership Teori Leadership Level Organisasi- 10. Kesimpulan Multipel (Sinthesis Hunt) [1] TEORI INTEGRATIF PENDAHULUAN Karena fenomenanya kompleks, banyak pakar teori mencoba membuat kerangka yang berisi banyak pendekatan. Kerangka integrasi bisa berguna untuk mendapatkan perspektif “gambaran besar”, tapi ini juga berisi banyak tantangan karena subyeknya banyak dan perspektifnya juga banyak (Avolio, 2007; Bennis, 2007). Karena tidak ada satu kerangka integrasi yang diterima, maka kita akan membahas beragam kerangka yang terkenal. Setelah gerakan leadership transformasional dijalankan di tahun 1980-an dan di awal 1990-an, beberapa peneliti mulai memberikan fokus ke cara memadukan beberapa fokus penelitian berbeda. Ini sepertinya penting karena beberapa pendekatan berbeda telah tumbuh sangat besar, dan ini menjadi belantara yang berisi teori dan konsep khusus. Bukannya memperluas satu teori menjadi inklusif seperti yang dilakukan Bass (1985) pada leadership transformasional (dengan fokus implisit ke peran perubahan level-organisasi), ada satu minat ke pendekatan integrasi yang skopnya komprehensif. Sebuah pendekatan integratif difokuskan ke konsolidasi berbagai teori leadership transaksional. Shared Leadership adalah sebuah pendekatan integrasi yang memadukan leadership vertikal dengan substitusi, teori tim, self-leadership dan superleadership. Sebuah kerangka leadership integratif leader-member yang dibuat Chemers (1997) menggunakan beberapa faktor kontingensi dalam model transaksional. Perlu dicatat bahwa teori leadership transaksional dan juga model atau kerangkanya didasarkan pada MODUL 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif teori sistem tertutup. Teori sistem tertutup tidak berbicara tentang loop feedback dua-cara yang melibatkan lingkungan organisasi. Kompleksitas stakeholder berada di luar organisasi. Karena itu, kerangka yang didasarkan pada sistem tertutup memang berguna, tapi tidak komprehensif. Sebaliknya, model leadership yang didasarkan pada teori sistem general cenderung berisi loop feedback kuat dan pertimbangan stakeholder eksternal. Ada beberapa varian. Teori sistem terbuka menggunakan perspektif organisasi tapi juga memberikan perhatian moderat ke lingkungan. Tidak seperti teori sistem tertutup, leader harus memisahkan fokusnya antara kebutuhan internal dan eksternal. Kebutuhan akan perubahan berasal dari lingkungan, bukan interaksi leader-member, dan ini bisa dimengerti lewat perencanaan leader. Ini berarti bahwa leader bukan hanya mengumpulkan data internal tentang masalah yang harus diselesaikan, tapi juga mengumpulkan data tentang trend eksternal terkait bidang terkait seperti pasar, kemajuan teknologi dan sebagainya. Leader dalam perspektif sistem terbuka cenderung memberikan emphasis ke pendekatan strategis keseluruhan. Varian lain dari sistem teori general memunculkan sebuah sistem dinamis. Sistem ini dianggap sebagai kompleks dan mampu melakukan perubahan radikal dan disruptif. Perubahan bisa chaotic. Karena itu, leader perlu cakap dalam melakukan perubahan tidak berencana yang berasal dari arah mana pun. Masih kecil perhatian yang diberikan ke detail interaksi leader-member. Banyak orang yang harus dilibatkan dalam proses perubahan karena kompleksitas dan keganjilan perubahan. Beberapa pakar teori yang menggunakan pendekatan dinamis menyatakan bahwa organisasi diadakan untuk sistem, bukan organisasi diadakan di dalam sistem. Tepatnya, ini difokuskan ke kebutuhan sistem sebagai primer, yang nantinya menghasilkan dalil normatif berbeda. Gaya leadership yang dipertimbangkan di sini adalah fasilitatif atau kolaboratif, bukan strategis. Model integrasi selalu menjadi kerangka yang tidak berusaha menghitung faktor karena ada beragam hubungan dan beragam kasus yang harus diidentifikasi. Meski klaim ke validasi kuantitatif sedemikian rendah, ini memberikan manfaat lebih besar. Pertama, selalu dibutuhkan koordinasi agenda penelitian, dan ini penting dalam studi leadership yang memiliki aspek beragam. Bagaimana wawasan tentang pendekatan sifat, manajemen, transaksional, karismatik, transformasional, dan distributif, bisa dipadukan bersama? Kedua, pendekatan integrasi cenderung menunjukkan dimana konsensus bisa diraih, yang bisa mempersamakan nomenklatur dan konsep. Istilah dan konsep dalam studi leadership sering dianggap sama. Ketiga, pendekatan integrasi bisa mengidentifikasi gap penelitian antar berbagai pendekatan. Aspek fenomena apa yang belum cukup dijelaskan? Terakhir, pendekatan integrasi bisa berguna dalam menjelaskan studi leadership sebagai area penelitian atau dalam menjalankan pelatihan di bidang tertentu. Pendekatan integrasi membawa pendekatan spesifik ke dalam konteks tanpa mengurangi signifikansinya. Pendekatan integrasi bisa berguna bagi pihak yang membuat program pelatihan dan pendidikan sehingga akan mudah dalam menjelaskan koneksi antar bidang, dan ini juga penting bagi pihak yang mempelajari leadership dengan menggabungkan perspektif berbeda. Satu persoalan yang muncul dalam menciptakan pendekatan integrasi adalah keputusan tentang cara menyeimbangkan parsimoni versus komprehensivitas. Seperti semua usaha penelitian, elegansi teori dianggap penting, tepatnya menjelaskan fenomena dengan konsep sedikit mungkin. Sebuah pendekatan parsimoni lebih mudah dipahami dan diajarkan. Leadership adalah fenomena yang sangat kompleks, dan pengurangan jumlah variabelnya malah membuat leadership menjadi abstrak. Manfaat [2] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif terapannya malah berkurang, dan pendekatan yang sangat parsimoni (sering ada di dalam literatur leadership populer) bisa menjadi gagasan general yang tidak memiliki bobot lebih besar dibanding pepatah bijak atau prinsip abstrak. Tantangan konkrit dalam menciptakan pendekatan integrasi adalah cara bagaimana merepresentasikan hubungan yang dianggap penting, karena banyak fungsi dan level analisis harus dipresentasikan dalam format dua-dimensi. Seperti yang dikatakan Chemers, “proses leadership adalah cukup kompleks sehingga tidak semua perspektif bisa dipahami secara simultan” (Chemers, 1997). Beberapa tantangan yang dirasakan peneliti di area ini adalah kompleksitas variabel, level leadership, dimensi temporal, tujuan organisasi (misal, profit versus kebaikan umum), dan tipe hasil