TB Paru Aktif pada HIV

advertisement
TB Paru Aktif pada HIV
Alwinsyah,Reny Fahila
Pendahuluan
Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet
yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin
(sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang
sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 – 5
mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup
lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB
tersebut akan cepat mati.1,2
Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus
lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi
(perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid
(DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa
inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS.
Human immunodeficiency virus terdapat dalam cairan tubuh ODHA dan seseorang dapat
terinfeksiHIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun virus terdapat dalam saliva, air
mata, cairan serebrospinal dan urin tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan
infeksi karena kadar virus HIV sangat rendah.1,2
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan
global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target
Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan epidemi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat.1
1
Epidemiologi
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia
yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan
tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB
dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%)
pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah
Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi
pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan
homoseksual (WPS, waria).
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara
kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta
terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%). 1
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada
sebanyak14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara
Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya
kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali
lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak
akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upayaupaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi
pengelola program TB.1,3,9
Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi
Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya
sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit
TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Ada beberapa faktor yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB
2
aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes,
penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangkapanjang).
Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama hidupnya.
Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah
yaitu hanya sekitar 10%.1,8
Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm
dan tebal 0,3-0,6/µm. Sebagian besar dinding kuman terdiri dari asam lemak ( lipid ), kemudian
peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (
asam alcohol ) sehingga disebut bakteri tahan asam ( BTA ) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman
dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi.
Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical
paru paru lebih tinggi dari bagian yang lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberculosis.2
Faktor Resiko
3
Patofisiologi & Patogenesis
Mycobacterium Tubeculosis yang terdapat pada droplet nuclei diudara dapat terhisap orang sehat
dan akan menempel pada saluran napa atau jaringan paru . Partikel ini dapat masuk ke alveolar
bila ukuran partikel < 5 mikrometer . Kuman ini akan dihadapi pertama kali oleh netrofil,
kemudian makrofag dan keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya. Bila kuman menetap dijaringan paru maka akan berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa ke organ tubuh lainnya . Kuman yang bersarang dijaringan
paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek
primer atau sarang ( focus ) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru.
Bila menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal , jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk kedalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal,
tulang . Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru menjadi
TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (
limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus ( limfadenitis
regional ). Limfadenitis ini menjadi kompleks primer dengan proses 3 – 8 minggu.1,2
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotic , kalsifikasi
dihilus , keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10%
diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

Berkomplikasi dan menyebar secara
a) perkontinuitatum , yakni menyebar ke
sekitarnya., b ) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar
ke usus, c ) secara limfogen ke organ tubuh lainnya, d ) secara hematogen ke organ tubuh
lainnya.2
4
Diagnosis
Tanda dan Gejala
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Di samping itu,
dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, berkeringat pada malam
hari tanpa aktifitas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa
lemas. Gejala sesak napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura,
pneumotoraks dan pneumonia).
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan
adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu,
dapat ditemukan gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB
susunan saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan,
pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.4,5
Pemeriksaan laboratorium dahak
Mikroskopis
Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan
pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya
BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan
mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan
bila minimal salah satu specimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat
ditegakkan.
Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua macam
media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media cair. Waktu
pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman
TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu
sekitar 6 – 8 minggu.
5
Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada
ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka
kematian TB pada ODHA meningkat. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis
dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal
ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif.
Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada laboratorium yang telah memenuhi standar yang
ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan (BPPM dan
SK).1,3,4
Pemeriksaan penunjang radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis
TB paru khususnya BTA negatif.
Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA:
BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
 pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura).
 pasien hemoptisis.
 pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
BTA negatif
Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.
Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru 1,3
6
Alur diagnosis
Diagnosis TB Paru pada ODHA
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Penggunaan
antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang
dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat
7
meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu
diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi
bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotic tersebut
bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain.
Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap
M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA
dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA
umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk
konfirmasi diagnosis TB.
Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan
yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi
dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB.
Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda
dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). 1,3,4,7
8
9
Diagnosis Banding
Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai kemiripan dengan penyakit
lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan kadang nyeri dada serta kemiripan
gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus
dilakukan pemeriksaan klinis yang cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien
yang batuk selama 2 minggu atau lebih.
Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA:
1. Pneumonia Bakterial
Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol, pasien dengan retardasi
mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais yang menderita penyakit pernapasan lain
atau infeksi virus sangat rentan terhadap pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia
merupakan flora normal pada saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka
bakteri akan bermultiplikasi dan merusak parenkim paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi dapat dengan cepat
menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pneumokokus adalah penyebab tersering
pneumonia bakterial tersebut. Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas
kemudian terjadi aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri
saluran napas atas menginfeksi parenkim paru.
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai menggigil,
takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh mampu mengadakan
perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi
tidak spesifik. Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi
TB-HIV. Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal ini
sering ditemukan namun sulit didiagnosis.
2. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna biru
kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas menimbulkan gejala batuk,
10
demam, hemoptysis dan dispnea disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks menunjukkan
infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi
cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis sarkoma kaposi.
3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA dengan
stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan sesak napas
progresif.
4. Mycobacterium Avium Complex (MAC)
Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan berat badan,
lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang terlokalisir berupa gejala-gejala limfadenitis
servikal atau mesenterikal, pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati (di
paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
anemia, peningkatan alkali fosfatase.
5. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan Nocardia sp. Gejala
klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB paru. Diagnosis Cryptococcosis
paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak.
Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai darah, demam,
mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu makan dan berat
badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara
napas melemah, limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali.
Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa kavitas. Organisme penyebab
dapat ditemukan secara positif lemah pada pewarnaan tahan asam. Kecurigaan klinis meningkat
dengan ditemukannya abses otak. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya batang pada
sediaan dengan pewarnaan gram positif.1,6
11
Diagnosis banding berdasarkan foto toraks
Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan gambaran foto toraks seperti
TB.
Penatalaksanaan
Prinsip Pengobatan
Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB. Pada
prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera
sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan
baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.
12
1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika
pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya sampai dapat
ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan memulai pengobatan
ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah
mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.
2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai
minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana
pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi TB-HIV).
Hal
ini
penting
karena
ada
banyak
kemungkinan
masalah
yang
harus
dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis obat
ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.1,2,3,4,5
13
14
15
Rejimen Pengobatan saat ini
Kategori
Pasien TB
Regimen
Pengobatan
Fase Awal
1
Tb
sputum
positif
TBP
baru
berat
Fase Lanjutan
BTA 2 SHRZ ( EHRZ )
bentuk
,
TB
6 HE
2 SHRZ ( EHRZ )
4 HR
ekstra-paru ( berat ), 2 SHRZ ( EHRZ )
4H3R3
TBP BTA-negatif
2
Relaps,
Kegagalan 2 SHZE/ 1 HRZE
Pengobatan, kembali
5 H3R3E3
2 SHZE/ 1 HRZE
5 HRE
ke default
3
TBP sputum BTA – 2HRZ atau 2 H3R3Z3
negative
TBekstra-paru
6 HE
2HRZ atau 2 H3R3Z3
2 HR/4H
2HRZ atau 2 H3R3Z3
2H3R3/4H
(menengah berat )
4
Kasus kronis ( masih Menggunakan
BTA-positif
pengobatan
obat
setelah obatan barisan edua
ulang
yang disupervisi)
16
Dosis Obat yang dipakai di Indonesia
Nama obat
Dosis Harian
Dosis Berkala 3 x seminggu
BB<50 kg
BB>50kg
Isoniazid
300mg
400mg
600mg
Rifampisin
450mg
600mg
600mg
Pirazinamid
1000mg
2000mg
2-3g
Streptomicin
750mg
1000mg
1000mg
Etambutol
750mg
1000mg
1-1,5g
Etionamid
500mg
750mg
PAS
99
10g
Efek Samping Obat
INH
Neuropati perifer dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6,
hepatotoksik
Rifampisin
Sindrom flu, hepatotoksik
Streptomicin
Nefrotoksik, gangguan nervus VII kranial
Etambutol
Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/ dermatitis
Etionamid
Hepatotoksik, gangguan pencernaan
PAS
Hepatotoksik, gangguan pencernaan
Cycloserin
Seizure / kejang , depresi, psikosis
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dalam : Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi
TB-HIV, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
KeMenkes RI 2012 : 20-26
2. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI, Edisi ke
enam, Jakarta 2014 : 863-873
3. WHO, Tuberculosis Care with TB-HIV Co management , Integrated Management of
Adolescent and Adult Illness ( IMAI). 2007 : 14-30
4. TB CARE I , International Standards for Tuberculosis Care Edition 3. TB CARE I. The
Haque, 2014: 20-26
5. Henry M, Blumberg M.D, American Journal of Respiratory and Critical Care medicine.
Vol . 167. 2003 : 606
6. Anton Pozniak, MD, FRCP,et all . Tuberculosis : Clinical manifestations and evaluation
of pulmonary Tuberculosis. MD employee of Up To Date inc. February 2015
7. Timothy R Sterling, MD, et all . Tuberculosisi : Treatment of pulmonary Tuberculosis in
the HIV-infected patient. MD Employee of Up ToDate inc. June 2015
8. Lee W Riley, MD,et all. Tuberculosis : Natural history, microbiology and pathogenesis of
Tuberculosis. MD Employee of Up To Date inc. March 2015
9. Gary Maartens, MBChB, MMed, et all. Tuberculosis : Epidemiology, Clinical
manifestations and Diagnosis of Tuberculosis in HIV-infected patients. MD Employee of
UpTodate inc. April 2015
18
Download