Modul Filsafat Manusia [TM10].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Filsafat Manusia
Landasan Komunikasi
Manusia dan Bahasa
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
MK10230
Ahmad Sabir, M.Phil.
Shely Cathrin M.Phil
Abstract
Kompetensi
Struktur sosialitas manusia mendasari
dan melatari penyebab komunikasi
manusia yang wujudnya adalah
bahasa
Mahasiswa dapat memahami landasan
komunikasi manusia serta bahasa
sebagai bentuk komunikasi yang
dikembangkan manusia
Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa
Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa
Pada materi mengenai sosialitas manusia telah disebutkan bahwa manusia saling
membentuk dan meng’ada’kan antara manusia dengan yang lainnya. Sosialitas manusia ini
merupakan salah satu struktur hakiki pada manusia dalam totalitasnya sebagai manusia.
Manusia berkorelasi dengan yang-lain. Hubungan ini menampakkan diri di dalam macammacam kegiatan manusia dalam komunikasinya dengan dirinya sendiri dan yang-lain;
Manusia menyadari dirinya atas keberadaannya, atas patahan hidupnya dalam banalitas
kesehariannya, memproyeksi segala kemungkinannya, ia memahami yang-lain, berbicara,
bercinta-kasih, belajar, bekerja, memelihara dan lain-lain yang mengandaikan adanya saling
membentuk dan meng’ada’kan. Jika struktur manusia itu adalah sosialitasnya, maka
komunikasi adalah bentuk dan kegiatan dari sosialitas manusia di dunia. Kegiatan yang
beraneka warna ini perlu diselidiki menurut dasarnya, menurut struktur manusiawi yang
pokok. Apa yang menjadi dasar dari komunikasi manusia, lebih jauh apa dasar sosialitasnya
di dunia? Lalu bagaimana bentuk komunikasi manusia itu?
Landasan Komunikasi Manusia
Secara implisit diatas telah kita kemukakan bahwa landasan komunikasi manusia
adalah sosialitas manusia di dunia. Sosialitas manusia sebagai struktur dasar manusia pada
hakikatnya dilatari dan berkembang oleh interpretasi manusia pada kejatuhannya di dunia
dalam mengatasi kecemasan keterlemparannya sebagai ada-di-dalam-dunia begitu saja.
Dalam penghayatan keterlemparannya itu, manusia selalu ‘jatuh’ dan melarutkan diri
dengan dunia tempat dimana ia terlempar dengan cara terlibat dengan dunia-nya yang
ditunjukkan dalam sosialitas yang dikembangkannya. Dengan demikian, sosialitas manusia
mau-tak mau selalu dimiliki dan melekat pada manusia sebagai ciri yang dimilikinya secara
bersama.
Sosialitas manusia yang ditandai dengan ‘larut’nya manusia dalam dunianya itu,
berisi hubungan dan korelasi manusia dengan yang lain didunia baik dengan cara mengurus
maupun memperhatikan, memaklumi dll dalam kegiatan-kegiatan bersama antara ‘aku’ dan
yang-lain. Sosialitas manusia yang demikian ini tidak terjadi begitu saja dalam hubungan
dan korelasi ‘aku’ dan yang-lain, melainkan memuat isi hubungan dan korelasi itu yang
ditandai oleh adanya ‘komunikasi’ di dalamnya. Baik mengurus maupun memperhatikan dan
kegiatan-kegiatan yang melibatkan antara ‘aku’ dan yang-lain selalu menunjuk adanya
2014
2
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
komunikasi di dalamnya. Oleh sebab itu, sosialitas manusia melatari dan menjadi landasan
bagi terbentuknya komunikasi pada manusia, baik komunikasi yang dikembangkan dalam
hubungan antar subjektif manusia maupun hubungan dengan dunia infrahuman atau
manusia dengan non-manusia. Semua hubungan/korelasi dalam sosialitas manusia sebagai
struktur manusia di dalam-dunia selalu mengandaikan adanya ‘komunikasi’ manusia di
dalamnya.
Komunikasi yang terjadi dalam sosialitas manusia itu bentuknya juga isinya adalah
‘bahasa’. Jika mengurus, memperhatikan dll dalam kegiatan manusia merupakan isi dari
sosialitas manusia di dunia, maka ‘bahasa’ adalah isi dari ‘komunikasi’ yang dilatari oleh
sosialitas manusia. ‘Bahasa’ dengan demikian menjadi ujung tombak dari isi kegiatan
sosialitas manusia dalam keterlemparannya di dunia.