yang diinginkan. Tantangan untuk mempresentasikan banyak “layer” bisa jadi sangat sulit. Berapa banyak hubungan antar variabel yang harus ditunjukkan? Dengan fenomena yang selalu terkait seperti leadership, jumlah loop feedback dan efek tidak langsungnya selalu banyak dan penting. Karena hubungan tersebut bisa kacau di mata instruktur, maka penting bagi peneliti untuk membuat sebuah desain penelitian. Karena skop luas dari kerangka integrasi, hanya sketsa kecil dari delapan pendekatan yang akan diberikan di sini. Ini beragam dari fokus ke sistem tertutup, sistem terbuka dan perspektif sistem dinamis. Contoh yang akan diberikan adalah shared leadership (Pearce dan Conger, 2003a), teori “integratif” Chemers (Chemers, 1997), teori transformasional (Tichy dan Devanna, 1986; Conger, 1989), leadership strategis (Boal dan Hooijberg, 2001), leadership perubahan sosial (Crosby dan Bryson, 2010), teori kompleksitas (Uhl-Bien, Marion dan McKelvey, 2007), teori kompetensi leadership komprehensif (Van Wart, 2004), dan leadership level-organisasi-multipel (Hunt, 1996). Pembaca bisa membaca karya aslinya bila ingin jelas. 2. TEORI SHARED LEADERSHIP Shared Leadership di jaman sekarang adalah model atau kerangka lentur yang menunjukkan berbagai gaya distributif dan gaya vertikal dalam kerangka sistem tertutup, bukan teori empiris. Ini adalah sebuah wujud kemajuan teori dibanding teori substitusi. Dalam teori substitusi, variabel situasi hanyalah kontingensi, bukan teori penjelas. Shared leadership didasarkan pada asumsi normatif bahwa ada beragam tipe leadership distributif yang berguna, dan bahwa peran dari leadership tradisional atau vertikal adalah meningkatkan kapabilitas dan motivasi untuk melakukan leadership distributif. Shared leadership memiliki kesejajaran kuat di area lain literatur manajemen. Meski ada sedikit fertilisasi-silang, literatur learning organization menunjukkan ketergantungan besar oleh manajemen tradisional kepada hirarki, keahlian sentralis, perbedaan status dan kompetisi kelompok. Meski begitu, literatur learning organization menitikberatkan pada pemecahan model mental disfungsional dan penciptaan visi bersama (sama seperti superleadership), kecakapan personal (sama seperti self-leadership), tim, dan pendekatan sistem (sama seperti integrasi fungsi vertikal dengan fungsi distributif) (Senge, 1990). Gaya yang ditunjukkan di shared leadership adalah gaya gabungan antara bentuk vertikal dan distributif dari leadership (Houghton, Neck, dan Manz, 2003). Ini adalah model multilevel karena anggota organisasi berbeda menjalankan tipe leadership berbeda di waktu yang sama. Superleadership jelas dibutuhkan di pihak leader formal untuk membuat follower bisa menerima tanggungjawab dan tantangan leadership distributif, untuk memberikan peluang partisipatif dalam belajar dan berinteraksi, dan menyiapkan self-lead atau self-manage dalam sebuah lingkungan kelompok. Meski self-leadership dipraktekkan, dimodelkan, dan diperkenalkan oleh leader formal, ini hanya terjadi bila [3] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif bawahan juga mempraktekkan self-leadership sehingga bentuk kuat share leadership muncul. Elemen penting lain dari share leadership adalah tim yang diberdayakan, yang bukan hanya menjalankan fungsi manajemen dengan otonomi relatif, tapi juga melakukan self-organize dan mendistribusikan fungsi leadership seperti akuntabilitas dan penetapan peran. Dalam situasi ideal, share leadership menegaskan perlunya elemen leadership “top-down”, tapi ini menunjukkan bahwa organisasi terbaik perlu memaksimalkan leadership “bottom-up” atau distributif (Locke, 2003). Secara keseluruhan, ada tiga faktor yang membantu kesuksesan share leadership. Faktor pertama adalah kapasitas bawahan atau anggota organisasi. Jika turnover sedang tinggi, pendidikannya buruk, pelatihannya diremehkan, upahnya rendah, atau rekrutmennya buruk, maka share leadership memiliki peluang kecil untuk sukses. Selfleadership bisa lemah dan tidak konsisten, dan skill tim bisa terlalu dangkal. Dalam situasi tersebut, leader kuat mungkin akan berusaha menyatukan organisasi dan membuatnya bekerja di level rendah. Faktor kedua adalah kapabilitas leader dalam mengembangkan dan mendelegasikan. Tidak masalah seberapa besar kemampuan dan komitmen dari bawahan, beberapa leader sangat sulit mengajari orang lain, dan juga sulit berbagi power. Ironisnya, unit atau organisasi dengan anggota lebih kuat memiliki power lebih banyak. Karena itu, leader tidak sebenarnya memberikan powernya, tapi mencari kemungkinan adanya power lebih banyak di arenanya bila leader ingin meraih keuntungan dari itu. Faktor ketiga adalah kemauan dari organisasi, yaitu lewat governing board, chief executive officer, dan budaya, agar bisa membantu dan mendorong penggunaan model leadership distributif. Ini terjadi dalam sektor publik dimana leadership distributif dikritik lewat tuduhan bahwa birokrasi selalu gelap mata atau bahwa birokrat sering membuat keputusan publik penting. Meski ini adalah pertimbangan riil, belum bisa dipastikan apakah ini sering terjadi karena ada efek leadership distributif. Variabel kinerja dari share leadership tidak bisa dijelaskan lebih jauh tapi bisa diasumsikan sama seperti variabel kinerja di model leadership lain. Efisiensi produksi, kepuasan dan pengembangan follower, kualitas keputusan, dan kecocokan eksternal, adalah variabel yang signifikan sejauh ini. Desentralisasi manajemen dan devolusi leadership juga digambarkan oleh model sebagai hasil preferen. Kelemahan besar dari teori share leadership adalah fakta bahwa ini dijalankan di berbagai level analisis multipel dan secara simultan. Ini membuat uji empirisnya sulit. Sub-komponen dari teori tidak diartikulasikan jelas sebagai teori individu. Share leadership diawali dengan menyatukan berbagai penelitian dan pikiran yang muncul di tahun 1980-an dan kemudian yang berkembang pesat di tahun 1990-an. Ini memberikan imbangan realistik tentang bentuk leadership “pemberdayaan” di literatur populer, persis seperti obat “peluru perak” untuk sakit organisasi. 