1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perusahaan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Perusahaan Jepang dalam melakukan hubungan bisnis sangat
terkenal dengan perusahaan yang pekerja keras, tepat waktu, pantang
menyerah dan memiliki loyalitas tinggi sehingga sangat jarang orang
Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Daya tarik kota sebagai pusat
industri seperti adanya industri perkantoran di Jakarta Khususnya
Senayan, menarik para penduduk desa untuk bermigrasi mencari pekerjaan
sebagai karyawan kantoran. Maka semakin banyaklah orang-orang dari
berbagai budaya bahkan manca negara datang ke kota khususnya kota
Jakarta.
PT. Dipo Star Finance merupakan perusahaan Jepang yang
bergerak di bidang pembiayaan otomotif. Penelitian ini dilakukan selama
periode Oktober 2014 sampai dengan Desember 2014, perbedaan budaya
antar karyawan di PT. Dipo Star Finance kantor pusat Sentral Senayan II
menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian tentang bagaimana
kemampuan adaptasi antar karyawan yang berbeda budaya tersebut dalam
berkomunikasi satu sama lain.
1
2
Keberhasilan Jepang membangun bangsa khususnya dalam bidang
ekonomi, membuat konsep-konsep manajemen Jepang menjadi alternative
pilihan disamping konsep manajemen Barat yang rasional. Ezra Vogel
(1988) mengatakan bahwa gaya manajemen khasJepang, patut ditiru atau
setidak-tidaknya dipahami secara benar oleh bangsa-bangsa lain, termasuk
Amerika.
Konsep rasionalitas dalam bidang manajemen yang diklaim Barat
berlaku universal, menurut Leonardo R. Sitos (Guru BesarAsian Institute
of Management) sebenarnya relatif. Ia menunjukkan hal itu dengan
membagi dua kategori rasionalitas, yaitu: rasionalitas tujuan dan
rasionalitas nilai. Konsep rasionalitas tujuan di antaranya menekankan
aspek objektivitas, prestasi kerja dan semangat kompetisi.Sedangkan
rasionalitas nilai menekankan pentingnya semangat kekeluargaan,
senioritas (proporsional) dan orientasi kepada kemanusiaan.Dalam
pandangan Sitos, gaya manajemen khas Jepang merupakan wujud nyata
dari konsep rasionalitas nilai.
Lalu apa hubungan rasionalitas nilai dalam manajemen khas
Jepang dengan komunikasi antarbudaya? Setidaknya ada tujuh hal yang
relevan dan mesti diperhatikan oleh pebisnis/manajer non-Jepang dalam
melakukan hubungan bisnis/mengelola bisnis Jepang, yaitu: pengendalian
kritik, pemberian pujian, pengelolaan konflik, pemberian hadiah,
penekanan pentingnya kontak pribadi, orientasi pada pemecahan masalah,
dan konse Nemawashi. Mari kita bahas satu persatu.
3
1. Pengendalian Kritik
Bagi kebanyakan orang Jepang kehormatan dan harga diri
(kao) hamper di atas segalanya. Maka kritik terbuka (apalagi
menjelek-jelekkan) bisa dianggap tabu, karena mengarah
kepada pelecehan harga diri seseorang. Para manajer asing
yang berpengalaman mengungkapkan bahwa sebisa mungkin
seorang manajer menghindari kritik terhadap bawahannya.
Kalaupun ada saran-saran yang perlu disampaikan misalnya,
maka itu harus dilakukan secara hati-hati, terselubung dan
seimbang. Orang Jepang biasanya dapat menerima kritik yang
disampakan secara halus dan terselubung.Para pekerja asing
(Ekspatriat) yang berpengalaman juga mengajarkan bahwa
sebelum menyampaikan kritik yang halus dibawah empat mata,
harus dimulai dengan pujia-pujian yang proporsional dan
bersahabat. Mengkritik secara langsung dan terang-terangan
bisa menimbulkan “bencana” bagi orang asing, karena dapat
memunculkan sikap permusuhan dari orang Jepang.
