- Unpad Repository

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah proses penyelenggaraan memilih untuk
pemilihan umum (pemilu) secara langsung di tingkat lokal untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah di setiap provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur), Kabupaten (Bupati/Wakil
Bupati),dan Kota (Walikota/Wakil Walikota) yang diselenggarakan secara demokratis oleh
KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil.
Dasar hukum pelaksanaan Pilkada adalah: (1) UUD 1945 Hasil Amandemen; (2) UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang beberapa pasalnya telah diubah
dengan Perpu Nomor 3 Tahun 2005); dan (3) PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(yang beberapa pasalnya telah diubah dengan PP Nomor 17 tahun 2005).
Pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada adalah semua pihak atau semua komponen
dimana: KPUD sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan Pilkada; Panwasda
yang mengawasi pelaksanaan Pilkada; Partai Politik yang mengajukan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah; Pemerintah Daerah dan DPRD yang mengalokasikan anggaran
biaya Pilkada yang dituangkan dalam APED; Masyarakat/rakyat yang menjadi pemilih untuk
menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada.
Kriteria keberhasilan Pilkada adalah: Proses penyelenggaran Pilkada dilaksanakan
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku; Proses penyelenggaraan. Pilkada
berlangsung dengan lancar, aman, damai dan tertib; dan. Proses penyelenggaraan Pilkada
menunjukkan adanya keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pililinya.
Partisipasi masyarakat dalam Pilkada sangat penting karena masyarakat adalah
stakeholder yang paling utama dalam penyelenggaraan Pilkada. Semakin banyak masyarakat
menggunakan hak pilihnya, maka semakin bagus-paling tidak secara kuantitas-bobot
penyelenggaraan Pilkada.
Meskipun di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat yang kadar demokrasinya
relatif tinggi, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya kurang lebih 60%, dan juga
dalam peraturan perandang-undangan di Indonesia belum diatur aturan minimal penggunaan
hak pilih dalam Pilkada, namun secara sosiologis-politis, semakin besar keterlibatan
masyarakat
dalam,
penggunaan
hak
pilih
akan
semakin
mendukung
suksesnya
penyelenggaraan. Pilkada.
Sebagai catatan, di Kabupaten Bekasi, yang pada tahun lalu menyelenggarakan.
Pilkada untuk memilih Bupati dan. Wakil Bupati Bekasi, jumlah pemilih yang menggunakan
hak pilihnya hanya berkisar 53%, sehingga hal ini memberikan garnbaran bahwa masyarakat
di Kabupaten Bekasi cenderung untuk tidak melibatkan diri dalam penyelenggaraan Pilkada.
Kenyataan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosialisasi yang kurang
intensif dan kecenderungaii pemilih yang menilai Pilkada tidak akan menentukan nasib
mereka (pernilih pasif).
Agar
pelaksanaan
Pilkada
mengalami
keberhasilan,
dimana
pemilih
yang
menggunakan hak pilihnya semakin besar, maka yang harus dilakukan adalah: Memberikan
pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang anti pentingnya Pilkada, melalui
sosialisasi; Memberikan pendidikan dan pelatihan tata cara pemilihan dan pencoblosan dalam
pilkada, melalui simulasi; dan memberikan penjelasan dan pandangan perlunya kedewasaan
politik masyarakat dalam menerima hasil-hasil Pilkada.
Dalam konteks Kota Sukabumi, pada bulan Maret 2008 ini, akan diselenggarakan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadal). Pilkada
secara langusng ini baru pertama kali dilaksanakan di Kota Sukabumi sehingga memerlukan
berbagai persiapan, khususnya kesiapan masyarakat dalam merespon penyelenggaraan
Pilkada di Kota Sukabumi Tahun 2008. Meskipun secara geografis sangat kecil, namun
secara demografis jumlah pemilih yang terdaftar untuk sementara relatif besar, yakni di atas
205 ribu pemilih. Bandingkan dengan Kota Cirebon, yang hanya berkisar di atas 200 ribuan
pemilih.
Sebagai “hajatan” akbar rakyat, berbagai persiapan kelihatan telah dilakukan oleh
stakeholders di Kota Sukabumi, khususnya KPUD sebagai penyelenggara proses Pilkada
dalam menyelenggarakan berbagai langkah persiapan menuju tahapan pelaksanaan Pilkada.
Keberhasilan pelaksanaan Pilkada Kota Sukabumi sangat ditentukan oleh dukungan seluruh
pihak, mengingat baru pertama kalinya, Kota Sukabumi melaksanakan proses Pilkada secara
langsung.
Seperti layaknya Pilkada di daerah lain, Pilkada Kota Sukabumi yang akan digelar
tentunya akan menyebabkan suhu politik menjadi menghangat, meskipun diharapkan tidak
sampai memanas. Di tingkat elit, sudah dapat dipastikan akan lahir polarisasi antar elit
sehubungan dengan calon yang diusung masing-masing partai politik. Di tingkat grass
rootlakar rumput, tidak bisa dielakkan akan muncul fragmentasi dukungan dan pilihan politik
masing-masing individu dan kelompok terhadap calon-calon yang akan bertarung dalam
Pilkada.
Partisipasi politik pemilih dalam penyelenggaraan Pilkada sangat penting dan krusial
sehingga secara kuantitas ada hipotesis yang mengatakan bahwa semakin besar partisipasi
masyarakat dalam Pilkada, maka semakin besar peluang terciptanya tatanan politik
demokratis yang dihasilkannya. Walaupun secara kualitas, masih diperdebatkan apakah
besarnya partisipasi masyarakat tersebut karena kesadaran diri atau mobilisasi.
Kesadaran diri atau mobilisasi masyarakat pemilih dalam Pilkada sebenarrya sangat
tergantung pada pendidikan pemilih (voter education) yang dilakukan menjelang pelaksanaan
Pilkada. Biasanya saat mendekati penyelenggaraan Pilkada, pendidikan pernilih marak
dilakukan oleh penyelenggaraa pihak. Aliran dana mengucur deras dari lembaga pemerintah,
lembaga non pemerintah dan lembaga funding internasional yang disalurkan kepada pihak
penyelenggara pendidikan pemilih. Tujuannya agar supaya masyarakat pemilih tahu, paham
dan sadar akan hak politiknya sehingga dengan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam
prosesi Pilkada.
Oleh karena itu, saga sebagai dosen Jurusan Ilmu Pernerintahan. Fakultas Ilmu Sosial
dan Iimu Politik Universitas Padjajaran melakukan penelitian dengan judul “Responsivitas
Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008”.
B. Identifikasi Masalah
Pertama, Pada saat Pilkada tahun 2008 masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada
hal yang cukup membingungkan, karena munculnya beragam pilihan yang menyangkut
aneka ideologi/asas, warns benders, program dan slogan partai politik yang mengusung calon
Walikota Sukabumi. Bahkan dari empat pasting calon yang diusung tersebut sebagian besar
masih belum dikenal luas masyarakat Kota Sukabumi;
Kedua, Menjelang pilkada tahun 2008, masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada
trauma pemilu legislatif tahun 2004, dimana anggota DPRD Kota Sukabumi ada yang
memiliki atau terlibat kasus tertentu: seperti ijzah palsu, tindak korupsi dan skandal;
Ketiga, Akumulasi kekecewaan publik, dimana sebagaian besar masyarakat merasa
sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu melaksanakan
tugas dan kewajibannya, sehingga kecenderungan untuk tidak merespon pilkada cukup besar.
C Pokok-Pokok Permasalahan
Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok Permasalahan
yang akan diteliti, yaitu:
1. Bagaimana respon pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008.
2. Untuk mengeksplanasikan faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada) di Kota Sukabumi
Tahun 2008.
E. Manfaat Penelitian
1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi stakeholders, penentu kebijakan dalam rangka
mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung
(Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008;
2. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kota Sukabumi dalam mendukung
suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota
Sukabumi Tahun 2008.
F. Kerangka Pemikiran
Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam
fungsi azasinya sebagai wahana pembentukan representative government. Berlangsungnya
pemilu sebagai wahana representative government dan sebagai metoda pemerintahan, telah
melibatkan berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan
komponen bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tataran infrastruktur
politik. Masing-masing berproses dalam memilih sebagian dan anggota masyarakat.
Kajian mendalam tentang pemilihan umum menurut Laboratorium Ilmu Politik Fisip
UI selalu terpusat pada dua sistem pernilu universal yakni sistem proporsional dan sistem
distrik serta beberapa variannya, dimana baik sistem proporsional maupun distrik keduaduanya diatur dalam dua elemen dasar pemilihan umum yakni electoral laws dan electoral
proces. Electoral laws membahas tentang aturan dasar pemilu yang berlaku secara universal
baik rumusan tentang tujuan dan fungsi maupun aturan dasar mekanisme pemilu serta
struktur pemilu itu sendiri. Sedangkan dalam electoral proces membahas tentang sistem
struktur dan prosesnya1.
Mencermati praktik pemilu dalam sistem pemerintahan Indonesia, LIP Fisip UI
memberikan adanya dua sinyelemen tujuan pemilu, yaitu pemilu sebagai formalitas politik
dan pemilu sebagai alat demokrasi. Sebagai formalitas politik, pemilu dijadikan alat legalisasi
pemerintahan non demokratis. Kemenangan suatu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa
kekuasaan ketimbang hasil pilihan rakyat. Sedangkan sebagai alat demokrasi, pemilu
dijalankan secara jujur, bersih, adil, bebas dan kompetitif.
Jika pelaksanaan pemilu demokratis, maka tujuan dan fungsi pemilu akan tercapai,
tetapi jika proses pemilu tidak demokratis atau sebatas sebagai formalitas belaka maka akan
menimbulkan ekses atau dampak negatif bagi kualitas dan kinerja lembaga perwakilan
rakyat. LIP Fisip UI melaporkan temuan penelitiannya, bahwa salah satu akses, pernilu
adalah langsung berhubungan dengan kinerja lembaga legislatif2.
Liddle berpendapat bahwa: Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering
dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan
oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa, dan memenuhi
persyaratan menurut undang-undang dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen,
termasuk para pimpinan pemerintahan3.
Berdasarkan pendapat dari Liddle tersebut tersirat bahwa dalam menjalankan suatu
roda pemerintahan, dibutuhkan suatu keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan
yang diperintah. Upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis tersebut, pemerintah
Indonesia melakukan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan pemilu, sebagai respon atas
tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Dalam menganalisis responsivitas pemilih, dapat menggunakan analisis perilaku
1
LIP Fisip UI, 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru. Jakarta: Press, hlm 5
LIP Fisip UI, op.cit, hlm 17
3
Liddle R, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, hlm 41
2
pemilih yang dapat digunakan, yaitu model sosiologis, psikologis, dan rasional (Asfar, 2006).
Pertama, model sosiologis. Di lingkungan ilmuwan sosial di AS, model sosiologis
awalnya dikembangkan oleh mazhab, Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral
Behavior. Model ini menjelaskan bahwa karaktenstik sosial dan pengelompokanpengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan
perilaku memilih seseorang. Model sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa perilaku
pemilih dalam tanggapan politiknya adalah status sosio-ekonomi dan afiliasi sosio-religius.
Model ini mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga,
dan hubungan emosional yang dialami oleh pemilih secara historic. Adalah sesuatu yang
sangat vital dalam memahami perilaku politik pemilih, karena karakter kelompok-kelompok
inilah yang mempunyai peranan besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi
seseorang.
Kedua, model psikologis. Model psikologis ini dikembangkan oleh mazhab Michigan,
The Michigan Survey Research Center. Model ini melihat sosialisasi dan internalisasi sebagai
determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan hanya karakteristik sosiologis.
Model ini menjelaskan bahwa sikap pemihh merupakan refleksi dan kepribadian seseorang
yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
pemilih. Model ini memprioritaskan pada tiga pilar psikologis, yaitu ikatan emosional pada
partai politik, orientasi terhadap isu/progrann, dan orientasi terhadap kandidat/calon. Pendek
kata, kandidat yang terpilih akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan figur
mencitrakan diri dan merekatkan diri dengan pemilih melalui berbagai media yang tersedia.