3. TEORI INTEGRATIF CHEMERS Pendekatan “integratif” Chemers (1997) menjelaskan facet leadership berdasarkan tipe interaksi yang terlibat, yaitu interpersonal, intrapersonal, atau situasional. Dia menambahkan bahwa prinsip kerja dari leadership selalu berpindah dari satu area ke selanjutnya. Tepatnya, prinsip di manajemen imej, perkembangan hubungan, dan penggunaan sumberdaya adalah selalu berbeda, meski semua fungsi leadership selalu beroverlap dalam cara yang “multi-dimensi, menonjol dan dinamis”. Di semua area, konsep “kecocokan leader” selalu berlaku, “yang menyatakan bahwa hasil perilaku leader dan follower ditentukan oleh kadar kecocokan antara perilaku dan kebutuhan lingkungan sekitarnya” (Chemers, 1997). [4] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif Chemers membatasi gaya leadership menjadi tiga tipe, yaitu strukturasi, konsiderasi dan prominensi. Strukturasi (fokus ke target) dan konsiderasi (fokus ke orang yang mencapai target) telah dibahas secara luas. Prominensi bukanlah tipe gaya umum. “Kategori prominensi menyatakan bahwa leader kadang bertindak untuk meningkatkan pemuasan egonya dengan memberikan perhatian ke dirinya dan kontribusinya tapi tidak peduli dengan pencapaian tujuan atau keuntungan kolektif lainnya” (Chemers, 1997). Area fungsi pertama adalah “zona penempatan diri” dimana individu harus menilai karakteristik personalnya dan kebutuhan situasinya. Jika kecocokannya baik, maka kenyamanan, konfidensi dan persistensi akan lebih tinggi, dan kinerja cenderung membaik. Jika kecocokan antara leader dan kebutuhan situasi adalah buruk, maka stress cenderung terjadi dan kinerja melemah. Persepsi leader dipengaruhi oleh sumber subyektif dan obyektif. Area fungsi kedua adalah “zona hubungan transaksional” yang menekankan pada realita konstruksi sosial antara leader dan follower. Banyak faktor masuk dalam konteks ini. Satu variabel contohnya adalah set sikap leader yang meningkatkan hasil positif di berbagai situasi. Sikap yang dimaksud adalah konfidensi dan optimisme, yang disebut Chemers sebagai “semangat leadership”. Dua variabel lainnya adalah intnsi perilaku dari leader dan reaksi follower yang didasarkan pada atribusi kompetensi leader dan persepsinya tentang kemampuan dan kebutuhan, atau kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan ini dengan leader. Ideal budaya dan norma sosial mempengaruhi range perilaku dan atribusi leader dan follower. “Zona penempatan tim” adalah arena yang menitikberatkan pada hasil basis-realita. Model Chemers menyatakan bahwa efektivitas leader ditingkatkan oleh usaha tim berkelanjutan, persistensi dan kontribusi anggota meski ada hambatan dan kelemahan. Dia menambahkan bahwa kecocokan baik antara skill dan temperamen leader dengan kebutuhan lingkungan tidak lalu menjamin sukses. Usaha tim saja belum cukup menjamin sukses. Kesuksesan membutuhkan penilaian basis-realita yang didasarkan pada kebutuhan dan kapasitas organisasi pragmatis. Chemers mendefinisikan kinerja sebagai produktivitas, efisiensi dan efektivitas. 4. TEORI TRANSFORMASIONAL Karena teori transformasional telah dibicarakan, maka diskusinya sekarang hanya difokuskan ke teori transformasional dan karismatik vis-à-vis teori integrasi. Dulu, gerakan transformasional membuat peneliti leadership mengingat pentingnya pemahaman di luar perspektif sistem tertutup yang interpersonal, kelompok kecil, dan supervisory yang dominan dari 1950-an sampai 1970-an. Beberapa aspek leadership transformasional difokuskan ke kebutuhan leader untuk menjadi majikan perubahan (Tichy dan Devanna, 1986). Aspek lainnya difokuskan ke kepribadian leader saat berinteraksi dengan follower, apakah itu karisma atau kekuatan karakter (Conger, 1989). Bernard Bass adalah orang paling sukses dalam membuat model kuasi-integrasi untuk perspektif transaksional dan transformasional dalam teori full-range (1985). Beberapa penelitian menfokuskan leadership perubahan di level operasional atau entrepeneurial (Hammer dan Champy, 1993). Teori ini, yang cenderung berasal dari bisnis, cenderung universalistik, leadersentris, dan organisasi-sentris. Ide Burns untuk mentransformasi leader (1978) adalah hal yang sangat berbeda secara kualitatif. Berdasarkan sudut pandang ilmu politik “yang tercerahkan”, dia mempelajari peran leader dalam mengangkat kepentingan konstituen, penganut atau follower ke kebaikan umum jangka panjang. [5] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif 5. TEORI LEADERSHIP STRATEGIS Secara tradisional, teori leadership strategis berkonsentrasi secara sempit ke teori eselon atas dan studi tim top management. Boal dan Hooijberg (2001) mengemukakan pentingnya pendekatan lebih luas dan lebih terintegrasi. Mereka menyatakan bahwa leader strategis adalah yang membuat keputusan strategis; menciptakan dan mengkomunikasikan visi masa depan; membuat kompetensi dan kapabilitas; mengembangkan struktur, proses dan kontrol dari organisasi; mengurus banyak konstituensi; memilih dan mengembangkan generasi leader selanjutnya; melanjutkan budaya organisasi yang efektif; dan menyuntikkan sistem nilai etika ke dalam budaya organisasi (Boal dan Hooijberg, 2001). Leadership strategis cenderung difokuskan ke orang yang memiliki tanggungjawab keseluruhan bagi organisasi, tapi para peneliti ingin memasukkan kondisi lingkungan lebih besar ke dalam kerangka konsep, khususnya di dalam dunia organisasi yang semakin turbulen. Dikatakan di sini bahwa gaya leadership strategis memiliki tiga komponen, yaitu penciptaan dan maintenans kapasitas absorptif, kapasitas adaptif, dan kearifan manajerial. “Kapasitas absorptif adalah kemampuan belajar. Ini berisi kapasitas untuk mengenali informasi baru, mengasimilasikannya, dan menerapkannya ke hasil baru. Ini berisi proses untuk meningkatkan kecocokan secara ofensif dan defensif antar organisasi dan lingkungannya. Ini adalah genesis kontinyu dari penciptaan dan penciptaan kembali dimana gestalt dan struktur logika akan ditambahkan atau dihapus dari memori”. Aspek kedua dari pembelajaran strategis adalah kapasitas adaptif, yang menggunakan kemampuan untuk belajar lewat penggunaan kemampuan untuk berubah. Dalam sebuah lingkungan yang berisi diskontinyuitas, disekuilibrium, dan hiperkompetisi, organisasi harus fleksibel dan inovatif. Kemampuan organisasi untuk berubah berarti mengharuskan leader memiliki kompleksitas dan fleksibilitas kognitif dan perilaku yang diikuti dengan keterbukaan ke perubahan dan penerimaan perubahan. Aspek akhir adalah kearifan manajerial, yaitu kombinasi antara ketajaman