2. Pemberian Pujian
Orang Jepang sebenarnya sependapat dengan konsep “kritiklah
orang lain di bawah empat mata, dan pujilah di tempat umum”.
Namun demikian, sebuah pujian ternyata tetap harus dilakukan
secara “pas”.Meskipun orang Jepang senang dipuji, mereka
tidak suka bila pujian itu berlebihan apalagi dikemukakan di
4
muka umum. Sebuah pujian yang disampaikan melalui surat
atau sekedar sobekan kertas kecil akan sangat melegakan bagi
sebagian orang Jepang. Pujian juga bisa disampaikan dengan
perantaraan orang ketiga.
3. Pengelolaan Konflik
Orang Jepang juga membutuhkan hubungan baik.Hal ini
tercermin dari penegakan konsep harmoni dalam berbagai
kelompok dan aktivitas kehidupan.Bila dalam kelompok terjadi
konflik, maka itu senantiasa diselesaikan lewat kompromi atas
dasar makeru ga kachi (mengalah untuk maksud luhur).Dalam
menyelesaikan konflik tak perlu ada pihak yang merasa kalah.
4. Pemberian Hadiah
Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang tingkat saling
memberi
hadiahnya
paling
tinggi.Sebuah
penelitian
menyimpulkan bahwa rata-rata orang Jepang setiap tahunnya
saling memberi hadiah sebanyak 33.7 kali. Menurut Nobuhisa
Hinji (1987), memberi hadiah adalah minyak pelumas bagi
kehidupan sosial Jepang. Dalam pandangan Jepang, begitu
orang menempuh kehidupan, mereka membangun kewajibankewajiban dan itu berarti layak untuk diberi anugerah
(hadiah).Lewat pemberian hadiah, perhitungan kewajiban dan
ganjaran dianggap jadi seimbang.Tapi hadiah juga bisa
5
dipandang sebagai ritual kecil semata dalam keseharian hidup
orang Jepang.
Suatu ketika pernah terjadi peristiwa lucu. Seorang pemuda Jepang
yang (belum pernah keluar negeri) dipindahtugaskan ke kantor cabang
London. Begitu masuk kerja, ia langsung membagi-bagikan hadiah kepada
teman-teman wanitanya yang berusia 40-50 tahun. Kontan merebak bisikbisik bahwa pemuda Jepang tersebut “menaruh perhatian” dan
menyenangi “daun tua”.Di sini terjadi salah persepsi. Pemberian hadiah
yang di Jepang dianggap salam basa-basi (perkenalan), di London
ditafsirkan sebagai “menaruh perhatian khusus”.
Meskipun orang Jepang terbiasa saling memberi hadiah, mereka
merasa tidak nyaman bila mendapat hadiah formal di tempat umum atas
prestasi kerja individu.Kentalnya kohesivitas kelompok membuat orang
Jepang merasa risi dan tidak nyaman mendapat hadiah sebagai
penghargaan kepada pribadi. Dalam kelompok pun “sang penerima
hadiah” tersebut akan dikucilkan. Jadi pemberian hadiah bagi prestasi
kerja perseorangan ternyata tidak efektif dan dapat merusak harmoni
(keseimbangan) kerja dalam kelompok/perusahaan.
1. Penekanan Kontak Pribadi
Dalam tradisi Jepang, seorang pemimpin (kelompok, kepala
biro,
direktur,
dan
sebagainya)
cenderung
tidak
mengedepankan kekuasaan dirinya, tetapi menepatkan diri
sebagai bagian dari kelompok.Dalam konteks ini kontak
6
pribadi antara pimpinan dan bawahan menjadi penting.Lewat
kontak pribadi, hubungan manusiawi “yang bergairah” antara
pimpinan dan bawahan dapat dibangun. Para pekerja Jepang
akan mengabdi dan bekerja habis-habisan untuk pemimpin
yang penuh perhatian kepada mereka. Sebaliknya mereka tidak
bersimpati kepada pimpinan yang hanya menuntut, tanpa mau
mendorong, menyemangati, memberi bantuan/kemudahan dan
mendengarkan aspirasi mereka.