Ketiga, model pilihan rasional (rational choice). Model ini ingin melihat perilaku
pemilih sebagai produk kalkulasi untung-rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu
mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang
dipilihnya. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung-rugi dari
tindakannya dalam memilih calon. Sebuah pilihan tindakan dikatakan “menguntungkan” bila
ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan basil dari tindakan tersebut lebih rendah dari
basil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan disebut “rugi” bila ongkos untuk
mendapadkan basil itu lebih tinggi nilainya ketimbang basil yang diperoleh.
Di samping tiga model yang dikemukakan oleh Asfar di atas, Dennis Kavanagh
(1983) dalam buku Political Science and Political Behavior, menyatakan bahwa terdapat lima
model untuk menganalisis perilaku pemilih, yakni model struktural, sosiologis, ekologis,
psikologi sosial, dan pilihan rasional.
Kepada siapakah pemihh menjatuhkan pilihannya? Tidak seorang pun futurolog
politik yang dapat memastikan hal ini. Adman Mursal, penulis buku Political Marketing:
Strategi Menenangkan Pemilu, terbitan tahun 2004, menguraikan sejumlah orientasi pemilih
dalam. pemilu.
Pertama, orientasi agama. Mengutip pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh
Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious sangat berkorelasi terhadap perilaku pemilih.
Pemlih yang santri akan cenderung memilih calon yang diusung partai berlabel agama
(Islam), sedangkan pemilih yang abangan akan cenderung memilih calon yang diusung oleh
partai berlabel nasionalis.
Kedua, orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Biasanya, pilihan politik pemilih
sangat ditentukan oleh status sosial pemilih di tengah masyarakat. Lapisan sosial masyarakat
di tingkat bawah akan berkecenderungan berbeda pilihannya politiknya dengan lapisan sosial
masyarakat di inmgkat menengah dan atas.
Ketiga, faktor kepemimpinan. Pengaruh kepemimpinan (leadhership) calon kepala
daerah akan berkorelasi positif terhadap orientasi perilaku pemilih. Pemilih akan cenderung
mendasarkan pilihannnya pada pertimbangan apakah calon kepala daerah memiliki nilai-nilai
kepemimpinan yang visioner atau tidak. Gaya kepemimpinan yang populis, akomodatif dan
demokratis biasanya akan sangat mempengaruhi onentasi pemilih.
Keempat, faktor identifikasi. Dihadapkan pada pilihan politik, orientasi mmilih
cenderung mempertimbangkan untak melihat persamaan identitas antara pemilih dan yang
dipilih. Artinya, perilaku pernilih akan mempertimbangkan apakah calon kepala daerah
memih identitas yang sama dengan identitas pemilih. Identitas ini bisa berupa persamaan
politik, ekonomi, atau sosial budaya.
Kelima, orientasi isu/program. Meskipun masih relatif sedikit, perilaku pemilih ada
yang didasarkan pada isu/program. Kecenderungan untuk memilih berdasarkan orientasi
program atau isu biasanya terdapat dalam pemilih yang sudah dewasa dan matang secara
politis. Orientasi pemilih jenis ini akan melihat apakah program yang ditawarkan calon
Kepala Daerah menguntungkan atau justru akan merugikan dirinya.
Keenam, orientasi kandidat. Di mata pemilih, kandidat calor. Kepala Daerah akan
sangat menentukan pilihan politiknya. Biasanya, pemilih akan melihat track record,
kompetensi, moralitas, mentalitas, popularitas, dan kinerja kandidat. Orientasi-pemilih akan
mempertimbangkan apakah kandidat berasal dari birokrat, pengusaha, tokoh masyarakat
ataupun kalangan TNI/Polri. Kandidat yang menjadi public figure biasanya cenderung
menjadi pilihan pemilih.
Ketujuh kaitan dengan peristiwa. Kandidat yang diajukan kaitamya dengan peristiwa
yang menimpanya akan mempengaruhi pikiran dan perilaku pemilih. Pemilih cenderung akan
bersimpati dan memilih kandidat yang dicitrakan dalam. kondisi “menderita” karena di
“siksa” oleh rezim yang berkuasa. Hal ini bisa melahirkan simbolisasi dan representasi
kondisi pemilih dari kalangan bawah sehingga mendorong untuk menjatuhkan pilihannya
pada kandidat yang bersangkutan.
G. Metode Penelitian
Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini, dengan mengkombinasikan analisis
data kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1)
wawancara, terhadap para stake holder yang relevan, khususnya tokoh masyarakat di masingmasing kecamatan; 2) Observasi terhadap obyek penelitian; 3) Kuesioner yang dibagikan
kepada responden untuk diisi; dan 4) Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah
serta menganalisas literatur baik berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah baik itu
jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang dikaji.
Penentuan sampel berdasarkan stratified random sampling. Teknik sampling yang
digunakan secara garis besar menggunakan rumus slovin, yaitu:
n
𝑁
=
𝑁(0,05)2 +1
=
353389/876
=
403.4121004566210045662100456621
=
400
Jika asumsi N (pemilih) berjumlah 206.000 orang, maka jumlah responder survei ini
sebanyak 400 responden. Namun agar hasilnya lebih representatif, maka dalarn penelitian ini
menggunakan ukuran sampel sekitar 700 orang calon pemilih.
-
Tingkat kepercayaan 95%, dengan presisi 5%
-
Karakteristik responden didasarkan pada pekerjaan, yakni: PNS, Pegawai Swasta, Buruh,
Mahasiswa/Pelajar, dan Umum
-
Wilayah responden dibagi di masing-masing kelurahan, dimana terdapat 33 Kelurahan di
Kota Sukabumi
H. Waktu Penelitian
Kegiatan ini dilaksanakan dalam waktu 8 (delapan) minggu, dengan rencana
pelaksanaan dari Minggu I sampai dengan Minggu VIII pada bulan Januari/Februari 2008.
Rincian jadwal kegiatan sebagai berikut:
Jadwal Kegiatan
No.
Kegiatan
1
Persiapan
2
Pelaksanaan
3
Rapat Facilitating
4
Konsultasi/Koordinasi
5
Presentasi/Seminar
6
Pelaporan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
I. Pelaksana Kegiatan Penelitian
Pelaksana kegiatan penelitian ird dilakukan secara individu oleh says sebagai Jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP-UNPAD yang dibantu oleh 3 (tiga) prang surveyor dari mahasiswa
Jurusan 11mu Pemerintahan FISIP-UNPAD.
J. Sistematika Laporan Akhir
Sistematika laporan akhir penelitiar, ini adalah sebagai berikut:
Bab
I
Pendahuluan
Bab
II
Tinjauan Pustaka
Bab
III
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Bab
IV
Analisis Hasil Penelitian
Bab
V
Penutup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindakan dan Pemberian Suara
Pendapat Nimmo, ada empat cara alternatif dalam pemikiran bagaimana memberi
suara bertindak yaitu:
1. Pemberi suara yang rasional
2. Pemberi suara reaktif
3. Pemberi suara responsif
4. Pemberi suara aktif
Pertama, pemberi suara yang rasional. Menurut Louise Anthony Dexter (1996) dalam
bukunya The Sociology and Politics of Cangress yang dikutif oleh Dan Nimmo dalam
Political Communication and Public Opinion in America mengatakan bahwa: Pemberi suara
yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter
personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara yang rasional adalah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Selalu dapat mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif;
2. Memilih alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja,
atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain;
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A lebih disukai daripada B, dan
B daripada C, maka A lebih disukai daripada C;
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; dan
5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang
sama.
Dari ciri-ciri tersebut terlihat bahwa gagasan tersebut menetapkan persyaratan yang
ketat untuk memberikan kualifikasi sebagai pemberi suara yang rasional. Berelson dan
kawan-kawannya melalui tulisannya yang berjudul “voting” mengemukakan pendapatnya
berkenaan dengan kualifikasi pemberi suara yang rasional dengan pernyataan sebagai berikut:
“Pemberi suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada pilihan
politik, berminat secara aktif terhadap politik sehingga memperoleh cukup informasi dan
berpengetahuan tentang berbagai alternatif, berdiskusi tentang politik sebagai cara untuk
mencapai suatu peringkat alternatif, dan bertindak berdasarkan prinsip, bukan secara
kebetulan, atau serampangan, atau impulsif, atau kebiasaan, melainkan hanya berkenaan
dengan standar tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
umum”.
Kedua, pemberi suara yang reaktif. Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif
adalah diturunkan dari asumsi fisikalistik bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan
dengan cara pasif dan terkondisi. Dalam kampenye politik, kandidat dan partai menyajikan
isyarat yang menggerakan para pemilih dengan memicu faktor-faktor jangka panjang yang
menetapkan arah perilaku memberikan suara. Faktor-faktor jangka panjang tersebut terutama
adalah faktor-faktor sosial dan demografi seperti pekerjaan, pendidikan, pendapatan, usia,
jenis kelamin, ras, agama, wilayah tempat tinggal dansebagainya. Di samping faktor-faktor
sosial dan demografi pada studi-studi tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an menambahkan
konstruksi mentalistik (sikap, predisposisi, identifikasi, kesetiaan, dan sebagainya) sebagai
variabel perantara dalam urutan penyebab-akibat.
Ketiga, pemberi suara yang responsif. Ilmuan politik Gerald Pomper membuat
gambaran tentang pemberi suara yang responsif sebagai berikut: apabila karakter pemberi
suara yang reaktif itu tetap, stabil, dan kekal, maka karakter pemberi suara yang responsif
adalah inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubahrubah terhadap pilihan para pemberi suara. Ada perbedaan lain menurut Pomper yang
membedakan suara yang responsif dan reaktif:
1. Meskipun pemberi suara yang responsif itu dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan
demografis mereka, pengaruh yang pada kahekatnya merupakan atribut yang permanen
ini tidak diterministik.
2. Pemberi suara yang responsif juga memiliki kesetiaan kepaa partai, tetapi afiliasi ini tidak
menentukan perilaku pemilihan. Identifikasi partai bagi pemberi suara yang responsif
justru dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan isu yang dipandang dapat membantunya
dalam membuat pilihan.
3. Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka pendek yang penting
dalam pemilihan umum tertentu daripada oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok
dan atau kepada partai.
Dengan demikian pemberi suara yang responsif menurut Pomper dikutipnya dari
pendapat V.O Ke, Jr, adalah “bukanlah gambaran tentang pemiih dibelenggu oleh determinan
sosial atau digerakkan oleh dorongan bahwa sadar yang dipicu propangandis yang luas biasa
terampilnya. Ia lebih merupakan gambaran tentang pemilih yang digerakkan oleh
perhatiannya terhadap masalah pokok dan relevansi tentang kebijakan umum, tentang prestasi
pemerintah, dan kepribadian eksekutif.1
Keempat, pemberi suara aktif. Yang dimaksud pemberi suara yang aktif adalah
pemberi suara yang bertindak terhadap objek berdasarkan makna objek itu bagi mereka.
Dengan demikian individu yang aktif itu menghadapi dunia yang harus diinterprestasikan dan
diberi makna untuk bertindak bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya,
yang terhadapnya orang menanggapi karena sifat atribut dan atau sikap individu atau
rangsangan yang terbatas.
B. Pendekatan Perilaku Pemilih
Di awal sudah dijelaskan bahwa studi perilaku pemilih menurut Jack C. Plano adalah
dimaksudkan sebagai studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan
atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa
mereka melakukan pilihan itu.2 Pandangan lain mengenai perilaku memilih adalah diberikan
oleh Bone dan Raney. Menurut mereka perilaku memilih diartikan dnegan pernyataan
sebagai berikut: “In most study of voting behavior ....., voting behavior is pictures as having
the two dimension. Preference ......, can be used to measure his approval or disampproval of
Demokratic and Republican Parties, their percevies stands on issues, and the personal
quality of their candidate ......, Activity has six main categories: organization activities,
organization contributors, opinion leaders, voters, dan apolitical”3.
Dengan mengacu pada dua pandangan di atas, maka apa sebenarnya yang dimaksud
dengan perilaku memilih menjadi lebih jelas. Perilaku memilih adalah tingkahlaku atau
tindakan individu dalam proses pemberian suara dalam penyelenggaraan pemilu serta latar
belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkahlaku atau tindakan individu dalam
proses pemberian suara ialah meliputi tiga aspek yakni preferensi (orientasi terhadap isu,
orintasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam
partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan
suara) dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu.