dan timing. Ketajaman “berisi kemampuan mempersepsikan variasi dalam lingkungan” dan “pemahaman tentang aktor sosial dan hubungannya”. Timing berisi kemampuan mengambil tindakan yang benar di waktu yang benar. Banyak faktor mempengaruhi seleksi dan kesuksesan leadership strategis. Pertama, Boal dan Hooijberg mengatakan bahwa leadership strategis menjadi jauh lebih kritis ketika lingkungan organisasi menjadi lebih dinamis. Karena lingkungan organisasi hampir selalu dinamis, maka ini menguatkan pentingnya leadership strategis. Meski begitu, bahkan di lingkungan stabil, organisasi membutuhkan manajemen strategis untuk pertumbuhan dan peremajaan yang sehat. Kedua, dikatakan bahwa leader bisa menggunakan leadership strategis hanya saat ketika leader memiliki diskresi. Tentu saja, administrator publik dan birokrat politik cenderung memiliki diskresi lebih rendah dibanding sesamanya di sektor privat agar bisa input demokratik lebih besar dan level akuntabilitas yang lebih tinggi. Leader yang bertanggungjawab, baik secara individu dan sebagai tim, adalah yang mampu menjalankan leadership strategis sampai mereka memiliki sifat/skill berikut, yaitu kompleksitas kognitif, intelejensi sosial, dan kompleksitas perilaku. Kompleksitas kognitif adalah kemampuan mengasimilasi banyak informasi, menyaring informasi, dan menginterpretasikan informasi ketika situasinya berubah. Intelejensi sosial adalah kemampuan untuk membuat perbedaan konstruktif antar individu dan mood, temperamen, motivasi dan sebagainya, dan lalu mencocokkan dan memaksimalkan kebutuhan individu dan organisasi. Kompleksitas perilaku adalah [6] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif kemampuan leader untuk menjalankan peran leadership multipel dan menciptakan repertoir perilaku yang akan dipilih ketika kondisinya berubah. Tiga faktor lain bisa membantu sukses tapi dalam kadar yang lebih rendah. Leader strategis mampu memformulasikan dan memproyeksikan visi yang jelas tentang masa lalu dan masa sekarang dari organisasi, dan juga membayangkan kebutuhan konkrit akan perubahan di masa depan. Aspek kognitif dari visi berisi hasil dan proses peraihan visi. Aspek afektifnya adalah motivasi dan komitmen yang dibutuhkan untuk menjalankan visi. Elemen kedua yang meningkatkan kecenderungan leadership strategis sukses adalah karisma. Daya tarik kepribadian individu dan kepercayaan ke usaha dan wawasan dirinya bisa membantu mereka dalam menjual dan mengimplementasikan perubahan. Terakhir, pengalaman dan skill dalam manajemen perubahan, seperti yang ditunjukkan dalam leadership transformasional, adalah sebuah penggerak bagi leadership strategis. Tujuan kinerja dari leadership strategis adalah tujuan tradisional seperti efisiensi dan efektivitas, tapi emphasisnya adalah mengidentifikasi kebutuhan dan peluang akan perubahan, dan melakukan itu secara efektif. Tujuan kinerja menekankan peran manajer senior dan mengedepankan peran kompetisi dalam memperluas pasar atau profit organisasi, dan memenangkan situasi dalam lingkungan yang mendesak dan rawan. 6. TEORI LEADERSHIP PERUBAHAN SOSIAL Leadership perubahan sosial memiliki literatur berbeda tapi semuanya difokuskan ke level terluas dari leadership sistem. Ini difokuskan ke pencapaian perubahan sosial dengan melakukan aksi kolektif untuk meraih kebaikan umum dan penyelesaian masalah publik, dengan memberikan perhatian ke strategi dan kompetensi yang membantu pembuatan keputusan kebijakan dan implementasinya. Ini terkesan anti heroik. Leadership perubahan sosial memiliki persamaan dengan teori nilai-etika dalam hal autentikitas aksi, “terpanggil” atau hasrat melayani, dan menekankan semangat moralitas daripada kompetisi, kesuksesan, pencapaian atau warisan personal, dan sebagainya. Meski begitu, teori leadership yang menitikberatkan etika adalah lebih universalistik, yang difokuskan lebih ke sumber aksi etika (bukan hasil), dan lebih berorientasi filosofi. Perubahan sosial bisa terjadi di banyak level, atau bisa ditangani secara abstrak. Tidak heran, ada beragam fokus berbeda. Contoh, di level politik nasional/internasional, ada ide James McGregor Burns tentang mentransformasi leadership (1978, 2003). Dia membedakan antara perubahan first-oder, yang sifatnya teknis, struktural, prosedural, wajib dan sebagainya, dan level perubahan yang lebih tinggi yang berisi sikap, keyakinan dan nilai. Perubahan kuantitatif bisa dibilang baik dan dibutuhkan, tapi kerja keras dari perubahan tersebut bersifat kualitatif, dan karena itu, cenderung bertahan lama. Beberapa leader bisa memperluas batasan nasionalnya, seperti yang dilakukan Presiden Polk, tapi lainnya adalah leader transformasi yang ingin menghasilkan sistem politik terbaik, seperti yang dilakukan Franklin D. Roosevelt ketika menata ekonominya untuk memproteksi masyarakat yang lemah. Literatur tentang gerakan sosial (Tilly, 1978, 2004) juga membahas leader berbeda seperti Mahatma Ghandhi, Mahmoud Ahmadinejad, Cesar Chavez, dan Jim Jones. Banyak pakar mempelajari perubahan sosial di level subnasional, regional atau lokal. John Gardner (1989), seorang pakar leadership yang mendirikan Common Cause, memberikan fokus lebih besar ke penyelesaian masalah publik. Lima skill leadership yang dipertimbangkannya adalah pembentukan kesepakatan, networking, penggunaan power non-jurisdiksi, pembentukan institusi, dan fleksibilitas. Heifetz (1994) menjelaskan proses lambat saat melakukan adaptasi agar bisa menjawab masalah masyarakat dalam sebuah [7] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif cara yang menyatukan masyarakat. Bryson dan Crosby (1992) menekankan perlunya kolaborasi dalam dunia power yang terbagi. Crosby dan Bryson mendiskusikan apa yang disebut leader integratif, yaitu “sebagai orang yang membawa kelompok dan organisasi menjadi bersama dalam cara yang semi-permanen – dan juga antar batasan sektor – untuk menyelesaikan masalah publik kompleks dan meraih kebaikan umum” (2010). Svara (1994) mempelajari gaya fasilitatif yang perlu digunakan walikota dan dewan legislasi. Luke (1998) memiliki perspektif sama, tapi mengangkat ide bahwa leader kolaboratif yang baik adalah katalis penting (jauh dari leader heroik). Pakar lain menfokuskan diri ke aktivis sosial yang menjadi anggota dewan, komisi, chambers of commerce, organisasi lokal, dan