2. Orientasi Pada Pemecahan Masalah
Kebanyakan orang/manajer Jepang cenderung menekankan
pentingnya orientasi pada pemecahan masalah.Bila terjadi
persoalan (kesalahan), bukan “siapa” yang berbuat kesalahan
yang lebih dipersoalkan, tetapi “apa” yang salah dan
“bagaimana” mencari pemecahannya. Dengan cara demikian
kebanyakan pekerja Jepang segera sadar bila melakukan
kesalahan dan berusaha secepat mungkin memperbaikinya.
Orientasi pada pemecahan masalah ini ternyata berdampak
positif pada semangat kerja karyawan.Rasa bersalah yang terus
menerus tentunya menghambat pekerjaan dengan sendirinya
dapat dihindari.
3. Konsep Nemawashi
Secara harfiah Nemawashi berarti “mengikat akar”. Dalam
manajemen gaya Jepang pengambilan keputusan biasanya
7
dilakukan secara partisipatif. Jadi corak kepemimpinan dan
manajemen
gaya
Jepang
bersifat
kolektif,
berdasarkan
konsensus. Berbagi pengambilan keputusan bisnis senantiasa
melibatkan berbagai unsure terkait dalam perusahaan.Kalau
keputusan itu menyangkut kepentingan karyawan, maka mau
tidak mau konsensus harus ditegakkan. Kalau tidak, akan
banyak konflik yang timbul. Mungkin saja karyawan tidak
mogok kerja.Tapi bila mereka melilitkan pita merah di lengan
saja, itu menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan skap
protes.
Menurut Goldsmith (1988)1 perusahaan asing tersebut akan menggunakan
orang dari negara asalnya untuk menduduki posisi penting di perusahaannya atau
dengan kata lain manajemen. Hasil penelitian Hildred Geertz (1981)2, ada kirakira 300 suku bangsa atau golongan etnik dan lebih kurang 250 bahasa daerah.
Menurut Mulyana dan Rahmat (1998), hubungan antara budaya dan komunikasi
penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui
pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat
mengandung makna sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui, dan perilaku
itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia mereka melalui kategorikategori, konsep-konseo, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
1
Goldsmith, James. Perangkap. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1988
Geertz, Hildred. Aneka Budaya dan Komunikasi di Indonesia. A. Rahman Zainuddin (penerjemah). Jakarta:
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI. 1981
2
8
Menurut Goldhaber dan Barnett (1995)3, banyak sosiolog dan antropolog
yang menawarkan beragam definisi kebudayaan. Beberapa terpusat pada faktorfaktor ekstrinsik, seperti artefak yang mewakili sistem sosial (pakaian, makanan,
atau teknologi). Tekanan yang lainnya adalah bentuk-bentuk perilaku. Lainnya
masih berfokus pada faktor intrinsik seperti sikap, nilai, dan kepercayaan dari
anggota-anggota kelompok.
Menurut porter dan Samovar dalam Mulyana dan Rahmat (1998)4,
kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip
pula terhadap suatu obyek sosial atau suatu peristiwa. Budaya dan komunikasi tak
dapat dipisahkan oleh karena itu budaya tidak hanya menentukan siapa bicara
dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia
miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Menurut Sihabudin (2011)5Budaya berkesinambungan dan
hadir dimana-mana; budaya juga berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan
sosial yang mempengaruhi hidup kita. Budaya kita, secara pasti mempengaruhi
kita sejak dalam kandungan hingga mati bahkan setelah mati, kita dikuburkan
dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Konsekuensinya, budaya
merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka
ragam pula praktik-praktik komunikasinya.
