27 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Sebanyak 1535 individu ikan dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku diperoleh dari kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ikan di SMMA termasuk rendah (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis yang terlihat di Tabel 5) dibanding ikan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, yang mencapai 59 jenis, 34 suku, 48 marga dari 1151 individu (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis di lampiran 3). Bahkan masih lebih rendah dibanding keanekaragaman ikan di perairan mangrove sungai Mahakam, Kalimantan Timur terkoleksi 80 jenis ikan yang mewakili 44 suku (Genisa, 2006). Rendahnya jumlah jenis ikan di SMMA disebabkan oleh kondisi perairannya yang relatif tercemar dan vegetasi mangrove relatif terbuka. Kondisi serupa terjadi di Segara Anakan Cilacap, akibat eksploitasi besar-besaran hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak perikanan dan pemukiman, serta pendangkalan akibat lumpur dari erosi beberapa sungai di sekitarnya (BDISDA, 2010). Secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi keanekaragaman fauna akuatik, khususnya ikan yang menggunakan perairan mangrove sebagai habitat. Menurut Genisa (2006) tinggi rendahnya keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006). Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 26 suku ikan yang diperoleh, suku Gobiidae memiliki anggota jenis tertinggi yaitu 3 jenis (9,37%), diikuti oleh Hemiramphidae, Chandidae dan Cichlidae yang masing-masing diwakili 2 jenis (6,25%). Sedangkan suku lainnya hanya diwakili 1 jenis (3,13%). Kondisi hampir sama terjadi di TNUK, Gobiidae menyumbang anggota jenis tertinggi yaitu 14 jenis (23,73%), kemudian Mugillidae, Leiognathidae, Lutjanidae dan Eleotrididae masing-masing diwakili 3 jenis (5,08%). Dominansi jenis gobi juga terjadi di perairan mangrove Rio Palmar dan Rio Javita Ekuador, yang mencapai 7 jenis dari 36 jenis ikan yang terkoleksi (Shervette et al., 2007). Hal ini terjadi karena 28 Gobiidae merupakan jenis penetap dengan kemampuan adaptasi yang baik pada ekosistem mangrove. Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke No Suku Jenis Sta.1 Sta.2 Sta.3 Sta.4 1 Megalopidae Megalops cyprinoides 2 Clupeidae Sardinella fimbriata 19 26 24 0 5 28 19 1 3 Engraulididae Stolephorus commersonii 7 26 28 0 4 Chanidae Chanos chanos 0 11 9 0 5 Bagridae Mystus gulio 3 0 0 6 6 Clariidae Clarias batrachus 1 0 0 3 7 Loricariidae Liposarcus pardalis 1 0 0 7 8 Hemiramphidae Dermogenys pussila 13 17 0 34 2 6 4 2 10 9 Aplocheilidae Zenarchopterus dispar Aplocheilus panchax 83 0 0 190 11 Poeciliidae Xiphophorus hellerii 92 0 0 226 12 Synbranchidae Monopterus albus 4 0 0 4 13 Chandidae Ambassis gymnocephalus 14 21 50 36 16 A. interrupta 7 9 25 0 15 Carangidae Caranx sexfasciatus 5 11 11 3 16 Leiognathidae Leiognathus equulus 59 233 84 0 17 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 0 1 0 0 18 Gerreidae Gerres kapas 0 3 2 0 19 Sciaenidae Johnius belengerii 0 0 1 0 20 Scatophagidae Scatophagus argus 1 4 5 0 21 Cichlidae Oreochromis mossambicus 11 0 0 5 6 0 0 3 22 42 26 11 1 7 9 0 22 23 Oreochromis niloticus Mugillidae 24 Liza subviridis Liza sp. 25 Eleotrididae Ophiocara porocephala 18 0 0 15 26 Gobiidae Drombus kranjiensis 4 0 0 8 27 Boleopthalmus boddarti 3 14 4 2 28 Periophtalmodon schlosseri 20 36 27 11 29 Anabantiidae Anabas testudineus 28 0 0 21 30 Belontiidae Trichogaster trichopterus 54 0 0 63 31 Channidae Channa striata 15 0 0 21 32 Triacanthidae Triacanthus biaculeatus 0 3 2 0 505 527 316 652 Jumlah Jenis Keterangan: 1.Danau;2.Pesisir;3.Muara;4.Suaka Ciri khusus ikan suku Gobiidae adalah sirip perutnya yang bersatu, berbentuk seperti piringan pencengkeram yang berfungsi untuk melekatkan 29 dirinya pada substrat (Kottelat et al., 1993). Pramudji (2005) melaporkan bahwa di kawasan pesisir Delta Mahakam ditemukan Gobiidae dalam stadium larva dan juvenile. Ikan belodok (mudskipper) dapat hidup di air dan permukaan lumpur di sekitar mangrove dan memiliki kemampuan berjalan dan memanjat dengan menggunakan sirip dadanya. Dalam keadaan bahaya, ikan belodok akan bersembunyi di sekitar tanaman mangrove. Dewantoro et al. (2005) melaporkan bahwa di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut jenis belodok P.schlosseri terlihat mendominasi dari berbagai ukuran. Ditinjau dari kelimpahannya, Leiognathus equulus mendominasi dengan 376 individu, Xiphophorus hellerii 318 individu, dan Aplocheilus panchax 273 individu (Gambar 8). Ketiga jenis ikan tersebut terlihat sering berenang secara berkelompok di setiap stasiun penelitian. Di perairan mangrove TNUK Liza subviridis merupakan jenis yang mendominasi dengan 110 individu (Wahyudewantoro, 2008. belum dipublikasikan). Gambar 8. Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari SM. Muara Angke Leiognathus equulus banyak terkoleksi di pesisir dan di sekitar mulut muara SMMA. Hal tersebut sesuai dengan Kottelat et al. (1993) dan Peristiwady 30 2006) yang menyatakan bahwa L.equulus merupakan jenis ikan yang mendiami perairan dangkal dan muara-muara sungai. Sedangkan Xiphophorus hellerii dan Aplocheilus panchax ditemukan melimpah di danau dan kawasan perairan Suaka. Kedua jenis ini merupakan predator larva nyamuk yang efisien. Keberadaan X. hellerii sebagai ikan introduksi terkadang berdampak negatif bagi ikan asli (Kottelat et al., 1993). Menurut Rachmatika dan Wahyudewantoro (2006) ikan introduksi memiliki preferensi hidup di lingkungan yang kualitas habitatnya umumnya sudah menurun. Chong et al. (1990) menambahkan bahwa komunitas ikan di perairan mangrove umumnya didominasi oleh beberapa jenis ikan, meskipun jenis ikan yang tertangkap relatif banyak. Seluruh jenis ikan yang tertangkap di stasiun penelitian SMMA relatif berukuran juvenile. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Odum (1971) bahwa ekosistem mangrove adalah daerah asuhan nursery dan feeding ground. Di perairan mangrove Bahama sampel ikan tertangkap sebagian besar berukuran juvenile (Wilcox et al., 1975). Perbandingan Antar stasiun Danau Angke memiliki indeks keanekaragaman jenis (H) tertinggi yaitu 2.673, kemerataan jenis 0.830 (E), dan kekayaan jenis 3.391 (d) dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 5). Sedangkan jumlah jenis ikan yang terkoleksi di Danau Angke lebih rendah dibandingkan pesisir, namun dilihat dari indeks kemerataan, danau angke lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir. Sejalan dengan itu Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan menjadi tinggi, apabila tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu (Odum 1971). Tabel 5. Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitian SMMA Indeks Keanekaragaman Jenis (H) Kemerataan Jenis (E) Kekayaan Jenis (d) Danau Pesisir Muara Suaka 2.673 2.062 2.272 1.939 0.83 0.713 0.819 0.637 3.391 2.717 2.65 3.101 Tingginya nilai indeks kekayaan jenis di Danau Angke dikarenakan kondisi lingkungannya masih dapat dikatakan cukup baik dibanding pesisir, 31 muara dan suaka. Substrat dasar dari Danau tersebut yaitu lumpur dan berpasir. Menurut Gunarto (2004) daerah atau substrat lumpur merupakan habitat berbagai jenis nekton, yang menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan. Adanya variasi habitat (substrat) seperti kondisi fisik dan lingkungan sekitar mempengaruhi keragaman jenis-jenis ikan (Yustina dan Arnentis, 2002). Sebaran Populasi dan Karakter Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) dipergunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data, sehingga akan diperoleh komponen utama yang dapat menggambarkan informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Konsep dasar PCA adalah analisis kelompok, karakter yang sama akan dikelompokkan pada satu kelompok dan kelompok yang berbeda dipisahkan menjadi kelompok yang berbeda (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Penelitian kali ini membandingkan 3 jenis ikan yang sama (Periophthalmodon schlosseri, Ambassis gymnocephalus dan Liza subviridis) di lokasi yang berbeda yaitu SMMA dan TNUK. Pada P.schlosseri hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 178 spesimen (94 spesimen dari SMMA dan 84 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 60,90%, 17,57% dan 11,25 % dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 89,72% (Lampiran 4). Untuk ikan A.gymnocephalus Hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 219 spesimen (123 spesimen dari SMMA dan 96 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 69,81%, 17,91% dan 6,84% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 94,56% (Lampiran 5). Hasil PCA L.subviridis terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 211 spesimen (101 spesimen dari SMMA dan 110 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 70.44%, 9.28% dan 5,91% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 85.63% (Lampiran 6). 32 Total ragam dari ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan hasil yang dapat dijelaskan kedua komponen utama dari hasil PCA, maka kedua komponen utama tersebut mampu memberikan atau mempertahankan informasi yang diukur. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan analisis diskriminan untuk menentukan karakter truss morfometrik yang paling berpengaruh dalam persebaran ketiga jenis ikan tersebut. Analisis Diskriminan Secara umum analisa diskriminan dipergunakan untuk mengetahui peubahpeubah penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, selain itu juga sebagai kriteria pengelompokan yang dilakukan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang terlebih dahulu diketahui secara jelas pengelompokannya (Rosy, 2010). Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri Berdasarkan analisis diskriminan dari P.schlosseri secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal dan jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 6. Selanjutnya hasil plotting berdasarkan karakter yang diamati, menunjukkan bahwa P.schlosseri di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 9). 33 Tabel 6. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri. Karakter Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal. Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal. Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang Variasi yang dijelaskan Konstanta Fungsi 1 0.416 (8.642) 1.194 (6.583) 0.671 (8.553) 0.635 (3.644) 99,6 -314.190 Fungsi 2 -0.533 (-11.071) 0.118 (0.651) 0.502 (6.397) -1.515 (-8.690) 0,2 -8.062 Fungsi 3 -0.240 (-4.984) -1.928 (-10.631) 0.139 (1.769) 0.092 (0.528) 0,1 0.915 Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 45,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 99,6% (tabel 5). Melihat rendahnya nilai yang bisa dijelaskan, walaupun terdapat 2 populasi P.schlosseri yang berbeda (SMMA dan TNUK) namun dapat dikatakan pembedanya sangat kecil yaitu hanya 45,5%, hal tersebut diduga jenis ini merupakan jenis penetap dan kosmopolit sehingga secara umum tersebar luas hampir di seluruh P. Jawa. Selain itu kemampuan adaptasi dari jenis belodok sudah tidak diragukan lagi, jadi diduga tidak terjadi variasi yang cukup jelas sebagai pembeda untuk P.schlosseri. Karakter kuat yang menjadi pembeda yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, di SMMA terlihat garis yang ditarik dari titik akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal cenderung lebih panjang dibandingkan di TNUK (Lampiran 7a). Karakter pembeda tersebut muncul diduga akibat adanya pengaruh lingkungan, sehingga belodok di SMMA mampu bergerak bebas didalam lingkungan yang penuh limbah. 34 Gambar 9. Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan hasil analisis diskriminan. Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus Hasil analisis diskriminan dari A.gymnocephalus terdapat 4 karakter utama yang membedakan. Karakter yang dimaksud adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 7. Hasil ploting berdasarkan karakter yang diamati tersebut, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 10). 35 Tabel 7. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus. Karakter Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal Variasi yang dijelaskan Konstanta Fungsi 1 1.016 (3.254) -1.795 (-18.334) 3.299 (26.739) -0.944 (-1.199) 98,8 1,126 Fungsi 2 0.237 (0.758) 1.694 (17.306) 0.657 (5.325) -1.302 (-1.654) 0,5 -29,096 Fungsi 3 1.600 (5.123) -1.340 (-13.688) 0.697 (5.650) 1.223 (1.554) 0,5 -31,472 Gambar 10. Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 59,8%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,8% (Tabel 7). Karakter pembeda yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, terlihat bahwa di SMMA cenderung lebih rendah atau tipis dibandingkan TNUK (Lampiran 7b). Hal tersebut diduga kuat terkait dengan kondisi habitat yang didiaminya. Menurut Nuryanto (2001) faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap variasi 36 morfologi suatu jenis ikan adalah faktor fisik perairan terutama arus. Arus yang terukur di TNUK (pengukuran di S.Cikawung) relatif lebih deras dibandingkan di SMMA, sejalan dengan hal itu Lowe-Mc Connel (1987) dan Nuryanto (2001) menyatakan bahwa arus merupakan faktor fisik yang penting dalam membentuk variasi bentuk dan ukuran tubuh. Oleh karena itu diduga terjadi sedikit adaptasi terhadap tinggi batang ekor (agak sedikit memipih) di SMMA, sedangkan di TNUK batang ekor relatif lebih tebal. Analisis diskriminan Liza subviridis Berdasarkan hasil analisis diskriminan dari L.subviridis secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan, yaitu jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, dan dapat dilihat dengan koefisien kanonikal pada tabel 8. Sama halnya dengan 2 jenis sebelumnya bahwa berdasarkan keempat karakter-karakter yang ada, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 11). Tabel 8. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis. Karakter Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal Variasi yang dijelaskan Konstanta Fungsi 1 0.791 (5.460) 1.172 (7.063) 1.726 (7.948) 1.196 (2.683) 98,0 Fungsi 2 -0.161 (-1.109) -0.496 (-2.986) 0.859 (3.954) 0.769 (1.726) 0,9 -96.973 23.638 Fungsi 3 0.064 (0.443) -0.288 (-1.734) 0.878 (4.041) 0.440 (0.987) 0,6 -4.972 Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 64,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,0% (Tabel 8). Karakter utama yang membedakan yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah. Di SMMA jaraknya lebih pendek dibandingkan TNUK (Lampiran 7c), hal 37 tersebut juga diduga sebagai akibat pengaruh lingkungan sehingga ikan beradaptasi untuk dapat mengimbangi kondisi sekitarnya. Di TNUK, rata-rata aliran sungainya relatif deras (tercatat di muara sungai Cikawung 30,41 m/det) diduga disebabkan oleh kemiringan dari arah hulu sungainya. Lowe-Mc Connel (1987) berpendapat bahwa peningkatan keragaman ukuran tubuh ikan ditentukan kenaikan aliran air. Pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi morfometrik (Yamazaki dan Goto, 1997). Gambar 11. Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan hasil analisis diskriminan Adanya beberapa variasi morfologi pada ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan bahwa SMMA diduga membentuk karakter morfologi yang berbeda dengan di TNUK. Menurut Tzeng et al. (2001) bahwa variasi morfologi suatu populasi pada kondisi geografi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan struktur genetik dan kondisi lingkungan. Sedangkan Affandi et al. (1992) berpendapat bahwa perbedaan ukuran perbandingan dapat disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya seperti makanan, suhu, pH dan salinitas. Perbedaan kondisi lingkungan perairan dapat berdampak terhadap pola adaptasi. 38 Diantaranya adaptasi dalam bentuk tubuh dan ukuran atau jumlah beberapa bagian tubuh. Variasi morfologi ini dapat terjadi pada individu individu dalam satu jenis yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Defira, 2004). Oleh karena itu sebaran dan variasi yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup jenis tersebut. Kajian secara molukuler (DNA) sangat perlu untuk dilakukan dalam hal melengkapi hasil-hasil di atas. Meristik Hasil pengamatan secara meristik yang mengacu kepada Smith (1945) dan Haryono (2001), yaitu terhadap jari-jari pada sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, dan sirip dada pectoral, maupun jumlah sisik pada linea lateralis dan batang sirip ekor (caudal peduncle), sedikit menunjukkan variasi karakter meristik antara masing-masing jenis ikan (P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis) yang diujikan (Tabel 10). Karakter pembeda dari dua lokasi pada P. schlosseri terlihat di sirip anal (P=0,001<0,05). Hadie et al, (2002) berpendapat bahwa pada ukuran bagian tubuh tertentu perkembangannya tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan beberapa ukuran tubuh lainnya berkembang sesuai dengan tekanan lingkungan di tempat hidupnya. Pola warna abu-abu gelap lebih ditunjukkan oleh P.schlosseri dari SMMA, sedangkan di TNUK pola warnanya lebih cerah (lampiran 7a). Tabel 9. Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan Jenis Karakter Sirip Dorsal Sirip Pektoral Sirip Ventral P. schlosseri SMMA TNUK D VIII-IX; I, 12 D IX; I, 12- 13 16-17 16-17 10-11 10-11 A.gymnocephalus SMMA TNUK VII;I,10-11 VII;I, 10-12 15-17 15-16 I, 5-6 I, 4-6 Sirip Anal Linea Lateralis Sisik pangkal S. Ekor I, 12-13 I, 13-14 III,10-11 III,9-10 L.subviridis SMMA TNUK IV,9-10 IV,8-9 15-17 15-16 I, 4-5 I,4-5 III, 910 III, 9-10 55-57 8-10 55-57 9-10 24-26 6-8 25-26 7-8 30-32 6-8 30-31 6-8 Sedangkan A.gymnocephalus terdapat perbedaan pada sirip pektoral (P=0,001<0,05), sirip anal (P=5,08E-06<0,05) dan sisik pangkal sirip ekor (P=8,10E-10<0,05) (Tabel 9), serta pola warna terlihat lebih kuning kehitam- 39 hitaman (agak gelap) di SMMA dibanding dari TNUK (Lampiran 7b). Pada L.subviridis, variasi meristik yang terlihat jelas adalah jari-jari sirip dorsal (P=0,02<0,05), sirip anal (P=0,01<0,05) dan sisik pada pangkal sirip ekor (P=1,02E-06<0,05) (Tabel 10). Pola warna L.subviridis di SMMA berwarna keperakan dan pada bagian dorsal dan ventra lebih terlihat gelap, sedangkan di TNUK bagian dorsal dan ventral lebih cerah dan sedikit kehijauan (Lampiran 7c). Secara umum bagian dorsal L.subviridis berwarna kehijauan dan keperakan, serta bagian ventral putih keperakan. Pada L.subviridis terdapat perbedaaan pada sirip dorsal Beberapa penelitian juga telah mengindikasikan bahwa perbedaan karakter meristik antara lain karena pengaruh lingkungan seperti cahaya, suhu dan kandungan oksigen terlarut (Tanning, 1955 dalam Wibowo et al, 2007), ada dugaan umur dan ukuran specimen yang bervariasi. Bailey dan Gosline (1995) berpendapat bahwa perbedaan karakter meristik diantara populasi jenis ikan mungkin saja dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, mungkin keduanya. Yamazaki dan Goto (1997) menginformasikan bahwa pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi meristik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Haryono (2001) bahwa pada umumnya semakin jauh jarak suatu daerah akan semakin ekstrim perbedaannya. Namun demikian, adanya variasi antara populasi jenis ikan P. shclosseri, A. gymnocephalus dan L. subviridis bukan berarti bahwa jenis-jenis tersebut merupakan ikan yang berbeda. Fluktuasi Asimetri Pada Tabel 10 menunjukkan karakter tapis insang (gill rakers) P.schlosseri mempunyai nilai fluktuasi besaran lebih tinggi (-0,440 hingga -1,074) dibandingkan karakter lainnya. Demikian pula nilai fluktuasi bilangan P.schlosseri, karakter tapis insang juga lebih tinggi (0,119 sampai dengan 0,234) dibandingkan karakter lainnya. Pada A.gymnocephalus, karakter tapis insang juga mempunyai nilai fluktuasi besaran tertinggi (-0,083 sampai dengan -0,285) dibandingkan karakter lainnya, semahalnya untuk nilai fluktuasi bilangan juga mempunyai nilai tertinggi (0,073 sampai dengan 0,187). Begitu pula L.subviridis, baik fluktuasi besaran (-1,261 sampai dengan 1,278) maupun fluktuasi bilangan 40 (0,173 sampai dengan 0,228) menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter tapis insang. Penelitian Nurhidayat et al (2003) pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) juga menunjukkan bahwa karakter tapis insang mengalami fluktuasi asimetri besaran dan bilangan (6,97 dan 0,96) yang paling tinggi dibandingkan karakter lainnya. Tabel 10. Nilai Fluktuasi asimetri besaran (FAM) dan bilangan (FAN) pada 3 jenis ikan yang sama di lokasi penelitian (SMMA dan TNUK). Jenis Lokasi P LL GR ED V P. schlosseri FAM I II I -0.191 -0.202 -1.074 -0.002 - 0.223 0.170 0.234 0.170 - -0.036 -0.298 -0.440 -0.001 - FAN II 0.048 0.107 0.119 0.059 - A.gymnocephalus FAM I II I -0.138 -0.049 -0.285 -0.003 -0.081 -0.042 -0.021 -0.083 -0.001 -0.031 FAN II 0.154 0.158 0.187 0.175 0.098 0.091 0.104 0.073 0.072 0.083 L.subviridis FAM I II I -0.148 -0.099 1.278 -0.024 -0.069 0.158 0.158 0.228 0.217 0.129 -0.027 -0.054 -1.261 -0.004 -0.045 Keterangan: I. SMMA;II. TNUK;P. Pectoral; LL. Linea Lateralis; GR. Gill Rakers; ED. Eye Diameter;V. Ventral. Tingginya nilai fluktuasi baik besaran dan bilangan pada karakter tapis insang diduga akibat lebih banyaknya fungsi tapis insang, antara lain osmoregulasi, respirasi, metabolisme dan ekresi bahan-bahan yang kurang berguna. Berbeda dengan sirip dada dan sirip perut yang hanya berfungsi untuk bergerak atau berenang. Beragamnya fungsi insang mengakibatkan tapis insang lebih peka terhadap berbagai perubahan dalam proses perkembangannya (Nurhidayat et al, 2003). Heath (1987) menginformasikan bahwa insang menjadi titik lemah dalam menghadapi ancaman lingkungan luar karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuansinya. Akibatnya fungsi penting insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Wood, 2001). Insang (bagian filament) di SMMA mempunyai warna cenderung lebih hitam dibanding TNUK, kondisi tersebut diduga akibat adanya pengaruh lingkungan (salah satunya nilai turbiditas 12,59±2,42) dan terdeteksinya logam berat timbal (Pb) dan cadmium (Cd) di perairan tersebut (Gambar 12). FAN II 0.091 0.109 0.173 0.082 0.073 41 a b Gambar 12. Insang L.subviridis dari TNUK (a) dan SMMA (b) Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa nilai fluktuasi asimetri di SMMA lebih tinggi dibandingkan dengan TNUK. Hal tersebut diduga terkait dengan tekanan di dalam kondisi lingkungan di SMMA mempunyai tingkat stress yang tinggi, antara lain kondisi perairan yang relatif tercemar, sehingga jenis-jenis ikan yang mendiami kawasan tidak mampu berkembang secara normal. a b Gambar 13. Hati A.gymnocephalus dari SMMA (a) dan TNUK (b) Almeida et al. (2008) menyatakan