Bahasa
Komunikasi manusia merupakan bentuk kegiatan dalam sosialitas manusia.
Komunikasi dalam kerangka sosialitas manusia menunjukkan adanya korelasi dan
hubungan antara manusia dan yang lainnya. Komunikasi yang mengandaikan hubungan
dan korelasi dalam sosialitas manusia itu tidak hadir begitu saja melainkan lewat sebuah
wadah atau alat yang disebut bahasa.
Bahasa dalam kaitannya dengan konsep sosialitas manusia tidak bisa dipahami
sebagai sebuah bentuk sistem komunikasi, sebagaimana sistem komunikasi non manusia,
seperti sistem komunikasi lebah misalnya atau sistem komunikasi komputer dll, untuk
manusia bahkan ia membahasakan dirinya dan berkata-kata dengan dirinya sendiri.
Bahasa, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan
pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia
diletakkan secara bahasa (Gadamer). Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap.
Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa.
Bahasa dalam konteks komunikasi manusia pada dasarnya adalah ‘rumah’ bagi
eksistensi manusia (Heidegger). Sebagai ‘rumah’, manusia bermukim di dalam bahasa. Ia
menyampaikan diri dan terbuka di dalam dan lewat bahasa. Bahasa merupakan ungkapan
keseluruhan dari totalitas eksistensi yang membuka diri terhadap dunia. Bentuk bahasa bisa
berupa gerak eksistensi, simbol dan berbicara. Ketiganya sekaligus merupakan alat bagi
bahasa dalam keterbukaan eksistensi manusia.
2014
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Bentuk-Bentuk Bahasa
1. Bahasa dalam bentuk gerak eksistensi
Bahasa merupakan alat manusia dalam berkomunikasi dengan dirinya dan sesama
manusia, sedang komunikasinya dengan selain manusia tidak ada bahasa melainkan
mengurus dan mengelola. Bahasa dalam arti ini juga berarti pemeliharaan atau penuh
perhatian untuk mendengarkan eksistensi membuka diri kehadapan ‘aku’ manusia. Bahasa
sebagai gerak eksistensi dalam penggunaan ini tidak merujuk seperti model komunikasi
verbal sehari-hari yang mudah dipahami, melainkan merupakan suatu model komunikasi
eksistensial. Komunikasi yang bergerak pada poros eksistensi manusia, lewat pemahaman,
penafsiran dan percakapan.
Ketika seorang pemudi ‘cabe-cabean’ memikirkan nasibnya yang sudah terperosok
dalam dunia hitam, ia kemudian menafsirkan situasi. Ia mencoba keluar dari keterpurukan
dengan menafsirkan peristiwa yang ia alami. Ia mungkin melihat keterperosokannya
‘sebagai’ peluang untuk berkembang. Rumusan penafsiran ini berakar pada suatu sikap praverbal, yaitu komunikasinya dengan dirinya sendiri (bereksistensi) dimana kata ‘sebagai’ itu
merupakan penafsirannya yang tak lain berarti mengorientasikan dirinya kepada segala
kemungkinannya ke depan.
Demikian juga ‘percakapan’ bukanlah komunikasi verbal, melainkan suatu
penyampaian makna yang mendahului artikulasinya dalam bahasa. Karena itu dalam ‘diam’
manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan menunjukkan bahwa percakapan
bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian makna tanpa artikulasi
apapun. Seperti kira-kira pertemuan diantara dua orang kekasih yang telah lama berpisah,
sesaat setelah bertemu hanya terpaku dan saling menatap, tanpa bicara sepatah katapun.
Momen ini sarat dengan makna yang tak dapat diartikulasikan, namun disampaikan lewat
disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing. Inilah percakapan eksistensial, dalam
diam Ia berkata-kata lewat gerak eksistensi masing-masing.
2. Bahasa dalam bentuk simbol.
Bahasa dalam bentuknya yang lain sering juga dipahami secara umum dalam bentuk
simbol. Simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballo
artinya ”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu
ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol
dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun
2014
4
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda,
ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah
dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat
digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga
keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui
gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang
dikenal dengan bahasa simbol.
Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara.
Lambang bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti padi dan kapas (lambang
kemakmuran) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang dapat
berupa warna atau pola. Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain,
kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah
simbol untuk negara tertentu dll.
