TB Paru Aktif pada HIV Alwinsyah,Reny Fahila Pendahuluan Defenisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 – 5 mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.1,2 Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS. Human immunodeficiency virus terdapat dalam cairan tubuh ODHA dan seseorang dapat terinfeksiHIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadar virus HIV sangat rendah.1,2 Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat.1 1 Epidemiologi Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%). 1 Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upayaupaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.1,3,9 Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB 2 aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangkapanjang). Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%.1,8 Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Sebagian besar dinding kuman terdiri dari asam lemak ( lipid ), kemudian peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam ( asam alcohol ) sehingga disebut bakteri tahan asam ( BTA ) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru paru lebih tinggi dari bagian yang lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.2 Faktor Resiko 3 Patofisiologi & Patogenesis Mycobacterium Tubeculosis yang terdapat pada droplet nuclei diudara dapat terhisap orang sehat dan akan menempel pada saluran napa atau jaringan paru . Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer . Kuman ini akan dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian makrofag dan keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap dijaringan paru maka akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa ke organ tubuh lainnya . Kuman yang bersarang dijaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang ( focus ) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal , jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk kedalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang . Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus ( limfadenitis regional ). Limfadenitis ini menjadi kompleks primer dengan proses 3 – 8 minggu.1,2 Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotic , kalsifikasi dihilus , keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara a) perkontinuitatum , yakni menyebar ke sekitarnya., b ) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c ) secara limfogen ke organ tubuh lainnya, d ) secara hematogen ke organ tubuh lainnya.2 4 Diagnosis Tanda dan Gejala Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks dan pneumonia). Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.4,5 Pemeriksaan laboratorium dahak Mikroskopis Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu specimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan. Biakan Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. 5 Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif. Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan (BPPM dan SK).1,3,4 Pemeriksaan penunjang radiologis Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA: BTA positif Foto toraks diperlukan pada: pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura). pasien hemoptisis. pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya. BTA negatif Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif. Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru 1,3 6 Alur diagnosis Diagnosis TB Paru pada ODHA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain: Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat 7 meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotic tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB. Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). 1,3,4,7 8 9 Diagnosis Banding Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan klinis yang cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2 minggu atau lebih. Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA: 1. Pneumonia Bakterial Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol, pasien dengan retardasi mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia merupakan flora normal pada saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri akan bermultiplikasi dan merusak parenkim paru. Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pneumokokus adalah penyebab tersering pneumonia bakterial tersebut. Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas kemudian terjadi aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri saluran napas atas menginfeksi parenkim paru. Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik. Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV. Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal ini sering ditemukan namun sulit didiagnosis. 2. Sarkoma Kaposi Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas menimbulkan gejala batuk, 10 demam, hemoptysis dan dispnea disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis sarkoma kaposi. 3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP) Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA dengan stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan sesak napas progresif. 4. Mycobacterium Avium Complex (MAC) Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan berat badan, lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang terlokalisir berupa gejala-gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal, pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati (di paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase. 5. Infeksi parasit Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan Nocardia sp. Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak. Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai darah, demam, mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara napas melemah, limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali. Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa kavitas. Organisme penyebab dapat ditemukan secara positif lemah pada pewarnaan tahan asam. Kecurigaan klinis meningkat dengan ditemukannya abses otak. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya batang pada sediaan dengan pewarnaan gram positif.1,6 11 Diagnosis banding berdasarkan foto toraks Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan gambaran foto toraks seperti TB. Penatalaksanaan Prinsip Pengobatan Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB. Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. 12 1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV. 2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi TB-HIV). Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.1,2,3,4,5 13 14 15 Rejimen Pengobatan saat ini Kategori Pasien TB Regimen Pengobatan Fase Awal 1 Tb sputum positif TBP baru berat Fase Lanjutan BTA 2 SHRZ ( EHRZ ) bentuk , TB 6 HE 2 SHRZ ( EHRZ ) 4 HR ekstra-paru ( berat ), 2 SHRZ ( EHRZ ) 4H3R3 TBP BTA-negatif 2 Relaps, Kegagalan 2 SHZE/ 1 HRZE Pengobatan, kembali 5 H3R3E3 2 SHZE/ 1 HRZE 5 HRE ke default 3 TBP sputum BTA – 2HRZ atau 2 H3R3Z3 negative TBekstra-paru 6 HE 2HRZ atau 2 H3R3Z3 2 HR/4H 2HRZ atau 2 H3R3Z3 2H3R3/4H (menengah berat ) 4 Kasus kronis ( masih Menggunakan BTA-positif pengobatan obat setelah obatan barisan edua ulang yang disupervisi) 16 Dosis Obat yang dipakai di Indonesia Nama obat Dosis Harian Dosis Berkala 3 x seminggu BB<50 kg BB>50kg Isoniazid 300mg 400mg 600mg Rifampisin 450mg 600mg 600mg Pirazinamid 1000mg 2000mg 2-3g Streptomicin 750mg 1000mg 1000mg Etambutol 750mg 1000mg 1-1,5g Etionamid 500mg 750mg PAS 99 10g Efek Samping Obat INH Neuropati perifer dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6, hepatotoksik Rifampisin Sindrom flu, hepatotoksik Streptomicin Nefrotoksik, gangguan nervus VII kranial Etambutol Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/ dermatitis Etionamid Hepatotoksik, gangguan pencernaan PAS Hepatotoksik, gangguan pencernaan Cycloserin Seizure / kejang , depresi, psikosis 17 DAFTAR PUSTAKA 1. Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dalam : Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan KeMenkes RI 2012 : 20-26 2. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI, Edisi ke enam, Jakarta 2014 : 863-873 3. WHO, Tuberculosis Care with TB-HIV Co management , Integrated Management of Adolescent and Adult Illness ( IMAI). 2007 : 14-30 4. TB CARE I , International Standards for Tuberculosis Care Edition 3. TB CARE I. The Haque, 2014: 20-26 5. Henry M, Blumberg M.D, American Journal of Respiratory and Critical Care medicine. Vol . 167. 2003 : 606 6. Anton Pozniak, MD, FRCP,et all . Tuberculosis : Clinical manifestations and evaluation of pulmonary Tuberculosis. MD employee of Up To Date inc. February 2015 7. Timothy R Sterling, MD, et all . Tuberculosisi : Treatment of pulmonary Tuberculosis in the HIV-infected patient. MD Employee of Up ToDate inc. June 2015 8. Lee W Riley, MD,et all. Tuberculosis : Natural history, microbiology and pathogenesis of Tuberculosis. MD Employee of Up To Date inc. March 2015 9. Gary Maartens, MBChB, MMed, et all. Tuberculosis : Epidemiology, Clinical manifestations and Diagnosis of Tuberculosis in HIV-infected patients. MD Employee of UpTodate inc. April 2015 18