bahwa lingkungan dengan stress yang tinggi dapat mengurangi kesehatan ikan tersebut. Hati ikan dari SMMA terlihat berwarna kehitaman dibanding TNUK yang berwarna kecoklatan, hal ini diduga terkait dengan kondisi perairan di SMMA yang tercemar (Gambar 13). Fluktuasi asimetri semakin meningkat dengan meningkatnya inbreeding, mutasi, kondisi fisik yang ekstrim, pencemaran atau kerusakan habitat (Almeida et al, 2008). Hubungan Panjang dan Berat Analisis hubungan panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dianggap 42 sebagai suatu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang dengan berat dapat digunakan sebagai pendugaan berat dari panjang. Selain itu, keterangan mengenai pertumbuhan, kemontokan, dan perubahan lingkungan terhadap ikan dapat diketahui (Effendie, 1997). Hasil hubungan panjang berat ikan jantan P.schlosseri di SMMA menunjukkan koefisien korelasi (r) 0,948, hal ini menjelaskan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 94,8% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri jantan. Pada ikan betina koefisien korelasi (r) 0,969, hal ini menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 96,9% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri betina. Hal yang sama terjadi pada P. schlosseri di TNUK, baik jantan maupun betina mempunyai keeratan antara panjang dengan berat yaitu (r) 0,956 atau 95,6% dan (r) 0,976 atau 97,6% (Tabel 11, Lampiran 8). Nilai (r) yang besarnya hampir mendekati satu, menunjukkan bahwa keragaman yang dipengaruhi oleh faktor lain di dua lokasi tersebut kemungkinannya cukup kecil (Walpole, 1995). Tabel 11. Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri Lokasi N SMMA TNUK W=aLb 25 2.10-6L3,403 23 2.10-6L3,429 Ikan Jantan r Pola Pertumbuhan 0,948 alometrik positif 0,956 alometrik positif N W=aLb 69 61 1.10-6L3,523 4.10-6L3,199 Ikan Betina r 0,969 0,976 Pola Pertumbuhan alometrik positif alometrik positif Berdasarkan analisis hubungan panjang berat P.schlosseri di SMMA dan TNUK memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif, hal tersebut dikarenakan mempunyai nilai b lebih besar dari tiga (b>3). Hal tersebut mengandung makna bahwa pertambahan berat ikan tidak sebanding dengan pertambahan panjangnya. P.schlosseri jantan dan betina di SMMA mempunyai nilai b masing-masing 3,403 dan 3,523, sedangkan di TNUK nilai b 3,429 untuk jantan dan b 3,199 untuk betina. Keadaan ini diduga karena jumlah makanan yang relatif cukup, dan kemampuan adaptasi P.schlosseri yang tinggi di kedua lokasi tersebut. Hasil ini diperkuat juga dengan hasil uji-t yang mendapatkan nilai thitung > ttabel yang berarti tolak Ho (Lampiran 9). 43 Pada A.gymnocephalus nilai koefisien korelasi (r) untuk jantan maupun betina di SMMA adalah 0,875 atau 87,5% dan 0,882 atau 88,2%, yang berarti terdapat keeratan hubungan antara panjang dengan beratnya. Di TNUK, hubungan panjang berat antara ikan jantan dan betina juga terlihat dari nilai (r) 0,978 atau 97,8% dan 0,990 atau 99,0% (Tabel 12, Lampiran 10). Nilai (r) yang relatif hampir mendekati satu, menunjukkan faktor lain di SMMA maupun TNUK yang mempengaruhi keragaman kemungkinannya cukup kecil. Tabel 12. Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus Lokasi Ikan Jantan r Pola Pertumbuhan 38 0,000L2,423 0,875 alometrik negatif 27 8.10-7L3,588 0,978 alometrik positif N SMMA TNUK W=aLb N W=aLb 85 69 0,001L1,785 2.10-6L3,352 Ikan Betina r 0,882 0,990 Pola Pertumbuhan alometriknegatif alometrik positif Selanjutnya analisis hubungan panjang berat ikan A.gymnocephalus jantan dan betina di SMMA memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif, hal tersebut dikarenakan mempunyai nilai b lebih kecil dari tiga (b<3), yaitu 1,785 dan 2,423. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pertambahan panjang ikan lebih cepat dibanding dengan pertambahan berat ikan. Namun berbeda di TNUK, baik ikan betina maupun jantan memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif, dengan nilai b lebih besar dari tiga (b>3), yaitu 3,352 dan 3,588, yang berarti pertambahan berat lebih cepat dibandingkan panjang ikan (Tabel 12, Lampiran 11). Hasil-hasil dari nilai b di dua lokasi tersebut diperkuat dengan uji-t yang menunjukkan nilai thitung > ttabel yang berarti tolak Ho (Lampiran 10). Jadi melihat hasil yang diperoleh bahwa nilai pola pertumbuhan ikan A.gymnocephalus di TNUK masih lebih tinggi dibandingkan di SMMA, hal ini terkait dengan ketersediaan makanan di kedua perairan tersebut. Effendie (1997) menyatakan bahwa hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif yang berarti dapat dimungkinkan berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini juga akan berubah. Mulzifar et al. (2012) menginformasikan bahwa Ambassis koopsi di Perairan Kuala Gigeng Aceh Besar memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. 44 Untuk ikan L.subviridis di SMMA nilai koefisien korelasi (r) untuk jantan 0,988 (98,8%) dan betina 0,985 (98,5%), hal ini berarti baik jantan maupun betina mempunyai hubungan yang erat antara panjang dan berat. Di TNUK nilai (r) juga memperlihatkan keeratan hubungan antara panjang dan berat untuk ikan jantan maupun betina yaitu 0,985 (98,5%) dan 0,977 (97,7%) (Tabel 13, Lampiran 12). Tabel 13. Hubungan Panjang Berat L.subviridis Lokasi N SMMA TNUK W=aLb 29 2.10-5L2,842 24 5.10-5L2,662 Ikan Jantan r Pola Pertumbuhan 0,988 alometrik negatif 0,985 alometrik negatif N W=aLb 72 86 3.10-5L2,777 6.10-5L2,626 Ikan Betina r 0,985 0,977 Pola Pertumbuhan alometriknegatif alometriknegatif Selanjutnya dari analisa pola pertumbuhan diperoleh bahwa L.subviridis di SMMA dan TNUK, baik betina maupun jantan menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil tersebut didapatkan setelah diketahui nilai b lebih kecil dari 3 (b<3), yaitu di SMMA untuk jantan 2,842 dan betina 2,777, sedangkan di TNUK untuk ikan jantan 2,662 dan betina 2,626 (Tabel 13, Lampiran 13). Ramli (2012) melaporkan bahwa ikan L.subviridis di Muara Landipo dan Tanjung Tiram Sulawesi Tenggara juga mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif. Berdasarkan hasil-hasil hubungan panjang dan berat dari 3 jenis ikan yang diujikan, dapat diindikasikan bahwa lingkungan perairan SMMA lebih menguntungkan bagi P.schlosseri dan L.subviridis, sedangkan A.gymnocephalus menunjukkan adanya tekanan lingkungan yang mengakibatkan pertumbuhan terganggu. Faktor Kondisi Faktor kondisi diperlukan untuk mengetahui kemontokan ikan sehingga bisa diduga bahwa jenis-jenis ikan tersebut masih memperoleh supplai makanan yang cukup dari lingkungannya. Richter (2007) menyatakan bahwa faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan, produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan. Nilai faktor kondisi rata rata untuk P.schlosseri jantan adalah 1,0018 ± 0,0631 dan betina 1,0058 ± 0,1135 di SMMA, sedangkan di TNUK untuk ikan jantan 1,0129 ± 0,16845 dan betina 1,0128 ± 0,1679. Pada ikan A.gymnocephalus 45 jantan 1,0014 ± 0,0537 dan betina 1,0026 ± 0.0734 di SMMA, untuk di TNUK nilai FK ikan jantan 1,0054 ± 0,1123 dan betina 1,0063 ± 0,1227. Selanjutnya di SMMA nilai FK Liza subviridis jantan 1,0027 ± 0,0725 dan betina 1,0041 ± 0,0901, sedangkan di TNUK ikan jantan mempunyai nilai FK 1,0053 ± 0,1032 dan betina 1,0072 ± 0,1201. Secara umum nilai faktor kondisi ketiga jenis ikan yang diteliti tidak jauh berbeda, walaupun P.schlosseri mempunyai nilai sedikit lebih tinggi. Kondisi ini diduga karena kemampuan adaptasi atau faktor makanan yang mendukung. Penelitian ikan L.subviridis yang telah dilakukan oleh Ramli (2012) di Muara Landipo dan Tanjung Tiram Sulawesi Tenggara, memperlihatkan nilai faktor kondisi rata-rata masing-masing 4,15 ± 1,08 dan 1,69 ± 0,35. Besarnya nilai faktor kondisi mengindikasikan bahwa detritus yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat cukup tinggi sebagai makanan L.subviridis tersedia melimpah. Sedangkan Mulfizar et al. (2012) melaporkan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata Ambassis koopsii yang hidup di perairan Kuala Gigeng Aceh Besar adalah 2.26 ± 0.19. Nilai faktor kondisi tersebut menunjukkan bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator yang rendah. Effendie (1997) menyatakan bahwa besarnya faktor kondisi tergantung pada banyak hal antara lain jumlah organisme yang ada, kondisi organisme, ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan perairan. Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan lingkungannya. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan antara kelamin ikan jantan dan ikan betina. Menurut Bal dan Rao (1984), nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi, yang mana nisbah 1:1 merupakan kondisi yang ideal. Berdasarkan hasil pengamatan jenis kelamin 93 individu P.schlosseri yang berasal dari SMMA, didapat 25 ekor jantan dan 68 betina. Hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin ikan secara keseluruhan menunjukkan hasil berbeda nyata sehingga dapat dinyatakan bahwa nisbah kelamin P. schlosseri dalam penelitian ini adalah 1 : 2,72 (1 jantan berbanding 2,72 betina). Sedangkan hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan 46 95% (α = 0.05) nisbah kelamin P.schlosseri dari TNUK, menunjukkan perbandingan jantan dan betina 1 : 2,65 (Lampiran 14). Pengamatan jenis kelamin pada 123 individu A.gymnocephalus dari SMMA diperoleh 38 ekor jantan dan 85 betina. Hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin A.gymnocephalus menunjukkan hasil berbeda nyata dengan nisbah kelaminnya 1 : 2,24 (1 jantan berbanding 2,24 betina). Nisbah kelamin A.gymnocephalus di TNUK setelah diuji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) menunjukkan hasil 1 : 2,56 (Lampiran 14). Selanjutnya pengamatan jenis kelamin dari 101 individu L.subviridis yang berasal dari SMMA didapat 29 ekor jantan dan 72 betina. Uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin ikan menunjukkan hasil berbeda nyata sehingga dapat dinyatakan nisbah kelaminnya adalah 1 : 2,48 (1 jantan berbanding 2,48 betina). Nisbah kelamin L.subviridis di TNUK setelah diuji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) menunjukkan hasil berbeda nyata dengan rasio 1 : 3,58 (Lampiran 14). Setyobudi et al. (2006) melaporkan bahwa perbandingan jantan dan betina L.subviridis di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo diperoleh perbandingan 1 : 0,7. Sedangkan pada Liza abu di Propinsi Khozestan Iran menunjukkan nisbah kelamin 1 : 2,7 (Chelemal et al., 2009). Hasil uji nisbah kelamin dari jantan dan betina pada ketiga jenis ikan di dua lokasi yang berbeda, tidak diperoleh perbandingan 1:1. Penyimpangan dari pola 1:1, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, pertumbuhan, penyebaran jantan dan betina yang tidak merata, kondisi lingkungan, serta faktor penangkapan (Arslan and Aras, 2007). Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Penentuan tingkat kematangan gonad antara lain dengan mengamati perkembangan gonad (Effendie, 1997). Hasil pengamatan TKG terhadap P.schlosseri jantan di SMMA didominasi TKG III sebesar 48%, TKG II 28%, TKG I 16,0 % dan TKG IV 8,0%. Hal yang sama terjadi pada betina bahwa TKG III mendominasi sebesar 76,81%, kemudian 47 TKG I dan II masing-masing 8,7%, TKG IV hanya 5,8 %. Sebaliknya di TNUK, TKG I mendominasi untuk jantan yaitu 34,78%, kemudian TKG II dan III masing-masing 26,09%, dan TKG IV 13,04%. Untuk betina didominasi oleh TKG II 32,79%, TKG I 31,15%, TKG III 29,51% dan TKG IV 6,56% (Gambar 14). Ukuran pertama kali matang gonad (TKG IV) jantan di SMMA adalah 71,42 mm dan betina 78,78 mm. Sedangkan di TNUK ukuran jantan 54,97 mm dan betina 77,37 mm. Boleopthalmus boddarti di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur pertama kali matang gonad untuk jantan-betina yaitu 140 mm dan 130 mm (Hawa, 2001). Kematangan gonad pada belodok B.dussumieri di Korangi creek (25oN dari India) terjadi pada ikan berukuran 70 mm, sedangkan di Bombay terjadi pada ukuran ikan 96-110 mm (Ansel et al., 1993). Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan matang gonad pada setiap jenis belodok, baik dalam jenis kelamin maupun lokasi. Marga Boleopthalmus relatif lebih cepat matang gonad dibanding Periophthalmodon. Gambar 14. Tingkat Kematangan Gonad P.schlosseri di dua lokasi penelitian Matang gonad pada jantan A. gymnocephalus di SMMA didominasi oleh TKG II 39,37%, TKG I 26,32%, TKG III 18,42% dan TKG IV 15,79%. Pada ikan betina juga didominasi oleh TKG II 43,53%, kemudian TKG III 31,76%, TKG IV 14,12%, dan TKG I 10,59%. Sedangkan ikan jantan A.gymnocephalus di TNUK, TKG IV mendominasi dengan 40,74%, kemudian TKG III 29,63%, TKG II 18,52% dan TKG I 11,11%. Demikian pula pada betina, TKG IV juga mendominasi dengan 63,77%, kemudian TKG III 17,39%, TKG I 11,59% dan TKG II 7,25% (Gambar 15). Pada pengamatan selanjutnya terlihat bahwa jantan matang gonad pertama kali (TKG IV) di SMMA yaitu 48,28 mm, pada betina 49,55 mm, sedangkan di TNUK ukuran jantan 53,84 mm dan betina 53,10 mm. 48 Gambar 15. Tingkat Kematangan Gonad A. gymnocephalus di dua lokasi penelitian Berdasarkan hasil pengamatan baik jantan maupun betina menunjukkan bahwa A.gymnocephalus dari lokasi yang berbeda mempunyai kematangan gonad yang berbeda pula. Selanjutnya dari ukurannya A.gymnocephalus di SMMA lebih cepat matang dibandingkan TNUK. Adanya pengaruh lingkungan yang ekstrim diduga menuntut pematangan gonad yang lebih cepat agar kelestarian jenis dapat dijaga. Pengamatan L.subviridis jantan di SMMA terlihat TKG IV mendominasi dengan 65,52%, kemudian TKG III 13,79%, TKG II dan I masing-masing 10,34%. Pada betina juga didominasi oleh TKG IV yaitu 47,22%, lalu TKG III 31,94%, TKG II 11,11% dan TKG I 9,72%. Di TNUK, jantan didominasi oleh TKG IV dengan 33,33%, kemudian TKG III 29,17%, TKG II 20,83% dan TKG I 16,67%, sedangkan betina didominasi TKG III dengan 31,40%, lalu TKG IV 27,91%, TKG II 27,91% dan TKG I 12,79%. (Gambar 16). L.subviridis yang terkoleksi di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo didominasi TKG I dengan 35,4% (Setyobudi et al., 2006). Pada pengamatan matang gonad pertama kali (TKG IV) pada jantan di SMMA yaitu 91,02 mm dan betina 99,21 mm. Sedangkan di TNUK ukuran jantan 95,4 mm dan betina 96,58 mm. Belanak Mugil dussumieri di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur mulai menunjukkan kematangan gonad pada jantan dan betina pada ukuran 120 mm dan 140 mm (Sulistiono et al., 2001). 49 Gambar 16. Tingkat Kematangan Gonad L. subviridis di dua lokasi penelitian. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa L.subviridis di SMMA dan TNUK relatif beragam. Hal ini diduga L.subviridis dapat melakukan pemijahan lebih dari 1 kali, terlihat dari proses pematangan telurnya. Dalam hal ukuran pertama kali matang gonad, ikan jantan lebih cepat matang dibandingkan betina. Sulistiono et al. (2001) menginformasikan bahwa M.dussumieri jantan cenderung lebih cepat matang dibandingkan betinanya. Hasil-hasil TKG dan ukuran pertama kali matang berbeda disetiap lokasi. Effendie (1997) menegaskan bahwa ukuran pertama kali matang gonad berbeda untuk setiap jenis ikan. Bahkan pada jenis yang sama dengan habitat yang berbeda (posisi Lintang dan Bujurnya) dapat matang gonad pada ukuran berbeda. Faktor utama yang berpengaruh dalam kematangan gonad ikan selain keberadaan hormon adalah suhu dan makanan. Sulistiono et al. (2001) menambahkan bahwa perbedaan ukuran tersebut diduga disebabkan oleh parameter pertumbuhan, sehingga dapat saja terjadi perbedaan saat pertama kali matang gonad. Dalam proses reproduksi, perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari proses produksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Berat gonad akan maksimal pada waktu ikan akan memijah, kemudian akan menurun secara cepat dengan berlangsungnya musim pemijahan hingga selesai (Effendie, 1997). Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan data jenis P.schlosseri dengan kriteria TKG IV, maka ratarata persentase IKG jantan di SMMA 1,95±0,02 dan betina 4,87±0,07. Sedangkan 50 untuk jantan di TNUK adalah 1,68±0,05 dan betina 3,74±0,31 (Tabel 15). Pada jantan dan betina A.gymnocephalus persentase IKG (TKG IV) di SMMA berkisar 0,85±0,07 dan 2,53±0,17. Sedangkan untuk ikan jantan dan betina di TNUK berkisar 2,53±0,17 dan 1,64 ±0,59 (Tabel 14). Selanjutnya persentase IKG (TKG IV) pada ikan jantan L.subviridis di SMMA berkisar 3,34±0,18 dan betina 10,50±1,62. Sedangkan untuk jantan di TNUK adalah 3,46±0,15 dan betina 14,64±2,33 (Tabel 14). Tabel 14. Indeks Kematangan Gonad Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Jenis P. schlosseri A. gymnocephalus L. subviridis Jantan (SMMA) IV 1,93-1,96; 1,95±0,02 0,80-0,94; 0,85±0,07 3,07-3,69; 3,34±0,18 Jantan (TNUK) IV 1,62-1,72; 1,68±0,05 0,20-0,24; 0,22±0,02 3,36-3,71; 3,46±0,15 Betina (SMMA) IV 4,81-4,98; 4,87±0,07 2,34-2,82; 2,53±0,17 8,18-13,33; 10,50±1,62 Betina (TNUK) IV 3,53-4,19; 3,74±0,31 2,05-2,58; 1,64 ±0,59 9,00-17,73; 14,64±2,33 Hasil perhitungan dari IKG ikan diduga banyak disebabkan oleh habitat dan pergerakan ikan, yang terkait dengan jumlah spesimen. Ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan bahwa IKG betina relatif lebih besar dibandingkan IKG jantan. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1997) bahwa pada tingkat kematangan gonad yang sama, nilai IKG betina pada umumnya lebih besar dibanding jantan. Hal ini disebabkan karena ikan betina lebih memacu pertumbuhan pada perkembangan gonad. Pada umumnya pertambahan berat tubuh akan mempengaruhi pertambahan berat gonad, namun beberapa jenis ikan mempunyai berat yang sama tetapi berat gonadnya berbeda sehingga IKG yang diperoleh tidak sama. Nilai indeks ini akan meningkat dan mencapai batas maksimum menjelang pemijahan. Menurut Lagler et al. (1977) ada dua faktor yang memengaruhi kematangan gonad yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi perbedaan jenis, umur, ukuran serta sifat fisiologi ikan. Sedangkan faktor luar adalah makanan, suhu dan arus air. Andriani (2000) menginformasikan bahwa kematangan gonad ikan pelangi sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh arus, suhu dan tesedianya makanan. Sedangkan ikan pelangi Melanotaenia eachamensis, M. splendida splendida dan Cairnsichthys rhombosomoides di bagian utara 51 Queensland, Australia lebih banyak mencapai TKG IV dan V pada saat musim kemarau yang ditandai dengan meningkatnya suhu, arus relatif stabil dan tersedianya makanan yang cukup. Nilai IKG ikan pelangi tergolong bervariasi bergantung pada lokasi dan musim dan strategi pemijahan (Pusey et al., 2001). Fekunditas dan Diameter Telur Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi produksi pada ikan dengan menghitung jumlah telur didalam ovari ikan betina Menurut Effendie (1997) fekunditas adalah telur yang masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas lebih sering dikaitkan dengan ukuran panjang daripada berat karena penyusutannya relatif kecil, tidak seperti berat yang dapat berkurang dangan mudah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fekunditas yang telah matang gonad (TKG IV) di SMMA lebih sedikit dibanding di TNUK (Tabel 16). Beberapa penelitian terkait dengan fekunditas ikan belodok dilakukan pada Boleophtalmus boddarti di Ujung Pangkah fekunditasnya berkisar 15.590177.720 butir. B. dussumieri di Krangi Creek berkisar 970-4113 butir dan di Bombay berkisar 1028-7199 butir (Ansel et al., 1993; Sulistiono et al, 2001). Pada L.subviridis di Kali Pantai Kab.Kulon Progo dan Purwerejo dilaporkan oleh Setyobudi et al. (2006) bahwa fekunditasnya berkisar antara 289.812-892.498 butir dengan rata-rata 507.497 butir. Fekunditas Mugil dussumieri di S. Cimanuk berkisar 33.000-845.000, dan berkisar 41.237-323.200 butir di Ujung Pangkah (Daulay dan Pratiwi, 2000; Sulistiono et al., 2001). Individu ikan dari jenis yang sama tetapi hidup di habitat atau perairan yang berbeda kemungkinan akan mempunyai fekunditas yang berbeda (Effendie, 1997). 52 Tabel 15. Fekunditas Ketiga Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Jenis Fekunditas (butir) Kisaran dan rata rata SMMA TNUK P.schlosseri 32978-38428 36515,75±2442,88 40978-50448 44495,75±4134,10 A.gymnocephalus 4383-5728 4832±384,75 129837-469794 227380±115314,9 3286-6785 5053±888,50 136192-694692 411163±167666 L.subviridis Menurut Murua et al. (2003) fekunditas dapat beragam diantara jenis sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan habitat. Selain itu juga dipengaruhi umur ikan, ukuran telur, makanan, dan musim (Nikolsky, 1963; Yustina dan Arnentis, 2002). Fekunditas pada ikan Brycinus nurse di Waduk Asa, Nigeria lebih rendah dibanding di Ivory Coast. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan lokasi geografis dari populasi yang mempengaruhi perbedaan habitat hidup (Saliu dan Fagade, 2003). Berdasarkan hasil regresi linear P.schlosseri di 2 lokasi diperoleh koefisien determinasi (R2) hubungan (kemampuan variabel independen (X) menjelaskan variabel dependen (Y)) fekunditas dengan panjang standar menunjukkan nilai yang relatif sama besar, yaitu R2 = 0,851 (SMMA) dan R2 = 0,872 (TNUK) (Tabel 17, Lampiran 15). Nilai R2 A.gymnocephalus di SMMA menunjukkan nilai 0,766, lebih rendah dibanding nilai R2 di TNUK yang mencapai 0,964 (Tabel 16, Lampiran 16). Tetapi nilai R2 0,956 pada L.subviridis di SMMA sedikit lebih tinggi dibanding di TNUK yaitu 0,841 (Tabel 16, Lampiran 17). Hasil yang sama juga terjadi pada L.subviridis di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo yang menunjukkan hubungan erat dengan nilai R2 mencapai 0,734 (Setyobudi et al., 2006). Pada belanak Mugil dussumieri di Ujung Pangkah diperoleh nilai R2 tinggi yaitu 0,83, yang menunjukkan keeratan hubungan antara panjang dengan fekunditas (Sulistiono et al., 2001). 53 Tabel 16. Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas Lokasi SMMA TNUK P.schlosseri Y=a+bx R2 419,2 X-1877 0,851 685,4 X-8950 0,872 A. gymnocephalus Y=a+bx R2 100,1 X-1360 0,766 88,85 X-1025 0,964 L.subviridis Y=a+bx R2 5807 X-40991 0,956 4073 X-24684 0,841 Dilihat secara keseluruhan terdapat keeratan hubungan antara fekunditas dengan panjang standar, sehingga dapat dijadikan penduga fekunditas ketiga jenis ikan tersebut di atas. Perbedaan fekunditas ikan antar lokasi diduga karena ketersediaan makanan dan kondisi habitat. Secara umum lingkungan perairan SMMA tercemar beberapa logam berat, sehingga diduga berpengaruh terhadap mikroorganisme atau plankton sebagai makanan ikan, serta karakter dan daya adaptasi ketiga jenis ikan tersebut berbeda. P.schlosseri diketahui mempunyai adaptasi yang tertinggi, walaupun dalam lingkungan yang tercemar. Di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut yang rusak akibat banyaknya perambahan dan pencemaran perairan (limbah rumah tangga, masih banyak dijumpai P.schlosseri dari ukuran kecil sampai dewasa (Dewantoro et al., 2005). Pelumpuran yang terjadi juga menunjang A.gymnocephalus dalam memperoleh makanannya, sedangkan L.subviridis memanfaatkan detritus yang dihasilkan guguran daun mangrove. Ramly (2012) menduga bahwa jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan berkonstribusi terhadap pertumbuhan L.subviridis, sehingga memengaruhi reproduksi dan fekunditas yang dihasilkan. Adanya logam berat salah satunya Timbal (Pb) diduga juga berpengaruh terhadap kematangan gonad dan fekunditas. Ikan yang berada di dalam perairan yang mengandung Pb, pada hatinya akan ditemukan akumulasi logam berat, akibatnya supplai cadangan makanan untuk matang gonad terganggu. Diameter telur merupakan ukuran garis tengah atau panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala. Ukuran diameter telur dipakai untuk menentukan kualitas kuning telur (Effendie, 1997). Kisaran diameter telur TKG IV ikan betina P.schlosseri di SMMA adalah 0,165-0,593 mm (0,36±0,14), dan 0,160-0,580 mm (0.30±0.13) di TNUK. Kisaran diameter telur A. gymnocephalus di SMMA adalah 0,124-0,322 mm (0,25±0.06), dan 0,112-0,264 mm (0,15±0,06) di TNUK. Sedangkan kisaran diameter telur L.subviridis di SMMA adalah 0,237-0,538 mm (0,41±0,08), dan 0,257-0,637 mm (0,46±0,1) di 54 TNUK. Ukuran diameter telur ikan betina di SMMA dibanding hampir sama pada P.schlosseri, lebih tinggi pada A.gymnocephalus dan lebih rendah pada L.subviridis. Pada tingkat eksploitasi yang tinggi dan potensi reproduksi kecil maka diameter telur kecil, sehingga reproduksinya lebih terjaga. Namun kondisi di SMMA berbanding terbalik, sejalan dengan hal tersebut Sitepu (2007) menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup ekstrim menyebabkan ikan melakukan strategi reproduksi dengan memperbesar ukuran diameter telur dan memperkecil fekunditas. Telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dari pada telur yang berukuran kecil. Perkembangan diameter telur semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad (Effendie, 1997). Pola sebaran ukuran diameter telur TKG IV P.schlosseri terlihat bervariasi di SMMA puncaknya pada kisaran 0,160-0,199 mm dan 0,360-0,399, di TNUK 0,280-0,319 mm dan 0,560-0,599 mm. Boleophthalmus boddarti di Ujung Pangkah mempunyai pola pemijahan sebagian-sebagian (parsial spawner), hal ini disebabkan sebaran diameter telur pada TKG IV mempunyai dua puncak kematangan gonad (Hawa et al., 2001). Ansel et al. (1993) menginfomasikan bahwa B.dussumieri di Bombay mengalami satu kali pemijahan setiap musimnya. Pada A.gymnocephalus menunjukkan pola sebaran diameter telur yang beragam di SMMA sebaran yang tertinggi berkisar 0,260-0,280 mm dan 0,1340,154 mm. Sebaran diameter telur L.subviridis di SMMA dan TNUK berkisar 0,440-0,468 dan 0,411-0,439 mm. Berdasarkan penyebaran diameter telurnya (satu puncak), L.subviridis di S.Cimanuk termasuk pemijah total (total spawner) (Effendie, 1997). Sebaran diameter telur pada ketiga jenis ikan di dua lokasi berbeda menunjukkan hasil yang bervariasi, diduga dipengaruhi umur, tersedianya makanan, lingkungan dan jumlah spesimen yang matang gonad. Pada L.subviridis, walaupun jumlah ikan TKG IV tidak banyak namun secara individual menunjukkan bahwa ikan tersebut telah melakukan pemijahan. Jadi pemijahan tidak dilakukan secara serentak dalam suatu saat oleh kelompok besar melainkan oleh kelompok kecil, dengan frekuensi lebih besar dilakukan secara 55 bergantian oleh kelompok kecil lainnya (Effendie, 1997). Frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur pada gonad ikan yang telah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya (Lumbanbatu, 1979 dalam Hawa et al., 2001). Indeks Hepatosomatik Indeks hepatosomatik merupakan suatu indeks yang menggambarkan cadangan energi yang ada pada tubuh ikan ketika ikan mengalami perkembangan kematangan gonad. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad maka semakin tinggi nilai HIS. Hal ini terjadi karena adanya proses vitelogenesis pada hati ikan (Cerda et al. 1996 dalam Affandi dan Tang, 2000). Berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh terlihat nilai indeks hepatosomatik P.schlosseri di SMMA lebih tinggi dibanding di TNUK (Tabel17). Nilai indeks terlihat semakin tinggi seiring dengan kematangan gonad. Berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan nilai indeks ikan betina lebih tinggi dibanding jantan. Hal yang sama juga terjadi pada A.gymnocephalus di SMMA yang mempunyai nilai indeks yang lebih tinggi dibanding TNUK. Untuk jenis kelamin, nilai indeks betina lebih tinggi dibanding jantan (Tabel 18). Kondisi tersebut juga terjadi pada L.subviridis, yang mempunyai nilai indeks hepatosomatik tinggi di SMMA (Tabel 19), dan nilai indeks HSI jantan lebih rendah dibanding betina. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian berpengaruh terhadap peningkatan nilai hepatosomatik. Brusle and Anadon (1996) berpendapat bahwa nilai HSI ikan betina umumnya lebih besar daripada ikan jantan. Tabel 17. Indeks Hepatosomatik P.schlosseri di SMMA dan TNUK Lokasi SMMA TKG Jantan Betina TNUK Jantan Betina I II III IV 2,91-2,93 2,96-3,07 3,09-33 3,39-3,46 2,92±0,01 3,03±0,04 3,19±0,09 3,43±0,05 1,97-2,82 2,83-2,89 2,90-3,36 3,38-3,45 2,62±0,33 2,87±0,028 3,09±0,11 3,42±0,03 1,50-2,39 2,40-2,51 2,53-2,61 2,72-2,74 2,05±0,29 2,45±0,04 2,59±0.06 2,73±0,01 1,49-2,19 2,21-2,47 2,48-2,60 2,60-2,79 1,97±0,20 2,34±0,09 2,54±0,037 2,66±0,085 56 Tabel 18. Indeks Hepatosomatik A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK Lokasi TKG Jantan SMMA Betina Jantan TNUK Betina I II III IV 2,32-2,68 2,74-3,07 3,08-3,26 3,27-3,50 2,54±0,13 2,95±0,10 3,19±0,07 3,38±0,09 1,39-2,68 2,73-3,44 3,44-3,68 3,69-3,89 2,26±0,42 3,14±0,20 3,54±0,07 3,74±0,06 0,96-1,41 1,46-1,55 1,56-2,05 2,08-2,41 1,15±0,23 1,52±0,05 1,79±0.19 2,24±0,11 0,65-1,14 1,21-1,37 1,38-1,85 1,85-2,53 0,92±0,17 1,29±0,06 1,68±0,17 2,22±0,20 Tabel 19. Indeks Hepatosomatik L.subviridis di SMMA dan TNUK Lokasi SMMA TKG Jantan Betina TNUK Jantan Betina I II III IV 1,24-1,36 1,54-1,61 1,65-2,11 2,28-3,10 1,32±0,07 1,58±0,03 1,81±0,22 2,76±0,20 0,95-1,05 1,88-2,32 2,35-2,53 2,55-3,64 1,13±0,16 2,12±0,16 2,44±0,06 2,80±0,30 0,77-1,14 1,21-1,45 1,48-1,62 1,66-1,89 0,93±0,16 1,35±0,10 1,55±0.058 1,77±0,09 0,96-1,19 1,30-1,49 1,49-1,75 1,76-2,53 1,03±0,11 1,43±0,05 1,63±0,08 2,00±0,26 Selanjutnya dilihat dari hubungan antara nilai IKG dengan HSI menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi untuk jenis P.schlosseri jantan di SMMA yaitu 0,948 (94,80 %) dan di TNUK 0,737 (73,70%), sedangkan untuk betina 0,779 (77,90%) di SMMA dan 0,847 (84,70%) di TNUK (Tabel 20, Lampiran 18). Pada A.gymnocephalus jantan nilai R2 yaitu 0,850 (85,0%) di SMMA dan 0,829 (82,90%) di TNUK, untuk betina SMMA nilai R2 yaitu 0,912 (91,20%) dan 0,725 (72,50%) di TNUK (Tabel 21, Lampiran 19). Untuk L.subviridis jantan di SMMA nilai R2 0,708 (70,8%) dan 0,897 (89,70%) di TNUK, sedangkan ikan betina 0,880 (88,0%) di SMMA dan 0,891 (89,1%) di TNUK (Tabel 22, Lampiran 20). Nilai tertinggi IKG sejalan dengan pertambahan nilai HSI artinya perkembangan gonad diikuti oleh perkembangan hati sebagai subsidi internalnya. Nilai HSI berkaitan erat dengan IKG dan TKG, 57 serta nilai tersebut menunjukkan kondisi pakan dan tingkat kematangan gonad ikan (Brusle and Anadon, 1996). Tabel 20. Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri Lokasi SMMA TNUK Jantan Y=a+bx 0,369X+1,410 1,133 X+0,861 R2 0,847 0,737 Betina Y=a+bx 0,228 X+2,195 0,063 X+1,502 R2 0,779 0,746 Tabel 21. Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus Lokasi SMMA TNUK Jantan Y=a+bx R2 2,385 X+1,383 0,850 5,857 X+0,957 0,829 Betina Y=a+bx R2 1,460 X+0,161 0,912 0,615 X+1,130 0,725 Tabel 22. Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis Lokasi SMMA TNUK Jantan Y=a+bx R2 0,763 X+0,064 0,708 0,383 X+0,364 0,897 Betina Y=a+bx R2 0,152 X+1,254 0,880 0,06 X+1,170 0,851 Berdasarkan nilai HSI dari ketiga jenis ikan, dapat diketahui bahwa hati selain berfungsi sebagai organ penimbun cadangan energi juga sebagai organ vital yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Sheikh-Eldin et al. (1996) berpendapat bahwa cadangan energi di dalam hati akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan pemijahan. Jadi dapat diduga dengan nilai HSI yang tinggi, maka ikan lebih siap dalam melakukan proses pemijahan. Namun hal tersebut juga harus dikaitkan dengan kondisi perairan sekitarnya. Menurut Setyowati et al. (2010) masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh ikan menyebabkan terakumulasinya bahan pencemar dalam jaringan terutama di dalam hati. Fisika Kimia Air Hasil pengamatan fisika kimia air di SMMA dapat dilihat pada tabel 23. Suhu rata-rata di lokasi penelitian yang diamati berkisar 29 oC – 30 oC. Suhu yang baik untuk ikan dan fauna akuatik lainnya adalah kurang dari 32oC (Effendie, 2003). Suhu juga berpengaruh terhadap nafsu makan ikan. Perubahan suhu akan berpengaruh langsung terhadap semua aspek metabolisme, yang berakibat pada aktivitas makan, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Wotton, 1992). Derajad 58 keasaman (pH) perairan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya kualitas suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Hasil pengukuran pH di seluruh lokasi penelitian adalah 7,0. Berdasarkan Kep.Men LH No.51 (2004) nilai suhu dan pH masih dalam kisaran baku mutu air laut untuk biota laut di daerah mangrove. Pengukuran oksigen terlarut secara umum nilainya tidak terlalu tinggi. Hal ini dimungkinkan karena tekanan ekologis lingkungan yang tinggi. Menurut Kep.Men Lingkungan Hidup (2004), standar baku mutu air laut untuk biota laut yang diperbolehkan adalah > 4,0 mg/L. Rata-rata karbondioksida di keempat stasiun berkisar 8,895 dan 9,554 mg/L. Menurut Effendie (2003) organisme akuatik masih dapat mentolerir kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/L. Tabel 23. Fisika Kimia Air di SM.Muara Angke Parameter Suhu air (oC) pH DO (mg/L) CO2 (mg/L) Salinitas (o/oo) N-NO2 (mg/L) N-NO3 (mg/L) Arus (m/det) Kecerahan (m) Turbiditas (ntu) TSS (mg/L) Pb (ppm) Cd (ppm) Keterangan: * = tidak terdeteksi Danau 31,0 7,0 4,36 9,554 29,50 0,008 0,015 11.16 0,52 11,95 17,0 * < 0,001 Stasiun Pesisir Muara 31,0 31,0 7,0 7,0 4,36 4,36 8,895 8,991 30,0 30,0 0,012 0,013 0,022 0,031 15.25 12,81 0,35 0,35 14,5 14,5 21,0 21,6 0,014 0,016 < 0,001 < 0,001 Suaka 30,0 7,0 4,40 9,354 5,0 0,008 0,010 10,81 0,54 9,44 12,4 0,009 * Hasil pengukuran salinitas diperoleh nilai salinitas paling rendah di Suaka, dan tertinggi di pesisir dan muara. Kondisi salinitas yang rendah diduga bahwa perairan Suaka mendapat masukkan air tawar dari Sungai Angke. Sedangkan tingginya salinitas di pesisir dan muara diduga disebabkan masuknya air laut secara langsung dan penguapan yang tinggi. Pada hasil pengukuran nitrit dan nitrat, diperoleh nilai rata-rata tertinggi di Muara yaitu 0,013 dan 0,031. Nitrit di perairan alami umumnya ditemukan dalam jumlah yang sedikit, dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/L (Kep.Men LH No 59 51, 2004). Kandungan nitrat yang terukur telah melewati standar baku mutu biota laut yaitu 0,008 mg/L (Kep.Men LH No 51, 2004). Hal tersebut diduga merupakan dampak dari sisa-sisa buangan kapal bermotor di perairan tersebut. Kecepatan arus rata-rata tertinggi terdapat di sekitar pesisir yaitu 15,25 m/det, sedangkan terendah 10,81 m/det di Suaka. Tingginya arus di pesisir diduga sangat dipengaruhi oleh faktor angin, pengaruh musim, dan kedalaman air. Kecepatan arus rata-rata di Muara S. Cikawung (TNUK) adalah 30,41 m/det, dan 31,72 m/det di bagian tengah sungai. Menurut Effendie (2003) kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh bentang alam, jenis batuan dasar dan curah hujan. Dilihat dari tingkat kecerahan, kawasan danau dan perairan suaka mempunyai tingkat kecerahan yang lebih baik dibanding pesisir dan muara. Hal ini terkait dengan partikel tersuspensi yang akan mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Selain itu kerapatan vegetasi mangrove berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari. Hasil pengukuran terhadap turbiditas, memperlihatkan bahwa di pesisir dan muara mempunyai nilai turbiditas yang lebih tinggi dikarenakan banyaknya bahan-bahan tersuspensi seperti lapisan tanah, lumpur dan sampah yang terbawa masuk ke dalam kawasan tersebut. Padatan tersuspensi total (TSS) juga sangat terkait dengan kecerahan dan kekeruhan. Hasil yang diperoleh menunjukkan perairan pesisir dan muara mempunyai nilai TSS lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan kawasan pesisir dan muara banyak dipenuhi oleh serasah daun mangrove, sampah dan bahan pencemar lain, sehingga diduga menyebabkan nilai TSS menjadi lebih tinggi. Menurut Alabaster dan Loyd (1982) bahwa suatu perairan dengan nilai TSS < 25 mg/L sangat baik untuk kegiatan perikanan, sedangkan kisaran 2 – 80 mg/ L masih dianggap cukup baik. Logam berat timbal (Pb) terlihat cukup tinggi di pesisir dan muara. Hal ini dimungkinkan karena lokasi tersebut merupakan jalur transportasi kapal bermotor nelayan. Nilai standar baku mutu Pb air laut untuk biota laut adalah 0,008 ppm (Kep.Menteri Lingkungan Hidup, 2004). Kadar logam berat dalam air laut yang cukup rendah adalah cadmium (Cd) ditemukan di semua lokasi, bila mengacu pada Kep.Men LH Nomer 51, Tahun 2004 kadar Cd masih dalam batas normal 60 (Cd = <0,001 ppm). Meningkatnya kadar Pb dan Cd di perairan ini disebabkan karena banyaknya industri (baik besar maupun rumah tangga), pemukiman dan pertambahan penduduk, yang membuang sejumlah bahan polutan dan bahanbahan kimia lainya yang mengandung logam berat ke perairan. Hal ini akan mempercepat dan memperburuk lingkungan perairan. Sebagai informasi tambahan bahwa di lokasi penelitian teramati hampir setiap hari (± jam 16.00) sampah dari Sungai Angke masuk kearah muara dan pesisir (Lampiran 21). Alternatif Pengelolaan Tiga Jenis Ikan di Suaka Margasatwa Muara Angke Secara kelembagaan SMMA berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Sejauh ini upaya kegiatan pengelolaan telah dilakukan dengan cara rehabilitasi mangrove, penelitian (mangrove, burung dan mamalia), sedangkan untuk jenis ikan belum terdata dengan baik. Melihat rendahnya komposisi jenis ikan yang terkoleksi di SMMA dengan lingkungan perairan yang relatif tercemar, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya penyelamatannya agar jenis-jenis yang mendiami kawasan ini tetap terjaga. Pada L.subviridis (ikan ekonomis) perlu dilakukan pengawasan ukuran mata jaring yang dipergunakan, hal ini terkait dengan banyaknya ikan TKG III dan TKG IV yang diduga akan melakukan pemijahan. Dalam hal kelestarian kawasan mangrove SMMA terkait dengan nilai ambang baku mutu air yang tinggi akibat dari banyaknya sampah dan tumpahan sisa bahan bakar perahu motor nelayan, maka diperlukan dukungan dari semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait lainnya terkait dalam hal pengawasan, penegakan hukum, dan pengelolaan.