Simbol sebagai bentuk lain dari bahasa memberikan kemungkinan apa saja terhadap
aktualitas dunia. Dalam makna positif simbol dapat mengembangkan kebudayaan manusia
dalam sosialitasnya di dunia. Simbol sebagai bentuk bahasa berkembang menjadi
semiotika, bahkan menurut van Zoest (1993) Manusia adalah homo semioticus,. Kata
semiotika sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ”tanda” atau seme yang
berarti ”penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika,
retorika, dan poetika. ”Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk
pada adanya hal lain; contohnya, asap menandai adanya api.
Apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki
arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam
kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa
yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis
antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan
(semantik). Sebuah teks dan semua hal yang mungkin menjadi ”tanda” bisa dilihat dalam
aktivitas penanda, yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang
menghubungkan objek dan interpretasi. Perhatikan rumusan berikut: S (s, i, e, r, c). S
adalah untuk semiotic relation; i untuk interpreter, e untuk effect; r untuk reference; dan c
untuk context atau conditions.
Meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus, namun—sejak Ernst
Cassirer dan Susanne Langer—dalam kepustakaan filsafat, manusia kerap pula disebut
2014
5
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebagai animal simbolicum. Maka itu, jika disandingkan, kedua pengertian atau sebutan ini
tentu saja memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya. Jelas bahwa
perbedaan “animal” dan “homo” sudah memunculkan problematika, terutama mereka yang
tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi menganggap sebutan
“animal” untuk manusia itu dianggap penghinaan. Pemikiran Ernst Cassirer memang
dilatarbelakangi oleh pemikiran biologi dan psikologi hewan, sehingga bagi Cassirer, fungsi
dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri
keagungannya. Gagasan Cassirer didasari oleh prinsip-prinsip biosemiotik von Uexkull yang
diterapkan pada manusia, sehingga dengan memperoleh sistem simbolis, ia memperoleh
sebutan baru, animal simbolicum.
Kesalahan terbesar manusia dalam memahami simbol adalah menganggap bahwa
simbol adalah substansi. Sehingga mereka kerap kali terjebak pada pembenaran terhadap
semua hal yang hanya bersifat kasat mata sebagai kebenaran hakiki. Muara dari kesalahan
itu adalah fanatisme. Contoh kasus: Agama X menyebut kata Tuhan dengan sebutan X1,
sedangkan agama Y menyebutnya dengan Y1. Masing-masing agama mengklaim bahwa
penyebutan yang benar adalah menurut cara mereka masing-masing. Di luar penyebutan
itu, dianggap sebagai ajaran sesat. Begitu pula dengan bahasa yang dipakai. Agama A
menggunakan bahasa A1 baik dalam kitab sucinya, maupun dalam tata cara ibadah. Di lain
pihak, agama B memilih menggunakan bahasa B1. Perbedaan simbolik yang hanya terletak
pada permukaan itu dijadikan alasan untuk saling membenci, dan memusuhi satu sama lain.
3. Bahasa dalam bentuk berbicara
Berbicara merupakan bentuk bahasa yang pada umumnya sama dengan bahasa
dalam bentuk simbol, akan tetapi jika bahasa dalam bentuk simbol berkembang menjadi
semiotika dalam makna bahasa secara apriori pada ide-ide tulisan, maka pada berbicara,
semiotika makna bahasa berkembang pada tataran aposteriori dalam pengalaman hidup
sehari-hari.
Setidaknya terdapat tiga hal bentuk bahasa dalam berbicara. Pertama, berbicara
adalah suatu gejala yang terang. Nampaknya, sebagian besar manusia di dunia kini
menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para sastrawan menemukan jati dirinya lewat
bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio-televisi,
perancang iklan, dsb, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di
tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mal-mal. Berdebat di ruang
pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli
tahu-tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa. Bahasa memang
2014
6
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan. Bahasa lebih
dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun
realitas. Efek wilayah tak-sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan
seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misal, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan
sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami
gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara ini, psikoanalis
Perancis, Jacques Lacan, menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa. Dalam
perspektif semiotika, bahasa adalah rantai penandaan. Apabila di dalam praktik bahasa,
rantai penandaan terputus, maka terjadi gangguan dalam proses reproduksi bahasa,
sehingga menghasilkan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai ”bahasa skizofrenia”—
salah satu bahasa dominan posmodernisme.