1
Nimmo, op.cit, hlm 1987 - 197
Plano, C Jack, op.cit, hlm 280
3
Bone Hugh a dan Ranney Austin, Ioc.cit.
2
Sekalipun dalam sejarah ilmu politik belum pernah dikemukakan Grand Theory
tentang votong behavior, namun sampai saat ini terdapat dua macan teori voting behavior
yang dapat dikelompokkan dalam dua mashab besar. Pertama, pendekatan voting behavior
dari mashab sosiologis yang dipelopori oleh Columbia’s University Bureau of Applied Social
Science. Kedua, pendakatan voting mashab psikologis yang dikembangkan oleh University of
Michigan’s Survey Research Center pendapat dari Gaffar. Di samping kedua pendekatan
tersebut, dalam literatur politik ternyata juga ditemukan adanya model atau pendekatan lain
yaitu pendekatan politik rasional:
Pertama, pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa,
kemudian di AS dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang mempunyai latar belakang
pendidikan Eropa. Karena itu Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa.
David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku masyarakat
Inggris, menyebut model ini sebagai sosial determinism approach.
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan karakteristik sosial dan pengelompokkanpengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan
perilaku pemilih. Pengelompokkan sosial seperti umum (tua-muda), jenis kelamin (lakiperempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan
dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokkan sosial
baik secara formal, seperti keanggotan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan,
organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun
pengelompokkan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil
lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik, karena
kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan
orientasi seseorang.
Dean Jaros dkk, ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu
kelompok dan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokkan sosial itu ke
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori.
Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokkan sosial dan kajian voting behavior ke
dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial ekonomi pemilih. Menurutnya,
predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang
signifikan dengan perilaku pemilih. Prefensi-prefensi politik keluarga, apakah prefensi ayah
atau prefensi politik ibu akan berpengaruh pada prefensi politik anak. Predisposisi sosial
ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karekteristik
demografis dan semacamnya.
Hubungana antara agama dengtan perilaku pemilih tampak paa penelitian Lipset. Di
beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok
minoritas di bidang ekonomi, politik diskriminasi tertentu, cenderung untuk memilih partai
yang berfaham liberal atau partai yang berhaluan kiri. Sementara kelompok mayoritas
cenderung untuk memberikan suaranya kepada partai politik konservatif atau partai sayap
kanan. Di AS misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanic
(keturunan Latin) merupakan pendukung setia partai Demokrat. Sementara kaum Protestan
Anglo Aaxon memberikan dukungan kepada partai Republik. Pada pemilihan presiden tahun
1984 misalnya, 68% orang Yahudi di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai
Demokrat dibanding dengan 39% suara dari kaum Protestan.
Latin halnya dengan penemuan Afan Gaffar dalam penelitiannya tentang Javanese
Voters. Gaffar justru menemukan bahwa agama memiliki pengaruh terhadap pilihan
seseorang dalam pemilu. Orang-orang yang mengaku santri cenderung mendukung partai
Islam, sementara kelompok abangan lebih cenderung untuk mendukung PDI dan informan
yang moderat (santri dan abangan) mereka lebih banyak memberikan pilihannya terhadap
Golkar4.
Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang berhubungan dengan perilaku
pemilih. Kajian voting behavioer di Eropa pada dekade 1970-an menunjukkan bahwa wanita
lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai sosialis.
Setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada ekstrim kiri maupun
ekstrim kanan, mendukung partai demokrat. Aspek sosiologis lain yang ikut mempengaruhi
perilaku pemilih adalah geografis. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang
terhadap partai politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai
tertentu, sampai mampu bertahan berabad-abad. Kasus yang patut diangkat adalah loyalitas yang begitu kuat
terhadap Partai Demokrat dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Selatan AS. Penduduk di
wilayah Selatan tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, merupakan pendukung tetap Partai
Demokrat. Meskipun masvarakat New England pada umunya menjadi pendukung partai Republik, di
wilayah Selatan mereka lebih mendukung Partai Demokrat.
Dan bagaimana dengan struktur sosial, apakah variabel memiliki pengaruh terhadap perilaku
politik? Berkenaan dengan pertanyaan ini Lipset setelah melakukan penelitian, di beberapa negara
(1981) menyimpulkan “more than anything else the party struggle is a conflict among classes
the lower income grups vote mainly of the right”.
4
Ibid, hlm 191
Fakta empirik yang menunjukkan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap perilaku
pemilih terutama sangat nampak dalam hasil penelitian yang ditemukan di Eropa dan Amerika. Di
Eropa, kelompok ber[enghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara pada
partai sosialis dan komunis, sedangkan kelompok menengah dan atas menjadi pendukung
Partai Konservatif. Di Amerika Serikat masyarakat kelas bawah dan pekerja biasanya cenderung
mendukung Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah merupakan pendukung Partai
Republik.
Namun demikian penelitian di Inggris menunjukan fakta sebaliknya. Penelitian Anthony
Heath dan McAllister menemukan bahwa pengaruh h" baik yang obyektif maupun yang
subyektif pada perilaku pemilih adalah sangat kecil. Penelitian Afan Gaffar tentang Javanese
voters dan penelitian J. Kristiadi tentang “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih” menunjukkan
hal yang sama dengan penelitian Heath dan Allister, yaitu bahwa pengaruh kelas dalam perilaku
pemilih di Indonesia tidak begitu dominan5.
Kedua, Pendekatan Psikologis. Pelopor utama pendekatan psikologis, mengenai voting
behavior adalah Angust Campbell. Pendekatan ini sepenuhnya di Amerika Serikat melalui
Survey Research Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi
atau ketidakpuasan pendukung pendekatan psikologis terhadap pendekatan sosiologis. Secara
metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diatur, seperti bagaimana mengukur secara tepat
sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Di samping itu, secara
materi, patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis, seperti sosial ekonomi, keluarga,
kelompok-kelompok primer ataupun sekunder itu memberi sumbangan pada perilaku pemilih.
Tidaklah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses
sosial, untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan, bukan karakteristik sosiologis.
Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi,
terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini
masyarakat dalam suatu. Proses pemilihan umum lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis
yang berkembang dalam dirinya sendiri yang kesemuanya itu sebenarnya merupakan akibat
dari proses sosialisasi politik. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa konsep
sosialisasi politik ataupun resosialisasi politik merupakan kunci dalam memahami model sosiopsikologis6.
Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara
seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati terhadap partai
5
6
Ibid, hlm 195
Campbell, dkk. 1960. The American Voter, New York: John Willey & Sone, hlm 121
politik. Ikatan psikologis ini kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Berkenaan dengan hal tersebut
Campbell mengatakan bahwa identifikasi partai merupakan faktor yang dapat menjelaskan bagi pola
perilaku pemilih serta merupakan fakta central dalam memperhitungkan terhadap sikap dan perilaku
pemilih itu sendiri7.
Ketiga, Pendekatan Politic Rasional. Pendekatan politic rasional pada hakikatnya
merupakan pendekatan yang memiliki pandangan bahwa pemilihan politik seseorang sangat dipengaruhi
oleh situasional. Lebih lanjut pendekatan ini juga menyatakan bahwa para pemilih selbenarnya bukan
hanya pasif tetapi juga aktif dan babas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa berupa isu-isu politik
atau kandidat yang dicalonkan. Penjelasan-penjelasan perilaku pemilih tidak harus permanen, tetapi
berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu isu-isu politik
menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya
terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku politik sebenarnya diadaptasikan
dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dengan perilaku
pemilih politik. Apabila secara ekonomi anggota dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil-kecilnya untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya, maka dengan perilaku politikpun
anggota masyarakat akan dapat bertindak secara rasional pula, yakni memberi suara ke OPP yang
dianggap dapat memberi keuntungan dan menekan kerugian Sherman dan Kolker8.
Orientasi isu politik telah dimulai penelitiannya oleh Angust Campbell dalam studinya
pada penelitian presiden Amerika tahun 1952 dan di tahun 1956. Dalam bukunya The American Voter
Campbell menerangkan bahwa isu partai dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian suara
warganegara jika terpengaruhi tiga syarat, yaitu:
1. Warganegara mengetahui isu tersebut
2. Warganegara menaruh perhatian akan isu tersebut
3. Warganegara merasa bahwa dengan isu tersebut dapat menjadikan mereka memberikan
kepercayaan kepada partai9.
David Re Pass memiliki pendapat yang hampir sama dengan Campbell. Dari hasil
studinya pada pemilihan presiden Amerika di tahun 1960 dan 1964 David Re Pass menegaskan bahwa
isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pernberian suara pemilih. Alasan yang
7
Ibid, hlm 7
Asfar, Muhammad, 1996. Beberapa Pendekatan dalam Perilaku Pemilih (Jurnal Ilmu Politik), Jakarta:
Gramedia, hlm 52
9
Campbell, op.cit, hlm 70
8
dikemukakan oleh Re Pass bahwa isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian
suara pemilih disebabkan adanya harapan dan kekhawatiran warganegara pada masalah-masalah yang
terjadi pada diri mereka dan bangsanya. Untuk memenuhi harapannya itu, mereka memperlihatkan
perhatiannya kepada isu-isu dari partai politik10. Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan
perilaku pemilihpun juga dikaji oleh Gerald Pomper dalam karyanya berjudul Voter’s choice: Varities of
American Electoral Behavior (1975). Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada pemilu
1956, 1964, dan 1972 Pomper mengemukakan dalam satu kesimpulannya sebagai berikut: “bahwa posisi
isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap
pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian kandidat”11.
Berbeda dengan temuan Samugyo Ibnu Redjo dkk, dalam penelitiannya tentang “Persepsi Sosial
Politik Masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dalam menghadapi Pemilu”. Mereka
menemukan secara umum isu/program partai tidak begitu kuat mempengaruhi perilaku pemilih12.
Hubungan yang rendah atau kecil antara isu kampanye PDI dengan sikap politik ternyata ditemukan pula
oleh Muhaini Rini dalam penelitiannya tentang “Hubungan antara Isu Kampanye Partai PDI dengan
Sikap Politik Pemilih Pemula pada Pemilu 1992 di Petamburan DKI Jakarta”. Dari hasil analisis data
diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi pada pengujian kedua variabel berkisat antara 0,27 sampai
dengan 0,38,
C. Potensi-potensi Penyimpangan dalam Pilkada Langsung13
Dilihat dari sistem dan tahapan-tahapan serta ruang lingkupnya, tampaknya pilkada
ada kemiripan dnegan pilpres, dalam arti yang disiplin lebih sedikit dan daerah pemilihannya
hanya satu. Sesuai ketentuan batas parpol atau gabungan parpol yang berhak ajukan calon
adalah yang memperoleh 15% kursi DPRD atau akumulasi perolehan suara (Pasal 59).
Dengan ketentuan ini maka rakyat memilih di suatu daerah kemungkinan hanya akan
memilih dua hingga tujuh pasangan saja. Sesuai asumsi ini maka potensi penyimpangan akan
menyerupai pada pilpres yang lalu. Meski demikian, penyimpangan yang khas pada pemilu
legislatif (yakni pemalsuan/penggunaan dokumen tidak sah) tidak mustahil muncul pada
pilkada ini.
10
Yeric, Jerry L. John R Todd. 1983. Public Opinion The Visibble Politics, Illinois: Peacock Publisher, hlm 122
Asfar, Muhammad, Loc.cit.
12
Redjo, Samugyo Ibnu. 1996. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bandung dalam menghadapi Pemilu, Laporan
Penelitian Fisip (Unpad) hlm 81
13
Dalam Artikel Topo Santoso. Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Kandidat PhD pada University of
Malaya. Harian Cendrawasih, 28 November 2004.