sebagainya, yang menginginkan perubahan positif (Chrislip dan Larson, 1994; Henton, Melville dan Walesh, 1997). Agranoff mempelajari perspektif network masyarakat (2006). Yang menggunakan perspektif network entrepreneurial adalah Goldsmith dan Eggers (2004), yang emphasis penelitiannya adalah public private partnership. Contoh awal dari perspektif perubahan sosial dalam setting administratif (bukannya kebijakan) dikemukakan oleh Cayer dan Weschler (1988; diupdate sebagai Cayer, Baker, dan Weschler, 2010), memberikan emphasis ke perubahan adaptif yang harus dilakukan manajer saat menceburkan diri ke rawa kebijakan. Ada perbedaan antara leader hirarkis tradisional dan leadership perubahan sosial (Silva dan McGuire, 2010) karena ini penting bagi kesuksesan leadership di dalam agensi federal (Fernandez, Cho dan Perry, 2010). Karena sebagian besar teori perubahan sosial difokuskan di level kebijakan, teori tersebut mengurangi emphasis ke manajemen general dan kompetensi administratif. Memahami proses politik dan kebijakan adalah sebuah faktor penting. Teori perubahan sosial juga dititikberatkan ke integritas personal karena kepercayaan selalu dibutuhkan untuk perubahan yang sukses, atau dibutuhkan untuk usaha untuk layanan publik dan memberikan sesuatu ke masyarakat. Pakar teori berpendapat bahwa penganut teori ini lebih tertarik menciptakan nilai publik dibanding nilai organisasi atau personal. Karena itu, teori perubahan sosial bisa anti-strategis. Pola pikir strategis berbicara tentang kompetisi, segmen pasar, kemenangan, kekayaan dan reputasi personal, dan sebagainya. Teori leadership perubahan sosial memberikan emphasis ke leadership kolaboratif, yang kadang disebut leadership fasilitatif, adaptif, integratif atau katalitik. Setidaknya ada lima elemen leadership kolaboratif yang disebut di teori ini. Pertama, ada egaliterisme. Ini bukan tentang ukuran kontribusi ke penyelesaian masalah publik di dalam partisipasi proses. Leadership perubahan sosial cenderung menolak prinsip hirarkis. Kedua, ada sensitivitas budaya. Semua masalah publik berisi banyak perspektif, apakah itu di level keragaman organisasi dan klien, atau di dalam perbedaan lintas-budaya. Ketiga, ada keterbukaan ke ide pihak lain. Leadership perubahan sosial menghasilkan komunikasi bottom-up yang melibatkan sebanyak mungkin konstituen. Idealnya, individu mau bekerja tanpa peduli dengan pujian personal atas kontribusinya ke kebaikan. Keempat, ada pertimbangan ke penciptaan konsensus. Membuat perubahan sosial dengan mayoritas sederhana bisa berarti bahwa kelompok besar akan kecewa atau marah, atau keduanya. Perasaan ini memunculkan kemungkinan benci dan pembahasan. Penciptaan konsensus membutuhkan waktu, kesabaran dan ketekunan saat merasakan opini berbeda. Semua pihak diharap ikut mempelajari perspektif berbeda agar menghasilkan skenario win-win, sehingga aspek penawaran dan kompromi bisa berkurang. Tidak ada kejelasan tentang hasil dari leadership perubahan sosial selain tujuan sosial lebih luas, apakah tujuan tersebut adalah mengurangi kemiskinan atau memperbaiki taman rusak. Yang penting adalah bahwa tetangga, pecinta olahraga, dan pihak kota selalu memiliki tujuan berbeda, [8] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif tapi untuk mencapai itu dibutuhkan kesepakatan bersama agar tidak menghasilkan kebencian. Ketika masalah publik didiskusikan, maka kompleksitas dan keterkaitan direview lebih jauh, dan ada periode ambiguitas panjang dalam cara meraih konsensus tentang cara bertindak. Sebuah perspektif perubahan sosial tergantung pada fokus ke masalah publik bukan fokus ke (1) efisiensi dan efektivitas administratif, atau (2) strategi sempit yang mengarah pada keuntungan organisasi atau personal. Karena itu, supervisor dan manajer yang mengurus muatan kerja dan panggilan bantuan dan juga memberikan berbagai layanan dalam operasi keseharian akan jarang terfokus ke perubahan sosial. Eksekutif sektor privat yang lebih tertarik dalam memaksimalkan profit atau eksekutif sektor publik yang melakukan pengurangan staff yang menyakitkan adalah yang cenderung memiliki perspektif internal dan self-interest. Kesuksesan leadership perubahan sosial banyak ditentukan bukan hanya oleh ada atau tidaknya integritas, tapi juga ada atau tidaknya kualitas leadership kolaboratif yang kuat. Kesuksesan leadership sosial adalah pada saat menyelesaikan masalah lokal, regional, nasional dan global dari masyarakat. Masalah ini bisa berupa pembangunan ekonomi lokal, masalah lingkungan regional, dilema nasional tentang perbaikan pendidikan, atau masalah global yang berkaitan dengan perkembangan nuklir. Kesuksesan ini dipandang sebagai integrasi berbagai tujuan dari banyak konstituen dalam proses pembentukan konsensus, apakah itu di level makropolitik (misal, Uni Eropa atau ASEAN), atau dalam network nonprofit lokal yang bekerja secara kooperatif dan berbagi dana. 7. TEORI LEADERSHIP KOMPLEKSITAS Teori kompleksitas didasarkan pada teori sistem adaptif yang chaos dan kompleks. Di sini, kita akan menfokuskan diri ke penjelasan teori kompleksitas oleh Uhl-Bien, Marion dan McKelvey (2007). Pertama, perspektif ini tidak mengasumsikan adanya lingkungan stabil seperti dalam kasus di model sistem tertutup, atau adanya lingkungan kompetitif moderat seperti di dalam model sistem terbuka tradisional, tapi mengasumsikan adanya lingkungan yang kompleks dan sangat trubulen. Organisasi harus melawan kompleksitas dengan kompleksitas, seperti dengan secara cepat membuat struktur dan menyesuaikan respon, produk dan layanan. Konteks bukanlah “variabel anteseden, mediator atau moderator; tapi ini adalah ambiensi yang menelurkan persona dinamis sebuah sistem”. Dalam kasus persona sistem kompleks, ini adalah sifat interaksi dan interdependensi antar agen (orang, ide, dst), divisi hirarkis, organisasi dan lingkungan. Kedua, leadership dikembangkan sebagai proses, bukan aktivitas yang dijalankan oleh individu. Teori leadership kompleksitas menunjukkan tiga gaya leadership primer yang dijalankan pada basis rotasi saat dibutuhkan. Ketiganya harus dijalankan agar leadership kompleksitas bisa efektif, tapi karena ini adalah pendekatan berorientasi-proses, maka anggota berbeda dari organisasi memiliki peran berbeda. Tipe pertama dari leadership kompleksitas adalah leadership