Suatu kenyataan yang tidak bisa luput dari perhatian setiap orang adalah
pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya, selalu
terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. ”Antara jeritan yang paling jelas dari
hewan mengajak kawannya berkencan atau memberi peringatan atau menunjukkan
marahnya, dengan perkataan manusia yang paling tak mengandung arti, terdapat tahapan
evolusi yang luas.” (Langer). Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara
hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis; artinya suatu perkataan mampu
melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya olah kata
itu tidak hadir. Hal ini mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan.
Kedua, tema bahasa atau pun wicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan
disukai oleh pemikiran kontemporer. Bahkan, sejak dahulu, para ahli pikir menyebut
manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale
berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi).
Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal,
cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan
sesuatu mengenai dunia yang mengitarinya. Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus
mengenai logos di dalam manusia sendiri (kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti,
susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang
satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita
tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah ”logos” itu (van Peursen).
Bahasa, menurut Gadamer, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di
dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia.
Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia
terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa. ”Melalui ’kata dan
2014
7
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
logat yang tepat’, seseorang dapat menggerakkan dunia,” kata Joseph Conrad (Brussell,
1988). Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words; inilah yang
membedakan manusia dengan binatang.
Ketiga, perbuatan berbahasa menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia
secara menyeluruh. Louis Hjelmslev mengatakan bahwa suatu bahasa selalu mempunyai
dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi. Apabila segi ekspresi adalah segi seleksi katakata, maka rangkaian kata-kata tadi dapat memberikan arti khusus, yaitu umpamanya
dengan memindahkan tempat kata=lata sehingga didengar lebih indah dan halus. Hal ini
sering dilakukan oleh puisi. Selain itu, Hjelmslev juga mengatakan bahwa bahasa
mempunyai bentuk dan substansi. Substansi adalah kata atau ungkapannya, sedangkan
bentuk adalah apa yang diberi oleh pembicara kepada kata yang dipakainya. Melalui bentuk
yang dipilih oleh pembicara, maka suatu kata memperoleh arti dan makna. Tergambar jelas
dari uraian ini, dalam perbuatan berbicara, seluruh pribadi manusia itu, tersangkut badan
dan jiwa, pancaindera, dan roh, yaitu manusia secara konkret, dalam sikapnya yang paling
biasa dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Bahasa Sebagai Bentuk Pernyataan
Untuk memahami apa yang dimaksud ‘bahasa’, kiranya ada baiknya jika kita melihat
beberapa hal yang melekat padanya. Pertama, bahasa terdiri dari simbol-simbol. Tetapi
bahasa tidak boleh dinyatakan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sejumlah hal yang
disebut simbol. Bahasa merupakan suatu sistem yang memungkinkan terbentuknya suatu
jumlah simbol yang tak terbatas. Tambahan lagi unsur-unsur bahasa, misalnya kata, tidak
bisa berdiri sendiri terlepas dari suatu bahasa. Jadi, bukannya ada sejumlah simbol atau
kata lebih dulu, kemudian muncul bahasa yang dibentuk dengan menyatakan simbol-simbol
itu, melainkan sebaliknya.
Kedua, bahasa sebagai suatu sistem harus dimengerti sebagai bahasa yang dapat
dianalisis ke dalam unsur-unsurnya, misalnya kata benda, kata kerja, kata sifat, kata
keterangan, dan seterusnya. Selanjutnya ada peraturan permainan yang menentukan arti
seluruh kalimat atau pernyataan yang dapat dipahami melalui pemahaman arti unsurunsurnya. Unsur-unsur tersebut mempunyai makna berdasarkan ‘persetujuan’, dalam arti
diterima umum, yaitu oleh pemakai bahasa yang bersangkutan.
2014
8
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ketiga, sistem yang terlibat di dalam suatu bahasa dapat dipergunakan di dalam
komunikasi. Pada umumnya, agar suatu kalimat memiliki makna tertentu haruslah kalimat itu
dapat digunakan untuk menyatakan suatu sikap, mengajukan permintaan, janji atau saran,
menyalahkan dll. Dan tentu saja kita juga harus ingat sebagaimana diatas bahwa bahasa
juga digunakan diluar konteks komunikasi interpersonal, misalnya dalam pikiran, renungan
pribadi dan juga di dalam suatu penyataan perasaan secara spontan tanpa memperhatikan
orang lain.