11
Dengan berpijak pada pengalaman pemilu legislatif maupun polpres, setidaknya lima
potensi penyimpangan patut diwaspadai. Pertama, pamalsuan/penggunaan dokumen tidak
sah. Sejumlah persyaratan calon kepala daerah telah diatur pada Pasal 58 UU No. 32 Tahun
2004, antara lain pendidikan sekurangnya SLTA atau sederajat serta sehat jasmani dan
rohani. Melihat syarat-syarat calon kepala daerah itu semestinya tidak terlalu sulit untuk
dipenuhi. Tidak semestinya parpol/gabungan parpol mengajukkan jagonya yang diragukan
pendidikan ataupun kesehatannya. Tapi, toh pengalaman pada pemilu legislatif lalu
menunjukkan betapa banyak partai tetapi mengajukkan calon-calonya yang bermasalah
(membeli surat keterangan pendidikan, mamalsu ijazah, ijazah dari sekolah fiktif, dan
sebagainya). Tidak mustahil jika kasus-kasus ini berulang lagi di pilkada, terutama jika
penyelenggara dan pengawas pilkadanya teledor atau terbujuk permainan.
Kedua,
potensi
penyimpangan
birokrasi
dan
penyalahgunaan
kewenangan.
Pimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama pemilu legislatif
dan pilpres yang lalu, dalam kenyataannya menjadi masalah yang sukap ditangani hingga
tuntas. Ini disebabkan problem peraturan maupun faktor sosio-politik yang ada. Potensi
penyimpangan ini tampaknya akan kian membesar. Hal ini wajar saja sebab yang ikut
bermain kepentingan akan lebih banyak dan lebih serius. Penyimpangan yang perlu
diwaspadai khususnya dalam tiga pola, yaitu dengan mempengaruhi penyelenggara pilkada,
dengan mobilisasi aparat birokrasi (termasuk kepala desa), atau dengan lahirnya kebijakan
yang menguntungkan calon tertentu.
Ketiga, potensi penyimpangan money politics dan dana kampanye. Aturan dana
kampanye yang “praktis” mengcopy dari UU 12 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 23
Tahun 2003 tampaknya akan tidak berarti banyak menjerat praktik penyimpangan dana
kampenye. Banyaknya donatur fiktif dan penyumbang tak masuk akan juga bakal terjadi.
Penulis ingat ucapan seorang akuntan: aturan dana kampanye tidak bakal menjerat pelaku,
paling mengajari menulis pembukaan lebih rapi. Sementara soal money politics (dalam arti
political bribery), juga ada potensi peningkatan. Aturan hukum yang ada memang sulit untuk
digunakan menjerat pelaku politik untuk memilih calon kepala daerah. Bukankah masalah
yang sama juga menjadi titik lemah pada pemilu legislatif dan pilpres? Selama ini para
pelaku cukup lihai bermain di bawah bayang-bayang undang-undang, sedangkan jebakan
pidana harus melulu tuntuk pada kekuasaan unsur-unsur pasal peraturan. Jurus inilah yang
sekali lagi akan “dimainkan” pada pilkada mendatang. Meski keefektifan money politics ini
kian diragukan, tampaknya penyebaran uang politik ini masih coba dilakukan. Dan, meski
ancamannya bisa membatalkan sang calon, jalan ke sana tampak sangat terjal.
Keempat, kampenye bersekubung atau curi start kampenye. Di antara masalah yang
paling “ngetop” selama pemilu lalu adalah “curi start kampanye” atau kampanye terselubung.
Samalah ini sebenarnya dipicu adanya jarak waktu antara penetapan peserta pemilu dan masa
kampanye. Hal ini terdapat baik pada pemilu legislatif dan pilpres. Pengalaman menunjukkan
betapa sangat banyak energi kita terkuras :hanya” untuk menjerat pelaku “curi start”
kampanye. Sampai-sampai setiap aktivitas parpol oleh masyarakat dilaporkan kepada penwas
agar ditindak. Sementara itu perbedaan penafsiran tentang apa itu “kampanye di luar jadwal”
justru membuat kian kaburnya persoalan. Di negara lain, seperti Malaysia ataupun Thailand,
soal-soal seperti ini tidak menonjol sama sekali kampanye dimulai sejak adanya penetapan
kandidat yang akan berkompetisi pada pemilihan. Karena dalam pilkada nanti masih ada
jarak waktu itu, bisa dipastikan polemik soail”curi start kampanye” masih akan muncul. Ke
depan memang disarankan aturan ini diubah saja sehingga tidak menghabiskan energi kita
semua.
Kelima, manipulasi pada penghitungan suara. Berkaca pada pemilu legislatif lalu
kasus seperti ini muncul antara lain dari pencoblosan ribuan suara secara tidak sah di Papua
serta Tawau, Malaysia. Pengubahan hasil juga dilaporkan terjadi di banyak tempat, mulai
level PPS hingga KPU kabupaten/kota. Bahkan pada pemilu legislatif lalu, gerilya para caleg
untuk mempengaruhi pelaksana pemilu dilaporkan dari banyak tempat. Sekali lagi, potensi
penyimpangan seman ini juga tetap besar. Bahkan sesungguhnya, dibanding penyimpanganpenyimpangan sebelumnya di atas, inilah yang paling efektif mengubah hasil.
Potensi-potensi penyimpangan akan jauh lebih sulit diatasi jika kita melihat pada
jebakan berikutnya dari pilkada yaitu jika pengawasan pemilu tidak beres dan tidak
independent. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 maka yang bertugas melakukan pengawasan
pilkada adalah panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang anggotanya diangkat dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Pada banyak klausul, panitia pengawas pilkada ini
mengikuti pola pengawas pemilu pada pemilu legislatif dan pilpres, termasuk soal unsur
keanggotaan dan tugas serta wewenangnya. Bedanya, untuk pilkada ini pengawas pemilu
pilkada tadi tidak diangkat oleh Panwas Pemilu (Pusat) melainkan oleh DPRD. Begitu pula
tanggung jawabnya. Pada pemilu yang lalu, panwas daerah diangkat oleh Panwas Pemilu di
atasnya dengan mekanisme fit and proper test dengan syuarat utama soal independensi serta
kemampuannya. Bagaimana DPRD akan merekrut pengawas pilkada akan sangat berpegaruh
terhadap kinerja dan independensi panwas pilkada itu nantinya. Yang jadi pertanyaan adalah
apakah DPRD akan merekrut orang-orang independen ataukan yang berafiliasi kepada
partainya? Apakah orang-orang yang selama ini kritis dan tegas terhadap penyimpangan
pemilu (khususnya mantan-mantan panwas daerah) justru akan dihindari? Apakah
pertanggungjawaban kepada DPRD ini justru akan menyulitkan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya? Apakah ada jaminan para calon kepala daerah tidak akan menggunakan
pengaruhnya untuk “menginjak kaki” pengawas jika mereka dianggap terlalu berbahaya bagi
pihaknya? Bagaimana jika yang terlibat dalam penyimpangan serius justru yang masih berada
di puncak kekuasaan daerah, pakah ada kekuatan untuk menegakkan aturan? Sederet problem
di atas memang jauh lebih sulit dijawab dengan pertanggungjawaban seperti seperti tertuang
dalam UU 32/2004 di atas.
Jebakan lainnya pilkada mendatang berhubungan (dan juga disebabkan) aturan hukum
yang menyisakan masalah. Ini karena pola “mencontoh” UU 12/2003 dan UU 23/2003 yang
tanggung-tanggung. Jelasnya dalam pilkada mendatang tidak diatur mengenai limitasi waktu
penanganan laporan masyarakat/peserta pilkada. Tidak ada limitasi berapa lama laporan
diajukan pelapor dan dikaji pengawas. Tidak diatur berapa lama penyidik melakukan
penyidikan tindak pidana. Tidak dibatasi berapa lama penuntut menyerahkan berkasnya ke
pengadilan, dan berapa lama pengadilan harus menjatuhkan vonis. Juga tidak diatur
pengadilan level mana yang berwenang mengadili perkara macan apa. Ketiadaan pengaturan
seperti itu bakal membuat perkara-perkara pidana pilkada akan bernasib sama dengan perkara
tindak pidana pada pemilu 1999 yang baru selesai jauh setelah seluruh tahapan pemilu tuntas,
bahkan ada yang hingga kini belum diputus di tingkat kasasi.
Dengan
adanya
sejumlah
jebakan
pilkada,
belum
termasuk
sosial-soal
penyelenggarannya, maka perlu adanya pemikiran kita bersama dan kemungkinkan langkah
yang tepat untuk menjamin terselenggaranya pilkada yang bersih dan adil, dengan adanya
jaminan bahwa setiap penyimpangan dapat dituntaskan sesuai hukum dan keadilan dan
bahwa tidak seorangpun dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum yang dilakukan.
Potensi penyimpangan/kecurangan akan kian membesar jika pilkada nanti diawasi oleh para
pengaas yang mudah diitervensi kepentingan politik dan mekanisme hukum yang akurat tidak
tersedia. Oleh sebab itu, jika memungkinkan amademen terhadap pasal-pasal tertentu
menyangkut pengawasan dan penegakan hukum yang tidak sempurna perlu dipikirkan
mendalam.
BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Pada bab tiga ini akan dipaparkan tentang gambaran umum daerah penelitian yang
meliputi deskripsi wilayah Kota Sukabumi, Struktur Pemerintahan Kota Sukabumi, kondisi
sosial Kota Sukabumi, visi dan misi Kota Sukabumi, deskripsi para pemimpin Kota
Sukabumi, serta deskripsi wilayah Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Warudoyong yang
didalamnya terdapat kelurahan Lembursitu dan kelurahan Dayeuhluhur.
A. Deskripsi Wilayah Kota Sukabumi
1. Letak Geografis
Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, yang
berjarak 119 Km, dan di sebelah Barat Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Bandung, yang berjarak
93 Km, dan terletak pada koordinat 106o 45’10” sampai dengan 106o 45’50” Bujur Timur dan
6o 50’44” Lintang Selatan. Terletak di kaki Gunung Pangrango dan Gunung Gede yang
mempunyai ketinggian 584 Meter di atas permukaan laut.
Kota Sukabumi mempunyai kekuatan pada iklim mikro yang relatif nyaman untuk
tempat peristirahatan dan dengan bentangan alam yang ada sangat diperlukan pemanfaatan
pola penggunaan lahan dan ruang secara selektif, dengan tetap menjaga pada terjaminnya
lingkungan yang serasi danseimbang.
Sukabumi berasal dari kata sunda yakni “suka bumen” (cinta daerah), sehingga
mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin pindah lagi, karena suka/senang terhadap
bumen-bumen atau ketempat tinggal di daerah ini.
2. Batas Wilayah
Wilayah Kota Sukabumi berbatasan seluruhnya dengan wilayah Kabupaten Sukabumi
yakni di Sebelah Utara dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan Kecamatan Nyalindung
Kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, sebelah
timur dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi.
3. Fisik Dasar dan Sumber Daya Alam
Kondisi fisik dasar Kota Sukabumi secara umum tergolong ideal untuk
pengembangan berbagai kegiatan perkotaan. Parameter yang dijadikan acuan antara lain:
a. Kondisi topografi kawasan yang relatif tidak merata sehingga memungkinkan
pemanfaatan lahan kawasan secara optimal;
b. Kondisi geologi, memungkinkan optimalisasi daya dukung lahan, sehingga memberikan
peluang untuk pengembangan berbagai kegiatan pembangunan fisik;
c. Kondisi iklim relatif tidak berpengaruh negatif terhadap pengembangan berbagai kegiatan
perkotaan.
Kota Sukabumi relatif tidak memiliki sumber daya alam, namun demikian untuk
memperhatikan keseimbangan lingkungan, upaya penggalian potensi sumber daya yang ada
seperti: sumber daya air, baik air permukaan maupun air bawah tanah, perlu diatur dan
dikendalikan secara proporsional.
Sekain itu juga diupayakan pemanfaatan dan pemeliharaan lahan-lahan terbuka yang
berfugnsi sebagai hutan kota dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan hidup dan
dijadikan sebagai paru-paru kota.
4. Kondisi Pemeritnahan
Pendapat umum yang muncul ke permukaan di era reformasi ini dalam aspek
kepemerintahan adalah bagaimana memberdayakan aparatur pemerintah agar lebih reponsif,
akomodatif, aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat. Kondisi seperti ini hanya akan tercapai
apabila terpenuhinya standar kualtias dan kuantitas aparatur yang memadai dengan kebutuhan
dan tantangan pembangunan kota dalam mengantisipasi pelaksanan otonomi daerah.