administratif, yang “didasarkan pada prinsip birokratik tradisional, seperti hirarki, kecocokan dan kontrol”. Meski banyak organisasi kontemporer muncul dalam lingkungan berbeda yang membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas optimal, ini bukan berarti bahwa fungsi tradisional dari manajemen sumberdaya manusia sampai rantai komando akuntabilitas akan berhenti. Leader administratif akan menetapkan tujuan, melakukan perencanaan, membangun visi, mendapatkan sumberdaya, menangani krisis, dan menjalankan strategi organisasi. Kedua, leadership adaptif adalah “dinamika interaktif emergent yang membuahkan hasil dalam sebuah [9] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif sistem sosial. Ini adalah gerakan perubahan kolaboratif yang muncul secara non-linear dari pertukaran interaktif, atau khususnya, dari “ruang antar agen”. Kreativitas, fleksibilitas dan perubahan yang terjadi dari leader adaptif berasal dari proses dinamika kompleks, bukan aksi individu. Terakhir, leadership pendukung bisa memunculkan kondisi yang mengkatalisis leadership adaptif dan memberikan peluang terjadinya kreativitas dan perubahan. Leadership pendukung bisa terjadi di mana pun dalam organisasi, tapi seringkali di manajemen tengah. Ini beroverlap dengan leadership administratif yaitu dengan merubah fokus atau pertimbangan interaksi dari kontrol dan perintah ke responsivitas, fleksibilitas dan kreativitas. Leadership pendukung berisi tensi yang terbentuk antara leadership administratif dan adaptif, dan antara hirarki dan network, dalam cara yang membuat proses adaptif tidak lagi terhambat oleh kebutuhan akan akuntabilitas dan linearitas. Karena itu, teori menyatakan bahwa kebutuhan birokratik tidak akan hilang, tapi menegaskan bahwa organisasi abad 21 bukan hanya menonjolkan pembelajaran, kreativitas dan perubahan, tapi juga menghabiskan banyak waktunya untuk memberikan kondisi pendukung dalam situasi perkembangan yang konstan. Beberapa faktor mempengaruhi kebutuhan dan kesuksesan leadership kompleksitas. Sebagai awal, teori kompleksitas menciptakan lingkungan sangat dinamis dimana perubahan konstan dalam pengetahuan, teknologi, kebutuhan konsumen, kompetisi dan sebagainya adalah karakteristiknya, dan itu penting. Diasumsikan bahwa organisasi dalam lingkungan kompleks harus memiliki kompleksitas yang dibutuhkan, bukan proses birokratik rigid yang tidak mampu berkembang secara cukup. Terakhir, kesuksesan organisasi dalam lingkungan ini tergantung pada penggunaan dan penyeimbangan tiga tipe leadership ini dalam skill yang sama, yaitu administratif, adaptif dan pendukungan. Tujuan kinerja berisi pemberian struktur dan proses organisasi yang mendukung kebutuhan birokratik, yang mensuplai kondisi pendukungan untuk pembelajaran, kreativitas dan adaptasi, yang menciptakan perubahan sukses, dan menciptakan sebuah organisasi yang mengakomodasi perubahan radikal atau inkremental. 8. TEORI KOMPETENSI LEADERSHIP Pendekatan kompetensi kontemporer memadukan pendekatan sifat klasik dengan pendekatan level-organisasi-multipel. Tepatnya, pendekatan kompetensi kontemporer lebih ingin membicarakan kompetensi standar mana yang dibutuhkan dan di situasi mana ini dibutuhkan. Supervisor, manajer, dan eksekutif bekerja dalam situasi berbeda. Contoh, supervisor dan eksekutif memiliki persamaan dalam skill, sifat dan perilaku yang membuatnya sukses, tapi mereka juga memiliki perbedaan penting. Meski keduanya memiliki kebutuhan akan kompetensi interpersonal, supervisor frontline menfokuskan diri lebih ke kompetensi tugas seperti perencanaan operasi, sedangkan eksekutif lebih terlibat dalam perencanaan strategis dan kolaborasi lintas-organisasi. Pendekatan kompetensi mencoba memberikan nomenklatur standar bagi kompetensi, atau memberikan definisi dan spesifikasi lebih jelas tentang sifat dan interaksi satu sama lain. Contoh yang digunakan di sini adalah siklus aksi leadership dari Van Wart (2004), yang mana ini sering digunakan dalam setting pelatihan dan terapan. Karena itu, siklus tersebut melihat leadership sebagai proses linear basis-kompetensi yang sering dirasakan leader baru. Leader, pada awalnya, harus menilai organisasi, batasannya dan kemampuan dirinya. Leader mulai menset tujuan dan menentukan prioritas. Aksi atau perilakunya dibentuk oleh tujuan strategisnya atau wadah bakatnya, yang bisa [10] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif didapatkannya lewat pengalaman, pendidikan dan bakat alam. Kesuksesan aksinya bisa mempengaruhi kinerja. Dengan mengkonsepkan proses ini sebagai rantai kausal, maka leader bertindak dengan menggunakan bermacam gaya. Ada sembilan gaya murni dan satu gaya gabungan. Seleksi gaya yang tepat didasarkan pada tiga variabel. Pertama, kebutuhan organisasi dan lingkungan bisa menghasilkan gaya berbeda. Leader frontline perlu sesering mungkin menggunakan gaya supportif. Chief Executive Officer harus menjadi pakar dalam bidang gaya eksternal. Meski semua leader membutuhkan beragam gaya, bauran gayanya bisa beragam menurut faktor seperti kebutuhan akan kontrol, perbedaan tujuan dan harapan kinerja, tipe motivator yang digunakan, dan tipe fokus leader yang ditekankan. Kedua, leader harus memeriksa batasan yang dirasakan dalam hal sumberdaya, power dan skill personal. Leader yang mentakeover sebuah divisi kinerja tinggi bisa pada awalnya menggunakan gaya laissez-faire ketika mereka mempelajari organisasi untuk menghasilkan perbaikan berskala kecil. Ketiga, prioritas leader bisa membentuk seleksi gaya. Seorang leader yang tertarik dengan pembentukan kapasitas jangka panjang lewat investasi dalam sumberdaya manusia bisa memperdalam gaya supportif, partisipatif dan delegatif. Seorang leader yang lebih tertarik dalam memenuhi kebutuhan lingkungan cepat untuk persaingan dan perubahan kebutuhan yang lebih besar selalu lebih mengandalkan gaya pencapaian, inspirasi, kolaboratif dan strategis. Kadar kesuksesan dari berbagai gaya yang dipilih dipengaruhi oleh karakteristik leader dan kualitas skill perilaku. Apakah mereka memiliki pengalaman dan praktek dalam penggunaan gaya ini? Apakah mereka memiliki kemampuan atau bakat alami bagi gaya yang digunakan? Apakah mereka memiliki kemampuan dan sikap yang tepat bagi tugas yang dijalankan? Karena itu, manajer dengan kompetensi tinggi, tapi dengan