Keterbatasan Bahasa dalam Pernyataan
Meskipun kita cenderung untuk berpegang bahwa kata-kata mempunyai arti tertentu,
namun arti tersebut tidaklah selalu pasti, jelas dan terang. Arti tidak melekat seluruhnya
pada kata, sehingga kalau suatu kata terlepas dari konteksnya seringkali tidak mudah untuk
ditangkap arti persisnya. Kadang-kadang arti tersebut tergantung pada bentuk gramatika
kalimatnya, pada kesempatan lain tergantung pada konteks sastranya. Salah satu tugas
filsafat dalam sistematika filsafat adalah selalu mengkaji arti dari kata-kata dan pernyataanpernyataan yang dipergunakan untuk menyatakan suatu gagasan. Seorang pemikir atau
filsuf tidak boleh hanya puas dengan ide-ide dasar dan pernyataan-pernyataan primitif
sebagaimana umumnya dipergunakan.
Kiranya tidak dapat dikatakan bahwa manusia mampu secara penuh dan eksplisit
menyatakan prinsip-prinsip pertama. Sebab kata dan pernyataan harus diregang sampai
mencakup suatu generalisasi yang sampai saat ini asing bagi penggunaan mereka. Disisi
lain perlu diingat, bahwa setiap pernyataan selalu merupakan bagian dari konteks
keseluruhan suatu sistem ide. Sebagaimana yang diperikan oleh tokoh analitika bahasa
Wittgenstein bahwa dalam permainan bahasa Sistem ide yang berbeda-beda perlu
merumuskan bahasa mereka sendiri, sehingga mereka dapat memenuhi tuntutan ketepatan
atau kesesuaian antara fakta, data dan maksud dalam bahasa.
Perkembangan Bahasa dalam Pemikiran Filsafat
Bahasa perlahan-lahan berkembang sebagai tema sentral filsafat hingga kini, hal ini
dapat dilihat dalam konstelasi pemikiran filsafat modern. Pertama, pada periode Frege,
Husserl, Wittgenstein awal, dan Carnap, bahasa dipahami secara—meminjam peristilahan
2014
9
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Derrida—logosentris. Dimensi-dimensi dasar bahasa dianggap hanya tampil dalam fungsifungsi logisnya, misalnya dalam bentuk penilaian, pernyataan, dan representasi.
Kedua, terpantul dalam pergeseran pemikiran Wittgenstein, dalam kemunculan
filsafat bahasa sehari-hari tahun 1950-an, dalam kategori ”speech-act” maupun dalam teoriteori yang bersifat pragmatik (Austin, Grice, Searle), bahasa dilihat dalam sifat kontekstual
dan pragmatisnya. Bagi Wittgenstein, misalnya, bahasa hanya dapat dimengerti dalam
kerangka ”bentuk-bentuk kehidupan” yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu.
Di dalam Speech Acts, J.R. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaktidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur di dalam
berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan untuk
melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan bicara
(prelocutionary act). Secara berturut-turut, ketiga jenis tindakan itu disebut sebagai the act of
saying something, the act of doing something, dan the act of affecting something.
Ketiga, sebagian terpengaruh oleh perkembangan di luar filsafat sendiri, yaitu di
wilayah susastera dan kritik teks umumnya, sebagian lagi merupakan perkembangan lanjut
dari dunia filsafat sendiri; bahasa akhirnya dilihat nilai intrinsiknya, dikaji ulang hakikat dan
fungsinya. Tahap ketiga ini melibatkan semiotika, strukturalisme, hermeneutika, dan poststrukturalisme.
2014
10
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Bakker, Anton, 2000, Antropologi Metafisik, Kanisius, Yogyakarta.
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta..
Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. 1990. Manusia dan
Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Penerbit PT Gramedia:
Jakarta.
Heidegger, Martin, 2002, The Essence of Human Freedom (terj. Ted Sadler),
Continuum: London-New York.
Hyde, Michael, J, 2007, Searching for Perfection: Martin Heidegger on Language,
Truth, and the Practice of of Rhetoric, at Perspectif on Philosophy of
Communication, Purdue University Press, West Lafayette.
Whitehead, Alfred, North, 1925, Science and the Modern Word: a Mentor Book,
Cambridge University by The Macmillan Company: New York
2014
11
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download