Dalam mempersiapkan otonomi daerah, peranan Aparatur Negara merupakan faktor
penentu, karena aparat merupakan unsur penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Oleh karena itu pembinaan aparatur negara diarahkan kepada peningkatan
kualitas, agar lebih memiliki sikap dan perilaku pengabdian, kejurusan, tanggung jawab,
sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat secara optimal
(public good dan services) dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good
goverment).
Pada hakikatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik diperlukan beberapa
syarat antara lain demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan peran serta aktif seluruh lapisan
masyarakat.
Penyelenggaraan Pemerintah di Kota Sukabumi dilandasi semangat prinsip good
governance dan semangat pemberdayaan masyarakat melalui pengaturan sistem maupun
proses yang memungkinkan masyarakat memiliki kemampuan untuk terlibat baik
secaraemosional maupun fisik untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan (partisipatory planning).
Penyelenggaraan pemerintahan secara good governance menjadi fokus perhatian
Pemerintah Kota Sukabumi, sebagai upaya pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap citra
dan peranan aparatur dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan dengan peningkatan kinerja yang optimal terhindar dari praktek-praktek
Kolusi, Korupsi dan nepotisme (KKN).
5. Administrasi Pemerintahan
Pemerintah Kota Sukabumi dalam mensikapi pergeseran peran dan fungsi
pemerintahan di daerah, mengambil langkah proaktif bersama-sama dengan seluruh stake
holders, khususnya dengan DPRD untuk membangun kesisteman pemerintahan dalam
bentuk:
a. Hubungan yang harmonis antara proses politik dengan proses manajemen;
b. Menyelenggarakan kebijakan dalam hubungan dengan kewenangan yang dimiliki;
c. Menata,
mengembangkan
dan
memahami
kelembagaan
secara
utuh,
serta
mengembangkan sensitivitas arah kebijakan organisasi pada iklim perubahan;
d. Penataan administrasi keuangan dan aset pemerintah daerah;
e. Menyelenggarakan pemberdayaan aparatur dan masyarakat;
f. Peningkatan pelayanan masyarakat di bidang ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana;
g. Penyelenggaraan pembinaan dan penegakan hukum, serta pelaksanan penertiban umum;
Dengan memperhatikan prinsip kepemerintahan serta arah kebijakan yang telah
ditetapkan, maka penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui pendekatan:
a. Partisipatif, artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta untuk berperan serta
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan;
b. Transparansi, artinya keterbukaan bagi berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, dan
pelaksanaan pembangunan serta pengawasan;
c. Akuntabilitas, artinya setiap tindakan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan baik
secara administrasi maupun fisik;
d. Dialogis, artinya adanya komunikasi yang harmonis antara unsur legislatif, eksekutif
maupun masyarakat.
6. Wilayah Administrasi Pemerintahan
Luas wilayah Kota Sukabumi yang mengalami perubahan berdasar kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Kotamadya Daerah Tingkat II
Sukabumi dan Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi berdampak pada bertambahnya
wilayah administrasi pemerintahan semula 4 kecamatan meliputi 15 kelurahan menjadi 5
kecamatan yang meliputi 15 kelurahan dan 18 desa. Dalam lima tahun aterakhir wilayah
pemerintahan secara administratif mengalami perubahan kembali berdasar kepada Undangundang Nomor 22 Tahun 1999.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 126 ayat (2) dinyatakan bahwa “Desa-desa yang
ada dalam wilayah Kotamadya, Kotamadya Administratif dan Kota Administratif
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat mulai berlakunya undangundang ini ditetapkan sebagai kelurahan”. Menindaklanjuti pasal dimaksud maka diteapkan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000 tentang Pembentukan kecamatan dan kelurahan,
sehingga sampai dengan tahun 2003, wilayah administrasi Kota Sukabumi berkembang
menjadi 7 kecamatan dan 33 kelurahan.
Penetapan kebijakan tersebut dilatar belakangi oleh pesatnya pertumbuhan wilayah
perkotaan, sejalan dengan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan
pembangunan prasana perkotaan, terutama perumahan, perdagangan, industri, dan jasa, maka
diperlukan pula peningkatan pelayanan kepada masyarakat dari segi organisasi.
Pengaruh perubahan organisasi, khususnya untuk kecamatan dan kelurhan ternyata
membawa pengaruh yang signifikan terhadap penyelenggaraan tugas umum pemerintahan,
hal ini disebabkan antara lain:
a. Adanya pelimpahan kewenangan terhadap kecamatan dan kelurhan baru menjadi beban
regulasi tidak bertumpuk pada kecamatan awal.
b. Jarak yang ditempuh menjadi semakin dekat.
c. Keinginan masyarakat melalui tokoh-tokoh setempat untuk berpartisipasi lebih mudah
diakomodasikan.
d. Perubahan status desa menjadi kelurahan berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat
yang bercirikan perkotaan.
e. Perubahan status eselonering membawa pengaruh terhadap mental dan perilaku pegawai
dalam pelayanan publik.
Untuk melihat gambaran pembagian wilayah administrasi pemerintahan dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1
Wilayah Administrasi Pemerintahan
Kota Sukabumi
Jumlah
Jumlah
Luas Wilayah
Kelurahan
(Ha)
RT
RW
1. Gunungpuyuh
4
549.579
201
50
2. Cikole
6
708.280
311
68
3. Citamiang
5
404.000
207
39
4. Warudoyong
5
759.830
250
57
5. Baros
4
611.389
143
39
6. Lembursitu
5
889.763
174
52
7. Cibeureum
4
887.390
118
35
Jumlah
33
4.800.231
1.404
340
Sumber: Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Sukabumi, 2004
No.
Kecamatan
Selain dibagi secara administratif, pembagian wilayah Kota Sukabumi terbagi juga ke
dalam wilayah pembangunan. Kebijakan perwilayahan dan revisi RTRW Kota Sukabumi
Tahun 2001, kedudukan dan peran Kota Sukabumi secara regional dan nasional adalah
sebagai berikut:
1. Dalam RTRW Nasional sebagai salah satu kawasan andalan untuk wilayah Provinsi Jawa
Barat yang disebut kawasan andalam Sukabumi dan sekitarnya;
2. Kota Sukabumi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang diarahkan sebagai salah
satu pusat keluar masuknya aliran orang dan barang dari dan ke daerah sekitarnya;
3. Dalam sistem perkotaan Jawa Barat, Kota Sukabumi ditetapkan sebagai Kota Hirarki III
A yang memiliki fungsi dan peran sebagai:
-
Pusat produksi, koleksi dan distribusi dengan skala pelayanan inter regional.
-
Memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi.
Adapun kebijakan perwilayahan dalam revisi RTRW Kota Sukabumi bahwa pembagian
wilayah kota (BWK) yang semula dari lima BWK berubah menjadi tujuh BWK, sebagai
berikut:
BWK 1
Kecamatan Gunung Puyuh, berfungsi sebagai Perumahan.
BWK 2
Kecamatan Cikole; sebagai pusat Kota yang berfungsi untuk perdagangan dan
jasa, Pemerintahan/Perkotaan, Perumahan dan Pariwisata.
BWK 3
Kecamatan Cibeureum; berfungsi sebagai industri, Perdagangan dan Perumahan.
BWK 4
Kecamatan Citamiang; berfungsi sebagai Perdagangan, Industri dan Perumahan.
BWK 5
Kecamatan
Warudoyong;
berfungsi
sebagai
Industri,
Perdagangan
dan
Perumahan.
BWK 6
Kecamatan Baros; berfungsi sebagai Perdagangan dan Jasa, Industri dan
Pariwisata.
BWK 7
Kecamatan Lembursitu; berfungsi sebagai Perumahan, Perdagangan dan
Pariwisata.
Berdasarkan hal tersebut maka pokok-pokok kebijakan penataan ruang dalam rangka
pengembangan kota untuk tahun 2002-2011 dilakukan guna tercapainya perencanaan kota
bagi kepentingan seluruh komponen masyarakat melalui kebijakan sebagai berikut:
1. Peningkatan fungsi Kota Sukabumi sebaai bagian wilayah di Jawa Barat dan nasional;
2. Pengelolaan pengembangan kependudukan yang menyangkut besaran jumlah penduduk
dan perkembangannya, kepadatan penduduk dan penyebarannya serta ketenagakerjaan;
3. Pengembangan kegiatan perekonomian yang bertumpu pada perdagangan, industri,
pariwisata dan penataan kegiatan perekonomian transportasi;
4. Pengembangan struktur dan pola pemanfaatan rumah dengan mempertimbangkan daya
dukung, aspek lingkungan, kawasan adalan dan kegiatan fungsional yang mempercepat
perkembangan kota;
5. Pengembangan transportasi dengan mempercepat pembangunan Jalan Lingkar Selatan,
membentuk sisten atau pola jaringan jalan yang terstruktur serta fasilitas transportasi
lainnya guna meningkatkan akses terhadap fungsi-fungsi ruang yang direncanakan;
6. Pengembangan prasarana dasar untuk meningkatkan kebutuhan dan jangkauan pelayanan
kepada masyarakat;
7. Pengembangan ruang terbuka hijau untuk menciptakan Kota Sukabumi yang nyaman
dengan pengembangan pada seluruh aspek tata lingkungan pemukiman menjadi tatanan
ruang hijau kota.
B. Kondisi Sosial
1. Kependudukan
Dalam proses pembangunan, penduduk merupakan faktor yang sangat dominan. Hal
tersebut dikerenakan penduduk bukan saja sebagai pelaksana tetapi juga sebagai sasaran dari
pembangunan. Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan perkembangan
penduduk perlu diarahkan sehingga mempunyai ciri-ciri maupun karakteristik yang
menguntungkan dalam pembangunan.
Diantara karakteristik tesebut diantaranya berkaitan dengan kualitas. Jika berkualitas,
jumlah penduduk yang banyak merupakan potensi berharga. Sebaliknya jiwa suatu wilayah
memiliki jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kualitas
rendah justru akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan.
Beberapa indikator kependudukan yang berkaitan erat dengan kondisi sosial
dianaranya adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin, kepatan
penduduk, persebaran penduduk, struktur umur dan angka beban tanggungan. Indikatorindikator tersebut selalu digunakan dalam menyusun rancangan kebijakan, terlebih lagi bagi
Kota Sukabumi sebagai daerah urban.
Tabel 2.2
Penduduk per Kecamatan dan Kelurahan
Se-Kota Sukabumi Tahun 2004
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kecamatan
Gunung Puyuh
Cikole
Citamiang
Warudoyong
Baros
Lembursitu
Cibeureum
Jumlah
Penduduk
Laki-laki
Perempuan
17.608
18.237
26.399
27.611
20.595
21.187
23.648
23.309
13.536
12.797
14.194
13.808
13.063
12.925
129.043
129.874
Jumlah
Penduduk
35.845
54.010
41.782
46.957
26.333
28.002
25.988
258.917
Sumber data: Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Sukabumi, Desember 2004
Berdasarkan tabel 2.2, terebut di atas komposisi penduduk antara kecamatan sangat
berbeda. Jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Cibeureum sedangkan
jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cikole.
Penduduk merupakan potensi sumber daya manusia yang dapat dipandang sebagai
suatu modal dalam upaya mendukung kegiatan pembangunan karena Pemerintah Kota
Sukabumi tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung
kemajuan penggalian potensi daerah, sehingga banyaknya penduduk diharapkan mampu
membawa kemajuan Kota Sukabumi di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil analisis bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota
Sukabumi tercatat 0,98% pertahun. Atas dasar laju pertumbuhan penduduk tersebut, maka
perkiraan jumlah penduduk Kota Sukabumi sampai dengan tahun 2011 adalah sebanyak
266.174 jiwa. Dengan kenyataan yang ada sekarang ini, untuk tahun-tahun mendatang harus
ada usaha-usaha dari pihak pemerintah, terutama dalam menciptakan pola penyebaran
penduduk sistem berimbang pada setiap kelurahan. Usaha tersebut berupa pengarahan dan
pengendalian antara lain:
a. Untuk pengarahan penyebaran penduduk diusahakan adanya penyeimbang di seluruh
kawasan, yaitu dengan membentuk sistem pusat-pusat pelayanan lokal (BWK) yang lebih
baik, melalui penyebaran fasilitas-fasilitas sosial ekonomi, hal ini untuk melayani
kebutuhan penduduk pada setiap bagian wilayah, sehingga konsentrasi penduduk pada
pusat kota dapat berkurang.
b. Membangun prasana trasportasi di daerah yang relatif jarang penduduknya untuk menarik
minat penduduk bermukim dikawasan tersebut dengan memberikan kemudahan
pergerakan.
c. Menyediakan berbagai fasilitas sosial-ekonomi di daerah yang kepadatannya masih
rendah lebih langka lagi sehingga untuk memperoleh pelayanan sosial ekonomi tidak
perlu datang ke pusat kota.
d. Mengendalikan percepatan kepadatan penduduk pada kawasan-kawasan yang relatif
tinggi penduduknya, dengan tidak memberikan peluang kepada penduduk baru untuk
ermukim pada kawasan tersebut.
e. Pengendalian dengan alikasi variasi kepadatan bangunan yakni:
-
Kepadatan tinggi (lebih dari 80 jiwa/Ha) berada di pusat kota.