3
Goldhaber, Gerald M. And George A. Barnett. Handbook of Organizational Communication. United States
of America: Ablex Publishing Corporation. 1995
4
Dedy Mulyana dan Rakhmat Jalalluddin. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
1998
5
Sihabudin, Ahmad. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2011
9
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal pendahuluan bahwa di
daerah perkotaan dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah dan berbagai
budaya. Maka Nasikun (1988)6 mempertanyakan dan menganggap “Semboyan
Bhineka Tunggal Ika” sesungguhnya masih lebih merupakan suatu cita-cita yang
masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai kenyataan
yang benar-benar hidup dalam masyarakat terlepas dari permasalahan paradigma
yang dianut bangsa indonesia.
Penjelasan diatas menjelaskan kondisi secara luas, dan yang mengatur atau
yang memiliki wewenang untuk menciptakan stabilitas adalah negara. Namun,
menurut peneliti keadaannya akan berbeda jika masyarakat yang diartikan dalam
penelitian ini adalah para karyawan kantoran. Tentunya yang paling pertama
menciptakan stabilitas dan konsensus adalah pihak perusahaan itu sendiri. Oleh
karena itu, kepemimpinan pihak manajemen menjadi penting untuk dapat
menentukan situasi dalam berkomunikasi.
Perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnisnya baik perusahaan besar
maupun perusahaan kecil akan memliki budaya yang dapat diperlihatkan dari etos
kerja, peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu perusahaan atau dari sistem
organisasi perusahaan.
Adapun fenomena yang terjadi pada budaya komunikasi perusahaan
Jepang dalam bisnis, pada dasarnya bangsa Jepang memilki kepribadian yang
mantap dan padu.Hal ini dapat terbentuk berkat politik isolasi selama 250 tahun di
6
Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Cet. 4. Jakarta: CV. Rajawali. 1988
10
bawah Keshogunan Tokugawa.Selama masa pengasingan diri tersebut, bangsa
Jepang relatif tertutup dari berbagai pengaruh luar, sehingga kontak antarbudaya
yang terjadi terbatas
diantara
suku-suku
yang berdiam
di
kepulauan
Jepang.Tingginya intensitas interaksi selama ratusan tahun tersebut pada akhirnya
mengkristal dan membentuk kepribadian Jepang yang homogen.Jadi jelas secara
cultural, kebijakan pengasingan diri tersebut ternyata relatif menguntungkan.
Sifat homogen kepribadian Jepang, menjadikan negeri ini unik dan
menarik. Keunikan tersebut tercermin pada kekhasan manajemen gaya Jepang dan
kemampuan bangsa Jepang memelihara “jiwa Jepang” (wakon) di
tengah
derasnya globalisasi budaya (Barat). Karena itu manajemen Jepang menarik untuk
dikaji, terlebih oleh mereka yang hendak bekerja dan berbisnis dengan orang
Jepang.
Bagaimana cara memahami Jepang? Ada tujuh kerangka landasan yang
mesti diperhatikan, yakni:
1. Kompleksitas Bahasa
Bahasa Jepang dikenal demikian rumit, sehingga sering dinamakan
“bahasa jin”. Orang Jepang tidak terbiasa berbicara dengan bahasa
yang terang dan langsung.Kata-kata yang digunakan seringkali
bermakna ganda.Mereka lebih suka menggunakan bahasa nonverbal
khas jepang.Hal ini tentu saja membingungkan dan menyulitkan
pebisnis asing.
2. Homogenitas Ras dan Budaya
11
Dalam konteks ras dan budaya, Jepang tergolong paling homogen di
dunia.Itulah sebabnya orang Jepang dapat melakukan westernisasi
tanpa mengubah kepribadian yang menjadi “jiwa Jepang” yang khas.