skill interpesonal dan leadership yang buruk, umumnya, akan berkinerja buruk. Situasi yang sama juga terjadi pada manajer yang memiliki skill leadership baik, tapi dengan pengalaman operasional kecil karena mereka perlu mengalihkan banyak waktu dan perhatian ke pembelajaran dasar, dan perlu mengandalkan pihak lain untuk melakukan penilaian pakar saat membuat keputusan manajerial. Ketika skill leadership dan kompetensi teknis mengalami peningkatan, kualitas berbagai gaya juga membaik bersama dengan kinerja keseluruhan. Kinerja ini bisa dinilai dari perspektif yang sangat berbeda, meski bukan eksklusif mutual. Efisiensi teknis membutuhkan efisiensi biaya dan efektivitas program. Kepuasan follower adalah hasil dari pengembangan, kompetensi dan inklusi dalam proses organisasi dan pembuatan keputusan. Kualitas keputusan sebagai sebuah variabel kinerja menitikberatkan pada keseimbangan berbagai kriteria termasuk keahlian leader dalam arena keputusan, pengetahuan follower, imparsialitas follower, kebutuhan akan ketepatan waktu, dan sebagainya. Yaitu, kualitas proses leadership (keputusan kualitas) sama pentingnya seperti hasil leadership seperti produktivitas atau kepuasan pegawai. Hasil kinerja lain adalah kadar kecocokan organisasi dengan lingkungan eksternal. Kecocokan yang buruk bisa terjadi karena disfungsionalitas internal seperti rigiditas organisasi atau apati ke kebutuhan klien, atau ini bisa terjadi karena ada perubahan dalam lingkungan yang menimbulkan mandat baru. Terakhir, kinerja bisa dinilai berdasarkan kemampuan organisasi dalam berubah dan fleksibel. Tipe variabel kinerja ini menjadi lebih penting dalam lingkungan dinamis atau turbulen. [11] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif 9. TEORI LEADERSHIP LEVEL-ORGANISASI-MULTIPEL (SINTHESIS HUNT) Hunt (1996) mempelajari perspektif vertikal tentang leader di level berbeda dalam organisasi dan lama waktu yang dibutuhkan untuk meraih perspektif organisasi yang lebih luas. Meski hanya mengemukakan tiga gaya leadership – yaitu leadership langsung, leadership organisasi, dan leadership sistem – ini semua diartikulasikan dengan jelas. Formulasi Hunt mengikuti pendapat Katz (1955) bahwa skill manajemen dibagi oleh level. Supervisor frontline untuk awalnya membutuhkan kompetensi teknis untuk menjalankan kerjanya. Setelah itu, mereka harus menguasai skill interpersonal dan memperluas skop teknis dari pengetahuannya. Sebagai manajer senior dan eksekutif, kebutuhan akan pengetahuan teknis bisa turun dan skill interpersonalnya merosot, tapi kebutuhan akan skill konseptual meluas ketika pemahaman perubahan pasarnya, ancaman jarak jauhnya, inovasinya di bidang lain, dan intervensi politiknya, bisa menjadi lebih penting dan harus diselesaikan leader. Leadership langsung berisi level produksi. Ini berisi prosedur administrasi atau operasi dan proses pelestarian skill dan perlengkapan individu dan kolektif. Leadership organisasi berisi integrasi ke atas untuk elemen organisasi bawahan agar cocok dengan tujuan dan misi organisasi. Ini berisi operasi, interpretasi dan translasi subsistem atau program yang mengarah ke bawah. Leadership sistem berisi pengembangan misi dan artikulasi tujuan. Selain itu, manajemen sistem membutuhkan pengembangan strategi, prinsip operasional, dan/atau pengembangan kebijakan. Eksekutif bertanggungjawab ke desain keseluruhan sistem dan subunit, atau juga ke operasi dan kontrol lebih luas dari perencanaan sistem sentral untuk fungsi seperti budget, informasi, personel dan sebagainya. Gaya yang tepat adalah fungsi tempat seseorang di dalam hirarki. Eligibilitas bagi posisi yang lebih senior berhubungan erat dengan pertimbangan senioritas karena maturitas yang dibutuhkan leadership organisasi dan sistem. Setelah seleksi ke posisi leadership, maka kadar kesuksesan seorang leader dimoderasi oleh empat faktor. Kapasitas individu berisi latarbelakang dan preferensi, yang dalam hal ini sama seperti sifat dan skill yang dideskripsikan di teks. Hunt melihat kompleksitas kognitif dan kognisi sosial sebagai skill leader yang membedakan leader di level berbeda. Dia menjelaskan skill leadership yang lebih standar yang sifatnya transaksional dan transformasional. Skill ini membantu leader memediasi antar kebutuhan eksternal, di satu pihak, dan kebutuhan unit atau organisasi dan follower, di lain pihak. Sebuah faktor moderasi adalah kemampuan leader dalam mengekspresikan dan mengolah nilai organisasi atau subunitnya. Nilai ini kemudian dipengaruhi oleh nilai sosial dan budaya di dalam lingkungan. Hunt menegaskan bahwa kinerja bisa dilihat dari banyak perspektif. Ada empat di sini. Pertama, kinerja dilihat sebagai pencapaian tujuan konkrit atau pencapaian hasil spesifik seperti profitabilitas. Perspektif ini berguna di level operasional. Kedua, kinerja bisa dilihat sebagai pencapaian tujuan strategis atau kemampuan mendapat sumberdaya yang dibutuhkan agar organisasi bisa survive dan terus berusaha. Perspektif ini berguna bagi eksekutif dan manajer senior dalam sebuah lingkungan yang sarat kompetisi dan independensi. Pendekatan aliansi-strategis memberikan emphasis ke perlunya memuaskan stakeholder kunci. Perspektif ini difokuskan ke pendekatan kompetisi dan kolaboratif atau ko-optatif. Terakhir, kinerja harus dianalisa berdasarkan nilai yang bersaing. Perspektif ini menitikberatkan pada kemampuan menyesuaikan nilai organisasi dengan lingkungan di berbagai level dan tipe kebutuhan untuk menghasilkan stabilitas, [12] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif perubahan, produksi, pertumbuhan dan perkembangan sumberdaya manusia ketika harus berubah seiring waktu. Secara keseluruhan, delapan teori “integrasi” berbeda ini menyederhanakan konsep kompleks yang digunakan pada banyak tujuan. Penyederhanaan tetap dibutuhkan tanpa melihat seberapa baik tradeoff teoritis dan terapannya, yang beragam dari level abstraksi sampai level aplikasi. Shared leadership dan leadership integratif Chemers melakukan proses yang baik dalam mendeskripsikan interaksi leadership dengan follower di setting organisasi, tapi mengabaikan peran leadership kontekstual yang lebih luas. Teori transformasional lebih sempit menjelaskan perlunya leader dinamis, sedangkan teori Bass full-range memadukan elemen transaksional dan transformasional. Teori