-
Kepadatan sedang (5-79 jiwa/Ha) berada di bagian utara kota.
-
Kepadatan rendah (20-49 jiwa/Ha) berada di bagian selatan.
2. Ketenagakerjaan
Peningkatan pendapatan masyarakat bias diterjemahkan sebagai upaya mengurangi
kemiskinan dan pemerataan pendapatan, berarti pengurangan kesenjangan pendapatan
kelompok berpenghasilan rendah dan tinggi. Untuk mengukur perekonomian masyarakat
diperlukan indikator yang dapat mencerminkan keberhasilan di bidang ekonomi. Indikator
tersebut diantaranya dalah indikator ketenagakerjaan.
Penduduk merupakan sumber angkatan kerja, sehingga laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi dengan sendirinya akan mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang
tinggi pula. Cepatnya laju pertumbuhan angkatan kerja tentunya akan menimbulkan berbagai
persoalan sosial ekonomi apabila tanpa dibarengi kesempatan kerja yang memadai.
Bertitik tolak dari ketenagakerjaan seperti ini, maka perlu adanya penggalakan
program yang dapat memotivasi masyarakat untuk dapat menciptakan lapangan kerja sendiri
dengan dibarengi pembinaan dari pihak pemerintah sehingga dapat meningkatkan
produktifitas dari pekerja sektor informal ini yang pada akhirnya berarti pada peningkatan
pendapatan mereka sendiri.
Salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga
kerja adalah dengan melihat proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan perubahan bahwa
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan disertainya pergeseran pada struktur
lapangan usaha.
Dari hasil Susenas, diketahui komposisi penduduk yang bekerja menurut lapangan
usaha di Kota Sukabumi didominasi oleh sektor perdagangan dan sektor jasa, sedangkan
sumbangan sektor pertanian dalam hal menyerap tenaga kerja relatif kecil. Kecilnya tenaga
kerja di sektor pertanian selain karena potensi lahan pertanian yang ada di Kota Sukabumi
sangat terbatas juga potensi sumber daya manusia yang ada pada umumnya sudah memiliki
tingkat pendidikan yang relatif tinggi.
Sehingga sangat tepat apabila Kota Sukabumi memiliki visi dan misi sebagai kota
pusat pelayanan jasa perdangan, pendidikan, dan kesehatan. Karena apabila dilihat dari
potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang tersedia sangat mendukung
untuk menjadikan Kota Sukabumi sebagai kota pusat pelayanan jasa.
3. Kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat
memenuhi kesehatan dasar dan memperoleh pelayanan kesehatan secara merata, mudah dan
murah. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat
yang baik, yang pada gilirannya bermuara kepada meningkatnya kesehatan masyarakat secara
umum. Pembangunan yang sedang digiatkan pemerintah diharapkan bisa berakselerasi positif
terhadap derajat kesehatan masyarakat yang digambarkan antara lain dengan angka kematian
ibu, kematian bayi dan anak balita, angka harapan hidup serta angka kelahiran.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, arah dan kebijakan pembangunan
pada bidang kesehatan tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 40 kematian per 1000 kelahiran dan
penurunan angka kematian Balita (AKABA) menjadi 8 kematian per 1000 anak, melalui
pengembangan/peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan pemberdayaan
masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri menjaga dan memelihara status
Kesehatan individu dan keluarga.
2. Mengupayakan adanya tenaga kerja yang terampil dan profesional.
3. Mengupayakan adanya perlindungan tenaga kerja dan pengawasan upah minimum.
4. Keterlaksananya dalam pengaturan dan penetapan sistem pengupahan (UMK).
5. Peningkatan pembinaan dan penyuluhan norma keselamatan dan kesehatan kerja.
6. Mengupayakan adanya pembinaan rehabilitasi, pelatihan, keterampilan dan pemberian
modal usaha.
7. Peningkatan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan usaha kepada korban bencana dan
musibah.
8. Mengupayakan adanya penyuluhan anak jalanan melalui pelatihan dan bimbingan.
9. Penanggulangan tingkat kemiskinan turun 15%.
10. Peningkatan kesehatan jender.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari
kualitas pendidikan. Pembangunan pendidikan di Kota Sukabumi dititik beratkan pada
peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang pendidikan serta perluasan kesempatan belajar,
terutama pada jenis pendidikan dasar. Seperti telah diketahui selain aspek kependudukan dan
kesehatan, aspek pendidikan pun memegang peranan penting dalam hubungannya dengan
indikator sosial.
Sebagai wujud tanggungjawab Pemerintah Kota Sukabumi terhadap komitmen
pendidikan, berbagai kebijakan telah ditempuh seperti pencanangan Wajib Belajar 6 Tahun
untuk anak kelompok usia 7-12 Tahun, yang selanjutnya ditingkatkan lagi menjadi Wajib
Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdan) 9 tahun.
Program Pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2003 arah dan kebijakan umum
pembangunannya kepada:
-
Keterlaksanaan Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal.
-
Peningkatan daya serap Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal.
-
Peningkatan Angka Partisipasi Kasar dan didik.
-
Peningkatan Angka Partisipasi Murni, Angka Pendaftaran Siswa dan Survival Rate.
-
Penurunan Angka Putus Sekolah dan Angka Mengulang.
-
Peningkatan Angka Kelulusan.
-
Peningkatan Guru Berkualitas.
-
Peningkatan Guru Keahlian.
-
Peningkatan Rasio Guru dan Siswa.
-
Ketersediaan Lahan, bangunan, peralatan sarana olah raga.
-
Peningkatan pembiayaan anggaran yang berasal dari pemerintah dan swadaya
masyarakat.
-
Peningkatan kehadiran guru, tenaga administrasi, tenaga pendidikan lainnya dan siswa.
-
Peningkatan tertib administrasi dan kinerja sekolah.
-
Mengupayakan adanya dukungan komite sekolah, perhatian orang tua, peran serta tokoh
masyarakat dan peran serta dunia usaha.
-
Peningkatan prestasi oleh raga sampai pada tingkat nasional.
-
Peningkatan peran serta masyarakat.
-
Meningkatkan pembinaan terhadap siswa dan pemuda.
-
Meningkatkan pembinaan kesenian dan kebudayaan.
-
Meningkatkan sarana dan prasarana.
5. Agama
Pembangunan keagamaan merupakan faktor yang sangat menunjang dalam
membentuk moral kepribadian dalam pelaksanaan pembangunan secara menyeluruh baik
dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat,a dapun beberapa permasalahan
pembangunan keagamaan yaitu masih terdapat perilaku sosial masyarakat yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai agama, disamping itu perlu diwaspadai kemungkinan munculnya konflik
antar umat beragama ataupun intern umat beragama itu sendiri, namun demikian dukungan
keagamaan dalam bentuk sarana ibadah secara komposisi perbandingan cukup baik.
Prioritas pembangunan keagamaan dengan tujuan mewujudkan keadaan yang
harmonis untuk meningkatkan kesadaran umat dalam menajalankan kehidupan beragama.
C. Visi dan Misi Kota Sukabumi
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Sukabumi Tahun 2001-2005, maka visi yang
ditetapkan yaitu:
“SEBAGAI
PUSAT
PELAYANAN
JASA
TERPADU
DI
BIDANG
PERDAGANGAN, PENDIDIKAN DAN KESEHATAN”.
Perwujudan dari visi tersebut diharapkan dapat tercapai dalam kurun waktu 15 tahun
sampai dengan tahun 2015, dengan indikator keberhasilan adalah Indek Pembangunan
Manusia (IPM) sesuai dengan diamanatkan dalam Propeda 2001-2005. Untuk lebih
memantapkan pencapaian visi tersebut, dalam RENSTRA Kota Sukabumi 2003-2008
ditegaskan Motto Kabupaten Sukabumi, yakni:
“PEMERINTAHAN YANG AMANAH DALAM KERANGKA MEMBANGUN
KOTA SUKABUMI YANG SEJAHTERA”.
Motto di atas sangat relevan dengan visi Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi
periode 2003-2008. Pengertian amanah secara umum mengandung makna yaitu
menyelenggarakan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Clean and Good
Governance) melalui prinsip-prinsip parsipatif, akuntabilitas, transparansi dan tanggap atau
responsif terhadap tuntutan masyarakat dan taat pada azas pertanggungjawaban publik dan
diharapkan seluruh aparat pemerintah, lembaga-lembaga sosial, organisasi politik, dan
seluruh lapisan masyarakat (stakeholder) dapat berperan aktif dalam membangun Kota
Sukabumi.
Misi pembangunan Kota Sukabumi mengacu pada visi yang ingin diwujudkan, untuk
itu rumusnya dapat dikelompokkan pada sektor pokok sesuai dengan visi yang ingin dicapai.
Misi Kota Sukabumi adalah:
1. Mendorong usaha kecil dan menengah/koperasi sebagai basis perekonomian rakyat.
2. Meningkatkan kualitas dan produktifitas sumber daya manusia.
3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui komitmen, kebersamaan
dan pemberdayaan.
4. Memberikan kesempatan memperoleh layanan pendidikan di semua jenjang pendidikan.
5. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan kemampuan profesional yang
didukung oleh pemerintah dan masyarakat.
6. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terpadu dan dikelola secara profesional.
7. Pelaksanaan otonomi daerah dengan penekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keahlian.
8. Mewujudkan aparatur negara yang profesional, berdayaguna, produktif, transparan dan
bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelayanan kepada masyarakat.
D. Deskripsi Pemimpin Pemerintahan Kota Sukabumi
Sejak tahun 1926 Sukabumi telah dipimpin oleh berbagai suku bangsa sejak dari
jaman Belanda, Jepang sampai jaman Republik, berturut-turut para pemimpin Sukabumi:
a. Jaman Pemerintahan Hindia Belanda
1. Mr. GF. Rambonet, tahun 1926
2. Mr. WM. Ouwekerk
3. Mr. Ala Van Vnen
4. Mr. Wj Ph Van Waning
b. Jaman Jepang (Walokita-Kenco)
1. Raden Rangga Adiwikarta
2. Raden Abas Wilagasomantri
3. Mr. Raden Syamsudin
c. Jaman Republik (Walikota)
1. Mr. Raden Syamsudin
2. Raden Mamun Soeria Hoedaya
3. Raden Ebo Adinegara
4. Raden Afandi Kartajumena
5. Raden Soebandi Prawiranata
6. Raden Mohammad Soelaeman
7. Raden Soewala
8. Drs. Ahmad Darmawan Adi
9. Saleh Wairadikarta, SH.
10. Soeyoed
11. H. Zainuddin Mulaebary, SH.
12. H. Udin Koswara, SH.
13. Pj. Nuriana
14. Plt. Dra. Hj. Molly Mulyahadi Djubaedi, M.Sc.
15. Dra. Hj. Molly Mulyahadi Djubaedi, M.Sc.
16. H. Mokh. Muslikh, Abdussyukur, SH., M.Si. (Walikota) dan Iwan Kustiawan (Wakil
Walikota).
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Respon Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung
(Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008
Latar belakang yang pluralistik dari para pemilih berdasarkan pekerjaan memberikan
banyak informasi bagi peneliti dalam mengidentifikasikan responsivitas. Informasi-informasi
tersebut selanjutnya ditabulasi dan dianalisis serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Hal ini
dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1
Data Karakteristik Pemilih Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil Penelitian Tahun 2008
No. Pekerjaan
Jumlah
%
1.