3. Menjunjung Harmoni
Orang Jepang mengagungkan consensus sebagai cara terbaik
menyelesaikan berbagai masalah. Mereka cenderung menghindari
konfrontasi terbuka. Karena itu, berbagai konflik yang timbul
diupayakan dapat diselesaikan dengan cara “musyawarah-mufakat”.
4. Sikap Eksklusif
Orang Jepang memiliki in-group feeling yang sangat kuat, sehingga
cenderung eksklusif. Satu-satunya cara untuk dapat diterima secara
“penuh” adalah dilahirkan dalam masyarakat Jepang. Sikap eksklusif
ini
secara
nyata
dipengaruhi
oleh
terlalu
lamanya
mereka
mengasingkan diri (politik isolasi).Hal ini membuat kebanyakan orang
Jepang (umumnya generasi tua berusia 50 tahunan ke atas) menjadi
kaku dalam berhubungan dengan orang asing.
5. Kuatnya Ikatan Kelompok
Peran kelompok dalam masyarakat Jepang begitu menonjol. Karena
itu, kebanggan,, keterikatan, loyalitas dan tanggung jawab terhadap
kelompok (dari keluarga hingga negara) begitu besar. Kohesivitas
dalam kelompok begitu kental, sehingga tiap-tiap anggota senantiasa
saling memperhatikan dan saling mendorong untuk maju bersama.
12
6. Komitmen Kesejahteraan
Orientasi dan komitmen terbesar orang Jepang adalah pada
kesejahteraan
masyarakat
ketimbang
kepada
ideology
atau
agama.Inilah yang menyebabkan orang Jepang mudah menerima
perubahan.
7. Rasa Superioritas
Walaupun bersedia mengimpor gagasan, institusi, pengetahuan, dan
teknologi asing, umumnya orang Jepang (khususnya generasi tua)
kurang berminat melakukan kontak langsung dengan orang asing.
Namun demikian, mereka merasa “superior” di antara bangsa-bangsa
lain, (Christopher, 1984).
1.2
Fokus Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, fokus penelitian yang akan
dibahas peneliti adalah sebagai berikut :
“Bagaimana Kemampuan Adaptasi Antar Karyawan yang Berbeda
Budaya pada PT. Dipo Star Finance?”
1. Kemampuan adaptasi antar karyawan yang berbeda budaya di PT.
Dipo Star Finance
2. Hambatan yang terjadi dalam kemampuan adaptasi antar karyawan
yang berbeda budaya di PT. Dipo star Finance
13
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui, Menggambarkan dan menganalisis Kemampuan Adaptasi
Antar Karyawan yang Berbeda Budaya di PT. Dipo Star Finance.
1. Deskripsi kemampuan adaptasi antar karyawan yang berbeda budaya
di PT. Dipo Star Finance
2. Deskripsi Hambatan yang terjadi dalam kemampuan adaptasi antar
karyawan yang berbeda budaya di PT. Dipo star Finance
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Akademis
Proposal ini diajukan untuk meneliti aktivitas komunikasi
antarbudaya terhadap efektivitas organisasi. Harapan dari hasil penelitian
ini adalah dapat membantu menjadi bahan referensi bagi peneliti
berikutnya untuk mengadakan penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan topik penelitian ini yaitu memahami budaya sebagai hal yang
menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para
anggotanya.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membuka mata kita untuk tidak
meremehkan perbedaan budaya sekecil apapun karena dapat menimbulkan
konflik yang lebih jauh dan menyebabkan kegagalan dalam menjalin
hubungan dengan rekan kerja atasan.
14
Sehingga kegunaan utama dari penelitian ini adalah meningkatkan
keterampilan komunikasi antarbudaya dalam menjalankan roda organisasi
sehingga efektivitas organisasi dapat tercapai.
1.4.3
Manfaat Sosial
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat khususnya para karyawan PT. Dipo Star Finance. Dengan
demikian dapat timbul rasa bangga dan loyal terhadap perusahaan.
Download