transformasional yang sempit terlalu menekankan perubahan dan kepribadian, sedangkan teori Bass terlalu abstrak untuk digunakan di berbagai setting terapan dan terlalu universalistik untuk memandu agenda penelitian. Teori leadership strategis baru berisi lebih dari sekedar strategi kompetitif dari eksekutif, tapi ini tidak boleh terlalu luas karena bisa kehilangan dalilnya dalam mempelajari dunia perebutan sumberdaya, keterkenalan dan keberuntungan. Di ujung lain dari spektrum kompetitif-kolaborasi, leadership perubahan sosial melakukan pekerjaan sempurna dalam menjelaskan peran leadership dalam meraih masyarakat yang lebih baik dengan memadukan faktor preskriptif dan deskriptif. Leadership kompleksitas memadukan fokus strategis dan kolaborasi, dan menjalankan fungsi leadership tradisional, yang semuanya dalam lingkungan dinamis, tapi ini sangatlah abstrak dan filosofi. Kompetensi leadership komprehensif ibarat memberikan sebuah daftar deskripsi kompetensi yang dibutuhkan bagi praktisi. Tapi setelah daftarnya berisi spesifisitas situasi, daftar tersebut menjadi ensiklopedik dan kurang “ramah user”. Teori level-organisasi-multipel dari Hunt berasal dari keyakinan panjang bahwa leader di level organisasi berbeda cenderung menggunakan campuran kompetensi berbeda, tapi ini juga terlalu relatif abstrak. Membandingkan integrasi teori yang didasarkan pada dalil gaya leadership dan mengelompokkan gaya menurut pendapat Hunt, yaitu tipe leadership langsung, organisasi dan sistem. 10. KESIMPULAN Tidak mudah mengintegrasikan teori leadership ke dalam perspektif level makro, dan nilai terkaitnya harus ditimbang. Berapa banyak perspektif yang harus ditangkap? Jika ini banyak, haruskah teori bisa sangat elegan, dan karena itu, apakah itu sangat abstrak? Haruskah itu komprehensif, dan karena itu, apakah itu detail, multi-dimensi dan kompleks? Haruskah ini dibatasi ke perspektif sistem tertutup, dan apakah difokuskan ke dimensi leader-follower, atau haruskah ini difokuskan ke perspektif organisasi atau ke perspektif sistem? Haruskah itu deskriptif dan non-normatif, atau preskriptif dan normatif? Shared leadership difokuskan ke perspektif sistem tertutup yang memadukan leadership hirarkis tradisional dengan leadership yang memberdayakan, leadership tim dan self-leadership. Pendekatan integratif Chemers adalah pendekatan sistem tertutup yang difokuskan ke fungsi strukturasi dan konsiderasi tradisional (dualitas tugas dan orang), sekaligus memadukan prominensi atau pertimbangan ego dari leader dan yang dipimpin. Bentuk sempit dari leadership transformasional difokuskan ke visi atau karisma, dan karena itu, bukan bersifat integratif. Teori leadership full-range Bass adalah inklusif bagi leadership transaksional dan transformasional. Meski begitu, teori leadership full-range sangatlah abstrak dan universal. Leadership strategis difokuskan ke level organisasi, yaitu [13] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif dalam pembelajaran yang pintar dan tindak lanjut yang tegas di lingkungan kompetitif (fungsi absorptif dan adapatif), sekaligus menggunakan kearifan manajerial untuk mendapatkan timing yang benar dan melakukan operasi secara bijak. Di lain pihak, leadership perubahan sosial difokuskan ke aspek kolaboratif dari lingkungan sistem, yang menempatkan nilai publik berada di depan dan di pusat. Teori kompleksitas juga mengedepankan pendekatan sistem, khususnya keragaman dinamis yang membutuhkan perubahan radikal. Ini berarti bahwa organisasi harus kompleks seperti lingkungannya, dan ini harus mengukur jumlah perubahan yang dibutuhkan dan harus difungsikan sebagai network kohesif. Pendekatan kompetensi leadership komprehensif adalah lebih deskriptif dan nonnormatif dibanding pendekatan lain. Ini dijadikan kompendium dari gaya dan kompetensi paling tipikal, dan memberikan taksonomi seragam untuk membuat penilaian tentang kelas situasi yang menitikberatkan beberapa gaya dan kompetensi. Ini sangat populer di dalam dunia korporat dan agensi karena dalil terapannya. Hunt mempelajari level skill berbeda yang dibutuhkan berdasarkan apakah ini bisa memberikan leadership langsung, organisasi atau sistem. Analisisnya berisi kearifan manajemen yang memiliki rentang waktu 50 tahun, dan ini beroverlap dengan pendekatan kompetensi leadership yang dari situ, situasinya dicocokkan dengan tempat leader di organisasi di dalam hirarki. Kesimpulan ini mengakhiri review teori dan pendekatan leadership. Kita akan beralih ke pemeriksaan teori leadership terapan, yang mengulas elemen peran dan kompetensi leader. TUGAS DAN DISKUSIKAN KELAS 1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa REFERENSI Avolio (2007); Bennis (2007). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Bass (1985); Chemers (1997). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Boal dan Hooijberg (2001); James Mc Gregor Burns (1978-2003); Polk, Franklin D., Tilly (1978 - 2004); John Garder (1989); Heifetz (1994); Bryson dan Crosby (1992 – 2010). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Chemers (1997); Tichy dan Devanna (1986); Conger (1989); Barnard Bass (1985); Hammer dan Champy (1993); Burns (1978). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart [14] 2012 Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Integ ratif (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Pearce dan Conger (2003a); Tichy dan Devanna (1986); Conger (1989); Boal dan Hooijberg (2001); Crosby dan Bryson (2010); Uhl-Bien, Mariondan Mc Kelvey (2007); Van Wart (2004); Hunt (1996). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Senge (1990); Houghton, Neck, dan Manz (2003); Locke (2003). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Silva dan Mc Guire (2010); Fernande, Cho dan Perry (2010). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Svara (1994); Luke (1998); Chrislip dan Larson (1994); Henton, Melville dan Walesh (1997); Agranoff (2006); Goldsmith dan Eggers (2004); Cayer dan Weschler, Baker (1988 2010). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Uhl-Bien, Marion dan Mc Kelvey (2007). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. Van Wart (2004), Hunt (1996); Katz (1955). Teori Integratif. Dalam Montgomery Van Wart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe. Armonk New York. London. England. [15]