PNS
103
14,07
2.
Pedagang
178
24,32
3.
Mahasiswa/Pelajar
44
6,01
4.
Swasta
31
4,23
5.
Ibu Rumah Tangga
124
16,94
6.
Lainnya
252
34,43
Total
732
100,00
Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008
Memperhatikan tabel 4.1 di atas, maka untuk jumlah pemilih pada penelitian ini yang
paling banyak sebesar 34,43% atau sebanyak 252 orang pekerjaannya dalah lain-lain, yaitu
terdiri dari para pensiunan, tukang becak, dan sebagainya. Pedagang sebanyak 178 orang atau
24,32%, ibu rumah tangga, swasta sebesar 16,94% atau sebanyak 124 orang,
mahasiswa/pelajar sebanyak 6,01% atau 44 orang, dan paling sedikit adalah karyawan swasta
sebanyak 4,23% atau 31 orang.
Survey terhadap responden berdasarkan latar belakang pekerjaan di atau membantu
peneliti dalam menentukan frame pengambilan interprestasi terhadap data dan informasi yang
diperoleh dari survey. Muatan informasi yang diperoleh dari responden ibu rumah tangga
akan berbeda interprestasinya dengan responden pedagang atau responden pegawai indusri,
dan berbeda dengan responden mahasiswa/pelajar.
Perbedaan interpretasi antar responden sebagai hasil dari survey tidak akan dibahas
secara mendalam dalam bab ini, akan tetapi hanya menjadi bagian dari indentifikasi
deskpriptif. Perbedaan latar belakang pekerjaan menimbulkan perbedaan responden pemilih
(Vooter) dalam Pilkada di Kota Sukabumi, karena respon yang diperlihatkan oleh pemilih
sangat bergantung dari reaksi persepsi, daya tangkap dan daya nalar mereka terhadap
fenomena pilkada.
Berdasarkan dari seluruh responden adalah mereka digerakan oleh perhatian terhadap
masalah pokok dan relevansi tentang pebijakan umum, tentang prestasi pemerintah, dan
keperibadian eksekutif1. Adapun karakter pemberi suara yang responsip adalah: Petama,
inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah
terhadap pilihan para pemberi suara. Kedua, dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan
demografis mereka, pengaruh yang pada hakekatnya merupakan atribut yang permanen ini
1
Lihat bab 2 hal 18
tidak deterministik. Ketiga, memiliki kesetiaan kepada partai, tetapi afiliasi ini tidak
menentukan perilaku pemilihan. Indentifikasi partai bagi pemberi suara yang responsif justru
dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan isu yang dipandang dapat membantunya dalam
membuat pilihan. Keempat, lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka pendek yang penting
dalam pemilihan umum tertentu dari pada oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok
dan atau kepada partai.
Karakteristik pemberi suara responsif di atas, hanya merupakan gambaran secara
teoritis sifat-sifat pemberi suara responsif yang tentunya dapat dianalisis lebih lanjut dengan
kondisi pilkada di Kota Sukabumi. Perbandingan-perbandingan diperlukan dalam
mempertajam hasil penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, dari responden sebanyak 732 orang responden diperoleh
data sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.2 dan gambar 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.2
Data hasil Penelitian Tahun 2008
No.
Pasangan Kandidat
1.
Drs. H. Herman Gurnawijaya Machpud, M.Si.
Dra. Hj. Yanti Indri
2.
H. Deddy Syafei, SE.
H. Itang Abdulkarim, SH.
3.
Ir. H. Yudi Widiana Adia, M.Si.
Iwan Kustiawan
4.
H. Mokh. Muslikh Abdussyukur, SH., M.Si.
5.
Tidak akan memilih
6.
Masih ragu-ragu
7.
Masih rahasia
Jumlah
Keterangan:
1 = PNS
2 = Pedagang
3 = Karyawan
4 = Mahasiswa/Pelahar
5 = Ibu Rumah Tangga
6 = Lainnya
Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008
Gambar 4.1
Hasil Penelitian Responsivitas Masyarakat pada
Pilkada Kota Tahun 2008
1
Pekerjaan
3
4
0
1
5
12
6
14
Jumlah
n
%
38
5,2
0
2
11
1
4
2
0
6
10
23
3,1
2
29
1
12
12
55
111
15,2
36
0
25
39
103
52
6
64
12
178
27
0
1
0
31
17
4
10
0
44
62
1
25
6
124
81
0
72
20
252
275
11
197
77
732
37,6
1,5
26,9
10,5
100,0
Hasil Penelitian Responsivitas Masyarakat pada
Pilkada Kota Sukabumi Tahun 2008
(n=732)
Masih Rahasia
11%
HERMAN - YANTI
DEDDY - ITANG
5%
3%
YUDI - IWAN
15%
Masih Ragu-ragu
27%
MUSLIKH MULYONO
38%
Tidan Akan
Memilih
1%
Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008
Berdasarkan tabel 4.2 dan Gambar 4.1 di atas, maka terlihat adanya respon dari para
responden terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) Kota
Sukabumi tahun 2008. Beberapa responden yang teridentifikasi yaitu:
1. Akan memilih dan langsung menyatakan dukungan pada pasangan calon;
2. Akan memilih, tetapi rahasia dalam menyatakan pilihannya;
3. Masih ragu-ragu, sambil menunggu proses sosialisasi dalam kampanye;
4. Masih ragu-ragu sambil menunggu ajakan dari teman;
5. Masih ragu-ragu sambil menunggu dana dari calon;
6. Masih ragu-ragu karena takut salah pilih;
7. Tidak akan memilih karena tidak ada pengaruh pada pemilih;
8. Tidak akan memilih, karena tidak ada calon yang cocok;
9. Tidak akan memilih, karena tidak mengenal calon;
10. Tidak akan memilih, karena memang tidak mau memilih.
Responden yang diungkapkan oleh para responden di atas, dapat dideskripsikan ke
dalam 3 (tiga) respon utama yaitu memilih, ragu-ragu dan tidak memilih. Hal ini berarti
masyarakat yang diwakili oleh responden memiliki otonomi dalam mengungkapkan
responnya terhadap pemilihan kepala daerah langsung di Kota Sukabumi.
Tanggapan responden yang mengambil sikap memilih, sikap ragu-ragu dan sikap
tidak memilih didasari sesuati hal yang tidak mungkin dapat terungkap secara eksplisit.
Hanya saja dalam penelitian ini, mungkin saja dapat teridentifikasi berdasarkan temuantemuan di lapangan dan kesesuaian teori yang dijadikan pijakan analisis.
Selanjutnya akan diuraikan 3 respon yang dimaksuk sebagai berukut:
1) Respon masyarakat yang mengambil sikap untuk memilih
Mengambil sikap memilih adalah keputusan yang tepat dalam partisipasi politik
dalam Pilkada di Kota Sukabumi. Berbagai slogan, ajakan, liflet dan spanduk yang
digelar oleh organisasi masyarakat (formal/informal) sangat gencar dilakukan dalam
mengajak masyarakat untuk mengambil sikap memilih sebagai berikut “respon positif”.
Beberapa responden menyatakan bahwa dalam mengambil sikap memilih sebagai bentuk
respon positif dalam Pilkada sangat tidak mudah, karena banyak sekali pertimbangan
yang menjadi dasar dalam mengambil sikap memilih tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut dipengaruhi pula oleh budaya politik
kelompok masyarakat, tingkat pendidikan, pengaruh ketokohan/figur, pemahaman sosial
dan dampak sosialisasi. Secara bertahap proses pertimbangan tersebut menjadi proses
pengambilan keputusan sikap/respon.
Sebagian besar responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa dalam
mengambil sikap memilih lebih banyak berdasarkan logika sederhana yaitu
kefiguran/ketokohan. Hal ini kurang memberikan informasi yang menyenangkan bagi
partai, karena kefiguran/ketokohan dapat meleburkan kelompok-kelomok kepentingan.
Responden menyaakan bahwa kefiguran/ketokohan lebih banyak dilihat ketimbang partai
yang mengusung, sehingga hal ini menjadikan bahan evaluasi total bagi partai-partai
besar yang merasa memiliki basis massa tetap. Dampak/proses pembangunan Kota
Sukabumi dan adanya pejabat walikota (incumbent) yang mencalonkan diri tentu
merubah secara signifikan pola budaya politik yang terbangun selama ini, sehingga wajar
apabila salah satu calon akan lebih dominan dibandingkan calon yang lain.
2) Respon masyarakat yangmengambil sikap untuk ragu-ragu
Mengambil sikap ragu-ragu oleh sebagian kecil responden masih dianggap wajar
dalam sebuah proses demokrasi. Ragu-ragu memang bukan keputusan yang tepat dalam
mewujudkan partisipasi politik dalam Pilkada di Kota Sukabumi. Selama dalam proses
Pilkada, responden yang bersikap ragu-ragu dianggap sebagai floating mass (massa
mengambang) dan menjadi rebutan bagi perolehan suara mengambang yang masih dapat
diumpan dan ditangkap oleh tim sukses masing-masing pasangan calon.
Beberapa responden menyatakan bahwa dalam mengambil sikap regu-ragu dalam
pilkada mereka sadari kurang memberikan respon positif dalam pilkada. Sikap ragu-ragu
pun tidak mudah juga, karena ada juga pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar
dalam mengambil sikap ragu-ragu tersebut.
Selain itu, tampak jelas dari tanggapan responden bahwa mereka belum
mengambil keputusan untuk mementukan pilihannya karena ada beberapa pertimbangan.
Dalam hal ini tampak bahwa kegiatan kampanye dari masing-masing pasangan calon
adalah mutlak dilakukan, agar para pemilih benar-benar mengenal dan mengetahui
program yang akan mereka lakukan bila calon tersebut terpilih sebagai walikota/wakil
walikota Sukabumi.
Para pemilihpun sebagian ada yang mengharapkan, bahwa calon walikota/wakil
walikota memberikan uang kepada para pemilih2 (miney politicas). Kenyataan ini
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Kota Sukabumi akan memilih calon
walikota/wakil walikota bila calon tersebut memberikan sejumlah uang.
Tentunya masyarakat tersebut berharap demikian, kaena adanya pengalaman pada
kegiatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ditempat lain, karena untuk Kota
Sukabumi kegiatan Pemilihan Kepala Daerah/Wakil kepala Daerah secara langsung baru
dilakukan untuk yang pertama kalinya, sehingga dapat dikatakan wajar jika ada
sekelompok masyarakat yang masih menunjukkan keinginan/harapan seperti di atas.
Pertimbangan lainnya dominan dipengaruhi oleh isu-isu lokal yang terkadang
memberikan informasi yang kurang sesuai dengan kenyataan (blakc campaign) atau
belum jelas validitasnya dan ada intervensi/pengaruh kelompok masyarakat yang tidak
mau pilkada di Kota Sukabumi berjalan lancar sesuai koridor aturan dan etika.
2
Identifikasi dilapangan pada saat survey di wilayah Cigugur Tengah Kota Cimahi
3) Respon masyarakat yang mengambil sikap untuk tidak memilih
Dari jawaban responden ternyata ada 1,50% yang tidak akan memilih. Melihat
angka ini, dari perspektif partisipasi dan pendidikan politik masyarakat Kota Sukabumi
menunjukkan sangat baik, karena dari data yang diperoleh, artinya ada 98,50% dari
seluruh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih (responden) akan menggunakan
hak pilihnya.
Bila dilihat dari jawaban yang diberikan oleh responden tentang alasan tidak
memilih dan bila dihubungkan dengan pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu
pedagang 6 orang, mahasiswa/pelajar 4 orang dan ibu rumah tangga 1 orang, maka alasan
yang diberikan memang masuk akal dan masih wajar, karena memang selama ini mereka
tidak pernah berhubungan langsung atau berkepentingan langsung dengan siapapun yang
akan terpilih sebagai Walikota/Wakilwalikota Sukabumi.
Mengambil sikap untuk tidak memilih oleh sekelompok kecil responden dalam
pelaksanaan pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi di atas, dapat dikatakan
masih tahap wajar, jika alasan tidak akan memilih disebabkan oleh responden kurang
mengenal calon dan merasa tidak ada calon yang cocok dengan kriteria atau standar
responden. Karena pada dasarnya setiap responden pemilih memiliki persepsi dalam
menentukan standar tertentu dalam memilih.
Dapat dikatakan kurang wajar, jika responden pemilih mengambil sikap tidak
memilih, dikarenakan alasan jika memilih dan tidak memiih tidak berpengaruh pada
mereka dan yang lebih tidak wajar adalah responden pemilih sudah menyatakan tidak
mau memilih. Dua responden terakhir yang disebutkan ini menunjukkan bahwa
pendidikan politik di Kota Sukabumi dapat diinterpretasikan masih ada yang kurang
menyentuh rasa masyarakat. Walaupun prosentasinya sangat kecil atau kurang dari 1%,
dua sikap terakhir ini harus menjadi bahan evaluasi seluruh stakeholder yang terlibat
dalam Pilkada di Kota Sukabumi, jangan sampai angkanya meningkat dalam pelaksanaan
pemilu-pemilu yang akan datang.
Tidak memilih bukan keputusan yang tepat dalam proses politik di manapun,
termasuk Kota Sukabumi. Realitas politik memperhatikan hal-hal yang mengejurkan dari
respon pemilih selama dalam proses Pilkada di Kota Sukabumi, salah satunya adalah ada
responden yang bersikap tidak mau memilih gara-gara partainya berkoalisi dengan partai
lain yang dianggap tidak sepaham. Beberapa responden menyatakan bahwa dalam
mengambil sikap tidak memilih dalam Pilkada mereka sadari kurang baik dalam
memberikan respon positif dalam Pilkada. Sikap tersebut pun dipengaruhi pertimbanganpertimbangan yang sulit diungkapkan secara eksplisit. Selain itu, tanggapan responden
yang mengambil keputusan untuk tidak memilih terkadang disebabkan oleh himpitan
kebutuhan ekonomi, artinya responden merasa selama ini banyak pelaku politik
meninggalkan mereka untuk tetap terpuruk oleh kondisi ekonomi di bawah standar
kelayakan hidup sejahtera.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas Pemilih pada Pemilihan Kepala
Daerah/Wakil Daerah di Kota Sukabumi Tahun 2008
Responsivitas pemilih pada Pilkada Kota Sukabumi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang dapat diidentifikasi berdasarkan hasil survey terhadap responden masyarakat pemilih
(n=732). Dengan merujuk kepada data hasil survey yang diperlihatkan pada tabel 4.2 di atas,
tampak bahwa pasangan calon yang secara eksplisit adalah incumbent menduduki posisi
teratas perolehan tanggapan dari responden ditambah beberapa ungkapan responden yang
menyatakan rahasia dan ragu-ragu, dalam setiap akhir tanggapannya secara garis besar
menyatakan incumbent masih menjadi pertimbangan responden.
Trend responsivitas pemilih masih dapat berubah setiap waktu, akan tetapi deskripsi
hasil penelitian dominan masih ditujukan kepada incumbent. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan tanggapan/respon yang diperlihatkan oleh responden di Kota
Sukabumi. Apalagi dengan melihat hasil survey yang prosentasenya banyak ditujukan dan
mengarah kepada calon incumbent, sudah menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi
realitas tersebut.
Dengan mengkolaborasikan analisis data kualitatif yang diawali dari hasil survey dan
wawancara terbatas terhadap beberapa responden yang bisa ditemui dilapangan, maka dapat
digambarkan pada gambar 4.2 trend faktor yang dapat menjadi pendorong perubahan respon
dari pemilih di Kota Sukabumi, yaitu:
Gambar 4.2
Kurva Trend Faktor yang Mempengaruhi Resposivitas Pemilih
Di Kota Sukabumi Tahun 2008
Keterangan:
F1 = Identifikasi
F2 = Orientasi kandidat
F3 = Kepemimpinan
F4 = Agama/isu/Program
Selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, faktor kepemimpinan. Berdasarkan hasil survey tanggapan responden faktor
kepemimpinan menempati kurva tertinggi, hal ini disebabkan incumbent memiliki pengaruh
kepemimpinan (leadership) yang berkorelasi kuat terhadap orientasi responden. Responden
akan cenderung mendasarkan pilihannya pada pertimbangan mengenai kepala daerah yang
memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang visioner, pola kepemimpinan yang populis,
akomodatif dan berhasil memperlihatkan kondisi nyata proses pembangunan di Kota
Sukabumi.
Kedua, pengnalan kandidat. Calon Kepala Daerah di Kota Sukabumi yang diinginkan
oleh responden adalah memiliki track record, kompetensi, moralitas, mentalitas, popularitas,
dan kinerja kandidat. Hal ini sudah cenderung mengarah ke incumbent sebagai kandidat yang
sudah menjadi public figure. Karena sosialisasi diri dan performance sudah diadopsi oleh
responden dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ketiga, faktor agama/orientasi isu/program. Orientasi sosio-religious masih
berkolerasi terhadap responden dalam memilih calon kepala Daeah di Kota Sukabumi.
Responden akan cenderung memilih calon yang se-agama atau diusung partai berlabel agama
(Islam) dan respoden cenderung untuk memilih berdasarkan sosialisasi program atau isu. Hal
ini ternyata berada dalam satu paket orientasi yang tereduksi dalam visi dan misi calon
kandidat.
Keempat, faktor identifikasi. Kecenderungan ini mengarah kepada clon yang diusung
oleh responden dengan mempertimbangkan untuk melihat persamaan identitas antara pemilih
dan yang dipilih. Artinya, responden mempertimbangkan calon Kepala Daerah di Kota
Sukabumi memiliki identitas yang sama dengan identitas pemilih. Untuk Pilkada di Kota
Sukabumi identitas ini cenderung kepada persamaan politik dan sosial budaya. Artinya calon
yang diusung oleh banyak partai (terutama partai besar) akan cenderung menjadi pilihan
responden di Kota Sukabumi ditambah entitas kesukuan masih kuat dalam Pilkada Kota
Sukabumi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Responsivitas masyarakat/responden yang mengambil sikap untuk memilih, baik
langsung dinyatakan untuk keempat pasangan calon maupun yang masih rahasia sebesar
71%, sedangkan yang mengambil sikap ragu-ragu dengan alasan tertentu sebesar 26,9%
dan sisanya sebesar 1,5% responden tidak akan memilih. Hal ini menunjukkan
responsivitas pemilih (responden) dapat dikatakan masih tinggi untuk Pemilihan Kepala
Daerah di Kota Sukabumi atau 98,5% responden dipastikan kan memilih atau ikut
berpartisipasi dalam Pilkada Kota Sukabumi yang tepatnya akan dilaksanakan pada hari
Sabtu, 8 Maret 2008.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih berdasarkan hasil penelitian
yaitu: Pertama, faktor kepemimpinan, menempati kurva tertinggi, hal ini disebabkan
incumbent memiliki pengaruh kepemimpinan (leadership) yang berkorelasi kuat terhadap
orientasi responden. Kedua, Pengenalan kandidat. Calon Kepala Daerah Kota Sukabumi
yang diinginkan oleh responden adalah memiliki track record, kompetensi, moralitas,
mentalitas, popularitas, dan kinerja kandidat. Ketiga, faktor agama/orientasi isu/program.
Orientasi sosio-religious masih berkolerasi terhadap responden dalam memilih calon
Kepala Daerah di Kota Sukabumi. Keempat, faktor identifikasi. Artinya, responden
mempertimbangkan calon kepala daerah di Kota Sukabumi memiliki identitas yang sama
dengan identitas pemilih yang cenderung kepada persamaan politik dan sosial budaya,
yaitu calon yang diusung oleh banyak partai (terutama partai besar) dan entitas
keagamaan akan cenderung menjadi pilihan responden dalam Pilkada Kota Sukabumi.
B. Saran
1. Memperhatikan kesimpulan di atas, maka masih diperlukan sosialisasi yang komprehensif
dan berkelanjutan selama proses pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi yang
dapat dilakukan oleh KPU sebagai lembaga penyenggaran Pilkada, Tim Sukses masingmasing Calon Walikota/Wakil Walikota dan stakeholders lain yang memiliki tanggung
jawab dan kewenangan dalam suksesnya Pilkada di Kota Sukabumi.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih, dapat diidentifikasi oleh seluruh
stakeholders yang terlibat dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi dalam
melakukan evaluasi internal dan eksternal, sehingga menemukan kekurangan dan
kelebihan masing-masing stakeholders.
3. Bagi masing-masing pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota beserta tim suksesnya
harus memanfaatkan kampanye dengan sebaik-baiknya, serta menjelaskan visi dan
misinya, karena hal ini akan menjadi pertimbangan bagi para pemilih pada saat Pilkada
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Almond, Gabriel A. 1974. Comparative Politics to Day: A wor;d View, :ittle Brown and Co,
Boston.
Sanit, Arbi. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, editor Prasetyo – Yogyakarta: Ghalia
Indonesia.
Azhar, Ipong S. 1997. Benarkan DPR Mandul: Pemilu, dan DPR Masa Orde Baru,
Yogyakarta: Bigraf Publising.
Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J. 1993. Penerjemah A. Khozhin Afandi, Kualitatif
Dasar-dasar penelitian: Surabaya: PT. Usaha nasional.
Bone, Hugh A, Austin Ranney. 1971. Politics and Voters, Third Edition New York: Mc.
Graw-Hill Book Company.
Budiarjo, Mariam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Combs, James E. Nimmo, Dan. 1993. Propaganda Baru, Bandung: Remaja Rosda karya.
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan para Pengeritiknya, jilid III/Robert A. Dahl,
penerjemah dan Kata Pengantar: A. Rahman Zainuddin, Jakarta: yayasan Obor
Indonesia.
Duverger, Maurice. 1951. Partai Politik dan kelompok Penekan/Maurice Duverger,
diterjemahkan Laila Hosglun, disunting dan diantar oleh, Affan Gaffat. Jakarta: Bina
Aksara.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi/Afan Gaffar, editor,
Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
_______, 1992. Javannes Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party
System,: Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Huntington, Samuel P dan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:
Rineka Cipta
_________, 1994. Partisipasi Politik Penerjemah Saat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta
Karya.
_________, 1997. Gelombang Demokrasi Ketiga, Penerjemah, Asril Marjonah, Pustaka
Utama Grafik.
Liddle R, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:
LP3ES.
__________, 1992. Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES.
Nimmo, Dan. 1970. Political Persuaders. New York: Printice-Hall, Engliwood Cliffs.
Nursal Adman, 2004. Political Marketing: Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama.
Reitman, Alan and Robert B. Davidson 1980. The Election Process: Law of Public Election
Campaigns, New York: Oceana Publication Inc, Dobbs Ferry.
Richard Rose. 1974. Electoral Behaviour, New York: The Free Pressw A Division Of
Macmillan Publishing. Co.Inc.
Sanit, Arbi. 1980. Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan, Jakarta: Yayasan
Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI.
Saragih, Bintan R. 1997. Masyarakat dan Sistem Pemilu Indonesia, dalam Evaluasi Pemilu
Orde Baru, Jakarta: LIP Fisip UI, Nizan.
Thoha. Miftah. 1988. Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali
Turmedi Endang, 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKIS.
Yeric, Jerry L. John R. Todd. 1993. Public Opinion The Visibble Poltics, Illinois: Peacock,
Publisher.
Makalah/Artikel
Redjo, Samugyo Ibu. 1996. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bandung dalam Menghadapi
Pemilu. Laporan Penelitian Fisip (Unpad)
Santoso, Topo. 2004. Anggota Panitia Pangawas Pemilihan Umum. Kandidat PhD pada
University of Malaya. Harian Cendrawasih 28 November 2004.
Dokumen Pemerintah Kota Cimahi:
BPS, Kota Cimahi Dalam Angka, tahun 2005.
Data Monografi Kecamatan, tahun 2004.
Undang-undang:
UUD 1945 Amandemen
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 12 tahun 2003, tentang Pemilu Anggota DPRD,
Undang-undang Nomor 31 tahun 2002, tentang Partai Politik.
Undang-undang Nomor 9 tahun 2001, tentang Pembentukan Kota Cimahi.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Download